NIM : 2110712003
PRODI : ILMU SEJARAH
MATKUL : PENGANTAR SEJARAH MINANGKABAU
Masuknya Islam ke Minangkabau tercatat sekitar abad ke 16, tepatnya setelah kejatuhan
Malaka. Dalam pe rkembangannya, ajaran Islam mulai bercampur baur (sinkretisme) dengan
tradisi setempat dan proses ini berjalan dengan lama. Hal inilah yang kemudian tercermin
dalam pepatah adat basandi syara, syara basandi kitabullah . Dapat dijelaskan bahwa Islam di
sana menerima penyesuaian terhadap struktur dan landasan kultural masyarakat Minangkabau
yang matrilinealistik, di mana sistem hak waris terdapat dari garis ibu.
Perang Paderi yang terjadi pada pertama abad 19, merupakan titik kulminasi dari desakan
orang Minang manghapuskan kuasa Belanda.Perang ini diprakarsai oleh orang-orang Paderi.
Istilah “Paderi” sendiri berasal dari kata Portugis yang merujuk pada sosok ahli agama yang
mengenakan busana putih. Orang-orang yang tergabung dalam perang ini mengenakan pakaian
serba putih sebagai simbolisasi bahwa perang tersebut adalah perang di jalan Allah dan untuk
membela agama Islam. Kelompok Paderi ini mengambil warna putih sebagai simbol terhadap
kelompok adat yang mengenakan busana hitam. Jika dilihat dari seragam saja, sudah terlihat
ada perbedaan cara pandang yang besar akan penghayatan Islam di tengah orang Minang.
Sebagai catatan kelompok adat itupun juga sebagian besar beragama Islam, hanya saja mereka
lebih mengedepankan aturan adat dalam menyelesaikan masalah mereka, ketimbang
menggunakan ajaran-ajaran muamalat dalam Islam. Perang ini mulanya terjadi karena
perbedaan pendapat antara kaum putih dengan golongan hita mengenai perilaku orang
Minangkabau pada masa itu yang sudah sangat melenceng dari ajaran agama Islam dan
Rasullah sehingga menyebabkan terjadinya modernisasi.
Modernisasi dapat menjadi salah satu faktor yang bisa menyebabkan suatu lingkungan
masyarakat mengalami kemajuan serta perubahan di dalamnya. Modernisasi adalah proses
perubahan dari suatu hal yang belum maju (tradisional) berubah ke arah yang lebih maju
(modern). Modernisasi dapat dikatakan pula sebagai proses transformasi menuju kemajuan
atau peningkatan dalam berbagai aspek kehidupan yang ada di masyarakat. Modernisasi berasal
dari bahasa latin yaitu “modernus”. Kata “modernus” juga berasal dari kata ‘modo’ yaitu cara
serta ‘ermus’ yang menunjukan pada periode waktu di masa kini. Dan salah satu contoh
modernisasi yang terjadi yaitu Modernisasi pemikiran dan pendidikan islam di Minangkabau
pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh pergolakan sosial
dan intelektual. Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa
Melayu mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang memberitakan hal-
hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab dalam
syariat islam mulai bermunculan dan pengamalan dalam adat sesuai dengan syara’.
Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda
sangat besar peranannya. Pada umumnya para pelopor gerakan pembaharuan di Minangkabau
menyebarkan pikiran-pikiran yang mereka peroleh sewaktu menuntut ilmu di Mekkah serta
dalam penyebarannya mereka lebih memusatkan perhatiannya pada dakwah dan pendidikan
yang mana semua di itu dilakukan disurau tak heran jika modernisasi islam di Minangkabau
selain memiliki fungsi sebagai rumah ibadah tetapi juga sebagai tempat anak-anak muda untuk
menuntut ilmu.Tokoh reformasi utama dalam proses modernisasi surau ini yaitu Ahmad Khatib
Al-Minangkabaui. Meskipun beliau tidak pernah kembali ke Minangkabau, tetapi melalui
murid-muridnya yang kembali ke Nusantara (Ridwan 1993:87). Di antara mereka adalah
Muhammad Thaib Umar, Abdul Latif Syakur, Abbad Abdullah, Ibrahim Musa Parabek, Agus
Salim,Abdul Karim Amrullah, Daud Rasyidin, dan Sultan Darap Pariaman. Semuanya kembali
ke Nusantara berkiprah dalam dunia pendidikan untuk melakukan pembaharuan dan
modernisasi surau yang telah terbelakang dan tertinggal akibat hadirnya sekolah-sekolah
sekuler yang didirikan oleh Hindia Belanda,selain kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang
kurang menguntungkan terhadap perkembangan pendidikan Islam di Nusantara umumnya dan
di Minangkabau khususnya. Proses modernisasi islam di Minangkabau dilakukan dengan dua
cara yaitu : pertama melalui injection motivation, dan kedua melalui revolusi think tank. Cara
pertama lebih dimotivasi oleh kemajuan dunia luar. Di Minangkabau, modernisasi dalam
institusi pendidikan sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan luar terutama Mekah dan Mesir.
