Anda di halaman 1dari 253

Judul Buku : Pemikiran Pendidikan Islam

Penulis : PAI Angkatan 2021


Editor : Dr. Ida Rosyida, M. Ag
Dsain Sampul : PAI Angkatan 2021
---- Halaman
14x21 cm
Sekolah Tinggi Agama Islam Yapata Al-Jawami Bandung
Tahun 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kami ucapkan kepada Allah SWT


atas ridho dan rahmat-Nya sehingga Kami dapat menyelesaikan Buku
yang berjudul ‘Sejarah Pendidikan Islam dari Masa Rasulullah sampai
Pendidikan Islam di Indonesia (Pasca Reformasi)’. Juga Shalawat serta
salam selalu terlimpah curahkan kepada Nabi kita, Nabi Akhir Zaman,
Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.
Tidak lupa, Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dr.
Ida Rosyida, M. Ag selaku dosen Mata kuliah Sejarah Pendidikan
Islam yang telah membimbing sekaligus membantu Kami dalam proses
penyusunan Buku ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada
teman-teman, yang telah membantu baik secara moril maupun materil
sehingga buku ini dapat terselesaikan.
Buku ini akan menjelaskan tentang perjalanan panjang
Pendidikan Islam dari masa Rasulullah, Khalifaurasyidin (Masa Abu
Bakr RA, Umar Bin Khattab RA, Utsman Bin Affan RA, dan Ali Bin
Abi Thalib RA), masa kerajaan Islam yang luar biasa megah seperti
dinasti Umayyah dan Abbasiyah, Serta kesultanan-kesultanan
setelahnya hingga Corak Pendidikan Islam di Nusantara dari masa
sebelum penjajahan, Masa Penjajahan, sampai dengan kemerdekaan dan
pasca merdeka, termasuk masa reformasi. Buku ini menjelasakan betapa
menariknya konsep dan perjalanan dunia pendidikan dari masa kemasa.
Buku ini dapat memberikan gambaran yang nyata terjadi di masa-masa
tertentu.
i
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan
kesalahan dalam buku tulis yang Kami susun. Oleh karena itu penulis
mohon maaf atas segala kesalahan tersebut. Kritik dan saran dari
pembaca senantiasa ditunggu oleh penulis guna meningkatkan kualitas
tulisan kami kedepannya.
Bandung, 29 Juli 2022
PAI ANGKATAN 2021

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I

HAKIKAT PEMIKIRAN MODERN DALAM


ISLAM

A. Makna Pembaharuan
Pembaharuan Islam sendiri pada dasarnya dapat kita
definisikan sebagai suatu upaya untuk menyesuaikan
paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan juga
apa yang ditimbulkan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, yang mana kita bisa menarik
kesimpulan bahwa pembaharuan dalam Islam bukan
berarti mengubah atau mengurangi atau pun menambahi
teks Al-Quran maupun As-Sunnah, akan tetapi untuk
menyesuaikan paham atas keduanya.
dangkan dalam bahasa indonesia Pembaharuan sendiri
sering kali disebut dengan modernisasi atau modernisme,
yang mana jika kita lihat maknanya maka pembaharuan
sendiri bermakna menyesuaikan dan mengubah aliran,
pikiran, gerakan paham, adat istiadat dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

B. Model Gerakan Pembaharuan Islam


Secara garis besar ada dua bentuk gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia: (1) Gerakan pendidikan
dan sosial, (2) gerakan politik. 
1. Gerakan Pendidikan dan Sosial
Kaum pembaharu memandang, betapa
25
pentingnya pendidikan dalam membina dan
membangun generasi muda. Mereka
memperkenalkan sistem pendidikan sekolah
dengan kurikulum modern untuk mengganti sistem
pendidikan Islam tradisional seperti pesantren dan
surau. Melalui pendidikan pola pikir masyarakat
dapat diubah secara bertahap. Oleh sebab itu,
mereka mendirikan lembaga pendidikan dan
mengembangkan organisasi sosial kemasyarakatan.
Di antaranya sebagai berikut. 
a. Sekolah Thawalib 
Sekolah ini berasal dari surau jembatan besi.
Surau berarti langgar atau masjid. Lembaga
pendidikan Surau berarti pengajian di Masjid,
mirip dengan pesantren di Jawa. Haji Abdullah
Ahmad dan Haji Rasul pada tahun 1906 telah
merintis perubahan “sistem surau” menjadi
sistem sekolah. Pada tahun 1919 Haji Jalaludin
Hayib menerapkan sistem kelas dengan lebih
sempurna. Pada tahun 1929 organisasi Thawalib
memperluas keanggotaannya. Tidak hanya guru
dan murid di sekolah itu, melainkan juga para
alumni. Selain itu, keanggotaan pun terbuka
bagi mereka yang bukan murid, guru, dan
alumni atau mereka yang tidak memiliki
hubungan apapun dengan sekolah Thawalib.
Organisasi Sumatera Thawalib berkembang
menjadi sebuah organisasi kemasyarakatan yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial.
Akhirnya organisasi Sumatera Thawalib
berkembang menjadi organisasi politik dengan
26
nama Persatuan Muslimin Indonesia, disingkat
Permi. Permi merupakan partai Islam politik
pertama di Indonesia. Asas Permi tergolong
modern. Bukan hanya Islam, tetapi juga Islam
dan Nasionalis. 
b. Jamiat Khair
Organisasi ini didirikan di Jakarta oleh
masyarakat Arab Indonesia pada tanggal 17 Juli
1905. Di antara pendirinya adalah Sayid
Muhammad Al-Fachir bin Syihab, Sayid Idrus
bin Ahmad bin Syihab, dan Sayid Sjehan bin
Syihab. Semuanya termasuk golongan sayyid,
yaitu kaum ningrat atau bangsawan Arab, ada
dua program yang diperhatikan Jamiat Khair,
mendirikan dan membina sekolah dasar, serta
menyeleksi dan mengirim para pelajar untuk
mengikuti pendidikan di Turki. Jamiat Khair
tidak hanya menerima murid keturunan Arab,
tetapi juga untuk umum. 
Disini diajarkan bahasa Inggris, dengan
menguasai bahasa Inggris para alumni lembaga
pendidikan Jamiat Khair diharapkan dapat
mengikuti kemajuan zaman. 
c. Al-Irsyad 
Organisasi sosial ini didirikan oleh kaum
pedagang Arab di Jakarta. Al-Irsyad
memusatkan perhatiannya pada bidang
pendidikan dengan mendirikan sekolah dan
perpustakaan. Sekolah Al-Irsyad banyak
jenisnya. Ada sekolah tingkat dasar, sekolah
guru dan program takhassus memperdalam
27
agama dan bahasa asing.
Aktivitas organisasi ini lebih dinamis
daripada Jamiat Khair, walaupun keduanya
sama-sama didirikan oleh masyarakat Arab. Jika
Jamiat Khair dikuasai oleh golongan sayyid atau
ningrat. Al-Irsyad sebaliknya, menolak adanya
perbedaan atau diskriminasi antara kaum elite
dengan golongan alit (kecil).
d. Persyarikatan Ulama 
Organisasi sosial kemasyarakatan ini semula
bernama Hayatul Qulub, didirikan di
Majalengka, jawa Barat, oleh K.H. Abdul Halim
pada tahun 1911. Kiai Halim adalah alumni
Timur Tengah. Ia menyerap ide-ide pembaruan
yang dihembuskan oleh Muhammad Abduh dan
Jamaluddin al-Afghani, dua tokoh pembaruan di
Mesir. 
Hayatul Qulub memusatkan perhatiannya
pada bidang pendidikan, sosial dan ekonomi.
Sejak 1917 namanya diubah menjadi
Persyarikatan Ulama. Perubahan nama ini
memiliki dua tujuan, yaitu menyatukan para
ulama dan mengajak mereka untuk menerapkan
cara-cara modern dalam mengelola pendidikan. 
Ada dua sistem pendidikan yang
diperkenalkan Kiai Halim: “sistem madrasah”
dengan “sistem asrama”. Lembaga pendidikan
dengan sistem madrasah dan sistem asrama
diberi nama “Santri Asromo”. Santri Asromo
memiliki kelebihan, yaitu kurikulumnya
memadukan pengetahuan agama dan umum
28
seperti pada sistem madrasah sekarang. Para
pelajar Santri Asromo juga dilatih dalam
pertanian, keterampilan besi dan kayu, menenun
dan mengolah bahan seperti membuat sabun.
Persyarikatan Ulama memiliki ciri khas,
mempertahankan tradisi bermazhab dalam fiqih;
tetapi menerapkan cara-cara modern dalam
pendidikan. Pada tahun 1952 Persyarikatan
Ulama diubah menjadi Persatuan Umat Islam
(PUI) setelah difusikan dengan Al-Ittihad
alIslamiyah (AII) atau persatuan Islam. AII
didirikan dan dipimpin oleh K.H. Ahmad Sanusi
yang berpusat di Sukabumi, Jawa Barat. 
 e. Nahdatul Ulama (NU) 

‫ار ُك ْم َّما‬ ْ ‫َولَوْ اَنَّا َكتَ ْبنَا َعلَ ْي ِه ْم اَ ِن ا ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم اَ ِو‬
ِ َ‫اخ ُرجُوْ ا ِم ْن ِدي‬
‫فَ َعلُوْ هُ اِاَّل قَلِ ْي ٌل ِّم ْنهُ ْم ۗ َولَوْ اَنَّهُ ْم فَ َعلُوْ ا َما يُوْ َعظُوْ نَ بِ ٖه لَ َكانَ خَ ْيرًا لَّهُ ْم‬
ۙ‫ش َّد ت َْثبِ ْيتًا‬
َ َ‫َوا‬

Artinya: “Dan sesungguhnya jika seandainya


Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang
munafik): ‘Bunuhlah diri kamu atau keluarlah
dari kampung halaman kamu!’ niscaya mereka
tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil
dari mereka..." (QS. An-Nisa': 66).
Syekh Wahbah Al-Zuhaily menyampaikan
dalam tafsirnya al-Munir fil Aqidah wal
Syari’ah wal Manhaj, bahwa ayat di atas
menjadi petunjuk atau dalil untuk mencintai
tanah air. Sebab, orang memiliki ketergantungan

29
terhadap negerinya itu.
Nahdatul Ulama didirikan pada 16 Rajab 1344 H (31
Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim
Asy'ari. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini,
maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qānµn
Asāsi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab
I'tiqād Ahlussunnah Wal Jamā’ah. Kedua kitab tersebut
kemudian diimplementasikan dalam khittah  NU, yang
dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam
berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan
dan politik. 
Organisasi ini bertujuan untuk menegakkan ajaran
Islam menurut paham kitab I'tiqād Ahlussunnah Wal
Jama’ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk
mencapai tujuannya tersebut, NU menempuh berbagai
jenis usaha di berbagai bidang, antara lain sebagai berikut: 
1. Di bidang keagamaan, melaksanakan dakwah
Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan
yang berpijak pada semangat persatuan dalam
perbedaan. 
2. Di bidang pendidikan,  menyelenggarakan
pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam,
untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi
luhur, berpengetahuan luas. Hal ini terbukti dengan
lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang
bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai
daerah khususnya di Pulau Jawa bahkan sudah
memiliki cabang di luar negeri. 
30
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan
kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai
dengan nilai keislaman dan kemanusiaan. 
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan
kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan,
dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi
rakyat. Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan
Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti
membantu masyarakat. 
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat
bagi masyarakat luas. 
 
f. Muhammadiyah 
Organisasi ini didirikan di Yogyakarta
pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H.
Ahmad Dahlan. Kegiatan Muhammadiyah
dipusatkan dalam bidang pendidikan, dakwah
dan amal sosial. Muhammadiyah mendirikan
berbagai sekolah Islam ala Belanda, baik
dalam satuan pendidikan, jenjang maupun
kurikulumnya. Muhammadiyah pun menerima
subsidi dari pemerintah Belanda. 
Organisasi ini sangat menekankan
keseimbangan antara pendidikan agama dan
pendidikan umum, serta pendidikan
keterampilan. Para alumni lembaga pendidikan
Muhammadiyah diharapkan memiliki aqidah
Islam yang kuat, sekaligus memiliki keahlian
31
untuk hidup di zaman modern. 
Dengan bekal aqidah, pendidikan dan
keterampilan yang baik, kaum muslimin dapat
mengembangkan kualitas hidup mereka sesuai
dengan tuntutan ajaran al-Qur'an. Bahkan
sampai sekarang, Muhammadiyah merupakan
ormas Islam besar yang memiliki satuan-
satuan pendidikan sejak dari Taman Kanak-
kanak hingga Program Pasca sarjana. 
Dalam bidang amal sosial, ormas Islam ini
memiliki antara lain beberapa puluh rumah
sakit, Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA)
dan Panti Asuhan. 
2. Gerakan Politik
  Islam tidak dapat menerima penjajahan dalam
segala bentuk. Perjuangan umat Islam dalam 
mengusir penjajah sebelum abad dua puluh
dilakukan dengan kekuatan senjata dan bersifat
kedaerahan. Di antara partai politik Islam yang
tumbuh sebelum zaman kemerdekaan adalah
Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permi), Sarikat
Islam (SI), dan Partai Islam Indonesia (PII). SI
didirikan di Solo pada tanggal 11 November 1911
sebagai kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam (SDI)
yang didirikan oleh Haji Samanhudi pada tanggal 16
Oktober 1905. 
SI kemudian berubah menjadi Partai Sarikat
Islam Indonesia (PSII). Partai Islam Masyumi pada
awal berdirinya merupakan satu-satunya partai
politik Islam yang diharapkan dapat
memperjuangkan kepentingan seluruh golongan
32
umat Islam dalam negara modern yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Masyumi merupakan partai federasi yang
menampung semua golongan tradisional.

C. Gerakan Wahabiyah
1. Sejarah berdirinya Gerakan Wahabiyah
Istilah Wahabi atau Wahabisme sebenarnya
diberikan oleh orang-orang diluar aliran ini. Karena
kaum Wahabi sendiri menyebut dirinya dengan istilah
“al-Muwahhidun” atau “Ahlu at-Tauhid”. Istilah ini
mencerminkan adanya keinginan untuk menggunakan
secara eksklusif prinsip tauhid yang menjadi landasan
pokok dalam ajaran Islam. Aliran ini dicetuskan
pertama kali oleh Muhammad bin Abdul Wahab bin
Sulaiman at-Tamimi, yang lahir pada tahun 111 5
H/17 03 M di kota kecil Uyainah Najed, sebuah
wilayah yang berada di tengah padang pasir daratan
Arab. Dilihat dari pokok ajaranya adalah upaya
pemurnian kembali ajaran Islam sebagaimana
mestinya yang diajarkan Rasulullah dengan
menegakkan sunnah dan memberantas bid’ah dan
khurafat yang menimpa kaum muslimin yang
diindikasikan sebagai sebab terjadinya kemunduran
umat Islam.,
Kemudian banyak dikembangkan ajaran Islam
dengan dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Ibnu
Taymiyah, dengan mengkosentrasikan kepada 4 hal:
Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, Pemurnian
akidah dari syirik, menolak peran akal dalam akidah,
33
dan membersihkan ajaran Islam dari segala bentuk
khurafat dan takhayul. Sejarah Berdirinya Kaum
Wahabi mengklaim sebagai muslim yang berkiblat
pada ajaran Islam yang pure, murni. Mereka sering
juga menamakan diri sebagai muwahiddun, yang
berarti pendukung ajaran yang memurnikan keesaan
Allah (tauhid). Tetapi, mereka juga menyatakan
bahwa mereka bukanlah sebuah mazhab atau
kelompok aliran Islam baru, tetapi hanya mengikuti
seruan (dakwah) untuk mengimplementasikan ajaran
Islam yang (paling) benar (Salaf). Sejarah Berdirinya
Dakwah Muhammad Ibn Abdul-Wahhab mulai
berkembang disaat ia mulai bekerjasama dengan
Muhammad bin Su’ud, pemimpin dar’iyyah (wilayah
teritorial diluar kepengawasan Kekhalifahan Turki
Usmani). Dengan adanya kerjasama tersebut,
Wahabisme dan keluarga Kerajaan Saudi telah
menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sejak
kelahiran keduanya. Wahabisme-lah yang telah
menciptakan kerajaan Saudi, dan sebaliknya keluarga
Saud membalas jasa itu dengan menyebarkan
pahamWahabi ke seluruh penjuru dunia. Sesuatu tidak
dapat terwujud tanpa bantuan sesuatu yang lainnya.
2. Prinsip Doktrinya
a. Penyembahan kepada selain Tuhan adalah salah,
dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
b. Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan
mengunjungi kuburan orang-orang saleh, termasuk
golongan musyrikin.

34
c. Termasuk dalam perbuatan musyrik
memberikan kata pengantar dalam sholat terhadap
nama Nabi-Nabi atau wali atau Malaikat (seperti
Sayyidina Muhammad).
d. Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang
tidak didasarkan atas Qur’an dan Sunah, atau ilmu
yang bersumber akal pikiran semata.
e. Termasuk kufur juga mengingkari qadar dalam
semua perbuatan dan penafsiran qur’an dengan
jalan ta’wil.
f. Dilarang memakai tasbeh dalam mengucapkan
nama Tuhan dan doa-doa (wirid) cukup dengan
menghitung jari.
g. Sumber syariat islam dalam soal halal dan
haram hanya Qur’an semata-mata dan sumber lain
sesudahnya ialah sunnah Rasul.
h. Sumber syari’at dalam soal halal dan haram
hanya al-Qur’an dan as-sunnah. Perkataan
mutakallimin dan fuqaha’ tidak menjadi pegangan.
i. Menghukumi bid’ah hal-hal yang tidak ada dan
tidak dilaksanakan pada masa Nabi SAW seperti:
Berkumpul dalam merayakan maulid Nabi,
berdzikir (wiridan) bersama, berdoa melalui
tawassul, dan buku yang mengajarkan tawasulat
harus dirampas dan dibakar karena dianggap
sumber kesesatan. Kehidupan serta kebiasaan
sehari-hari yang tidak terdapat dimasa Nabi adalah
bid’ah dan harus diberantas sampai kepada yang

35
sekecil-kecilnya. Seperti merokok, minum kopi dan
sebagainya.
3. Ciri-ciri Gerakan Wahabiyah
a. Menutup pintu kebenaran dari pendapat orang
lain
b. Mengagung-agungkan tokoh-tokoh Wahabiy
c. Melarang bertawasul kepada orang yang tidak
hadir, terlebih yang meninggal dunia.
d. Melarang Tradisi Tahlilan
e. Menyesatkan Peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW
D. Gerakan Salafiyah
Salafi merupakan salah satu aliran dalam islam yang
mengajarkan islam secara murni tanpa adanya penambahan
dan pengurangan. Salafi menyandarkan prinsip ajarannya
pada tiga generasi yaitu; Muhammad SAW dan sahabat-
sahabatnya, dan dua generasi berikut setelah mereka;
Tabi'in dan Taba 'at-Tabi'in, sebagai contoh bagaimana
Islam harus diperlakukan. Salafi dalam masalah fiqh
berkiblat pada mazhab Imam Ahmad Bin Hambali,
sehingga salafi masih dikategorikan sebagai Ahlusunnah
Wal Jama’ah.
Ibnu Taymiyyah merupakan tokoh salafi yang paling
berpengaruh dalam perkembangan ajaran salafi. Ia
36
menegaskan bahwa jika terjadi pertentangan
antara aql dan naql maka yang harus diutamakan
adalah naql karena yang lebih tahu adalah Allah dan
Rasulnya.
Salafi memiliki tiga pokok ajaran dasar yaitu : Keesaan
dzat dan sifat Allah, Keesaan penciptaan oleh Allah, dan
Keesaan ibadah kepada Allah. Sehingga konsekwensi
dimasukkannya ibadah dalam kajian teologi kaum salaf
melahirkan tindakan praktis yaitu: pelarangan mengangkat
manusia  (hidup atau mati) sebagai perantara (wasilah)
kepada Tuhan atau dengan kata lain dilarangnya
bertawassul, larangan memberi nazar kepada kuburan atau
penghuninya atau penjaganya, dan larangan ziarah kubur
orang-orang saleh dan para nabi.
Salafi masuk ke Indonesia banyak di pengaruhi ide dan
gerakan pembaruan oleh  ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan
Jazirah Arabia. Ide dan gerakan ibn ‘Abd al-Wahhab diduga
masuk ke Indonesia dibawah oleh ulama asal Sumatra Barat
pada awal abad 19. Gerakan ini merupakan gerakan salafi
yang pertama di Indonesia  yang kemudian di kenal sebagai
gerakan padiri yang tokoh utamanya adalah Tuanku Imam

37
Bonjol.
E. Westernisasi
Westernisasi adalah salah satu program yang dirancang
oleh bangsa Barat. Dengan tujuan mengakomodir semua
pola kehidupan masyarakat agar digiring untuk mengikuti
budaya dan kebiasaan bangsa Barat. Gerakan ini juga
berupaya menjadikan seluruh umat Muslim mengikuti
paradigma dan gaya barat. Baik itu dalam aspek politik,
sains dan religiusitas.
Westernisasi ini mempunyai jangkauan yang teramat
luas, meliputi keyakinan, politik, ekonomi, sosial, budaya,
hingga tehnologi. Gerakan westernisasi di dunia Islam,
memiliki tujuan mendasar yakni melakukan upaya
pengubahan terhadap seluruh ajaran Islam. Memisahkan
umat Islam dari jati dirinya, berusaha melontarkan keragu-
raguan terhadap agama.
F. Sekularisme

ٌّ‫ت ال َّشي ْٰط ۗ ِن ِا َّن ٗه لَ ُك ْم َع ُدو‬ ُ ‫اَ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُنوا ْاد ُخلُ ْوا فِى الس ِّْلم َك ۤا َّف ًة َّۖواَل َت َّت ِبع ُْوا ُخ‬
ِ ‫ط ٰو‬ ِ
ٌ‫م ُِّبيْن‬

38
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam
Islam secara keseluruhan dan janganlah kalian mengikuti
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya setan itu musuh
nyata kalian (QS al-Baqarah [2]: 108).
Imam Ibnu Katsir memaknai ayat itu dengan menyatakan,
“Allah Zat Yang Mahatinggi berfirman dengan
memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman
kepada-Nya lagi membenarkan Rasul-Nya agar mengambil
semua buhul Islam dan syariahnya, mengamalkan semua
perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya
seoptimal mungkin.” (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm,
I/565).
Sekularisme merupakan sebuah paham yang hanya
mengedepankan pada kebendaan semata dan memisahkan
antara kehidupan dunia dengan akhirat, bahkan faham ini
selalu memperjuangkan hak untuk bebas dari berbagai
aturan-aturan dari ajaran agama, mereka berkeyakinan bahwa
semua kegiatan keputusan yang keseluruhannya berada dan
dibuat oleh manusia, tidak boleh ada peran dan campur
tangan agama di dalamnya. Sekularisme merupakan sebuah
ideology yang pada mulanya berkembang di dunia Barat dan

39
kemudian terus menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia
tak terkecuali dunia Islam dan juga Indonesia pada
khususnya. Tujuan utama dari paham ini adalah untuk
memisahkan antara urusan manusia dengan urusan Tuhan
dalam semua aspek kehidupan, ciri-ciri alirannya dan
pengaruhnya dalam dunia pendidikan sangat besar, yang saat
ini diakui atau tidak bahwa paham tersebut telah masuk dan
mempengaruhi semua aspek kehidupan umat Islam, terutama
dalam aspek pendidikan.

BAB II
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MODERN DI
INDONESIA

A. Corak pemikiran modern islam di Indonesia


1. Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Mempengaruhi
Pemikiran Islam Pada Masa Modern
Periode Modern (1800 M dan seterusnya)
merupakan zaman kebangkitan umat Islam.
Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan dunia
Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru

40
yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam.
Raja-raja dan pemuka- pemuka Islam mulai
memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan
kekuatan umat Islam kembali. Di periode modern
inilah timbul ide-ide pembaharuan dalam Islam.

Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan


kembali Islam, setelah mengalami kemunduran diperiode
pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan
pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan
pembaharuan itu paling tidak muncul karena dua hal.
Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa
banyak ajaran-ajaran asing yang masuk dan diterima
sebagai ajaran Islam. ajaran-ajaran ini bertentangan dengan
semangat ajaran Islam yang sebenarnya, seperti bid’ah,
khurafat dan tahayyul. Ajaran-ajaran inilah, menurut
mereka yang membawa Islam menjadi mundur. Oleh
karena itu mereka bangkit untuk membersihkan Islam dari
ajaran atau paham tersebut. Kedua, pada periode ini barat
mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban.
Persentuhan dengan barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam
akan ketertinggalan mereka. Karena itu, mereka berusaha
41
bangkit dengan mencontoh barat dalam masalah-masalah
politik dan peradaban untuk menciptakan balance of
power.

Sepanjang 12 abad pertama sejarahnya, Islam hidup


dengan kesadaran penuh terhadap kebenaran dan realisasi
janji tuhan kepada kaum muslimin, bahwa mereka akan
menang apabila mereka mengikuti agama-Nya. Mereka
menang di dunia ini, terlepas dari perang Salib dan
penaklukan singkat atas dunia Islam oleh bangsa Mongol,
lantaran mujahidin perang Salib kalah dengan cucu Hulagu
Khan, Uljaitu, menganut agama Islam dan dalam
kenyataannya telah menjadi penyokong bagi pengetahuan
Islam dan seni. Sesudah itu datanglah penaklukan atas
berbagai kawasan Islam oleh bangsa-bangsa Inggris,
Prancis, Belanda, Rusia, belum lagi penaklukan sampingan
oleh bangsa-bangsa Portugis dan Spanyol. Walaupun kaum
muslimin semula agak enggan terhadap signifikasi jangka
panjang kejadian-kejadian ini, akan tetapi, penaklukan
Napoleon atas Mesir menimbulkan satu kejutan yang
membuat pemimpin-pemimpin muslim sadar akan dimensi

42
dan makna penaklukan barat atas Islam.

Selain itu, ketika tiga kerajaan besar Islam sedang


mengalami kemunduran di abad ke- 18 M, Eropa barat
mengalami kemajuan dengan pesat. Kerajaan Safawi
hancur di awal abad ke-18 M dan kerajaan Mughal hancul
pada awal paro kedua abad ke-19 M di tangan Inggrisyang
kemudian mengambil alih kekuasaan di anak benua India.
Kekuatan Islam terakhir yang masih disegani oleh lawan
tinggal lagi Kerajaaan Usmani di Turki. Akan tetpi yang
takhir ini pun terus mengalami kemunduran demi
kemuduran, sehingga dijuluki dengan the sick man of
Europa. Kelemahan kerajaan-kerajaan Islam itu
menyebabkan Eropa dapat mencaplok negeri-negeri Islam
dengan mudah.

Dengan demikianlah timbul apa yang disebut


pemikiran dan aliran pembaharuan atau modernisasi dalam
Islam. Para pemuka Islam mengeluarkan pemikiran-
pemikiran bagaimana caranya membuat umat Islam maju
kembali sebagaimana keadaannya pada periode klasik.
Usaha-usaha kearah itupun mulai dijalankan dalam kalangan
43
umat Islam, namun pada dalam periode modern ini, barat
juga bertambah maju, sehingga sering terjadi perbenturan
antara peradaban barat dan peradaban Islam, yang sekarang
populer disebut dengan Al-Ghazwah Al- Fikriyah.

2. Pemikiran Islam Dalam Bidang Teologi,


Filsafat, Politik, Yang Berkembang Pada Masa
Modern
a. Teologi
Pemikiran teologi Abduh mempunyai
dimensi yang sangat luas apalagi jika dikaji
sampai detail-detail masalah dan dibahas dan
argumen-argumen yang diajukan. Pemikiran
Abduh sudah banyak yang ditulis ada yang
sifanya pengenalan, pembahasan secara
sederhana dan ada pula yang cukup
mendalam. Istilah yang digunakan oleh
Abduh dalam teoliginya adalah ilmu tauhid
yang menurutnya adalah suatu ilmu yang
membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat
yang wajib pada-Nya, sifat-sifat yang jaiz dan
yang muhal. Disamping itu juga membahas
para Rasul Allah, bagaimana meyakinkan
kerasulan, meyakinkan apa yang wajib bagi
mereka apa yang boleh dan apa yang terlarang
menghubungkannya

44
45
BAB III
PENDIDIKAN IBNU SINA

A. Biografi Singkat Ibnu Sina


Tingkah laku juga dapat menjadi tolok ukur bagi orang
lain untuk menilai seberapa baik atau buruknya sifat
seseorang lainnya. Apabila tingkah laku tersebut baik
tentunya kesan yang ditinggalkan mengenai orang tersebut
juga adalah kesan yang baik, namun apabila tingkah laku
buruk maka orang tersebut tentunya akan mempunyai citra
diri yang buruk pula di depan orang – orang lain. Nama
lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Husain ibn Abdullah
ibn al- Hasanibn Ali Ibn Sina al-Hakim. Ibnu Sina lahir
pada tahun 370 H/980 M. Beliau dilahirkan di Khormeisan
berdekatan dengan Bukhara dan berbangsa Balkha
(ahliBalkha), sekarang Uzbekistan, ibu kota Samani,
sebuah kota peninggalan dari dinasti Persia di Asia Tengah
dan Khurasan. Ibunya bernama Satareh juga berasal dari
Bukhara, dan ayahnya bernama Abdullah seorang
penganut Ismailiyah yang disegani, dan merupakan
ilmuwan dari Balkha, sebuah kota penting dari kekuasaan
46
Samani yang sekarang merupakan bagiandari wilayah
Afghanistan. Banyak literasi yang membahas tentang
tokoh pemikir Islam ini dan diterjemahkan dalam berbagai
bahasa. Baik berbentuk cetak atau digital. Tiap kali
berbicara filsuf Muslim pendahulu tentu tidak akan
terlepas pembahaan tentangnya. Maka dari itu penulis
membahas secara singkat sejarah hidup Ibu Sina atau
dalam bahasa internasional dikenal dengan nama
Avicenna. Pendidikan yang ditempuh Ibnu Sina
kebanyakan sama dengan yang lainnya, namun terdapat
keistimewaan ketika kecil sudah terlihat kecerdasannya
yang luar biasa bahkan sulit dicari tandingannya, dikatakan
bahwa ia hafal al- Qur’an dalam usia di bawah 10 tahun.
Dalam hal ini, Ahmad Fuad al- Ahwani mengatakan “Pada
usia 10 tahun ia telah menyelesaikan pelajaran Al-qur’an,
sastra dan Bahasa Arab. Kemudian ia belajar ilmu fiqih
pada seorang guru yang bernama Ismail yang terkenal
sebagai sosok zuhud. Di samping itu, ia belajar metematika
dan ilmu ukur pada ‘Ali Abu ‘Abdullah an- Natili.
kemudian setelah itu ia belajar sendiri dengan membaca
berbagai buku, termasuk buku Syarh sehingga menguasi
47
ilmu semantik. Tidak ketinggalan pula ia mempelajari
buku Ocledeus menenai ilmu ukur (geometri) dan buku-buku
lain tentang ilmu kedokteran. Dalam usia 18 tahun ia telah
selesai mempelajari semua ilmu tersebut”. Ibnu Sina kurang
lebih meninggalkan 267 buku. Kebanyakan berbahasa Arab,
selainnya berbahasa Persia. Karyanya yang terkenal antara
lain: As-syifa’, An Najah, al Isyarah wa at Tanbihat, al-
Qanun fi at Thibb yang selama lima abad menjadi literatur
penting bagi fakultas kedokteran di Eropa. Kecerdasan luar
biasa yang dimilikinya membuatnya tak berhenti belajar, ia
melanjutkan pengetahuannya tentang logika, matematika dan
geometri, dengan belajar sendiri. tidak berapa lama setelah
itu, ilmu-ilmu tersebut dapat dikuasainya. Kemudian ia mulai
membaca semua buku yang ditulis untuk ilmu kedokteran.
Tak lama berselang, lalu ia memiliki keduduka yang sama
seperti seorang dokter. Rupanya kepandaian seorang dokter
itu tidak menjadi tujuannya. Hingga padasaat usianya
menginjak 18 tahun, ia berkata “Kalau malam sudah datang,
aku harus segera pulang ke rumah. Kuletakkan lampu di
depanku, maka sibuklah aku membaca dan menulis. Jikalau
kantuk menyerangku atau aku merasa cape, maka aku

48
menoleh ke samping dan aku mnnum segelas anggur, agar
kantuk hilang atau kekuatanku kembali. Kemudian
kembalilah aku membaca. Demikianlah kerja kutiada
hentinya, sehingga aku dapat menguasai berbagai ilmu
pengetahuan. Segala ilmu yang aku pelajari waktu itu, masih
kuingat sekarang, ketika aku menulis sejarah hidup ini. Pada
hari ini, tidak ada lagi ilmuku bertambah”. Hal ini menjadi
bukti bahwa Ibnu Sina merupakan sosok yang gemar belajar.
Maka dari itu tidak heran jika sejarah mencatat namanya
sebagai cendikiawan. Pekerjaan pertamanya menjadi
fisikawan untuk emir, yang diobatinya dari suatu penyakit
berbahaya. Majikan Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal
tersebut dengan memberinya akses ke perpustakaan Raja
Samanids, pendukung pendidikan dan ilmu. Ketika
perpustakaan kebakaran, musuh- musuh IbnuSinamenuduh
dialah orang yang membakarnya, dengan tujuan untuk
menyembunyikan sumber pengetahuannya. Ibnu Sina wafat
pada tahun 428 H/1037 M, tepatnya di Hamadan Iran, karena
penyakit maag kronis. Ia wafat ketika sedang mengajar di
sebuah sekolah. Saat itu dia sedang sakit parah, namun tetap
bersikeras untuk mengajar anak-anak. Sehingga saat di

49
larikan ke dokter nyawanya sudah tidak tertolong lagi.
B. Pokok-Pokok Pemikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan
Penjelasan sebelumnya telah dipaparkan sejarah singkat
dari perjalanan hidup ibnu Sina. Saat ini akan dijabarkan
mengenai pokok pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan.
Ibnu sina adalah tokoh filsuf muslim yang masyhur di
telinga. Pemikiran- pemkirannya dapat dilihat dan
ditemukan dari berbagai karya yang dibuatnya, dan telah di
terjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Nama Ibnu Sina
semakin dikenal ketika ada orang lain yang membahas
tentang pemikirannya. Salah satunya adalah Prof. Dr.
Muhammad Athiyah Al Abrasy dengan judul Al-Tarbiyah
Al-Islamiyahwa Falasifatuha, yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi “Pokok- Pokok Pikiran
Ibnu Sina tentang Pendidikan” oleh Syamsuddin Asyrafi,
Ahmad Warid Khan dan Nizar Ali, berikut beberapa poin
pemikiran pendidikan menurut Ibnu Sina yang di paparkan
sebagai berikut dibawah ini :
1. Kurikulum Tingkat Pertama dalam Pendidikan Islam
Ibnu Sina mempunyai pendapat yang cukup terkenal
dalam bidang Pendidikan Anak. Pandangan beliau
50
mengenai kurikulum tingkat pertama dalam pendidikan
Islam dapat dikemukakan sebagai berikut: Pertama- tama
sebaiknya anak itu belajar Al- qur’an, tentu saja ketika
anak tersebut telah siap secara fisik dan mental untuk
belajar. Pada waktu yang sama, ia seyogyanya juga belajar
huruf abjad, diajarkan dasar-dasar pendidikan agama dan
belajar syair dengan dimulai syair-syair sederhana agar
mudah dihafal. Lalu syair-syair berisikan tentang budi
pekerti, penghargaan tentang ilmu, celaan terhadap
kebodohan, dorongan melakukan perbuatan baik, berbakti
kepada orang tua dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, pertama-tama sebaiknya seorang anak
itu diberi pelajaran Al-Quran. Guru mengawalinya dengan
membacakan surat-surat pendek, ayat demi ayat kemudian
ditirukan anak-anak berulang kali hingga mereka hafal.
Periode pertama seorang anak tentunya mereka belum bisa
membaca, oleh karena itu guru yang mencontohkan,
mentalkin anak supaya mereka bisa mengikuti ayat-ayat
yang dibacakan gurunya.
Setelah itu, mereka juga belajar pelajaran lain seperti
membaca dan menulis huruf hijaiyah, tanda baca seperti
51
fathah/fathatain, kasrah/kasratain, dlommah/dlomatain.
Latihan merangkai huruf menjadi kata dan kata menjadi
kalimat. Setelah anak selesai menghafal surat-surat pendek
Al-qur’an dan mengetahui dasar-dasar tata bahasa Arab
secara sederhana, barulah kemudian diarahkan untuk
mempelajari pelajaran lainnya sesuai dengan tingkat
kesiapandan kemampuannya.
2. Pendidikan Keterampilan sebagai Bekal Hidup
Menurut Ibnu Sina apabila anak telah selesai belajar Al-
qur’an dan menguasai dasar-dasar tata bahasa Arab secara
sederhana, kalau dipandang perlu, hendaknya diberi juga
pelajaran keterampilan. Dengan catatan, guru harus
menyadari betul bahwa tidak setiap pelajaran keterampilan itu
cocok bagi setiap anak, namun harus disesuaikan dengan
bakat dan minatnya. Sebagai contoh, kalau seorang anak
senang keterampilan menulis, maka dalam pelajaran bahasa
perlu ditambahkan materi pelajaran surat menyurat, masalah
kehumasan, administrasi umum (administrasi perkantoran),
keterampilan menulis halus, sebaliknya kalau dia
menghendaki keterampilan lain yang sesuai dengan bakat dan
minatnya, juga harus dilayani.

52
Bila materi-materi pendidikan dasar ini telah dapat
diselesaikan dengan baik, selanjutnya yang perlu diperhatikan
kembali adalah masalah bakat dan minat siswa tersebut. Jika
minatnya kepada hal-hal yang praktis, maka dia harus
diarahkan pada materi pendidikan yang bersifat ketrampilan.
Sebaliknya, bila minatnya kepada masalah seni sastra atau
kebudayaan, sebaiknya dia diberi kesempatan dan fasilitas
yang berkaitan dengan itu, agar kelak dia benar-benar
menjadi seorang sastrawan atau budayawan. Namun apabila
dia berminat pada ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran,
obat- obatan, kimia dan matematika, maka seyogyanya dia
diberi kesempatan untuk belajar mendalami ilmu tersebut,
3. Sifat-sifat yang Harus dimiliki guru (pendidik)
Menurut Ibnu Sina, seorang guru itu seyogyanya adalah
seseorang yang berakal sehat, kuat agamanya, berakhlak
mulia, pandai mengambil hati anak didik, berwibawa,
berkepribadian yang tangguh, berwawasan yang luas dan
tidak statis, manis tutur katanya, cerdik, terpelajar, necis dan
berhati suci. Disampingitu seorang guru haruslah orang
yang mendalam ilmu pengetahuan agamanya, seorang yang
shaleh dan bertaqwa kepada Allah SWT dan Rasul Nya.

