Nim : 17630059
Kelas : Kimia-B
1. Berikut adalah beberapa corak tasawuf :
a. Tassawuf Falsafi
Sejarah Perkembangan Tasawuf Falsafi
Terbentuknya masyarakat muslim di suatu tempat adalah melalui proses yang
panjang, yang dimulai dari terbentuknya pribadi-pribadi muslim sebagai hasil dari upaya
da’I (Haidar Putra Daulay.2009.Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam
di Indonesia.Jakarta: Kencana). Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami
beberapa fase. Pada abad pertama dan ke dua hijriyah mengalami fase asketisme (zuhud),
karena pada masa ini belum dikenal istilah sufi. Pada fase ini bisa dikatakan tasawuf
masih sangat murni yang tidak terpengaruh oleh ajaran filsafat (Mahyuddin.1999.Akhlaq
Tasawuf.Jakarta: Kalam Mulia). Pada abad ini individu-individu dari kalangan muslim
lebih memusatkan dirinya pada hal ibadah. Mereka tidak meentingkan hal duniawi,
berpakaian, makan, minum dan bertempat tinggal seadanya (Anwar,Rosihan.Solihin,
Mukhtar.2006.Ilmu Tasawuf.Bandung:CV Pustaka Setia).
Pada abad ketiga hijriyah, tasawuf mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Ditandai dengan bebagai macam tasawuf yang berkembang pada masa itu yang secara
umum dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, pertama tasawuf yang berintikan
ilmu jiwa (tasawuf murni), ke dua tasawuf yang terfokus pada petunjuk-petunjuk tentang
cara-cara berbuat baik serta cara-cara menghindarkan keburukan, yang bisanya disebut
tasawuf akhlaqi. Adapun yang ke tiga adalah tasawuf yang berintikan metafisika, di
dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan ketunggalan hakekat yang Maha Kuasa,
yang merupakan satu-satu nya yang ada dalam pengertian yang mutlak, serta melukiskan
sifat-sifat Tuhan. Jadi tasawuf falsafi mulai terlihat pada abad ke tiga hijriyah, golongan
ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang dihukum mati karena menyatakan pendapatnya
mengenai Hulul (309 H) (Miswar.2019.Jurnal Pendidikan dan Keislaman.Pembentukan
dan Perkembangan Tasawuf Flasafi.Medan:Universitas Islam Sumatera).
Pada abad keempat hijriyah kemajuan tasawuf lebih pesat dibandingkan pada abad
ketiga hijriyah. Hal ini terlihat pada usaha ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran
tsawufnya masing-masing. Sehingga kota Bagdad menjadi satu-satunya kota yang
terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar. selain itu para ulama tasawuf
juga mengajarkan ajarannya keluar kota Bagdad. Adapun tokoh pelopor tersebut yaitu
Musa Al-Ansori, beliau mengajarkan ilmu tasawuf di Khurasan (Persia dan Iran) dan
wafat disana pada tahun 320 hijriyah, Abu Hamid bin Muhammad al-Rubazi; beliau
mengajarkan tasawuf di salah satu kota di Mesir, dan wafat disana pada tahun 322
hijriyah, Abu Yazid Al-Damiy beliau mengajar di Semenanjung Arabiyah dan wafat
disana pada tahun 341 hijriyah, dan Abu‘Ali Muhammad Bin ‘Abd al-Wahhab Al-
Thaqofi, mengajarkan tasawuf di Naisabur dan kota Sharaz dan wafat pada tahun 328
Hijriyah (Mustofa, A.1997.Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia).
Pada abad ini tokoh-tokoh tasawuf mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
tasawuf. Pada akhirnya kegiatan tersebut dinamakan tarekat oleh penganutnya yang
sering dinisbatkan namanya pada gurunya. Masa ini gairah masyarakat dalam
mempelajari tasawuf menurun, karena beberapa faktor yaitu semakin gencarnya serangan
ulama Syari’at memerangi ahli tasawuf yang diiringi golongan Syi’ah yang menekuni
ilmu kalam dan ilmu fiqih dan Adanya tekad penguasa atau pemerintah yang ingin
melenyapkan ajaran tasawuf karena dianggap sebagai sumber perpecahan umat Islam,
sehingga bisa dikatakan negeri Arab dan Persia ketika itu sunyi dari kegiatan tasawuf
(Mustofa, A.1997.Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia).
