Anda di halaman 1dari 26

Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

GERAKAN PADERI DAN MATA RANTAI


GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM
DI MINANGKABAU
Oleh : H. Mas’oed Abidin

Gerakan pembaruan di dalam kehidupan beradat dan beragama di


Minangkabau, dapat dikatakan satu gerakan pembaruan oleh para ulama
zuama, yakni para cendekiawan yang hidup dengan latar belakang
kehidupan adat Minangkabau yang kuat, dan kemudian menuntut
mendalami ilmu pengetahuan agama Islam ke negeri-negeri sumber ilmu,
sampai ke Mekah al Mukarramah, yang kemudian diwarisi sambung
bersambung membentuk rantai sejarah yang panjang, dan bekelanjutan
terus ke abad-abad sesudahnya.

Masuknya Islam dan sejarah perkembangannya di Minangkabau sejajar


dengan sejarah pertumbuhan kota-kota dagang di rantau Minang. Awal abad
ke-7 M atau abad I Hijriah rantau timur Minangkabau telah menerima
dakwah Islam.1

Dari Berbagai Sisi dan Penjuru

Masuknya Islam ke rantau timur di masa itu tidak terlepas dari persaingan
perdagangan dan pengaruh kerajaan-kerajaan, seperti melemahnya
kekuasaan Sriwijaya, dan lahirnya kerajaan Islam Perlak dengan sultan
pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah yang menganut Islam (840 M).

Berkembangnya Malaka dan Samudera Pasai menjadi kota dagang dan


kerajaan Islam (1400 M), dan kalahnya Sriwijaya melawan Majapahit, sejak
tahun 1477 M itu, pantai timur ranah Minang di bawah kendali Majapahit
hingga meninggalnya Hayam Wuruk, dan di masa itu kerajaan Pagarruyung

1 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

di Minangkabau diperintah oleh keturunan Kertanegara dan Dara Petak, putri


dari Minang, yaitu Adityawarman.

Ketika itu, rantau Alam Minang sudah mulai didominasi pemeluk Islam,
walau Adityawarman masih memeluk Budha, tetapi dinastinya berkuasa
hingga 1581 M. Namun pernah tercatat 1411 M, raja-raja turunan
Adityawarman sudah memeluk Islam dan mereka berguru kepada Tuanku
Maulana Malik Ibrahim. Kekuasaan kerajaan hanya sebatas simbol kekuasaan
dan lambang persatuan.2

Setelah Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang


meninggal, raja melimpahkan kekuasaannya kepada raja-raja muda, atau
penghulu di rantau.

Raja berdaulat dengan tiga kekuasaan serangkai Rajo Tigo Selo, di


Pagarruyung, di Luhak Tanah Datar, yang terdiri dari Rajo Alam, Rajo Adat,
dan Rajo Ibadat yang mempunyai daerah kedudukan masing-masing di Buo
dan di Sumpur Kudus. Tiga serangkai kekuasaan ini diperkuat oleh dewan
menteri Basa Ampek Balai, yang terdiri dari Bandaharo dari Sungai Tarab,
Tuan Kadi dari Padang Ganting, Mangkudum dari Suruaso, Indomo dari
Sumanik, dan diperkuat lagi oleh Tuan Gadang dari Batipuh dalam urusan
pertahanan.

Pada masa itu telah terjadi penyesuaian antara Islam dengan adat
setempat, seperti adaik mananti, syarak mandaki. Namun kegiatan yang erat
dengan budaya Hindu-Budha masih akrab dalam masyarakat Minang kala
itu.3

Gerakan Dakwah Persuasif

Kedatangan Syekh Burhanuddin (Pono), yang berguru kepada Syekh


Abdurrauf Singkili di Aceh, dan kemudian mengembangkan Islam di

2 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

Minangkabau dengan membuka surau atau sekolah agama seperti di Ulakan


Pariaman, dan di Kapeh Kapeh Pandai Sikek, Padangpanjang, mulai
melakukan gerakan pemurnian Islam dari pengaruh budaya Hindu-Budha,
serta menghapuskan kebiasaan-kebiasaan anak nagari seperti minum tuak,
menyabung ayam atau berkaul ke tempat keramat.

Istana Pagarruyung juga menjadi sasaran dakwahnya dan ia berhasil.


Keberhasilan itu membuat dia dikenal sebagai ulama besar di Minang. Murid
beliau mulai banyak dari darek atau dari Luhak nan Tigo.

Semasa itu, sudah terjadi juga persilangan paham antara penghulu dalam
hal setuju dan yang menentang ulama zuama, ulama cerdik pandai yang
pulang dari berguru dan melakukan pemurnian terhadap kebiasaan adat
yang salah menurut syarak. Lambat laun, kesepakatan damai tercipta antara
para Penghulu, Tuanku dan Alim Ulama Minang, untuk saling mengakui
kedudukan ulama dengan penghulu, sehingga ulama menjadi suluah
bendang dalam nagari, tidak menjadi bawahan dari Penghulu seperti
kedudukan panungkek, dan manti, dubalang.

Semenjak itu lahir beberapa ungkapan petatah-petitih, syarak mandaki


adaik manurun, syarak nan lazim adaik nan kawi, syarak babuhue mati adaik
babuhue sintak, syarak balinduang adaik bapaneh, syarak mangato adaik
mamakai, syarak batilanjang adaik basisampieng.

Gerakan Paderi adalah Gerakan Pembaruan

Gerakan pembaruan tatanan masyarakat Minangkabau dalam beradat


dengan ketentuan syarak di masa kedua ini, sejak masuknya Islam ke
Minangkabau mulai empat abad sebelumnya. Selanjutnya, gerakan
pembaruan ulama zuama, yakni kaum ulama dan cerdik pandai suluh
benderang di dalam nagari, di abad 18 dan 19 itu, yang kemudian menjadi

3 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

gerakan Paderi (1802-1837) di Minangkabau, dan sekitarnya, adalah mata


rantai dari gerakan pembaruan pemikiran berlatar belakang pendidikan-
pendidikan yang dilalui para pembaru penggerak pergerakan tersebut.

Karenanya dapat disebut bahwa gerakan ini lahir tidak didorong oleh
keinginan perebutan kekuasaan kerajaan, atau gerakan balas dendam yang
menghabisi lawan-lawan yang tidak sesuai atau tidak disenangi sampai
musnah, akan tetapi lebih bertujuan kepada berkehendak lahirnya
perubahan tata pergaulan di dalam masyarakatnya yang beradat dengan
agama (syarak), atau melaksanakan ajaran syarak (agama Islam) di dalam
adat istiadatnya, di ranah Minangkabau.

