Anda di halaman 1dari 9

ISLAM MINANGKABAU DAN GERAKAN SOSIAL

KEAGAMAAN

Farhan Desna Adilah (2114090013)

Tadris IPS A

Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang

Jl. Prof. Dr. Mahmud Yunus, Lubuk Lintah, Padang

E-Mail: adilahfarhandesna@gmail.com

Abstract: Islam in Minangkabau is currently influenced by various socio-religious


movements that have occurred in the past. The socio-religious movements that took place in
Minangkabau Land were in the form of the purification movement, the movement for the old
and young, and the tarekat movement. From these various socio-religious movements, there
are many pros and cons in society, for example regarding the purification of Islamic
teachings in Minangkabau from local culture that is contrary to the Shari'a. In addition, the
tarekat movements in Minangkabau often experience differences, for example in terms of
remembrance and the determination of the beginning of Ramadan. The methodology used in
this study is the historical method. From this study, a conclusion can be drawn as to why and
what causes Islam in Minangkabau to become what it is today. In addition, the Minang
people still adhere to the legacy given by their predecessors, including the results of the
socio-religious movement in Minangkabau.

Keywords: Movement of Old and Young People, Islam, Youth People, Old People,
Minangkabau, Purification Movement, Tarekat.

Abstrak: Islam di Minangkabau saat ini dipengaruhi oleh berbagai gerakan sosial keagamaan
yang pernah terjadi di masa lalu. Adapun gerakan sosial keagamaan yang terjadi di Tanah
Minangkabau itu berupa gerakan pemurnian, gerakan kaum tua dan kaum muda, dan gerakan

1
tarekat. Dari berbagai gerakan sosial keagamaan tersebut, terjadi banyak pro dan kontra
dalam masyarakat, misalnya mengenai pemurnian ajaran Islam di Minangkabau dari budaya
lokal yang bertentangan dengan syariat. Selain itu, gerakan tarekat yang ada di Minangkabau
tidak jarang mengalami perbedaan, contohnya dalam hal zikir dan penetapan awal
Ramadhan. Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah. Dari kajian
ini dapat dihasilkan sebuah kesimpulan mengapa dan apa yang menjadi penyebab Islam di
Minangkabau itu bisa menjadi seperti saat ini. Ditambah lagi masyarakat Minang yang masih
memegang teguh warisan yang diberikan oleh pendahulunya, termasuk hasil dari gerakan
sosial keagamaan di Minangkabau.

Kata Kunci: Gerakan Kaum Tua dan Kaum Muda, Islam, Kaum Muda, Kaum Tua,
Minangkabau, Gerakan Pemurnian, Tarekat.

A. Pendahuluan

Agama Islam dan Minangkabau adalah dua istilah yang tidak bisa dipisahkan.
Orang Minangkabau sudah pasti beragama Islam. Sehingga dirasa perlu membahas
gerakan keagamaan yang pernah terjadi di tanah Minangkabau. Oleh karena itulah,
tidak heran muncul berbagai gerakan sosial yang bergerak di bidang keagamaan di
Ranah Minang.
Secara garis besar, gerakan sosio-keagamaan di Minangkabau terbagi atas gerakan
Kaum Tua dan Kaum Muda, gerakan pemurnian, dan gerakan tarekat. Berbagai
gerakan ini memiliki pola yang mirip seperti gerakan wahabi dan periode tajdid di
Timur Tengah yang juga pada periode ini sedang berlangsung. Seperti gerakan tajdid
yang diperjuangkan oleh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad
Iqbal, dan berbagai tokoh lain. Semua hal itu untuk menghilangkan kejumudan dan
sikap stagnan pada umat Islam ketika itu. Hal itu pulalah yang terjadi di Minangkabau
saat itu. Yaitu untuk menghilangkan kejumudan orang-orang Minang dari budaya
lokal yang bertentangan dan tidak sejalan dengan syariat.