53
Seorang guru harus merasa takut melakukan perbuatan
yang dilarang oleh Allah baik diketahui orang lain atau
tidak. Ibnu Sina juga menganjurkan seorang pendidik
hendaklah orang yang mengetahui dan mengenal betul
dunia anak-anak. Itulah sebab mendidik mereka
memerlukan pengalaman dan penelitian mendalam serta
persiapan khusus, disamping etika atau tata krama lahiriah
yang baik.
Kunci utama membenahi sistem pendidkan dan
persekolahan kita ialah dengan mempersiapkan guru atau
pendidik secara profesional. Ibnu Sina juga menyarankan
hendaknya guru itu seorang yang cerdik dan terpelajar.
Guru tidak boleh seorang yang berwawasan sempit dan
statis, guru yang cerdik dan terpelajar akan disenangi dan
dihormati peserta didiknya. Mereka akan memperhatikan
pelajaran yang disampaikan, mereka tidak akan melanggar
peraturan sekolah, meninggalkan kelas (bolos) dan lain
sebagainya. Oleh karena itu seorang guru harus tulus dalam
mendidikik, memperhatikan waktu belajar siswanya, selalu
berpikir untuk meningkatkan kemampuan mereka dan
berkeyakinan bahwa anak- anak itu adalah aset bangsa
54
pada masa yang akan datang. Guru hendaknya mengetahui
betul tuntunan realita hidup dimasyarakat, sehingga
diharapkan mampu membekali anak didiknya dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang di perlukan.
4. Pentingnya Pendidikan Budi Pekerti (Akhlak)
Ibnu Sina menekankan perkembangan anak itu diwarnai
oleh nilai-nilai keagamaan yang baik, dan untuk
mewujudkan hal itu, Pendidkan Agama mutlak diperlukan.
Disamping itu hendaknya seorang anak itu kalau diajarkan
seni sastra(syair), seyogyanya yang mengandung nilai-
nilai yang positif dan mengarah pada pembentukan pribadi
dan akhlak yang mulia.
Pendidikan budi pekerti (akhlak) ini sebenarnya
merupakan tujuan utama pendidikan pada umumnya, sebab
tujuan pendidikan pendidikan itu adalah membentuk orang
yang berbudi pekerti luhur disamping menumbuhkan
kepribadian yang kuat. Para ahli pendidikan di abad ke-20
ini telah sepakat bahwa pendidikan budi pekerti adalah
tujuan pertama dan utama. Akan tetapi, hal ini tidak berarti
bahwa kurang memperhatikan pendidikan jasamani,
pertumbuhan akal pikiran, kepedulian sosial, kegiatan
55
praktis atau keterampilan maupun aktivitas keilmuan
lainnya. Sebab dalam pertumbuhannya peserta didik sangat
memerlukan fisik jasmaniah yang sehat dan kuat, begitu
juga perkembangan akal pikiran, etika, kepedulian sosial
yang baik, terampil bekerja dan senang akan ilmu
pengaetahuan.
Ibnu Sina memang benar-benar merindukan
terlaksananya pendidikan akhlak ini, sebab menurut beliau,
akhlak (budi pekerti) itu bagi kehidupanmanusia adalah
segala-galanya. Nilai kehidupan itu sendiri sebenarnya
terletak pada akhlak tersebut. Pendidikan modern dewasa
ini dengan tegas mengingatkan kepada guru bahwa
pendidikan itu tidak hanya bertujuan transformasi ilmu
semata, namun bertujuan terwujudnya akhlak (budi
pekerti) yang mulia, seperti terbentuknya siswa yang
berkepribadian baik mandiri, rajin bekerja, berlaku adil
dalam segala hal, membiasakan diri berbuat baik dan
bersikap hati-hati, berbicara dengan baik dan jujur,
menepati janji, tulus beramal, menunaikan kewajiban
dengan penuh tanggung jawab.
5. Pentingnya memilih Teman yang Baik Akhlaknya
56
Ibnu Sina berpendirian bahwa seyogyanya seorang anak
itu di sekolah berkawan dengan teman yang memiliki
kebiasaan yang baik dan berakhlak mulia, sebab itu
biaanya meniru kebiasaan temannya. Kalau temannya
nakal, dia akan ikut-ikut nakal dan sebaliknya bila anak
yang baik, dia akan menjadi baik pula. Dalam mendidik
anak agar menjadi anak yang berbudi pekerti yang baik,
pengaruh suri tauladan, lingkungan dan kebiasaan anak itu
adalah meniru temannya baik ucapan, tingkah laku maupun
kebiasaan hidupnya. Sebab kecenderungan meniru
merupakan pembawaan anak.
Oleh karena itu, kita harus pandai- pandai memilih
lingkungan tempat bergaul anak atau anak didik kita. Kita
harus sering menanyakan kepadanya siapa saja teman-
temannya, selalu diingatkan agar pandai memilih teman
yang baik dan jangan sangan bergaul dengan anak yang
tidak baik seperti yang jahat perangainya, tidak
mempunyai malu, suka membangkang dan anak yang
memilki kelainan jiwa. Sebab anak itu mudah dan cepat
meniru dan terpengaruh teman-temannya baik di sekolah,
di masyarakat maupun di tempat-tempat lain.
57
6. Manfat Bercanda ria antar Sesama Anak
Bercanda ria antar anak itu sangat berguna sekali untuk
pengembangan dan pertumbuhan akal pikiran mereka,
karena masing-masing anak akan mengemukakan apa saja
yang dilihat dan didengarnya. Sering percakapan mereka
terdapat cerita-cerita unik yang sangat menarik dan
mendorong temannya untuk menghafal dan menceritakan
kembali. Kemudian antar mereka saling bercerita dan
menghafal cerita itu satu sama lain. Semuanya itu akan
menumbuhkan sifat kompetitif, perasaan saling merasa
hebat, saling mengenal, saling meniru. Aktivitas seperti itu
sebenarnya merupakan media transformasi pendidikan budi
pekerti (akhlak) pengembangan cita- cita dan penanaman
baik di kalangan mereka.
7. Hukuman (sanksi)
Ibnu Sina disamping telah meletakkan dasar-dasar
pendidkan budi pekerti (akhlak), beliau tidak lupa
menyampaikan pandangannya tentang hukuman(sanksi)
terhadap anak didik. Beliau memberikan gambaran yang
komprehensif tentang cara mendidik anak dan apa saja
sanksi (hukuman) yang seharusnya diberikan kepada anak
58
itu.
Seharusnya pendidikan anak itu dimulai sedini
mungkin. Sejak anak masih menyusui ibunya, hendaknya
sudah dibiasakan dengan hal-hal yang baik, sehingga
kehidupan anak tidak terwarnai oleh kebiasaan-kebiasaan
yang tidak baik, yang sulit dihilangkan jika sudah meresap
pada jiwa anak. Akan tetapi bila terpaksa harus
memberikan sanksi (hukuman), maka hendaklah dijaga
betul perasaan seorang anak. Pertama, jangan sekali- kali
anak diberi hukuman yang berat atau keras, melainkan
hukuman yang lembut dan penuh kasih sayang. Hukuman
hendaknya selang seling, kadang-kadang agak keras dan
menakutkan. Sekali waktu, hukuman itu dalam bentuk raut
wajah masam atau dengan hardikan. Dalam waktu lain
hukuman dalam bentuk sanjungan atau dorongan.
Danyangpaling penting sekali pujian dan motivasi lebih
baik daripada cercaan. Tentusajahal itu disesuaikan dengan
kondisi tertentu.
C. Pemikiran Pendidikan Islam menurut Ibnu Sina dan
Relevansinyapada Pendidikan Islam Saat ini
Pendidikan adalah sesuatu yang esensial bagi manusia.
59
Dengan pendidikan manusia bisa menghadapi alam semesta
demi mempertahankan hidupnya. Karena pentingnya sebuah
pendidikan, Islam menempatkan pendidikan pada
kedudukan yang penting dan tinggi doktrinnya. Semua
dapat dilakukan asalkan manusia memiliki pengetahuan,
mengerti tata caranya dan dapat mempraktikkannya. Jika
manusia belum mengetahui, maka ia tidak dapat melakukan
sesuatu di alam semesta ini.

Berbicara tentang pendidikan, cakupan yang di bahas


tidak jauh dari komponen pendidikan. Komponen-
komponen yang memungkinkan terjadinya proses
pendidikan ada enam poin, yaitu: tujuan pendidikan, metode
pendidikan peserta didik, pendidik, materi, alat dan fasilitas,
serta lingkungan pendidikan.

Dapat dikatakan bahwa ke-enam komponen ini sangat


urgen sehingga dapat menciptakan proses belajar. Pada
masa Ibnu Sina komponen pendidikan belum administratif
seperti saat ini, namun uraian pemikiran pendidikan Ibnu
Sina lebih Komprehensif dibandingkan dengan era
pendidikan sebelumnya. Pemikiran pendidikan yang
dipaparkan oleh Ibnu Sina pada masanya, masih memiliki
60
relevansi atau bisa dikaitkan dengan problematika
pendidikan saat ini. Terkait hal tersebut dari beberapa
referensi yang diperoleh penulis menjabarkannya sebagai
berikut ini:

1. Tujuan Pendidikan

Menurut Ibn Sina, tujuan pendidikan harus diarahkan


pada pengembangan seluruh potensi yang dimliliki
seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu
perkembangan fsik, intelektual, dan budi pekerti.
Berdasarkanperihal tersebut tujuan pendidikan menurut
Ibnu Sina dapat ditegaskan sebagai proses untuk
menciptakan insan kamil yakni manusia ynag sempurna
yakni terbina seluruh potensi yang dimiliki secara optimal
dan menyeluruh. Sehingga pada akhirnya mampu
melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dimasyarakat.

Selain itu orientasi pendidikan menurutnya harus


diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat
hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan
melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai
dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi yang
dimilikinya.
61
Ibnu Sina nampaknya dalam memformulasikan suatu
tujuan melihat kepada perkembangan potensi dan bakat
yang dimiliki oleh subjek didik secara optimal dan
meyuluruh, sehingga subjek didik dapat mengembangkan
dirinya agar tetapeksis dalam melaksanakan fungsinya
yakni sebagai khalifatullah fi ardhi dalam masyarakat
dengan suatu keahlian yang dapat diandalkan. Dengan
tujuan seperti ini, Ibnu Sina berusaha untuk melakukan
antisipasi agar out- put yang dihasilkan oleh suatu lembaga
pendidikan harus dapat siap kerja dengan keahlian
yangdimilikinya, bukan subjek didik yang menjadi
pengangguran. Jadi, tujuan yang diformulasikan oleh Ibnu
Sina tersebut disamping menciptakan manusia yang
paripurna (insan kamil) juga ingin mendapatkan kerja
(vokasional). Dengankatalain, Ibnu Sina dalam
memformulasikan tujuan pendidikan melihat kepada dua
tujuan yakni tujuan pendidikan yang bersifat universal dan
tujuan pendidikan yang bersifat vokasional. Tujuan
pendidikan ini membuat pendidikan Islam menjadi terarah
dan tidak melenceng jauh dari hakikat seseorang
dalammencari ilmu.

62
2. Hakikat Pendidik

Banyak istilah yang digunakan untuk seorang pendidik,


dalambahasa arabseperti ustadz, mudarris, mu’allim.
Pendidik adalah orang yang memikul pertanggung jawaban
untuk mendidik yang meliputi orang dewasa, orangtua,
guru, pemimpin masyarakat, dan pemimpin agama.

Pendidik dalam Sistem Pendidikan Nasional adalah


tenaga kependidikanyang berkualifikasi sebagai guru, dosen
konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor, instruktur,
fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan. Berdasarkan
beberapapendapat di atas, seorang pendidik merupakan
panutan, contoh atau figur bagi peserta didiknya. Tidak ada
satupun cacat yang tampak daripadanya. Bahkanbukan
hanya sifat yang perlu dijaga, cara berpakaian yang layak
juga nantinyamenjadi contoh bagi yang lainnya. Khususnya
terhadap peserta didiknya. DalamIslam runtutan pendidik
ada empat tingkatan;

a) Allah sebagai pendidik utama, sebagaimana dalam Q.


S ar-Rahman 1-4yangartinya “Tuhan yang Maha
63
Pemurah(1),Yang telah mengajarkan Quran (2),
Diamenciptakan manusia(3), Mengajarkannya pandai
berbicara(4)”.

b) Rasulullah sebagai pendidik, kita ketahui bahwa


Rasulullah diutus untukmenyempurnakan akhlak, yang pada
saat itu masyarakat arab berada pada titikkebodohan.

c) Orang tua sebagai pendidik, contoh pendidikan dalam


keluarga dilakukanolehLuqman, dengan
memberikannasehat-nasehat tentang agama kepada
anaknya. Kita ketahui pula bahwa yang bersinggungan
pertama kali dengan seoranganakadalah kedua orang
tuanya, terutama ibu. Maka dari itu ibu metupakan
sekolahpertama untuk anak-anaknya.

d) Setiap orang adalah pendidik asalkan dia punya ilmu.


Manusia adalah educandum(membutuhkan pendidikan) dan
educandus (dapat mendidik orang lain). SelainituIslam
mewajibkan para pendidik untuk mendidik orang lain
menghindari kemunkaran. Sesuai dengan hadis Nabi:
Artinya: Jika kamu melihat perbuatan munkar (keji, tindak
kejahatan) makahendaklah kamu merubah dengan
tangannya, jika tidak mampu dengan lisannya, jika tidak
64
mampu dengan hatinya dan hal yang terakhir ini adalah
selemah-lemahiman. (HR. Muslim).

Dalil tersebut telah masyhur didengar dan disampaikan.


Islamtidak pernahmembiarkan keburukan terjadi, maka dari
itu ketika melihat kemunkaranataukekeliruan dalam
melakukan suatu tidakan agar diberi teguran, ini adalah
bentukdari pendidikan dalam agama Islam.

Empat tingkatan pendidik yang telah disebutkan


sebelumnya merupakanbukti, bahwa sosok atau figur
seorang pendidik tidak bisa digantikan. Seseorangyang
ingin mencari ilmu harus mengetahui sosok
pendidiknya(gurunya).

3. Hakikat Peserta didik

Secara umum, peserta didik adalah setiap orang yang


menerima pengaruhdari seseorang atau sekelompok orang
yang menjalankan kegiatan pendidikan. Sedangkan menurut
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
tahun2003 pasal 1 ayat 4 menyenebutkan Peserta didik
adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersediapada

65
jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

Pengertian klasik menyebutkan bahwa peserta didik


layaknya gelas kosongtanpa berisikan air setetespun,
sehingga mereka terus menerus diisi air oleh pendidiknya.
Namun teori terbaru mengatakan bahwa mereka adalah
gelas yangtelah terisi oleh sesuatu, dan peran pendidik
adalah sebagai fasilitator. Membantu peserta didik
mengembangkan pengetahuan, potensi atau kemampuan
yang telah diperoleh dan dimilikinya.

Peserta didik dalam pandangan Islam ialah anggota


masyarakat yangberusaha mengembangkan dirinya melalui
proses pendidikan menjadi manusiayang mempunyai ilmu,
iman-takwa serta berakhlak mulia sehingga mampu
menjalankan fungsinya sebagai pengabdi kepada Allah dan
sebagai khalifah.

Adapun etika yang harus dimiliki peserta didik dalam


bab ini, salah satunyadipaparkan oleh al-Abrasyi. Etika
tersebut diantaranya adalah: a) Hendaknyamensucikan hati
dari hal buruk, b) Belajar ditujukan untuk memperbagus
jiwadengan kesempurnaan mendekatkan diri kepada-Nya.,
c) Tekun dan jauhdari penduduk dan kampung halaman, d)
66
Tidak terburu-buru pindah ke sekolah lain, d) Menghormati
gurunya, e) Tidak menyulitkan guru dengan banyak
bertanya, f) Tidak membuka aib gurunya, dan lain
sebagainya.

4. Metode Pendidikan

Pembahasan tentang metode pendidikan Islam dalam bab


ini erat kaitannyaagar tercapai tujuan pendidikan yang
sudah di bahas sebelumnya. Penguasaanguru terhadap
berbagai metode pendidikan amat diperlukan. Pasalnya
tidakadasatu metode pendidikan yang tepat guna untuk
semua tujuan pendidikan, semuailmu, semua isi pelajaran,
semua tahap perkembangan, kematangandankecerdasan
peserta didik.

Oleh karena itu penggunaan metode pendidikan haruslah


dipertimbangkanadanya. Dalam Islam menggunakan
metode pendidikan perlu memperhatikandasar-dasar sebagai
berikut:

a) Dasar Agamis, pelaksanaan metode pendidikan harus


memperhatikan nilai- nilai sumber utama Islam yakni
Alquran dan Hadist.

67
b) Dasar Biologis, hendaknya memperhatikan kondisi
biologis peserta didik, kebutuhan- kebutuhan jasmani dan
tahap kematangan peserta didiknya.

c) Dasar Psikologis, setiap manusia memiliki kondisi


psikologis yang berbeda. Hal ini bisa dipengaruhi karena
emosi, minat, kematangan, kecerdasan, danlainsebagainya.

d) Dasar Sosial, kondisi sosial juga berpengaruh


terhadap metode yang digunakan. Pasalnya semua peserta
didik berasal dari linkungan sosial yang berbeda pula.
Menjalin interaksi yang baik adalah solusi tepat ketika
menerapkan metodependidikan.

5. Kurikulum Pendidikan

Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai


tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam
pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat
pendidikan. Banyak tokoh yang telah mendefinisikan
tentang kurikulum, salah satunya oleh Abdurrahman Al-
Nahlawi, yang mengartikan seluruh program pendidikan
yang di dalamnya mencakup masalah-masalah metode,
tujuan, tingkat pengajaran, materi pelajaran setiap tahun

68
ajaran, topik-topik pelajaran, sertaaktivitas yang dilakukan
setiap siswa pada setiap materi pelajaran.

Kurikulum menurut Ahmad Tafsir (2005) menjabarkan


bahwa kurikulum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu; a)
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau
dipelajari siswa disekolah atau perguruan tinggi untuk
memperoleh ijazah tertentu, b) sejumlah mata pelajaran
yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau
jurusan. Selanjutnya kurikulum menurut Hilda Taba yang
dikutipAhmad Tafsir (2006), kurikulum meliputi empat
aspek yaitu tujuan, isi, polabelajar mengajar dan evaluasi.

Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum pertama dalam


pendidikan dimulai dari keluarga. Pertama-tama sebaiknya
anak itu belajar Al-quran, tentu saja ketika anak tersebut
telah siap secara fisik dan mental untuk belajar. Pada waktu
yang sama seyogyanya ia juga belajar huruf abjad, diajarkan
dasar- dasar pendidikan agama dan belajar syair dengan
dimulai dari syair-syair yang pendek agar mudah dihafal.
Pemaparan tersebut masih relevan dengan pendidikan Islam
sekarang. Orang-orang di-Barat mempercayai anak-anak
dalam kandungan hendaknya diperdengarkan lagu- lagu
69
klasik agar dapat merangsang kecerdasan otaknya.
Begitupun dalam Islam, orang tua sang bayi diminta agar
sering membaca Al- qur’an yang bukan hanya sebagai
penyejuk hati untuk orang tuanya, melainkanamat baik
untuk masa depan sang anak pula.

Kemudian Dasar yang menjadi landasan kurikulum


pendidikan Islamsaat ini ditinjau dari beberapa aspek:

a) Dasar agama, semua itu dikembalikan kepada dua


sumber utama yaitu Al-qur’andan Assunnah Nabi SAW.

b) Dasar falsafah, yaitu memberikan arah kepada


kurikulumagar mengandung suatu kebenaran, mengandung
nilai makna hidup dan kehidupan, norma-norma yang
muncul dari individu maupun masyarakat, atau suatu
bangsayang dipengaruhi berbagai faktor.

c) Dasar psikologis, berkaitan dengan ciri perkembangan


individu peserta didik, tahap kematangannya, bakat yang
dimiliki, intelektual, bahasa, emosi, danlainsebagainya.

d) Dasar sosial, berkaitan dengan ciri-ciri masyarakat


Islam yang berlaku prosespendidikan dan kebudayaan
masyarakat.
70
Berdasarkan pemaparan diatas. Pendidikan Islam saat ini
juga meletakkanAl-qur’an sebagai landasan pertama
kemudian baru diikuti dasar-dasar lainnya. Hal ini
membuktikan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya
berasal dari Kalamullah. Jika diurutkan kembali Kalamullah
tersebut bersumber dari AllahSWT sebagai sang pemberi
Ilmu.

6. Evaluasi pengajaran Menurut bahasa kata evaluasi


berasal dari bahasa Inggris evaluation, yangberarti penilaian
atau penaksiran, bisa juga diartikan mengukur.
Pengukurantersebut bersifat kuantitatif jika berkaitan
dengan angka.

Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional


tahun 2003, dalam ketentuan umum pasal 1 No 21
menyebutkan: Evaluasi pendidikan adalah kegiatan
pengendalan, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan
terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur,
jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggung
jawaban penyelenggaraan pertanggung jawaban pendidikan.
Makna evaluasi dalam Al-qur’an, diantaranya: Al-hisab
(mengira, menafsirkan, menghitung), Al-Hukm (putusan,
71
vonis), Al-Qodo (putusan), Musibah (ujian), Bala (cobaan,
ujian), Fitnah (ujian, cobaan, dan bencana).

Dari berbagai kata yang digunakan dalam Alquran


menunjukan falsafahevaluasi dalam Islam bahwa; a)
evaluasi sangat penting dalamkehidupankhususnya
pendidikan, b) evaluasi bukan dimaksud untuk memperbaiki
Tuhan, melainkan memperbaiki ketakwaan seseorang, c)
evaluasi dimaksudkan untukmelatih kesabaran seseorang
terutama menjalani kehidupan, d) bertujuanagar seseorang
selalu istiqomah (konsisten), e) evaluasi dilakukan terus
menerus, karena tidak mungkin seseorang dibiarkan
mengatakan “saya beriman” tanpa diuji.

7. Hakikat Lingkungan Pendidikan Islam

Lingkungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia


adalah wilayah, kawasan yang ditinggali. Menurut Ibnu
Sina anak cenderung meniru kebiasaan lingkungannya,
dalam lingkungan sosial misalnya bergaul dengan teman
sebayanya, anak tersebut akan meniru apa yang dilakukan
temannya, bilatemannya baik maka perilaku mereka akan
positif, namun jika kebalikannya, maka anak tersebutakan
terjerumus ke dalam perbuatan tercela.
72
Lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu yang
mendukungterealisasinya pendidikan. Proses pendidikan
selalu dipengaruhi oleh lingkunganyang ada disekitarnya,
baik lingkungan yang menunjang maupun menghambat
proses pencapaian tujuan pendidikan. Lingkungan yang
mempengaruhi prosespendidikan tersebut yaitu sebagai
berikut:

a. Lingkungan sosial terdiri atas; lingkungan keluarga,


lingkungan sekolah atau lembaga pendidikan, dan
lingkungan masyarakat.

b. Lingkungan keagamaan, yaitu nilai-nilai agama yang


hidup dan berkembangdisekitar lembaga pendidikan

c. Lingkungan budaya, yaitu nilai-nilai budaya yang


hidup dan berkembang disekitar lembaga pendidikan

d. Lingkungan alam, baik keadaan iklim maupun


geografisnya.

e. Sebelum mengenal lingkungan luar, manusia terlebih


dahulu mengenal lingkungan dalam keluarganya. Maka dari
itu lingkungan keluarga yang baik akan membentuk
karakter kuat bagi anak. Mengnjak usia sekolah, barulah
73
mereka menganal kehidupan di lingkungan sekolahnya.
Disana mereka belajar bermacam- macam ilmu pengetahuan
yang belum diperolehnya selama berada di lingkungan
keluarga. Kemudian puncaknya adalah belajar di
Lingkungan masyarakat, bertemu dengan berbagai macam
sifat dan karakter manusia.

f. Berjalannya waktu manusia tumbuh dan mengalami


perubahan, baik perubahanfisik dan cara berfikir mereka
khsunya dalam menyelesaikan permasalahan. Lingkungan
keagamaan, budaya dan alam amat mempengaruhi terhadap
tumbuhkembang manusia itu sendiri.

74
BAB IV
PENDIDIKAN IBNU KHALDUN
A. Biografi Ibnu Khaldun
Nama lengkap Ibn Khaldun adalah Abd al-Rahman bin
Muhammad bin Mohammad bin Hasan bin Jabar bin Mohammad
bin Ibrahim bin Abd al-Rahman bin Khaldun. Dia dilahirkan di
Tunisia, Afrika Utara, pada tahun 732 H atau 1332 M, dari
keluarga pendatang dari Andalusia, Spanyol Selatan, yang pindah
ke Tunisia pada pertengahan abad VII H. Asal keluarga Ibn
Khaldun yang sesungguhnya dari Hadramaut, Yaman selatan.
Nama Ibn Khaldun diambil dari nama kakeknya yang kesembilan,
Khalid bin Utsman. Kakeknya ini merupakan pendatang pertama

75
dari keluarga di Andalusia. Sebagai anggota pasukan Arab
penakluk wilayah bagian selatan Spanyol. Khalid kemudian lebih
terkenal dengan panggilan Khaldun sesuai dengan kebiasaan yang
berlaku bagi penduduk Andalusia dan Afrika Barat Laut waktu
itu, yakni penambahan pada akhir nama dengan “un” sebagai
pernyataan penghargaan kepada keluarga penyandangnya, dengan
demikian Khalid menjadi Khaldun Ibn Khaldun mempunyai
rumah tempat tinggal di kelahirannya di jalan Turbah Bay,
Tunisia. Dan sampai saat ini rumah tersebut masih utuh dan
digunakan untuk sekolah Idarah Ulya.
Keluarganya berasal dari Hadramaut dan silsilahnya
disampaikan kepada seorang sahabat Nabi bernama Wayl ibn
Hujr salah seorang cucu Wayl, Khalid ibn Utsman, memasuki
daerah Andalusia bersama orang-orang Arab penakluk di awal
abad ke-3
H (9 M). Anak cucu Khalid membentuk satu keluarga yang besar
dengan nama Bani Khaldun. Dari Bani inilah nama Ibn Khaldun
berasal.
Bani Khaldun ini pertama kali berkembang di kota Qarmunah
di Andalusia. Di kota inilah mereka bertempat tinggal sebelum
hijrah ke kota Isybilia. Di kota yang terakhir ini bintang Bani

76
Khaldun mulai bersinar. Anggota keluarga Bani Khaldun
menduduki beberapa jabatan penting. Ketika dinasti al-
Muwahhidun mengalami kemunduran di Andalusia, Bani Hafs,
penguasa Isybilia, hijrah ke Tunisia, Afrika karena daerah
kekuasaannya jatuh ketangan penguasa Kristen. Bani Khaldun
juga ikut hijrah ke sana. Abu Bakr di angkat menjadi gubernur di
Tunisa, sementara anaknya, Muhammad ibn Abi Bakr, kakek ibn
Khaldun menjadi menteri kehakiman.
Walaupun kekuasaan Bani Hafsh di Tunisia jatuh ketangan
pemimpin al-Muwahhidun, Amir Abu Yahya al Lihyani (711 H),
kakek Ibn Khaldun tetap menduduki jabatan penting. Akan tetapi,
salah seorang puteranya, Abu Abdillah Muhammad, ayah Ibn
Khaldun, tidak terjun ke dunia politik dan cenderung memasuki
dunia ilmu dan pendidikan.
Secara umum kehidupan Ibn Khaldun dapat dibagi menjadi
empat fase, yaitu:
1. Pertama fase kelahiran, perkembangan, dan studi. Fase ini
berlangsung sejak kelahiran sampai usia dua puluh tahun, yaitu
dari tahun 732 H/1332 M hingga tahun 751 H/1350 M. Fase ini
dilaluinya di Tunis.

77
2. Kedua, fase bertugas di pemerintahan dan terjun ke dunia
politik di Magrib dan Andalusia, yaitu dari tahun 751 H/1350 M
sampai tahun 776 H/1374 M.
3. Ketiga, fase kepengarangan, ketika dia berpikir dan
berkompetensi di Benteng Ibn Salamiah milik Banu Arif, yaitu
sejak tahun 776 H/ 1374 M sampai 784 H/1382 M. Keempat, fase
mengajar dan bertugas sebagai Hakim Negeri di Mesir, yaitu dari
tahun 784 H/1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/ 1406 M.
Keluarga Ibn Khaldun merupakan keluarga ilmuan dan terhormat
yang telah berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan
pemerintahan. Suatu jabatan yang belum dijumpai dan mampu
diraih orang pada masa itu. Sebelum menyebrang keAfrika,
keluarganya adalah para pemimpin politik di Moorish (Spanyol)
selama beberapa abad.
Dengan latar belakang keluarganya yang demikian, ibn
Khaldun memperoleh dua orientasi yang kuat: pertama, cinta
belajar dan ilmu pengetahuan, kedua cinta jabatan dan pangkat.
Kedua faktor tersebut sangat menentukan dalam perkembangan
pemikirannya.
Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad. Ia berkecimpung
dalam bidang politik. Kemudian mengundurkan diri dari bidang

78
politik serta menekuni ilmu pengetahuan dan kesufian. Ia ahli
dalam bahasa sastra Arab. Ia meninggal pada tahun 794 H/1384
M akibat wabah Pes yang melanda Afrika Utara dengan
meninggalkan lima orang anak, ketika ayahnya meninggal, ibn
Khaldun pada waktu itu baru berusia 18 tahun.
Ibn Khaldun, seorang filsuf sejarah yang berbakat dan
cendikiawan terbesar pada zamannya, salah seorang pemikir
terkemuka yang pernah dilahirkan. Sebelum Ibn Khaldun, sejarah
hanya berkisar pada pencatatan sederhana dari kejadian-kejadian
tanpa ada pembedaan antara yang fakta dan hasil rekaan.
Ibnu Khaldun hidup pada saat dimana dunia Islam mengalami
pergumulan dalam berbagai bidang, sebagai akibat adanya
beberapa proses peralihan kekuasaan pemerintahan. Dalam
perspektif sejarah Islam, abad keempat belas masehi merupakan
masa kemunduran dan perpecahan, Pada masa kemunduran Islam
ini, banyak terjadi kekacauan historis yang sangat serius, baik
dalam tatanan politik maupun intelektual. Meskipun demikian,
masa-masa kekacauan biasanya merupakan kesempatan yang baik
bagi lahirnya figur-figur utama yang mempunyai semangat yang
tinggi dalam ranah aksi dan pemikiran, seperti kemunculan
sejarawan besar Ibn Khaldun.

79
Ibnu Khaldun menghabiskan lebih dari dua pertiga umurnya di
kawasan Afrika Barat Laut, yang sekarang ini berdiri Negara-
negara Tunisia, Aljazair dan Maroko, serta Andalusia yang
terletak diujung selatan Spanyol. Pada zaman itu kawasan tersebut
tidak pernah menikmati stabilitas dan ketenangan politik,
sebaliknya merupakan kancah perebutan dan pertarungan
kekuasaan antar dinasti dan juga pemberontakan sehingga
kawasan itu atau sebagian darinya sering berpindah tangan dari
satu dinasti ke dinasti yang lain, atau dari satu cabang dinasti ke
cabang lain dari dinasti yang sama. Kenyataan tersebut sangat
mewarnai kehidupan termasuk karier Ibn Khaldun.
Dia sering berpindah jabatan dan berganti tuan dan pergantian
tuan itu tidak selalu dilakukannya karena terpaksa. Tidak jarang
dia bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti lain, atau cabang
satu dinasti ke cabang lain dari dinasti yang sama, dengan
sukarela dan berencana berdasarkan perhitungan untung rugi
pribadi. Dengan kata lain, Ibn Khaldun telah membawa pula
suasana politik yang sulit dengan perebutan kekuasaan itu, dan
melibatkan diri sebagai pemain dalam percaturan politik
dikawasan itu.

80
Dan pada akhirnya Ibn Khaldun, wafat di Kairo, Mesir. Pada
25 Ramadhan 808 H atau 19 Maret 1406 M.8 Ibn Khaldun
meninggal pada usia 74 tahun di Mesir. Jenazahnya dimakamkan
di pemakaman para sufi di luar Bab al-Nashir, Kairo.

B. Kondisi Sosial Ibnu Khaldun


Semasa tinggal di Tunisia sampai tahun 751 H, Ibn Khaldun
tekun belajar dan membaca serta menghadiri majelis gurunya
yaitu Muhammad Ibrahim Al-Abili. Pada waktu itu Ibn Khaldun
berusia 20 tahun Ibn Khaldun dipanggil oleh Abu Muhmmad Ibnu
Tarafkin penguasa Tunisia untuk memangku jabatan sekretaris
Sultan Abu Ishaq Ibnu Abu Yahya Al-Hafsi. Ia menerima tawaran
tersebut dan untuk pertama kali pada tahun 751 H memangku
jabatan pemerintahan.
Sejak itu Ibn Khaldun mulai mengikuti jejak dan tradisi
keluarga dan nenek moyangnya yang berkerja pada jabatan-
jabatan tertinggi Negara. Adapun yang mendorong Ibn Khaldun
menerima jabatan tersebut karena ia merasa tidak lagi mempunyai
kesempatan untuk melanjutkan pelajarannya di Tunisa, terutama
setelah gurunya Muhammad Ibrahim Al-Abili meninggalkan
Tunisia menuju Fez. Ia merasa sedih karena ditinggalkan guru-
gurunya, akibatnya Ibn Khaldun tetap memangku jabatan

81
sekertaris sampai ia hijrah ke kota Fez, Maroko, pada tahun 755
H/1354 M.Pada tahun 752 H sultan Al-Magrib Al-Aqsa Abu Al-
Hasan meninggal, ia digantikan
oleh anaknya Abu Inan. Ibnu Khaldun di panggil oleh Abu Inan
ke kota Fez pada tahun 755 H dan diangkat sebagai seorang
anggota majelis ilmu, lalu diangkat sebagai salah seorang
sekertaris sultan. Keberadaanya di kota Fez ini dipergunakan
untuk melanjutkan pelajarannya yang pernah terhenti dengan para
ulama dan sastrawan kenamaan dikota tersebut, sebagaimana
dimanfaatkan untuk mengunjungi perpustakaan-perpustakaan Fez
yang ada pada merupakan salah satu perpustakaan Islam lengkap.
Pada tahun 758H, Ibnu Khaldun ditangkap oleh Sultan Abu
Inan dengan tuduhan melakukan sabotase terhadap sultan. Ia
dipenjara selama dua tahun setelah Abu Salim Ibnu Abu Al-
Hasan menjadi Sultan Al-Magrib Al-Aqsa pada bulan Sya’ban
760 H
Ibnu Khaldun dianggkat menjadi sekertaris pribadi sultan.
Dengan demikian Ibnu Khaldun berada di Al-Magrib Al-Aqsa
sebelum kunjungannya ke Andalus selama delapan tahun. Dua
tahun ditahan di penjara Fez (758-760 H) dan selama lebih kurang
enam tahun bekerja sebagai seorang pejabat di kota Fez dengan

82
tiga sultan dan dua orang putera mahkota masing-masing Sultan
Abu Inan pada tahun 760 H, Sultan Mansur Sulaiman pada tahun
760 H, Sultan Abu Salim pada tahun 760-762 H dan putra
mahkota Umar Ibnu Abdullah pada tahun 763-764 H.
Setelah memperhatikan bahwa situasi politik di Afrika Utara
tidak menguntungkan, Ibn Khaldun berangkat menuju Andalus
dan memilih Kota Granada sebagai tempat tinggal, karena antara
Ibnu Khaldun dan sultan Granada Abu Abdullah Raja III Banu
Al- Ahmar dan menterinya Lisan Ad-Din Al-Khatib telah terjalin
persahabatan yang erat, sejak keduanya mengungsi di istana
Sultan Abu Salim di Fez. Pada waktu itu Ibn Khaldun menjadi
sekertaris pribadi dan pejabat protokol sultan. Sejak Ibn Khaldun
menginjakkan kakinya di Granada, Sultan Abu Abdullah dan
mentrinya Lisan Al-Khitab menyambutnya dengan hanggat dan
menyediakan tempat tinggal yang megah untuk Ibnu Khaldun
sebagai balasan atas pelayanan atau bantuan yang diberikan oleh
Ibnu Khaldun kepada keduanya pada waktu mereka berada di
istana Abu Salim di Fez.
Pada tahun 765 H, Sultan Abu Abdullah menugaskan Ibnu
Khaldun sebagai duta negaranya untuk menghadap raja Castilia.
Raja Castilia pada waktu itu adalah petrus yang berkuasa sekitar

83
1350 M. Ia terkenal sebagai raja yang bengis. Ia bertugas
menyelesaikan perjanjian perdamaian dan mengatur hubungan
diplomatik antara Granada dan Castilia. Ibnu Khladun
mengerjakan tugas ini dengan penuh keberhasilan. Akan tetapi
keberhasilannya menjadikan musuh-musuh dan membuat fitnah
tidak tinggal diam, mereka menghasut Perdana Menteri Lisan Al-
Khatib bahwa Ibnu Khaldun telah mendekati sultan. Maka situasi
pun menjadi genting dan Ibnu Khaldun menyadari hal itu.
Sebelum situasi memburuk antara Ibnu Khaldun dan Lisan Al
Khatib, maka ia memohon kepada sultan agar diizinkan untuk
meninggalkan Andalus. Pada tahun 776 H Ibnu Khaldun
meninggalkan Andalus menuju Bougie (Bejaya).

C. Kondisi Politik Ibnu Khaldun


Ibnu Khaldun hidup antara abad ke-14 dan 15 M (1332-1406
M) bertepatan abad ke-8 dan 9 H. Mesir pada waktu itu berada di
bawah kekuasaan Bani Mamluk. Kota Baghdad jatuh ke tangan
bangsa Tartar (654-923 H). Dampaknya sangat negatif bagi
perkembangan bahasa. Sastra dan kebudayaan Arab. Di saat yang
bersamaan, berbagai kerajaan Muslim di Andalusia mulai runtuh.
Satu persatu kota-kota kerajaan Islam jatuh ke tangan kaum
Kristen.

84
Pasca kejatuhan Baghdad, ulama dan sastrawan Baghdad
bersama para ulama Andalusia mengungsi ke Kairo, Mesir yang
menjadi pusat peradaban. Kedatangan mereka di kota Kairo
disambut baik oleh Bani Mamluk, sehingga mereka merasa
tenang dan tentram. Perlu dicatat, abad ke-8 H atau abad ke-14 M
merupakan masa perubahan dan transisi di seluruh dunia.
Perubahan dan transisi ke arah perpecahan dan kemunduran di
dunia Arab, sekaligus perubahan dan transisi ke arah kebangkitan
di dunia Barat. Dapat kita lihat, berbagai revolusi dan kekacauan
mulai meluas di Afrika Utara, sebagai dampak dari perpecahan-
perpecahan regional dan meluasnya fanatisme golongan. Kondisi
itu berdampak negatif bagi kebudayaan Arab pada waktu itu.
Situasi kehidupan politik dunia Islam pada masa Ibnu Khaldun
hidup dapat dikatakan tidak stabil. Instabilitas politik ini telah
membuat hidupnya selalu berpindah-pindah dari satu kota kekota
lain, untuk mencari keberuntungan hidup. Afrika utara, tempat
kelahiran Ibn Khaldun, pada pertengahan abad keempat belas
Masehi (akhir abad ke 7 H). Merupakan medan pemberontakan
dan kekacauan politik. Dinasti Al-Muwahidin hancur lebur dan
diatas puing-puing keruntuhannya berdiri beberapa dinasti kecil.

