Anda di halaman 1dari 4

Nama: Husnul Chotimah

NIM: 2210713005
Mata Kuliah: Sejarah Minangkabau abad 19-1945

RINGKASAN MATERI “MINANGKABAU PASCA PADERI”

Suku Minangkabau atau disingkat Minang (Jawi: ‫او‬44‫ )ميناڠكاب‬adalah suku bangsa yang
berasal dari nusantara yang mendiami Pulau Sumatera bagian tengah, Indonesia. Secara
geografis, sebaran suku Minangkabau meliputi seluruh benua Sumatera Barat, separuh benua
Riau, Bengkulu bagian utara, Jambi bagian barat, pantai barat Sumatera Utara, pantai barat daya
Aceh dan Negeri Sembilan. di Malaysia. Minangkabau mengacu pada entitas budaya dan
geografis yang ditandai dengan penggunaan bahasa, adat istiadat yang menganut sistem
kekerabatan matrilineal, dan identitas agama Islam. Minangkabau lebih mengacu pada
kebudayaan nasional suatu keluarga Melayu yang tumbuh dan berkembang melalui sistem
monarki dan menganut sistem adat istiadat yang bercirikan sistem kekeluargaan melalui sistem
garis keturunan perempuan atau ibu, meskipun kebudayaannya banyak diwarnai oleh ajaran
Islam. Masyarakat Minang bertahan sebagai penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu,
etnis ini telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya
kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat
Minangkabau tertuang dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat
bersendikan hukum, hukum bersendikan Alquran) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Perang Padri (juga dikenal sebagai Perang Minangkabau) adalah perang yang terjadi dari
tahun 1803 sampai 1837 di Sumatera Barat, Indonesia antara kaum Padri dan Adat. Kaum Padri
adalah umat muslim yang ingin menerapkan Syariat Islam di negeri Minangkabau di Sumatera
Barat. Sedangkan kaum Adat mencakup para bangsawan dan ketua-ketua adat di sana. Mereka
meminta tolong kepada Belanda, yang kemudian ikut campur pada tahun 1821 dan menolong
kaum Adat mengalahkan faksi Padri.
Perang Padri pada mulanya disebabkan adanya perbedaan prinsip mengenai ajaran agama
antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Pertentangan terjadi karena kaum Padri atau kelompok
ulama ingin mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang ada di masyarakat Kaum Adat. Bermula
dari kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji
Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna
dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004
(2005) karya Merle Calvin Ricklefs, Gerakan pembaruan Islam tersebut dikenal sebagai gerakan
Padri karena mereka telah menunaikan ibadah haji di Makkah. Diketahui kebiasaan Kaum Adat
dalam kesehariannya waktu itu dekat dengan judi, sabung ayam, minuman keras, tembakau, serta
penggunaan hukum matriarkat untuk pembagian warisan. Sebelum pertentangan ini terjadi,
sudah terjadi perundingan antara Kaum Padri dengan Kaum Adat yang tidak menemukan kata
sepakat. Sehingga meskipun Kaum Adat sudah pernah berkata akan meninggalkan kebiasaan-
kebiasaan tersebut, namun nyatanya mereka masih tetap menjalankannya. Hal tersebut yang
membuat Kaum Padri marah dan beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak.
Perang Padri kemudian meletus sebagai perang saudara dan melibatkan Suku Minang dan
Mandailing. Pada masa perang tersebut, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan
sementara kaum Adat dipimpin Sultan Arifin Muningsyah.
Perang Padri yang berlangsung selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821)
praktis memakan korban dari sesama Kaum Padri dan Kaum Adat yaitu orang Minangkabau dan
Batak Mandailing. Dampak yang langsung dirasakan setelah Perang Padri adalah jatuhnya
Kerajaan Pagaruyung atau wilayah Sumatera Barat ke tangan Kolonial Belanda. Selain itu,
Tuanku Imam Bonjol yang tak sudi untuk menyerah kepada Belanda harus ditangkap dan
dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Dalam pengasingan tersebut Tuanku Imam Bonjol sempat
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado dan meninggal dunia
pada tanggal 8 November 1864. Namun dampak Perang Padri bagi penduduk setempat pada