Gerakan Paderi di awal abad kedelapan belas, bermula dengan pulangnya


tiga serangkai ulama zuama Minangkabau (1802), terdiri dari Haji Miskin di
Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak
Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah
Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan
penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di
Minangkabau.

Gerakan Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan


Tuanku Nan Tuo, kemudian berlanjut ke Gerakan Paderi di bawah pimpinan
Tuanku Nan Renceh di Kamang, sambung bersambung menjadi mata rantai
gerakan menyeluruh dalam wilayah yang luas, di bawah pimpinan Tuanku
Imam Bonjol, senyatanya tidak terbatas menentang dan menghapuskan
hukum waris berdasarkan garis ibu, atau menghapuskan lembaga kaum adat
yang sudah jauh menyimpang dari syarak di Minangkabau, atau perang
pengembagan ajaran agama Islam secara paksa kenegeri di sekitar. Sama
sekali tidak.

4 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

Dalam masa 100 tahun penjajahan Belanda, telah memberi pengaruh


yang tidak sedikit. Warna budaya di Minangkabau terutama, berbentuk segi
tiga dengan sisi yang tidak sama panjang antara budaya adat, budaya
agama, dan budaya barat yang mulai masuk ke kehidupan masyarakat adat
dan budaya di Minangkabau, Riau, Mandahiling dan tanah Batak, yang
selama ini amat menjunjung tinggi budaya timur, dan bukan kultur barat.

Ada satu benang merah yang tampak jelas dipunyai para pejuang, bahwa
ulama cerdik pandai (cendekiawan) yang menjadi suluh benderang di negeri,
adalah kalangan kaum terpelajar muslim di zamannya, yang berpikiran maju
dan rasional, sesuai bimbingan agama Islam yang dianutnya, terang bertolak
belakang dengan anutan penjajahan masa itu.

Ulama zuama Gerakan Paderi ini memiliki perasaan dan semangat untuk
membebaskan kaumnya yang beradat dan beragama Islam dari belenggu
keterbelakangan dan jumud, sejak tiga abad sebelumnya. Keterkekangan
dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsa yang dicap inlander
di depan bangsa kolonialisme.

Dengan membangun kembali cara pandang dan sikap keberagamaan,


kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki. Kendati berbeda dalam
metodologi dan pendekatan, para ulama zuama memiliki kesamaan dalam
menyikapi kondisi kaum, yang beradat dan beragama Islam. Kesamaan
pandangan juga, bahwa hanya pembebasan diri (self-liberating) yang dapat
mengeluarkan bangsa dari kondisi itu.

Pembebasan itu adalah perlawanan terhadap kolonialisme secara fisik,


baik pada bungkus adat dan agama (syarak), dimulai dari membuka pintu
ijtihad seluas-luasnya, secara teoritis, dan mengaji ulang tradisi dan
khazanah (turats) syarak yang mesti dilakukan di dalam kehidupan beradat,
khususnya di Minangkabau. Ulama zuama atau para tuanku, yang

5 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

menggerakkan perubahan sangat dipengaruhi latar belakang pendidikan,


ekonomi, dan tingkat kedudukan sosial mereka, yang kemudian banyak
memunculkan pengotakan kaum dan jalannya perjuangan gerakan
pembaruan itu.

Gerakan pembaruan yang dilaksanakan sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku


nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yakni
pusaka tinggi dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum. Karena itu, harta
pusaka tetap diturunkan kepada kemenakan, dalam pengawasan garis
perempuan. Mengenai harta pencaharian, gerakan sependapat harus
diwariskan kepada anak.

Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah utusan anak kemenakannya


mempelajari hukum Islam ke tanah Mekah, menyatakan pembagian tugas
yang nyata antara adat dan agama (syarak), bahwa masalah adat
dikembalikan kepada Basa dan Penghulu, sedang soal agama dipulangkan
ke Tuanku atau malim (mu’allim), sesuai doktrin adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah.

Sumpah Satie (= Janji Setia) Bukik Marapalam

Sulit mencari bukti tertulis, kepastian waktu, tempat, siapa pelaku utama
peristiwa, dan pencetus ide piagam sumpah satie (sumpah sakti) Bukik
Marapalam, yang diyakini oleh masyarakat Minang telah disepakati oleh
para pemuka adat dan ulama, di puncak bukit Marapalam, semasa
perkembangan Islam di Minangkabau. Konsensus itu di dasari sifat egaliter
masyarakat Minang, yang yakin piagam itu berisi sumpah satie (janji setia)
antara kaum adat dan ulama, yang menyatakan “adaik basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah” (adat bersendi syari’at Islam, Islam bersendi
Kitabullah, yakni Al Quran).
Ada beberapa pendapat, tentang waktu terjadinya Sumpah Satie Bukik
Marapalam, di antaranya menyebutkan di masa awal gerakan Paderi (1803-