Pada abad ke delapan hijriyah sudah tidak terdengar lagi ajaran atau perkembangan
tasawuf yang baru. Akhirnya pada abad ke sembilan, sepuluh hijriyah dan sesudahnya
merupakan keadaan yang benar-benar sunyi dari ajaran tasawuf bahkan bisa dikatakan
tasawuf telah mati. Begitulah pasang surut perkembangan tasawuf yang terjadi
berdasarkan kondisi sosial masyarakat (Miswar.2019.Jurnal Pendidikan dan
Keislaman.Pembentukan dan Perkembangan Tasawuf Flasafi.Medan:Universitas Islam
Sumatera).
b. Tasawuf Amali
Sejarah Perkembangan Tasawuf Amali
Benih-benih tasawuf sudah ada sejak zaman kehidupan Nabi Saw. Hal ini dapat
dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad
Saw. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari ia berkhalwat di gua Hira’ terutama
pada bulan Ramadan. Di sana Nabi banyak berdhikir dan bertafakkur untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Pengasingan Nabi di gua H{ira’ merupakan acuan utama para sufi
dalam berkhalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat
Nabi yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti
luhur. Oleh sebab itu, setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak
dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan
sufi di abad-abad sesudahnya.
Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabi’in (sekitar abad I dan II H).
Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya. Konflik-
konflik sosial politik yang bermula dari masa Uthman bin Affan berkepanjangan sampai
masamasa sesudahnya. Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap
kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah, Shi’ah,
Khawarij, dan Murjiah (Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal Ila.1976.al-
Tashawwuf Fi al-Islam.Kairo: Dar al-Thaqafah).
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan
sistem pemerintahan monarki, khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat
kezaliman-kezaliman, terutama terhadap kelompok Shi’ah, yakni kelompok lawan
politiknya yang paling gencar menentangnya. Puncak kekejaman mereka terlihat jelas
pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Talib di Karbala. Kasus pembunuhan
itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu.
Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti-hentinya itu membuat sekelompok penduduk
Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan
dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu
dengan Tawwabin (orang-orang yang bertaubat). Untuk membersihkan diri dari apa yang
telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan
kaum Tawwabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid al-Saqafi yang terbunuh di Kufah
pada tahun 68 H (Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal Ila.1976.al-Tashawwuf
Fi al-Islam.Kairo: Dar al-Thaqafah).
Di samping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosial pun
terjadi. Hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan
beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat, secara umum
kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah memegang
tampuk kekuasaan, hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di
kalangan istana. Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari
tradisi kehidupan Nabi Saw dan sahabat utama, dan semakin dekat dengan tradisi
kehidupan raja-raja Romawi. Dalam situasi demikian kaum muslimin yang saleh merasa
berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh,dan
tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Di antara para penyeru tersebut ialah Abu
Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang
tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam
Islam.
Dari perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat
kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi Saw dan para sahabatnya. Mereka mulai
merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar
luas di kalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid, atau karena ketekunan
mereka beribadah, maka disebut abid atau nasik. Zuhud yang tersebar luas pada abad-
abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu aliran Madinah, aliran
basrah, aliran kufah, aliran mesir, abad ketiga hijriyah, abad keempat hijriyah, abad
kelima hijriyah dan abad keenam hijriyah (Sholihin M, Rosihan Anwar.2008.Ilmu
Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia).
Konsep ajaran tasawuf Dzun Nun Al-Misri -> Secara garis besar, konsep
tasawuf beliau menonjolkan tentang Ma’rifatullah. Namun beliau juga
mengangkat teori tentang Mahabbah. Dalam hal ini fokus mahabbahnya
ialah mahabbah antara makhluk kepada sang khaliq (pencipta), yaitu cinta
hamba kepada Allah. Mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan
melalui cinta (roh). Mahabbah yang dimaksud Dzunnun Misri ialah “tidak punya
kebutuhan pada selain Allah”. “Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah
adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak,
perbuatan, perintah dan Sunnah-sunnahnya”. “Pangkal dari jalan (Islam) ini ada
pada empat perkara yaitu cinta pada Yang Agung, benci kepada Yang Fana,
mengikuti pada Al-Qur’an yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam
kesesatan)”. Ma'rifah ialah mengenal atau mengetahui Tuhan sehingga hati
sanubarinya dapat melihat Tuhan dan ia merasa dekat dengan Tuhan
(Musyarof.2010.Biografi Tokoh Islam.Yogyakarta:Tugu Publisher). Konsep
ma’rifah menurut Dzunnun pernah ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifah
Tuhan, ia menjawab “aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekitarnya
bukan karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan” (Harun, Nasution.1978.Filsafat
dan Mistisisme dalam Islam.Jakarta:Bulan Bintang).