akhirnya adalah lahirnya persatuan para pemimpin tradisional dan agama.
Perang Padri merupakan momen perubahan ideologis baru Minangkabau. Pasca Perang
Padri ini, konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah resmi menjadi landasan hidup
Minangkabau. Prinsip ini dikuatkan dengan syarak mangato adat mamakai (syariat menyatakan
dan adat menerapkannya). Dalam realita sosial budaya masyarakat, prinsip ini menjadi landasan
yang langgeng hingga sekarang. Bentuk konkretnya terlihat pada struktur lembaga adat, yang
terdiri dari Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat. Secara fisik, masyarakat memiliki surau
sebagai rumah ibadah dan juga sebagai lembaga keagamaan yang berperan dalam seiring
sejalannya agama dan adat.
Adaptasi ideologi baru dalam lingkup yang lebih kecil di Nagari, setingkat desa,
dicatatkan oleh Christine Dobbin dalam “Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan
Paderi Minangkabau” (1784-1847). Bahwa setiap nagari memiliki kerapatan adat nagari, ketika
gerakan Padri mencuat, kadi dan imam menjadi bagian dari nagari dalam penerapan syariat
Islam. Kedua struktur ini memiliki peran sebagai dewan eksekutif keislaman dan tata laksana
ibadah masyarakat. Secara legal formal, setiap nagari memiliki struktur ini.
Batas sejarah kedua dari transformasi surau di Minangkabau terjadi pada saat kuku
kolonialisme sudah mencengkram di akhir abad ke-19. Seperti halnya dengan gerakan Padri
yang mengusung pembaharuan Islam melalui pemurnian agama, perubahan kedua ini juga
berangkat dari kritik terhadap praktik beragama. Pembaharuan ini dipelopori oleh Syaikh Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi yang kemudian sejarah mencatatnya sebagai pergerakan Kaum Muda
versus Kaum Tua di pantai barat Sumatera.
Pembeda yang menjadi ciri dari pembaharuan ini menurut Azyumardi Azra adalah cara
pandang pendidikan Islam terhadap kekinian zaman. Kaum Muda bersifat lebih progresif melihat
pendidikan di surau. Mereka memandang pengetahuan agama bukan cuma satu-satunya
pendidikan yang harus ditempuh oleh masyarakat Minangkabau. Selain itu, kaum Muda
melakukan pendekatan agama dengan nalar. Hal ini menjadi sumber permasalahan oleh Kaum
Tua yang di belakangnya adalah ulama-ulama yang memiliki jabatan struktural di lembaga adat.
Tonggak dari pertentangan ini adalah berdirinya lembaga pendidikan yang memadukan
pendidikan Islam dan pendidikan modern. Di samping itu, kebijakan politik Etis Belanda
mendorong munculnya sekolah-sekolah Belanda yang sekuler dengan corak sekuler.
Kemunculan sekolah ini dimanfaatkan oleh kaum Muda yang kemudian mengambil manfaatnya
dengan mendirikan madrasah-madrasah yang mengintegrasikan pendidikan agama Islam dan
pendidikan modern.
Maka kemudian kita mengenal madrasah-madrasah yang didirikan oleh Kaum Muda,
seperti Madrasah Diniyah yang didirikan Zainuddin Labai; Diniyah Putri yang didirikan adik
Zainuddin, Rahmah El-Yunusiyah; Surau Jembatan Besi berubah menjadi Madrasah Sumatera
Thawalib yang dimotori oleh Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul; serta sekolah modern
Adabiyah yang juga didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad. Dituliskan Buya Hamka dalam
‘Sedjarah Islam di Sumatera’, Haji Abdullah Ahmad pula yang menjadi penganjur berdirinya
Perkumpulan Guru-guru Agama Islam di Padang pada tahun 1921.
Bertransformasinya surau menjadi madrasah merupakan era baru, dimana
fundamentalisme agama beriringan dengan ilmu-ilmu modern dengan semangat pembaharuan.
Surau dan madrasah-madrasah ini juga menjadi sarana penyebaran ideologi kiri semisal
sosialisme dan komunisme untuk melawan kolonialisme. Meskipun begitu, ketika Islam dan
ideologi kiri menjadi napas perlawanan, di dalam internal umat Islam Minangkabau sendiri
menimbulkan polemik, karena keduanya memiliki landasan filosofis yang bertolak belakang.
Dalam sejarah pergerakan nasional, era ini adalah pertarungan melawan kolonialisme dan
pertarungan antar ideologi oleh sesama anak bangsa.

Anda mungkin juga menyukai