Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Media Pembelajaran Qur’an Hadits

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ski MA

Dosen Pengampu: Isro M.Ag

Disusun oleh : Uun Amriyati

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BREBES


2022

ARTIKEL ILMIAH: KEBANGKITAN ISLAM DI INDONESIA

Abstract
Islam in Indonesia is the largest majority of Muslims in the world. The 2020 Population
Census data shows that around 86.7% or 231 million people out of a total of 266.53 million
people are Muslims. In terms of denomination, the majority (98.8%) are Sunni Muslims,
while 1-3 million (1%) are Shia, and are concentrated around Jakarta,[1] and around 400,000
(0.2%) Ahmadiyah Muslims.[2] In terms of schools, based on demographic statistics, 99% of
Indonesian Muslims mostly follow the Shafi'i school,[3][4] although when asked, 56% do not
adhere to a particular school.[5] Schools of Islamic thought in Indonesia can be broadly
categorized into two orientations: "modernism", which adheres to orthodox theology with
modern learning, and "traditionalism", which tends to follow the interpretations of local
religious leaders and ustadz (Islamic boarding schools). There is also a historically significant
presence of the syncretic form of Islam known as "kebatinan".

Islam di Indonesia dianggap telah menyebar secara bertahap melalui kegiatan pedagang oleh
pedagang Muslim Arab, adopsi oleh penguasa lokal, dan pengaruh Sufi sejak abad ke-13.[6]
[7][8] Selama era kolonial akhir, itu diadopsi sebagai spanduk kampanye melawan
kolonialisme.[9] Walau Islam menjadi mayoritas, tetapi Indonesia bukanlah negara yang
berasaskan Islam. Indonesia mengakui 6 agama, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu,
Buddha dan Konghucu.[10] Meski tak menerapkan hukum Islam secara menyeluruh
sebagaimana halnya Arab Saudi dan Qatar, napas-napas Islam tetaplah diakui dan diterima
dalam hukum positif di Indonesia dengan adanya sejumlah regulasi undang-undang tentang
perkawinan, peradilan agama, perbankan syariah, wakaf, pengelolaan zakat, penyelenggaraan
ibadah haji dan umrah, serta yang terbaru Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang
Pesantren.[11]

PERSEBARAN
Muslim merupakan mayoritas di sebagian besar wilayah Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara
Barat, Sulawesi, wilayah pesisir Kalimantan, dan Maluku Utara. Muslim membentuk
minoritas yang berbeda di Papua, Bali, Nusa Tenggara Timur, sebagian Sumatera Utara,
sebagian besar wilayah pedalaman Kalimantan, dan Utara Sulawesi. Bersama-sama, daerah
non-Muslim ini awalnya merupakan lebih dari sepertiga dari Indonesia sebelum upaya
transmigrasi besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah Suharto dan migrasi internal
spontan baru-baru ini.
Migrasi internal telah mengubah susunan demografis negara selama tiga dekade terakhir. Ini
telah meningkatkan persentase Muslim di bagian timur negara yang sebelumnya didominasi
Kristen. Pada awal 1990-an, orang Kristen menjadi minoritas untuk pertama kalinya di
beberapa wilayah Kepulauan Maluku. Sementara transmigrasi yang disponsori pemerintah
dari Jawa yang berpenduduk padat dan Madura ke daerah berpenduduk lebih sedikit
berkontribusi pada peningkatan populasi Muslim di daerah pemukiman kembali, tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah bermaksud untuk menciptakan mayoritas
Muslim di daerah Kristen dan sebagian besar migrasi Muslim tampak spontan. Terlepas dari
tujuannya, konsekuensi ekonomi dan politik dari kebijakan transmigrasi berkontribusi pada
konflik agama di Maluku, Sulawesi Tengah, dan pada tingkat lebih rendah, Papua.

