Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Melihat keadaan pada zaman dahulu, bahwa pengamalan
agama Islam di Indonesia yang masih banyak bercampur dengan
tradisi Hindu-Budha yang jelas sekali merusak kemurnian ajaran
Islam, maka tampillah beberapa ulama mengadakan pemurnian dan
pembaharuan faham keagamaan dalam Islam.
Pada mulanya lahir Gerakan Padri di daerah Minangkabau
yang dipelopori oleh Malim Basa, pendiri perguruan di Bonjol, yang
kemudian dikenal dengan sebutan Imam Bonjol. Sejak kembali dari
Mekah, Imam Bonjol melancarkan pemurnian aqidah Islam seperti
yang telah dilakukan oleh gerakan Wahabi di Mekah. Karena kaum
tua yang masih sangat kuat berpegang teguh pada adat menentang
dengan keras terhadap gerakan Imam Bonjol maka timbulah perang
Padri yang berlangsung antara tahun 1821-1837.
Pemerintahan Kolonial Belanda, sesuai dengan politik
induknya “Devide at empera” akhirnya membantu kaum adat untuk
bersama-sama menumpas kaum pembaharu. Sungguh pun kaum
militer Padri dapat dikalahkan, tetapi semangat pemurnian Islam dan
kader-kader pembaharu telah ditabur yang kemudian pada kenmudian
hari banyak meneruskan usaha dan perjuangan mereka.
Pada saat itu juga, di Jakarta berdiri Jami’atul Khair pada
tahun 1905, yang pada umumnya beraggotakan peranakan Arab.
Sementara itu, banyak tumbuh dan lahir gerakan pembaharuan dan
pemurnian Agama Islam di beberapa tempat di Indonesia, yang satu
sama lain mempunyai penonjolan perjuangan dan sifat yang berbeda-
beda. Akan tetapi, secara keseluruhan mereka mempunyai cita-cita
yang sama dan tunggal yaitu “Izzul Islam wal Muslimin” atau
kejayaan Agama Islam dan Kaum Muslimin.
Di antara gerakan-gerakan tersebut adalah: Muhammadiyah,
Persatuan Islam, dan Al Irsyad, yang lebih jelasnya akan di
sampaikan pada makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat kita ambil rumusan
masalah sebagai berikut:

1
1. Bagaimanakah sejarah dan pemikiran Kaum Paderi dan
Kaum Muda ?
2. Bagaimanakah sejarah dan pemikiran Jami’atul Khair ?
3. Bagaimanakah sejarah dan pemikiran Al Irsyad ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Pemikiran Kaum Paderi serta Kaum Muda


Pada abad ke 16 Islam sudah masuk ke Minangkabau, setelah
kejatuhan Malaka, terjadilah proses sinkretisme yang berjalan cukup
lama. Terdapat dua cara hidup berdampingan yang damai : adat lama
dan syara’ lama sama-sama dihormati. Hal ini antara lain
digambarkan dengan pepatah, Adat basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah.
Paderi adalah sebuah nama daerah di Padang, yang mana di
daerah inilah mulanya diterapkan gerakan puritanisme di Indonesia.
Gerakan puritanisme adalah sebuah gerakan pemurnian ajaran agama
Islam yang telah terpengaruh dengan ajaran yang dipelopori oleh
Muhammad ibn Abdul Wahab.
Gerakan puritanisme ini dibawa masuk ke wilayah Indonesia
oleh tiga orang kaum muda Padri yang baru pulang kembali dari
tanah suci. Mereka itu adalah Haji Miskin, Haji Abdur Rahman dan
Haji Muhammad Arif, pada tahun 1803 M. Mereka kemudian
membentuk kelompok yang terkenal dengan kelompok Harimau Nan
Salapan. Mereka itu terdiri dari : Tuanku Nan Renceh, Tuanku Basa,
Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Padang Lawas, Tuanku
Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku Kubu Sanang.
Mereka mengadakan penentangan terhadap praktek kehidupan
beragama masyarakat Minangkabau, yang telah terpengaruh oleh
unsur-unsur tahayul, bid’ah dan kurafat. Masyarakatnya sudah
menyimpang jauh dari tradisi keagamaan yang telah ada.
Perjudian, penyabungan ayam, dan lain sebagainya adalah
contoh dari sebagian kecil perbuatan mereka yang waktu itu telah
merupakan parbuatan atau suatau hal yang biasa. Oleh karena itu,
kedatangan tiga orang haji ini, yang kemudian bersekutu dengan
Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol, melakukan gerakan
pemurnian ajaran Islam.
Gerakan Padri merupakan pergerakan keagamaan yang
terinspirasi oleh gerakan Wahabi yang ada di Tanah Suci. Dalam
melaksanakan dakwahnya yang berupaya mengikis khurafat dan