c. Tasawuf Akhlaki
Sejarah Perkembangan Tasawuf Akhlaki (Nur Hidayat dan Mudrikatul
Maghfiroh.2017.Makalah Sejarah Perekembangan Ilmu Tasawuf.Semarang:Universitas
Wahid Hasyim)
Tasawuf akhlaqi (sunni), sebagaimana dituturkan Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah-nya,
diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriayah, Imam Al-Ghazali, dan
para pemimpin thariqat yang memadukan taswuf dengan filsafat, sebagaimana disebut di
atas. Para sufi yang juga seorang filosof ini banyak mendapat kecaman dari
para fuqaha akibat pernyataan-pernyataan mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang
paling keras kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ini ialah Ibnu Taimiah
(wafat pada tahun 728 H).
Selama abad kelima Hijriah, aliran tasawuf sunni terus tumbuh dan berkembang.
Sebaiknya, aliran tasawuf filosofis mulai tenggelam dan muncul kembali dalam bentuk
lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam hijriah dan seterusnya.
Tenggelamnya aliran kedua ini pada dasarnya merupakan imbas kejayaan aliran
teologi ahlu sunnah wal jama’ah di atas aliran-aliran lainnya. Dia antara kritik keras,
teologi ahlu sunnah wal jama’ah dialamatkan pada keekstriman tasawuf Abu Yazid Al-
Busthami, Al-Hallaj, para sufi lain yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk
kecamannya terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainnya yang mulai timbul
di kalangan tasawuf. Kejayaan taswuf Sunni diakibatkan oleh kepiawaian Abu Hasan Al-
Asy’ari (wafat 324 H) dalam menggagas pemikiran Sunninya terutama dalam bidang
ilmu kalam.
Oleh karena itu, pada abag kelima Hijriah cenderung mengalami pembaharuan, yakni
dengan mengembalikannya pada landasan Al-Quraan dan As-Sunnah. Al-Qusyairi dan
Al-Harrawi dipandang sebagai tokoh sufi paling menonjol pada abad ini yang member
bentik tasawuf Sunni. Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah memperlihatkan dengan jelas
bagaiman Al-Qusyairi mengembalikan landasan tasawuf pada doktrin ahlu
sunnah. Dalam penilaiannya, ia menegasakan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina
prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga doktrin mereka
terpelihara dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid
kaum salaf maupun ahlu sunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara implisi menolak
para sufi yang mengajarakan syahadat, yang mengucapkan ungkapan penuh kesan
tentang terjadimya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, terutama sifat terdahulu-Nya,
dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baru-Nya.
Tokoh lainnya yang seirama dengan Al-Qusyairi adalah Abu Ismail Al-Anshari,
yang sering disebut dengan Al-Harawi. Ia mendasrakan tasawufnya pada doktrin ahlu
sunnah. Ia diapandang sebagai penggagas aliran pembaharuan dalam tasawuf dan
penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya, seperti Abu
Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj.
Al-Ghazali dipandang sebagai pembela tasawuf Sunni. Pandangan tasawufnya
seiring dengan para sufi aliran pertama, para sufi abad ketiga dan keempat Hijriah.
Disampng itu, pandangan-pandangannya seiring dengan Al-Qusyairi dan Al-Harawi.
Namun, dari segi-segi kepribadian, keluasan pengetahuan, dan kedalaman tasawufnya,
Al-Ghazali memiliki kelebihan dibandingkan dengan semua tokoh di atas. Ia sering
diklaim sebagai seorang sufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khazanah
ketasawufan di dunia Islam.
Dengan demikian, abad kelima Hijriah merupakan tonggak yang menentukan
kejayaan tasawuf Sunni. Pada abad tersebut, tasawuf Sunni tersebar luas dikalangan
dunia Islam. Fondasinya begitu dalam terpancang untuk jangka lama pada berbagai
lapisan masyarakat Islam.