6 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

1809), terkait tempat strategis, di puncak Bukit Marapalam. Gagasan


maksud piagam diadakan, menghindari banyak korban yang akan jatuh
antara kelompok yang bertikai. Dari kalangan ulama zuama disebut
penggagasnta Tuanku Lintau, dan kaum adat atas inisiatif Datuk Bandaro,
yang mendatangi Datuk Samik, dan di sampaikan kepada Datuk Surirajo
Maharajo di Pariangan. Akhirnya antara kaum adat dan ulama zuama
menyepakarti satu piagam, Sumpah Satie Bukik Marapalam yaitu “adaik
basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”.
Kesepakatan ini, tidak didapat kepastian tahun terjadinya. Yang terlihat
hanya peranan Tuanku Lintau dan Datuk Bandaro, keduanya pengikut
gerakan Paderi. Ketika keduanya dianggap sebagai penggagas, mengatur
pertemuan, dan mengeluarkan piagam sumpah satie “adaik basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah”, namun masih juga tidak diketahui pasti kapan
tanggal, bulan, dan tahun terjadinya. Akan tetapi, sejak piagam itu ada,
ketegangan antara kaum adat dan para ulama zuama mulai mereda, walau
masih terasa ada pertentangan para datuk dari Nagari Saruaso dan Batipuh.
Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Piagam
Sumpah Satie Bukik Marapalam ada di masa Perang Paderi II, ketika Belanda
kembali memerangi kaum Paderi setelah Belanda dapat memadamkan
Perang Diponegoro.
Gerakan Paderi dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh,
Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di
Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan
terhadap penjajahan Belanda, atau Perang Paderi (1821-1837).
Dalam Perang Paderi ini, pihak Belanda berhasil memecah kekuatan
bangsa di Minangkabau. Pihak kolonial memakai politik adu domba, antara
kaum adat dan agama, yang saling curiga, sehingga kekuatan melemah.
Akhirnya, Belanda dapat merebut benteng pertahanan Paderi di puncak Bukit
Marapalam, di Lintau, Agustus 1831, dan kemudian berturut-turut menguasai
banteng Paderi di Talawi, Bukit Kamang, dan kekuatan Tuanku Nan Renceh di
obrak-abrik, sehingga membawa kekalahan bagi kaum Paderi di Agam, akhir
Juni 1832..
Perang Paderi (1821-1837) menyadarkan masyarakat Minang dan
sekitarnya, bahwa pihak Belanda berhasil menampilkan konflik antara
kalangan ulama zuama, dengan kaum adat, yang berakibat melemahnya
kekuatan bangsa di Minangkabau. Namun sebelum Bukik Marapalam jatuh ke
tangan Belanda, antara kaum adat dan agama telah berunding membuat
sumpah satie, melahirkan piagam Marapalam yang menyepakati adaik

7 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di ranah Minang. Dalam


peristiwa ini, nama Tuanku Lintau kembali disebut sebagai pemerakarsa.
Ada pula pendapat, bahwa sumpah satie Bukik Marapalam terjadi di akhir
perang Paderi. Setelah Paderi kalah dari tentara Belanda. Pihak colonial
Belanda merubah tatanan sosial masyarakat adat Minang dengan
mengangkat Penghulu Bersurat (besluit), guna lebih mudah urusan
memungut pajak untuk kepentingan kolonial. Nagari-nagari yang tadi
otonomi di Minangkabau, tunduk ke wilayah Administratif Pemerintahan
Hindia Belanda.
Kekhawatiran masyarakat Minang terhadap bangsa Belanda penjajah
yang kafir, dengan berubahnya struktur pemangku adat diberi besluit, akan
berakibat menjauhkan masyarakat Minangkabau dari nilai-nilai adat dan
agama Islam yang dianut mereka. Sebagai upaya menguatkan kembali
jalinan persatuan kaum adat dan ulama zuama di dalam kesatuan
masyarakat adat Minangkabau, menyebabkan lahir piagam sumpah satie
Bukik Marapalam ini. Namun, tangal kejadian belum juga pasti.
Ketiadapastian tanggal peristiwa ini, memberi peluang besar melakukan
penelitian sejarah, serta nilai-nilai yang dikandung dalam setiap peristiwa di
dalam gerakan Paderi, juga tentang hubungan antara variabel adat dan
agama (syarak), yang serta merta berkembang untuk kasus-kasus di luar
dan dalam masyarakat Minang sepanjang waktu.4
Di samping itu, ada pula pendapat yang menyatakan tentang peristiwa
munculnya sumpah satie ini, semasa Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam
di tengah kuatnya pengaruh adat di alam Minangkabau. Pengembangan
Islam secara bersahabat (evolusi) menyiratkan gerakan dakwah Syekh
Burhanuddin, telah ada kesepakatan (consensus) di tengah masyarakat,
yaitu “adaik basandi syarak, syarak basandi adaik”. Kenyataan social di
tengah kehidupan masyarakat Minang di nagari, membuktikan bahwa aliran
Syattariyah, yang berkaitan erat dengan Syekh Burhanuddin, telah
berkembang sampai ke pedalaman Minang, di Nagari Andaleh, yaitu
Marabukit, yang ada di kaki Bukit Marapalam.
Sungguhpun begitu, Azwar Datuk Mangiang pernah mewawancarai Inyiak
Canduang, penulis buku “Perdamaian Adat dan Syarak”, di akhir tahun 1966,
di Pekan Kamis, Candung, dan menuliskan dalam makalahnya “Piagam
sumpah satie Bukik Marapalam”, bahwa peristiwa sumpah satie itu telah
terjadi sekitar tahun 1644 Masehi (M), jauh sebelum gerakan Paderi
berkembang di alam Minangkabau.

8 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

SARI PATI SUMPAH SATIE BUKIT MARAPALAM


(MENURUT CATATAN INYIAK CANDUANG)
Agama Islam mula-mula datang ke Minangkabau dengan melalui daerah
Pesisir (rantau), disambut dengan tangan terbuka oleh Penghulu-Penghulu
dalam Luhak nan Tigo Lareh nan Duo.
Sesudah Islam berkembang di Alam Minangkabau terjadilah perselisihan
antara Kaum Adat dengan Alim Ulama, disebabkan ada sebagian dari
pamaianan kaum adat yang tidak disetujui oleh Alim Ulama seperti basalung
barabab, manyabung, bajudi, badusun bagalanggang, basorak basorai dan
lain-lain. Dan sebagian apa yang diharuskan oleh agama tidak dapat
dibenarkan menurut adat seperti perkawinan sepasukuan.
Untuk memelihara persatuan dalam nagari, diusahakan oleh orang
pandai-pandai dan terkemuka mencari air nan janih sayak nan landai
guna terwujudnya perdamaian antara Penghulu dan Alim Ulama. Nan di
atas ke bawah-bawah nan di bawah ke atas-atas, masing-masing surut
salangkah. Kaum adat meninggalkan pamainan yang bertentangan dengan
agama seperti manyabung, berjudi dan sebagainya.
Dan Alim Ulama membenarkan pula ketentuan adat yang tidak
berlawanan dengan agama seperti melarang perkawinan sepasukuan dan
lain-lain, sehingga dapatlah kata sepakat: “Bulat boleh digolongkan
picak boleh dilayangkan”.
Buat mengikrarkan dan ma-ambalaui kebulatan itu, diadakanlah
pertemuan besar di atas Bukit Marapalam (antara Lintau dan Tanjung
Sungayang) yang dihadiri oleh Penghulu-Penghulu dan Alim Ulama serta
orang-orang terkemuka dalam Luhak nan Tigo Lareh nan Duo. Dibantai
kerbau, dagingnya dilapah darahnya dikacau, tanduk ditanamkan, ditapung
batu dilicak pinang, diikat dengan Alfatihah dan dibacakan doa selamat.
Dalam pertemuan besar itulah diikrarkan bersama-sama dan menjunjung
tinggi kebulatan yang telah dibuat oleh orang-orang pandai dan para
terkemuka, yaitu:
 Penghulu rajo dalam nagari, kato badanga, pangaja baturuik,
manjua jauh manggantung tinggi.
 Alim Ulama suluh bendang dalam nagari, air nan janih sayak
nan lancar tempat batanyo di Panghulu.