3
bid’ah dalam praktek beragama umat Minangkabau, gerakan ini
mengambil pendekatan keras dan radikal.
Dengan membawa semangat pembaharuan gerakan Wahabi,
mereka berusaha untuk mengikis habis praktik-praktik adat dari unsur
khurafat dan bid’ah. Upaya ini dilakukan baik melalui pelaksanaan
pendidikian salaf di surau-surau, maupun langsung berdebat secara
frontal dengan kaum adat. Upaya dakwah yang demikian kurang
disenangi, bahkan mendapat tantangan keras dari kaum adat.
Pelaksanaan pemurnian yang dibawa para Ulama Minangkabau tidak
berjalan mulus. Bahkan dalam melaksanakan dakwahnya, para
Ulama Minangkabau selalu berhadapan dengan kaum adat. Karena
aktifitas kaum Padri dianggap cukup membahayakan keberadaan
kaum tua atau kaum adat paderi, maka kaum tua meminta bantuan
Belanda, yang kemudian pada tahun 1821-1937 M terjadilah perang
paderi. Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu kaum Ulama
mengalami kekalahan Ulama dalam perang paderi dalam menghadapi
Belanda.
Ketidaksenangan kaum adat terhadap kaum paderi
dilampiaskan dengan cara menyerang dan membakar desa-desa di
mana kaum paderi menyebarkan ide pembaharuannya. Akibatnya
banyak di antara kaum paderi terpaksa menyelamatkan diri dari satu
desa ke desa yang lain, hingga ke Bukit Kemang. Di daerah ini, kaum
paderi mendapat perlindungan dari Tuanku Nan Renceh, seorang
murid kesayangan Tuanku Nan Tuo, yang mendukung gerakan paderi
dalam menyebarkan gerakan Wahabi. Di sinilah awal terbentuknya
Gerakan Padri, dalam melaksanakan ide pembaharuannya. Karena
sering mendapat tantangan dari kaum adat dan masyarakat setempat,
kaum paderi tidak segan-segan melakukan penyerangan dan bahkan
dengan membakar. Pendekatan ini akhirnya membuat Tuanku Nan
Tuo tidak simpatik dan tidak mau menggunakan pengaruhnya untuk
membantu perjuangan kaum Padri. Untuk itu, kaum paderi kemudian
melakukan dukungan dengan para Ulama lainnya yang memiliki
pengaruh dalam komunitas masyarakat Minangkabau, di antaranya
Tuanku Mansianang.
Dalam proses ini, sesungguhnya eksistensi kaum Padri dapat
dilihat dari dua pendekatan:
Pertama, secara eksternal. Gerakan ini telah berhasil
membangkitkan semangat nasionalisme umat Islam, terutama
intervensi kolonial Belanda. Bahkan keberadaan gerakan ini telah