B. Islam Minangkabau dan Gerakan Sosial Kegamaan

2
Pada abad ke-16 M Islam sudah masuk ke Minangkabau, setelah kejatuhan Malaka,
terjadilah proses sinkretisme yang berjalan cukup lama. Pada masa ini masyarakat
mengemban konsep hidup damai yaitu Adat basandi syara’, syara’ basandi adat
( Marwati Djoened P, Nugroho Notosusanto, 1993 : 168). Dengan beginilah mula-
mula Islam mengadakan penyesuaian dengan struktur dan landasan masyarakat
Minangkabau yang matrilineal, mengikuti garis keturunan ibu dalam sistem
kekerabatan dan hak waris. Di akhir abad ke-18 M situasi dalam masyarakat itu antara
lain ialah adanya kecenderungan yang makin menjadi-jadi pada kaum adat, seperti
perjudian, sabung ayam, minum-minuman keras dan madat. Kebiasaan seperti ini
bahkan mendapat dukungan dari golongan raja, para bangsawan, dan para penghulu
(Kuntowidjojo, 1973 : 89). Dengan demikian adat sudah meninggalkan syara’,
sehingga terjadi keprihatinan para ulama.
Tuanku Koto Tuo, seorang ulama yang sangat dihormati, mulai meletakkan dasar
pemurnian Islam dengan mengajak masyarakat kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan
Sunnah. Namun, pendekatan damai yang dilakukannya tidak bisa diterima oleh
muridnya yang lebih radikal. Perpecahan guru dan murid ini adalah awal
sesungguhnya dari “Gerakan Paderi”. Kelompok radikal ini mendapat kekuatan baru
pada tahun 1803 M., ketika tiga ulama ; Haji Miskin ( Pandai Sikat), Haji Sumanik
(dari VIII Kota) dan Haji Piobang (dari Lima Puluh Kota) pulang dari Mekkah.
Mereka pulang dengan membawa semangat Islam yang diilhami oleh Gerakan
Wahabi yang puritan. Tiga orang haji dan penyikutnya dikenal dengan kelompok
Padri. Mereka melancarkan gerakan pemurnian Islam dari segala hal yang
menodainya. Akan tetapi, gerakan mereka mendapat tantangan keras dari pihak
pembela adat dan penganut tarekat sehingga menimbulkan konflik dan peperangan.
Dalam pandangan Kaum Padri ini, umat Islam di Minangkabau baru sekedar
menganut Islam, tetapi belum benar-benar mengamalkan ajaran Islam yang hakiki.
Gerakan Padri itu sendiri ada yang mengelompokkan menjadi tiga periode. Periode
yang pertama yaitu 1809-1821. Pada periode ini adalah usaha pembaharuan dalam
bentuk pemurnian (pembersihan) oleh Kaum Padri terhadap penghulu adat dan
masyarakat yang menyimpang dari ajaran Islam. Pada periode ini terjadi konflik
utama antara Kaum Padri (ulama) dengan adat (penghulu). Periode kedua pada 1821-
1832. Periode ini adalah peperangan dan pertempuran antara Padri dengan Kolonial
Belanda yang dibantu oleh kaum adat. Periode ketiga pada 1832-1837. Sebagai

3
periode terakhir dari Padri, di sini konflik terjadi antara Padri yang berintegrasi
dengan kaum adat melawan Kolonial Belanda.
Karena Tuanku Koto Tuo menolak untuk menjadi pemimpin, maka mereka
meminta kesediaan Mensiangan, putra dari Tuanku Koto Tuo untuk bertindak
menjadi pemimpin. Pada mulanya gerakan kaum Padri dilakukan dengan jalan
nasehat-nasehat melalui ceramah agama yang diselenggarakan di surau atau masjid.
Konflik terbuka dengan kaum adat terjadi, ketika kaum adat mengadakan pesta
menyabung ayam di Kampung Batu Batabuh (Kuntowidjojo, 1973:106). Tindakan
pesta maksiat tersebut mengundang kemarahan kaum Paderi, sehingga Tuanku Koto
Tuo yang sudah tua dan tidak suka akan tindakan kekerasan pun ikut mengecam
tindakan dari kaum adat.
Peristiwa itu menandai dimulainya perang Paderi melawan kaum adat. Kedua belah
pihak memiliki seragam yang khas, yaitu kaum Paderi berpakaian putih-putih dan
kaum adat berpakaian hitam-hitam. Kaum putih menentang seluruh sistem adat yang
telah sejak lama menjadi bagian dari tradisi Minangkabau pra Islam. Mereka berusaha
menghapus dan mengganti kebiasaan-kebiasaan masyarakat tersebut dengan
kebiasaan islami. Hal itu mendapat pertentangan dari golongan adat yang ingin
mempertahankan tradisi turun-temurun itu. Dalam konflik antara kaum adat dan kaum
Paderi tidak semua penghulu dari kaum adat yang melawan dan memusuhi kaum
Paderi, bahkan cukup banyak penghulu yang berpihak kepada Paderi. Di samping itu,
penghulu di Lembah Alahan Panjang mengikuti jejak kaum Paderi. Di antara
penghulu tersebut berasal dari daerah Lubuk Ambacang, Jambak, Koto, Padang
Lawas, Pasir, Mandiri, Padang Sikaduduk, Chaniago, Marapak, dan lain sebagainya.
Penghulu yang berpengaruh di Alahan Panjang, Datuk Bandaro, merupakan
pemimpin Paderi di sana. Di daerah Tanah Datar dipimpin oleh Tuanku Pasaman,
yang kemudian bergelar Tuanku Lintau.
Di daerah Luhak Agam, para tuanku mengadakan persatuan dan kebulatan tekad
untuk memperjuangkan tegaknya syara’ dan membasmi kemaksiatan. Mereka terdiri
dari : Tuanku Nan Renceh, Tuanku Basa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur,
Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku
Kubu Sanang. Kedelapan ulama ini disebut dengan Harimau Nan Salapan (Taufik
Abdullah, 1991:155-156).
Di antara kedudukan kaum Paderi yang paling kuat adalah Bonjol. Di sini didirikan
benteng yang cukup besar; di dalamnya terdapat sebuah masjid, 40 rumah dan tiga