9 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

Dalam pelaksanaannya, Alim Ulama memfatwakan dan Panghulu


mamarintahkan.
Di sinan ditanamlah Rajo Adat di Buo dan Rajo ibadat di Sumpur Kudus.
Dikarang sumpah jo satie, yaitu: “Siapa yang melanggar kebulatan
ini dimakan biso kewi di atas dunia , ke atas indak bapucuk, ke
bawah indak baurat, di tangah dilarik kumbang, di akhirat dimakan
kutuk kalam Allah.”
Di sinan ditetapkan pepatah adat nan berbunyi: “Adat bapaneh syarak
balindung”, artinya: “Adat adalah tubuh dan syarak adalah jiwa di
Alam Minangkabau”. Dan pepatah adat nan berbunyi: “Syarak mangato
adat mamakai”.
Itulah sari pati sumpah satie (Piagam) Bukit Marapalam nan kita terima
turun temurun sampai kini. Dan hambo terima dahulunya dari tiga orang
tuo, yaitu:
1. Tuangku Lareh Kapau nan Tuo (sebelum Tuangku Lareh yang terakhir).
2. Ninik dari mintuo hambo di Ampang Gadang.
3. Angku Candung nan Tuo.
Bukti-bukti yang bersua dalam pelaksanaan, yang bahasa Penghulu
memerintahkan menjalankan fatwa Ulama seperti berzakat, berpuasa,
bersunat rasul dan sebagainya, yang sulit dapat dikerjakan kalau tidak
diiringi fatwa Ulama itu dengan perintah Penghulu sebagai rajo dalam
nagari.
Pada akhir abad ke-sembilan belas dan lai hambo dapati bahwa sesuatu
perkara yang terjadi dalam nagari dihukum oleh Penghulu. Sebelum
Penghulu menjatuhkan hukuman malamnya mendatangi Ulama yang
dinamakan waktu itu dengan “Bamuti” (mungkin asalnya bermufti) untuk
minta nasihat dan bermusyawarah tentang hukum yang akan dijatuhkan
(waktu itu tempat “bamuti” adalah Angku Candung nan basurau di
Baruhbalai). Dan begitu juga ditiap nagari di Minangkabau sampai ada
peraturan baru oleh Belanda yang perkara diadili oleh Tuangku Lareh,
kemudian Magistraad dan kemudian sekali Landraad.
Kaum penjajah (Belanda) sangat kuatir kepada persatuan adat dan
agama. Maka diusahakannya memecahkan dengan mendekati Penghulu dan
menjauhi Alim Ulama.

10 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

Tambo-tambo adat yang dipinjam, katanya untuk dipelajari, tetapi


sebenarnya untuk dihabiskan, guna mengaburkan sejarah yang sebenarnya,
termasuk sejarah Bukit Marapalam ini.
Demikianlah hambo wasiatkan untuk dipedomani oleh anak cucu hambo
kemudian hari di Candung khususnya dan di Minangkabau umumnya, karena
sudah terdengar orang-orang yang hendak mencoba memisahkan antara
adat dan agama di Minangkabau.
Wabilahitaufieq.
Candung, 7 Juni
1964
26 Muharam 1384.
Dto
Syekh Suleiman Ar
Rasuly

Mata Rantai Gerakan Pembaru abad 20, di Sumatera Barat

Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang
penuh pergolakan sosial dan intelektual. Di awal pulangnya tiga ulama
Minangkabau selepas menuntut ilmu di Mekah, yang membawa modernisasi
Islam ajaran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani dari Mesir, yaitu
Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek (1860-1947) 5, M. Thaib
Umar (1874-1920), Abdullah Ahmad (1878-1933).6
Gerakan ini tidak hanya dimotivasi oleh gerakan pembaruan yang sudah
berkembang di Mesir dan beberapa Negara Arab, tapi juga oleh dorongan
rivalitas terhadap golongan berpendidikan Barat yang secara material dan
sosial terlihat lebih bergengsi. Tahapan kemajuan pemikiran di Ranah
Minang, dalam menerapkan syarak (agama Islam) di tengah kehidupan
masyarakat adat Minangkabau, pertanda tumbuhnya kemerdekaan berfikir di
kalangan para intelektual, ulama zuama seperti Hadji Agus Salim (1884-
1954), seiring muncul “liberal age”7, yang mengarus masuk ke Indonesia,
dan juga ke ranah Minangkabau.
Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan
pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam
yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu.

11 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, dalam bentuk


mendirikan sekolah dan madrasah-madrasah, juga kerajinan di nagari, mulai
bermunculan. Kaum pembaru berusaha mengembalikan ajaran dasar agama
Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang
kemudian dalam agama, dengan melepaskan penganut Islam dari belenggu
jumud dan kebekuan di dalam masalah dunia.
Mereka berusaha memecah tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat
menemukan isi dan inti ajaran Islam sesungguhnya, dengan keyakinan
menjadi cahaya menyinari alam ini. Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab
al-ijtihad, masih tetap terbuka, dan mereka menolak taqlid. Ijtihad membawa
kaum pembaru untuk lebih memerhatikan pendapat.
Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan
gagasan yang ideal, menghadapkan Minangkabau pada pilihan yang kadang-
kadang saling bertentangan.
Model barat mungkin baik, tetapi dapat pula berarti ancaman pada dasar
agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang syumul,
memang merupakan pemecahan.
Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah
daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau?
Dan, apa pula contoh bimbingan syarak yang bisa diikuti?
Namun parameter adat sangat terbatas dan bias pula menutup jalan ke
dunia maju dan mungkin pula berhadapan dengan masalah dosa dan tidak
berdosa, soal batil dan haq.
Peranan Guru dan Murid
Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa
Melayu mulai banyak diterbitkan. Berbagai majalah, surat kabar yang
mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran
dalam pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak
bermunculan.
Pengamalan adat sesuai panduan syarak (agama Islam) sangat ramai
dibicarakan. Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau
yang banyak menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad
ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855)8, turunan
dari seorang hakim gerakan Paderi yang sangat anti penjajahan Belanda.
Ia dilahirkan di Bukittinggi, pada tahun 1855, oleh ibu bernama Limbak
Urai, yang adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras,