85
Di tunis muncul keamiran bani Hafsh, di Tilmisan tegak
keamiran bani Abd al-Wad dan di Fez lahir dinasti bani Marin.
Dari tiga kekuasaan pemerintah ini, Bani Marin adalah yang
terbesar dan menguasai sebagian besar daerah-daerah peninggalan
dinasti Al-Muwahhidun. Selain itu muncul juga beberapa
keamiran kecil, baik didalam maupun diluar ketiga dinasti
tersebut. Kemunculan dinasti-dinasti kecil ini tidak dapat
mencegah terjadinya perpecahan dan pemberontakan. Perebutan
kekuasaan dengan mudah begitu terjadi, sehingga tidak ada satu
dinastipun yang sanggup bertahan hidup lama.
Sementara itu, di Andalusia, pihak pasukan Salib sedang
bersiap-siap untuk menaklukan kawasan-kawasan yang berada
dibawah kekuasaan muslim. Toledo, Cordova dan sevilla yang
merupakan pusat-pusat kebudayaan kaum Muslim di Andalusia
telah jatuh ketangan mereka. Kaum muslim hanya mampu
mempertahankan sebagian kecil kawasan di Andalusia selatan,
yang meliputi Granada, Almeria dan Gibral Tar. Wilayah-wilayah
ini dikuasai oleh Bani Ahmar yang dipimpin oleh muhammad Ibn
Yusuf Ibn Nashir (1230- 1272 M). Dengan Granada sebagai pusat
pemerintahannya. Waktu itu politik di Afrika Utara dan Andalusia
sedang digoncang oleh peperangan. Dinasti Al-Muwahhidun

86
sejak permulaan abad ke-5 H telah mendekati masa kehancuran.
Dari dinasti besar ini muncul Negara-negara kecil dan wilayah-
wilayah kekuasaan yang sangat banyak jumlahnya. Tiga dinasti
yang terkenal di antaranya adalah (1) dinasti Bani Hafsh di
Maghrib Dekat, Tunisia, dan wilayah di antara keduanya, (2)
dinasti Bani Abd al-Wad di Maghrib Tengah dengan ibukotanya
Tilimsan, dan (3) dinasti Bani Marim di Maghrib jauh dengan
ibukota Fez.
Pada tahun 751 H (1350 M), dalam usia 21 tahun, ia diangkat
sebagai sekretaris Sultan Daulah Bani Hafsh, al-Fadhl, yang
berkedudukan di Tunisia. Inilah jabatannya yang pertama. Akan
tetapi, ia kemudian berhenti karena penguasa yang didukungnya
kalah dalam suatu pertempuran pada 753 H, dan dia pun
terdampar di Baskarah, sebuah kota di Aljazair, Maghrib Tengah.
Dari sana ia berusaha bertemu dengan Sulthan Abu Anan,
penguasa Bani Marin yang sedang berada di Tilimisan dan
berusaha keras untuk menarik kepercayaan Sulthan.
Pada 755 H. dia diangkat menjadi anggota Majelis Ilmu
pengetahuan dan setahun kemudian menjadi sekeratis Sulthan.
Dengan dua kali diselingi dengan pemenjaraannya, jabatan itu
didudukinya sampai tahun 763 H (1361-2 M), ketika Wazir Umar

87
Ibn Abdillah murka kepadanya dan memerintahkannya untuk
meninggalkan negeri itu. Pada tahun 764 H, ia berangkat ke
Granada. Oleh Sulthan Bani Ahmar, penguasa Granada, dia diberi
tugas menjadi duta Negara di Castillah dan berhasil dengan
gemilang. Akan tetapi tidak lama setelah itu, hubungannya
dengan Sulthan menjadi retak. Pada tahun 766 H (1364 M) dia
pergi di Bajayah atas undangan penguasanya, Bani Hafsh, Abu
Abdillah Muhammad, yang kemudian mengangkatnya menjadi
perdana menteri dan pada waktu yang sama juga ia berperan
sebagai khatib dan guru. Namun, setahun kemudian Bijayah jatuh
ke tangan Sulthan Abu al-Abbas Ahmad, gubernur Qasanthinah.
Untuk beberapa lama, Ibn Khaldun menduduki jabatan yang sama
di bawah penguasa ini, tetapi kemudian ia berangkat ke Baskarah.
Dari sana ia berkirim surat kepada Abu Hammu, Sulthan Tilimsan
dari Bani Abd al-Wad menjanjikan dukungan. Sulthan
menyambutnya dengan baik dan memberi jabatan penting. Ibn
Khaldun menolak jabatan itu karena akan melanjutkan studinya
secara otodidak, tetapi bersedia berkampanye untuk mendukung
Abu Hammu. Setelah berhasil ia pun pergi ke Tilimisan. Tatakala
Abu Hammu diusir oleh Sulthan Abd al-Aziz dari Bani Marin, dia

88
berhasil beralih berpihak kepada Abd al-Aziz dan tinggal di
Baskarah.Namun, dalam waktu singkat, Tilimisan kembali direbut
oleh Abu Hammu dan Ibn Khaldun menyelamatkan diri dengan
pergi ke Fez pada 774 H (1372 M).
Ketika Fez jatuh ke tangan Sulthan Abu al-Abbas Ahmad (776)
H/1374 M, Ibn Khaldun pergi ke Granada untuk kedua kalinya.
Namun, Sulthan Bani Ahmar di sana meminta Ibn Khaldun untuk
meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke Afrika
Utara. Meski sudah bersalah, Ibn Khaldun diterima kembali oleh
penguasa Tilimisan, Abu Hammu, menerimannya dengan besar
hati. Sesampainya di Tilimisan, dia berjanji pada dirinya sendiri,
tidak akan terjun lagi dalam dunia politik. Dan atas bantuan
saudaranya Yahya diterima oleh Amirnya yang bernama Abu
Hammu. Ibn Khaldun tinggal di salah satu istana yang terletak di
Qal’at Ibnu Salamah sebuah wilayah di Provinsi Tojin. Empat
tahun Ibn Khaldun tinggal disini, dan memanfaatkannya untuk
melakukan studi yang akhirnya melahirkan karya monumental
yang bernama kitab al-Ibar, kemudian ini lebih dikenal dengan
Muqaddimah Ibnu Khaldun. Setelah itu ia kembali ke Tunisia,
kampung halamannya. Demikianlah gambaran sosial politik di
masa Ibn Khaldun.

89
D. Masa Pendidikan
Ibn Khaldun mengawali pendidikannya pada umur 18 tahun
antara 1332 sampai 1350 M. Seperti halnya tradisi kaum muslim
pada waktu itu, ayah Ibn Khaldun adalah guru pertamanya yang
telah mendidiknya secara tradisional mengajarkan dasar-dasar
agama Islam. Hal ini dapat dihami karena Muhammad ibn
muhammad, ayah Ibn Khaldun adalah seorang yang
berpengetahuan agama yang tinggi. Namun sangat disayangkan,
pendidikan ibn Khaldun yang diterima dari ayahnya ini tidak
dapat berlangsung lama, karena ayahnya meninggal dunia pada
tahun 1349 M. Akibat terserang wabah The Black Dealth, seperti
yang telah dijelaskan dimuka.Kematian ayahnya ini,selain
merupakan suatu kesedihan bagi Ibn Khaldun, tapi juga
membawa kesan tersendiri.
Semenjak kematian ayahnya Ibn Khaldun mulai belajar hidup
mandiri dan bertanggung jawab. Dari sinilah Ibn Khaldun mulai
hidup sebagai manusia dewasa yang tidak menggantungkan diri
kepada keluarganya. Ibn Khaldun belajar dengan ayahnya, dengan
cara membaca dan menghafal al-Quran. Dia fasih dalam qiraah
sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran). Dia memperlihatkan
perhatiannya yang seimbang dan merata antara mata pelajaran

90
Tafsir, Hadist, Fiqh, dan Gramatika bahasa Arab yang diambilnya
dari sejumlah guru yang terkenal di Tunisia. Waktu itu Tunisa
merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan dan sastra Arab.
Kemudian secara khusus ia mendalami ilmu Hadis dan Fiqh
Mazhab Maliki, di samping ilmu bahasa, sastra, mantik dan
filsafat.
Sewaktu dia mencapai usia delapan belas tahun terjadilah dua
peristiwa penting yang kemudian memaksa Ibn Khaldun berhenti
menuntut ilmu. Pertama, karena berkecamuknya wabah kolera di
banyak bagian dunia pada tahun 749 H, yang telah merenggut
banyak korban jiwa, di antaranya ayah dan ibu Ibn Khaldun
sendiri dan sebagian besar dari guru-guru yang pernah atau tengah
mengajarnya. Kedua, setelah terjadinya malapetaka tersebut,
banyak ilmuan dan budayawan yang selamat dari wabah itu pada
tahun 750 H berbondong-bondong meninggalkan Tunisa pindah
ke
Afrika Barat Laut.
Dengan terjadinya dua peristiwa itu berubahlah jalan hidup Ibn
Khaldun. Dia terpaksa berhenti belajar dan mengalihkan
perhatiannya pada upaya mendapatkan tempat dalam
pemerintahan dan peran dalam percaturan politik di wilayah itu.

91
E. Guru-guru Ibnu Khaldun
Di samping dari ayahnya, Ibn Khaldun juga mempelajari
berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para gurunya di Tunis.
Diketahui bahwa Tunis pada waktu itu merupakan pusat para
ulama dan sastrawan, tempat berkumpulnya ulama Andalusia
yang lari menuju Tunis akibat berbagai peristiwa politik. Di
dalam karya al-Di samping dari ayahnya, Ibn Khaldun juga
mempelajari berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para gurunya
di Tunis.
Diketahui bahwa Tunis pada waktu itu merupakan pusat para
ulama dan sastrawan, tempat berkumpulnya ulama Andalusia
yang lari menuju Tunis akibat berbagai peristiwa politik. Di
dalam karya al-saja. Ini merupakan suatu kelebihan yang
sekaligus juga merupakan kekurangannya. Pendidikan yang
diterima Ibn Khaldun, baik dari orang tuanya sendiri maupun dari
para gurunya sangat mempengaruhi perkembangan intelektualnya.
Oleh karena itu, mudah di pahami mengapa Ibn Khaldun
mengalami kesedihan yang mendalam ketika terjadi wabah
penyakit Pes yang telah menyerang belahan dunia bagian Timur
dan Barat. Wabah ini telah menyebabkan orang tua dan sebagian

92
para guru Ibn Khaldun meninggal, dan sebagian guru lainnya
yang masih hidup mengungsi ke kota Fez di Maroko.
Sementara peristiwa inilah Ibn Khaldun terpaksa menghentikan
belajarnya dan mengalihkan perhatiannya pada bidang
pemerintahan. Diantara guru-gurunya yang terkenal dan ikut serta
membentuk kepribadian Ibnu Khaldun, Muhammad Ibnu
Sulaiman Al-Satti Abd Al-Muhaimin Al-Hadrami, Muhammad
Ibnu Ibrahim Al-Abili. Darinya ia belajar ilmu-ilmu pasti, logika
dan seluruh ilmu (teknik) kebijakan dan pengajaran di samping
dua ilmu pokok (Qur’an dan Hadist). Namun demikian, Ibn
Khaldun meletakkan dua orang dari sejumlah guru-gurunya pada
tempat istemawa, keduanya sangat berpengaruh terhadap
pengetahuan bahasa, filsafat dan hukum Islam, yaitu Syaikh
Muhammad Ibn Ibrahim Al-Abili dalam ilmu-ilmu filsafat dan
Syaikh Abd Al-Muhaimin Ibn Al-Hadrami dalam ilmu-ilmu
agama. Darinya Ibn Khaldun mempelajari kitab-kitab hadist,
seperti Al Kutub Al- Sittah dan Al-Muwatta. Pada usia 20 tahun,
Ibn Khaldun berhasil menamatkan pelajarannya dengan
memperoleh berbagai ijazah mengajar dari sebagian besar
gurunya setelah ia menimba ilmu dari mereka.

F. Pemikirann Ibnu Khaldun

93
Pengertian pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah
“Penerangan ilmu pengetahuan dan keterampilan serta berbagai
aspeknya pada karya nyata untuk memperoleh rizki menuju
kepada masyarakat lebih maju sesuai dengan kecenderungan
individu” (Sulaiman, 1987:31-35).
Sebelum manusia tamyiz, dia sama sekali tidak memiliki
pengetahuan dan dianggap sebagian dari binatang. Asal usul
manusia diciptakan dari setetes air mani (sperma), segumpal
darah, sekerat daging dan masih ditentukan rupa dan mentalnya.
Adapun yang dicapai sesudah itu adalah merupakan akibat dari
persepsi sensual dan kemampuan berpikir yang dianugerahkan
Allah kepadanya. Pada kondisinya semula sebelum mencapai
tamyiz, manusia adalah materi seluruhnya karena ia tidak
mengetahui semua pengetahuan yang dicari melalui organ
tubuhnya sendiri. Maka kemanusiaannya pun mencapai
kesempurnaan eksistensinya (Sulaiman, 1987:31-35).
Ibnu khaldun juga berpendapat bahwa dari balik upayanya
untuk mencapai ilmu itu, manusia bertujuan dapat mengerti
tentang berbagai aspek pengetahuan yang dia pandang sebagai
alat yang Ibnu Khaldun berpendapat bahwa tujuan pendidikan
pertama tama adalah memberikan kesempatan kepada pikiran

94
untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktivitas ini
sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu,
kemudian kematangan ini akan mendapat faedah bagi masyarakat,
pikiran yang matang adalah alat kemajuan ilmu dan industri dan
sistem sosial. Karena ilmu dan industri lahir di dalam masyarakat
disebabkan oleh aktifitas pikiran insani ini. Sedangkan
manifestasi terpenting dari aktifitas pikiran ini adalah usaha
mencapai ilmu pengetahuan. Ibnu khaldun tidak memisahkan
antara teori dan praktek, bahkan mengaitkan antara keduanya
secara bersama-sama untuk memperoleh keterampilan atau untuk
menguasai pengetahuan, dengan anggapan bahwa makhluk yang
terbentuk dari perolehan keterampilan atau penguasan
pengetahuan, tidak lain merupakan suatu perbuatan yang bersifat
fikriah jasmaniah sehingga pengetahuan yang didapat melekat
dengan kuat (Sulaiman, 1987:32).
Menurut Ibnu Khaldun tujuan dunia akhirat harus dicapai,
selanjutnya pendidikan menurut Ibnu Khaldun harus sesuai
dengan anak didik. Dalam Kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun
menjelaskan berbagai macam ilmu pengetahuan. Penulis dapat
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu
Khaldun dalam penjelasannya itu dapat dibagi kepada 2 bagian:

95
1. Tujuan pendidikan yang berorientasi kepada akhirat. Ibnu
khaldun menjelaskan dalam Kitab Muqaddimahnya bahwa
mengajarkan anak-anak mendalami Alqur’an merupakan suatu
simbol dan pekerti Islam, orang Islam memiliki Alqur’an dan
mempraktekkan ajarannya, dan menjadikan pengajaran, ta’lim, di
semua kota mereka. Hal ini akan mengilhami hati dengan satu
keimanan dan memperteguh keimanan, serta memperteguh
keyakinan kepada Alqur’an dan Hadis.
2. Tujuan pendidikan yang berorientasi kepada duniawi, dalam
Muqaddimahnya juga Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa
pendidikan sebagai salah satu industri yang berkembang di dalam
masyarakat.
Ibnu khaldun berpendapat bahwa industri ini berkembang di
dalam masyarakat manapun karena ia sangat penting bagi
kehidupan inidividu didalamnya. Pertama-tama berkembang
industri yang sederhana asasi dan dibutuhkan di dalam kehidupan
seperti pertanian, pembangunan, pertukangan, pertukangan kayu
dan jahit menjahit. Hal ini merupakan ilmu praktis yang sifatnya
sederhana dan khas, sedangkan pekerjaan yang bersifat kompleks
seperti kedokteran, administrasi, dan kesenian.

96
Tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun yang pertama
itu merupakan tujuan paling utama dan pertama yang ditanamkan
kepada individu, karena sesuai dengan Alqur’an yang merupakan
ajaran bagi seluruh aspek kehidupan manusia di alam raya ini
sekaligus Alqur’an dijadikan kurikulum pendidikan Islam.
Ibnu Khaldun dalam konsep pendidikannya akan membentuk
suatu masyarakat yang siap menghadapi perubahan sosial yang
terjadi, sebab Ibnu Khaldun tidak mementingkan pengajaran
teoritis saja melainkan benar-benar melakukan pembentukan
kecakapan riil kepada masyarakat agar hidup lebih baik. Ibnu
Khaldun ingin menjadikan manusia hamba Allah yang berakhlak
baik sebagai khalifah di maka bumi.
Ibnu Khaldun bermaksud menjadikan pengabdi Allah menjadi
paling bertakwa itu bukanlah orang yang ahli dalam keagamaan
saja, melainkan orang yang tahu dengan jelas dan lengkap seluruh
isi ajaran Allah dalam Alqur’an serta cakap melaksanakannya ke
dalam praktek kehidupan sehari-hari, baik selaku individu
maupun selaku warga serta mayarakat dan bangsa. Dari tujuan
pendidakan itu penulis dapat menyebutkan secara lebih rinci
sebagai berikut:

97
1. Mempersiapkan individu dari bidang keagamaan yaitu
mengajarkan syiar agama menurut Alqur’an dan Hadis, sebab
dengan demikian potensi yang ada baik potensi iman maupun
yang lainnya diperkuat. Maka apabila telah diperkuat maka akan
menjadi mendarah daging dan seakan akan menjadi fitrah.
2. Menyiapkan individu agar menjadi anggota masyarakat yang
baik serta mampu menghadapi berbagai persoalan yang ada.
3. Menyiapkan individu dari segi vokasional, dikatakannya bahwa
mencari dan menegakkan hidupnya mencari pekerjaan
sebagaimana ditegaskan bagaimana pentingnya pekerjaan untuk
kelangsungan hidup sepanjang hidup manusia, sedangkan
pendidikan dan pengajaran dianggapnya termasuk di antara
keterampilan itu
4. Menyiapkan individu menjadi berakhlak mulia
5. Menyiapkan individu dari segi pemikiran, sebab dengan
demikian seseorang akan dapat memegang berbagai pekerjaan
dan pertukangan atau keterampilan dalam bidang tertentu
6. Menyiapkan seseorang untuk menjadi seniman yang Islami.
Itulah tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun yang
bersumberkan dari Alqur’an dan Sunnah sebagai seorang pemikir

98
terakhir dari zaman keemasan tamaddun Islami yang banyak
menulis mengenai pendidikan dan pengajaran.

G. Implikasi pemikiran Ibnu Khaldun dalam pendidikan


Islam
Ibnu khaldun telah banyak mengemukakan metode dalam
proses pendidikan di antaranya adalah pada pandangan Ibnu
Khaldun seorang pengajar dalam kuliahnya harus menjalani tiga
tahap atau uraian. Pada uraian pertama cukup ia memberi ide
yang umum dan ringkas tentang perkara yang ingin di
perkuliahkannya. Kemudian kembali ia menguraikannya untuk
kedua kali dimana diuraikannya lebih jelas daripada yang pertama
mengandung penjelasan tentang perkara itu berpindah dari
pandangan secara umum secara rinci, menyebutkan titik
perbedaan pendapat para ahli dalam perkara tersebut.
Kemudian pada tahap ketiga diuraikan perkara itu lebih
mendalam dan menyeluruh, tidak ada suatu perkara rumit atau
kabur yang tidak dijelaskannya. Ibnu Khaldun memandang sangat
penting sekali metode secara bertingkat ini, dan sangat besar
faedahnya dalam upaya menjelaskan dan memantapkan ilmu ke
dalam jiwa anak serta memperkuat kemampuan jiwanya untuk
memahami ilmu. Tujuan mempelajari ilmu tersebut adalah

99
kemahiran anak dalam mengamalkan serta mengambil manfat
dalam kehidupan sehari hari, alasan pengulangan sampai ketiga
kali pengulangan ini adalah agar anak siap memahami ilmu
pengetahuan atau seni secara bertahap. Metode tersebut sejalan
dengan teori mengajar yang menyatakan bahwa pentahapan
pemahaman anak memerlukan pemahaman tentang
perkembangan jiwa yang berlangsung secara berbeda-beda bagi
masing-masing anak.
Dengan demikian cara pengulangan ini akan membawa anak
dalam ketelitian yang menjadi salah satu faktor dari sistem belajar
praktis. Inilah metode yang umum diterangkan oleh Ibnu
Khaldun, dikatakannya bahwa inilah metode mengajar yang benar
karena sesuai dengan kebertahapan proses belajar. Menurut
penulis metode ini sangat tepat karena akan mempermudah murid
dalam menerima pelajaran yang disampaikan oleh pendidik, juga
membantunya dalam menerangkan pelajaran dan menyajikan
materi pelajaran secara bertahap, dimulai dari yang sederhana dan
meningkatkan kepada yang lebih kompleks struktur yang logis di
dalam pembertahapan pelajaran dari yang sederhana kepada yang
yang lebih kompleks merupakan struktur yang populer dan
tradisional dalam metode klasik, sebab metode ini digunakan di

100
berbagai masyarakat muslim di saat itu serta dianjurkan oleh para
pendidik di berbagai bangsa.
Ibnu Khaldun (Juz III:1244). juga menjelaskan tentang
bagaimana seorang guru menyampaikan materi pelajaran itu tidak
mencampuradukkan pelajaran secara keseluruhan kalau murid
belum benar-benar menguasai pelajaran yang telah diberikan,
dalam hal ini beliau menjelaskan dalam Muqa ddimahnya: adalah
penting pula tidak mencampuradukkan antara masalah yang
diberikan dalam buku pelajaran dengan sejumlah masalah lain.
Tindakan ini membuat pelajar menguasai betul-betul buku
pelajaran yang dipelajari dan memperoleh daripadanya suatu
keahlian yang bisa bermanfaat untuk mendalami berbagai
masalah lain. Seorang murid yang memperoleh keahlian dalam
salah stu cabang ilmu pengetahuan memang akan lebih siap
menggunakan keahliannya itu pada cabang ilmu pengetahuan lain.
Hal ini juga akan lebih bayak mengembangkan keinginan
belajarnya disamping keahliannya akan meningkat lebih tinggi
lagi sehingga pemahamannya akan ilmu pengetahuan secara
menyeluruh akan tercapai, tapi bila banyak masalah sekaligus
diharapkan kepadanya ia tidak akan sanggup memahami
semuanya, akibat lebih jauh otaknya akan jemu dan tidak sanggup

101
bekerja, lalu putus asa dan akhirnya akan meninggalkan ilmu
yang sedang dipelajari. Allah akan memberi petunjuk kepada
barangsiapa ia suka.
Di sini Ibnu Khaldun menerangkan tentang keterbatasan
manusia untuk menerima bahwa hanya sedikit saja ilmu yang
diberikan Allah kepada manusia, namun manusia dapat bertahan
karena mempunyai akal dan selalu mengambil manfaat dari apa
yang telah diciptakan Allah baginya. Ibnu Khaldun menjelaskan
tentang berbagai metode yang digunakan di berbagi bangsa, yang
menurut Ibnu Khaldun mereka kurang memahami perkembangan
jiwa anak didik sehingga metode yang digunakan kurang tepat.
Selain dari itu Ibnu Khaldun (Juz III:1255). menjelaskan
tentang pentingnya sarana dalam proses belajar mengajar agar
dapat mempermudah bagaimana cara mudah menerima pelajaran,
karena dengan pengamatan secara langsung dengan pengalaman
indrawi yang hakiki.
Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menjelaskan dalam
Muqaddimahnya sebagai berikut: Manusia menimba pengetahuan
dan budi pekerti, sikap serta sifat-sifat keutamaan acapkali
melalui studi lewat buku, pengajaran dan kuliah langsung atau
dengan meniru seorang guru dan mengadakan konkak personal

102
dengannya. Keahlian yang diperoleh melalui kontak personal
dengan guru biasanya lebih kokoh dan lebih berakar, karena itu
semakin banyak jumlah guru yang dihubungi langsung oleh
seorang murid makin dalam tertanam keahliannya. Dalam hal ini,
Ibnu Khaldun mendorong akan melakukan rihlah atau
mengadakan kunjungan ilmiah dengan cara mengunjungi sumber
pengetahuan secara langsung yang sesuai dengan taraf berpikir
anak didik, dengan demikian pengetahuan mereka secara
langsung besar pengaruhnya dalam memperjelas pemahamannya
terhadap pengetahuan indrawinya. Yang dimaksud dengan rihlah
di sini menurut beliau adalah perjalanan untuk menemui guru
yang mempunyai keahlian khusus dan belajar kepada para tokoh
ulama terkenal. Menuntut ilmu pada masa beliau diperoleh
melalui 2 cara.
1. Cara pertama belajar mendapatkan ilmu dari kitab yang
dibacakan oleh guru yang mengajar lalu mereka mengistimbatkan
permasalahan ilmu pengetahuan tersebut kepada muridnya, dan
2. kedua dengan jalan mengikuti para ulama terkenal yang
mengarang kitab tersebut serta mendengarkan secara langsung
tentang pelajaran yang mereka berikan.

103
Dalam hal ini, perlawatan Ibnu Khaldun bertujuan untuk
mengobservasi pengetahuan secara langsung pada sumbernya
juga tujuannya untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan
langsung dari sumbernya yang asli, meskipun caranya berlainan
namun sesungguhnya menerima pelajaran dari para ulama yang
mempunyai keahlian khusus di rumah mereka memberikan
kepada pelajar suatu pandangan dan observasi secara khusus dan
akurat. Maka dari itu metode ini lebih memudahkan anak dalam
memahami pelajaran dan mengurangi kesalahan daya penerimaan
ilmu yang diajarkan serta memperkecil pemahaman yang kurang
baik dan tabu karena pelajaran yang diberikan langsung dari
sumbernya.
Dalam masalah proses belajar mengajar Ibnu Khaldun pantang
menggunakan cara kasar dan kekerasan, sebab hal itu akan
membahayakan perkembangan jiwa anak, dalam kitabnya beliau
mengemukakan hal ini dengan jelas: siapa yang biasa dididik
dengan kekerasan di antara siswa siswi atau pembantu dan
pelayan ia akan selalu merasa sempit hati, akan kekurangan
kegiatan bekerja dan akan bersifat pemalas akan menyebabkan ia
berdusta serta melakukan yang buruk karena takut akan dijangkau
oleh tangan yang kejam. Hal ini selanjutnya akan mengajar dia

104
menipu dan membohongi sehingga sifat itu menjadi kebiasaan
dan perangainya, serta hancurlah arti kemanusiaan yang masih
ada pada dirinya (Khaldun, Juz III:1253).
Menurut beliau bahwa pengajaran yang dilakukan dengan cara
yang keras dan kasar terhadap anak didik bisa membahayakan
keberadaan anak murid, terutama pada masa anak-anak, karena
hal ini merupakan kebiasaan yang jelek yang harus dihindari oleh
pendidik, beliau menganjurkan guru, orang tua, tidak berlaku
kejam dalam mengajar dan
mendidik anaknya.
Pendapat Ibnu Khaldun bisa dipahami dan penulis sendiri
sependapat dengan konsepnya bahwa kekerasan dan sikap otoriter
dalam bergaul dengan anak-anak adalah sangat membahayakan
dan bisa mengakibatkan pada penderita dan juga sikap yang
berpura-pura sehingga menjadi kebiasaan perilaku mereka dalam
kesehariannya.
Ibnu Khaldun telah cukup luas membentangkan tentang
pengaruh buruk yang timbul disebabkan kekerasan dan kekasaran
dalam pendidikan, ia berkata bahwa barang siapa yang dididik
dengan kejam maka akan menjadi beban bagi orang lain, oleh
karena itu akan menjadi lemah dan tidak memiliki lagi fadilah dan

105
moral yang baik, dengan demikian jiwanya telah menyimpang
dari tujuannya dan ruang lingkup kemanusiannya.
Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menyimpulkan para filosof
pendidikan Islam mengenai hukuman dengan mengambil contoh
nasehat Harun Al Rasyid yang menjelaskan tentang hukuman
yang diberikan kepada anak didik, hukuman merupakan alat yang
penting, akan tetapi jangan dilakukan oleh guru atau pendidik
kecuali dalam keadaan terpaksa karena tak ada jalan selain itu.
Karena itu dalam mendidik dan mengajar anak-anak harus dengan
pendekatan secara bijak, halus dan berdasarkan kasih sayang
sehingga anak akan merasakan adanya perlindungan yang
membuat ia merasa aman dan tenang.
Demikianlah berbagai metode yang digunakan oleh Ibnu
Khaldun dalam masalah pendidikan dan pengajaran, cukuplah
kiranya untuk dijadikan sebagai acuan dalam pendidikan yang
sedang berlangsung pada saat sekarang dan mendatang.

H. Kurikulum Pendidikan Islam Ibnu Khaldun


Ibnu Khaldun dalam menyajikan kurikulumnya sangat
pragmatis. Dalam Muqaddimahnya kita akan menemukan bagian
Alqur’an dijadikan sebagai dasar dari semua isi pelajaran bahkan
sumber daripada pelajaran dan itu harus diberikan kepada anak-

106
anak agar memiliki pondasi yang kokoh, dikatakannya:
Ketahuilah bahwa mengajar anak-anak Alqur’an termasuk syiar
agama yang diterima oleh umat Islam oleh sebab meresponnya
kedalam hati dari sebagian teks Hadis lalu Alqur’an dan patut
didahulukan sebelum mengembangkan kemampuan lain. Cara-
cara dan metode mengajarkan Alqur’an kepada anak-anak
berbeda-beda (Khaldun, Juz III:1249).
Ibnu Khaldun sangat menganjurkan Alqur’an dan Hadis
dijadikan sumber dari semua pelajaran terutama dari tingkat awal.
Beliau menegaskan anak-anak harus diberikan pelajaran kedua
sumber beralih ke pelajaran kedua sumber tersebut dengan benar
sesuai dengan taraf perkembangan berpikir anak, sehingga anak
memiliki dasar iman yang kuat sebelum beralih ke pelajaran yang
lainnya. Dalam kurikulum pendidikannya Ibnu Khaldun membagi
ke dalam dua tingkatan yaitu:
1. Tingkat pemula Materi tingkatan pemula difokuskan pada
pembelajaran Alqur’an yang merupakan asal agama, sumber
berbagai ilmu pengetahuan dan dasar bagi pelaksanaan
pendidikan Islam. Di samping itu, isi Alqur’an mencakup materi
penanaman akidah dan keimanan dalam jiwa anak didik serta

107
membuat akhlak mulia dan pembinaan pribadi menjadip Allah
SWT.
2. Tingkat atas Kurikulum pada tingkatan ini mempunyai dua
klasifikasi:
a) Ilmu yang berkitan dengan zatnya sendiri seperti Ilmu Syariah
yang mencakup Ilmu Tafsir Alqur’an dan Qiraat Alqur’an, Ilmu
Hadis, Ilmu Fiqih dan cabang Hukum Waris Fiqih dan cabang
Dialektika dan soal yang kontroversial, Ilmu Kalam, Ilmu
Tasawuf, Ilmu Tabir Mimpi
b) Ilmu yang ditujukan ilmu lain dan bukan berkaitan dzat Allah
seperti Ilmu Bahasa dan yang berhubungan dengan itu, Ilmu
Logika/Ilmu Mantiq, Astronomi, Ilmu Kedokteran, Fisika, Ilmu
Pertanian, Ilmu Metafisika dan Ilmu Kalam (Khaldun,
Muqaddimah:544).
Kalau kita amati penjelasan di atas dapat disimpulkan kepada
dua bagian yaitu Ilmu Naqliat dan Ilmu Aqliat. Ilmu Naqliat
artinya ilmu yang dikutip manusia dari yang merumuskan atau
menetapkan landasannya secara tradisional dari generasi ke
generasi, seluruh ilmu ini berasal dari Allah dan akal sama sekali
tidak berperan selain menganalogikan cabang asal
permasalahannya pada sumber utamanya. Ibnu Khaldun

108
mengatakan bahwa seluruh Ilmu Naqliat dikhususkan bagi Islam
dan bagi pemeluknya (Khaldun, Muqaddimah:545).
Ilmu Aqliat artinya ilmu yang merupakan buah dari pikiran dan
perenungan manusia, ilmu ini tidak dikhususkan bagi satu umat
melainkan diberlakukan bagi semua makhluk yang mempunyai
akal pikiran (Khaldun, Muqaddimah:650). Ilmu ini dibagi kepada
4 bagian, yaitu Ilmu Logika (Mantiq), Ilmu Fisika, Ilmu
Metafisika, dan Ilmu Matematika. Dari konsep pendidikannya
Ibnu Khaldun juga menasehatkan agar guru tidak mengajarkan
ilmu terlalu banyak kepada anak-anak karena hal itu akan
membahayakan kemajuan intelektual anak-anak di samping
melanggar kemampuan mereka. Yang akhirnya melemahkan
mereka dan serta menumbuhkan perasaan gagal.
Selanjutnya beliau menasehatkan agar pengajaran Alqur’an
didahulukan apabila anak didik mencapai tingkat kemampuan
berfikirnya karena hal ini akan menjadikan aqidah mereka kepada
Allah menjadi kuat serta berperilaku baik sebagimana mestinya
menjadi pengabdi Allah.
Dalam pengajaran bahasa Ibnu Khaldun menasehatkan agar
anak didik tidak terlalu dibiarkan dalam mempelajari ilmu alat
yang berhubungan dengan Bahasa Arab, boleh dipelajarinya

109
namun hanya sekadar alat saja tidak untuk memperdalamnya
berlarut-larut dalam kesulitan sebab mempelajari ilmu alat
tersebut,
Ibnu Khaldun bermaksud agar anak-anak dapat
mengekspresikan pikirannya dengan baik, tampil teliti didalam
menulis, sehingga dapat memahami apa yang ditulisnya sesuai
dengan yang aslinya, sebagaimana dapat memahami apa yang
dibaca dengan baik. Dalam hal belajar hendaknya anak-anak didik
jangan terlalu dibiarkan dalam kekosongan waktu yang sia-sia,
juga tidak perlu bersifat otoriter dalam memberikan saran serta
dalam memberikan hukuman, boleh dihukum apabila dalam
keadaan terpaksa sekali, tidak ada jalan lain selain itu.

110
BAB V
PENDIDIKAN IKHWANUS SAFA

A. Pendidikan Ikhwan al-Shafa


Ikhwan al-Shafa adalah sebuah perkumpulan para mujtahidin yang
bergerak dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Sesuai dengan
namanya, Ikhwan Al Safa berarti persaudaraan yang suci dan bersih.
Maka atas utama perkumpulan ini adalah persaudaraan yang
dilakukan secara tulus dan ikhlas, kesekawanan yang suci, dalam
menuju Ridlo Ilahi. Perkumpulan ini berkembang pada abad kedua
Hijriah di kota Bashrah, Irak. Ikhwan al-Shafa merupakan para
perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak
memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan.
Organisasi ini mengajarkan tentang dasar-dasar agama islam yang
didasarkan pada persaudaraan islamiyah (ukhuwwah islamiyyah),
yaitu suatu sikap yang memandang iman seorang muslim tidak akan
sempurna kecuali jika ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai
dirinya sendiri. Sebagai sebuah organisai ia memiliki semangat
dakwah dan tablik yang amat militan dan kepedulian yang tinggi
terhadap orang lain. Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi
guru dan mubaligh terhadap orang lain yang terdapat di masyarakat.
Disinilah letak relevansinya berbicara Ikhwan al-Safa dengan
pendidikan.
Informasi lain menyebutkan bahwa organisai ini didasarkan oleh
kelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Organisasi yang
mereka dirikan bersifat rahasia dan memiliki misi politis. Namun
bersamaan dengan itu pula ada yang menyatakan bahwa organisasi
ini lebih bercorak kebatinan. Mereka sangat mengutamakan
pendidikan dan pengajaran yang berkenaan dengan pembentukan
pribadi, jiwa, dan akidah. Diantara anggotanya yang dapat diketahui
111
nama-nama mereka adalah sebanyak lima orang, yaitu:
a. Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti atau
dikenal dengan nama al-Maqdisy
b. Abu Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjany
c. Abu Ahmad al-Mahrajani
d. Al-Qufy
e. Zaid Ibnu Rifa’ah
Secara umum yang melatar belakangi kemunculan Ikhwanus al-
Shafa yaitu keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang
telah tercemar oleh ajaran-ajaran diluar Islam, serta untuk
membangkitkan kembali rasa cinta kepada ilmu pengetahuan
dikalangan umat Islam. Aktivitas Ikhwan al-Shafa difokuskan untuk
mempelajari filsafat, baik filsafat Yunani, Persia, dan lainnya yang
kemudia dipadukan dengan ajaran Islam, sehingga menjadi satu
ikhtisar dan mazhab filsafat sendiri. Dari hasil pembahasannya,
Ikhwan al-Shafa menyusun sebuah buku yang terdiri dari sebuah
risalah yang berjudul “Raisail Ikhwan al-Shafa wa al-Kullah al-
Wafa” yang berjumlah 52 rasail didalamnya.
Kitab ini terdiri atas empat jilid yang berisikan ikhtisar tentang
ppengetahuan yang ada ketika itu mencangkup semua objek studi
manusia, seperti:
1) 14 risalah tentang matematika yang mencangkup: geometri,
astronomi, musik, geografi, teori, dan praktek seni logika.
2) 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, meliputi: geneologi,
minerologi, botani, hidup dan matinya alam, senang dan sakitnya
alam, keterbatasan manusia dan kemampuan kesadaran.
3) 10 risalah tentang ilmu jiwa meliputi metafisika mahzab
Pytagoreanisme dan kebangkitan alam.
112
4) 4) 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencangkup
kepercayaan dan keyakinan hubungan alam dengan Tuhan,
keyakinan Ikhwan al-Shafa, kenabian dan keadaanya, tindakan
rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Tuhan, magic dan jimat.