2. Jelaskan sejarah perkembangan Thoriqoh dan macam macam Thoriqoh yang ada di Indonesia!
Sejarah Perkembangan Thoriqoh
Sejarah Perkembangan Thoriqoh dibagi menjadi 3 era yaitu
1. Era Walisongo
Para sejarawan Barat menyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat
penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Budha menjadi sangat tertarik.
Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spritualitas itu
dianggap lebihdekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thoriqoh yang dibawa
oleh para wali. Sayang nya dokumen sejarah Islam sebelum abad 17 cukup sulit
dilacak. Meski begitu, beberapa cacatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak
bercerita tentang aktivitas tarekat di kalangan keluarga istana raja-raja Muslim (Tim
Penyusun JATMAN.2005.Mengenal Thoriqoh.Semarang:Aneka Ilmu).
Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thoriqoh adalah Serat
Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno, dalam karya sastra yang ditulis diawal
berdirinya kesultaanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati
pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syehk Najmuddin
Kubra dan Syekh Abu Hasan Asyadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang
sunan konon memperoleh Izazah kemursyidan Thoriqoh Kubrawiyyah dan
Syadziliyyah. Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan
fisik antara Sunan Gunung Jati dengan yang hidup diabad 16, dengan Syekh Abul
Hasan asy- Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syekh Abu Najmuddin
Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, tidak lah munkin.
Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri
tarekat dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultaanan Cirebon itu diyakini
sebagai orang pertama yang membawa tarekat Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke
tanah Jawa.
Selain Sunan Gunung Jati, anggota wali songgo lain yang lekat dengan thoriqoh
adalah Sunan Ampel dan Sunan Bonang alias Raden Makhdum Ibrahim. Dalam babat
Tanah Jawi, Sunan Ampel disebutsebut mengajarkan Suluk Tarekat Naqsabandiyah.
Sementara Sunan Bonang, diceritakan oleh Caita Lasem dan Hikayat Hasanudin,
setelah gagal berdakwah dikediri, karena menggunakan pendekatan fiqih yang
cenderung kaku, lalu pindah ke Demak dan menjadi Imam Masjid Agung Demak. Tak
lama kemudian ia hijrah ke Lasem, Rembang membangun zawiyyah dan menjalani
suluk tarekat. Usai menjalani suluk itu lah Raden Makhdum Ibrahim yang kemudian
bergelar Sunan Bonang itu melanjutkan dakwahnya. Adapun pendekatan-pendekatan
baru ini terbukti dengan beberapa peninggalan Sunan Bonang yang lebih bercorak
sufistik dan budaya baik bentuk tembang, dolanan bocah, primbon dan serat-serat
(Sunyoto Agus.2016.Atlas Wali Songo.Depok:Pustakan Iman).
3. Era Modern
Dalam tasawuf, seringkali dikenal istilah thoriqoh, yang berarti jalan, yakni jalan
untuk menuju mencapai ridha Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan adanya
kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian Sufi mengatakan, al-aturuk anfasil
makluq, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya makhluk, aneka ragam
dan bermacam-macam. Kendati demikian orang yang hendak menempuh jalan itu
haruslah berhati-hati. Karena dinyatakan pula faminha mardudah waminha maqbulah,
yang artinya dari sekian banyak jalan itu ada yang sah dan ada yang tidak sah yang
dalam istilah ahli thoriqoh lazim dikenal dengan ungkapan mu‟tabarah wa ghair
mu‟tabarah.13Di mana thoriqoh mu‟tabarah adalah sebuah perkumpulan anggota-
anggota tarekat yang diakui berdasarkan silsilah Nabi Muhammad SAW.