12 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

Kepala Nagari Ampek Angkek berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan
Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari,
saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang,
Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.
Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang
punya latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari
dua orang tuanku Laras dari Ampek dan Ampek Angkek. Ayah dan ibu Ahmad
Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari, karena sama-sama
memiliki kedudukan terpandang dalam adat, keluarga tuanku laras, generasi
pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
Sejak kecil Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah
yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung
halaman pergi ke Mekah, tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia
menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri
Mekah, Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi.
Sejak itu, Ahmad Khatib mulai mengajar di kediamannya, di Mekah, dan
tidak pernah kembali ke daerah asalnya. Ahmad Khatib, mencapai derajat
kedudukan tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab
Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia
tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad
Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir.
Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di
Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat
Naqsyabandiyah yang banyak dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah
itu terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan
syari’at Islam ditentangnya.
Pemahaman dan pendalaman Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy,
dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh,
diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-
kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah
Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di
Minangkabau, sehingga menjadi pergerakan yang ikut memelopori upaya
merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa
masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah termasuk kafir dan akan
masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut
hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus

13 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

dianggap sebagai harta rampasan. Pemikiran-pemikiran yang disampaikan


Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau.
Di pihak lain perlawanan terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari
kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya
mengenai tarekat, ditantang oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari
Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang, dengan menerbitkan beberapa
tulisan tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan, telah menumbuhkan
kesadaran banyak orang Minangkabau untuk memahami, bahwa tidak dapat
disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama.
Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui
pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun
pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya
yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini
telah melahirkan hasrat lebih berkembang, menghidupkan kesadaran
pengenalan diri, dan kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan.
Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya
dari Mekah melalui tulisan-tulisan di majalah dan buku-buku agama Islam,
dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan begitu, beliau
pelihara hubungan dengan Minangkabau. Murid-muridnya yang menunaikan
ibadah haji, dan yang belajar padanya di Mekah, disuruhnya pulang dan
menjadi guru di daerah asalnya masing-masing. Murid-muridnya menjadi
penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh
Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947) 9, Haji Abdul Karim
Amarullah atau Inyik Rasul (1879-1945)10, dan Haji Abdullah Ahmad
(1878 – 1933)11.
Murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam
bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu
pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, tetap
melahirkan pembaruan pemikiran dengan bimbingan agama, untuk
memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita kemajuan ditemukan
dalam agama Islam.
Cara berpikir seorang Muslim bertolak dari keyakinan, bahwa Islam tidak
memusuhi kebudayaan. Akan tetapi budaya yang dipakai memajukan cara
berpikir, bagaimana menemukan kembali cita-citanya dalam Islam. Di dalam
Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan,
hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan Ahmad Khatib dalam
memberikan pelajaran, selalu menghindari sikap taqlid.
Merentang Nusantara dan Tanah Semenanjung
14 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-


1956), pada masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh
Muhamad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh
Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad
Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo.
Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al
Minangkabawy, karena ibunya adik beradik, penerus generasi terakhir
keluarga Paderi.

Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu


selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898),
dan kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900. Beliau ahli di bidang
ilmu falak. Mulai tahun 1900, Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya,
dan diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher
Djalaluddin dengan Al-Azhar di Kairo, maka dia menambahkan al-Azhari di
belakang namanya.

Syekh Taher Djalaluddin terbilang seorang tertua dan pelopor ajaran


Ahmad Khatib di Minangkabau dan di tanah Melayu. Dia juga adalah guru
kalangan pembaru Minangkabau. Pengaruhnya tersebar pada murid-
muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di
Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah yang
bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, menjadi model Sekolah Adabiyah yang
didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908.

Majalah Bulanan Al-Imam memuat artikel tentang pengetahuan popular,


komentar penting terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama,
bahkan mendorong umat Islam berfikir betapa penting memiliki sebuah
Negara yang merdeka, dan tidak dijajah. Majalah ini menyeru umat Islam
mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering

15 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

mengutip pendapat dari Mohammad Abduh yang dikemukakan majalah Al-


Mannar di Mesir.

Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau
tulisan Jawi, dan tersebar di Nusantara, meliputi tanah Jawa, Betawi, Jakarta,
Cianjur, Semarang, Surabaya, Kalimantan, Pontianak dan Sambas, Sulawesi
(di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad meniru bentuk dan moto Al-
Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang bernama Al-Munir. Banyak
artikel Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir.

Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan
tahun 1927. Ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda
selama enam bulan, terkait artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman itu.

Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan


tidak pernah kembali lagi ke daerah asalnya, sampai meninggal dunia pada
tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.

Pemikiran para pembaru telah memacu dinamika masyarakat adat dan


agama di di Minangkabau yang tengah berubah. Lahirnya keinginan baru
untuk melakukan proses pemeriksaan kembali nilai-nilai kultur yang
dipunyai. Ketika arah perobahan sosial terjadi, setelah berakhirnya
penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan beralihnya kekuasaan
kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan Indonesia menjadi wajib.

Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan
pemikiran Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, dengan basis ilmu
pengetahuan agama dan adat istiadat. Bahasan-bahasan dan suasana
pergulatan politik merebut kemerdekaaan, telah menyumbang pencarian
model yang sesuai dengan agama yang haq, dan menuntut sikap lebih
rasional dalam menumbuh semangat kemerdekaan dalam berbangsa dan
bernegara.

16 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

Gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di tanah Melayu


dan ranah Minangkabau ini, semakin marak dengan eratnya hubungan guru
dan murid, antara Ahmad Khatib Al Minangkabawi dengan murid-muridnya.
Hubungan tersebut ikut memberikan sumbangan bagi pemahaman dan
pengamalan syari’at Islam, serta memunculkan perdebatan-perdebatan
umum yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut
pula membuka pintu lahirnya berbagai jenis perkumpulan memperdalam
ilmu agama dan adat istiadat. Bertumbuhnya pendidikan Islam, madrasah-
madrasah sampai ke nagari-nagari, oleh berjenis organisasi pergerakan,
seperti Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan bahkan meluas
sampai ke semenanjung Malaya, adalah bentuk pencerahan lain yang
berjalin berkelindan karena adanya mata rantai gerakan Paderi, satu
setangah abad sebelumnya.