Sistem ini dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau dan diterapkan dalam sistem pendidikan
Islam lokal. Akhirnya, terjadi pembaharuan dalam isntitusi pendidikan surau menjadi
madrasah, yang klasikal dan tidak lagi berhalaqah, serta terjadi perombakan-perombakan
dalam kurikulum pendidikan contohnya di Padang Panjang misalnya, surau Jembatan Besi
dengan duet tenaga pengajar yakni Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul menjadi cikal bakal
sekolah Thawalib. Sekolah ini sangat berpengaruh di Minangkabau.
Para tokoh pembaharuan dalam mengajar mereka memiliki berbagai corak lembaga pendidikan
yang berbeda yaitu seperti :
Adabiyah School, corak lembaga pendidikan yang mengadopsi pola pendidikan dari
Kolonial Belanda,yang diwakili oleh Abdullah Ahmad yang didirikan pada tahun 1907
ia mendirikan pendidikan modern ala sekolah yang menerapkan sistem klasikal,
Integrasi kurikulum ilmu agama dan umum, menggunakan metode debating club, Perlu
sumber dana alternatif,sekolah ini awal mula nya berdiri di Padang Panjang
dikarenakan mendapat kecaman dari masyarakat disana kemudian sekolah ini ditutup
dan didirikan dengan nama yang sama di Padang pada tahun 1909,sekolah ini hanya
mampu bertahan menjadi madrasah sampai tahun 1914,yang kemudian tahun 1915
berubah menjadi HIS atau Hollandsh Malaiche School Adabiyah. Tujuan lembaga
pendidikan ini dibangun yaitu agar terdapat pemerataan pendidikan serta bentuk protes
secara tidak langsung terhadap perilaku diskriminatif Hindia Belanda bahwa pribumi
tidak boleh bersekolah. Adabiyah School dianggap sebagai pelopor pola pendidikan
nasional Indonesia, yang pertama sebagai lembaga pendidikan umum plus agama.
Sumatra Thawalib,yaitu corak yang mempertahankan ciri khas surau dengan
mengadakan pembaharuan /modernisasi yang berkiblat ke Timur Tengah, yang
diwakili oleh Syekh Abdul Karim Amrullah, mereka mendirikan pendidikan modern
ala madrasah yang didirikan pada tahun 1918 yang pada awalnya Awalnya merupakan
sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan yang meliputi dua lembaga
yaitu Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan di Parabek.Namun karena
perkembangan politik, maka pengaruh politik juga masuk ke lembaga ini. Pengaruh
politik yang masuk ke perguruan ini datang dari paham komunisme, Oleh karena itu
sewaktu terjadi pemberontakan komunis di Silungkang, banyak siswa Thawalib Padang
Panjang yang terlibat. Untuk membatasi gerak dan kegiatan politik para guru dan siswa
Thawalib, pemerintah Belanda mengeluarkan pembatasan-pembatasan kegiatan dan
larangan mengajar bagi beberapa guru Thawalib mereka yang terkena larangan itu
antara lain adalah Zainal Abidin Ahmad, Ahmad Syukur, Ibrahim Modin, Seidi Umar
dan lain-lainnya. Lahirnya Sumatera Thawalib mempunyai pengaruh besar di Sumatera
Barat dalam bidang pendidikan, kehidupan beragama, organisasi politik dan media
massa. Dalam bidang pendidikan Thawalib berperan dalam menumbuhkan berbagai
lembaga pendidikan di Sumatera Barat. Dalam kehidupan beragama Thawalib dengan
penerangannya dapat memperbaiki kehidupaan beragama menjadi lebih baik.