Seorang ahli thoriqoh terbesar menerangkan, bahwa sebenarnya thoriqoh itu tidak
terbatas banyaknya, karena thoriqoh atau jalan kepada Allah itu sebanyak jiwa
manusia. Maka dari itu, tiap thoriqoh diakui sah ulama harus mempunyai lima dasar,
yaitu: 14
1. Menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai perintah Tuhan
2. Mendampingi guru dan teman se thoriqoh untuk meneladani
3. Meninggalkan rukhsandan ta‟wil untuk kesungguhan
4. Mengisi semua waktu dengan do‟a dan wirid
5. Mengekangi hawa nafsu dari pada berniat salah dan untuk kesalamatan
Macam-macam Thoriqoh di Indonesia
Adapun tariqah yang berkembang di Indonesia antara lain adalah (Moh. Saifullah Al-
Aziz Senali.2000.Thasawwuf dan Jalan Hidup Para Wali.Gresik: Putera Pelajar)
1. Tariqah Qadiriyah
Tariqah Qadiriyah dinisbatkan kepada Shaikh ‘Abd. Al-Qadir al-Jailani (471-561
H/1079 M) wafat di Baghdad pada tahun 561 H. (1168 M). Ia menganut Madzhab
Hambali dan menonjol dalam bidang ilmu fiqh, komunikasi dan informasi serta dalam
ilmu sastra dan hadits. Penganutnya yang terbanyak adalah di India, Afganistan dan
Baghdad. Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat
syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat
gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam
tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa
murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan
Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
2. Tariqah Shadhiliyah
Tariqah Shadhiliyah dianggap tarekat sufiah yang utama memasukkan tasawuf ke
negeri Arab. Pusatnya di Bobarit, Maroko. Pendirinya adalah Syekh Abu Hasan bin
Abdullah bin Abdul Jabbar bin Hormuz Asy-Syadzili Al-Maghribi Al-Husaini Al-Idrisi,
keturunan Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ia dilahirkan pada tahun 591 H.
(1195 M), di Gahamarah Afrika dan wafat pada tahun 615 H. (1219 M) di padang pasir
‘Aidzab. Pengikutnya terbanyak di Afrika. Kelebihan tarekat Syadhiliyyah itu
disebabkan tiga hal. Pertama, para wali Allah dari tarekat Syadhiliyyah sudah dipilih
dan dicatat langsung dari Lauh Mahfuz. Kedua, wali majdzub dari kalangan tarekat
Syadhiliyyah bisa kembali ke maqam normal lagi. Ketiga, wali yang mendapatkan
predikat Qutub dari kalangan tarekat Syadhiliyyah itu berlangsung sampai hari kiamat
datang.
3. Tariqah Rif’iyyah
Tarekat Rifa‟iyah ini didirikan oleh Syekh Ahmad bin Abu Hasan Ar- Rifa‟i yang
wafat pada tahun 570 H. (1175 M). Penganutnya banyak di daerah Maroko dan Al-Jazair.
Tarekat Rifa'iyah yang juga merupakan tarekat sufi Sunni ini memainkan peran penting
dalam pelembagaan sufisme. Di bawah bimbingan Ar-Rifa'i, tarekat ini tumbuh subur.
Dalam tempo yang tidak begitu lama, tarekat ini berkembang luas ke luar Irak, di
antaranya ke Mesir dan Suriah. Hal tersebut disebabkan murid-murid tarekat ini menyebar
ke seluruh Timur Tengah. Dalam perkembangan selanjutnya, Tarekat Rifa'iyah ini
berkembang di kawasan Anatolia di Turki, Eropa Timur, wilayah Kaukasus, dan kawasan
Amerika Utara. Para murid Rifa'iyah membentuk cabang-cabang baru di tempat-tempat
tersebut. Setelah beberapa lama, jumlah cabang Tarekat Rifa'iyah meningkat dan posisi
syekh pada umumnya turun-temurun. Tarekat ini juga tersebar luas di Indonesia, misalnya
di daerah Aceh, terutama pada bagian barat dan utara; di Jawa; Sumatra Barat; dan
Sulawesi.
4. Tariqah Naqshabandiyah
Tarekat ini didirikan oleh Syekh Bahauddin Bukhari, yang lahir pada tahun 717 H, di
Bukhara, Sovyet, Rusia dan wafat pada tahun 791 H. (1391 M) dengan meninggalkan
tarekat ini dan tersebar luas pengikutnya di benua Asia dan Afrika, seperti Indonesia,
Malaysia dan Thailand. Akan tetapi tarekat paling berkembang dan tersebar luas di
wilayah Indonesia adalah Tarekat Qodiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Beberapa
keyakianan dan aqidah yang dianut tarekat naqsabandiyah,
Pertama, naqsabandiyah memiliki keyakinan bahwa pendiri tarekat pertama adalah Abu
Bakr as-Shiddiq. Abu Bakr mengamalkan dzikir dan wirid naqsabandiyah, dengan
mengkarantina diri untuk berdizkir dan tidak putus hingga masuk waktu subuh. Kedua,
mereka berkeyakian bahwa orang yang tidak mengikuti tarekat naqsabandiyah, dia berada
dalam bahaya agamanya. Doktrin semacam ini bisa dipastikan ada dalam setiap firqah dan
aliran kepercayaan. Karena diantara metode untuk mengikat pengikutnya adalah dengan
memastikan bahwa merekalah yang paling berhak dengan surga. Ketiga, pengikut
naqsyabandiyah menyikapi para tokohnya yang sudah mati sebagaimana ketika layaknya
orang hidup. Mereka istighatsah di kuburan tokohnya, meminta keputusan ke tokohnya,
membaiat tokohnya yang sudah mati, bahkan menimba ilmu dari mereka. Mereka
meyakini bahwa hubungan dengan Allah hanya bisa dilakukan melalui cara mendekatkan
diri kepada mereka. Media yang mereka gunakan adalah foto tokohnya, atau
membayangkan wajah tokohnya dalam imajinasi ketika mereka berdzikir kepada Allah.