B. Pemikiran Pendidikan Ikhwanus al-Shafa


Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan dimulai sejak
sebelum kelahiran. Sebab, kondisi dari bayi dan perkembangannya
sudah dipengaruhi oleh keadaan kehamilam dan kesehatan sang ibu
yang hamil. Dengan demikian, perhatian pendidikan harus sudah
diberikan sejak masa janin dalam rahim. Dalam sejarah Islam,
kelompok ini tampil eksklusif dalam gerakan reformatif
pendidikannya, karena itu mereka adalah ta’limiyyun (pengajaran)
dalam melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi ini
memandang pendidikan dengan pandangan yang bersifat rasional dan
empiri, atau perpaduan antara pandangan yang bersifat intelektual
dan faktual. Mereka memandang ilmu sebagai gambaran dari sesuatu
yang diketahui dari alam ini. Dengan kata lain yang dihasilan dari
pemikiran manusia itu terjadi karena mendapat bahan informasi yang
dikirim oleh panca indera. Menurut Ikhwan al Safa, hakekat manusia
adalah terletak pada jiwanya, sementara jasad merupakan penjara
bagi jiwa.
Ketika lahir jiwa tidak memiliki pengetahuan sedikitpun, proses
perolehan pengetahuan manusia digambarkan Ikhwan al Safa secara
dramatis dilakukan melalui perlimpahan. Proses perlimpahan itu
bermula dari jiwa universal kepada jiwa manusia setelah terlebih
dahulu melalui proses imanasi, secara berproses manusia mulai
menerima rangsangan dari alam sekitarnya.
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh
dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh
pengetahuan tentang perubahanperubahan yang mudah ditangkap

113
oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan
ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus
dibantu oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris
Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu
pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam
pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru
mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam
dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi
dari Allah, sumber ilmu paling akhir.
Pada bagian lain Ikhwan berpendapat bahwa pada dasarnya semua
ilmu itu harus diusahakan (muktasabah) bukan dari pemberian tanpa
usaha. Ilmu yang demikian dapat diperoleh dengan menggunakan
panca indra. Sesuatu yang terlukis dalam pemikiran itu bukanlah
sesuatu yang hekekatnya telah ada dalam pemikiran, melainkan
lukisan tersebut merupakan pantulan yang terjadi karena adanya
kiriman dari panca indra. Jadi bukan karena ide dari alam pikiran.
Dengan panca indra itulah manusia dapat mengetahui sesuatu
pandangan seperti dihasilkan melalui penafsiran terhadap ayat An
Nahl 16:78 yang berbunyi :
‫هّٰللا‬
‫ا َر‬‰ ‫ْص‬ َ ‫ ْم َع َوااْل َب‬‰ ‫الس‬َّ ‫ل لَ ُك ُم‬‰ َ ‫وْ نَ َشئًْـ ۙا و‬‰‰‫وْ ِن اُ َّم ٰهتِ ُك ْم اَل تَ ْعلَ ُم‬‰‰ُ‫ َر َج ُك ْم ِّم ۢ ْن بُط‬‰‫َو ُ اَ ْخ‬
َ ‰‫َّج َع‬
َ‫َوااْل َ ْفـِٕ َدةَ ۙ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran,
penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.”
Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses
pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya panca indra dan akal
memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sesuai sampai pada

114
pengetahuan tentang esensi Tuhan. Oleh karena itu diperlukan
pendekatan inisiasi yaitu bimbingan/otoritas ajaran agama.
Aliran Ikhwan al Safa lebih dekat dengan aliran John Locke yang
bersifat empirisme. Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan
terjadi karena panca indra berinteraksi dengan alam nyata. Begitu
juga dengan cara mendapatkan ilmu itu harus diusahakan dengan
cara membiasakan berpegang pada pembiasaan dan perenungan. Hal
inilah yang dapat memperkuat daya ingatan dan kedalaman ilmu
seseorang.
Nilai seorang guru bergantung pada caranya menyampaikan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu mereka mensyariatkan agar guru
memiliki syarat-syarat yang sesuai dengan sikap dan pandangan
politik Ikhwan al-Shafa serta sesuai pula dengan tujuan penyiaran
dakwahnya. Keberhasilan siswa tergantung pada kepada guru yang
cerdas, baik akhlaknya, lurus tabi’atnya, bersih hatinya, menyukai
ilmu, bertugas mencari kebenaran, dan tidak bersifat fanatisme
terhadap suatu aliran.
Syarat-syarat guru demikian hanya muncul dari orang-orang yang
berada dalam organisasinya. Berkenaan dengan ini mereka memiliki
aturan tentang jenjang seorang guru yang oleh istilah mereka dikenal
dengan nama ashhab al-namus. Mereka itu adalah mua’allim, ustadz
dan mu’addib. Guru ashhab al-namus adalah malaikat, dan guru
malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah
akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari sesuatu.
Ikhwan al-Shafa membagi sumber pengetahuan menjadi empat
dimensi:
a) Kitab suci yang diturunkan, misal Taurat, Injil, dan Al-Qur’an.
b) Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ (orang-orang bijak)
dan filosof, baik berupa Matematika, fisika-kealaman, Sastra
dan filsafat.
c) Alam, yakni bentuk empiris (phenoumenon) segala yang sesuatu
sebagaimana adanya.
115
d) Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, atau sering
disebut sebagai noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan
fungsionalnya dengan kenyataan empiris (phenoumenon).
Bahwa Ikhwan al Safa di dalam etos keilmuannya tidak membatasi
diri hanya pada satu sumber, melainkan dari berbagai pandangan
yang luas dan menyeluruh tentang sumber-sumber pengetahuan.
Selain itu keistimewaan yang paling menonjol, bahwa mereka
menolak fanatisme dan berpegang pada kebebasan berfikir kritis
untuk mencari kebenaran, sehingga mereka mampu untuk
mempengaruhi generasinya untuk memahami keragaman dan
perbedaan pemikiran, serta pluraritas aliran pemikiran dalam
pengembangan dinameka keilmuan dan akselerasi derap langkah
kemajuan intelektual sosialnya melalui sistem pendidikan yang
efektif.
C.Implikasi Pendidikan Ikhwanus Safa
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh
dengan tiga cara, yaitu: indera, akal untuk berpikir murni dan inisiasi.
Melalui panca indera yang dengannya manusia dapat memperoleh
pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang dapat ditangkap
oleh indera. Dengan akal prima atau berpikir murni yang dibantu
dengan indera, sebagai alat untuk memahami dan menggambarkan
sesuatu agar seseorang mencapai hakikat yang menuntunya beriman,
akal yang dapat menangkap hal-hal abstrak, akal sebagai dorongan
moral dan untuk mengambil pelajaran/hikmah. Melalui inisiasi yang
berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwanus al-Shafa, yakni
melalui cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara
langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya. Dalam artian bahwa manusia dapat belajar
pengetahuan melalui apapun, termasuk melalui alam. Dengan begitu
akan membuat seseorang akan mengenal sumber dari segala sumber
ilmu, yakni Allah swt.
Secara tersirat bahwa dalam konsep manusia (peserta didik)

116
Ikhwanus al- Shafa secara halus menguatkan pengakuan mereka
tentang ragam potensi psikomotorik, kognitif, dan efektif pada
masingmasing individu. Hal ini tentu releva dengan pendidikan yang
ada pada zaman sekarang ini yang dalam pembelajaran dikelas
sangat mengutamakan ketiga ranah tersebut dalam setiap aspek yang
diajarkan didalam kelas, tidak terkecuali penilaian dan evaluasi
dalam pembelajaran yang bersifat autentik yang mencangkup ketiga
ranah tersebut.
Pandangan Ikwan al-Shafa menempatkan fungsi-fungsi spiritual
yang bersifat efektif pada hirarki paling atas dan mulia dibanding
dengan fungsi-fungsi lainnya. Hal ini bisa dikatakan bahwa Ikhwan
al-Shafa sangat mengedepankan religiousitas dan akhlak seseorang
sebagai bagian dari tujuan pendidikan. Selain itu, tujuan luhur
kependidikan yaitu pengenalan diri. Melalui pengenalan seseorang
terhadap dirinya sendiri maka ia akan dapat mengenal Tuhannya.
Busyairi Madjidi menjelaskan bahwa beberapa contoh pokok
pikiran mereka mengenai pendidikan dan pengajaran masih relevan
dengan pendidikan dan pengajaran dengan pendidikan modern
sekarang. Diantaranya ialah tujuan, kurikulum, dan metode
pendidikan.
a. Mengenai tujuan pendidikan Ikhwan al-Shafa melihat bahwa
tujuan pendidikan haruslah dikaitkan dengan keagamaan.
Tiap ilmu, kata mereka merupakan malapetaka bagi
pemiliknya bila ilmu itu tidak ditujukan kepada keridhoan
Allah dan kepada akhirat.Dalam hal ini Ikhwan al-Syafa
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan (aqliyah) kepada 3
(tiga) kategori, yaitu: matematika, fisika,dan metafisika.
Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang
sama, yaitu sama bertujuan menghantar peserta didik
mencapai dunia dan akhirat.
b. Kurikulum pendidikan tingkat akademis mereka berpendapat
agar dalam kurikulum tersebut mencangkup logika, filsafat,

117
ilmu jiwa, pengkajian kitab agama samawi, kenabian, ilmu
syariat dan ilmu-ilmu pasti. Namun yang lebih diberi
perbatian adalah ilmu keagamaan yang merupakan tujuan
akhir dan pendidikan (M. Athiyah al-Abrasyi, 1975).
c. Mengenai metode pengajaran Ikhwan al-Shafa
mengemukakan prinsip: “hal yang konkrit kepada abstrak”
berkata dalam Rasailnya: “Seharusnya orang yang akan
mempelajari dasardasar segala yang ada (maujudat), ialah
agar mengetahui dasar-dasar menurut hakekatnya yaitu agar
mempelajari segala yang konkrit dan dapat diraba. Dengan
demikian akan terbuka pikirannya dan menjadi kuat untuk
mempelajari yang abstrak.
d. Perbedaan bakat individu dan sebab-sebabnya. Ikhwan al-
Shafa berpendapat bahwa anak-anak didik, dapat menerima
suatu kepandaian bila sesuai dengan pembawaan mereka
masingmasing. Sementara ada orang yang berbakat pada satu
macam kepandaian atau beberapa macam kepandaian.
Mereka dengan gampang menerima kepandaian itu sampai
mencapai prestasi yang tinggi. Dalam waktu yang singkat
sudah dapat diketahui dari pekerjaan mereka, bahwa mereka
betul-betul berbakat. Tapi ada juga orang yang memerlukan
dorongan yang besar dan upaya yang keras untuk mengejar
suatu kepandaian, karena tak sesuai dengan bakat
pembawaannya,
Oleh karena itu, guru atau pendidik memiliki fungsi membantu
terdidiknya mengembangkan potensinya secara optimal, baik melalui
metodologi yang digunakan maupun melalui ilmu yang sedang
dipelajari. Pendidik tidak harus mengisi otak si terdidik dengan ide-
idenya, akan tetapi share dengan si terdidik untuk menemukan
kebutuhan dan potensinya yang harus dikembangkan. Hal ini
sebagaimana yang telah diyakini banyak pemikir pendidikan. Dalam
118
mengembangkan potensi anak didik, pendidik harus mengikuti ritme
bahwa empat tahun pertama anak tanpa sadar menyerap pikiran dan
perasaan lingkungan sosialnya.Setelah itu anak mulai menirukan
orang-orang di sekitarnya sebagaimana orang dewasa biasanya
mengikuti orang yang lebih dewasa, khususnya yang memiliki
otoritas. Dalam konteks pendidikan, orang yang memiliki otoritas
dalam hal ini adalah para guru dan orang tua.Ikhwan al-Shafa
sebenarnya menghendaki bahwa guru-guru dan orang tua menjadi
contoh yang baik, baik dalam perilaku maupun kepribadiannya.

BAB VI
PENDIDIKAN IBNU MISKAWAIH

A. Mengenal Ibn Miskawaih ( Biografi )


Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali al-Khasim Ahmad bin
Ya’kûb bin Miskawaih. Ia lebih dikenal dengan nama Ibn

119
Miskawaih. Beliau dilahirkan di kota Ray (Iran) pada tahun 320
H/932 M. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Ibn
Miskawaih mempelajari kitab Tarikh al-Thabarî kepada Abu
Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qadhi (w. 350 H/960 M). Selain
belajar sejarah, beliau pun mempelajari filsafat kepada Ibn
alKhammar, salah seorang komentator Aristoteles dan al-Hasan
ibn Siwar, seorang ‘ulama pengkaji filsafat, kedokteran dan
logika. Tidak hanya sebatas itu, beliau pun mempelajari ilmu
bahasa, ilmu kedokteran, ilmu fiqih, hadis, matematika, musik,
ilmu militer, dan lainnya. Karena beliau memiliki tingkat
kecerdasan yang sangat tinggi, maka beliau pun dapat melahap
habis semua pelajaran yang diberikan kepadanya. Walhasil, beliau
pun menjadi salah seorang filsuf Islam terkemuka di zamannya.
Sebagai seorang pemikir besar, Ibn Miskawaih telah melahap
seluruh kitab-kitab filsafat dari warisan peradaban pra-Islam. Pada
masanya, beliau banyak membaca dan menelaah kitab- kitab
pemikir dari berbagai peradaban seperti Yunani, Persia, Romawi,
dan lainnya. Karena itu pula, pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh
dari berbagai peradaban itu memberikan pengaruh yang tidak
kecil bagi Ibn Miskawaih. Hal ini terlihat jelas, ketika Ibn
Miskawaih merumuskan pandangannya, beliau pun

120
mengkombinasikan pemikiran-pemikiran dari Plato, Aristoteles,
Galen dan ajaran Islam.
Ibn Miskawaih hidup pada masa Dinasti Buwaihi. Dinasti
Buwaihi adalah salah satu dinasti yang lahir ke dalam tubuh
pemerintahan Bani Abbasiyah di kota Baghdad sebagai ibu kota
Bani Abbasiyah, sehingga tidak berlebihan jika diumpamakan
Dinasti Buwaihi bagaikan benalu yang tumbuh pada sebuah
pohon. Pada masa itu sifat-sifat rakus akan kekuasaan dan harta
kekayaan menjadi tabiat para tokoh-tokoh politik, akibatnya
dekadensi moral hampir melanda semua lapisan masyarakat.
Semenatara di pihak lain, kaum sufi hidup dengan berkontemplasi
menjauhkan diri dari komunitas masyarakat yang sudah dilanda
dekadensi moral tersebut. Kondisi sosial ini pada perjalanan
berikutnya sangat berpengaruh dalam membentuk pemikiran
pendidikan Ibn Miskawaih.
Ketika masih muda, ia mengabdi kepada Abu Muhammad al-
Hasan al-Muhallabi, wazir pangeran Buwaihi, Mu’iz al-Daulah di
Baghdad. Setelah al-Muhallabi itu wafat pada tahun 352 H/963
M), Ibn Miskawaih pun mendekati Ibn al-‘Amid di Ray, wazir
dari Rukn al-Daulah. Rukn al-Daulah ini tidak lain adalah saudara
Mu’iz al-Daulah. Ibn al‘Amid bukan orang sembarangan, sebab ia

121
seorang tokoh sastra terkenal. Tidak hanya itu, Ibn al-‘Amid
bekerja sebagai pustakawan. Karena Ibn al-‘Amid menjadi wazir
dari Rukn al-Daulah, maka beliau pun mendapat kedudukan
terhormat di ibukota pemerintahan Dinasti Buwaihi tersebut. Pada
tahun 360 H/970 M, al-‘Amid wafat, sehingga kedudukannya
digantikan oleh anaknya, yakni Abu al-Fath. Ibn Miskawaih pun
mengabdi kepada anak al-‘Amid ini. Pada tahun 366 H/976 M,
Abu al-Fath wafat, sehingga jabatan wazir direbut oleh musuhnya
yang bernama al-Shahib ibn ‘Abbad. Karena musuh Abu al-Fath
merebut kekuasaan, maka sebagai pendukung Abu al- Fath, Ibn
Miskawaih pun meninggalkan kota Ray. Kemudian, Ibn
Miskawaih berangkat menuju Baghdad. Di kota ini, Ibn
Miskawaih mengabdikan diri kepada penguasa Dinasti Buwaihi,
yakni ‘Adhud al-Daulah. Pada masa ini, Ibn Miskawaih diangkat
sebagai bendahara penguasa Dinasti Buwaihi. Setelah ‘Adhud al-
Daulah wafat, Ibn Miskawaih tetap mengabdi kepada para
pengganti pangeran Dinasti Buwaihi ini, yakni Syams al-Daulah
(388 H/998 M) dan Baha’ al-Daulah (403 H/1012 M).
Ibn Miskawaih hidup sebagai seorang Syi‘ah. Para penulis
biografi pun memasukkannya ke dalam daftar ulama dan filosof
Syi‘ah karena beberapa pandangannya menegaskan keharusan

122
kemaksuman para imam. Sebagai seorang filsuf, Ibn Miskawaih
banyak berdebat dengan para filsuf sezamannya seperi Ibn Sina.
Ibn Miskawaih wafat di Isfahan pada 9 Shafar 421 H/1030 M.
Meskipun beliau menduduki jabatan strategis di pemerintahan
Dinasti Buwaihi, namun hal itu tidak membuatnya malas menulis.
Hal ini terbukti karena beliau banyak menulis kitab- kitab
bermutu tinggi, antara lain: al-Fauz al-Akbar; al-Fauz al-Ashghar;
Tajarib al-Umâm; Uns al-Farid; Tartib al-Sa’âdah; al-Mustaufa;
Jawidan Khirad; al-Jami’; al-Siya; On the Simple Drugs; On the
Compositions of the Bajats; Kitâb al-Asyribah; Tahdzîb al-
Akhlâq; Risâlah fî al-Lazzah wa al-‘Alâm fî jauhar al-Nafs;
Ajwibah wa As’ilah fî al Nafs wa al-‘Aql; al-Jawab fî al-Masâ’il
al-Tsalas; Risâlah fî Jawâb fî Su’al ‘Alî ibn Muhammad Abû
Hayyan al-Shufî fî Haqîqah al-‘Aql; dan Thaharah al-Nafs.

B. Pemikiran Ibnu Miskawaih Manusia dan


Keutamaannya
Menurut Ibn Miskawaih, manusia memiliki kemiripan dengan
alam semesta. Karena itu, jika alam semesta disebut sebagai
makrokosmos, maka manusia disebut sebagai mikrokosmos. Di
samping memiliki panca indra, manusia memiliki indra bersama.
Indra bersama ini berperan sebagai pengikat sesama indra. Indra

123
bersama dapat menerima citra-citra indrawi secara serentak, tanpa
zaman, tempat, dan pembagian. Kemudian, citra-citra itu tidak
saling bercampur dan saling mendesak. Daya indra bersama ini
beralih ke tingkat daya khayal, sebuah daya yang berada di bagian
depan otak. Dari daya khayal ini beralih ke daya pikir. Daya
berpikir ini dapat berhubungan dengan akal aktif guna mengetahui
hal-hal Ilahi.
Menurut Ibn Miskawaih, pada diri manusia terdapat tubuh dan
jiwa. Jiwa tidak dapat menjadi sebuah fungsi dari materi. Hal ini
karena dua hal. Pertama, suatu benda yang berbeda- beda bentuk
dan keadaannya, dengan sendirinya tidak bisa menjadi salah satu
dari bentuk- bentuk dan keadaan-keadaan itu. Suatu benda yang
warnanya bermacam-macam tentu, dalam pembawaannya sendiri,
tidak berwarna. Jiwa, dalam mempersepsi obyek-obyek eksternal,
mengasumsi, seolah-olah, berbagai bentuk dan keadaan; karena
itu, jiwa tidak dapat dianggap sebagai salah satu dari bentuk-
bentuk itu. Kedua, atribut-atribut itu terus menerus berubah; tentu
ada, di luar lingkup perubahan, substratum permanen tertentu
yang menjadi fondasi identitas personal.
Menurutnya, jiwa bukan bagian dari tubuh dan bukan aksiden
tubuh. Pada wujudnya, jiwa tidak butuh kekuatan tubuh. Jiwa

124
merupakan substansi sederhana dan tidak dapat ditangkap oleh
panca indra. Antara jiwa dan hidup itu tidak sama. Jiwa itu suatu
esensi yang hidup dan kekal, serta bisa mencapai kesempurnaan
hidup di dunia. Selanjutnya, menurutnya, perbedaan antara jiwa
manusia dari jiwa binatang adalah potensi akal. Jiwa manusia
memiliki potensi akal. Potensi akal adalah potensi untuk memiliki
pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis.
Secara lengkap, Ibn Miskawaih menuliskan pemikirannya
tentang jiwa di dalam bukunya yang berjudulTahdzib al-Akhlaq.
Dalam buku ini, Ibn Miskawaih menulis bahwa manusia terdiri
atas dua unsur yakni tubuh dan jiwa. Tubuh manusia itu materi
(jauhar) dan berbentuk (‘aradh). Tubuh manusia dan fakultas-
fakultasnya mengetahui ilmu melalui indra. Tubuh sangat butuh
terhadap indranya. Tubuh pun sangat berhasrat terhadap hal-hal
indrawi semacam kenikmatan jasadi, keinginan balas dendam,
dan ego untuk menang. Melalui hal ini, kekuatan tubuh akan
bertambah dan tubuh akan terus mengalami kesempurnaan.
Kesempurnaan eksistensi tubuh manusia terkait erat dengan hal-
hal seperti itu. Sementara itu, jiwa itu bukan tubuh, bukan bagian
dari tubuh, serta bukan pula materi. Jiwa manusia ini tidak cocok
dengan hal-hal jasadi. Ketika jiwa dapat menjauhi hal-hal jasadi,

125
maka jiwa akan semakin sempurna. Jiwa memiliki kecenderungan
kepada selain hal-hal jasadi. Jiwa ingin mengetahui realitas
ilahiahJiwa pun sangat mendambakan sesuatu hal yang lebih
mulia dari hal-hal jasmaniah. Jiwa ingin menjauhkan diri dari
kenikmatan jasmani, dan berharap mendapatkan kenikmatan akal.
Dari aspek ini, jelas jiwa lebih mulia dari pada benda-benda
jasadi.
Ibn Miskawaih menjelaskan tentang kebajikan jiwa.
Menurutnya, keutamaan atau kebajikan jiwa terletak pada
kecenderungan jiwa kepada dirinya sendiri, yakni ilmu
pengetahuan, sembari tidak cenderung kepada tingkah laku tubuh.
Kebajikan jiwa diukur dari sejauh mana jiwa mengupayakan
kebajikan dan mendambakannya. Keutamaan ini akan terus
meningkat ketika jiwa memperhatikan dirinya sendiri serta
berusaha keras menyingkirkan segala rintangan bagi pencapaian
tingkat keutamaan seperti ini. Namun demikian, Ibn Miskawaih
menyadari bahwa pencapaian tingkat keutamaan ini memiliki
kendala. Kendala ini tidak lain segala hal bersifat badani, indrawi,
serta segala hal yang berhubungan dengan keduanya. Ketika
kendala ini berhasil dihadapi oleh jiwa, dan jiwa itu suci dari
segala perbuatan keji (nafsu badani dan nasfu hewani), maka

126
keutamaan-keutamaan itu akan tercapai. Dengan kata lain,
keutamaan jiwa lahir ketika jiwa suci dari nafsu badani dan nafsu
hewani.
Secara umum, Ibn Miskawaih membagi kekuatan jiwa menjadi
tiga macam, yakni al- quwwah al-nathiqah, al-quwwah al-
syahwiyyah, dan al-quwwah al-ghadabiyyah. Alquwwah al-
nathiqah adalah sebuah fakultas yang berkaitan dengan berpikir,
melihat, dan mempertimbangkan segala sesuatu. Fakultas ini
disebut fakultas raja. Fakultas ini menggunakan organ tubuh otak.
Sementara al-quwwah al-syahwiyyah adalah sebuah fakultas yang
berkaitan dengan marah, berani, berani menghadapi bahaya, ingin
berkuasa, menghargai diri, dan menginginkan bermacam-macam
kehormatan. Fakultas ini disebut sebagai fakultas binatang. Organ
tubuh yang digunakannya adalah hati. Terakhir, alquwwah al-
ghadabiyyah adalah sebagai sebuah fakultas yang berkenaan
dengan nafsu syahwat dan makan, keinginan pada nikmatnya
makanan, minuman, senggama, dan kenikmatan indrawi lainnya.
Ketigas fakultas ini berbeda antara satu dengan lainnya. Fakultas
ini disebut fakultas binatang buas. Fakultas ini menggunakan
organ jantung.

127
Menurut Ibn Miskawaih, ketika aktivitas jiwa kebinatangan
dikendalikan oleh jiwa berpikir, dan jiwa itu tidak tenggelam
dalam memenuhi keinginannya sendiri, maka jiwa ini akan
mencapai kebajikan sikap sederhana (‘iffah) yang diiringi
kebajikan dermawan. Sementara itu, ketika jiwa amarah memadai
dan mematuhi segala aturan yang ditetapkan oleh jiwa berpikir
serta tidak bangkit pada waktu yang tidak tepat, maka jiwa ini
akan mencapai kebajikan sikap sabar yang diiringi kebajikan
sikap berani. Setelah itu, dari ketiga kebajikan itu satu kebajikan
lain sebagai kelengkapan dan kesempurnaan tiga kebajikan itu,
yakni kebajikan sifat adil. Kebajikan sikap adil ini berhubungan
dengan tepat antara kebajikan satu dengan kebajikan lainnya. Jadi,
keutamaan (kebajikan) manusia itu terdiri atas empat hal yakni
arif, sederhana, berani, dan adil.
Sementara itu, keempat keutamaan (kebajikan) ini memiliki
lawan. Kebalikan dari keempat keutamaan ini terbagi atas empat
pula, yakni bodoh, rakus, pengecut dan lalim. Keempat sifat ini
dapat dikatakan sebagai penyakit jiwa dan menimbulkan banyak
kepedihan seperti perasaan takut, sedih, marah, berjenis-jenis
cinta dan keinginan, dan karakter buruk lainnya.

128
Menurut Ibn Miskawaih, keutamaan adalah kebaikan dan
ketidakutamaan adalah kejahatan. Menurutnya, kebaikan
merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan
melaksanakan kemauannya dan dengan berupaya dan dengan hal
yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sementara
keburukan atau kejahatan adalah hal yang menjadi penghambat
manusia mencapai kebaikan, baik berupa kemauan dan upayanya
atau berupa kemalasan dan keengganannya mencari kebaikan.
Selanjutnya Ibn Miskawaih menegaskan bahwa setiap
keutamaan tersebut memiliki dua sisi yang ekstern. Yang tengah
bersifat terpuji yang ekstrim tercela. Dalam menguraikan sikap
tengah dalam bentuk akhlak tersebut Ibnu Miskawaih tidak
membawa satupun ayat al-Qur’an, dan tidak pula membawa dalil
hadis. Namun demikian dapat dipahami bahwa pemikirannya
yang demikian sejalan dengan ajaran Islam, karena banyak
dijumpai ayat-ayat al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu,
seperti tidak boleh kikir tetapi tidak boleh boros, hal ini sejalan
dengan ayat:
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, karena

129
kalau demikian kamu menjadi tercela dan menyesal.(Q.S. al-
Isra’/17:29).
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta)nya
mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan menjaga
di tengah-tengah antara yang kedua itu(Q.S. al-Furqan/ 25: 67).
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan
jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah diantara
kedua itu (Q.S. al-Isra’/17:110).
Ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan
merupakan sikap yang sejalan dengan ajaran Islam. Karena itu,
sungguhpun Ibn Miskawaih tidak menggunakan dalil- dalil ayat
al-Qur’an dan hadis untuk menguatkan ajarannya, namun konsep
tersebut sejalan dengan ajaran Islam.
Bagi Ibn Miskawaih, kebajikan hanya dapat dicapai seseorang,
jika orang tersebut bergaul dengan masyarakat. Menurutnya,
manusia tidak akan pernah dapat mencapai kesempurnaan dengan
hidup menyendiri. Manusia memerlukan orang lain pada
komunitas tertentu agar kebahagiaan insaninya tercapai. Manusia
niscaya memerlukan manusia lain selain dirinya. Seorang manusia
harus bersahabat dengan manusia lain dan harus menyayanginya
secara tulus. Sebab, mereka melengkapi eksistensinya sekaligus

130
menyempurnakan kemanusiaannya. Hal ini karena manusia
sebagai makhluk sosial. Tanpa bergaul dengan masyarakat, maka
manusia itu tidak akan dapat menggapai kebajikan. Suatu
masyarakat buruk tidak akan dapat berubah, jika orang-orang
terbaik di dalamnya mengasingkan diri tanpa ingin memberikan
pertolongan bagi perbaikan masyarakat itu. Karena itu, sifat uzlah
(mengasingkan diri) menurut Ibn Miskawaih adalah suatu
perbuatan kezaliman danbakhil karena mementingkan diri sendiri.
Akhlak baginya adalah perilaku dalam lingkup kehidupan
bermasyarakat.
Di samping masalah kebajikan (keutamaan), menurut Ibn
Miskawaih bahwa masalah pokok kajian akhlak adalah kebaikan
dan kebahagiaan. Pembahasan ini memiliki kaitan erat dengan
pembahasan akhlak. Menurut Ibn Miskawaih, kebaikan diartikan
sebagai tujuan setiap sesuatu. Jadi, kebaikan berarti tujuan
terakhir. Sementara kebahagiaan diartikan sebagai kebaikan
dalam kaitannya dengan pemiliknya dan kesempurnaan bagi
pemiliknya. Dengan kata lain, kebahagian itu bagian dari
kebaikan. Secara agak mendalam, maka kebahagiaan dapat
diartikan sebagai kesempurnaan dan akhir dari kebaikan.
Kebahagiaan merupakan kebaikan paling utama di antara seluruh

131
kebaikan lainnya. Menurut Ibn Miskawaih, karena manusia terdiri
atas dua unsur yakni tubuh dan jiwa, maka kebahagiaan itu
meliputi keduanya.

C. Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih


Bertolak dari pemikiran tentang manusia dan keutamaannya,
maka Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan yang
bertumpu pada pendidikan akhlak. Menurut Ibn Miskawaih,
akhlak adalah suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa
bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam.
Ibn Miskawaih membagi asal keadaan jiwa ini menjadi dua jenis.
Pertama, alamiah dan bertolak dari watak. Kedua, tercipta melalui
kebiasaan dan latihan. Baginya akhlak itu alami sifatnya namun
akhlak pun dapat berubah cepat atau lambat melalui disiplin serta
nasihat-nasihat yang mulia. Pada mulanya, keadaan ini terjadi
karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui
praktik terus menerus akan menjadi akhlak.
Kedua pandangan Ibn Miskawaih ini dapat dirujuk kepada
pemikiran-pemikiran filsuf pra-Islam seperti Galen dan
Aristoteles. Bagi Aristoteles, orang yang buruk bisa berubah
menjadi baik melalui pendidikan. Melalui nasehat yang berulang-
ulang dan disiplin, serta bimbingan yang baik, akan melahirkan

132
hasil-hasil yang berbeda-beda pada berbagai orang. Sebagian
mereka tanggap dan menerimanya, sementara sebagian lain tidak
menerimanya.
Sebagai filsuf akhlak, Ibn Miskawaih memberikan perhatian
serius terhadap pendidikan akhlak anak-anak. Menurut Ibn
Miskawaih, jiwa seorang anak itu diibaratkan sebagai mata rantai
antara jiwa binatang dan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak-
anak ini, jiwa binatang berakhir sementara jiwa manusia mulai
muncul. Menurutnya, anak-anak harus dididik mulai dengan
menyesuaikan rencana-rencananya dengan urutan daya-daya yang
ada pada anak-anak, yakni daya keinginan, daya marah, dan daya
berpikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal
adab makan, minum, berpakaian, dan lainnya. Sementara daya
berani diterapkan untuk mengarahkan daya marah. Kemudian
daya berpikir dilatih dengan menalar, sehingga akan dapat
menguasai segala tingkah laku.
Kehidupan utama anak-anak memerlukan dua syarat, yakni
syarat kejiwaan dan syarat sosial. Syarat pertama tersimpul dalam
menumbuhkan watak cinta kepada kebaikan. Hal ini dapat
dilakukan dengan mudah pada anak yang berbakat baik. Bagi
anak-anak tidak berbakat, maka hal ini bisa dilakukan dengan cara

133
latihan membiasakan diri agar cenderung kepada kebaikan. Syarat
kedua dapat dicapai dengan cara memilihkan teman-teman yang
baik, menjauhkan anak dari pergaulan dengan temantemannya
yang berakhlak buruk, menumbuhkan rasa percaya diri pada
dirinya, dan menjauhkan anak-anak dari lingkungan keluarganya
pada saat-saat tertentu, serta memasukkan mereka ke tempat
kondusif.
Selanjutnya Ibn Miskawaih menyatakan bahwa banyak
tingkatan manusia dalam menerima akhlak. Dalam konteks anak-
anak, Ibn Miskawaih menyebutkan bahwa akhlak atau karakter
mereka muncul sejak awal pertumbuhan mereka. Anak-anak tidak
menutup-nutupi dengan sengaja dan sadar, sebagaimana
dilakukan orang dewasa. Seorang anak terkadang merasa enggan
untuk memperbaiki karakternya. Karakter mereka itu mulai dari
karakter yang keras sampai kepada karakter yang malu-malu.
Terkadang karakter anak-anak itu baik, terkadang pula buruk
seperti kikir, keras kepala, dengki, dan seterusnya. Keberadaan
berbagai karakter anak ini menjadi bukti bahwa anak-anak tidak
memiliki tingkatan karakter yang sama. Tidak hanya itu, sebagian
mereka tanggap dan sebagian lain tidak tanggap, sebagian mereka
lembut dan sebagian lagi keras, sebagian mereka baik dan

134
sebagian lain buruk. Namun sebagian mereka berada pada posisi
tengah di antara kedua kubu ini. Sebagai pendidik, maka orang
tua harus mendisiplinkan karakter mereka. Jika tabiat-tabiat ini
diabaikan, tidak didisiplinkan, dan dikoreksi, maka mereka akan
tumbuh berkembang mengikuti tabiatnya. Selama hidupnya,
kondisinya tidak akan berubah. Mereka akan memuaskan diri
sesuai dengan apa yang dianggapnya cocok menurut selera
alamiahnya, dan seterusnya.
Tidak sebatas itu, Ibn Miskawaih memandang syariat agama
dapat menjadi faktor guna meluruskan karakter remaja. Syariat
agama menjadi penting karena dapat membiasakan mereka untuk
melakukan perbuatan yang baik. Syariat agama pun dapat
mempersiapkan diri mereka untuk menerima kearifan,
mengupayakan kebajikan dan mencapai kebahagiaan melalui
berpikir dan penalaran yang akurat. Dalam konteks ini, sebagai
pendidik, maka orang tua wajib mendidik mereka agar menaati
syariat ini, agar berbuat baik. Hal ini dapat dilakukan melalui
nasehat, pemberian ganjaran dan hukuman. Jika mereka telah
membiasakan diri dengan prilaku ini, dan kondisi ini terus
berlangsung lama, maka mereka akan melihat hasil dari perilaku

135
mereka itu. Mereka pun akan mengetahui jalan kebajikan dan
sampailah mereka pada tujuan mereka dengan cara yang baik.

D. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Akhlak


Menurut Ibn Miskawaih, tujuan pendidikan akhlak adalah
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan
untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga
mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan
sempurna. Sehingga manusia itu dapat berperilaku terpuji dan
sempurna sesuai dengan substansinya sebagai manusia, serta
bertujuan mengangkat manusia dari derajat yang paling tercela
sebagai derajat yang dikutuk oleh Allah SWT.
Menurut Ibn Miskawaih, kesempurnaan manusia memiliki
tingkatan dan substansi. Baginya kesempurnaan manusia ada dua
macam, yakni kesempurnaan kognitif dan kesempurnaan praktis.
Kesempurnaan kognitif terwujud jika manusia mendapatkan
pengetahuan sedemikian rupa sehingga persepsinya, wawasannya,
dan kerangka berpikirnya menjadi akurat. Sementara
kesempurnaan praktis ialah kesempurnaan karakter. Menurut Ibn
Miskawaih, kesempurnaan teoritis (kognitif) berkenaan dengan
kesempurnaan praktis. Kesempurnaan teoritis tidak lengkap tanpa
kesempurnaan praktis, begitu pula sebaliknya. Hal ini karena

136
pengetahuan adalah permulaannya dan perbuatan itu akhirnya.
Kesempurnaan sejati tercapai jika keduanya berjalin berkelindan.
Di pihak lain, bagi Ibn Miskawaih bahwa kesempurnaan manusia
itu terletak pada kenikmatan spiritual, bukan kenikmatan jasmani.

E. Metode Pendidikan Akhlak


Ibn Miskawaih menuliskan tentang metode agar seorang
manusia dapat mencapai kesempurnaan. Menurut Miskawaih,
seorang manusia harus mengetahui kekurangankekurangan tubuh
dan jiwa dan kebutuhan-kebutuhan primernya untuk melenyapkan
kekurangan-kekurangan itu serta memperbaikinya. Dalam konteks
tubuh, maka seorang manusia harus mengetahui kekurangan-
kekurangan jasmani dan kebutuhan-kebutuhan primernya untuk
melenyapkan kekurangan-kekurangan itu serta memperbaikinya.
Kebutuhan jasmani adalah makanan, pakaian, senggama, dan
lainnya. Karena itu, seorang manusia harus mengambilkan hanya
bila diperlukan untuk menghilangkan ketidaksempurnaannya dan
demi kelangsungan hidupnya. Kemudian, manusia itu pun tidak
boleh melampauibatas dalam memenuhi kebutuhan tubuhnya.
Dalam konteks jiwa, maka seorang manusia harus mengetahui
kekurangan-kekurangan jasmani dan kebutuhan-kebutuhan
primernya untuk melenyapkan kekurangan-kekurangan itu serta

137
memperbaikinya. Kebutuhan jiwaadalah pengetahuan,
mendapatkan objek-objek pikiran, membuktikan kebenaran
pendapat, menerima kebenaran, dan seterusnya. Seorang manusia
harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa ini, serta
mengetahui kekurangan dan melenyapkan kekurangan tersebut.
Ibn Miskawaih berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat
diusahakan atau menerima perubahan kepada yang baik apabila
dilakukan pendidikan dengan metode (cara yang efektif), yaitu:
a. Adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-
menerus dan menahan diri untuk memperoleh keutamaan dan
kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa.
Latihan ini terutama diarahkan agar manusia tidak
memperturutkan kemauan jiwa al- syahwaniyyat dan al-
ghadabiyyat.
b. Menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain
sebagai cermin bagi dirinya. Dengan cara ini seseorang tidak akan
hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin
kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain.
Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain ia
kemudian mencurigai dirinya, bahwa dirinya juga sedikit
banyaknya memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu

138
menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan
siang ia akan selalu meinjau kembali semua perbuatannya
sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar dari perhatiannya.

F. Materi Pendidikan Akhlak


Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn Miskawaih
menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan atau
dipraktikkan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara
umum Ibn Miskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan
mendapatkan materi pendidikan yang memberi jalan bagi
tercapainya tujuan pendidikan akhlak.
Seiring dengan itu, Ibn Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok
yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlak, yaitu:
(1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia,
(2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan
(3) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia.
Ketiga pokok materi tersebut menurut Ibn Miskawaih dapat
diperoleh dari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran
(al-‘ulûm al-fikriyah) dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indra
(al-‘ulûm al-hissiyat).
Dalam kesempatan lain, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa
tugas manusia di dunia adalah untuk mengabdi kepada Tuhan.

139
Karena itu, menurutnya semua materi-materi ilmu asalkan
bertujuan untuk pengabdian kepada Tuhan atau memperlancar
proses pelaksanaan pengabdian kepada Tuhan, boleh dan dapat
diajarkan kepada manusia.

BAB VII
PENDIDIKAN IBNU TAIMIYAH

140
A. Biografi Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah dilukiskan oleh banyak penulis sebagai tokoh
muslim yang ide-idenya cemerlang, gigih dalam upaya
meluruskan tradisi umat Islam pada zamannya, ia juga dikenal
sebagai penulis yang cukup produtif, dan terkenal dengan
fatwa-fatwanya yang dianggap banyak berseberangan dengan
pemikiran tradisional yang berkembang pada saat itu. Nama
lengkapnya adalah Taqiy al-din Ahmad Bin Abd al-Hakim Bin
Taymiyah, lahir di kota Harran wilayah Syiria, lima tahun setelah
Baghdad dikuasai oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan
Hulagu Khan, hari kelahirannya adalah hari Senin, 10 Rabiul
Awwal 661 H, bertepatan dengan tanggal 22 Januari 1263 M.
Ibnu Taimiyah wafat di Damaskus malam senin 20 Zul Qaidah
728, bertepatan dengan tanggal 26 September 1328 M. Ayahnya
bernama Syihab al-Din ‘Abd alHakim Ibn ‘Abd Salam (627-672)
seorang faqih bermazhab Hambali. Ia juga guru dalam bidang
tafsir, hadis, dan nahwu. Jabatan lainnya adalah sebagai Direktur
Madrasah Dar alHadits alSyukriyah, salah satu lembaga
pendidikan Islam bermazhab Hambali yang sangat maju dan
berkualitas di masanya. Di Lembaga inilah Ibn Taimiyah pertama
kali dididik. Dengan demikian Ibn Taimiyah dapat dengan mudah

141
mempelajari ilmu dari orang tuanya dan begitu cepat ilmu-ilmu
itu dikuasainya dengan baik. Selain itu, ia juga belajar kepada Ibn
alQawwy (603-699), al-Munaja Ibn Usman al-Tanukhi (611-695
H), dan Ibn Qudamah alMaqdisy (597682 H). Telah disebutkan di
atas bahwa keluarga beliau adalah bermazhab Hambali.

B. Perkembangan dan Hasrat Keilmuan


Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya.
Begitu tiba di Damaskus, ia segera menghafalkan Al-Qur’an dan
mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, hafiz dan ahli
hadist di negeri itu, kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat
para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika umurnya belum
mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan
mendalami bidang bidang tafsir, hadist, dan bahasa Arab. Ia telah
mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali kemudian
kutubu sittah dan Mu’jam At-Thabrani Al-Kabir. Suatu kali saat
ia masih anak-anak, pernah ada seorang ulama besar dari Aleppo,
Suriah yang sengaja datang ke Damaskus khusus untuk melihat
Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. setelah
bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan
matan hadist sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu
menghafalkannya secara cepat dan tepat, begitu pula ketika

142
disampaikan kepadanya beberapa sanad, ia pun dengan tepat pula
mampu mengucapkan ulang dan menghafalkannya, sehingga
ulama tersebut berkata “jika anak ini hidup, niscaya kelak ia akan
mempunyai kedudukan yang besar, sebab belum pernah ada
seorang bocah sepertinya”. Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan di
tengah-tengah para ulama sehingga mempunyai kesempatan untuk
membaca sepuaspuasnya kitab-kitab yang bermanfaat. Ia
menggunakan seluruh waktunya untuk belajar, belajar dan
menggali ilmu, terutama tentang Al-Qur’an dan sunah Nabi.

C. Kepribadiannya
Dia adalah orang yang kuat pendiriannya dan teguh berpijak
pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mematuhi segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah
berkata: “jika dibenakku sedang berpikir suatu masalah,
sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka
aku akan beristigfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai
dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku
lakukan di pasar, masjid, atau di madrasah. Semuanya tidak
menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi
cita-citaku.”

D. Menjadi pemimpin pasukan perang


143
Dia pernah memimpin pasukan untuk melawan pasukan
Mongol di Syakhab, dekat kota Damaskus, pada tahun 1299
Masehi dan dia mendapat kemenangan gemilang, pada Februari
1313, dia juga bertempur di kota Jerussalem dan mendapat
kemenangan. Dan sesudah karirnya itu, dia tetap mengajar
sebagai profesor yang ulung.

E. Pendidikan dan karyanya


Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, kdan memperoleh
berbagai macam ilmu, diantaranya: Ilmu hitung (Matematika),
Khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai
mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah
hafal Al-Qur’an. Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai
terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa
dalam masalah-masalah keagamaan.
Ibnu Taimiyah amat menguasai ilmu rijalul hadist atau perawi
hadist yang berguna menelusuri hadist dari periwayat atau
pembawanya dan fununul hadist (macam-macam hadist) baik
yang lemah, cacat, atau sahih. Ia memahami semua hadist yang
termuat dalam kutubus sittah dan AlMusnad. Dalam
mengemukakan ayat-ayat sebagai hujah atau dalil, ia memiliki
kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan

144
kesalahan dan kelemahan para musafir atau ahli tafsir. Tiap
malam ia menulis tafsir, fiqih, ilmu ushul sambil mengomentari
para filsuf. Sehari semalam ia mampu menulis empat buah
kurrosah atau buku kecil yang memuat berbagai pendapatnya
dalam bidang syariat. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh
Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul.
Karya-karyanya yang terkenal adalah Majmu’ Fatawa yang berisi
masalah fatwa fatwa dalam agama Islam.

F. Wafatnya
Ibnu Taimiyah meninggal di penjara Qal’ah Dimasyq
disaksikan oleh seorang muridnya Ibnul Qayyim ketika dia
sedang membaca Al-Qur’an surah Al-Qamar, ia berada di penjara
ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami
sakit selama dua puluh hari lebih. Pada masa tuanya, dia menulis
banyak kitab sekaligus mengisi waktunya. Dia dipenjara karena
berseberangan dengan pemerintah di zamannya. Sewaktu menulis,
dia sering juga sering bersurat-suratan dengan kawan-kawannya.
akhirnya, pihak pemerintah merampas semua peralatan tulisnya,
tinta, dan kertas-kertas dari tangan dia. Namun, dia tidak pernah
patah arang. Dia banyak berdakwah dengan menulis surat kepada
teman-temannya, dan teman-temannya menggunakan arang.