Kekuatan Dakwah Tabligh dan Pendidikan

Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947), adalah adalah


satu dari tiga ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat di awal
abad ke-20, dilahirkan di Bukittinggi, terkenal sebagai ahli ilmu falak
terkemuka. Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek lebih dikenal dengan
sebutan Inyik Syekh Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek,
dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan
penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari
Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.

Muhammad Djamil mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah


Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru
(Kweekschool). Ketika berusia 22 tahun, Mohammad Djamil mulai tertarik
pada pelajaran agama dan bahasa Arab. Ia belajar pada surau di Koto
Mambang, Pariaman dan di Batipuh Baruh. Ayahnya membawanya ke Mekah

17 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

pada tahun 1896 dan bermukim di sana selama 9 tahun. Guru-gurunya di


Mekah, adalah Taher Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak dan
Syekh Ahmad Khatib. Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib el
Minangkabau.

Dia berguru kepada Syekh Taher Djalaluddin tentang ilmu falak,


sehingga menjadi bidang spesialisasi beliau. Keahliannya di bidang ilmu falak
mendapat pengakuan luas sejak dari Mekah, karenanya dia bergelar Syekh
Muhammad Djamil Djambek al Falaky. Pada tahun 1903, dia kembali ke
tanah air. Hatinya lebih condong untuk memberikan pengetahuannya,
walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi.

Dia tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Kemudian


ia mendekati teman-temannya yang masih dalam kehidupan parewa di
Kamang, sebuah nagari pusat pembaruan Islam di bawah Tuanku nan
Renceh pada abad ke-19. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau,
yakni Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang, dan mulai menyebarkan
pengetahuan agama untuk meningkatkan iman.

Akhirnya, ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian besar anak nagari


tidak melaksanakan ajaran agama dengan sempurna bukan karena kurang
keimanan dan ketaqwaannya, tetapi karena pengetahuan mereka kurang
tentang ajaran Islam itu sendiri. Ia mengecam masyarakat yang masih
gandrung pada ajaran tarekat. Ia mendekati ninik mamak dan membicarakan
berbagai masalah masyarakat.

Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam juga berarti
kemajuan, agama Islam tidak menghambat usaha mencari ilmu
pengetahuan, perkembangan kehidupan dunia, dan menghormati kedudukan
perempuan. Islam adalah agama universal, yang dasar ajarannya telah
diungkapkan oleh para nabi, yang diutus kepada semua bangsa (QS.

18 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

10;47;2: 164; 35:24; 40:78). Tugas mereka diselesaikan oleh Nabi


Muhammad saw, rasul utusan terakhir untuk seluruh umat manusia.

Bersama dengan teman-temannya, murid dari Ahmad Khatib, di


antaranya H.Abdullah Ahmad, berdiri sekolah Madrasah Sumatera Thawalib,
dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan
kemudian mendirikan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang,
sebagai usaha menghidupkan tradisi ilmu dan mendorong para muridnya
untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah.

Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas


wibawa guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah
yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak
semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi
pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu.

Menghapus khurafat dan bid’ah

Cita-cita pikiran untuk memajukan umat dengan agama Islam, hanya


dapat dicapai melalui pengamalan syariat, mencakupi tauhid dan ibadat.
Dalam ibadah, semuanya terlarang, kecuali yang disuruh. Jadi cara-cara
beribadah telah diperintah Allah. Tradisi-tradisi yang tidak ada perintahnya,
tidak dapat diterima sebagai ibadah, dan disebut bid’ah.

Dalam kegiatan pemurnian agama, kaum pembaru menentang berbagai


bid’ah yang bertalian dengan hukum (syar’iyah), maupun niat pengamalan
yang tidak karena Allah. Bid’ah syar’iyah tidak dapat dibiarkan berlaku. Perlu
diteliti dalam segala hal, apakah yang lazim dilakukan sehari-hari sesuai
bimbingan syarak (agama Islam). Dengan menggunakan akal dan berpegang
kepada tiang hukum Quran dan Sunnah umat dibimbing kearah kemajuan.

19 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

Di samping itu mulai dibicarakan bagaimana mempelajari bahasa,


mendirikan sekolah-sekolah agama, pembangunan menara, semuanya
dipandang sebagai alat bantu yang disesuaikan dengan zaman untuk
memenuhui perintah nabi, seperti ‘carilah ilmu’.

Islam pada masa kemajuan tidak harus berkembang sejajar dengan


perkembangan inteletual, sebab ada hal yang dilarang dan disuruh, ada
batas halal dan haram, ara pula perintah amar ma’ruf nahyun ‘anil munkar,
yang menjadi sifat asli agama Islam.

Agama Islam mengatur hal yang bersangkutan dengan dunia. Masalah ini
mengandung ciri ‘ubudiyah, bagian dari din Allah, sedangkan cara
mengamalkan bersifat duniawi. Umpamanya perintah memelihara anak
yatim, menghapuskan kemiskinan, menghormati orang tua, menjaga
kebersihan, yang pelaksanaannya sebagian besar terletak pada pilihan
individu.

Kemudian sampai kepada persoalan yang lebih sensitive. Sampai dimana


kebebasan yang dimiliki dalam memilih alternative, persoalan politik,
menyebarkan nasionalisme anti kolonial, menuju Indonesia Raya, tidak
terlepas dari pergolakan intelektual ini. Tidak saja masalah fikh, tetapi juga
masalah tauhid harus dihadapi dengan pikiran yang terbuka.

Perbedaan yang fundamental antara inovasi yang menyalahi hukum


hakiki, yang bersumber Quran dan Hadits, dan pembaruan sebagai akibat
dari peralihan zaman, harus dibedakan dengan tegas.

Ulama zuama, pelopor pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau


berasal dari segala bidang profesi, di antaranya kalangan ulama (Haji Rasul),
kalangan pedagang (H. Abdullah Ahmad), dan pada umumnya mereka
berhasil melepas dirinya dari tradisi yang ada, seperti Syekh Djamil
Djambek, Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Ibrahim Musa Parabek, di

20 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

masa hidupnya dipandang ulama besar, tempat memulangkan segala


persoalan agama dan kemasyarakatan pada umumnya.

