Masuknya Islam ke rantau timur di masa itu tidak terlepas dari persaingan
perdagangan dan pengaruh kerajaan-kerajaan, seperti melemahnya
kekuasaan Sriwijaya, dan lahirnya kerajaan Islam Perlak dengan sultan
pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah yang menganut Islam (840 M).
1 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
Ketika itu, rantau Alam Minang sudah mulai didominasi pemeluk Islam,
walau Adityawarman masih memeluk Budha, tetapi dinastinya berkuasa
hingga 1581 M. Namun pernah tercatat 1411 M, raja-raja turunan
Adityawarman sudah memeluk Islam dan mereka berguru kepada Tuanku
Maulana Malik Ibrahim. Kekuasaan kerajaan hanya sebatas simbol kekuasaan
dan lambang persatuan.2
Pada masa itu telah terjadi penyesuaian antara Islam dengan adat
setempat, seperti adaik mananti, syarak mandaki. Namun kegiatan yang erat
dengan budaya Hindu-Budha masih akrab dalam masyarakat Minang kala
itu.3
2 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
Semasa itu, sudah terjadi juga persilangan paham antara penghulu dalam
hal setuju dan yang menentang ulama zuama, ulama cerdik pandai yang
pulang dari berguru dan melakukan pemurnian terhadap kebiasaan adat
yang salah menurut syarak. Lambat laun, kesepakatan damai tercipta antara
para Penghulu, Tuanku dan Alim Ulama Minang, untuk saling mengakui
kedudukan ulama dengan penghulu, sehingga ulama menjadi suluah
bendang dalam nagari, tidak menjadi bawahan dari Penghulu seperti
kedudukan panungkek, dan manti, dubalang.
3 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
Karenanya dapat disebut bahwa gerakan ini lahir tidak didorong oleh
keinginan perebutan kekuasaan kerajaan, atau gerakan balas dendam yang
menghabisi lawan-lawan yang tidak sesuai atau tidak disenangi sampai
musnah, akan tetapi lebih bertujuan kepada berkehendak lahirnya
perubahan tata pergaulan di dalam masyarakatnya yang beradat dengan
agama (syarak), atau melaksanakan ajaran syarak (agama Islam) di dalam
adat istiadatnya, di ranah Minangkabau.
4 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
Ada satu benang merah yang tampak jelas dipunyai para pejuang, bahwa
ulama cerdik pandai (cendekiawan) yang menjadi suluh benderang di negeri,
adalah kalangan kaum terpelajar muslim di zamannya, yang berpikiran maju
dan rasional, sesuai bimbingan agama Islam yang dianutnya, terang bertolak
belakang dengan anutan penjajahan masa itu.
Ulama zuama Gerakan Paderi ini memiliki perasaan dan semangat untuk
membebaskan kaumnya yang beradat dan beragama Islam dari belenggu
keterbelakangan dan jumud, sejak tiga abad sebelumnya. Keterkekangan
dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsa yang dicap inlander
di depan bangsa kolonialisme.
5 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
Sulit mencari bukti tertulis, kepastian waktu, tempat, siapa pelaku utama
peristiwa, dan pencetus ide piagam sumpah satie (sumpah sakti) Bukik
Marapalam, yang diyakini oleh masyarakat Minang telah disepakati oleh
para pemuka adat dan ulama, di puncak bukit Marapalam, semasa
perkembangan Islam di Minangkabau. Konsensus itu di dasari sifat egaliter
masyarakat Minang, yang yakin piagam itu berisi sumpah satie (janji setia)
antara kaum adat dan ulama, yang menyatakan “adaik basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah” (adat bersendi syari’at Islam, Islam bersendi
Kitabullah, yakni Al Quran).
Ada beberapa pendapat, tentang waktu terjadinya Sumpah Satie Bukik
Marapalam, di antaranya menyebutkan di masa awal gerakan Paderi (1803-
6 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
7 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
8 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
9 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
10 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang
penuh pergolakan sosial dan intelektual. Di awal pulangnya tiga ulama
Minangkabau selepas menuntut ilmu di Mekah, yang membawa modernisasi
Islam ajaran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani dari Mesir, yaitu
Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek (1860-1947) 5, M. Thaib
Umar (1874-1920), Abdullah Ahmad (1878-1933).6
Gerakan ini tidak hanya dimotivasi oleh gerakan pembaruan yang sudah
berkembang di Mesir dan beberapa Negara Arab, tapi juga oleh dorongan
rivalitas terhadap golongan berpendidikan Barat yang secara material dan
sosial terlihat lebih bergengsi. Tahapan kemajuan pemikiran di Ranah
Minang, dalam menerapkan syarak (agama Islam) di tengah kehidupan
masyarakat adat Minangkabau, pertanda tumbuhnya kemerdekaan berfikir di
kalangan para intelektual, ulama zuama seperti Hadji Agus Salim (1884-
1954), seiring muncul “liberal age”7, yang mengarus masuk ke Indonesia,
dan juga ke ranah Minangkabau.
Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan
pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam
yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu.
11 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
12 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
Kepala Nagari Ampek Angkek berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan
Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari,
saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang,
Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.
Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang
punya latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari
dua orang tuanku Laras dari Ampek dan Ampek Angkek. Ayah dan ibu Ahmad
Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari, karena sama-sama
memiliki kedudukan terpandang dalam adat, keluarga tuanku laras, generasi
pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
Sejak kecil Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah
yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung
halaman pergi ke Mekah, tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia
menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri
Mekah, Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi.
Sejak itu, Ahmad Khatib mulai mengajar di kediamannya, di Mekah, dan
tidak pernah kembali ke daerah asalnya. Ahmad Khatib, mencapai derajat
kedudukan tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab
Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia
tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad
Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir.
Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di
Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat
Naqsyabandiyah yang banyak dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah
itu terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan
syari’at Islam ditentangnya.
Pemahaman dan pendalaman Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy,
dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh,
diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-
kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah
Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di
Minangkabau, sehingga menjadi pergerakan yang ikut memelopori upaya
merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa
masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah termasuk kafir dan akan
masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut
hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus
13 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
15 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau
tulisan Jawi, dan tersebar di Nusantara, meliputi tanah Jawa, Betawi, Jakarta,
Cianjur, Semarang, Surabaya, Kalimantan, Pontianak dan Sambas, Sulawesi
(di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad meniru bentuk dan moto Al-
Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang bernama Al-Munir. Banyak
artikel Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir.
Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan
tahun 1927. Ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda
selama enam bulan, terkait artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman itu.
Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan
pemikiran Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, dengan basis ilmu
pengetahuan agama dan adat istiadat. Bahasan-bahasan dan suasana
pergulatan politik merebut kemerdekaaan, telah menyumbang pencarian
model yang sesuai dengan agama yang haq, dan menuntut sikap lebih
rasional dalam menumbuh semangat kemerdekaan dalam berbangsa dan
bernegara.
16 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
17 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam juga berarti
kemajuan, agama Islam tidak menghambat usaha mencari ilmu
pengetahuan, perkembangan kehidupan dunia, dan menghormati kedudukan
perempuan. Islam adalah agama universal, yang dasar ajarannya telah
diungkapkan oleh para nabi, yang diutus kepada semua bangsa (QS.
18 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
19 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
Agama Islam mengatur hal yang bersangkutan dengan dunia. Masalah ini
mengandung ciri ‘ubudiyah, bagian dari din Allah, sedangkan cara
mengamalkan bersifat duniawi. Umpamanya perintah memelihara anak
yatim, menghapuskan kemiskinan, menghormati orang tua, menjaga
kebersihan, yang pelaksanaannya sebagian besar terletak pada pilihan
individu.
20 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
21 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
Satu hal yang fenomenal, dia dan teman-temannya para pembaru, turut
menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam
Minangkabau di tahun 1939. Kemudian, tidak kalah penting dalam
perjalanan dakwah di masa pendudukan Jepang, Syekh Djambek mendirikan
Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.
22 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
Pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H), Inyik Djambek wafat,
meninggalkan pusaka besar, wirid tsulasa (setiap hari Selasa), yang tetap
hidup sampai sekarang. Beliau di makamkan di samping Suraunya di
Tengah Sawah, Bukittinggi, dalam usia 87 tahun. Beberapa hari kemudian,
yakni 26 Januari 1948 (14 Rabi’ul awal 1366 H), teman berdakwahnya, yakni
Inyik Syekh Daud Rasyidy, atau Inyik Daud, ayah Buya Datuk Palimo
Kayo, meninggal dunia pula di Surau Inyik Djambek ini, ketika mengimami
shalat maghrib, dan besoknya dikuburkan di samping makam Inyik Djambek,
dan sampai kini didapati makam kembar di samping surau Inyik Djambek ini.
Patah tumbuh hilang berganti. Sesudah para Syekh murid Ahmad Khatib
al Minangkabawy, pergi satu persatu meninggal dunia, tetap lahir generasi
pengganti, menyambung rajutan adat dan syarak di Minangkabau. Mereka
adalah anak-anak ulama besar tersebut. Di antaranya Buya H. Mansyur
Daud Datuk Palimo Kayo (anak Inyik Daud), Sa’aaduddin Djambek (anak
Inyik Djambek), H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka (anak Inyik
H. Rasul), Zainuddin Labbay el Yunusiy (murid dari Inyik Syekh Abbas Padang
Jopang), Fachruddin HS. Datuk Majo Indo (murid dari Inyik H. Agus Salim),
dan lainnya, mereka adalah seorang ulama dan juga ninik mamak, mata
rantai gerakan Paderi.
Beberapa Rangkuman
23 H. Mas’oed Abidin
Gerakan Paderi dan Mata Rantai Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam di Minangkabau
24 H. Mas’oed Abidin
1
Catatan Akhir
J.C. van Vanleur dalam bukunya Indonesian Trade & Socety (1955) menyatakan bahwa pada
permulaan tahun 674 AD Pantai Barat Sumatera telah dihuni koloni Arab, dan ketika itu
Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang telah menyebarkan agama Hindu ke Nusantara
dari abad ke-7 hingga ke-13 M.