4
gubuk kecil. Ketika Datuk Bandaro meninggal karena terkena racun, ia digantikan
oleh Muhammad Syahab atau Pelo (Pendeto) Syarif yang kemudian dikenal dengan
Tuanku Imam Bonjol.
Selain itu, gerakan kaum tuan dan kaum muda juga memainkan peranan penting
dalam sosial keagamaan masyarakat Minang. Istilah kaum muda dan kaum tua
menjadi terminologi tak terpisahkan dari sejarah serta perkembangan Islam  modern
di Minangkabau. Sejak era tiga orang haji (Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang)
yang mengawali gerakan Paderi era 1800an, kemudian gerakan pembaharuan 1900,
terma dua arus masyarakat yang saling terpisah itu, tidak bisa lepas dari proses
perjalanan sejarah sosial suku ini. Detak dan warnanya pun masih terasa hingga saat
sekarang.

Pemisahan atau dikotomi itu sendiri sudah dimulai saat dua kelompok, kaum putih
(Islam) dan kaum hitam (adat) terbentuk melalui gerakan pemurnian yang dilancarkan
kelompok Paderi. Kondisi itu kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaharuan abad
20 yang menghadapkan antara Kaum muda yang diidentikkan sebagai kelompok
modernis melawan kaum tua yang tradisionalis.
Pengelompokan ini melahirkan pertentangan terus menerus, yang seolah tak
memiliki titik temu atau persamaan antara satu dengan yang lain. Paradigma yang
terlihat, memang seperti demikian adanya, karena tak ada wacana serta ide  atau jalan
tengah yang muncul serta mencoba menjembatani dua kutub tersebut.  
Sosok pemadu pemikiran dua aliran tersebut lahir pada 15 Agustus 1882 di desa
Air Mancur, Padang Panjang dan wafat pada 15 Juni 1963 di Bukittinggi, Sumatera
Barat. Ia tumbuh dan besar serta belajar langsung dengan Syekh Ahmad Khatib Al
Minangkabawi (1860-1916) selama 12 tahun, sebelum kemudian pulang ke Balai
Gurah, Bukittinggi pada 1904 saat berusia 19 tahun.
Secara umum kaum tuo boleh didefinisikan sebagai ulama-ulama tradisional yang
berpegang kepada tradisi konservatif atau mempertahankan yang lama. Sesuai dengan
pengertian konservatif, ulama-ulama ini sebagaimana
biasanya cuma melihat sejarah atau masa lampau sebagai sumber inspirasi atau
sesuatu yang harus dipertahankan. Di dalam banyak perkara, mereka lebih suka
mengekalkan status quo sesuatu amalan yang telah lama bertapak di dalam
masyarakat. Namun, menurut Martin Van Bruinessen, pada masa kolonial,