4
merepotkan dan telah menyebabkan kolonial Belanda menelan
kerugian yang cukup besar, baik meteri maupun non materi.
Kedua secara internal, sesungguhnya gerakan ini gagal dalam
membumikan pemikiran pembaharunya. Hal ini dapat terlihat dari
suburnya praktik adat yang bersifat sinkretis dalam praktik kehidupan
umat beragama Islam Minangkabau. Kegagalan ini karena
pendekatan “keras” yang dilakukan kaum Padri dalam
menyampaikan gerakan pembaharunya. Di sisi lain, karena Islam
yang masuk di Minagkabau lebih didominasi melalui pendekatan
tarekat. Pendekatan penyiaran Islam dilakukan secara lunak.
Semenjak saat itu, sejak awal 1900-an gelombang besar kedua
pembaharuan Islam kembali melanda Minangkabau. Kali ini dibawa
oleh murid-murid Syekh Ahmad Khatib yang biasa disebut Kaum.
Gelombang yang kedua dimulai dengan pulangnya para murid
Syeikh Ahmad Chatib dari Mekah, tegasnya sesudah tahun 1900.
Apabila Gerakan Padri dalam melaksanakan itu terutama
menggerakkan senjata dan kekerasan, maka pembaharuan golongan
kedua menekankan kepada bidang pendidikan.
Golongan pembaharuan sesudah tahun 1900 berusaha mencari
hakekat dari Islam itu pada umumnya, bagi mereka terkandung
kayakinan, bahwa ajaran Islam itu selalu berlaku sepanjang zaman,
kondisi serta situasi. Dengan demikian mereka melihat bahwa ajaran
Islam mengandung ajaran tentang kepercayaan yang tidak mungkin
menghambat usaha-usaha pengembangan demi kemajuan bidang
pengetahuan dan teknologi. Golongan pembaharuan juga melihat,
bahwa ajaran Islam tidak membeda-bedakan antara kaum pria dengan
kaum wanita.
Islam merupakan agama universal, yang dasar-dasar
ajarannya telah disampaikan oleh para Nabi dan Rasul kepada semua
bangsa. Nabi dan Rasul terakhir ialah Nabi besar Muhammad s.a.w.
penyampai ajaran Ilahi untuk segenap umat manusia. Timbulnya
Gerakan Reformasi ini didasari oleh suatu keyakinan, bahwa
kelemahan dan kemunduran Islam berpangkal pada kebiasaan umat
Islam sendiri, yang sudah jauh dari dan bertentangan dengan ajaran-
ajaran Islam yang sebenarnya.
B. Tokoh Kaum Muda
Syekh Ahmad Khatib yang merupakan turunan dari seorang
hakim golongan Padri yang “benar-benar” anti penjajahan Belanda.
Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama

5
Limbak Urai. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, Ahmad
Khatib adalah anak terpandang dari kalangan keluarga yang
mempunyai latar belakang agama yang kuat. Sejak kecilnya Ahmad
Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan
Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya
pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia
menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang
putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka
Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak
pernah kembali ke daerah asalnya.
Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang
tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab
Syafi’i di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab
Syafi’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan
Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di
Mesir. Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua
macam kebiasaan di Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat
tentang warisan dan tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan
pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus dibahasnya,
diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya.
Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan
pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid. Salah
seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian
menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin
kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang
berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padang
panjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama
Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya
melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula
para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya
adalah karunia Allah. Sejarah dan Pemikiran Al-Jami’ah Al-
Khairiyah
C. Sejarah Al-Jami’ah Al-Khairiyah
Orang arab yang tinggal di Jakarta menempati perkampungan
tertentu yang dikenal dengan sebutan kampung Arab. Emigran Arab
ini dan keluarganya hanya boeh tinggal di kampung Arab ini. Mereka
ada yang melakukan perdagangan dan ada yang melakukan dakwah
Islamiyah. Usaha dakwah ini tidaklah disenangi oleh pemerintah
Hindia-Belanda. Hal ini dapat dilihat dari gerak-gerik mereka yang

6
dibatasi dengan adanya “peraturan pas jalan” (passen Stelsel), yaitu
peraturan yang mengharuskan setiap orang Arab yang keluar
kampung Arab dimintai pass jalan dan jika melanggar akan
dikenakan denda.
Sedangkan dalam kehidupan di pemukiman orang Arab,
banyak timbul masalah seperti peristiwa kematian anak yatim, janda,
keluarga miskin, dan masalah pendidikan anak mereka. Anak-anak
orang ini tidak boleh memasuki sekolah yang didirikan oleh
pemerintah Hindia-Belanda, sebab sekolah tersebut diperuntukkan
untuk orang Eropa, orang Kristen, dan orang keturunan bangsawan.
Kurangnya kesempatan anak-anak orang Arab untuk memasuki
sekolah pemerintah dan sangat kecilnya perhatian pemerintah pada
bidang pendidikan, menjadi agenda tersendiri pada orang-orang Arab
ini.
Latar belakang di atas telah menyadarkan beberapa orang
keturunan Arab untuk membentuk suatu badan yang mampu
menampung semua permasalahan. Kemudian pada tanggal 17 Juli
1905 di Jakarta, didirikanlah organisasi Al-Jami’ah Al-khairiyah,
atau yang lebih dikenal dengan nama Jami’at Khair.
a) Pendiri dan Ide Pembaruanya
Organisasi ini terbuka untuk setiap Muslim tanpa
diskriminasi asal-usul, tetapi mayoritas anggotanya adalah
orang-orang Arab. Anggota-anggota dan pemimpin
organisasi ini umumnya terdiri dari orang-orang yang
berada dan mampu sehingga memungkinkan penggunaan
sebagai waktu mereka kepada perkembangan organisasi
tanpa mengganggu ataupun merugikan dalam mencari
nafkah.
Para pendiri perkumpulan Jami’at Khair antara lain:
1. Sayyid Ali bin Ahmad bin Syahab, sebagai ketua.
2. Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Syahab,
sebagai wakil ketua.
3. Sayyid Muhammad al-Fachir bin Abdurrahman al-
Masyhur, sebagai sekretaris.
4. Sayyid Idrus bin Ahmad bin Syahab, sebagai
bendahara.
5. Said bin Ahmad Basandied, sebagai anggota.