145
Maka dengan jelas beliau bersabda, “Orang yang terpenjara
adalah orang yang terpenjara pada hari Tuhannya, sedangkan
orang yang ditawan adalah orang yang ditawan oleh hawa
nafsunya.” Beliau wafat pada tanggal 22 dzulqadah 728 H (26
September 1328 M), dan dimakamkan pada waktu Ashar
disamping makam saudaranya Syekh Jamal Al-Islam
Syarafuddin, jenazahnya di solatkan di masjid jami bani umayah
setelah solat dzuhur yang dihadiri pejabat pemerintah, ulama,
tentara, dan warga.
Saat itu tidak ada seorang pun yang tidak menghadiri
pemakaman kecuali seseorang yang sedang berada dijalan, para
wanita yang berjumlah sekitar 15.000 orang juga datang untuk
bergabung, ini belum termasuk suara isak tangis dan doa yang
terdengar dari rumah-rumah di sepanjang jalan, jalan menuju
makam, sedangkan laki-laki yang hadir diperkirakan 60.000
bahkan sampai 100.000 pelayat menurut kesaksian Ibnu Katsir.

G. Pemikiran Pendidikan Ibnu Taimiyah


Beberapa konsep pemikiran Ibnu Taimiyah tentang masalah
pendidikan yang mungkin dapat diterapkan melalui pengelolaan
pendidikan Islam khususnya di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Falsafah Pendidikan
146
Dasar ataupun azas yang digunakan sebagai acuan Falsafah
Pendidikan adalah ilmu yang bermanfaat sebagai azas bagi
kehidupan yang cerdas dan unggul. Sementara menggunakan ilmu
akan dapat menjamin kelangsungan dan kelestarian masyarakat.
Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ilmu yang
bermanfaat yang didasarkan atas azas kehidupan yang benar dan
utama adalah ilmu yang mengajak kepada kehidupan yang baik
yang diarahkan untuk berhubungan dengan Al-Haq serta
dihubungkan dengan kenyataan makhluk serta memperteguh rasa
kemanusiaan. Hal ini dibangun atas dasar sebagai berikut:

1. At-Tauhid
Berdasarkan Tauhid ini Ibnu Taimiyah mencoba memberikan
gambaran mengenai konsep orang yang berilmu, tujuan
pendidikan, kurikulum dan sebagainnya. Dengan dasar Tauhid ini
orang alim adalah orang yang menyatakan bersaksi atas
ketuhanan Allah lalu mengesakannya. Dengan demikian adanya
ketentuan Tuhan mengenai iman dapat mengeluarkan manusia
dari kegelapan menuju terang benderang, orang yang beriman
digambarkan sebagai orang-orang yang berpegang teguh pada
Tuhannya baik dalam bidang pengetahuan atau amalannya, yaitu

147
berpegang teguh pada wahyu yang dipahami melalui akal sehat,
pendengaran, dan hidayah Allah.

2. Tabi’at Insaniyah (kemanusiaan)


Seseorang tidak dapat mencapai pengembangan kecenderungan
tauhidnya melalui pengajaran dan pendidikan. Dengan demikian
ada Al-Risalah dan Al-Rasul.

H. Implikasi Pemikiran Ibnu Taimiyah dalam


Pendidikan
Ibnu Taymiyah dilukiskan oleh banyak penulis sebagai tokoh
muslim yang ide-idenya cemerlang, gigih dalam upaya
meluruskan tradisi umat Islam pada zamannya, ia juga dikenal
sebagai penulis yang cukup produtif, dan terkenal dengan fatwa-
fatwanya yang dianggap banyak berseberangan dengan pemikiran
tradisional yang berkembang pada saat itu.
Dalam sejarah, paham Hanabilah dikenal sangat gigih berjuang
dalam usaha reformasi tradisi masyarakat yang bertentangan
dengan ajaran-ajaran agama Islam dengan semangat puritanisme
dan pemahaman yang literal terhadap nas-nas naqli. Hal ini sangat
penting untuk merespon kondisi social masyarakat pada masa itu
yang sedang menghadapi berbagai macam persoalan, baik internal
maupun eksternal. Secara internal umat Islam dihadapkan pada
148
konflik politik yang berkepanjangan, kebekuan pemikiran akibat
disumbatnya pintu ijtihad, terjadinya fanatisme golongan,
ditambah lagi dengan dengan penyimpangan aqidah dan ibadah
seperti; takhayyul, taqlid buta, bid’ah dan khurafat. Secara
eksternal, umat Islam dihadapkan pada musuh yang dating dari
dua penjuru; dari timur bangsa Tar-Tar, dan dari barat Pasukan
Salib. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi pikiran Ibnu
Taimiyah, dan pusaran ide-idenya adalah tertuju kepada
pemurnian aqidah dan ibadah dengan semboyang : “al-Ruju‘u ila
alQur’an wa al-Sunnah”. Kritiknya terhadap berbagai bentuk
praktek khurafat dinyatakan dalam ungkapannya: “Inna Usul al-
Din wa Furuuha Qad Bayyanaha al-Rasul. Selanjutnya ide-idenya
digunakan pula untuk menyerang mantiq dan filsafat, namun
demikian ia menekankan terbukanya pintu ijtihad di samping
tetap berpegang teguh terhadap sufisme. Pemikiran dan
pandangan Ibnu Taimiyah dapat dijumpai dalam karyakaryanya
yang menurut perkiraan para peneliti berkisar 300 – 500 buah,
dalam jilid besar dan kecil. Meskipun tidak semua karya tokoh
reformis ini dapat diselamatkan.
a) Konsep Pendidikan Ibnu Taimiyah

149
Menurut Ibnu Taimiyah dalam proses pendidikan secara garis
besarnya, ada dua metode (Tariqah) yang harus ditempuh secara
bersamaan, yaitu al-Tari>qah al-
‘Ilmi>ah (Metode Ilmiah) dan al- Tariqah al-Iradiyah (Metode
iradiyah).

1) Al-Tariqah Al-‘Ilmiah (Metode Ilmiah)


Menurutnya metode ilmiah ini adalah metode yang dapat
mengantarkan peserta didik pada pemahaman yang benar
terhadap berbagai argument dan sebab yang dapat diperoleh dari
suatu ilmu tertentu. Metode ini diwujudkan berdasarkan tiga
syarat, diantaranya sebagai berikut: Pertama, baiknya alat untuk
memperoleh ilmu pengetahuan, yakni hati, pendengaran,
penglihatan, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam Q:S. Al-
Isra’(15): 36.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai


pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan dimintapertanggungan jawabnya”.
Kemudian Ibnu Taimiyah mengatakan, pada mulanya hati
diciptakan dalam kondisi baik, sama halnya dengan anggota
badan yang lain. Pada saat manusia berbuat sesuatu yang

150
bertentangan dengan fitrahnya, seperti badan ketika sakit tidak
enak makan hal-hal yang bermanfaat baginya, tetapi setelah
sembuh dari penyakitnya, ia akan kembali seperti semula. Begitu
pula hati, ia akan kembali kepada pengetahuan yang bermanfaat
dan aktivitas kehidupan yang baik. Adapun penyebab sakitnya
hati adalah hinggapnya sifat-sifat tercela yang bersarang pada
daya fikir dan daya iradat, terkontaminasinya pikiran dengan hal-
hal syubhat yang dapat membelokkan dari kebenaran, cenderung
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan fitrahnya, dan
mempengaruhi iradat sehingga tidak peka dan antusias lagi untuk
melakukan perbuatan mulia dan bermanfaat yang menyebabkan
matinya rasa dan rasio yang berinflikasi pada sulitnya
membedakan antara yang baik dan yang buruk, benci terhadap
kemaslahatan, dan cinta kepada kebathilan dan kemudratan. Ibnu
Taimiyah lebih lanjut mengatakan bahwa hal yang syubhat dan
perbuatan tercela yang disandarkan pada hawa nafsu tidak
berinflikasi pada matinya hati kecuali bila dibarengi dengan
kebodohan. Oleh sebab itu nilai inti dari pendidikan dalam
mengajarkan materi adalah sampai materi tersebut dipahami oleh
peserta didik dengan baik sehingga dapat
mengimplementasikannya dalam kehidupan.

151
Dengan demikian Ibnu Taimiyah kelihatannya menempatkan
hati sebagai tolak ukur utama dalam memandang suatu kebenaran
ilmiah, sehingga tingkat pemahaman manusia terhadap ilmu
pengetahuan tergantung pada kondisi hatinya. Namun demikian
dalam hal mengukur kualitas hati tersebut Ibnu Taimiyah hanya
dapat menampilkan baik dan buruknya perbuatan seseorang, pada
hal tidak menutup kemungkinan bisa terjadi kemunafikan atas
perbuatan-perbuatan yang ditampilkan oleh seseorang.
Kedua, menguasai secara sempurna apa yang dipelajari, karena
pengetahuan yang parsial lebih berbahaya dari kebodohan. Lebih
lanjut Ibnu Taimiyah mengatakan, di antara orang yang paling
membahayakan adalah ulama, hakim, dokter, dan ahli bahasa
yang ilmunya tidak sempurna karena ulama akan merusak agama,
hakim akan merusak masyarakat, dokter akan merusak badan, dan
ahli bahasa akan merusak bahasa.
Ketiga, mensejajarkan antara pengetahuan dan amal. Jika
hanya menekankan pengetahuan tanpa amal akan salah dalam
prakteknya dan kalau hanya menekankan amal tanpa
pengetahuan, berakibat salah dalam pemahaman. Maka untuk
dapat mencapai pada kebenaran dan kesempurnaan hanya dengan
mengintegralkan dua hal tersebut. Hal ini membawa konsekuensi

152
berat bagi penuntut ilmu, bisa jadi ia termasuk orang yang
optimis, sehingga terpacu semangatnya untuk terus belajar, atau ia
juga pesimis ketakutan dengan dua konse kuensi tersebut, karena
diakui atau tidak sangat sulit sekali untuk melakukan hal itu bagi
penyandang predikat pelajar. Menurut penulis, sejajar dan
tidaknya bukan merupakan syarat mutlak dalam proses belajar
tapi lebih mengarah pada tanggung jawab personal. Walaupun
demikian tidak menutup kemungkinan manusia dapat
mengaplikasikan bentuk ideal tersebut.
Dalam merealisasikan metode ilmiah dalam proses pendidikan,
Ibnu Taimiyah mengklasifikasikan dalam tiga bentuk sesuai
dengan karakter peserta didik, yaitu : Pertama, dengan al-Hikmah.
Model ini dapat diterapkan pada golongan yang tahu tentang
kebenaran (al- haq) dan mengikutinya.
Kedua, dengan al-mauizah, ini diterapkan pada golongan yang
mengetahui sesuatu yang haq, tetapi tidak mengamalkannya.
Ketiga, dengan dialog (al-jadal al-ahsan), ini dapat diterapkan
pada golongan yang tidak tahu pada sesuatu yang haq. Pembagian
metode ilmiah kedalam tiga bentuk tersebut, berdasarkan pada
praktek Rasullallah SAW. Dalam mengajak umatnya pada jalan
Allah SWT. Ini dipandang sebagai format ideal karena merupakan

153
bentuk yang bersemangatkan nilai-nilai alQur’an, yakni
menyatukan antara ilmu dan amal baik, dan memperhatikan
tingkatan golongan manusia sebagaimana tersebut diatas,
sehingga secara langsung dapat memudahkan proses belajar
sesuai dengan kemampuan serta posisi seseorang. Adapun obyek
sasaran dari metode ilmiah (at-tariqah al-ilmiah) adalah
pembentukan dan penanaman konsep ilmu secara mendalam dan
obyektif, sehingga didapatkan pemahaman yang konprehensif
dalam berbagai aspek kkeilmuan

2) Al-Tariqah Al-Iradiyah (Metode iradiyah)


Metode al-iradiyah menurut Ibn Taimiyah adalah metode yang
dapat mengantarkan seseorang pada pengalaman ilmu yang di
pelajari. Tujuan utamanya adalah mendidik kemauan (ghirah)
anak didik. Sehingga tidak melakukan perbuatan kecuali yang
diperintahkan oleh Allah SWT.
Metode ini didasarkan pada tiga syarat yaitu:
Pertama, mengetahui hakikat iradah, yang dimaksud iradah
menurut Ibn Taimiyah adalah kuatnya usaha dan kecintaan yang
dapat mendorong manusia pada tujuan yang jelas, yaitu
keseimbangan antara tiga daya yang dimilikinya, (al-quwah al-
agliah, al-quwah alghadabiayah, al-quawah al-Syahwaniyah). Di

154
antara ketiga daya tersebut, yang paling tinggi tingkatannya
adalah al-aqliyah, ini membedakan antara manusia dengan hewan
dan menjadi sejajar kedudukannya dengan malaikat, bahkan orang
yang dapat mengalahkan syahwatnya akan lebih utama dari pada
malaikat. Sebaliknya orang yang akalnya dikalahkan oleh
syahwatnya lebih hina dari binatang.
Kedua, mengetahuai tujuan mulia yang dikehendaki iradah. Hal
ini sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang
paling mulia. Karena pada dasarnya manusia diciptakan
mempunyai tujuan hidup yang jelas, yakni agar mendapatkan
ridho Allah SWT. Dan untuk merealisasikan hal itu adalah dengan
cara melaksanaakan ibadah sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan lewat Rasullah SAW, karena segala hal kehidupan
yang bersifat duniawi seperti, makanan, pangkat, kedudukan, dan
sejenisnya idak dapat memberikan ketentraman jiwa, sampai ia
beriman kepada Allah SWT, dan selalu berzikir.
Ketiga, mengetahui lingkungan yang baik dan cocok iradah. Ini
perlu ada kerja sama antar seluruh institusi yang bergerak dalam
bidang pendidikan sebagai upaya untuk menumbuhkan kehidupan
social kemasyarakatan yang baik yang menjauhi perbuatan

155
maksiat, sebab apabila jiwa manusia terjerumus pada kemaksiatan
maka sulit untuk dipisahkan.
Bentuk-bentuk dari metode al-iradiyah adalah: pertama,
mempelajari isi kandungan al- Qur’an dan memahaminya, hal ini
dapat menghilangkan hal-hal yang syubhat dan hawa nafu yang
dapat menjadi hijab untuk memperolah ilmu pengetahuan. Kedua,
infaq dan sedeqah, kerena dengan meninfaqkan harta dapat
meredam sifat lupa terhadap ilmu pengetahuan bagaikan api
disiram air serta dapat membersihkan hati dari sifat-sifat yang
tercela. Ketiga, meninggalkan perbuatan keji dan maksiat karena
hal tersebuit bagaikan daki yang menempel pada badan. Keempat,
beribadah mahdhah dengan berbagai macam bentuknya.
Adapun obyek metode iradiyah adalah pembinaan keimanan.
Menurut Ibnu Taimiyah, iman itu memilki pengertian khusus dan
umum. Iman dalam pengertiannya yang khusus adalah rukun
iman yang terdiri dari enam perkara secara normatif, dan iman
dalam maknanya yang umum adalah mencakup segala bentuk
perbuatan yang dicintai Allah dan Rasulnya, baik secara dzahir,
maupun secara bathin.
Selanjutnya obyek metode iradiyah termasuk pengajaran
tentang nilai-nilai keutamaan Islam, serta pensucian jiwa

156
(taz}kiyah al-nafs). Tiga obyek tersebut merupakan suatu
rangkaian yang saling menopang antara satu dengan yang lainnya
yang tidak dapat dipisahkan. Iman merupakan pangkal dari segala
aktivitas peribadatan, dengan pancaran iman aplikasi nilai-nilai
keutamaan Islam yang disyari’atkan akan mendatangkan
kebaikan, pada pada akhirnya akan berinflikasi terhadap usaha-
usaha yang lebih detail untuk mensucikan jiwa bagi seorang
penuntut ilmu.
Dua metode di atas bagaikan dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Bila hanya menekankan metode
ilmiah, akan melahirkan orang yang berilmu tapi tidak beramal.
Sebaliknya, bila hanya menekankan apek iradiyahnya maka akan
melahirkan orang yang beramal tanpa menggunakan ilmu yang
benar.
Landasan berpijaknya Ibnu Taimiyah dalam menetapkan dua
metode pendidikan tersebut di atas, yakni metode ilmiah dan
metode radiyah adalah karena manusia berpotensi berbuat baik
dan berbuat buruk, antara kedua potensi tersebut senantiasa
terlibat pertarungan sengit untuk memenangkan dominasinya
terhadap seseorang, hal itu sudah menjadi sunnatullah yang tidak
dapat terelakkan. Inilah yang menjadi alasan utama Ibnu

157
Taimiyah mengelompokkan peserta didik sebagai obyek
pendidikan ke dalam tiga golongan, dengan tujuan agar
terlaksananya pendidikan, khususnya pembelajaran secara efektif
dengan menggunakan kedua metode yang sudah diuraikan di atas.
Kemudian tujuan utama setiap meteri pembalajaran yang
disampaikan kepada peserta didik adalah tertanamnya kesadaran
di dalam hati peserta didik bahwa dirinya dan segala sesuatu yang
dipelajarinya adalah makhluk Allah, sehingga dengan demikian,
semakin tinggi ilmu seseorang semakin tinggi pula takwanya
kepada Allah. Dalam hal ini, materi pembelajaran atau ilmu yang
diajarkan terhadap peserta didik tidak boleh dikagumi, karena
yang patut dikagumi adalah penciptanya. Ilmu atau materi
pembelajaran hanyalah merupakan salah satu media untuk
mengagumi dan beribadah kepada Sang Pencipta.

BAB VIII
PENDIDIKAN BURHANUDDIN AZ-ZARNUJI DAN KH.
AHMAD DAHLAN
A. Biografi Burhanuddin az-Zarnuji Dan Ahmad Dahlan
Nama lengkapnya adalah Burhanuddin al-Islam az-
Zarnuji. Di kalangan ulama belum ada kepastian mengenai

158
tanggal kelahirannya. Adapun mengenai kewafatannya,
setidaknya ada dua pendapat yang dikemukakan disini. Pertama,
pendapat yang mengatakan bahwa BUrhanuddin az zarnuji wafat
pada tahun 591 H/1195 M. sedangkan pendapat yang kedua
mengatakan bahwa ia wafat pada tahun 840 H/1243 M. sementara
itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Burhanuddin
hidup semasa dengan Rida ad Din an-Naisaburi yang hidup antara
tahun 500-600 H.
Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah seorang ulama’, tokoh
pendidikan, dan juga merupakan pahlawan perjuangan sebelum
kemerdekaan. Beliau adalah seorang revolusioner pada saat itu
dalam bidang agama dan pendidikan. Meskipun dia bukan berasal
dari kalangan terpelajar tapi ide-ide cemerlangnya mampu
membawa rakyat Indonesia ke arah perubahan. Sebagai salah satu
contoh, beliau merubah sistem pendidikan di Indonesia, yang
semula hanya ada pendidikan gubernemen milik pemerintah
Hindia-Belanda dan pendidikan agama di madrasah-madrasah.
Kemudian dia mempunyai gagasan untuk memadukan antara
pendidikan agama dengan sistem pendidikan gubernemen.
B.Pemikiran Pendidikan Burhanuddin Az-Zarnuji dan
Pemikiran Pendidikan Ahmad Dahlan

159
Pemikiran Pendidikan Az-Zarnuji Pendidikan dalam
Islam memiliki makna sentral dan berarti proses pencerdasan
secara utuh, yaitu as a whole, dalam rangkamencapai
Sa’adatuddarain, kebagiaan dunia akhirat, atau keimbangan
meteri dan religiuous-spiritual. Salah satu ajaran dasar Nabi
adalah intelektualisasi total, yakni proses penyadaran kepada
umat dalam berbagai dimensi kehidupan (Wajadilhum billati hia
ahsan :Qur‟an, 16: 125 )Di dalam karangan Az-Zarnuji yang
terkenal “Ta’lim al-muta’allim
1. Pengklasifikasian Ilmu
Sesuai dengan hadis Nabi SAW yang mengatakanbahwa
”Menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim
danmuslimah”
maka secara garis besar syekh Az-Zarnuji menganjurkan agar
kiranya setiap individu selalu dan senantiasa menuntut ilmu tanpa
terkecuali, akan tetapi walaupun demikian Az-Zarnuji secara garis
besar mengklasifikasikan hukum mempelajari ilmu tersebut,
sehingga dalamhal ini ada 2 penjelasan Az-Zarnuji tentang
persolan ini, dan tentunyahal tersebut di lihatnya dalam berbagai
aspek.
Pertama

160
, ilmu yang sifatnya fardu „Ain,
yaitu ilmu-ilmu yang setiap muslim-muslimah secara individu
wajib mempelajarinya dan menguasainya, dan tidak dapat
diperwakilkan oleh siapa pun jugakecuali dirinya sendiri, dalam
kaitannya dengan hal ini maka barangsiapa yang tidak
mengerjakanya atau mempelajarinya berarti telah berdosa pada
sang pencipta tuhan yang maha esa. Ilmu-ilmu yang
dianggap fardu „Ain tersebut oleh Az-Zarnuji adalah seperti Ilmu
fiqhdan ilmu ushul (dasar-dasar agama). Atau dengan kata lain
seluruh yang ada hubungannya dengan ihwal manusia dan
kewajiban-kewajiban dalam kesehariannya maka wajib hukumnya
mempelajarinya, mislanya, sholat, teori-teori bekerja dan
bermasyarakat dan lainsebagainya. Sebagaimana dikatakan bahwa
ilmu yang lebih utama adalah ilmu yang akan di amlkan.
Kedua
ilmu yang sifatnya fardu kifayah, yaitu ilmu-ilmu yangstiap Islam
tidak di wajibkan secara individu, jika suda ada seseorang yang
mempelajarinya berarti kewajiban bagi muslim dan Muslimah
yang lain telah gugur, akan tetapi jika tidak ada yang
mempelajarinyaatau menguasainya berarti seluruh muslimin dan
muslimah dalamwilayah (komunitas) tersebuttelah melalaikan

161
kewajiban. Ilmu-ilmutersebut diantaranya adalah ilmu
pengobatan, ilmu astronomni dan Georafis dan sebagainya
C. Implikasi Pemikiran Burhanuddin Az-Zarnuji dalam
Pendidikan Analisis Pemikiran Pendidikan Para Tokoh Islam
Indonesia KH. Ahmad Dahlan
Konsep pendidikan Islam Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji
yang tertuang dalam kitab Ta’limul Muta’allim tercermin
paradigma pendidikan zaman klasik yang menampakkan
perbedaan agak mencolok dengan Muhammadiyah, ini dapat
dilihat dari pemikiran-pemikiran Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji
sebagai berikut Pertama, menurut Syaikh Burhanuddin Az-
Zarnuji ilmu adalah media untuk mencapai derajat takwa kepada
Allah SWT. Hal ini diperkuat oleh pernyataan imam Abu Hanifah
bahwa belajar ilmu fiqih dimaksudkan untuk memahami hakikat
diri sendiri sehingga mempelajari ilmu sekaligus berarti
mengamalkannya. Pengetahuan seseorang akan ketentuan hukum-
hukum yang menjelaskan sesuatu itu benar atau dengan demikian
menjadi sangat penting. Sebagai konsekuensinya ia harus
konsisten dengan apa yang dianggap sebagai kebenaran dalam
perilaku kehidupannya. Kedua, berkaitan dengan klasifikasi mata
pelajaran, menurut Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji sesuai dengan

162
madzhab Hanafiyah, mata pelajran terbagi kedalam dua kategori,
yaitu wajib (fardhu ‘ain), dan pilihan (fardhu kifayah). Sementara
dalam pandangan syafi’iyah mata pelajaran itu diklasifikasikan
kedalam mata pelajaran keagamaan (syar’i) dan mata pelajaran
keagamaan (ghair syar’i), mata pelajaran golongan kedua ini
meliputi mata pelajaran yang dilarang (haram), yang dibenci
(makruh), dan yang diperbolehkan (mubah). Dalam pada itu mata
pelajaran keagamaan terdiri dari yang diharuskan (fardu ‘ain),
yang pilihan (fardu kifayah), dan yang disarankan. Ketiga,
Berkenaan dengan metode belajar bagi Syaikh Burhanuddin Az-
Zarnuji belajar dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan,
mental, memori dan intelek, ia mendudukan kepentingan
menghafal secara gradual, disatu pihak juga menekankan perlunya
diskusi (munakosah) dan dialog (muhawarah), dimana metode-
metode tersebut dapat dipraktekan sesuai dengan karakter materi
pelajaran sehingga mencapai pemahaman yang baik dilain pihak.
Baginya memahami dua kata lebih baik daripada menghafal dua
buku bacaan, sebaliknya dikalangan syafi’iyah dalam hal ini
diwakili oleh Ibn Jam’ah sistem pengulangan lebih ditekankan
daripada pemahaman. Sangat terbiasa seorang murid menghafal
sejumlah materi yang sangat banyak tetapi kurang memahaminya.

163
Demikianlah pemikiran Syaikh Burhanuddin Al-Zarnuji
mengenai pendidikan yang dituangkan dalam ke- 13 pasal yang
tertuang dalam kitab ta’limul muta’allim. Sementara pemikiran
pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan dengan menawarkan
konsep baru yang bertolak pada pemahaman hakikat manusia
secara utuh. Pendidikan seyogyanya melahirkan manusia-manusia
tangguh yang siap menghadapi problema masa depan. Untuk
itulah, K.H. Ahmad Dahlan membuat alternatif baru yaitu dengan
memadukan sistem pendidikan pribumi atau pesantren dengan
sistem pendidikan kolonial yang sesuai dengan ajaran Islam.
Hasilnya, terbentuk sistem pembelajaran yang tidak hanya
mencekoki peserta didik dengan satu cabang ilmu melainkan
mengombinasikan ilmu umum dan ilmu agama. Pendidikan Islam
yang bercorak integralistik adalah suatu sistem pendidikan yang
melatih perasaan murid-murid dengan cara sebegitu rupa sehingga
dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka
terhadap segala jenis pengetahuan, merek dipengaruhi sekali oleh
nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam. Meski ide ini
telah klasik namun tetap menarik perhatian, sebab merealisasikan
ke tataran praksis selalu tidak mudah. Setelah pembaharuan
pendidikan berlangsung hampir satu abad pendidikan Islam (juga

164
Muhammadiyah) masih tampak menonjol. Suatu dualitas budaya
muncul di mana-mana di dunia Muslim, suatu dualitas dalam
masyarakat yang berasal dari sistem pendidikan ganda; sistem
pendidikan Islam tradisional, dan sistem pendidikan sekuler
modern melahirkan tokohtokoh sekuler. Dengan demikian, proses
pencarian sistem pendidikan integralistik harus dilakukan secara
terus-menerus sebangun dengan akselerasi perubahan sosial dan
temuantemuan inovatif pendidikan. Di Muhammadiyah, langkah
ke arah itu masih terus berlangsung yaitu dengan membangun
sekolah-sekolah alternatif atau kemudian dikenal dengan sekolah
unggulan. Satu dekade terakhir ini virus sekolah unggul benar-
benar menjangkiti seluruh warga Muhammadiyah. Lembaga
pendidikan Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak,hingga
Perguruan Tinggi berpacu dan berlomba-lomba untuk
meningkatkan kualitas pendidikan untuk menuju pada kualifikasi
sekolah unggul. Sekarang ini hampir di semua daerah kabupaten
atau kota terdapat sekolah unggul Muhammadiyah, terutama
untuk tingkat TK dan Sekolah Dasar. Sekolah yang dianggap
unggul oleh masyarakat sehingga mereka menyekolahkan anak-
anak di Muhammadiyah pada umumnya ada dua tipe; sekolah
model konvensional tetapi memiliki mutu akademik yang tinggi,

165
atau sekolah model baru dengan menawarkan metode
pembelajaran mutakhir yang lebih interaktif sehingga memiliki
daya panggil luas.
D. Analisis Pemikiran Pendidikan Para Tokoh Islam
Indonesia KH. Ahmad Dahlan
Pendidikan merupakan suatu bagian terpenting dalam
proses perkembangan suatu bangsa. Munculnya tokoh pemikir
yang peduli terhadap pendidikan bangsa Indonesia menjadi faktor
pendorong pergerakan nasional di Indonesia. Ahmad Dahlan salah
satu tokoh yang peduli terhadap pendidikan bangsa Indonesia. Dia
melihat terdapat perbedaan antara sistem pendidikan kolonial
Belanda dan sistem pendidikan Islam tradisional yang
berpusatkan di pondok pesantren sehingga berkembang dualisme
dalam sistem pendidikan di Indonesia. Melihat perbedaan
pendidikan yang terjadi pada saat itu maka timbulah ide dari
Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan. Dalam
melakukan pembaruan Ahmad Dahlan tidak hanya mendirikan
sekolah, tetapi ikut membantu mengajar ilmu keagamaan di
sekolah lain.
Merasa prihatin terhadap perilaku masyarakat Islam di Indonesia
yang masih mencampur-baurkan adat istiadat yang jelas-jelas

166
bertentangan dengan ajaran umat islam, inilah yang menjadi latar
belakang pemikiran Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaruan,
yang juga melatar belakangi lahirnya Muhammadiyah. Pemikiran
Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai
awal kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia. Gagasan
pembaruannya sempat mendapat tantangan dari masyarakat waktu
itu, terutama dari lingkunagan pendidikan tradisional. Kendati
demikian, bagi Dahlan, tantangan tersebut bukan merupakan
hambatan, melainkan tantangan yang perlu dihadapi secara
bijaksana. Arus dinamika pembaharuan terus mengalir dan
bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang
semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam
menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat
perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karena pendidikan
merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan
umat.
Gerakan organisasi sosial keagamaan di Indonesia memiliki peran
yang sangat penting. Salah satu diantaranya adalah persyarikatan
Muhammadiyah yang dibangun oleh Ahmad Dahlan.
Muhammadiyah memiliki tridimensi gerakan yakni keIslaman,
dakwah dan pembaharuan. Muhammadiyah terbukti mampu

167
menyentuh semua bidang kehidupan, dan mendapat simpati
banyak orang, sehingga tidak heran jika ormas ini untuk
selanjutnya mendulang jumlah anggota yang selalu menunjukkan
grafik naik pada tiap tahunnya.
Praktek keagamaan masyarakat saat itu yang dianggap
menyimpang dari nilai-nilai Islam seperti praktek takhayul, bid’ah
dan khurafat,maka Ahmad Dahlan berusaha mendobrak dan
memerangi kemapanan tradisi yang sudah berurat akar dalam
masyarakat tersebut dengan meniscayakan adanya tajdid
(pembaruan) sebagai soko guru gerakannya. Corak pemikiran
Islam dari Ahmad Dahlan pada umumnya berkisar pada
penekanan praktik Islam salaf sebagai kritik atas Islam tradisional
(taqlid) yang bercorak sinkretis karena pengaruh adat istiadat
lokal. Dengan kata lain, singularitas Islam direkonstruksi lagi
menjadi Islam sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, pembaruan
dalam Muhammadiyah berarti memperbarui pemahaman (Islam)
dengan kembali kepada keaslian Islam.

168
BAB IX
PENDIDIKAN KH. HASYIM ASY’ARI DAN KI HAJAR
DEWANTARA
A. Biografi K.H Hasyim Asy’ari
Nama lengkap K.H. Hasyim Asy‟ari adalah Muhammad 
Hasyim Asy‟ariIbn „Abd al-Wahid ibn ‘’Abd al-Halim yang
mempunyai gelar Pangeran Bona-ibn al-Rahman yang dikenal
Jaka Tingkir Sultan Hadiwijoyo-ibn Abdulla ubAbdu al-Aziz ibn
Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden-Ain al-Yaqinyang
disebut dengan Sunan Giri. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di
daerahJombang, Jawa Timur, pada hari selasa Kliwon pada
tanggal 14 Februari 1871. K.H. Hasyim Asy‟ari wafat pada jam
03:45 dini hari pada tanggal 25 Juli 1947 bertepatan dengan 7

169
Ramadhan tahun 1366 dalam usia 79 tahun. Semasa hidupnya, ia
mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pedidikan
dibidang ilmu-ilmu Al-qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah
itu, selain itu ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai
pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shona,
Siwalan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan
Sidoarjo, ternyata K.H. Hasyim Asy‟ari merasa terkesan untuk
terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K.H.Ya‟qub yang
merupakan Kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya‟qub lambat laun
merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy‟ari dalam
perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya
dengan puterinya,Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892,
Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K.H.
Ya’qub tersebut.
Setelah nikah, K.H. Hasyim Asy‟ari bersama isterinya
segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci,
mertua K.H Hasyim Asy‟ari menganjurkanya untuk menuntut
ilmu di makkah. Dimungkinkan hal ini didorong oleh tradisi pada
saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakancukup ilmunya.
Jika belum mengaji di makkah selama bertahun-tahun. Di makkah
itu, K.H Hasyim Asy‟ari mempelajari berbagai macam disiplin

170
ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqih Syafi‟yah dan ilmu hadist,
terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim. Di saat K.H
Hasyim Asy‟ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah
menetap 7 bulan di makkah, isterinya meninggal dunia pada
waktu melahirkananak pertamanya sehingga bayinya pun tidak
bisa di selamatkan. Sungguhpundemikian, hal ini tidak
mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu. Bagi
Hasyim Asy‟ari, semangat mengembangkan ilmu pengetahuan
tidak ada putus -putusnya. Ia itu selalu saja merasa tidak puas
terhadap apa yang telah ia capai
pada saat itu. Semangat ini kemudian mendorong Hasyim Asy‟ari 
untuk mendirikan pondok pesantren tebu ireng, pada tanggal 6
februari 1906. Pesantren yang didirikan tersebut tidak berapa
lama kemudian berkembangmenjadi pesantren yang terkenal di
Nusantara menjadi tempat Menggodok kader-kader ulama untuk
wilayah jawa dan sekitarnya. Sejak masih di pondok, ia telah di
percayai untuk membimbing/mengajarsantri baru. Ketika di
makkah, ia sempat mengajar. Demikian pula ketika kembali ke
tanah air, diabadikan seluruh umur hidupnya untuk agama dan
ilmu.
B.Pemikiran Tentang Pendidikan

171
Salah satu karya monumental K.H. Hasyim Asy‟ari yang
berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab al-Alim wa al-
Muta‟allim fima Yahtaj Ilah al Muta‟alim fi Ahuwul Ta‟allum w
a ma Yataqaff al-Mu‟alim fi MaqamatTa‟limih yang di cetak
pertama kali pada tahun 1945 H. Sebagaimana umumnya kitab
kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan etika. Meski
demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan
lainnya.Keahliannya dalam bidang hadist ikut pula mewarnai isi
kitab tersebut.Sebagai bukti adalah dikemukakannya beberapa
hadist sebagai dasar dari penjelasannya, disamping beberapa ayat
al-Qura‟an dan pendapat para ulama. Ia memulai tulisannya
dengan sebuah pendahuluan yang menjadi pengantar bagi
pembahasan selanjutnya. Kitab tersebut terdiri dari 8 Bab, yaitu :
keutamaan ilmu serta keutamaan belajar mengajar, etika yang
harus diperhatikan dalam belajar mengajar, etika seorang murid
terhadap guru, etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang
harus dipedomani bersama guru, etika yang harus dipedomani
seorang guru, etika guru ketika akan mengajar, etika guru
terhadap murud-muridnya dan etika terhadap buku, alat untuk
memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

172
Dari delapan bab tersebut dapat dikelompokan dalam 4 kelompok
yaitu :
1.Signifikan Pendidikan
Tujuan utama ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya.
Hal yang demikian dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki
menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan diakhirat
kelak. Mengingat begitu pentingnya, maka syariat mewajibkan
untuk menuntutnya yaitu dengan memberikan pahala yang besar.
Pada bagian lain juga dijelaskan bahwa ilmu merupakan sifat
yang menjadikan jelas identitas pemiliknya. Beliau
mengemukakan bahwa bertauhid mengharuskan adanya
keimanan. Maka barang siapa yang beriman maka ia harus
bertauhid. Keimanan mewajibkan adanya syariat, sehingga orang
yang tidak menjalankan syariat maka ia berarti tidak beriman dan
tidak bertauhid. Sementara orang yang bersyariat harus beradab.
Demikan orang yang beradab berarti juga bertauhid, beriman dan
bersyariat.
Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam
menunutut ilmu,yaitu:

173
pertama bagi murid hendaknya berniat suci untuk menuntut ilmu,
jadi kita itu jangan sekali-kali nya berniat untuk hal-hal
duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekannya,
kedua bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya harus
meluruskan niat terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi
semata-semata.
Disamping itu, yang dianjurkan hendaknya sesuai dengan
Tindakan-tindakan yang diperbuat. Maka dalam hal ini itu
yang menjadititik penekananyaituadalah pada pengertian bawah 
belajar itu merupakan ibadah untuksematamata
mencari ridha Allah SWT yang mengantarkan seseorang untuk
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Kerenanya belajar
harus di niatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-
nilai islam,bukan hanya sekedar menghilangkan kebodohan.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah ayat 83
yang berbunyi : ‫سانًا‬ َ ‫س ٰ َٓر ِءي َل اَل تَ ْعبُدُونَ ِإاَّل ٱهَّلل َ َوبِٱ ْل ٰ َولِ َد ْي ِن ِإ ْح‬ْ ‫ق بَنِ ٓى ِإ‬ َ َ‫وَِإ ْذ َأ َخ ْذنَا ِمي ٰث‬
۟ cُ‫لَ ٰوةَ َو َءات‬c‫ٱلص‬
َ‫وة‬cٰ c‫وا ٱل َّز َك‬c ۟ c‫سنًا َوَأقِي ُم‬
َّ ‫وا‬c ْ ‫س ُح‬ ِ ‫وا لِلنَّا‬ ۟ ُ‫ين َوقُول‬
ِ ‫س ِك‬ َ ٰ ‫َو ِذى ٱ ْلقُ ْربَ ٰى َوٱ ْليَ ٰتَ َم ٰى َوٱ ْل َم‬
ُ ‫م َوَأنتُم ُّم ْع ِر‬cْ ‫ َولَّ ْيتُ ْم ِإاَّل قَلِياًل ِّمن ُك‬ccَ‫ ثُ َّم ت‬Yang artinya :” Dan (ingatlah),
َ‫ون‬cc‫ض‬
ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada
ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang

174
miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak
memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan
kamu selalu berpaling”.
2.Tugas dan Tanggung Jawab Murid
Dalam menerapkan tugas dan tanggung jawab murid harus
memenuhi beberapa etika :
Etika yang pertama, Etika yang harus diperhatikan dalam
belajar. Dalam hal ini terdapat sepuluh etika yang di tawarkannya
adalah membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan
keduniawian, membersihkan niat, tidakmenunda-nunda
kesempatan belajar, bersabar dan qannah terhadap segalamacam
pemberian dan cobaan,pandai mengatur waktu, menyerdehanakan
makanan dan minuman, bersikap hati-hati, menghindari makanan
danminuman yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan,
menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan dan
meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah. Dalam hal ini
terlihatbahwaialebihmenekankankepada pendidikan rohani atau p
endidikan jiwa,meski demikian pendidikan jasmanitetap
diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur waktu makan dan
minum dan sebagainya.