PERPECAHAN ISLAM DI INDONESIA


Dokumentasi klasik membagi Muslim Indonesia antara Muslim "nominal", atau abangan,
yang gaya hidupnya lebih berorientasi pada budaya non-Islam, dan Muslim "ortodoks", atau
santri, yang menganut norma-norma Islam Ortodoks. Abangan dianggap sebagai campuran
asli dari kepercayaan asli dan Hindu-Budha dengan praktik Islam yang kadang-kadang juga
disebut Jawanisme, kejawen, agama Jawa, atau kebatinan.[14][15] Di Jawa, santri tidak
hanya merujuk pada orang yang secara sadar dan eksklusif Muslim, tetapi juga
menggambarkan orang-orang yang telah melepaskan diri dari dunia sekuler untuk
berkonsentrasi pada kegiatan kebaktian di sekolah-sekolah Islam yang disebut pesantren—
secara harafiah berarti "tempat 'santri".[14] Istilah dan sifat yang tepat dari diferensiasi ini
diperdebatkan sepanjang sejarah, dan hari ini dianggap usang.[16]

Di era kontemporer, sering dibuat perbedaan antara "tradisionalisme" dan "modernisme".


Tradisionalisme, yang dicontohkan oleh organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama, dikenal
sebagai pendukung setia Islam Nusantara, sebuah merek khas Islam yang telah mengalami
interaksi, kontekstualisasi, pribumisasi, interpretasi, dan vernakularisasi sejalan dengan sosial
budaya kondisi di Indonesia.[17] Islam Nusantara promotes moderation, compassion, anti-
radicalism, inclusiveness, and tolerance.[18] Di spektrum lain adalah modernisme, yang
sangat diilhami oleh Modernisme Islam, dan organisasi masyarakat Muhammadiyah dikenal
sebagai pendukung Islam Berkemajuan.[19] Muslim modernis mengadvokasi reformasi Islam
di Indonesia, yang dianggap telah menyimpang dari ortodoksi Islam historis. Mereka
menekankan otoritas Qur'an dan Hadits, dan menentang sinkretisme dan taqlid kepada ulama.
Pembagian ini, bagaimanapun, juga telah dianggap sebagai penyederhanaan yang berlebihan
dalam analisis baru-baru ini.[16] Sejak 1990-an, Muhammadiyah telah bergerak ke arah yang
lebih berorientasi Salafi. Salafisme adalah cabang Islam yang menyerukan untuk memahami
Al-Qur'an dan Sunnah menurut generasi pertama umat Islam, dan untuk menghindari hal-hal
yang diperkenalkan kemudian dalam agama, telah terlihat ekspansi dalam masyarakat
Indonesia.[20]

DENOMINASI
Sekolah dan cabang Islam di Indonesia mencerminkan aktivitas doktrin dan organisasi Islam
yang beroperasi di Indonesia. Dari segi denominasi, Indonesia adalah negara mayoritas Sunni
dengan minoritas sekte lain seperti Islam Syiah dan Ahmadiyah. Dalam hal mazhab fiqih,
mazhab Syafi'i dominan di Indonesia pada umumnya. [3] Berkembang biaknya madzhab
Syafi'i dianggap karena para saudagar Arab dari selatan Semenanjung Arab yang mengikuti
madzhab fiqih ini.[21][22]