5
kekhawatiran Belanda cukup besar dengan segala bentuk kegiatan kaum tradisionalis,
khususnya mereka yang bergabung dalam kelompok tarekat.
Kaum Tuo atau dikenali sebagai 'Khalafi' yang berpegang secara umum kepada
mazhab Syafi’i berhasrat untuk memudahkan orang awam yang dirasakan
kebanyakannya kurang mampu untuk mengikuti kaedah tersebut, lalu mereka
mempopulerkan cara taqlid sebagai medium penyatuan dalam masyarakat dan juga
ibadah, selain menganugerahkan kemudahan buat masyarakat yang mayoritasnya
tidak mempunyai kemampuan untuk mengkaji secara mendalam hingga ke tahap dalil
bagi sesuatu ibadat.
Kriteria atau hakikat kaum tua di Minangkabau ini mengandung empat macam prinsip
utama. Sedangkan kriteria dari Kaum Muda mengandung tiga prinsip utama. Pertama,
pemurnian agama dari segala hal yang tidak berasal dari ajaran yang disampaikan
oleh Rasulullah. Kedua,pembaharuan dalam pemikiran dan pemahaman ajaran
agama-agama. Dan ini berarti keharusan Ijtihad dan menjauhi kejumudan. Ketiga,
modernisasi dalam bidang pendidikan, sosial dan politik.
Hakikat kaum tua yang Pertama, bahwa dalam bidang ‘aqidah, mereka adalah
penganut aliran Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipimpin oleh Abul Hasan al-Asy’ari
dan Abu Mansur al-Maturidi. Kedua, bahwa dalam syariah mereka menganut mazhab
Syafi’i semata-mata. Ketiga, bahwa mereka membenarkan dan merasa berkewajiban
untuk mempertahankan aliran-aliran tarekat yang mu’tabarah (sah dan boleh
diamalkan, menurut penilaian mereka). Keempat, bahwa mereka ingin tetap
mempertahankan tradisi, adat kebiasaan yang telah melekat dalam berbagai macam
amalan.
Pertentangan antara Kaum Tuo dan Kaum Mudo tidak lagi hanya terpaut dalam
masalah tarekat, tetapi merembes ke soal-soal praktik keagamaan lain yang umumnya
diamalkan oleh masyarakat Minangkabau. Debat dan polemik antara kedua kelompok
ini berlangsung dalam masa yang cukup panjang, melibatkan banyak tokoh,
menggunakan banyak dalil dan bahkan menghasilkan kepustakaan yang lumayan.
Terlepas dari berbagai aspek lain yang timbul dari akibat polemik tersebut,
masyarakat Minangkabau dapat memetik hikmahnya. Hikmah tersebut antara lain,
adalah berkembangnya kajian ilmiah keislaman, baik di kalangan muda maupun di
kalangan tua.
Lalu yang terakhir, yaitu gerakan tarekat. Tarekat di Minangkabau terbagi atas dua
tarekat besar, yaitu Tarekat Syattariyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Dua Tarekat ini

6
berkembang di tanah Minang melalui surau. Sehingga gerakan tarekat ini sangat erat
kaitannya dengan masyarakat Minang yang memang pada saat itu sudah beragama
Islam.
Tarekat Syattariyah di Sumatera Barat Pengembangan Islam oleh ulama di
Minangkabau secara umum menggunakan jalur tarekat, begitu oleh Syekh
Burhanuddin, sampai pada gurunya Syekh Abdur Rauf juga memakai pendekatan
tarekat sebagai media. Peran tarekat dalam penyebaran agama Islam di Minangkabau
tidak diragukan lagi. Pendekatan empati, rasional, dan menonjolkan nilai-nilai moral
serta melakukan adaptasi terhadap budaya. lokal menjadi sangat ampuh dalam
Islamisasi. Tasawuf yang berkembang di Nusantara, termasuk Minangkabau sudah
melembaga dalam tarekat. Diterimanya tarekat oleh masyarakat tidak bisa dilepaskan
dari aspek historis. Sebelum Islam datang, masyarakat sudah menganut kepercayaan
yang berkaitan dengan kebatinan.
Pengembangan Islam yang demikian pesat dan masuk jauh ke pedalaman
Minangkabau dapat terjadi melalui institusi surau, Surau dapat memainkan perannya
sebagai unsur kebudayaan asli suku Melayu dan berkaitan dengan keyakinan yang
dianutnya. Ajaran yang dikembangkan di surau pada masa awal, umumnya bercorak
tasawuf, dalam bentuk tarekat. Tarekat Syattariyah adalah tarekat yang dipelajari dan
diamalkan di surau-surau periode awal Islam di Minangkabau. Melalui pendekatan
ajaran tarekat Syattariyah, Syeikh Burhan al-Din menanamkan ajaran Islam kepada
masyarakat Ulakan. Bahkan sampai saat ini di Ulakan Pariaman tarekat Syattariyah
masih tetap eksis dan berpengaruh besar di Minangkabau.
Lalu selain itu, juga terdapat gerakan Tarekat Naqsabandiyah. Tarekat ini pertama
kali muncul pada abad 14 M di Turkistan Pencetusnya bernama Muhammad bin
Muhammad Baha'udin al-Bukhari, yang kemudian mendapatkan gelar Syah
Naqsyaband. Dia dilahirkan tahun 618 H dan meninggal tahun 719 H, atau hidup
antara 1317-1389 M. Tarekat ini mengutamakan pada pemahaman hakikat dan tasauf
yang mengandung unsur-unsur pemahaman rohani yang spesifik. Bermula di Bukhara
pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga
dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Ciri yang menonjol dari Tarekat
Naqsyabandiyah adalah diikutinya syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah
serta lebih mengutamakan berzikir dalam hati.
Di Indonesia, pengikut tarekat ini cukup banyak. Di Pulau Sumatera pun cukup
merata. Salah satu daerah yang banyak pengikut tarekat ini adalah Sumatera Barat.