5. Tariqah Tijaniyah
Tariqah Tijaniyah dinisbatkan kepada Shaikh Abu ‘Abbas Ahmad ibn Muhammad
al-Tijani (w.1230 H). Pada tahun 1772 - 1773, al-Tijani menuju Hijaz untuk menunaikan
ibadah haji, dan menimba ilmu belajar di Makkah dan Madinah. Di kedua kota itu ia
mempelajari Tarekat Qadiriyah, Thaibiyah, Khallawatiyah, dan Sammaniyah. Beberapa
tahun kemudian, ia berkhalwat di Bu Samghun. Pada tahun 1798, ia mengakhiri
khalwatnya dan menuju Maroko untuk memulai menjalankan misi yang lebih luas lagi dari
Kota Fes. Dalam waktu singkat, Tarekat Tijaniyah menyebar ke berbagai wilayah di dunia
seperti Asia termasuk salah satunya Indonesia. Tarekat Tijaniyah dibawa masuk ke
Indonesia kira-kira tahun 1920-an oleh seorang ulama kelahiran Makkah, Ali bin Abdullah
at-Tayyib al-Azhari. Awal perkembangannya di Tanah Air, mendapatkan penentangan dari
tarekat-tarekat lain yang lebih dahulu ada dan telah mapan, antara lain Naqsyabandiah,
Qadiriyah, Syattariah, Syazaliah, dan Khallawatiah. Meski demikian, di beberapa tempat,
tarekat ini terus berkembang, utamanya di Cirebon dan Garut (Jawa Barat), Madura, dan
ujung Timur Pulau Jawa.
6. Tariqah Qadiriyah Naqshabandiyah
Tariqah Qadiriyah wa Naqshabandiyah yang didirikan oleh Shaikh Ahmad Khatib al-
Sambasi al-Jawi (w. 1878 M). Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiah mengenal dua jenis zikir,
yaitu zikir nafi itsbat dan zikir ismudzat. Zikir nafi itsbat adalah zikir kepada Allah dengan
menyebut, ''La Ilaha Illa Allah, yang dikerjakan secara jahr (suara keras atau jelas). Hanya
saja, setelah menjadi ajaran Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiah, tidak harus secara jahr.
Zikir ismuzat yakni dengan menyebut nama-Nya yang Agung (Ism al-a'dham), ''Allah,
Allah, Allah.'' Dilakukan secara sirri atau khafi (dalam hati), dan kerap disebut zikir latha'if
(zikir secara lembut) yang menjadi ciri khas ajaran Tarekat Naqsyabandiah Mujaddidiyah.
7. Tariqah Shattariyah
Tariqah Shattariyah dinisbatkan kepada Shaykh „Abd Allah al-Shattari (w. 890
H/1485 M). Sejarah perjalanan Tarekat Syattariyah mencatat nama Muhammad Ghaus
sebagai tokoh penting dalam tarekat ini. Ghaus adalah generasi keempat dari Abdullah
Syattari. Ia sempat diusir dari India oleh penguasa. Ia menuju ke Gujarat dan mengajarkan
Tarekat Syattariyah di sana. Akan tetapi, sang mursyid begitu berminat pada praktik yoga
sehingga mengundang kecaman luas dari ulama-ulama di Gujarat. Tidaklah
mengherankan, kata Esposito, tarekat ini merupakan aliran sufi yang banyak dipengaruhi
oleh praktik-praktik ritual masyarakat India. Akan tetapi, murid Ghaus, Syah Wajihuddin,
yang menggantikannya, menghapus praktik-praktik yoga yang dikembangkan gurunya itu.