7
Orang Indonesia yang pernah menjadi anggota perkumpulan
Jami’at Khair antara lain:
1. Raden Oemar Said Tjokroaminoto.
2. R. Jayanegara.
3. R. M. Wiriadimaja.
4. R. Hasan Djajadiningrat.
5. K.H. Ahmad Dahlan.
Dua bidang kegiatan yang sangat diperhatikan oleh organisasi
ini adalah:
Petama, pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat
dasar.
Kedua, pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk
melanjutkan pelajaran. Akan tetapi, bidang yang kedua ini terhambat
dikarenakan kekurangan biaya dan juga kemunduran khilafah.
Sekolah Dasar Jami’at Khair didirikan pada tahun 1905.
Sekolah ini bukan suatu sekolah semata-mata bersifat agama, tetapi
merupakan suatu sekolah dasar yang bisa mengajarkan bermacam-
macam mata pelajaran. Pada tanggal 17 Oktober 1919, salah satu
perwujudan cita-cita perkumpulan ini adalah mendirikan sebuah
sekolah dengan nama Djami’at Geer School.
Di samping mendirikan sekolah, perkumpulan ini juga
membuka majelis taklim, kemudian mengadakan balai pertemuan
perpustakaan untuk para anggota. Untuk keperluan bacaan, pengurus
mengadakan hubungan dengan luar negeri seperti Mesir, Turki,
Beirut, dan Singapura. Pada tahun 1913, didirikan pula percetakan
atau maktabah Jami’at Khair. Pada tanggal 31 Maret 1913,
diterbitkan suatu harian dengan nama Utusan Hindia dipimpin oleh
Oemar Said Tjokroaminoto.
Salah satu guru dari Jami’at Khair adalah Syaikh Muhammad
Noor, yang pernah belajar langsung dengan Muhammad Abduh. Hal
ini dapat terlihat dari pemikiran-pemikirannya yang sangat
terpengaruh oleh pemikiran Muhammad Abduh. Tekanan yang
diberikan pada murid-murid dan pengajaran di Jami’at Khair
menunjukkan hal tersebut, yaitu pelajaran mengenai ilmu alat.
Muhammad Abduh sangat menekankan mempelajari bahasa Arab

8
sebagai alat dalam memahami sumber-sumber Islam. Dalam usaha
pengembangan daya pikir murid-muridnya, ditekankan pengertian
dan daya kritis, bukan saja hafalan. Selain ilmu agama, juga
diadakan mata pelajaran lainnya seperti ilmu bumi.
Mereka memperjuangkan persamaan sesama Muslim dan
pemikiran kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Ide persamaan ini
kemudian menjadi ancaman terhadap golongan Sayyid yang merasa
kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan golongan lain
dalam masyarakat Islam di Jawa.
Hal yang menjadi daya tarik tersendiri dari organisasi ini
adalah dalam penggunaan bahasa. Bahasa pengantar di antara
mereka adalah bahasa Indonesia atau Melayu. Hal ini disebabkan
lingkungan tempat tinggal Jami’at Khair ini berbahasa Melayu atau
bahasa daerah tempat mereka tinggal, juga dikarenakan murid-murid
di sekolah tersebut merupakan anak-anak pribumi Indonesia. Selain
itu, bahasa Belanda di sekolah ini tidak diajarkan, namun sebagai
gantinya adalah bahasa Inggris yang merupakan bahasa wajib.
Pada awalnya, Jami’at Khair merupakan sebuah organisasi
yang kecil. Dimulai kira-kira 70 orang anggota. Dalam
perkembangannya, pada tahun 1915 tercatat kira-kira 1000 anggota.
Pada tahun ini pula, terlihat kemunduran dari organisasi ini. Hal ini
dikarenakan tidak dapat menyaingi kegiatan Al-Irsyad yang
didirikan pada tahun 1914 oleh anggota Jami’at Khair yang telah
keluar dari organisasi ini.
D. Sejarah dan Pemikiran Al-Irsyad
Al-Irsyad berdiri pada tanggal 6 September 1914 atau 15
Syawal 1332 H. Pengakuan legal dari pemerintah diperoleh tanggal
11 Agustus 1915. Nama lengkapnya adalah Jami’at Al-slah wa Al-
Irsyad Al-Islamiyah yang berarti perhimpunan bagi reformisme dan
pimpinan. Sedangkan versi lain menyatakan bernama Jami’at Al-
Islah wa Al-Irsyad Al-Arabia, yang berarti perhimpunan Islam dan
pimpinan orang-orang Arab.
Latar belakang berdirinya Al-Irsyad adalah perpecahan yang
dialami oleh Jami’at Al-Khair, terkait persoalan konsep kafa’ah
dalam pernikahan, yaitu boleh tidaknya mereka yang memiliki gelar
sayyid boleh menikah dengan golongan lain. Bagi masyarakat arab
modernis, perkawinan semacam itu sah, akan tetapi menurut kaum