Penggerak gerakan pembaruan pemikiran di bidang agama di Sumatra


Barat, adakalanya dinamakan kaum modernist atau disebut juga kaum
muda. Salah seorang di antaranya, H. Abdullah Ahmad berkata, bahwa di
setiap bidang boleh menggunakan akal, sebagai kurnia Allah, kecuali
menyangkut halal haram menurut agama.

Jika kepercayaan semata menerima dari wibawa guru, tanpa


menggunakan akal, maka akan lahir taqlid. Kepercayaan sedemikian itu tidak
ada gunanya. Orang berakal harus pujaannya Allah dan untuk itu
dipelajarinya akar-akar hukum (ushul al-fiqh).

Untuk mengenalkan semua inti ajaran agama Islam ini kepada


masyarakat luas diperlukan gerakan penyampaian berbentuk tabligh. Seperti
dilakukan Inyik Djambek yang memilih mengamalkan ilmunya secara
langsung kepada masyarakat, dan mengajarkan ilmu tentang
ketauhidan dan mengaji dengan cara bertabligh, di Surau dan menjadi
Surau Inyik Djambek, sampai sekarang. Dia berkesimpulan bahwa ajaran
agama Islam itu sebaiknya disampaikan melalui tabligh dan ceramah-
ceramah (wirid-wirid) yang dihadiri oleh masyarakat banyak. Perhatiannya
ditujukan untuk meningkatkan iman seseorang.

Suraunya yang berdiri tahun 1908, menjadi tempat pertemuan bagi


organisasi-organisasi Islam, dan terkenal sebagai surau yang pertama kali
memperkenalkan cara bertablig di muka umum, dengan menggunakan
bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat.
Termasuk tradisi membaca kitab, dalam membahas masalah kehidupan
sehari-hari, dengan satu tradisi ilmu. Semua itu dilakukan karena agama

21 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya, dan kegiatan


seperti ini diikuti oleh para pembaru lainnya di ranah Minangkabau.

Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangan terhadap tarekat mulai


berubah. Di awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna
membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang
Panjang.

Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia menulis


buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal
Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan
Dia, terdiri atas dua jilid, yang menjelaskan bahwa tarekat Naksyabandiyyah
diciptakan oleh orang dari Persia dan India, yang penuh tahayul khurafat,
dan semakin lama, makin menjauh dari ajaran Islam. Buku lain yang
ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai
upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam.

Sungguhpun tarekat masih banyak diminati oleh orang Minangkabau,


namun secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat
istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Inyik Djambek mendirikan organisasi
bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk
memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat, serta untuk
memelihara dan mengusahakan agar adat dan agama Islam menyatu, serta
terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya.

Satu hal yang fenomenal, dia dan teman-temannya para pembaru, turut
menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam
Minangkabau di tahun 1939. Kemudian, tidak kalah penting dalam
perjalanan dakwah di masa pendudukan Jepang, Syekh Djambek mendirikan
Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.

22 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

Pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H), Inyik Djambek wafat,
meninggalkan pusaka besar, wirid tsulasa (setiap hari Selasa), yang tetap
hidup sampai sekarang. Beliau di makamkan di samping Suraunya di
Tengah Sawah, Bukittinggi, dalam usia 87 tahun. Beberapa hari kemudian,
yakni 26 Januari 1948 (14 Rabi’ul awal 1366 H), teman berdakwahnya, yakni
Inyik Syekh Daud Rasyidy, atau Inyik Daud, ayah Buya Datuk Palimo
Kayo, meninggal dunia pula di Surau Inyik Djambek ini, ketika mengimami
shalat maghrib, dan besoknya dikuburkan di samping makam Inyik Djambek,
dan sampai kini didapati makam kembar di samping surau Inyik Djambek ini.

Patah tumbuh hilang berganti. Sesudah para Syekh murid Ahmad Khatib
al Minangkabawy, pergi satu persatu meninggal dunia, tetap lahir generasi
pengganti, menyambung rajutan adat dan syarak di Minangkabau. Mereka
adalah anak-anak ulama besar tersebut. Di antaranya Buya H. Mansyur
Daud Datuk Palimo Kayo (anak Inyik Daud), Sa’aaduddin Djambek (anak
Inyik Djambek), H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka (anak Inyik
H. Rasul), Zainuddin Labbay el Yunusiy (murid dari Inyik Syekh Abbas Padang
Jopang), Fachruddin HS. Datuk Majo Indo (murid dari Inyik H. Agus Salim),
dan lainnya, mereka adalah seorang ulama dan juga ninik mamak, mata
rantai gerakan Paderi.

Beberapa Rangkuman

Bila kita mengamati dari perkembangan budaya di Minangkabau,


sesungguhnya gerakan pembaruan pemikiran syarak dan adat di ranah
Minang, terlihat bahwa peredaran masa sejarah social budaya Minangkabau,
selalu mengalami perubahan dalam kurun waktu 50 hingga 100 tahun,
dengan orientasi membangun nagari, dan ranah.
1. Setiap muncul perubahan atau gerakan reformasi, sering sekali
berakibat kepada makin berkurangnya peran penghulu adat, dan
melemahnya pagar-pagar adat, termasuk ulama zuama, alim
ulama cerdik pandai suluh bendang di nagari.

23 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau

2. Sampai akhir penjajah Belanda, masyarakat adat tampaknya


berorientasi pada tiga pola sosial budaya. Tradisional adat, Islam
dan barat. Namun traidisi adat kian menciut sehubungan golongan
Islam modernis lebih menyesuaikan diri pada pola budaya barat
seperti yang telah berlaku pada beberapa daerah belahan dunia,
seperti di Mesir dan Timur Tengah saat ini.
3. Mulai pendudukan Jepang golongan orientasi barat mulai
kehilangan arah ketika mereka melihat bahwa bangsa timur
ternyata tidak kalah hebat dari barat. Sebagai bangsa mereka
kembali menoleh ke pusaka nenek moyangnya, adat kebiasaan
dan kekuatan nilai-nilai luhur yang ditinggalkan.
4. Pada awal kemerdekaan, dan bahkan pada masa reformasi kini,
ada kecenderungan untuk tugas dan kewajiban penjagaan dan
pengamalan syarak (agama Islam) kepada umumnya dikembalikan
kepada pemerintahan negara melalui penerbitan perda-perda
tentang adat, sehingga kelihatan bahwa masyarakat adat
kehilangan kearifan dan kewenangan di dalam menetapkan
tindakan sesuai dengan hak konstutusional adat mereka. Dengan
demikian berakibat pada peran elit golongan ulama dan pemuka
adat yang selama ini sangat penting mengangkat harkat bangsa
mulai mengendor.
5. Reaksi terhadap kebijaksaan pemerintah pusat yang sentralistik,
sungguh telah menyadarkan seluruh komponen elit politik
Minangkabau di kampung dan di rantau untuk menampilkan identis
dirinya yang Minangkabau, dengan melahirkan pemikiran-
pemikiran baru, pentingnya kompilasi adat dan syarak di
Minangkabau, di masa ini dan masa datang.
Padang, 5 Pebruari 2008 M/ 27 Muharram 1429 H