SEJARAH AWAL
Penyebaran Islam menurut sejumlah Catatan
Menurut Thomas Walker Arnold, sulit untuk menentukan bilakah masa tepatnya Islam masuk
ke Indonesia. Hanya saja, sejak abad ke-2 Sebelum Masehi orang-orang Ceylon telah
berdagang dan masuk abad ke-7 Masehi, orang Ceylon mengalami kemajuan pesat dalam hal
perdagangan dengan orang Cina. Hinggalah, pada pertengahan abad ke-8 orang Arab telah
sampai ke Kanton.[23] Waktu masuknya Islam di Nusantara sudah berlangsung sejak abad
ke-7 dan 8 Masehi. Namun, perkembangan dakwah baru betul dimulai kala abad ke-11 dan
12.[24] Artinya dakwah di Nusantara sudah merentang selama beberapa abad pada masa-
masa awal.[24] Indonesia sendiri pada masa-masa itu, tidaklah asing dari pandangan musafir
Arab. Sulaiman at-Tajir misalnya, sampai ke kawasan Zabij yang ada di timur India.[25]
Dilengkapi pula oleh catatan ahli geografi sejaman, Ibnu Khurdadzbih bahwa Zabij dipimpin
seorang Maharaja, yang juga disetujui oleh pendapat Yaqut al-Hamawi dan Al-Mas'udi.[26]
Belakangan, pendapat soal negeri Maharaja ini disetujui sejarawan Arab modern, Husain
Mu'nis, bahwa ia merujuk pada daerah yang kini ada di kawasan Indonesia modern.[27]
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para
sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkan teori
masuknya Islam dalam tiga teori besar. Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari
wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13
M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah
melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba
di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke
Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. Mereka berargumen akan fakta bahwa
banyaknya ungkapan dan kata-kata Persia dalam hikayat-hikayat Melayu, Aceh, dan bahkan
juga Jawa.[28] Selain itu pula, temuan Marco Polo juga menyatakan sebagai dampak
interaksi orang-orang Perlak di Aceh, mereka telah mengenal Islam. Selama masa-masa ini,
dinyatakan oleh Van Leur dan Schrieke, bahwa penyebaran Islam lebih terbantu lewat faktor-
faktor politik alih-alih karena niaga.[29] Pandangan lain dari AH Johns dan SQ Fatimi
menyebutkan penyebaran Islam bertumpu pada imam-imam Sufi yang cakap dalam soal
kebatinan, dan bersedia menggunakan unsur-unsur kebudayaan pra Islam dan mengisinya
kembali dengan semangat yang lebih Islami.[30] Peranan agamawan itu yang bisa dilihat
dalam proses sejarah Islamisasi kawasan. Di Samudera Pasai misalnya, pelopor dakwah
Islam adalah seorang ulama yang disebut Syekh Ismail dan bertanggung jawab
memperkenalkan Islam sampai kepada rajanya, Merah Silu dan masuk Islam dengan nama
Malik al-Saleh. Begitu pun pada kasus Islamisasi kerajaan Malaka, yang raja pertamanya
adalah Iskandar Syah, masuk Islam dengan perantara ulama yang dalam catatan Sejarah
Melayu adalah Maulana Sadar Jahan.[31] Dari kondisi-kondisi di atas, hal itu menjelaskan
bahwa Islam telah menjadi posisi sentral dalam sosial politik dan budaya tempatan, malahan
hingga menjadi unsur terbentuknya kerajaan. Selain itu pula, sejarah di atas menunjukkan
bahwa masa awal sejarah dakwah Islam di Nusantara berlangsung dari kawasan pantai timur
Sumatera, pantai utara Jawa, dan terlibat secara intensif dalam kawasan dagang jarak jauh
Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan.[32]

Di Pulau Sulawesi, Islam menyebar melalui hubungan Kerajaan-Kerajaan setempat dengan


para Ulama dari Mekkah dan Madinah, yang sebelumnya pula sempat singgah di Hadramaut
untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Selain itu, pengaruh dari
Ulama Minang di wilayah Selatan pulau Sulawesi turut mengantarkan Kesultanan Gowa dan
Kesultanan Bone untuk memeluk agama Islam.[33] Sementara itu, pengaruh dari Kesultanan
Ternate turut berperan penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Sulawesi bagian
tengah dan Utara. Salah satu buktinya adalah eksistensi Kesultanan Gorontalo sebagai salah
satu Kerajaan Islam paling berpengaruh di Semenanjung Utara Sulawesi hingga ke Sulawesi
bagian Tengah dan Timur.[34] Selain pengaruh Kesultanan Ternate, Ulama-Ulama besar
yang hijrah ke wilayah jazirah utara dan tengah Sulawesi pun turut mempercepat penyebaran
agama Islam di wilayah ini. Selain itu, Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua,
sejak abad ke-17, telah berhasil melakukan upaya penyebaran agama Islam hingga mencapai
wilayah Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.