9
tradisionalis, pernikahan itu dianggap tidak sah, karena salah satu
syarat sahnya perkawinan adalah adanya kafa’ah antara kedua
mempelai. Kalau syarat kafa’ah ini tidak terpenuhi maka perkawinan
dianggap batal atau tidak sah.
Tentang sikap ini, golongan yang bukan sayyid mendapatkan
dukungan dari sebuah fatwa yang dikeluarkan Rasyid Ridha dari
majalah Al-Manar Kairo yang mengemukakan bahwa perkawinan
antara seorang Islam bukan sayyid dengan syarifah adalah jaiz.
Lambat laun golongan bukan sayyid merasa bahwa mereka pun
sederajat dengan golongan sayyid.
Fatwa yang sama dikemukakan oleh Syaikh Ahmad Surkati di
Solo tahun 1913, ketika dia di dalam suatu pertemuan menekankan
bahwa Islam memperjuangkan persamaan sesama Muslim dan tiada
mengakui kedudukan yang mendiskriminasikan berbagai kalangan,
disebabkan oleh darah keturunan, harta ataupun pangkat.
Perpecahan Jami’at Khair juga disebabkan kekauan pendapat dari
golongan sayyid. Disamping itu, golongan bukan sayyid menyadari
tentang kedudukan dan kekuasaan mereka, apalagi di kalangan
mereka telah muncul orang-orang yang juga dihormati oleh orang-
orang Arab pada umumnya ataupun orang-orang bukan Arab, seperti
Syaikh Umar Manggus, Syaikh Ahmad Surkati yang dianggap
merupakan gudang ilmu. Kemudian golongan bukan sayyid
mendirikan sebuah organisasi bernama Al-Irsyad. Untuk pertama
kalinya, terbentuk pengurus yang antara lain:
1. Salim bin Awad Balweel, sebagai ketua.
2. Muhammad bin Ubud Ubaid, sebagai sekretaris.
3. Said bin Salim Masyabi, sebagai bendahara.
4. Sholeh bin Ubaid Abdad, sebagai penasehat.
a) Tokoh dan Ide Pembaharuannya
Ahmad Surkati, merupakan tokoh sentral Al-Irsyad, beliau
dilahirkan di Dongola Sudan, 1292 H (1872 M). Ayahnya,
Muhammad Surkati dikenal memiliki karakter mulia. Ia
mendapatkan namanya dari tokoh Al-Ansari yang masyhur, Jabir
bin Abdullah. Dari orangtuanya bisa ditelusuri bahwa Ahmad
Surkati berasal dari suku Jawabra atau Jawabirah yang punya
hubungan keturunan dengan Jabir bin Abdullah yang terdesak ke
Dongola selama pemerintahan Salim I dari Turki. Diketahui pula
ayah Ahmad Surkati adalah lulusan Universitas Al-Azhar yang
memiliki banyak koleksi kitab. Ahmad Surkati menguasai Al-