2
Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984)
3
L.C. Westenenk dalam Opstellen over Minangkabau
4
. Misalnya karya Hamka (terbit pada pertengahan 1946) “Islam dan Adat Minangkabau”; karya
Ratno Lukito (1998) tentang Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia; sejumlah
karya C. Snouck Hurgronje; Taufik Abdullah; penelitian dan seminar yang didanai oleh
Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkat I Sumatera Barat bekerja sama dengan Fakultas Sastra
Universitas Andalas Padang tahun 1991.
5 Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 , anak dari Muhammad Saleh
Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi. Syekh Djamil Djambek
meninggal tahun 1947 di Bukittinggi.
6
Untuk mengetahui biografi menarik lebih lanjut tentang tokoh-tokoh ini, lihat Tamar Djaja,
Pustaka Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air. Bulan Bintang Jakarta, 1966.
7
Hourani, Albert (1983); Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939. Cambridge University
Press.
8
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980, hal.38
9 Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860. Terdapat perbedaan
pencatatan dalam Syekh Ahmad Khatib, ditulis Drs.Akhira Nazwar, Pustaka Panjimas, Jakarta,
Cet.I, Juli 1983, hal.53 disebut tahun 1983. Tetapi dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan Dua
Puluh Ulama Besar Sumatera Barat, Padang, Islamic Center Suimatera Barat, 1981,hal.55,
dicatata tanggal dan tahun kelahiran Inyik Djambek 13 Sya’ban 1279 H./1862 M Sebenarnya
yang tepat adalah 4 Januari 1863 M, tulis DrsEdwar dkk. Mengutip Ensiklopedi Islam Indonesia
(EII), Jakarta Djambatan, 2002, Cet.2 ed. Revisi, hal.520-521,Syekh Djamil Djambek lahir 1860,
dan meninggal 30 Desember 1947/18 Sfafar 1366 H, di Bukittinggi, dalam usia 87 tahun.
10
Haji Rasul lahir di Sungai Batang, Maninjau, tahun 1879, anak seorang ulama Syekh
Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Pada 1894, pergi ke Mekah, belajar selama 7 tahun.
Sekembali dari Mekah, diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo. Kemudian kembali bermukim di
Mekah sampai tahun 1906, memberi pelajaran di Mekah, di antara murid-muridnya termasuk
Ibrahim Musa dari Parabek, yang menjadi seorang pendukung terpenting dari pembaruan
pemikiran Islam di Minangkabau. Haji Rasul meninggal di jakarta 2 Juni 1945
11
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878, anak dari Haji Ahmad, seorang
ulama dan pedagang. Ibunya berasal dari Bengkulu, masih trah dari pengikut pejuang Sentot Ali
Basyah.
DAFTAR BACAAN DAN SUMBER INFORMASI
A. Navis. “Bukit Marapalam”. Padang: Universitas Andalas, 1991.
1. Andi Asoka. “Sumpah Satie Bukit Marapalam, Antara Mitos dan Realitas” (merupakan bab IV dari
laporan Penelitian “Sejarah Perpaduan Antara Adat dan Syarak di Sumatera Barat, kerjasama Fakultas
Sastra Unand dengan Pemda Tingkat I Sumatera Barat, 1991).
2. Andi Asoka, Zulqaiyim, Sabar. “Stratifikasi Sosial Minangkabau Pra Kolonial”. Padang: Pusat Penelitian
Universitas Andalas, 1991/1992.
3. Azwar Datuk Mangiang. “Piagam sumpah satie Bukik Marapalam”. Makalah Seminar. Arsip pribadi
tertanggal 16 Juli 1991.
4. Christine Dobbin. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah
1784-1847. Jakarta: INIS, 1992.
5. Damsar. “Implementasi Kritis Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah di Tengah Masyarakat
Majemuk di Sumatera Barat: Suatu Tinjauan Sosiologis”.
6. Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
7. H.B.M. Letter. “Proses Bersenyawanya Adat dan Syarak di Minangkabau”. Padang, Universitas
Andalas, 1991.
8. Mochtar Naim. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1984.
9. Muhammad Radjab. Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Padang: Center for Minangkabau Studies
Press, 1969.
10.Ratno Lukito. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS, 1998.
11. Syafnir Abu Nain. ”Sumpah Satie di Bukit Marapalam, Perpaduan Antara Adat dengan Syarak”.
Padang: Universitas Andalas, 1991.
12. Syaifullah SA.”Implementasi Kritis Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah di Tengah
Masyarakat Majemuk di Sumatera Barat (Tinjauan Sosial Budaya)”.
13.Makalah Seminar dan Lokakarya Agama dan Civil Society oleh PUSAKA Padang tanggal 21 Juni 2003.
14.Zaiyardam Zubir. “Sumpah Satie Bukit Marapalam: Tinjauan Terhadap Pengetahuan Sejarah
Masyarakat”, Makalah pada Seminar Sehari Sumpah Satie Bukit Marapalam dan Perpaduan Adat
dengan Agama di Minangkabau. Padang: Universitas Andalas, 31 Juli 1991.