Demikian pula dalam penerbitan media massa peran Thawalib sangat besar bagi
pelopor penerbitan al-Munir.
Pembaharuan pendidikan yang beorientasi kepada kebutuhan masyarakat (social
demand) yang diwakili oleh Zainuddin Labay el-Yunusi dan Rahmah el-Yunusiah;
mereka mendirikan pendidikan modern ala sekolah Kejuruan (takhassus),walaupun
belum sepenuhnya yaitu Diniyah School yang berdiri pada tahun 1915 yang didirikan
oleh Zainuddin Labay el-Yunusi di Padang Panjang. istem yang dipergunakan dalam
Diniyah School hampir menyerupai sekolah pemerintah ketika itu, terdiri dari tujuh
kelas. Pada tingkat bawah bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu (Indonesia)
dan memakai buku-buku yang berbahasa Indonesia, tapi juga ada yang berbahasa Arab
dan kebanyakan buku yang digunakan merupakan buku-buku karangan sendiri.
Kemudian untuk tingkat atas barulah memakai kitab-kitab yang berbahasa Arab
terbitan Mesir atau Kairo. Di antara pembaharuan pendidikannya yaitu (1) sistem
pembelajaran sekolah yang bersifat klasikal, (2) materi pembelajaran meliputi mata
pelajaran agama dan umum, (3) kurikulumnya sudah disusun secara teratur, (4)
sekolahnya berorientasi kepada output yang bermutu baik bidang keagamaan maupun
bidang umum. Untuk bidang agama sistem pembelajarannya berkiblat pada sistem
pembelajaran yang dilaksanakan di Mesir. Sementara bidang umum, ia cenderung
mengambil sistem pembelajaran yang dikembangkan oleh Musthafa kemal
Pasya,Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.
Setelah Zainuddin Labay el-Yunusi wafat sekolah ini ditutup dan di kemudian
dilanjutkan oleh saudara perempuannya dengan mendirikan sekolah Diniyah Putri yang
mana muridnya disini kebanyakan para ibu-ibu muda yang menikah secara terpaksa
karena mengikuti adat mereka serta perintah orang tua. Pelajaran yang terdiri atas
pelajaran agama dan ilmu alat diberikan di sebuah mesjid dekat Pasar Usang, Padang
Panjang selama 3 jam sehari kemudian pada Tahun 1924, sekolah ini pindah ke sebuah
rumah dekat mesjid tersebut, dan mulailah sistem kelas berikut bangku, meja, dan
papan tulis. Di tingkat atasnya digunakan asrama. Tahun 1930 sebuah kelas tambahan
pada tingkat menengah diselenggarakan.Semenjak itu lembaga pendidikan Diniyah
Putri berkembang pesat, Rahmah mengintegrasikan ilmu pengetahuan agama dan
umum. Ini terlihat dari kurikulum yang diterapkannya pada Diniyah School yang
awalnya hanya mempelajari ilmu agama dan bahasa Arab.Semua peserta didik dilatih
cara hidup bermasyarakat, memimpin, dan dipimnpin. Peserta didik dilatih
mempraktekkan ilmu yang mereka peroleh di bangku pendidikan formal dalam
muhadharah atau pidato untuk melatih pikiran, keberanian, dan percaya pada diri
sendiri.Dari sistem pendidikan yang dilaksanakan Rahmah terlihat ada dua bentuk yaitu
lembaga pendidikan yaitu formal dan non-formal. Pendidikan formal dilaksanakan di
sekolah dan pendidikan non-formal dilaksanakan di asrama. Dari sistem yang
diterapkannya, Rahmah berkeinginan untuk mencipkakan peserta didiknya (yang
semuanya perempuan) siap menjadi seorang ibu pendidik serta mampu hidup mandiri.
Jadi modernisasi pendidikan Islam di Sumatera Barat yang terwujud dengan berdirinya
lembaga-lemaga pendidikan modern yang islami memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap perkembangan lembaga pendidikan modern di luar Sumatera Barat. Dan pada awal
abad XX pendidikan Islam di Indonesia mulai memasuki pembaharuan. Gerakan pembaharuan
ini dilatarbelakangi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan ekternal :
Faktor Internal yaitu: (a) Dorongan untuk meningkatkan perlawanan terhadap kolonial
Belanda; (b) Rasa idak puas terhadap sistem pendidikan kolonial Belanda; (c) Rasa
tidak puas terhadap pengalaman Islam dan penerapan adat di tengah-tengah
masyarakat; (d) Keinginan kalangan kaum muda untuk memurnikan ajaran Islam.