175
Etika yang kedua, Etika seorang murid terhadap guru.
Dalam membahas masalah ini, ia menawarkan dua belas etika,
yaitu : hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan apa
yang dikatakan atau dijelaskan oleh guru, memilih guru yang
wara (berhati-hati)di samping profesional, mengikuti jejak-jejak
guru, memuliakan guru, memperhatikan apa yang menjadi hak
guru, bersabar atas kekerasan guru, berkunjung kepada guru pada
tempatnya atau mintalah ijin terlebih dahulu kalau keadaan
memaksa harus tidak pada tempatnya, duduklah dengan rapi dan
sopan bila berhadapan dengan guru, berbicaralah dengan sopan
dan lemah lembut, dengarkan segala fatwanya, jangan sekali-kali
menyela ketika sedang menjelaskan dan gunakan anggota yang
kanan apabila menyerahkan sesuatu kepadanya. Guru merupakan
orang tua ke dua setelah orang tua kandung di rumah maka
hendaklah kita bersikap sopan dan beruat baik terhadap mereka
sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Isra ayat 23 yang
َ ٰ ‫ض ٰى َربُّ َك َأاَّل تَ ْعبُد ُٓو ۟ا ِإٓاَّل ِإيَّاهُ َوبِٱ ْل ٰ َولِ َد ْي ِن ِإ ْح‬
berbunyi: ‫ َر‬cَ‫ َد َك ٱ ْل ِكب‬c‫نًا ۚ ِإ َّما يَ ْبلُ َغنَّ ِعن‬c‫س‬ َ َ‫َوق‬
ْ cَ‫ا ق‬cc‫ل لَّ ُه َم‬ccُ‫ا َوق‬cc‫ٓا ُأفٍّ َواَل تَ ْن َه ْر ُه َم‬cc‫ل لَّ ُه َم‬ccُ‫ا فَاَل تَق‬cc‫ ُد ُه َمٓا َأ ْو ِكاَل ُه َم‬c‫ َأ َح‬Artinya:
‫واًل َك ِري ًما‬c
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara

176
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
Etika yang ketiga, Etika Murid Terhadap Pelajaran. Murid
dalam menuntut ilmu hendaknya memperhatikan etika sebagai
berikut : memperhatikan ilmu yang bersifat  fardhu ain untuk
dipelajari, harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung
ilmu fardhu ainberhatihati dalammenanggapiikhtilaf
para ulama, mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada 
orang yang dipercayainya, senantiasa menganalisa dan menyimak
ilmu, pancangkan cita-cita yang tinggi, bergaulah dengan
orangyang berilmu lebih tinggi, ucapkan salam apabila sampai
ditempatsekolah/madrasah, bila terdapat hal-hal yang belum di
pahami hendaklah ditanyakan, bila kebetulan bersamaan dengan
banyak temanmaka sebaiknya jangan mendahului antrian
kalau tidak mendapatka ijin, kemanapun kita pergi dan
dimanapun kita berada jangan lupa membawa catatan, pelajari
pelaran yang telah diajarkan dengan kontinyu (istiqamah)
tanamkan rasaantusias/semangat dalam belajar. Penjelasan
tersebut diatas seakan membukamata kita akan sistem pendidikan

177
di pesantren yang selama ini terlihat kolot. Hanya terjadi
komunikasi satu arah, memasung kemerdekaan berpikir dan
sebagainya.
3.Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Dalam menerapkan tugas dan tanggung jawab guru harus
memenuhi beberapa etika yaitu :
Etika yang pertama, Etika Seorang Guru. Tidak hanya
murid yang dituntut untuk beretika, apalah artinya etika
diterapkan kepada murid jika guru yang mendidiknya tidak
mempunyai etika. Oleh karena itu,ia jugamenawarkan beberapa
etika yang harus dimiliki oleh guru, antara lain : senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah ,senantiasa takut kepada
Allah,senantiasa bersikap tenang, senantiasa berhati-hati,
senantiasa tawadhu, senantiasa khusu‟, mengadukan segala
persoalanya kepada Allah Swt, tidak menggunakan ilmu untuk
meraih keduniawian semata, tidak selalu memanjakan anak didik,
berlaku zuhud dalam kehidupan dunia, berusaha menghindari hal-
hal yang rendah, menghindari tempat-tempat yang kotor dan
tempat ma‟syiat, mengamalkan sunnah Nabi, mengistiqamahkan
membaca al-Qur‟an, bersikap ramah, ceria,dan suka menaburkan
salam, membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak

178
disukai Allah, menumbuhkan semanga tuntuk menambah ilmu
pengetahuan, tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara
menyombongkannya dan membiasakan menulis, mengarang dan
meringkas.
Etika yang kedua, Etika Guru Dalam Mengajar. Seorang
guru ketika hendak mengajar dan ketika mengajar perlu
memperhatikan beberapa etika.Dalam hal ini ia menawarkan
gagasan tentang etika guru ketika mengajar sebagai berikut :
mensucikan diri dari hadats dan kotoran,berpakaian yang sopan
dan rapi dan usahakan berbau wangi, berniatlah beribadah ketika
dalam mengajarkan ilmu kepada anak didik,sampaikan hal-hal
yang diajarkan oleh Allah, biasakan membaca untuk menambah
ilmu pengetahuan, berilah salam ketika masuk dalam kelas,
sebelum mengajar mulailah terlebih dahulu
dengan berdoa untuk para ilmu yang telah lama meninggalkan kia
terlebih dahulu, berpenampilan yang kalem, dan jauhi hal-hal
yang tidak pantas dipandang mata, manjauhkan diri dari bergurau
dan banyak tertawa, jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi
lapar, marah, mengantuk dan sebagainya. Pada waktu mengajar
hendaklah mengambil tempat duduk yang strategis, usahakan
tampilannya ramah, lemah lembut, jelas, tegas dan lugas serta

179
tidak sombong dalam mengajar, hendaklah mendahulukan materi-
materi yang penting dan sesuaikan dengan profesional yang
dimiliki, jangan sekali-kali mengajarkan hal-hal
yang bersifat syubhat yang bisa membinasakan, perhatikan masih
ng-masing kemampuan murid dalam mengajar.
Etika yang ketiga, Etika Guru Bersama Murid. Guru dan
murid tidak hanya masing-masing mempunyai etika yang berbeda
antara satu dengan lainnya. Akan tetapi diantara keduanya juga
mempunyai etika yang sama. Sama-sama harus dimiliki oleh guru
dan murid. Diantara etika tersebut adalah: berniat mendidik dan
menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat
islam, menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar
keduniawian,hendaknya selalu melakukan itrospeksi diri,
mempergunakan metode yangmudah dipahami murid,
membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya,
dan juga memberikan latihan-latihan yang sifatnya itu bersifat
membantu, selalu memperhatikan kemampuan peserta didik, tidak
selalu memunculkan salahseorang peserta didik dan menafikan
yang lainnya, mengarahkan minat pesertadidik, bersikap terbuka
dan lapang dada terhadap peserta didik, membantumemecahkan
masalah dan kesulitan peserta didik, bila terdapat peserta

180
didikyang berhalangan hendaknya mencari hal ihwal kepada
teman-temannya,tunjukan sifat arif dan penyayang terhadap
peserta didik dan tawadhu.
4.Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-Hal Yang
Berkaitan Dengannya.
Satu hal yang paling menarik dan terlihat beda dengan
materimateriyang biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan pada 
umumnya adalah etika terhadap buku dan juga alat-alat
pendidikan. Kalupun ada etika untuk itu,
maka biasanya itu bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis. S
ering pula itudianggap sebagai aturan yang sudah umum berlaku
dan cukup diketahui oleh masing-masing individu. Etika khusus
yang diterapkan untuk mengawali suatu proses belajar maupun
etika yang harus diterapkan terhadap kitabatau buku yang
dijadikansebagai sumber rujukan menjadi catatan tersendiri, sebab
hal ini tidakdijumpai pada etika-etika belajar pada umumnya.
C.Implikasi Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari
Karakteristik pemikiran K.H Hasyim Asy’ari terdapat ada
4 corak, yaitu :
1.Corak pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian
dalanspesifikasi fiqih, tafsir dan hadist. Kemudian mendapatkan

181
perhatiantersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek
pendidikan. Model inidi wakili oleh Ibn Hazm (384-458 H). 
2.Corak pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra. Contohnya
adalah Abudullah bin al-Muqaffa‟ (106-142 H/724-759 M).
3.Corak pemikiran pendidikan Islam filosofis. Sebagai contohnya
corak kependidikan yang dikembangkan oleh aliran Mu‟tazillah,
ikhwah al-Shafa dan para filosof.
 4.Pemikiran pendidikan islam yang berdiri sendiri dan berlainan
dari beberapa corak diatas, tetapi tetep berpegang teguh pada
semangat al-Qur‟an dan al-Hadist.
Untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, K.H Hasyim
Asy‟ari menyarankan kepada peserta didik untuk memperhatikan
sepuluh etika yang mesti dicamkan ketika belajar. Kesepuluh
etika itu diantaranya adalah membersihkan hati dari berbagai
penyakit hati dan keimanan, memiliki niat yang tulus bukan
mengharapkan sesuatu yang material, memanfaatkan
waktudengan baik, besabar dan memiliki sikap qana‟ah,
pandai membagi waktu,tidak terlalu banyak makan dan minum,
bersikap hati-hati, menghindarimakanan yang menyebabkan
kemalasan dan kebudayaan. Atas dasar klasifikasi tersebut,
menjadi semakin jelas bahwa K.H Hasyim Asy‟ari menempatkan

182
corak kependidikannya sebagai corak yang berbeda dari corak-
corak kependidikan yang lain, yakni tidaklah bercorak progresif
ataupun esensialis.
D.Biografi Ki Hadjar Dewantara
Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau dikenal sebagai Ki
Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Ia
merupakan cucu dari Sri Paku Alam III dan anak dari GPH
Soerjaningrat. Terlahir sebagai bangsawan Jawa, Suwardi
Suryaningrat mengenyam Pendidikan Europeesche Lagere School
(ELS), sekolah dasar Belanda. Setelah tamat dari ELS, dia
mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di
Sekolah Dokter Jawa di Jakarta atau STOVIA (School tot
Opleiding Van Indische Artsen). Akan tetapi, kondisi
kesehatannya yang tidak mendukung membuat Suwardi
Suryaningrat tidak naik kelas dan beasiswanya pun dicabut.
Sehingga ia berujung tidak tamat dari sekolah itu. Namun, ada
juga dugaan bahwa pemerintah Hindia-Belanda tidak senang
terhadap sikap Suwardi Suryaningrat yang membangkitkan
semangat nasional untuk memberontak. Ini karena dia memang
terkenal pedas dalam memberi kritikan terhadap pemerintah
Hindia-Belanda. Walau gagal menjadi dokter di STOVIA,

183
Suwardi Suryaningrat tidak berhenti begitu saja. Ia kemudian
banting setir menjadi jurnalis dan bergabung dengan beberapa
organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Sarekat
Islam, dan Indische Partij. Dalam Indische Partij, ia memiliki
rekan seperjuangan, yaitu Danudirja Setiabudi dan dr. Cipto
Mangunkusumo. Ketiganya pun dijuluki sebagai "Tiga
Serangkai". Dari sanalah kritikan Suwardi Suryaningrat menjadi
semakin pedas. Ia bahkan pernah menentang perayaan 100 tahun
kemerdekaan Belanda di Indonesia.
Menurutnya penjajah tidak sepatutnya merayakan
kemerdekaan di tanah jajahannya, bahkan dibiayai oleh rakyat
pribumi. Suwardi Suryaningrat pun kemudian menyalurkan protes
tersebut melalui risalah yang berjudul "Als ik eens Nederlander
was" (Andai aku seorang Belanda) pada Juli 1913. Risalah yang
dicetak sebanyak 5.000 eksemplar tersebut membuat pemerintah
Hindia-Belanda naik pitam. Akibatnya, "Tiga Serangkai"
diasingkan ke Belanda. Suwardi Suryaningrat hidup dengan
segala keterbatasannya selama pengasingan. Ia bertahan hidup
dengan menjadi jurnalis untuk surat kabar dan majalah Belanda,
seperti "Het Volk" dan "De Nieuwe Grone Amsterdamer" yang
memberi kesempatan kepada Tiga Serangkai untuk menulis dan

184
menyalurkan pikiran-pikiran tentang cita-cita perjuangan
kemerdekan bangsa Indonesia. Berkat pengaruh mereka,
penghimpunan para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang
tergabung dalam "Indische Vereeniging" semakin menonjolkan
semangat kebangsaan dan semangat kemerdekaan, dan berani
mengubah namanya menjadi "Perhimpunan Indonesia".
Setelah kembali ke Indonesia pada bulan September 1919,
Suwardi Suryaningrat bergabung dengan sekolah konstruksi milik
kakaknya dan memutuskan untuk mendirikan sebuah lembaga
pendidikan pada tahun 1922 yang bernama Nationaal Onderwijs
Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa.
Perguruan Nasional Taman Siswa terbagi dalam berbagai tingkat,
mulai dari taman kanak-kanak hingga pendidikan menengah atas.
Lahirnya Perguruan Nasional Taman Siswa mendapat sambutan
baik dari masyarakat, dan mulai tumbuh di mana-mana dengan
dijiwai oleh semangat cinta Tanah Air. Dengan berdirinya Taman
Siswa, Suwardi Suryaningrat akhirnya berhasil mendirikan
sebuah lembaga pendidikan yang meletakkan dasar-dasar bagi
sistem pendidikan nasional di Tanah Air. Pada 3 Februari 1928,
Suwardi Suryaningrat memutuskan untuk menganti namanya
menjadi Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Utomo Darmadi,

185
Hadjar sendiri memiliki arti pendidik, Dewan berarti utusan, dan
Tara dengan arti tak tertandingi. Jika disatukan, makna dari nama
Ki Hajar Dewantara adalah 'Bapak Pendidik Utusan Rakyat yang
Tak Tertandingi Menghadapi Kolonialisme'. Ki Hajar Dewantara
tutup usia pada 26 April 1959 di Padepokannya. Dia
disemayamkan di Pendopo Agung Taman Siswa Yogyakarta.
Berkat perjuangan Ki Hajar Dewantara, tanggal
kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ia
juga dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang kedua oleh
Presiden Soekarno pada 28 November 1959 berdasarkan Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, 28
November 1959). Bagian dari semboyan ciptaannya "tut wuri
handayani" dijadikan slogan serta logo dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, namanya juga diabadikan
di salah satu kapal perang di Indonesia yaitu KRI Ki Hajar
Dewantara. Potret dirinya juga dicetak dalam uang kertas Rp
20.000 tahun emisi 1998.
E.Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Konsep Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, dasar-
dasar Pendidikan barat yang dirasakan oleh Ki Hajar tidak tepat
dan tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia Karena

186
Pendidikan barat bersifat regering, tucht, orde (Perintah,
hukuman, dan ketertiban). Menurut beliau karakter Pendidikan
semacam ini merupakan suatuperkosaan atas kehidupan batin
anak-anak. Akibatnya, anak-anak rusak akan budipekertinya
Karena selalu hidup di bawah paksaan dan tekanan. Menurut Ki
Hajar Dewantara, cara mendidik semacam itu tidak akan bisa
membentuk seseorang hingga memiliki kepribadian. Ki Hajar
Dewantara juga menjelaskan tentang dasar jiwa anak dan
kekuasaan Pendidikan. Dalah hal ini, dasar jiwa yaitu keadaan
jiwa yang asli menurut kodratnya sendiri, sebelum ada pengaruh
dari luar. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al Araf ayat
172 yang berbunyi: ‫ َه َد ُه ْم‬c‫ش‬ ْ ‫وَِإ ْذ َأ َخ َذ َر ُّب َك ِم ۢن بَنِ ٓى َءا َد َم ِمن ظُ ُهو ِر ِه ْم ُذ ِّريَّتَ ُه ْم َوَأ‬
‫ َذا‬c‫ ِة ِإنَّا ُكنَّا عَنْ ٰ َه‬c‫و َم ٱ ْلقِ ٰيَ َم‬c ۟ cُ‫ ِه ْدنَٓا ۛ َأن تَقُول‬c‫ش‬
ْ cَ‫وا ي‬c َ ۛ ‫وا بَلَ ٰى‬۟ ُ‫ال‬ccَ‫تُ بِ َربِّ ُك ْم ۖ ق‬c‫س‬
ْ َ‫س ِه ْم َأل‬
ِ ُ‫َعلَ ٰ ٓى َأنف‬
َ‫ ٰ َغفِلِين‬Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

187
1.Konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara
Pertama, Manusia Indonesia yang berbudi pekerti adalah
yang memiliki kekuatan batin dan berkarakter. Artinya
Pendidikan diarahkan untuk meningkatkan manusia Indonesia
yang berdiri teguh pada nilai-nilai kebenaran. Sehingga manusia
di Indonesia dapat menyadari tanggungjawabnya untuk
melakukan apa yang diketahuinya sebagai kebenaran. Ekspresi
dari kebenaran ini dapat terlihat dari tutur kata, sikap, dan
perbuatannya terhadap lingkungan alam, baik dirinya sendiri dan
sesame manusia Jadi, budi pekerti adalah istilah yang memayungi
perkataan, sikap dan tindakan yang selaras dengan kebenaran
ajaran agama, adat-istiadat, hukum positif, dan tidak bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Kedua, manusia Indonesia yang maju pikirannya adalah
yang cerdas kognisi (tahu banyak dan banyak tau). Sehingga
melalui kecerdasannya itu, dapat membebaskan dirinya dari
kebodohan dan pembodohan dalam berbagai jenis dan bentuk.
(pada masa itu, dari penjajahan yang berupa indoktrinasi).
Manusia yang maju adalah manusia yang berani berpikir tentang
realitas yang membelenggu kebebasannya, kemampuan

188
berpikirnya, serta bisa menjadi oposisi dengan hal-hal yang
membodohkannya.
Ketiga. Manusia yang maju dalam aspek tubuh adalah
manusia yang mampumengendalikan tubuhnya. Sehingga dengan
ubuh yang maju, pemikiran yang majuserta budipekerti yang maju
dapat memperoleh dukungan untuk mendeklarasikan
kemerdekaan. Menjadi manusiayang merdeka, dan memiliki
keterampilan untuk mengisi kemerdekaan itu dengan segala
pembangunan yang humanis.
2.Metode pendidikan Ki Hajar Dewantara
Sistem Among Ki Hadjar Dewantara merupakan metode
yang sesuai untuk pendidikan karena merupakan metode
pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan
asuh (care and dedication based on love). Pendidikan sistem
Among bersendikan pada dua hal yaitu: kodrat alam sebagai
syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan
secepat-cepatnya dan kemerdekaan sebagai syarat untuk
menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak
hingga dapat hidup mandiri. Sistem Among sering dikaitkan
dengan asas yang berbunyi:

189
1.Ing Ngarso Sung Tuladha yang memiliki arti Di depan guru
harus memberikan teladan seluruh aspek kehidupannya. Hal ini,
mencerminkan bahwa menjadi seorang guru harus bisa
memberikan sebuah keteladanan dan menjadi teladan.
2.Ing Madya Mangun Karsa Seorang guru harus bisa membangun
semangat, motivasi, dan gairah hidup untuk menuju masa depan
yang lebih baik. Hal ini menjelaskan bahwa menjadi seorang guru
harus mampu memberikan dorongan serta motivasi bagi peserta
didik untuk dapat mengembangkan kemampuan dan potensi
dirinya.
3.Tut Wuri Handayani seorang harus dapat mengikuti dengan
baik terhadap para murid yang telah menunjukkan sikap perilaku
yang benar (baik,jujur,cerdas).
Asas ini telah banyak dikenal oleh masyarakat dari pada
Sistem Among sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat
yang belum memahaminya. Sistem Among berasal dari bahasa
Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya mengasuh anak.
Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk
mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih
sayang. Tujuan dari Sistem Among adalah membangun anak
didik untuk menjadi manusia beriman dan bertaqwa, merdeka

190
lahir dan batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan,
serta sehat jasmani dan rokhani agar menjadi anggota masyarakat
yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air
serta manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan Sistem
Among, setelah anak didik menguasai ilmu, mereka didorong
untuk mampu memanfaatkannya dalam masyarakat, didorong
oleh cipta, rasa, dan karsa.
F.Implikasi Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Pemikiran-pemikirannya dalam dunia pendidikan sangat
luar biasa, dan tidak akan pernah hilang ditelan jaman. Berikut ini
implikasi filosofri pendidikan Ki Hajar Dewantara bagi seorang
guru.
Pertama : Pendidikan dan Kebudayaan
Pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih
kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan.
Pendidikan dan kebudayaan merupakan satu kesatuan. Untuk
mencapai kebudayaan dan peradaban bangsa yang dicita-citakan
maka pendidikan merupakan landasan pembentukan peradaban
bangsa. Dengan kata lain, pekerjaan kita sebagai pendidik/guru
bukan hanya pekerjaan melayani saat anak belajar di sekolah,
memberikan tugas-tugas pembelajaran, transfer ilmu

191
pengetahuan, berupaya agar nilai siswa hasilnya baik, dan
sebagainya. Tapi lebih dari itu bahwa pekerjaan kita sebagai guru
merupakan pekerjaan untuk menjemput kebudayaan yang kita
cita-citakan. Ini sungguh luar biasa karena ini adalah pekerjaan
untuk membangun sebuah peradaban. Untuk itu sebagai
pendidik/guru kita harus melakukan upaya terbaik, dengan sekuat
tenaga dan pikiran untuk kita curahkan pada proses pendidikan
anak-anak bangsa.
Kedua : Pendidikan dan kebudayaan adalah hal yang dinamis
Pendidikan dan kebudayaan adalah hal yang dinamis,
selalu berubah dan bergerak sesuai kodrat alam dan kodrat zaman.
Pendidikan tidak boleh statis karena pendidikan harus dapat
menjawab tuntutan zaman. Kita sebagai guru juga harus berani
berubah. Kita tidak boleh merasa nyaman dengan apa yang sudah
kita lakukan terhadap anak didik kita. Kita harus selalu mencari
hal yang baru, belajar hal yang baru untuk kita persembahkan
kepada anak didik kita. Kita harus menjadi guru yang
transformatif, bergerak dan tidak menjadi guru jadul. Zaman
sudah berubah. Guru pun harus memberikan pelayanan
pendidikan sesuai tuntutan zaman.
Ketiga : Guru itu menuntun

192
Guru menuntun segala kodrat yang ada pada anak. untuk
mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Pendidikan dan Pendidik yang memandang anak dengan rasa
hormat. Semua yang kita lakukan di bidang pendidikan harus
berorientasi penuh pada anak/siswa. Ki Hajar Dewantara
menyebutkan asas dari Taman Siswa yaitu “Bebas dari segala
ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak, tidak untuk
meminta suatu hak namun untuk berhamba pada sang anak”. Ini
artinya bahwa orientasi pada anak adalah hal yang paling utama
dan esensial bagi kita para pendidik. Asas tersebut sungguh
menggetarkan hati, betapa untuk mendidik sebuah generasi
memerlukan ketulusan hati tanpa pamrih dan berupaya melakukan
semua yang terbaik demi anak didik menjadi manusia yang
berbudi pekerti luhur, tangguh dan bijaksana.
Keempat : Cipta, Karsa dan Karya
Pendidikan adalah perubahan budi pekerti Budi = cipta,
rasa, karsa (pikiran, rasa, kemauan) Pekerti = tenaga/raga. Dalam
filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, perubahan cipta, rasa dan
karsa harus seimbang. Sebagai pendidik/guru kita mempunyai
peran yang sangat besar dalam membantu mereka untuk olah
cipta (menajamkan pikiran), olah rasa (menghaluskan rasa), olah

193
karsa (memperkuat kemauan) dan olah raga (menyehatkan
jasmani). Pendidikan itu harus holistik dan seimbang. Jika kita
sebagai guru melakukan pendidikan yang seimbang maka akan
dapat menghadirkan generasi yang penuh dengan kebijaksanaan.
Kelima : Berpihak pada anak
Pendidikan harus memenuhi tumbuh kembang anak. Anak
tidak ada yang sama, bahkan kembar identik sekalipun. Anak-
anak berkembang sesuai keunikannya sendiri. Mereka pun
memiliki kemampuan yang berbeda, kecepatan belajar yang
berbeda pula. Sebagai pendidik/guru, maka harus benar-benar
memahami hal tersebut. Mereka tidak bisa dipaksakan untuk
menguasai semua kompetensi yang ada. Kitalah sebagai gurunya
yang harus mampu memunculkan keunikan pribadi yang menjadi
bakatnya untuk kemudian dikembangkan menjadi suatu kelebihan
yang membawa manfaat bagi dirinya dan orang-orang di
sekitarnya. Kita fasilitasi mereka untuk mengoptimalkan
potensinya sesuai dengan keunikannya masing-masing.
Keenam : Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karso,
Tut Wuri Handayani
Guru sebagai aktor, motivator, fasilitator bagi peserta
didiknya. Pembelajaran bermakna akan tercipta jika iklim kelas

194
kondusif dan peserta didik dapat belajar sesuai minat dan
bakatnya tanpa adanya intimidasi. Hal tersebut dikemukakan
sesuai konsep “merdeka belajar". Pemikiran Ki Hajar Dewantara
mengenai pendidikan dan pengajaran yaitu sesuai dengan slogan
pendidikan di Indonesia. Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya
Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Artinya di depan memberi
contoh, di tengah membangun semangat, di belakang memberi
dorongan. Contoh sederhana yaitu sebagai guru, kita harus
mencontohkan attitude yang baik di depan atasan, rekan, siswa
dan orang tua siswa. Guru memberi semangat, menjadi motivator
untuk siswa-siswinya. Guru mendorong kepada siswa-siswinya
dapat berkembang sesuai potensi yang dimilikinya.

BAB X

195
PENDIDIKAN KH. ZARKASYI DAN MAHMUD YUNUS
A. Biografi Kh. Imam Zarkasyi
Imam Zarkasyi dilahirkan pada tanggl 21 Maret 1910 di
desa Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Ia adalah anak ketujuh dari
Kyai Santoso Anom Besari, generasi ketiga yang memimpin
Pesantren Gontor Lama7. Saat usia Imam Zarkasyi delapan tahun,
ayahnya meninggal dunia. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun
1920, ibunya juga meninggal. Sekali pun sudah ditinggal kedua
orangtuanya, namun pendidikan Imam Zarkasyi tetap berlanjut.
Bahkan ia berkesempatan mengenyam pendidikan di dua model
lembaga pendidikan, di pesantren tradisional dan di pendidikan
madrasah yang bercorak modern saat itu. Di tingkat dasar, Imam
Zarkasyi belajar di Sekolah Dasar Ongko Loro di Jetis Ponorogo.
Berbarengan dengan itu ia juga mondok di Pondok Pesantren
Josari, Ponorogo. Imam Zarkasyi pernah pula belajar di pondok
Joresan Ponorogo. Selesai belajar di Sekolah Ongko Loro, beliau
melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren Jamsaren, Solo
sekaligus belajar di Sekolah Mambaul 'Ulum dan kemudian
melanjutkan ke Madrasah Adabiyah dibawah asuhan Ustadz al-
Hasyimi9. Selama belajar di Madrasah Adabiyah ini, Imam
Zarkasyi sangat tertarik dengan pelajaran Bahasa Arab dan

196
berusaha mendalaminya. Sang Guru, Ustadz al-Hasyimi, juga
sangat mempengaruhi pemikiran Imam Zarkasyi, terutama
mengenai modernisasi sistem pendidikan Islam.
Setamat dari Jamsaren dan sekolah Madrasah Adabiyah
pada tahun 1930, Imam Zarkasyi melanjutkan pendidikannya di
Normal Islam dan Sumatera. Seorang ulama, tokoh politik dan
sastrawan asal Tunisia yang diasingkan oleh Penjajah Perancis
dari negerinya. Ia kemudian menetap di Solo.Thawalib di Padang
Panjang, Sumatera Barat. Lembaga ini dipimpin oleh Mahmud
Yunus, seorang alumni Darul ‘Ulum, Mesir. Imam Zarkasyi
menyelesaikan pendidikannya di sekolah ini tahun 1935.10
Selepas itu ia diamanahi oleh Mahmud Yunus untuk menjadi guru
dan direktur di almamaternya. Sebab dalam pandangan Mahmud
Yunus, Imam Zarkasyi memiliki kemampuan untuk mengelola
lembaga pendidikan dan sekaligus mengajar. Setahun kemudian,
Imam Zarkasyi mengembalikan amanah gurunya itu dan kembali
ke Gontor untuk bergabung kembali bersama kedua kakaknya,
Zainuddin Fannani dan Ahmad Sahal, mengelola Pesantren
Gontor. Imam Zarkasyi melihat, kehadirannya lebih diperlukan di
Gontor daripada di Padang Panjang. Sebab saat itu, Pesantren
Gontor sendiri baru kembali bangkit setelah mati suri sekian lama.

197
Tepatnya pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12
Rabi’ul Awwal 1345 H., pada peringatan Maulid Nabi, di
hadapan masyarakat yang hadir pada kesempatan itu,
dideklarasikan pembukaan kembali Pondok Gontor oleh tiga
bersaudara, Imam Zarkasyi, Zainuddin Fanani dan Ahmad Sahal
Mereka memperbaharui sistem pendidikan di Gontor dan
menamakannya dengan Pondok Modern Darussalam Gontor.
Jenjang pendidikan dasar dimulai dengan nama Tarbiyatul Athfal.
Setelah bergabung kembali mengelola Gontor, Imam
Zarkasyi mengusulkan kepada kedua kakaknya untuk membuka
program baru yang diberi nama Kulliyatul Mu’allimin al-
Islamiyah (KMI), program pendidikan yang diselenggarakan
selama enam tahun, setingkat dengan jenjang pendidikan
menengah. Usulnya itu disetujui dan ia diamanahi menjadi
direkturnya. Gagasannya ini dipengaruhi oleh pendidikannya
ketika di Normal Islam School, Padang Panjang Di Pesantren
Gontor, Imam Zarkasyi juga pernah diamanahi Pejabat Rektor
Institut Pendidikan Darussalam (IPD) hingga berpulang ke
rahmatullah pada tahun 1985.
Selain mengelola Pesantren Gontor, Imam Zarkasyi juga
diberikan beberapa amanah di luar pesantren. Diantaranya ia

198
pernah menjadi Kepala Kantor Agama Karesidenan Madiun. Di
Kementrian Agama, Imam Zarkasyi diangkat menjadi Seksi
Pendidikan. Kemudian menjadi Kepala Bagian Perencanaan
Pendidikan Agama pada sekolah dasar tahun 1951-1953 dan
Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama pada tahun 1953.
Pada Kementrian Pendidikan ia sempat menjadi anggota Badan
Perencanaan Peraturan Pokok Pendidikan Swasta tahun 1957.
Pernah pula dipercaya menjadi ketua Majelis Pertimbangan
Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) hingga wafatnya.
Sejak tahun 1948-1955 menjadi ketua PB Persatuan Guru Islam
Indonesia (PGII), selanjutnya tetap menjadi penasehat hinga akhir
hayatnya.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemikiran dari
Pendidikan Imam Zarkasyi
Sebelum membahas mengenai pemikiran pendidikan
Imam Zarkasyi, akan dibahas terlebih dahulu faktor-faktor yang
mempengaruhi pemikiran pendidikannya.
Faktor eksternal yang sangat mempengaruhi pemikiran
pendidikan Imam Zarkasyi adalah karena ia berkesempatan
mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan yang beragam,
mulai dari pesantren yang tradisional hingga lembaga pendidikan

199
modern semacam Sekolah Noormal Islam di Padang Panjang.
Dari sekian banyak lembaga pendidikan itu, Sekolah Noormal
Islam adalah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran
pendidikan Imam Zarkasyi, terutama dari sosok Mahmud Yunus.
Ada dua hal yang diambil Imam Zarkasyi dari sekolah pimpinan
Mahmud Yunus ini. Pertama, keyakinannya bahwa jalur yang
paling pas untuk melakukan gerakan pembaruan dan kebangkitan
Islam di masyarakat adalah jalur pendidikan bukan jalur politik.
Sebagaimana ucapannya, “Politik saya adalah politik
pendidikan”.19 Kedua, pendidikan Islam di Indonesia harus
diperbaharui agar sesuai dengan perkembangan zaman dan
tantangan yang muncul. Menurut putra tertuanya, Abdullah
Syukri Zarkasyi, kedua prinsip itu berasal dari pemikiran
Muhammad Abduh, tokoh yang sangat mempengaruhi
perkembangan pendidikan Islam di Pandang Panjang, Daar
al-‘Uluum, sebuah lembaga pendidikan hasil dari pemikiran
Abduh tentang pembaruan sistem pendidikan.
Namun demikian, Imam Zarkasyi tidak mengkopi begitu
saja pemikiran Mahmud Yunus di Noormal Islam dan kemudian
mengimplementasikannya di Pesantren Gontor. Sebab menurut
Abdullah Syukri, pemikiran Imam Zarkasyi dipengaruhi juga oleh

200
al-Hasyimi, gurunya di Madrasah Arabiyah Islamiyah, Solo yang
berasal dari Tunisia. Dari gurunya ini Imam Zarkasyi terutama
mendapat pemikiran tentang urgensi bahasa Arab dan cara
pengajarannya. Saat itu, pemikiran tentang modernisasi
pendidikan Islam semacam ini bertujuan untuk menggunakan
sektor pendidikan sebagai wahana pembaharuan ideologi dan
budaya Islam sekaligus juga sebagai cara untuk menjawab
tantangan budaya Barat, dominasi kolonial dan sistem tehnologi
Barat yang kapitalistis.
C. Metode pendidikan dalam pendidikan Islam menurut K.H.
Imam Zarkasyi.
Imam Zarkasyi memberikan beberapa kaidah pengajaran
kepada guru-gurudalam proses belajar mengajar di kelas.
Misalnya pelajaran harus dimulai dari yang mudah dan sederhana,
tidak tergesa-gesa pindah ke pelajaran yang lain sebelum santri
memahami betul pelajaran yang telah diberikan, proses
pengajaran harus teratur dan sistematik, latihan-latihan
diperbanyaksetelah pelajaran selesai, dan lain- lain yang ke semua
kaidah tersebut bisa dipraktikkan oleh setiap guru dengan
persyaratan guru harus memiliki dan menguasai berbagai metode
dalam mengajar.

201
Sehubungan dengan hal tersebut, Imam Zarkasyi memberikan
enam metode pendidikan Islam, yaitu:
1) Metode Keteladanan;
2) Metode Pembiasaan;
3) Metode Learning by Instruction;
4) Metode Learning by doing:
5) Metode Kritik (tarîqat al-naqd);
6) Metode Leadership.
D. Implikasi pemikiran pendidikan Islam K.H. Imam
Zarkasyi terhadap pembelajaran PAI
1. Implikasinya terhadap tujuan pendidikan Islam, dalam
bidang pendidikan di Indonesia yaitu harus dimasukannya mata
pelajaran PAI dalam kurikulum di semua jenjang pendidikan. Hal
tersebut merupakan modal bagi umat Islam untuk membina para
pemuda, meskipun masih ketinggalan dalam penggunaan metode
dan teknik instruksional yang baru,dan kekurangan tenaga
pelaksana yang berkualitas.
2. Implikasi terhadap kurikulum, yaitu dikembangkannya
kurikulum KMI (Kulliyatul Mu‟allimin al-Islamiyah) pada
kompetensi inti yang merupakan gambaran secara kategorial
mengenai kompetensi yang harus dipelajari peserta didik untuk

202
suatu jenjang. Kurikulum ini membidik kompetensi siswa pada
aspek kognitif, afektif, dan psikomotor dalam proses
pembelajaran yang didasarkan pada upaya menguasai kompetensi
pada tingkat yang menekankan karakter siswa.
3. Implikasi terhadap tujuan pembelajaran, pendidikan Islam
harus sadar akan fitrahnya sebagai manusia supaya menghasilkan
anak didik yang tidak hanya pandai dalam ilmu umum, tetapi juga
harus pandai dan handal dalam ilmu agama serta amalan yang
akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Sehingga untuk
mencapai hal tersebut maka peserta didik harus mencapai sasaran
atau tujuan utama dari pendidikan Islam yaitu beriman dan
berakhlak mulia.
4. Implikasi terhadap materi pembelajaran, yaitu kurikulum
KMI terdiri dari 100% agama dan 100% umum. Ini berarti bahwa
ilmu pengetahuan umum itu sebenarnya merupakan bagian dari
ilmu pengetahuan agama, dan sama pentingnya. Pada aspek
materipembelajaran, Imam Zarkasyi menambahkan pelajaran
tafsir, hadist, fiqih dan ushul fiqih yang biasa diajarkan di
pesantren tradisional. Dalam ilmu pengetahuan umum misalnya
seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar, dan
ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu

203
jiwa dan sebagainya. Selain itu ada pula mata pelajaran bahasa
arab dan bahasa inggris amat ditekankan dan harus menjadi
karakteristik lembaga pendidikan Islam (pesantren). Dalam
kerangka pelajaran etika atau tata krama, Imam Zarkasyi
menekankan bahwa berkenaan dengan pelajaran tersebut harus
menumbuhkan sikap berupa kesopanan lahir dan kesopanan batin
serta harus terus dibudayakan;
5. Implikasi terhadap metode pendidikan Islam. Dalam
pandangan Imam Zarkasyi, metode lebih penting dibanding
materi. Namun demikian, menurutnya, pribadi guru jauh lebih
penting dari metode itu sendiri. Sehingga implikasinya yaitu guru
harus memenuhi kriteria yang cukup sempurna dalam proses
metode pengajarannya karena guru merupakan kunci terhadap
keberhasilan peserta didik;
6. Implikasi terhadap pendidik, yaitu seorang guru haruslah
menjadi cerminan bagi anak didiknya dan mempunyai jiwa tulus,
ikhlas, penuhrasa tanggung jawab terhadap tugas dan
kewajibannya, serta harus senantiasa mengembangkan potensi
dan bakat dirinya yang semata-mata karena Allāh swt., dan untuk
pengabdian kepada-Nya. Sehingga Imam Zarkasyi menyarankan
bahwa pendidik yang ideal itu harus dapat mengantarkan seorang

204
siswa untuk menjadi seorang mukmin, muslim seutuhnya, tamak
ilmu dan gandrung perjuangan;
7. Implikasi terhadap peserta didik, yaitu peserta didik pada
hakikatnya adalah subjek bukan objek. Peserta didik juga
merupakan calon pemimpin masa depan, sehingga untuk dapat
mewujudkannya yaitu Imam Zarkasyi menambahkan bahwa
peserta didik harus menerapkan integralitas nilai pendidikan yang
berkaitan dengan moto atau pedoman dari
„Panca Jiwa‟, yaitu jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa
berdikari, jiwa ukhuwah islamiyah yang demokratis dan jiwa
bebas. Sehingga harapan akhirnya yaitu peserta didik mampu
memahami makna, nilai dan tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Bahwasanya pendidikan yang terpenting adalah akhlak mulia
serta didukung oleh intelektualitas yang memadai
8. Implikasi terhadap evaluasi, yaitu harus adanya parameter
tertentu yang merepresentasikan ketercapaian tujuan pendidikan
dalam standar-standar yang telah dibuat bukan hanya dari segi
intelektualitas, akan tetapi juga dari segi akhlak mulia supaya
mampu melahirkan pribadi muslim yang berkualitas dan dapat
memberikan efek „bola salju‟ terhadap lingkungan masyarakat.
E. Biografi Mahmud Yunus

205
Mamud Yunus dilahirkan dari keluarga sederhana.
Ayahnya seorang petani biasa, bernama Yunus bin Incek dari
suku Mandailing dan ibunya bernama Hafsah dari suku Chaniago.
Walaupun di lahirkan dari keluarga yang sederhana. Namun
mempunyai nuasa keagamaan yang kuat. Ayah Mahmud Yunus
adalah bekas pelajar surau dan mempunyai ilmu keagamaan yang
cukup memadai. Sehingga dia diangkat menjadi Imam Nagari
(masjid). Jabatan Imam Nagari pada waktu itu diberikan secara
adat oleh Anak Nagari kepada salah seorang warganya yang
pantas untuk menduduki jabatan itu atas dasar ilmu agama yang
dimilikinya. Di samping itu Mahmud Yunus bin Incek
dimasyarakat juga sebagai seorang yang jujur dan lurus.Ibunya
seorang yang buta huruf, karena itu ia tidak pernah mengenyam
pendidikan sekolah, apalagi pada waktu itu di desanya belum ada
sekolah desa. Tetapi ia dibesarkan dalam lingkungan yang Islami.
Kakek Hafsah adalah seorang ulama yang cukup di kenal,
bernama Syekh Muhammad Ali yang dimashurkan orang.
Ayahnya bernama Doyan Muhammad Ali, bergelar Angku Kolok.
Pekerjaan Hafsah sehari-hari adalah bertenun, ia mempunyai
keahlian menenun kain yangdihiasi benang emas, yaitu kain
tradisional Minangkabau yang dipakai pada upacara-upacara adat.

206
Saudara hafsah bernama Ibrahim, seorang kaya di Batu Sangkar.
Kekayaan Ibrahim ini sangat menopang kelanjutan pendidikan
Mahmud Yunus, terutama pada waktu ia belajar ke Mesir.
Ibrahim sangat memperhatikan bekat serta kecerdasan yang
dimiliki oleh kemenakannya ini. Dialah yang mendorong
Mahmud Yunus untuk melanjutkan pelajarannya keluar negeri
dengan disertai dukungan dana untuk keperluan itu.
Hal ini memberikan gambaran tentang bagaimana
tanggung jawab seorang mamak terhadap kemenakannya yang
berlaku di Minangkabau pada waktu itu. Sebagai pepatah yang
berbunyi: “Anak di pangku, kemenakan dibimbing”. Suatu
kelaziman yang berlaku sepenuhnya pada waktu itu. Bahwa
tanggung jawab mamak terhadap keponakan bukanlah di dasarkan
atas ketidakmampuan dari ayah keponakan itu sendiri.
Ibrahim mempunyai seorang anak yang sebaya dengan Mahmud
Yunus, ia bergelar Datuk Sati, sangat ahli dalam bidang adat ini
diasumsikan menjadi penyebab mengapa Mahmud Yunus kurang
menonjolpengetahuannyadalatadatMinangkabau. Ibrahim mengin
ginkan arahan yang berbagi antara anak dan kemenakan, karena
anaknya sangat mengemari masalah-masalah adat, maka
ia menyalurkan kegemarannya untuk belajar kepada ahli-ahli adat,

207
hingg ia menguasai adat ini dengan baik. Di lain pihak, melihat
perkembangan Mahmud Yunus dari kecil, ternyata lebih
cenderung mempelajari agama, maka Ibrahim pun menyokong
kecenderungan ini. Bahkan ia tak berkeberatan menangung semua
biaya yang diperlukan untuk keperluan itu, hingga Mahmud
Yunus dapat melanjutkan pelajarannya ketingkat yang lebih
tinggi.
Dukungan ekonomi dari sang mamak dengan disertai
dorongan dari orang taunya, maka Mahmud Yunus sejak kecil
hingga remaja hanya dilibatkan dengan keharusan untuk belajar
dengan baik tanpa harus ikut memikirkan ekonomi keluarga
dalam membantu orang tuanya mencari nafkah, kesawah atau ke
ladang, meskipun Mahmud Yunus satu-satunya anak alaki-laki
dalam keluarganya, ia dan adiknya Hindun, sedangkan ayahnya
telah meninggalkan ibunya selagi Mahmud Yunus masih kecil.