24 H. Mas’oed Abidin
1
Catatan Akhir
J.C. van Vanleur dalam bukunya Indonesian Trade & Socety (1955) menyatakan bahwa pada
permulaan tahun 674 AD Pantai Barat Sumatera telah dihuni koloni Arab, dan ketika itu
Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang telah menyebarkan agama Hindu ke Nusantara
dari abad ke-7 hingga ke-13 M.
2
Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984)
3
L.C. Westenenk dalam Opstellen over Minangkabau
4
. Misalnya karya Hamka (terbit pada pertengahan 1946) “Islam dan Adat Minangkabau”; karya
Ratno Lukito (1998) tentang Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia; sejumlah
karya C. Snouck Hurgronje; Taufik Abdullah; penelitian dan seminar yang didanai oleh
Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkat I Sumatera Barat bekerja sama dengan Fakultas Sastra
Universitas Andalas Padang tahun 1991.
5 Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 , anak dari Muhammad Saleh
Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi. Syekh Djamil Djambek
meninggal tahun 1947 di Bukittinggi.
6
Untuk mengetahui biografi menarik lebih lanjut tentang tokoh-tokoh ini, lihat Tamar Djaja,
Pustaka Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air. Bulan Bintang Jakarta, 1966.
7
Hourani, Albert (1983); Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939. Cambridge University
Press.
8
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980, hal.38
9 Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860. Terdapat perbedaan
pencatatan dalam Syekh Ahmad Khatib, ditulis Drs.Akhira Nazwar, Pustaka Panjimas, Jakarta,
Cet.I, Juli 1983, hal.53 disebut tahun 1983. Tetapi dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan Dua
Puluh Ulama Besar Sumatera Barat, Padang, Islamic Center Suimatera Barat, 1981,hal.55,
dicatata tanggal dan tahun kelahiran Inyik Djambek 13 Sya’ban 1279 H./1862 M Sebenarnya
yang tepat adalah 4 Januari 1863 M, tulis DrsEdwar dkk. Mengutip Ensiklopedi Islam Indonesia
(EII), Jakarta Djambatan, 2002, Cet.2 ed. Revisi, hal.520-521,Syekh Djamil Djambek lahir 1860,
dan meninggal 30 Desember 1947/18 Sfafar 1366 H, di Bukittinggi, dalam usia 87 tahun.
10
Haji Rasul lahir di Sungai Batang, Maninjau, tahun 1879, anak seorang ulama Syekh
Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Pada 1894, pergi ke Mekah, belajar selama 7 tahun.
Sekembali dari Mekah, diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo. Kemudian kembali bermukim di
Mekah sampai tahun 1906, memberi pelajaran di Mekah, di antara murid-muridnya termasuk
Ibrahim Musa dari Parabek, yang menjadi seorang pendukung terpenting dari pembaruan
pemikiran Islam di Minangkabau. Haji Rasul meninggal di jakarta 2 Juni 1945
11
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878, anak dari Haji Ahmad, seorang
ulama dan pedagang. Ibunya berasal dari Bengkulu, masih trah dari pengikut pejuang Sentot Ali
Basyah.
DAFTAR BACAAN DAN SUMBER INFORMASI
A. Navis. “Bukit Marapalam”. Padang: Universitas Andalas, 1991.
1. Andi Asoka. “Sumpah Satie Bukit Marapalam, Antara Mitos dan Realitas” (merupakan bab IV dari
laporan Penelitian “Sejarah Perpaduan Antara Adat dan Syarak di Sumatera Barat, kerjasama Fakultas
Sastra Unand dengan Pemda Tingkat I Sumatera Barat, 1991).
2. Andi Asoka, Zulqaiyim, Sabar. “Stratifikasi Sosial Minangkabau Pra Kolonial”. Padang: Pusat Penelitian
Universitas Andalas, 1991/1992.
3. Azwar Datuk Mangiang. “Piagam sumpah satie Bukik Marapalam”. Makalah Seminar. Arsip pribadi
tertanggal 16 Juli 1991.
4. Christine Dobbin. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah
1784-1847. Jakarta: INIS, 1992.
5. Damsar. “Implementasi Kritis Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah di Tengah Masyarakat
Majemuk di Sumatera Barat: Suatu Tinjauan Sosiologis”.
6. Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
7. H.B.M. Letter. “Proses Bersenyawanya Adat dan Syarak di Minangkabau”. Padang, Universitas
Andalas, 1991.
8. Mochtar Naim. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1984.
9. Muhammad Radjab. Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Padang: Center for Minangkabau Studies
Press, 1969.
10.Ratno Lukito. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS, 1998.
11. Syafnir Abu Nain. ”Sumpah Satie di Bukit Marapalam, Perpaduan Antara Adat dengan Syarak”.
Padang: Universitas Andalas, 1991.
12. Syaifullah SA.”Implementasi Kritis Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah di Tengah
Masyarakat Majemuk di Sumatera Barat (Tinjauan Sosial Budaya)”.
13.Makalah Seminar dan Lokakarya Agama dan Civil Society oleh PUSAKA Padang tanggal 21 Juni 2003.
14.Zaiyardam Zubir. “Sumpah Satie Bukit Marapalam: Tinjauan Terhadap Pengetahuan Sejarah
Masyarakat”, Makalah pada Seminar Sehari Sumpah Satie Bukit Marapalam dan Perpaduan Adat
dengan Agama di Minangkabau. Padang: Universitas Andalas, 31 Juli 1991.

Anda mungkin juga menyukai