Sedangkan Faktor eksternal yaitu; pengaruh pemikiran tokoh-tokoh pembaharu Timur
Tengah yang terjadi di akhir abad ke-19,khususnya Jamal al-Din al-Afghani dan
Muhammad Abduh. Meskipun sikap politik mereka secara tegas menunjukkan anti
Barat karena praktek penjajahan yang dilakukannya terhadap negara-negara Islam,
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh memberi dukungan kepada umat Islam
untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang lebih luas sebagaimana sudah dialami juga
terlebih dahulu oleh sebahagian negara-negara Barat.
Serta dalam pembaharuan yang dilakukan tentu ada saja halangan atau hambatan yang
memunculkan kegelisahan dan ke khawatiran masyarakat minangkabau pada masa itu. Kondisi
sikap keberagamaan dan tradisi yang sudah turun temurun yang tidak dapat dirubah kembali
mendapat tantangan dari kelompok pembaharu. Reaksi terhadap penyebaran pembaharuan di
Minangkabau datang dari kalangan adat dan dari kalangan agama yang bersifat tradisi (kaum
tuo). Pertentangan antara kaum tuo dan kaum mudo berkembang menjadi polemik-polemik
dan perdebatan-perdebatan terbuka.
Hal ini berakibat pada terjadinya polarisasi kehidupan beragama dalam masyarakat
Minangkabau, termasuk kalangan-kalangan ulama itu sendiri. Kaum tuo ini dilihat seringkali
bersikap negatif terhadap pembaharuan dan perubahan. Golongan tradisionalis ini seringkali
menganggap bahwa kemunduran umat Islam adalah karena mereka menjauhkan diri dari
ajaran-ajaran generasi yang lalu, serta memutuskan hubungan tradisi mereka untuk mengikuti
arus perubahan yaitu godaan syaitan dari Barat. Kaum Tuo atau dikenali sebagai 'Khalafi' yang
berpegang secara umum kepada mazhab Syafi’i berhasrat untuk memudahkan orang awam
yang dirasakan kebanyakannya kurang mampu untuk mengikuti kaedah tersebut, lalu mereka
mempopulerkan cara taqlid sebagai medium penyatuan dalam masyarakat dan juga ibadah,
selain menganugerahkan kemudahan buat masyarakat yang mayoritasnya tidak mempunyai
kemampuan untuk mengkaji secara mendalam hingga ke tahap dalil bagi sesuatu ibadat.
Sedangkan Kaum Muda merupakan istilah sekelompok ulama yang berpikiran modern
dan progresif. Mereka tidak menerima pemahaman keagamaan sebagaimana kaum
tradisionalis yang pro kepada taklid. Bagi mereka pemahaman keagamaan bisa ditafsirkan
dalam ruang ijtihad. Dari segi pengamalan keagamaan, mereka menghendaki adanya purifikasi
ajaran yang sesuai dengan sumber al-Qur’an dan as-Sunnah. Kaum Mudo dianggap juga
sebagai 'wahabi' yang menginginkan seluruh masyarakat lebih 'selamat'dan hampir kepada al-
Quran & as-Sunnah (pada hemat dan penelitian mereka) yaitu dengan cara membawa mereka
kepada pegangan Aqidah dan Ibadat yang dipaku dengan dalil sohih tanpa hanya terikat dan
taqlid kepada satu aliran atau pendapat saja. Sehingga terjadilah pertentangan antara Kaum Tuo
dan Kaum Mudo tidak lagi hanya terpaut dalam masalah tarekat, tetapi merembes ke soal-soal
praktek keagamaan lain yang umumnya diamalkan oleh masyarakat Minangkabau. Debat dan
polemik antara kedua kelompok ini berlansung dalam masa yang cukup panjang, melibatkan
banyak tokoh, menggunakan banyak dalil dan bahkan menghasilkan kepustakaan yang
lumayan. Terlepas dari berbagai aspek lain yang timbul dari akibat polemik tersebut,
masyarakat Minangkabau dapat memetik hikmahnya. Hikmah tersebut antara lain, adalah
berkembangnya kajian imiah keislaman,baik di kalangan muda maupun dikalangan tua.