F.Pemikiran Pendidikan Menurut Mahmud Yunus


Menurut Mahmud Yunus, pendidikan adalah suatu bentuk
pengaruh yang terdiri dari ragam pengaruh yang terpilih
berdasarkan tujuan yang dapat membantu anak-anak agar
berkembang secara jasmani, akal dan pikiran.dalam prosesnya ada

208
upaya yang harus dicapai agar diperoleh hasil yang maksimal dan
sempurna, tercapai kehidupan harmoni secara personal dan
sosial.segala bentuk kegiatan yang dilakukan menjadi lebih
sempurna, kokoh, dan lebih bagus bagi masyarakat.
Guru tidak akan maju dalam usahanya bila tidak mengetahui
pertumbuhan jasmani anak-anak dan apa yang dibutuhkan oleh
jasmani itu. Maka kesehatan anak-anak penting sekali dijaga
dalam mendidik anak-anak itu, karena tidak akan tercapai
kebahagiaan kalau tidak ada kesehatan.
Sedangkan pendidikan akal pendidikan akal supaya mendapat
pengetahuan dan mencerdaskan akal pikiran serta pandai
mempergunakan ilmu yang diketahui oleh manusia. Tetapi
tujuannya ialah mengetahui ilmu dengan sesungguhnya serta
mengerti dan faham akan wujud maksudnya dan dapat
dipergunakan dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan akhlak
adalah tujuan yang utama dan tertinggi dari segala tujuan itu,
bahkan akhlak itulah segala kehidupan karena dengan pendidikan
akhlak itu kita dapat menanamkan sifat-sifat yang baik dalam jiwa
anak, seperti menepati janji, jujur dalam segala hal, tulus ikhlas
dalam perbuatan, sanggup dan tetap dan menunaikan kewajiban

209
Dengan demikian nyatalah bahwa tujuan pendidikan menurut
Mahmud Yunus ialah menyiapkan anak-anak untuk kehidupan
yang sempurna. Jasmaninya dilatih supaya tegap dan sehat,
akalnya didik supaya pandai dan mencipta, kelakuannya
diperbaiki supaya berakhlak mulia. Pemikiran Mahmud Yunus
dalam peningkatan pendidikan Islam antara lain berkenaan
dengan tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran dan
lembaga untuk lebih jelasnya akan dikemukakan sebagai berikut:
1.Tujuan pendidikan
Dari segi tujuan pendidikan Islam, terlihat pada
gagasannya yang menghendaki agar lulusan pendidikan Islam
tidak kalah dengan lulusan pendidikan yang belajar di sekolah-
sekolah yang sudah maju, bahkan lulusan pendidikan Islam
tersebut mutunya lebih baik dari lulusan sekolah-sekolah yang
sudah maju. Yaitu lulusan pendidikan Islam yang selain memiliki
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman dalam bidang ilmu-
ilmu umum juga memiliki wawasan dan kepribadian Islam yang
kuat. Adapun tujuan pendidikan Islam menurut Mahmud Yunus
adalah untuk mempelajari dan mengetahui ilmu-ilmu agama Islam
serta mengamalkannya

210
Tujuan inilah yang dilaksanakan oleh madrasah-madrasah,
seluruh dunia Islam beratus-ratus tahun lamanya sesudah
mundurnya negara Islam, di madrasah ini hanya diajarkan ilmu-
ilmu: tauhid, fiqh, tafsir, Hadits, nahwu, sharaf, balaqah
dansebagainya. Sedangkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
diniawi tidak diajarkan sama sekali, bahkan dahulunya ada ulama
yang mengatakan haram mengajarkan ilmu-ilmu alam, kimia, dan
ilmu-ilmu lain yang disebut ilmu umum
Tujuan yang demikian itu, menurut Mahmud Yunus terasa masih
kurang, tidak lengkap dan tidak sempurna. Tujuan yang demikian
membuat umat Islam menjadi lemah dalam kehidupan di dunia
dan tidak sanggup mempertahankan kemerdekaannya. Dari sini
Mahmud Yunus menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam
adalah menyiapkan anak-anak didik agar pada waktu dewasa
kelak mereka sanggup dan cakap melakukan pekerjaan dunia dan
amalan akhirat, sehingga tercipta kebahagiaan bersama dunia
akhirat
Perumusan ini ringkas dan pendek, tetapi isinya dalam dan luas,
supaya anak-anak cakap melaksanakan amalan akhirat mereka
harus dididik, supaya beriman teguh dan beramal shaleh. Untuk
pendidikan itu harus diajarkan antara lain adalah: keimanan,

211
akhlak, ibadah dan isi al-Qur'an yang berhubungan dengan yang
wajib dikerjakan dan yang haram mesti ditinggalkan. Supaya
anak-anak cakap melaksanakan pekerjaan dunia, mereka harus
dididik untuk mengajarkan salah satu dari masing-masing
perusahaan, seperti bertani, berdagang, beternak, bertukang,
menjadi guru, pegawai negeri, buruh (pekerjaan) dan sebagainya
yaitu menurut bapak dan pembawaan masingmasing anak-anak
Untuk menghasilkan semua itu anak-anak harus belajar ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan pekerjaan dunia dan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan amalan akhirat. Berkaitan
dengan tujuan pokok pendidikan Islam, Mahmud Yunus lebih
lanjut merumuskannya adalah sebagai berikut: pertama, untuk
mencerdaskan perseorangan, kedua, untuk kecakapan
mengerjakan pekerjaan. Dalam hubungan ia menilai pendapat
ulama tradisional yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan
Islam hanyalah untuk beribadah dan sekedar untuk mempelajari
agama Islam. Karena menurutnya, beribadah itu merupakan salah
satu perintah Islam. Sedangkan pekerjaan duniawi yang
menguatkan pengabdian kepada Allah juga merupakan perintah
Islam.

212
Dengan demikian, pekerjaan duniawi termasuk juga tujuan
pendidikan Islam. Selain itu, Mahmud Yunus menilai bahwa
tujuan pendidikan yang lebih penting dan utama adalah
pendidikan akhlak, karena Rasulullah SAW, diutus kemuka bumi
adalah untuk memperbaiki akhlak dan budi pekerti umat manusia.
Atas dasar pemikiran tersebut di atas, menurut Mahmud Yunus
tugas yang utama dan pertama yang menjadi beban para ulama,
guru-guru agama dan pemimpin-pemimpin Islam adalah mendidik
anak-anak, para pemuda, putra-putri orang-orang dewasa dan
masyarakat umumnya, dengan tujuan agar mereka memiliki
akhlak yang mulia dan berbudi pekerti mulia. Hal yang demikian
tidak berarti bahwa pendidikan jasmani, adil dan amal tidak
dipentingkan sama sekali, bahkan semuanya dipentingkan, tapi
yang terpenting menurut Mahmud Yunus adalah pendidikan
akhlak
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui dengan jelas, bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah mendorong seseorang agar
mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, yaitu ajaran yang
menyeluruh seseorang tidak hanya menguasai pekerjaan-
pekerjaan yang bersifat ukhrawi, tetapi pekerjaan yang bersifat
duniawi dan dihiasi dengan akhlak yang mulia, sehingga tercapai

213
kebahagiaan hidup yang seimbang. Rumusan tujuan pendidikan
Islam dari Mahmud Yunus tersebut memperlihatkan dengan jelas
adanya pengaruh lingkungan masyarakat Islam saat itu, yaitu
masyarakat yang kemajuannya tidak seimbang. Mereka hanya
mementingkan urusan ukhrawi saja dengan mengabaikan urusan
duniawi.
2.Kurikulum pendidikan Islam
Mahmud Yunus adalah orang yang pertama kali
memelopori adanya kurikulum yang bersifat integrated, yaitu
kurikulum yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum di
lembaga pendidikan Islam, khususnya dalam mengembangkan
pengajaran bahasa Arab. pada mulanya pengajaran bahasa Arab
lebih banyak menekankan aspek gramatika tanpa diimbangi
kemampuan menggunakannya dalam bentuk dengan membuat
metode pengajaran baru yang ia kenalkan dengan nama al-
Thariqah al-Mubasyarah (direct methode) yang mengajarkan
berbagai komponen ilmu bahasa Arab secara integrated dan
diletakkan pada penerapannya dalam percakapan sehari-hari.
Mahmud Yunus, secara garis besar menggambarkan pokok-pokok
rencana pelajaran pada berbagai tingkatan pendidikan tersebut
adalah sebagai berikut: pertama, rencana pelajaran kuttab

214
(pendidikan dasar) membaca al-Qur'an dan menghafalnya, pokok-
pokok agama Islam, seperti cara berwudhu, shalat, puasa,
menulis, kisah atau riwayat orang-orang besar Islam, membaca
dan menghafal syair-syair berhitung, pokok-pokok nahwu dan
sharaf ala kadarnya.
Lama belajar di kuttab ini, tidaklah sama, tergantung kepada
kecerdasan dan kemampuannya masing-masing anak, karena
system pengajaran pada masa itu belum dilaksanakan secara
klasikal sebagaimana umumnya sistem pengajaran sekarang ini,
tetapi pada umumnya, anak-anak menyelesaikan pendidikan dasar
ini selama kurang lebih 5 tahun. Kedua, rencana pelajaran tingkat
menengah: al-Qur'an, bahasa Arab dan kesusastraan, fiqh, tafsir,
hadits, nahwu, sharaf, ilmu-ilmu pasti, munafiq, ilmu falaq, tarih,
ilmu-ilmu alam, kedokteran, musik. Di samping itu ada mata
pelajaran yang bersifat kejujuran misalnya untuk menjadi juru
tulis di kantor-kantor. Selain dari belajar bahasa, murid di sini
harus belajar surat menyurat, diskusi dan debat. Ketiga rencana
pelajaran pada pendidikan tinggi, pada umumnya pelajaran pada
perguruan tinggi ini dibagi menjadi dua jurusan antara lain:
pertama: jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa serta sastra Arab
meliputi: tafsir al-Qur'an, Hadits, fiqh dan ushul fiqh, nahwu,

215
sharaf, balaqah bahasa Arab dan kesusastraannya, kedua: jurusan
ilmu-ilmu umum, meliputi: mantiq, ilmu-ilmu alam dan kimia,
musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, ilmu falaq, ilmu ilahiyah, ilmu
hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran.
Selanjutnya Mahmud Yunus, dengan mengutip kitabtabaqa ala
tabbaq, menerapkan pelaksanaan sistem pendidikan tinggi
tersebut sebagai berikut: “Bahwa Ibnu Sina, setelah berusia 17
tahun ia telah menyelesaikan pendidikan menengahnya. Iapun
terus belajar menambah ilmu pengetahuannya lalu ia mengulang
membaca mantiq, ilmu-ilmu pasti dan ilmu-ilmu alam kemudian
ia berpindah kepada ilmu ketuhanan, lalu kitab mawarat tabi’ah
(metaphisika) karangan Aristoteles, untuk memahami kitab itu ia
membaca kitab Al-Farabi. Kemudian ia mendapat kesempatan
untuk membaca buku-pada perpustakaan al-Amir. Dalam
perpustakaan itu ada buku-buku kedokteran, bahasa Arab, syair,
fiqh dan lain-lain. Lalu dibacanya buku-buku itu, sehingga ia
mendapat hasil yang memuaskan”.
G.Metode dan Pengajaran Pendidikan Islam
Menurut Mahmud Yunus metode adalah jalan yang akan
ditempuh oleh guru untuk memberikan berbagai pelajaran kepada
murid-murid dalam berbagai jenis mata pelajaran. Jalan itu adalah

216
khittah (garis) yang direncanakan sebelum masuk ke dalam kelas
dan dilaksanakan di dalam kelas waktu mengajar
Sehubungan dengan penerapan metode pada suatu mata pelajaran,
Mahmud Yunus juga sangat memperhatikan psikologi anak didik
sesuai dengan kaidah-kaidah pengajaran modern, dengan tujuan
agar pelajaran dapat memahami dan diingat secara kritis oleh
murid. Selanjutnya ia juga amat menekankan tentang pentingnya
penanaman moral dalam proses belajar mengajar, karena
moralitas adalah merupakan bagian yang sangat penting dari
sistem ajaran Islam.
Selanjutnya Mahmud Yunus juga menyarankan agar setiap
pendidik memahami gejolak jiwa, kecenderungan potensi,
kemampuan dan bakat yang dimiliki setiap peserta didik. Dengan
cara demikian, setiap mata pelajaran yang diberikan dapat diserap
oleh anak dengan sebaik-baiknya. Mahmud Yunus menganjurkan
agar setiap pelajaran yang disajikan dapat disesuaikan dengan
waktu dan suasana serta menggunakan metode yang bervariasi.
Sesungguhnya cara mengajar itu tidak sama, bahkan berlain-
lainan menurut mata pelajaran yang diajarkan. Cara mengajarkan
bahasa Arab atau Inggris berlainan dengan cara mengajarkan ilmu
bumi, cara mengajarkan berhitung tidak sama dengan cara

217
mengajarkan sejarah. Maka tiap-tiap mata pelajaran itu
mempunyai jalan (metode) yang khusus, tidak dapat disama
ratakan saja. Oleh sebab itu metode (cara-cara) mengajar terdiri
dari dua macam antara lain: Pertama: cara mengajar umum yang
meliputi :
1) Metode penyimpulan, yaitu guru menuliskan contoh-contoh di
papan tulis kemudian dibahas bersama-sama murid, sehingga
diambil kesipulan. tujuan metode ini membiasakan murid berfikir
sendiri;
2) Metode Quasiyah yaitu mula-muladisebutkan kaedahdan
hukum umum, kemudian diterangkan contoh-contohnya. Metode
ini tidak menyuruh murid untuk berfikir dan percara diri,
menerima apa adanya dari guru.
3) Metode membahas dan mengkiaskan, yaitu guru dan murid
sama-sama menyimpulkan dan berpindah kaedah;
4) Metode memberitakan atau ceramah, metode ini sesuai untuk
mahasiswa, tetapi tidak sesuai untuk murid di sekolah rendah,
menengah pertama dan menengah keatas;
5) Metode bercakap-cakap dan tanya jawab, yaitu metode
bercakap-cakap dan tanya jawab untuk mendapatkan suatu
kebenaran. Tujuannya ialah memasukkan ilmu pengetahuan ke

218
dalam otak murid-murid dan membiasakan mereka membahas
untuk mendapatkan kebenaran.
Kedua: metode mengajar modern yang meliputi: 1)
metode menyelidik yaitu membahas mata pelajaran dalam kitab
yang ditentukan oleh guru kepada murid-murid, supaya mereka
pelajari dengan sendirinya dan harus selesai dalam waktu yang
ditentukan; 2) metode mentakjubkan (menghargai) yaitu murid
banyak diam, banyak mendengarkan, guru langsung masuk ke
dalam hati murid dengan perkataan yang manis, sehingga mereka
terpesona ke dalam hati murid dengan perkataan yang manis,
sehingga mereka terpesona dibawa oleh guru kearah tujuan yang
dikehendakinya; 3) metode latihan (Drill), karena dengan tidak
ada satu pelajaran yang dapat lancar dan sukses dengan tidak ada
latihan dan ulangan.
H.Analisis Pemikiran Pendidikan Mahmud Yunus
Analisis Terhadap Pemikiran Mahmud Yunus dalam
Pendidikan Islam di Indonesia. Melihat dari gambaran pemikiran
Mahmud Yunus dalam konsep pendidikan Islam di Indonesia
serta pengaruhnya terhadap proses sejarah pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia diatas, penulis pada
kesempatan ini ingin mencoba menganalisa atau sekedar meberi

219
catatan dari potret konsep pendidikan Islam yang ditawarkan
Mahmud Yunus sebagaimana yang telah penulis uraikan diatas.
Beberapa hal yang ingin penulis sampaikan menutup pembahasan
pada Bab ini adalah :
Mahmud Yunus adalah tokoh pendidikan Islam di
Indonesia, argumentasi ini didasarkan pada apa yang telah
diberikan Mahmud Yunus dalam dunia pendidikan Islam baik
melalui ide atau pemikiran, maupun melalui karya-karyanya yang
cukup monumental, diantaranya:
1.Mahmud Yunus adalah peletak pertama dari sistem pendidikan
modern secara formal di dunia pendidikan Islam Indonesia
dengan beliau mendirikan Jami’ah Al Islamiyah dan Normal
Islam sekaligus menjadi Derekturnya. Kemodernya lembaga
pendidikan Mahmud Yunus diatas dapat dilihat pertama adanya
perjenjangan anak didik yang belajar disana berdasarkan segi usia
dan tingkat pendidikan perjenjangan ini untuk menetapkan materi
pelajaran yang akan diberikan kepada siswa, sistem perjenjangan
ini sejalan dengan sistem pendidikan nasional sekarang mulai dari
jenjang pendidikan dasar, menengah, dan atas. Kedua bila di
lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional pada saat itu
masih menggunakan sistem individual tanpa menggunakan papan

220
tulis, meja dan kursi sebagai tempat belajar maka di lembaga
pendidikan Mahmud Yunus telah mengan sistem klasikal yang
terpimpin dan terorganisir dalam bentuk perjenjangan kelas dan
dalam jangka waktu yang telah ditetepkan telah menggunakan
papan tulis, meja dan kursi sebagaimana model sekolahan
Belanda pada waktu itu. Ketiga dari konsep kurikulum lembaga
pendidikan Mahmud Yunus bukan hanya mengajarkan materi
pelajaran kegamaan semata tetapi ilmu pengetahuan umum
bahkan Normal Islam mempunyai laboratorium tempat praktikum
IPA ( fisika, kimia, biologi ), yang pada waktu itu belum ada
lembaga pendidikan Islam yang memilikinya. Keempat lembaga
pendidikan Mahmud Yunus menjadikan bahasa Asing khususnya
bahasa Arab ( disamping bahasa Inggris dan Belanda ) sebagai
bahasa pengantar sekaligus sebagai bahasa komunikasi sehari-
sehari secara aktif dengan menerapkan metode langsung di kelas.
Kelima kemodernan lembaga pendidikan yang dipimpin Mahmud
Yunus juga ditandai dengan adanya sikap keterbukaan dalam hal
rekrutmen siswa, yang membolehkan semua golongan dan
darimana saja brasal, asalkan siswa tersebut beragama Islam.
Kondisi ini berbeda dengan sekoalah-sekolah penjajah yang

221
diskriminatif yang hanya menerima anak-anak Bumi Putera dari
orang kaya (pribumi) dan anak-anak belanda sendiri.
2.Pemikiran Mahmud Yunus tentang konsep pendidikan Islam
hingga saat ini masih aktual dan uptodete meski disampaikan dan
dibahasakan secara sederhana pada saat itu tetapi secara konsep
pemikiran Mahmud Yunus tentang pendidikan Islam sangat
visioneris atau berorentasi pada masa depan ( yang akan datang ),
dianta pemikiranya itu, Pertama produk lambaga pendidikan
Islam harus melahirkan Ulama – Intelektual dan Intelektual –
Ulama, Mahmud Yunus merumuskan tujuan pendidikan Islam
adalah meningakatkan kecerdasan intelektual dan memiliki
keterampialan (keahlian) profesional. Mahmud Yunus tidak
sependapat dengan pendapat yang mengatakan tujuan pendidikan
Islam itu hanya untuk ibadah dan hanya untuk mendalami ilmu-
ilmu keagamaan semata, ini adalah pendapat yang sempit dan
kurang sempurna, karenanya menurut Mahmud Yunus tujuan
pendidikan Islam pada dasarnya adalah menyiapkan anak didik
agar setelah mereka dewasa kelak dapat melakukan pekerjaan
duniawi dan amalan akhirat untuk mendapatkan kebahagiaan
dunia dan akhirat, dengan kata lain sesungguhnya pendidikan
Islam menurut Mahmud Yunus hendaknya dapat melahirkan

222
sosok “intelektual yang Ulama dan Ulama yang intelaktual“, ini
dibuktikan oleh Mahmud Yunus dengan memberikan pengajaran
ilmu pengetahuan umum disamping ilmu pengetahuan
keagamaan, pada kurikulum di Normal Islam dengan ilmu
pengetahuan keagamaan di harapkan anak didik mempunyai bekal
wawasan keagamaan serta mengamalkan dalam kehidupan sehari-
hari, dan dengan ilmu pengetahuan umum bertujuan agar anak
didik mempunyai bekal keterampilan dan keahlian profesional
sesuai dengan bidangnya. Kedua Mahmud Yunus sebagai
pencetus konsep Link and Macht di dunia pendidikan Islam
Indonesia dengan diterapkannya sistem pengajaran ganda (Double
System Of Learning ) yaitu pendidikan keagamaan dan
pendidikan umum. Pada hakekatnya Mahmud Yunus menerapkan
konsep “Link and Match” yakni sebuah konsep yang
menghendaki agar para lulusan dari sebuah sekolah selain
memiliki kemampuan akademis juga memiliki kamampuan
profesional sesuai dengan tuntutan lapangan kerja dan ini
dibuktikan oleh Mahmud Yunus dengan mendirikan PGA
( Pendidikan Guru Agama ) di delapan kota besar (yaitu Tanjung
Pinang, Kota Raja, Padang, Banjar Masin, Jakarta, Tanjung
Karang, Bandung dan Panekasan) dan SGHA ( Sekolah Guru

223
Hakim Agama ) di tiga kota (yaitu Kota Raja, Bukit Tinggi dan
Bandung). Ketiga Mahmud Yunus adalah tokoh pendidikan Islam
yang memperkenalkan teori pendidikan didaktis metodis modern
atau lebih dikenal dengan strategi belajar mengajar pada
pengajaran bahasa Arab Mahmud Yunus memperkenalkan teori
strategi belajar mengajar bagaimana para siswa secara diktatis
metode modern dapat menguasai bahasa Arab dengan cepat dan
mudah, ini ditandai dengan penerapan metode langsung ( Direct
Method ) yang mendorong pada pelatihan kemampuan siswa
secara langsung sebagai bahasa komunikasi sehari-hari dengan
titik tekan pada empat kemampuan yaitu kemampuan benicara,
mendengar, menulis dan membaca menggunakan bahasa dan
pola-pola kalimat sederhana sesuai dengan kemampuan bahasa
anak didik, menyesuaikan materi ajar sesuai dengan situasi dan
kondisi sosial budaya anak didik, disajikan dalam bentuk dan
kisah-kisah gambar, dan demonstrasi, merangsang siswa agar
dapat mengkomunikasikan ide dan fikiranya sendiri dalam bahasa
Arab sehingga pelajaran muthola’ah harus diutamakan. Keempat
Mahmud Yunus pencentus pertama penerapan teori satu kesatuan
(all in one system atau al ittihadiyah) dalam pendidikan Islam di
Indonesia khususnya dalam penyampaian materi pengajaran

224
bahasa Arab dan menolak pendekatan “terpisah” (furu’iyah)
dimana pengajaran bahasa Arab dipisah-pisah seperti : nahwu,
sharaf, mutholaah, muhadatsah, dan lain sebagainya, sebagaimana
diterapkan dilembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.
Menurut Mahmud Yunus pengajara bahasa Arab harus terdiri dari
satu kesatuan diantara sub-sub materi ajar bahasa Arab, sebuah
metode yang menggunakan pendekatan terpisah ( furu’iyah) lebih
menyulitkan siswa. Kelima dalam pengajarannya Mahmud Yunus
lebih menekankan keaktifan siswa beliau sendiri hanya sebagai
fasilitator, menurut Mahmud Yunus penyajian pelajaran kepada
siswa harus hidup dan menimbulkan minat siswa yakni
bagaimana para siswa dapat menguasai dan memahami materi
ajar dengan mudah dan cepat, termasuk dalam pengajaran bahasa
Arab, untuk ini Mahmud Yunus menulis buku tantang Metodik
Khusus Pendidikan Agama dan Metode Khusus Pengajaran
Bahasa Arab, siswa dilatih berfikir sendiri, dengan menumbuhkan
kreatifitas berfikir dan bernalar dalam memecahkan masalahnya
sendiri sesuai dengan kemampuanya, pendidik hanya
mendampingi selama proses pembelajaran, penerapan konsep
pengajaran yang lebih menekankan tingkat partisipasi anak didik
ini, secara tidak langsung Mahmud Yunus telah menerapkan

225
konsep pendidikan “andragogi” yakni sebuah konsep yang
menempatkan siswa sebagai bagian dari subjek pendidikan.
Dalam konsep pendidikan andragogi dikenal istilah Daur Belajar
yaitu mengalami, mengungkapkan, mengolah, menyimpulkan dan
menerapkan, dan inilah yang telah dan ingin diterapkan oleh
Mahmud Yunus dalam pembelajaran pendidikan Islam khususnya
di lembaga pendidikan Islam Normal Islam yang didirikannya.
3.Kelebihan dan kekurangan konsep pemikiran Mahmud Yunus
dalam pendidikan Islam di Indonesia
a. Kelebihan atau Keunggulan Konsep Pemikiran Pendidikan
Islam Mahmud Yunus
Berbicara kelebihan atau ke unggulan konsep pemikiran
Mahmud Yunus dalam pendidikan Islam adalah sama halnya
membicarakan apa yang telah di gambarkan diatas karena
kontribusi yang telah diberikan Mahmud Yunus baik berupa ide,
pemikiran dan karya-karyanya telah memberi pengaruh yang
signifikan bagi perkembangan pendidikan Islam di Indonesia,
tetapi pada kali ini penulis ingin menggambarkan kelebihan atau
keunggulan tersebut berdasarkan fokus pembahasan konsep
pemikiran Mahmud Yunus tentang pendidikan Islam.
b. Kelebihan pada konsep tujuan dan kurikulum

226
Kelebihan pada konsep ini terliahat dari obsesi Mahmud
Yunus yang menginginkan alumni sekolah-sekolah Islam menjadi
sosok muslim yang sempurna (Insan Kamil) dalam istilah lain
menjadi Ulama-Intelektual dan Iintelektual-Ulama, yang
berorientasi pada pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat, dan
ini terlihat dari penerapan kurikulum ganda (Double System
Learning) dan juga mengajarkan pelajaran-pelajaran umum
dimana sekolaha lain belum ada yang menerapkan praktikum IPA
dan lain sebagainya. Lebih jauh melalui kurikulum yang
diterapkan Mahmud Yunus telah memperkenalkan konsep
pendidikan “Link and Match” yakni konsep pendidikan yang
menghendaki para lulusannya disamping memiliki keahlian
profesional sesuai dengan tuntutan lapangan kerja, dan untuk
yang terakhir ini Mahmud Yunus yang mempunyai ide dan
pemikirannya sudah lebih maju dari jamanya.
c. Kelebihan pada konsep metode dan sistem pendidikan
Kelebihan pada konsep ini Mahmud Yunus dalam praktek
pengajaranya secara langsung menerapkan dan memperkenalkan
metode pengajaran yang varian sesuai dengan situasi dan kondisi
psikologis serta kemampuan anak didik, menggunakan metode
didaktik metodik modern, memperkenalkan teori pengajaran All

227
In One System atau teori satu kesatuan dalam pengajaran bahasa
Arab dan lebih jauhnya Mahmud Yunus menerapkan konsep
pendidikan “Andragogi” yang lebih menekankan pada tingkat
partisipasi anak didik yang ini semua sebelumnya belum ada yang
menerapkan atau memperkenalkan selain Mahmud Yunus.
Mahmud Yunus salah seorang tokoh pendidikan Islam di
Indonesia memiliki perhatian dan komitmen tinggi tehadap upaya
membangun, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan
agama Islam sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang
di peruntukkan bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya
yang beragama Islam, konsep pemikiranya dalam bidang
pendidikan secara keseluruhan bersifat strategis dan merupakan
karya perintis, dalam arti belum pernah dilakukan oleh tokoh-
tokoh pendidikanIslamsebelumya.
d.Kelebihan pada konsep kelembagaan Menurut penulis
pengelolaannya lembaga pendidikan Jami’ah Al Islamiyah dan
Normal Islam yang di pimpin oleh Mahmud Yunus di kelola dan
di manaj secara profesional dan terorganisir menurut prinsip-
prinsip manajemen organisasi modern mulai dari menetapkan
tujuan, sistem perjenjangan, bersifat klasikal, kurikulum yang
tetap, menggunakan alat-alat atau media pembelajaran seperti

228
papan tulis, meja dan kursi, memiliki asrama sekolah,
menerapkan dislipin yang tinggi terutama dalam menerapkan
bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari dan juga memiliki
laboratorium IPA sebagai tempat praktikum anak didik. Meski
Normal Islam bukan satu-satunya lembaga pendidikan yang
menerapkan sistem sekolah modern, sebelumnya ada Madras
school (1910) milik HM. Thaib Umar yang diawal berdirinya
menerapkan sistem klasikal tetapi kemudian kembali ke sistem
halaqoh kerena jumlah muridnya semakin banyak juga sekolah
Adabiyah School (1990) yang didirikan oleh Abdullah Ahmad di
Padang Panjang telah menggunakan papan tulis, meja dan kursi,
tetapi sekolah ini tidak lama ditutup karena mendapat tantangan
masyarakat yang menganggap sekolah ini sama dengan sekolah
kafir Belanda, yang pada tahun 1916 sekolah Adabiyah School
pindah ke Padang dan di akui Belanda sebagai HIS pertama dari
pendidikan Islam termasuk juga Diniyah School di Padang
Panjang yang didirikan oleh Zainuddin Labai (1915-1935) yang
sudah menganut sistem klasikal, hanya bedanya di sekolah ini
tidak mempunyai kurikulum yang tetap dan hanya mengajarkan
pelajaran keagamaan semata di samping itu Rahman Al Yunusiah
mendirikan Diniyah Puteri (1923) yang juga menganut sistem

229
klasikal.Dengan demikian meski sekolah-sekolah yang disebutkan
diatas telah menganut sistem klasikal dan sudah menggunakan
media pembelajaran seperti papan tulis, meja dan kursi tempat
belajar siswa tetapi Normal Islam lebih maju karena di manaj
secara profesional, kurikulum yang terorganisir dan terpimpin
juga memiliki Lab IPA yang ini tidak dilakukan atau tidak ada
disekolah-sekolah yang telah disebut diatas.
e. Kelemahan Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Mahmud
Yunus
Setelah menggambarkan segala kelebihan atau keunggulan
konsep pemikiran Mahmud Yunus dalam pendidikan Islam diatas
kini penulis akan menggambarkan juga kelemahanya, sebab
segala kelebihan yang terdapat pada konsep pemikiran Mahmud
Yunus tentang pendidikan Islam tersebut bukan berarti tidak
menyertakan kekurangan atau kelemahan, terutama jika kita lihat
dari konteks pendidikan Islam saat ini, ini bisa difahami karena
Mahmud Yunus dengan segala konsep pemikiranya hadir dalam
konteks ruang dan waktu disisi lain semua pengetahuan atau teori
keilmuan disamping menawarkan kebenaran relatif juga bersifat
dinamis, berkembang sesuai dengan konteks zaman.

230
Mengetahui beberapa hal yang menjadi kelemahan atau
kekurangan konsep pemikiran Mahmud Yunus dalam pendidikan
Islam di Indonesia menurut penulis menjadi penting, selama itu
berangkat dari keinginan untuk melihat dan menjadikan kondisi
pendidikan Islam menjadi lebih baik, dalam arti segala kelemahan
dan kekurangan dari konsep pemikiran Mahmud Yunus tersebut
dapat kita jadikan pelajaran untuk semakin membenahi atau
memperbaharui dunia pendidikan Islam kita saat ini, kelemahan
atau kekurangan konsep pemikiran Mahmud Yunus dalam
pendidikan Islam itu menurut penulis hanya terlihat lebih banyak
pada hal-hal yang tidak bersentuh atau luput dari pengamatan
Mahmud Yunus sendiri, baik pada aspek tujuan dan kurikulum,
metode dan sistem maupun kelambagaan pendidikan Islam.
Meski telah disebutkan bahwa modernisasi lembaga
pendidikan Islam secara fomal dimulai sejak hadirnya Jami’ah Al
Islamiyah dan Nomal Islam yang didirikan oleh Mahmud Yunus
akan tetapi sebenarnya apa yang dilakukan oleh Mahmud Yunus
sesungguhnya sekedar meneruskan dari HM. Thaib Umar dan
lain-lain, mereka telah melakukan modernisasi di lembaga
pendidikan yang mereka pimpin di Adabiyah School antara lain
Abdullah Ahmad atau Abdul Karim Amrullah misalnya yang

231
menekankan pada penguasaan bahasa Arab untuk memahami
kitab-kitab keagamaan fiqih atau lainya. HM. Thaib Umar yang
mengembangkan sistem klasikal dan banyak yang lainya jadi
modernisasi yang di maksud adalah modern pada masanya,
terbesar pada masanya tetapi secara kelembagaan Mahmud Yunus
bukan yang pertama meski tidak bisa dipungkuri pemikiran yang
dilakukan Mahmud Yunus tentang pendidikan Islam sesuai
keadan pada saat itudi Sumatra Barat.
Selanjutnya jika dilihat dari karya-karyanya konsep
pemikiran pendidikan Islam Mahmud Yunus lebih banyak di
tujukan pada konsep pengajaran pada anak-anak mulai dari
tingkat Ibtidaiyah sampai dengan Aliyah dan sedikit sekali
ditujukan pada orang-orang dewasa, Mahmud Yunus kurang
menyoroti konsep pendidikan agama pada masa dini, pendidikan
di lembaga non atau in fomal di keluarga atau masyarakat,
padahal pendidikan di keluarga atau masyarakat menjadi
signifikan untuk mendukung pendidikand isekolah atau
pendidikan lainya.
Untuk pendidikan dan pengajaran bahasa Arab Mahmud
Yunus terfokus pada penerapan metode langsung dan pendekatan
sistem pengajaran All In One System (konsep pengajaran terpadu)

232
kurang di barengi dengan aspek-aspek lainnya seperti sarana atau
fasilitas pengajaran, buku-buku tentang bahasa Arab temasuk
kamus bahasa Arab, pengembangan Bi’ah lughoh (lingkungan
bahasa), terbatasnya guru bahasa apalagi native speaker dan lain
sebagainya, padahal sebagaimana kata Karel Steenbrink meski
dalam pendidikan bahasa Arab siswa tinggal di asrama dan
dengan disiplin yang tinggi, menggunakan metode pengajaran
modern akan tetapi tidak akan memberikan hasil yang maksimal
jika sarana dan fasilitas pengajaran terbatas mulai dari buku-buku
bahasa Arab, kamus bahasa, surat kabar bahasa Arab,
laboratorium bahasa dan lainya, karena keterbatasan ini menurut
Karel akan tetap menjadikan bahasa Arab kurang akrab dengan
para siswa, di tambah lagi kurangnya penghargaan masyarakat
Islam sendiri terhadap bahasa Arab dibanding bahasa asing lainya
seperti bahasa Inggris. Inilah beberapa kelemahan atau
kekurangan yang luput dari pengamatan Mahmud Yunus dalam
konsep pemikiran terhapat pendidikan Islam di Indonesia, dan
bahasan ini sekaligus menutup pembahasan konsep pemikiran
Mahmud Yunus dalam pendidikan Islam di Indonesia sebagai
tema utama dalam penulisan ini.

233
BAB XI
PENDIDIKAN HAMKA DAN KH. ABDUL HALIM
A. Riwayat HAMKA
Haji Abdul Malik Karim Amrulloh atau biasa disebut
dengan julukanHAMKA, yakni singkatan namanya, lahir di desa
kampong Molek, maninjau, Sumatra Barat, 17 Februari 1908.
Lahir dari Pasangan Haji Abdul Karim Amrullah dan Shafiyah
Tanjung, sebuah keluarga yang taat beragama.Ayahnya adalah
seorang ulama besar dan pembawa paham-paam pembaharuan
Islam di Minangkabau. Buya HAMKA meninggal pada tanggal
22 Juli 1981 di Rumah Sakit Pertamina Jakarta dalam usia 73
tahun.

234
Sejak kecil, HAMKA menerima dasar-dasar agama dari ayahnya.
Pada usia 7 tahun ia dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya
belajar mengaji dengan ayahnya. Pelajaran yang ditekuni oleh
HAMKA meliputi nahwu, sharaf, mantiq, bayan, fiqh dan yang
sejenisnya dengan menggunakan system hafalan. Sejak tahun
1916 sampai 1923, ia belajar agama pada sekolah Diniyah
School di Padang Panjang dan Sumatera Thawalib di Parabek,
Tuanku Mudo Abdul Hamid, dan Zainuddin Labay.
HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar
Maninjau sehingga kelas dua.Ketika usianya mencapai 10 tahun,
ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang.Di
situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa
Arab.HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau
dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim
Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto,
dan Ki Bagus Hadikusumo.
HAMKA mula-mula bekerja sebagai guru agama pada
tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama
di Padang Panjang pada tahun 1929.HAMKA kemudian dilantik
sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun

235
1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan
Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai
Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi
meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih
antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
HAMKA adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik,
baik Islam maupun Barat.Dengan kemahiran bahasa Arabnya
yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga
besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas
al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui
bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris
dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund
Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre
Loti. HAMKA juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran
dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto,
Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur,
dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga
menjadi seorang ahli pidato yang andal. HAMKA juga aktif

236
dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah.Ia
mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk
melawan khurafat, bid'ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang
Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang
Muhammadiyah di Padang Panjang.Pada tahun 1929, HAMKA
mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua
tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah
di Makassar.Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis
Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi
Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun
1946.Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres
Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan
Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama
Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik HAMKA sebagai ketua
umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya
mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak
dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan politik HAMKA
bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai
politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu
menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia

237
melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di
Medan. Pada tahun 1947, HAMKA diangkat menjadi
ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.Disamping Front
PertahananNasional yang sudah ada didirikan pula Badan
Pengawal Negeri &kota (BPNK). Pimpinan tersebut diberi nama
Sekretariat yang terdiri dari lima orang yaitu HAMKA, Chatib
Sulaeman, Udin, Rasuna Said dan Karim Halim. Ia menjadi
anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama
dalam Pemilihan Umum tahun 1955. Masyumi kemudiannya
diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960.Dari
tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh
Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia.Semasa
dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang
merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara,
HAMKA diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah
Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji
Indonesia, dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional,
Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA
merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak
tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah surat

238
kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan
Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor
majalah Kemajuan Masyarakat.Pada tahun 1932, beliau menjadi
editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar.HAMKA
juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji
Masyarakat, dan Gema Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif
seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-
Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum
dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura
termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah
Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.HAMKA pernah
menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan
internasional seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa,
Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas
Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan
Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.[9]
HAMKA meninggal dunia pada 24 Juli 1981, namun jasa dan
pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan
agama Islam.Ia bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama

239
dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh
alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
B. Karya-karya HAMKA
Sebagai seorang yang berpikiran maju, HAMKA tidak
hanyamerefleksikan kemerdekaan berpikirnya melalui berbagai
mimbar dalamcerama agama, tetapi ia juga menuangkannya
dalam berbagai macamkaryanya berbentuk tulisan. Orientasi
pemikirannya meliputi berbagaidisiplin ilmu, seperti teologi,
tasawuf, filsafat, pendidikan Islam, sejarahIslam, fiqh, sastra dan
tafsir.Sebagai penulis yang sangat produktif,HAMKA menulis
puluhan buku yang tidak kurang dari 103 buku.Beberapa di antara
karya-karyanya adalah sebagai berikut:
1.      Tasawuf modern (1983), pada awalnya, karyanya ini
merupakan kumpulan artikel yang dimuat dalam majalahPedoman
Masyarakat antara tahun 1937-1937. Karena tuntutan masyarakat,
kumpulan artikel tersebut kemudian dibukukan. Dalam karya
monumentalnya ini, ia memaparkan pembahasannya ke dalam XII
bab. Buku ini diawali dengan penjelasan mengenai tasawuf.
Kemudian secara berurutan dipaparkannya pula pendapat para
ilmuwan tentang makna kebahagiaan, bahagia dan agama,
bahagia dan utama, kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan

240
bahagia, sifatqonaah, kebahagiaan yang dirasakan Rasulullah,
hubungan ridho dengan keindahan alam, tangga bahagia, celaka,
dan munajat kepada Allah. Karyanya yang lain yang
membicarakan tentang tasawuf adalah “Tasawuf; Perkembangan
dan Pemurniaannya”. Buku ini adalah gabungan dari dua karya
yang pernah ia tulis, yaitu “Perkembangan Tasawuf Dari Abad ke
Abad”dan “Mengembalikan Tasawuf Pada Pangkalnya”.
2.      Lembaga Budi (1983). Buku ini ditulis pada tahun 1939
yang terdiridari XI bab. pembicaraannya meliputi; budi yang
mulia, sebab budimenjadi rusak, penyakit budi, budi orang yang
memegangpemerintahan, budi mulia yang seyogyanya dimiliki
oleh seorang raja(penguasa), budi pengusaha, budi saudagar, budi
pekerja, budi65ilmuwan, tinjauan budi, dan percikan pengalaman.
secara tersirat,buku ini juga berisi tentang pemikiran HAMKA
terhadap pendidikanIslam, termasuk pendidik.
3.      Falsafah Hidup (1950). Buku ini terdiri atas IX bab. Ia
memulai bukuini dengan pemaparan tentang makna kehidupan.
Kemudian padabab berikutnya, dijelaskan pula tentang ilmu dan
akal dalamberbagai aspek dan dimensinya. Selanjutnya ia
mengetengahkantentang undang-undang alam atau sunnatullah.
Kemudian tentangadab kesopanan, baik secara vertikal maupun

241
horizontal. Selanjutnyamakna kesederhanaan dan bagaimana cara
hidup sederhana menurutIslam. Ia juga mengomentari makna
berani dan fungsinya bagikehidupan manusia, selanjutnya tentang
keadilan dan berbagaidimensinya, makna persahabatan, serta
bagaimana mencari danmembina persahabatan. Buku ini diakhiri
dengan membicarakanIslam sebagai pembentuk hidup. Buku ini
pun merupakan salah satualat yang HAMKA gunakan untuk
mengekspresikan pemikirannyatentang pendidikan Islam.
4.      Lembaga Hidup (1962). Dalam bukunya ini, ia
mengembangkanpemikirannya dalam XII bab. Buku ini berisi
tentang berbagaikewajiban manusia kepada Allah, kewajiban
manusia secara sosial,hak atas harta benda, kewajiban dalam
pandangan seorang muslim,kewajiban dalam keluarga, menuntut
ilmu, bertanah air, Islam danpolitik, Al-Qur’an untuk zaman
modern, dan tulisan ini ditutupdengan memaparkan sosok nabi
Muhammad. Selain Lembaga Budidan Falsafah Hidup, buku ini
juga berisi tentang pendidikan secara tersirat.
5.      Pelajaran Agama Islam (1952). Buku ini terbagi dalam IX
bab.Pembahasannya meliputi; manusia dan agama, dari sudut
manamencariTuhan, dan rukun iman.