Kalau ahli sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah
tidak benar, Abdul Malik Karim Amrullah berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah
naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah
bermukim di pantai Barat Sumatra (Barus).[35] Pernyataan yang hampir senada dikemukakan
Arnold, bahwa mungkin Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad-abad awal Hijriah.
Meskipun kepulauan Indonesia telah disebut-sebut dalam tulisan ahli-ahli bumi Arab, di
dalam tarikh Cina telah disebutkan pada 674 M orang-orang Arab telah menetap di pantai
barat Sumatra.[36]

Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan
(644-656 M), memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah
Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini
adalah raja Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam.[37] Namun menurut
Hamka sendiri, itu terjadi tahun 42 Hijriah atau 672 Masehi.[38]

Pada tahun 718 M raja Sriwijaya Sri Indravarman setelah pada masa khalifah Umar bin
Abdul Aziz (717 - 720 M) (Dinasti Umayyah) pernah berkirim surat dengan Umar bin Abdul
Aziz sekaligus berikut menyebut gelarnya dengan 1000 ekor gajah, berdayang inang
pengasuh di istana 1000 putri, dan anak-anak raja yang bernaung di bawah payung panji.
Baginda berucap terima kasih akan kiriman hadiah daripada Khalifah Bani Umayyah
tersebut.[39] Dalam hal ini, Hamka mengutip pendapat SQ Fatimi yang membandingkan
dengan The Forgotten Kingdom Schniger bahwa memang yang dimaksud adalah Sriwijaya
tentang Muara Takus, yang dekat dengan daerah yang banyak gajahnya, yaitu Gunung Suliki.
Apalagi dalam rangka bekas candi di sana, dibuat patung gajah yang agaknya bernilai di sana.
Tahun surat itu disebutkan Fatemi bahwa ia bertarikh 718 Masehi atau 75 Hijriah. Dari situ,
Hamka menepatkan bahwa Islam telah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah.[40]

Selain itu, fakta yang juga tak bisa diabaikan adalah bahwa adanya kitab Izh-harul Haqq fi
Silsilah Raja Ferlak yang ditulis Abu Ishaq al-Makrani al-Fasi yang berasal dari daerah
Makran, Balochistan menyebut bahwa Kerajaan Perlak didirikan pada 225 H/847 M
diperintah berturut-turut oleh delapan sultan.[41]

Bukti lain memperlihatkan telah munculnya Islam pada masa awal dengan bukti Tarikh Nisan
Fatimah binti Maimun (1082M) di Gresik.[42]

Untuk menjelaskan bagaimana metode penyebaran Islam di Indonesia, Arnold mengutip


catatan yang dikutip dari C. Semper bahwa para pedagang Muslim menggunakan bahasa dan
adat istiadat orang tempatan. Setelah mengadakan pernikahan dengan orang setempat,
pembebasan budak, maka ia mengadakan perserikatan dan tak lupa tetap memelihara
hubungan persahabatan dengan golongan aristokrat yang juga telah mendukung
kebebasannya.[36] Para pedagang ini, tidaklah datang sebagai penyerang, tidak pula
memakai pedang, ataupun memakai kelas atas guna menekan kawula-kawula rakyat. Namun
dakwah dilakukan dengan kecerdasan, dan harta perdagangan yang mereka punya lebih
mereka utamakan untuk modal dakwah.[36]

Selama masa-masa abad pertengahan ini, pedagang-pedagang Muslim turut memberi andil
dalam bertumbuhnya perdagangan dan kota-kota yang terlibat di sana. Bersamaan dengan
kegiatan dagang orang Tionghoa dari Dinasti Ming, Gresik, Malaka, dan Makassar berubah
dari kampung kecil menjadi kota-kota besar dengan penduduk 50 ribu jiwa. Begitupun untuk
Aceh, Patani, dan Banten.[43]

Masa kolonial
Pada abad ke-18 masehi atau tahun 1700 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk
berdagang, tetapi pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda
datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC (1602-1799), namun pada waktu itu
mereka belum menjajah daerah Nusantara. Pada tahun 1800, VOC dibubarkan dan Hindia
Belanda didirikan, sejak itu seluruh wilayah Nusantara dikuasainya. Saat itu antara kerajaan-
kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang
menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek
kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika
penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri
(peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah,
sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-
hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan.

Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din
Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir
banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, di antara mereka ialah Muhammad
Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat
didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah
Putri (1911), dan Sumatra Thawalib (1915). Pada tahun 1906, Tahir bin Jalaluddin
menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang
terbit koran dwi-mingguan al-Munir.[44]

Setidak-tidaknya dalam tren menuju masa kebangkitan nasional pada awal abad ke-20,
pergumulan umat Islam di Indonesia berlangsung dalam 3 jalan: organisasi, konsepsi
pemikiran-pemikiran ortodoks, dan politik. Organisasi di Hindia Belanda dari berbagai
spektrum Keislaman muncul, tapi yang menentukan tren keumatan ke depan sejarah kala itu
adalah NU dan Muhammadiyah.[45] Organisasi-organisasi itu bergerak dengan beberapa
cara, antaranya menghubungkan masyarakat dari pelbagai daerah, menyuarakan persamaan
gagasan komunitas umat Islam secara global dengan mengirimi buletin perkabaran umat
Islam dari penjuru bumi, ataupun mengumpulkan orang banyak untuk kegiatan reli massa.
[46]

DEMOGRAFI
Sebagian besar ummat Islam di Indonesia berada di wilayah Indonesia bagian Barat, seperti
di pulau Sumatra, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan untuk wilayah Timur, penduduk
Muslim banyak yang menetap di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara
dan enklave tertentu di Indonesia Timur seperti Kabupaten Alor, Fakfak, Haruku, Banda,
Leihitu, Tual dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, Abdul Malik Karim (2017). Dari Perbendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah
Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. ISBN 978-602-250-419-1.
Anwar, Rosihan (2011) [1971]. Jatuh Bangun Pergerakan Islam di Indonesia. Jakarta: Fadli
Zon Library. ISBN 978-602-99458-2-9.
Arnold, Thomas W. (1985) [1979]. Sejarah Da'wah Islam. Jakarta: Widjaya.
Fogg, Kevin W. (2020). Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia. Diterjemahkan oleh
Yanto Musthofa. Jakarta: Noura Books. ISBN 978-623-242-186-8.
Imawan, Dzulkifli Hadi (2021). The History of Islam in Indonesia. Yogyakarta: Diva Press.
ISBN 978-623-293-363-7.
Burhanudin, Jajat; Baedowi, Ahmad, ed. (2003). Transformasi Otoritas Keagamaan:
Pengalaman Islam Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 979-22-0392-3.
Mahfud, Choirul; Astari, Rika; Kasdi, Abdurrohman; Mu'ammar, Muhammad Arfan;
Muyasaroh; Wajdi, Firdaus (2021). "Islamic cultural and Arabic linguistic influence on the
languages of Nusantara; From lexical borrowing to localized Islamic lifestyles". Wacana. 22
(1): 224 – 248. ISSN 2407-6899.
Lombard, Denys (1996). Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II:
Jaringan Asia. 2. Jakarta: Gramedia. ISBN 979-605-453-1.
Reid, Anthony (1992). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. 2. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-330-6.
Reid, Anthony (2019) [2004]. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3ES.
ISBN 979-3330-05-8.
Ricklefs, Merle Calvin (1991). A History of Modern Indonesia 1200-2004. London:
MacMillan.
Saifullah (2010). Sejarah & Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. ISBN 978-602-8764-68-1.
Tejomukti, Ratna Ajeng (5 Juli 2018). Handasah, Wachidah, ed. "DMI Apresiasi Bantuan
Saudi". Republika.

Anda mungkin juga menyukai