10
Qur’an semasih kanak-kanak. Setelah menguasai Al-Qur’an,
bersama ayahnya ia mempelajari Mubadi al-fikih wa al-tawhid
(dasar-dasar hukum Islam dan teologi).
Sebagaimana diketahui, di Jakarta Ahmad Surkati bekerja
untuk Jami’at Khair dan terlibat dalam perselisihan antara
kelompok sayyid dan non-sayyid. Keterlibatannya dalam konflik
itu mulai terjadi saat Ahmad Surkati mengeluarkan fatwa di Solo
yang memperbolehkan perkawinan antara orang non-sayyid dan
anak perempuan keturunan sayyid. Ia juga menekankan bahwa
Islam memperjuangkan kesetaraan Muslim dan tidak mengakui
pengistimewaan kelompok berdasarkan keturunan, kekayaan,
atau status.
Ahmad Surkati memang sungguh-sungguh menentang
pengistimewaan kelompok tertentu berdasarkan keturunan,
kekayaan, dan status. Ketika beberapa orang sayyid mengusulkan
agar dia menganjurkan siswa non-sayyid mencium tangan sayyid,
Surkati menjawab ia lebih suka turun dari jabatannya di Jami’at
Khair daripada menganjurkan hal tersebut.
Adapun pemikiran-pemikiran Ahmad Sukarti sebagai berikut:
1. Sebagai seorang Muslim yang baik, seharusnya
menjauhkan diri dari para pejabat pemerintah kolonial.
2. Tentang urusan agama, dia tidak menginginkan campur
tangan dala bentuk apapun dari pemerintah kolonial, tetapi
kalau diminta nasihat tentang agama kepada mereka,
Ahmad Surkati bersedia.
3. Segala persoalan dicarikan penyelesaiannya dalam Al-
Qur’an dan Hadits.
4. Ahmad Surkati menolak pendapat ahli fiqih mutaakhirun
yang disebut al-khalaf, tetapi ahli fiqih dari tiga abad
pertama hijriyah yang disebut al-salaf.
5. Ahmad Surkati menolak cerita-cerita tentang akhir dunia
dan dia menyebutnya sebagai khurafat.
6. Dia sangat membenci pelanggaran terhadap peraturan
agama seperti minum-minuman keras.
7. Dia membasmi segala kebiasaan agama yang disebut
bid’ah, seperti pemujaan terhadap orang yang dianggap
suci atau pemujaan yang sering dijumpai dalam
masyarakat Islam di Indonesia, yaitu talqin dan tahlil.

11
Ahmad Surkati sangat mengutamakan akhlak baik, berdirinya
Al-Irsyad bukan didorong oleh keinginannya untuk mengadakan
sesuatu yang baru, melainkan didasari atas ketaatannya kepada
akidah agama yang diturunkan oleh Allah SWT, lewat Al-Qur’an dan
Hadits. Dari sinilah Ahmad Surkati digolongkan sebagai salah satu
pembaru Islam di Indonesia.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada masyarakat yang
Statis, semua pasti mengalami perubahan dan perkembangan. Salah
satu faktor penting yang mendorong perubahan dan perkembangan
itu adalah adanya kontak pergaulan dengan masyarakat yang lebih
maju sehingga terangsang untuk mengejar ketertigalannya atau bisa
sejajar dengan mitra pergaulannya. Pada permulaan abad ke-20
banyak orang Islam di Indonesia mulai menyadari bahwa mereka
tidak akan dapat menyaingi kekuatan kolonialisme penjajahan
Belanda dan mengejar ketertinggalan dari Barat, apabila mereka
melanjutkan cara-cara yang bersifat trdisional dalam menegakkan
ajaran Islam golongan ini merintis cara-cara baru dalam memahami
dan mengembangkan ajaran-ajaran Islam ditengah-tengah masyarakat
oleh sebab itu, mereka disebut kaum pembaharu.
Para pembaharu did Indonesia mengikuti jejak kaum pembaharu
di Timur Tengah, terutama yang berpusat di Mesir. Mereka
berkenalam dengan gagasan tajdid melalui bacaan dan pertemuan
langsung dengan tokoh-tokohnya sewaktu mereka menuntut ilmu di
Timur Tengah. Menurut kami dapat disimpulkan bahwa
pembaharuan yang dilakukan Kaum Padri dan Kaum Muda,
Jami’atul Khoir, Al-Irsyad, secara garis besar dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Menyegarkan pemahaman ajaran Islam dengan membuka
kembali pintu Ijtihad.
2. Mengembangkan pemikiran rasional.
3. Memurnikan Aqidah umat Islam.

13

Anda mungkin juga menyukai