242
6.      Tafsir Al-Azhar Juz 1-30. Tafsir Al-Azhar merupakan
karyanya yangpaling monumental. Buku ini mulai ditulis pada
tahun 1962. Sebagian66besar isi tafsir ini diselesaikan di dalam
penjara, yaitu ketika iamenjadi tahanan antara tahun 1964-1967.
Ia memulai penulisanTafsir Al-Azhar dengan terlebih dahulu
menjelaskan tentang i’jaz Al-Qur’an. Kemudian secara berturut-
turut dijelaskan tentangi’jaz Al-Qur’an, isi mukjizat Al-Qur’an,
haluan tafsir, alasan penamaan tafsirAl-Azhar, dan nikmat Illahi.
Setelah memperkenalkan dasar-dasaruntuk memahami tafsir, ia
baru mengupas tafsirnya secara panjanglebar.
7.      Ayahku; Riwayat Hidup Dr. Haji Amarullah dan Perjuangan
KaumAgama di Sumatera (1958). Buku ini berisi tentang
kepribadian dansepak terjang ayahnya, Haji Abdul Karim
Amrullah atau seringdisebut Haji Rosul. HAMKA melukiskan
perjuangan umat padaumumnya dan khususnya perjuangan
ayahnya, yang oleh Belandadiasingkan ke Sukabumi dan akhirnya
meninggal dunia di Jakartatanggal 2 Juni 1945.
8.      Kenang-kenangan Hidup Jilid I-IV (1979). Buku ini
merupakanautobiografi HAMKA.

243
9.      Islam dan Adat Minangkabau (1984). Buku ini merupakan
kritikannyaterhadap adat dan mentalitas masyarakatnya yang
dianggapnya taksesuai dengan perkembangan zaman.
10.  Sejarah umat Islam Jilid I-IV (1975). Buku ini merupakan
upayauntuk memaparkan secara rinci sejarah umat Islam, yaitu
mulai dariIslam era awal, kemajuan, dan kemunduran Islam pada
abadpertengahan. Ia pun juga menjelaskan tentang sejarah masuk
danperkembangan Islam di Indonesia.
11.  Studi Islam (1976), membicarakan tentang aspek politik
dankenegaraan Islam. Pembicaraannya meliputi; syari’at Islam,
studiIslam, dan perbandingan antara hak-hak azasi manusia
deklarasiPBB dan Islam.
12.  Kedudukan Perempuan dalam Islam (1973). Buku membahas
tentangperempuan sebagai makhluk Allah yang dimuliakan
keberadaannya.
13.  Si Sabariyah(1926), buku roman pertamanya yang ia tulis
dalambahasa Minangkabau. Roman; Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck(1979), Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Merantau
Ke Deli (1977),Terusir, Keadilan Illahi, Di Dalam Lembah
Kehidupan, SalahnyaSendiri, Tuan Direktur, Angkatan baru,
Cahaya Baru, CerminKehidupan.

244
14.  Revolusi pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau
MenghadapiRevolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville,
MuhammadiyahMelalui Tiga Zaman, Dari Lembah Cita-Cita,
Merdeka, Islam DanDemokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat,
Menunggu Beduk Berbunyi.
15.  Di Tepi Sungai Nyl, Di Tepi Sungai Daljah, Mandi Cahaya
Di TanahSuci, Empat Bulan Di Amerika, Pandangan Hidup
Muslim.
16.  Artikel Lepas; Persatuan Islam, Bukti Yang Tepat, Majalah
Tentara,Majalah Al-Mahdi, Semangat Islam, Menara, Ortodox
DanModernisme, Muhammadiyah Di Minangkabau, Lembaga
Fatwa,Tajdid Dan Mujadid, dan lain-lain.
17.  Antara Fakta Dan Khayal, Bohong Di Dunia, Lembaga
Hikmat, danlain-lain.
Ketokohan HAMKA, bukan hanya dikenal di Indonesia,
tetapi jugadi Timur Tengah, dan Malaysia, bahkan Tun Abdul
Razak, PerdanaMenteri Malaysia, pernah mengatakan bahwa
HAMKA bukan hanya milikbangsa Indonesia, tetapi juga
ebanggaan bangsa-bangsa AsiaTenggara. Kini, kenang-kenangan
tentang ulama, penyair, sastrawan, dan filosofbernama lengkap
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah disingkatHAMKA

245
itu, bisa ditemui di kampung halamannya: Nagari Sungai Batang
Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra
Barat(Sumbar). Ratusan buku karangan HAMKA, semenjak novel
fiksiTenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah
Lindungan Ka'bah,sampai kepada buku filsafat seperti Tasauf
Modern dan Falsafah Hidup,bahkan karyanya yang amat
fenomenal Tafsir Al-Azhar yang diselesaikanketika Buya
dipenjara tanpa alasan yang jelas oleh rezim Soekarno bias
ditemui di museum rumah kelahiran Buya HAMKA tersebut.
Museum yangdiresmikan pada 11 November 2001 oleh H. Zainal
Bakar, Gubernur SumateraBarat tersebut juga menghadirkan
berbagai foto yang menggambarkan perjalanan  hidupnya.
C. Pemikiran HAMKA Tentang Pendidikan
1.         Urgensi Pendidikan
Pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan menurut HAMKA
bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupa
yang layak, melainkan lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan
mampu mengenal Tuhannya, memperluas akhlaknya, dan
senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah SWT. Hanya
dengan bentuk pendidikan yang demikian, manusia akan
menmperoleh ketentraman (hikmat) dalam hidupnya.

246
Ini berarti pendidikan dalam pandangan HAMKA terbagi dua
bagian:
1)        Pendidik jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan
dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal.
2)        Pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan
fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang
didasarkan kepada agama.
Kedua unsur jasmani dan rohani tersebut memiliki
kecenderungan untuk berkembang melalui pendidikan, karena
pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam
menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur
tersebut.Dalam pandangan Islam, kedua unsur dasar tersebut
dikenal dengan istilah fitrah. Menurut HAMKA, fitrah setiap
manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat
kebajikan dan tunduk mengabdi pada khaliqnya.
Jika ada manusia yang tidak berbuat kebajikan,
sesungguhnya ia telah menyimpang dari fitrahnya tersebut.
Menurutnya, pada diri setiap manusia terdapat tiga unsur utama
yang dapat menopang tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh mapun
‘abdullah.Ketiga unsur tersebut adalah akal, hati, dan pancaindra
yang terdapat pada jasad manusia.Perpaduan ketiga unsur tersebut

247
membantu manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan
membangun peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya,
serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.

2.  Pengertian dan Tujuan Pendidikan


HAMKA membedakan makna pendidikan dan
pengajaran.Menurutnya pendidikan adalah serangkaian upaya
dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi,
akhlak, dan kepribadian peserta didik, sementara pengajaran
adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan
sejumlah ilmu pengetahuan.
Adapun tujuan pendidikan menurut HAMKA memiliki
dua dimensi: yaitu bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk
mencapai tujuan tresebut, manusia harus menjalankan tugasnya
dengan baik, yaitu beribadah. Oleh karena itu, esgala proses
pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan
menjadikan anak didik sebagai abdi Allah SWT. Dengan
demikian, tujuan pendidikan Islam menurut HAMKAsama
dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri, yakni untuk
mengabdi dan beribadah kepada Allah. Ia mengatakan bahwa
ibadah adalah mengakuui diri sebagai budak atau hamba Allah,

248
tunduk kepada kemauannya, baik secara sukarela maupun
terpaksaan.
D. Materi dan Metode Pendidikan
Menurut HAMKA materi pendidikan dapat dibagi menjadi
empat bentuk,yaitu:
a. Ilmuagama,seperti:tauhid,fiqih,tafsir,hadits,nahwu,shorof,manti
q, dan lain-lain.Materi ini dimaksudkan untuk menjadi alat
kontrol dan pewarna kepribadian peserta didik.
b. Ilmuumum,seperti:sejarah,filsafat,sastra,ilmu
berhitung,falak,dan sebagainya.Dengan ini akan membuka
wawasan keilmuan terhadap perkembangan zaman.
c. Keterampilan,seperti olahraga berguna untuk membuat
tubuhnya sehat dan kuat.
d. Kesenian,sepertimusic,menggambar,menyanyi,dansebagainya,d
imaksudkan agar peserta didik akan memiliki rasa keindahan dan
akan memperhalus budi rasanya.
Agar proses pendidikan bisa terlaksana secara efektif dan
efisien, maka hendaknya perlu mempergunakan berbagai macam
metode yang bisa mengantarkan peserta didik memahami semua
materi dengan baik.
Pertama, metode secara umum diantaranya:

249
1)        Diskusi,proses bertukar pikiran antara dua belah pihak,
proses ini bertujuan untuk mencari kebenaran melalui dialog
dengan penuh keterbukaan dan persaudaraan.
2)        Karya wisata,mengajak anak mengenal lingkungannya,
dengan ini sang anak akan memperoleh pengalaman langsung
serta kepekaan terhadap sosial.
3)        Resitasi, memberikan tugas seperti menyerahkan sejumlah
soal untuk dikerjakan, dimaksudkan agar anak didik memiliki rasa
tanggung jawab terhadap amanat yang diberikan kepadanya.[18]
Kedua, metode Islami, di antaranya:
1)      Amar ma’ruf nahi mungkar, menyuruh berbuat baik dan
mencegah berbuat jahat. Bertujuan agar tulus hati dalam
memperjuangkan kebenaran dan menjadikan pergaulan hidup
lebih sentosa.
2)   Observasi, memberikan penjelasan dan pemahaman materi
pada peserta didik. Metode ini digunakan agar peserta didik lebih
mengenal Tuhannya.
E. Evaluasi Pendidikan
Tahap akhir suatu proses pendidikan adalah evaluasi. Evaluasi
bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar
uantuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebagai landasan

250
berpijak aktivitas suatu pendidikan. Pandangan HAMKA dalam
evaluasi seperti para tokoh-tokoh pendidikan Islam lainnya yakni
mengarah pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.Evaluasi
dapat dilakukan dengan memberikan beberapa tugas, seperti yang
terdapat pada metode pembelajaran yang berupa resitasi. Ini
merupakan  evaluasi yang dilakukan secara global atau yang biasa
dilakukan secara umum. Sedangkan dalam pendidikan tauhid,
evaluasi mengarah pada sesuatu yang menyadarkan diri
(introspeksi diri) dimana syur (perasaan) sebagai barometernya.
F.Implikasi dan Relevansi Pemikiran HAMKA dengan
Pendidikan
Pemekiran HAMKA tentang pendidikan di ilhami oleh
keterkaitan norma agama, kebijakan politik, potensi peserta didik
dan dinamika aspirasi masyarakat. Norma-norma tersebut
mengacu pada landasan sistem nilai yang universal dan kemudian
di jabarkan ke dalam kaidah-kaidah pendidikan islam yaitu,
tanggung jawab manusia kepada Tuhan, perkembangan kekuatan
potensial dan riil manusiawi, perkembangan masyarakat, dan
pendayagunaan potensi peserta didik secara maksimal.
HAMKA mengemas pendidikan masa depan yang mencerminkan
pendidikan yang mengingat masa lalu, melihat masa sekarang,

251
dan menginginkan masa depan yang lebih baik. Hal ini terlihat
bahwa pendidikan yang ditawarkan mengandung prinsip
integralitas, relativitas, pendekatan sistem, meskipun dalam
bentuk sedehana dan ekologis.
Melalui pemikirannya, HAMKA memperlihatkan relevansi yang
harmonis antara ilmu-ilmu agama dan umum.Eksistensi agama
bukan hanya sekedar melegitimasi sistem sosial yang ada,
melainkan juga perlu memperhatikan dan mengontrol perilaku
manusia secara baik. Perilaku sistem sosial akan lebih hidup
tatkala pendidikan yang dilaksanakan ikut mempertimbangakan
dan mengayomi dinamika fitrah peserta didik serta
mengintegralkan perkembangan ilmu-ilmu agama dan umum
secara profesional. Dengan pendekatan seperti ini pendidikan
akan dapat memainkan peranan nya sebagai motivator dan
sekaligus pengendali sistem sosial (social control) secara efektif.
Namun perlu diketahui bahwa sistem pendidikan saat ini
cenderung berorientasi pada bidang kajian umum, sehingga
pendidikan ini merupakan pendidikan sekuler-materialistik. Hal
ini dapat terlihat pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab VI
tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan umum pasal 15 yang
berbunyi, “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum,

252
kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus”.
Dari sini terlihat jelas dalam pasal ini terdapat dikotomi
pendidikan, yakni pendidikan umum dan agama.Pendekatan yang
diambil pada sisitem pendidikan terkesan masih berorientasi pada
kajian ilmu eksak dan sosial, serta kurang melakukan apresiasi
dengan ilmu-ilmu agama.
Minimnya peran agama juga tampak jelas pada UU Sisdiknas
No.20 Tahun 2003 Bab X tentang kurikulum pasal 37 ayat
(1).Dalam pasal ini dijelaskan bahwa pendidikan agama
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia
yang beriman & bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia.Namun tidak dijelaskan mengenai bahan kajian
secara umum, sehingga dipandang bahwa pendidikan agama
kurang diperhatikan.Secara realitanya, pendidikan agama pada
lembaga sekolah terutama  sekolah negeri, sebagian besar hanya
memberikan jam mata pelajaran lebih sedikit daripada mata
pelajaran umum. Fenomena ini tanpa disadari telah menggiring
peserta didik yang “hampa” akan nilai-nilai religiusitas sebagai
warna kepribadiannya.

253
Dengan demikian, setidaknya sistem pendidikan yang
diadopsi sekarang ini termotivasi dengan pemikiran Abuya
HAMKA tentang pendidikan dan Implementasi nya.
mampu menyeimbangkan ilmu-ilmu agama dan umum, yang
dimana ilmu-ilmu tersebut saling berkaitan antara yang satu
dengan yang lain. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik
mempunyai mempunyai jiwa spiritual sebagai makhluk yang
mempunyai fitrah yang pada dasarnya menuntun untuk senantiasa
berbuat kebajikan dan tunduk mengabdi pada khaliqnya, dan hal
inilah yang mengantarkan bahwa pendidikan agama sangat
penting untuk kehidupan.
Pandangan HAMKA bahwa pendidikan harus integral, dunia-
akhirat, sekolah-lingkungan-orang tua merupakan pandangan
yang dapat menjadi spirit bagi perubahan dalam dunia pendidikan
saat ini. Dalam hal ini, semua pihak, baik orang tua, lembaga
pendidikan, dan lingkungan masyarakat hendaknya menyadari
bahwa masa depan masyarakat itu tidak bisa semata-mata
disandarkan hanya kepada lembaga pendidikan— termasuk di
dalamnya guru. Tapi, semua pihak hendaknya menyadari bahwa
sekecil apapun peran yang dilakukan adalah besar manfaatnya
bagi perkembangan masyarakat secara luas di masa yang akan

254
datang. Dan mengabaikan hal ini sama halnya membiarkan masa
depan berjalan tanpa kendali.
G. Riwayat hidup Abdul Halim
Abdul Halim dilahirkan di desa Cibolerang kecamatan
Jatiwangi, Majalengka (Jawa Barat) pada tanggal 4 Syawal 1304
H, yakni bertepatan pada tanggal 26 Juni 1887 M, dan wafat di
desa Pasir Ayu kecamatan Sukahaji, Majalengka pada tahun 1381
H/1962 (berusia sekitar 75 tahun). Otong syatori, merupakan
nama asli beliau. Setelah menunaikan ibadah haji, beliau berganti
nama menjadi Abdul Halim. Ayahnya bernama K.H. Muhammad
Iskandar, penghulu Kewedanaan Jatiwangi dan ibunya Hj. Siti
Mutmainnah. Abdul Halim menikah dengan Siti Murbiyah, putri
K.H. Mohammad Ilyas.
Abdul Halim tumbuh dan besar dipesantren. Hal ini
dibuktikan sejak usia 10 tahun (1897) beliau sudah nyantri di
Pesantren K.H Anwar di desa Ranji Wetan, Majalengka.
Kemudian belajar kepada Kiai Abdullah di desa Lontangjaya.
Berikutnya pindah ke pesantren  Bobos, Cirebon, dibawah asuhan
K.H. Sujak. Kepada K.H. Ahmad Saubari di Pesantern Ciwedas.
Cilimus, Kuningan, beliau melanjutkan penyantriannya. Beliau
pun mesantren kepada K.H. Agus di Kenayangan, Pekalongan.

255
Kemudian kembali lagi k Ciwedas. Pada tahun 1907, ketika
berusia 22 tahun, beliau pergi ke Mekkah untuk melaksanakan
ibadah haji dan melanjutkan study. Selama 3 tahun belajar di
Makkah, beliau sempat mengenal pemikiran-pemikiran
Muhammad Abduh dan Jamaluddin AlAfgani. Di Mekkah beliau
belajar –diantaranya- kepada Syeih Ahmad Khayyat.
H. Setting sosial
Pada tahun 1328 H/1911 M beliau   kembali ke Indonesia.
Di samping menguasai bahasa Arab, ia juga mempelajari bahasa
Belanda dari Van Houven (salah seorang dari Zending Kristen di
Cideres) dan bahasa Cina dari orang Cina yang bermukim di
Mekah. Dengan pengalaman pendidikan dan tukar pikirannya
dengan para tokoh besar, baik di luar maupun dalam negeri,
Abdul Halim semakin mantap dan teguh dalam prinsip.
Beliau  tidak mau bekerja sama dengan pihak kolonial. Ketika
oleh mertuanya ditawari menjadi pegawai pemerintah, beliau
menolaknya.
Dengan berbekal semangat juang dan tekad yang kuat,
sekembalinya dari Mekah, ia mulai melakukan perbaikan untuk
mengangkat derajat masyarakat, sesuai dengan hasil pengamatan
dan konsultasinya dengan beberapa tokoh di Jawa. Usaha

256
perbaikan ini ditempuhnya melalui jalur pendidikan (at-tarbiyah)
dan penataan ekonomi (al-iqtisadiyah).
Dalam merealisasi cita-citanya untuk pertama kalinya
Abdul Halim mendirikan Majlis Ilmu (1911) sebagai tempat
pendidikan agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada
sebuah surau yang terbuat dari bambu. Pada majlis ini ia
memberikan pengetahuan agama kepada para santrinya. Dengan
bantuan mertuanya, KH. Muhammad Ilyas, serta dukungan
masyarakat Abdul Halim dapat terus mengembangkan idenya.
Pada perkembangan berikutnya, di atas tanah mertuanya ia dapat
membangun tempat pendidikan yang dilengkapi dengan asrama
sebagai tempat tinggal para santri.
Untuk memantapkan langkah-langkahnya pada tahun 1912
ia mendirikan uatu perkumpulan atau organisasi bernama
“Hayatul Qulub”. Adapun tujuan organisasi adalah membantu
anggota dalam persaingan dengan pedagang Cina, sekaligus
menghambat arus kapitalisme kolonial. Dalam persaingan itu,
seringkali terjadi perang mulut dan perkelahian fisik antara
anggota Hayatul Qulub dengan pedagang Cina. Melalui lembaga
ini ia mengembangkan ide pembaruan pendidikan, juga aktif
dalam bidang sosial, ekonomi dan kemasyarakatan. Anggota

257
perkumpulan ini terdiri atas para tokoh masyarakat , santri,
pedagang, dan petani.
I. Karya – karya K.H. Abdul Halim
Abdul Halim adalah ulama yang dapat dikatakan sebagai
seorang penulis yang produktif. Banyak tulisan-tulisannya yang
sempat diterbitkan. Tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan di
kalangan anggota Persyarikatan Ulama dalam bentuk brosur dan
buku kecil. Tetapi, sebagian besar tulisannya sudah terbakar
sewaktu agresi Belanda ke dua. Di antara karyanya adalah;
1.Risalah Petunjuk bagi Sekalian Manusia
2.Ekonomi dan Koperasi dalam Islam
3.Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan
Ulama (sebagai Ketua Tim Penyusunan).
4. Da’watul Amal
5. Tarikh Islam
6. Neraca Hidup
7. Risalah
8. Ijtimaiyah Wailajuha
9. Kitab Tafsir Tabarok
10. Kitab 262 Hadits Indonesia
11. Babul Rizqi, dll.

258
Dari nama-nama kitab karangan Abdul Halim ini, yang masih
tersisa tinggal 3 yaitu:
1. Kitab Petunjuk bagi Sekalian Manusia
2. Ekonomi dan Koperasi dalam Islam
3. Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan
Ulama (sebagai Ketua Tim Penyusunan).
Selain itu, tulisan-tulisan Abdul Halim juga dimuat dalam
beberapa majalah, seperti Suara Persyarikatan Ulama, As-Syuro,
al-Kasyaaf dan Pengetahuan Islam. Abdul Halim juga menulis di
Suara Muslimin Indonesia, Suara MIAI (Majelis Islam A’la
Indonesia) dan di situ, beliau menjadi pengisi artikel Ruangan
Hadits. Beliau  juga menulis dalam lembaran-lembaran lain yang
beredar dalam bentuk tercetak atau stensil, terutama untuk
kalangan organisasi Persyarikatan Ulama.
J. Pemikiran tentang pendidikan
Di dalam tulisan-tulisan tersebut, dapat dilihat pemikiran
Abdul Halim tentang gagasan dan cita-citanya. Meski pun
uraiannya dihubungkan dengan masalah keagamaan, tetapi
pokok-pokok pikirannya dapat dipahami dari interpretasi yang
dikemukakannya.

259
Pada garis besarnya, pokok-pokok pikiran Abdul Halim
bersumber dari penafsirannya tentang konsep al-Salam. Karena
menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-ajaran yang
bertujuan untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup
selamat di dunia, dan memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat.
Kedua macam keselamatan hidup ini disebut al-Salam.
Berdasarkan pengertian tadi, K.H. Abdul Halim melihat, bahwa
kesejahteraan hidup di akhirat erat kaitannya dengan keselamatan
hidup di dunia. Karena untuk memperoleh kehidupan yang
sejahtera di akhirat , terlebih dahulu manusia harus selamat di
dunia, yaitu hidup yang sejalan dengan tuntutan agama.
Selanjutnya pendapat tersebut membawa K.H Abdul Halim
kepada kesimpulan, bahwa ajaran islam dapat di fungsikan
sebagai poedoman untuk membina kehidupan didunia. Dengan
kata lain, al-salam dapat diaplikasikan dalam kehidupan praktis
melalaui pendidikan, yang ditujukan untuk membimbing manusia
agar berakhlak mulia, berilmu pengetahuan, dan dapat bekerja
dengan tenaganya sendiri, secara ikhlas dan ridho.
1) Pemikiran Abdul Halim dapat dirumuskan menjadi;
a. Konsep al-salam

260
Menurut pendapat Abdul Halim, bahwa al-salam pada dasarnya
adalah upaya untuk membina keselamatan hidup di dunia agar
diproleh kesejahteraan diakhirat. Perbaikan yang dilakukan di
namakan al ishlah al-Tsamaniyah (8 macam perbaikan) yang
dirumuskan menjadi:
b Perbaikan aqidah
Perbaikan aspek ini bertujuan agar manusia terhindar dari
kecenderungan mengabdi kepada selain Allah. Perbaikan aqidah
merupakan langkah untuk membina persaudaraan dan persatuan
umat. Karena dengan aqidah dapat dipersatukan dalam kerukunan
hidup.
c. Perbaikan ibadah
Merupakan usaha untuk memberikan contoh dan teladan tentang
bagaimana cara melakukan ibadah seperti yang telah diajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW.
d. Perbaikan keluarga
Abdul Halim memandang bahwa hubungan antar kerabat sebagai
potensi yang dapat di jadikan ikatan kerjasama dan gotong
royong.
e. Perbaikan adat istiadat

261
Unsur-unsur adat yang sudah menjadi tradisi dan berkembang
dimasyarakat
kemudian tidak  bertentangan dengan ajaran agama pantas untuk
dilestarikan.
f. Perbaikan pendidikan
Perbaikan pendidikan menurut K.H. Abdul Halim harus diarahkan
ke usaha peningkatan kesejahteraan hidup. Usaha yang dilakukan
antara lain adalah menghilangkan kebiasaan yang buruk yang
diperoleh (diwarisi) secara turun temurun. Usaha ini dilakukan
dengan cara memeberikan pengetahuan yang dapat mencerdaskan
pikiran. Dengan cara demikian, maka pengetahuan diharapkan
akan mampu untuk membedakan antara sesuatu yang bermanfaat
dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
Dalam perkembangan selanjutnya, terlihat adanya perkembangan
pemikiran K.H. Abdul Halim tentang pendidikan. Menurutnya,
pendidikan hendaknya mampu mendidik dan mengajar anak-anak
kaum muslimin supaya menjadi manusia yang berharga dunia
akhirat.
g. Perbaikan perekonomian
Perbaikan perekonomian yang dikehendaki oleh K.H. Abdul
Halim, tampaknya diarahkan kepada usaha untuk meningkatkan

262
kesejahteraan hidup masyarakat. Usaha untuk melakukan
perbaikan itu ditempuh dengan cara meningkatkan etos kerja dan
sifat hemat yang dikaitkan dengan ajaran agama.
h. Perbaikan sosial
Sejalan dengan keinginan K.H. Abdul halim untuk membina
persaudaraan di kalangan umat islam, maka beliau selalu
memperhatikan keadaan masyarakat di waktu itu. Dalam
kaitannya dengan keinginannya tersebut, beliau mencoba
menerapkan ajaran agama yang menurut pertimbangannya
bermanfaat bagi kepentingan sosial, terutama untuk menjembatani
perbrdaan-perbedaan yang ada di masyarakat.
i. Perbaikan umat
K.H. Abdul Halim berpendapat bahwa perbaikan umat merupakan
tingkat terakhir dalam membina persatuan kaum muslimin agar
menjadi suatu kelompok kehidupan dalam ruang lingkup yang
lebih luas. Dalam usahanya memperbaiki kehidupan umat, K.H.
Abdul Halim hanya mengarahkan kepada usaha menjaga
terbinanya hubungan persaudaraan di kalangan umat islam. Yakni
dengan cara mengamalkan kewajban-kewajiban agama secara
sungguh-sungguh, sebab menurut pendapatnya, hubungan itu
memang sudah ada dalam tuntutan agama itu sendiri, seperti

263
dalamsholat berjamaah,mengunjungi orang sakit atau aktivitas
keagamaan yang lainnya.
2)      Konsep Santri Asromo
               Konsep santri asromo boleh dikatakan merupakan
kelanjutan dari pemikiran K.H. Abdul Halim tentang perbaikan
pendidikan, seperti yang termuat dalam rumusan konsep al-salam.
Pada mulanya usaha perbaikan pendidikan yang dilakukan K.H.
Abdul halim terbatas pada kegiatan penyelenggaraan madrasah
dan sekolah agama dilingkungan Persyarikatan ulama. Tetapi
pada perkembangan selanjutnya, mungkin kegiatan ini dinilainya
sudah kurang cocok dengan kebutuhan masyarakat. Karena itu
menurut beliau perlu adanya suatu sistem pendidikan yang sejalan
dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
               Dengan menjadikan latar belakang turunnya wahyu dan
tugas-tugas kerasulan nabi Muhammad saw sebagai pembina
akhlak yang mulia, serta pengertian yang tekandung dalam islam
sebagai bahan acuan, maka K.H. Abdul Halim memilih daerah
Pasir Ayu untuk melaksanakan pendidikan. Dearah ini terletak
diperbukitan dan jauh dari keramaian kota, diasosiasikannya
dengan latar belakang gua hira. Ditempat yang sunyi ini,
menurutnya pendidikan akhlak akan lebih berpangaruh pada anak.

264
               Dari sisi lain, beliau menilai bahwa unsur adat istiadat
yang berkembang di masyarakat perlu dipelihara, karena ada
kaitannya dengan latarbelakang sosial budaya setempat.
Menurutnya unsur budaya nenek moyang yang sudah berkembang
di masyarakat sebagai adat istiadat, mengandung unsur yang
dapat dipertahankan dan perlu dimasyarakatkan.
Dilihat dari sudut pandang pendidikan, tampaknya Santri Asromo
mencakup bagian yang termasuk milieu (lingkungan) pendidikan
yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
3)      Konsep santri lucu
     Santri lucu menurut K.H. Abdul Halim adalah seorang santri
yang memilki ketrampilan dan ilmu pengetahuan, serta dapat
bekerja dalam berbagai lapangan kehodupan secara mandiridan
mampu membantu orang lain yang memerlukan. Santri lucu
adalah santri yang dapat memegang pena dan mampu memegang
cangkul.
     Menurut K.H. Abdul Halim para tamatan lembaga pendidikan
dimasanya ada dua kelompok yaitu; (1) tamatan lembaga
(institusi)  pendidikan pemerintah dan (2) tamatan lembaga
(institusi) pendidikan islam. Para tamatan dari kedua institusi ini
tidak fungsional. Hal ini dibuktikan msih banyaknya para lulusan

265
sekolah pemerintah hidup tergantung kepada lowongan kerja
dipemerintahan. Sedangkan dalam kehidupan sebagai warga
masyarakat, mereka yang memilki latarbelakang pendidikan
pemerintah Belanda cenderung menganggap diri merek sebagai
golongan terpelajar, semestinya dipekerjakan sebagai pegawai
dan merasa enggan untuk bekerja dibidang-bidang lain.
     Sedangkan tamatan lembaga islam hanya terbatas pada bidang
pendidikan dan pengajaran, yang tidak mungkin menampung
semua tamatannya. Kemudian setelah kembali kemasyarakat, para
tamatan madrasah dan pesantren itupun belum mampu
menciptakan lapangan kerja, karena tidak memiliki pengetahuan
mengenai ketrampilan. Akibatnya para tamatan institusi
pendidikan islam ketika itu, dinilai K.H.Abdul Halim, hampir
tidak ada bedanya dengan tamatan sekolah pemerintah.
     Selanjutnya K.H. Abdul Halim menyimpulkan bahwa ada tiga
faktor penting yang dapat menopang usaha untuk meningkatkan
kehidupan manusia didunia, yaitu; pertanian, pertukangan, dan
perdagangan. Oleh karena itu, pendidikan islam selayaknya dapat
menjamin peningkatan kesejahteraan hidup kaum muslimin dan
bukan sebaliknya, yaitu membiarkan mereka dalam kebodohan
dan kemiskinan.

266
4)  Analisis pokok-pokok pemikiran K.H. Abdul Halim
            Berdasarkan uraian diatas, tampak bahwa konsep al-
salam, Santri Asromo dan konsep santri lucu merupakan satu-
kesatuan yang saling berhubungan dan berkaitan sesamanya.
Untuk mencapai kesejahteraan hidup didunia dan keselamatan
hidup di akhirat, seseorang harus memahami ajaran agama dan
mengamalkannya serta memiliki ketrampilan praktis (santri lucu).
               Pendidikan menurut K.H. Abdul Halim harus dapat
membentuk kepribadian murid-muridnya dan memberi
kesempatan kepada mereka untuk meraihsuatu jabatan dengan
bekal ketrampilan yang terlati
K. Implementasi Pemikiran KH. Abdul Halim Dalam
Pendidikan Islam 
Bahwa pendidikan Islam harus diaplikasikan di tingkat
akademik, yang mengkhususkan diri pada studi Islam untuk
melahirkan sarjana di bidang studi Islam, baik sebagai intelektual
maupun sebagai mufti. Oleh karena itu, diperlukan komitmen
untuk menerapkan pendidikan umat di mana semua mata
pelajaran diberikan secara mendasar sejak sekolah dasar sampai
ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi. mencoba mendiskripsikan
pendidikan sebagai suatu proses belajar mengajar yang

267
membiasakan warga masyarakat sedini mungkin menggali,
memahami, dan mengamalkan semua nilai yang disepa kati
sebagai nilai terpuji dan dikehendaki, serta berguna bagi
kehidupan dan perkembangan pribadi, masyarakat, bangsa dan
Negara. pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik
terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke
arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ahwani, Ahmad Fuad Filsafat Islam, cet. VIII. (Jakarta:


Pustaka Firdaus, 1997)
Al-Abrasy, Muhammad ‘Athiyah. Pokok- Pokok Pikiran Ibnu
Sina tentang Pendidikan. (Isa al-Babi wa syirkah, 1994)
Alwizar, “Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina: an-Nida’.” Jurnal
Pemikiran Islam, Vol. 40, No.1 Januari-Juni 2015.
Asf, Jasmani Syaiful Mustofa. Supervisi Pendidikan: Terobosan
Baru dalam Peningkatan Kinerja Pengawas Sekolah dan
Guru. (Jogjakarta: Ar- Ruzz Media,2013)
Assegaf, Abdurrahman. Aliran Pemikiran Pendidikan

268
Islam Hadhradh Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern.
(Jakarta: Raja Grafindo, 2013)
Aziz, Safrudin, Pemikiran PendidikanIslam, (Yogyakarta:
Kalimedia, 2015)
Darwis, Maidar. “Konsep PendidikanIslam dalam Perspektif
IbnuSina,” Jurnal Ilmiah DIDAKTIKAVol. XIII, No. 2,
Februari 2013
Kurniawan, Syamsul & Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh
Islam.
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2011)
Machali, Imam dan Ara Hidayat. The Hand Book of
EducationManagement: Teori dan Praktik
Ali Mustofa. (2020). Gerakan Westernisasi. Diakses pada 6
November 2023, dari

Alhidayath Parinduri. (2020). Perkembangan Pendidikan


Islam Modern di Indonesia.

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri


Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2003),

Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah:


Pendidikan Sekolah dalam Kurun Moderen (Jakarta:
LP3ES, 1996),
269
Departemen Pendidikan Nasional,2011. Pendidikan
KarakterDalamPembelajaranPKn. Jakarta : Depdiknas
Republik Indonesia

Ensiklopedia Pendidikan. 2016. Jakarta: Erlangga

https://news.detik.com/berita/d-6057525/biografi-ki-hajar-
dewantara-lengkap-mari-disimak-jelang-hardiknas-2-
mei/2

https://www.silabus.web.id/pemikiran-ki-hajar-dewantara-
tentang-pendidikan-dan-pengajaran/

http://www.renidwiastuti.com/2021/07/implikasi-filosofi-
pendidikan-ki-hajar.html?m=1

https://www.silabus.web.id/pemikiran-ki-hajar-dewantara-
tentang-pendidikan-dan-pengajaran/

KMI PMDG. Tanpa tahun. Diktat Arahan bagi Pengawas Ujian


Tulis. Gontor: Darussalam Press.

Nata, Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam


(seri kajian Filsafat Pendidikan Islam) Cet. I. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.

Penyusun. 2004. Profil Pondok Modern Darussalam Gontor.


Gontor: Darussalam Press.

Staf Sekretariat PMDG. 1997. Serba Serbi Serba Singkat

270
tentang Pondok Modern Darussalam Gontor. Gontor:
Percetakan Darussalam.

Suwendi. 1999. Pesantren Masa Depan: Wacana


Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung:
Pustaka Hidayah.

Tim LPP-SDM. 2010. Ensiklopedi Pendidikan Islam edisi


Lembaga Pendidikan Islam. Depok: CV BINAMUDA
CIPTAKREASI.

www.gontor.ac.id

www.wandylee.wordpress.com

Zarkasyi, Abdullah Syukri. 2005. Gontor dan Pembaharuan


Pendidikan Pesantren. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Zarkasyi, Abdullah Syukri. 2005. Manajemen Pesantren


Pengalaman Pondok Modern Gontor. Gontor: Trimurti
Press.

Zarkasyi, Imam. Tanpa tahun. Diktat Pekan Perkenalan.


Gontor: Darussalam Press.

Zarkasyi, Imam. Tanpa tahun. Sekedar Penjelasan tentang


Masalah Khilafiyah. Gontor

Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus,  Jejak Pemikiran


Tokoh Pendidikan Islam,(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,

271
2011).

Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010).

Samsul Nizar,Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan


Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, (Jakarta:
Prenada Grup, 2008).

http://yantipaic.blogspot.com/2012/01/HAMKA.html, diakses
pada tanggal 21 Desember 2014, pukul 02:47 AM

Siti Lestari, Skripsi (Pemikiran HAMKA Tentang Pendidik


dalam Pendidikan Islam),(Semarang: Fakultas Tarbiyah,
IAIN Walisongo, 2010).

Mif Baihaqi, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan: Dari Abendanon


Hingga Imam Zarkasyi, (Bandung: Nuansa, 2007).

Ramayulis & Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan


Islam,(Ciputat: Quantum Teaching, 2005).

Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan


Nasional dalam Undang-undang Sisdiknas, (Jakarta:
Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003)

Abdurahmmsyah. (2002). Sintesis Kreatif Pembaharuan


Kurikulum Pendidikan Islam Isma 'il Raj 'i al-Faruqi.
Yoyakarta: Global Pustaka Utama. Akim, M.(1968) Kiai

272
H. Abdul Halim Penggerak PUI. Majalengka: Yayasan
K.H Abdul Halim. Ali, M.(1991) Memahami Beberapa
Aspek Ajaran Islam. Bandung: Mizan

Santos, K. (2021), Pendidikan Islam Menurut K.H Abdul


Halim Majalengka. Diakses dari :
https://www.timesindonesia.co.id/read/news/306375/pendi
dikan-islam-menurutabdul-halim-majalengka. Pada
tanggal : 17 Juni 2021.

273

Anda mungkin juga menyukai