Wajihuddin melarang murid-muridnya mempraktikkan yoga. Sebagai gantinya, ia
mendasarkan Tarekat Syattariyah pada syariat Islam. Bahkan, mendekatkan tarekat ini
kepada Tarekat Qadiriyah.
3. Bagaimanakah cara saudara menerapkan ‘Tasawuf’ dalam kehidupan sehari hari, baik dalam
lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat !
Pertama, kita dapat menerapkan perilaku disiplin atau tidak melanggar peraturan yang ada
dan bersikap intropeksi diri agar tidak mengulangi kekeliruan atau kesalahan yang sama. Dengan
begitu jiwa disiplin akan terbentuk dalam jiwa masing-masing individu. Hal tersebut merupakan
salah satu indikator tawbah. Tawbah adalah kembali dari segala sesuatu yang tercela dalam
pandangan syariat menuju pada perbuatan-perbuatan terpuji. Prinsip tawbah adalah usaha untuk
memahami dirinya akan kesalahan pada Allah yang kemudian diisi dengan pengalaman,
pengawalan dan pembinaan yang terhindar dari perbuatan maksiat serta mengerjakan hal-hal
positif kemudian perbuatan mengingat Allah yang mendatangkan pahala, kecintaan dan ridho
Allah swt.
Kedua, kita dapat menerapkan perilaku ikhlas seperti tidak gampang tersinggung, tidak
angkuh atau sombong, tidak mengeluh dan mau mengakui kelebihan orang lain yang tidak
didasari dengan rasa benci, iri maupun dengki. Salah satu contoh pebuatan ikhlas yaitu ikhlas
saat membantu orang lain baik dari bidang kesehatan, bidang keuangan dll. Amalan ibadah ini
hendaknya dilakukan dengan niat ibadah kepada Allah swt tanpa ada niat yang terbesit atas
ibadah yang dilakukan agar mendapat pandangan dari makhluk Allah seperti mengharapkan
imbalan, dipandang sebagai orang yang dermawan maupun untuk memamerkan kekayaan yang
kita miliki. Hal tersebut merupakan salah satu indikator ikhlas yang hendaknya kita lakukan
untuk membentuk akhlak yang lebih baik.
Ketiga, kita dapat menerapkan perilaku sabar yaitu sabar dalam menaati aturan, tekun
dalam belajar dan optimis dalam segala keadaan. Salah satu perilaku sabar yaitu dengan
menghindarkan diri dari hal-hal yang menyimpang, tetap tenang ketika ditimpa berbagai ujian
atau cobaan dan meninggalkan segala keluh kesah kepada selain Allah tentang bertanya suatu
ujian hidup agar kita merasa lebih tenang dan bersyukur atas segala peristiwa yang kita lalui. Hal
tersebut merupakan salah satu indikator sabar yang hendaknya kita lakukan untuk membentuk
pribadi diri yang lebih kuat.
Keempat, kita dapat menerapkan perilaku wara’ yaitu tidak suka menggibah atau
menggosip, tidak tamak dengan sesama makhluk, tdiak suka mencuri dan tidak berlebihan dalam
bercanda dan makanan. Salah satu contoh perilaku wara’ adalah saat teman kita ada yang
mengalami musibah hendaknya kita membantu menyelesaikan, bukan menggibah atau bergosip
tentang musibah yang mereka alami. Hal itu bisa menguatkan tali silaturahmi yang terjalin
dengan sesama umat Allah swt.
Kelima, kita dapat menerapkan perilaku zuhud yaitu senang berpuasa Sunnah, suka
berbagi atau dermawan, berpenampilan sederhana atau apa adanya, tidak berlebihan saat makan
ataupun hal yang lain. Salah satu contoh perilaku zuhud adalah jaukan diri dari rasa gengsi
mengingat saat ini trend fashion sedang berkembang pesat. Jangan karena ingin terlihat mewah
didepan orang lain hingga kita rela mengeluarkan biaya yang cukup tinggi untuk memenuhi
keinginan tersebut. Sifat tersebut cenderung membuang-buang uang dan boros. Jadilah orang
yang sederhana dengan tampilan yang seadanya dan yang paling penting sesuai dengan syariat
Islam tanpa harus merugikan diri kita sendiri.