7
Penyebaran tarekat ini dilakukan dengan menurunkan ilmu suluk dari guru besar
kepada murid-muridnya di surau.
Selain penetapan Ramadhan, tidak ada perbedaan dalam tata cara beribadah di
Tarekat Naqsabandiyah. Seluruhnya dilaksanakan seperti yang tercantum dalam Al-
Qur’an dan hadits.
Menurut Bruinessen, tarekat Naqsyabandiyah telah berkembang di Minangkabau
sejak tahun 1850 M (Bruinessen, 1992). Hal senada juga dijelaskan oleh Schricke,
bahwa Syekh Ismail al-Minangkabawi merupakan mursyid pertama yang
mengembangkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau pada tahun 1850 M
(Schrieke, 1973). Akan tetapi pendapat Bruinessen dan Schrieke ini terbantahkan
berdasarkan naskah ijazah tarekat Naqsyabandiyah bertahun 1334 H yang diberikan
oleh Syekh Abd al-Rahman, yang merupakan khalifah dari Syekh Ibrahim Kumpulan.
kepada Syekh Muhammad Syarif melalui jalur Syekh Ibrahim Kumpulan, dari Syekh
Abdullah Afandy, yang merupakan salah seorang khalifah dari Syekh Khalid al-
Kurdi.
Pendapat Bruinessen dan Schrieke sebelumnya hampir mirip dengan hasil
penelitian terbaru dari Hadi. Menurutnya, tarekat Naqsyabandiyah berkembang pada
awal abad ke-19 M melalui kawasan Pantai Timur Sumatera Barat atas jasa Syekh
Ismail al-Minangkabawi. Pendapat Hadi bersandarkan pada naskah kitab al-Manhal
al-Adhb i Dzikr al-Qalb yang menurutnya ditulis oleh Syekh Ismail al Minangkabawi
di Riau pada tahun 1829 M. Berdasarkan temuan ini, Hadi menyimpulkan bahwa
Syekh Ismail al-Minangkabawi telah berada di Riau dan mengembangkan ajaran
tarekat Naqsyabandiyah sejak tahun 1829 M.

C. Simpulan

Dalam Islam Minangkabau, muncul berbagai jenis gerakan sosial keagamaan dalam
masyarakatnya. Semua gerakan itu muncul dari berbagai persoalan yang
melatarbelakangi semua itu. Beberapa di antara gerakan keagamaan itu ada yang
mendapat pertentangan antara satu sama lainnya. Tetapi semua itu tidak bermaksud:
menimbulkan perpecahan. Yang walaupun pada awalnya konflik memang terjadi.
Tetapi kemudian masyarakat menjadi bersatu padu dalam membesarkan nama Islam
dalam Minangkabau.

8
Semua gerakan sosial keagamaan yang sudah pernah terjadi di masa silam masih
bisa kita rasakan dampaknya hingga saat ini. Hal itu karena masyarakat Minang
menganggap Islam adalah agama mereka. Sehingga gerakan purifikasi, gerakan kaum
tua dan muda. dan tarekat yang dimulai di masa lalu masih lestari hingga kini. Hal itu
dikarenakan semua itu didasarkan pada satu dasar yang sama, yaitu Islam sebagai
agama di Ranah Minang.

Daftar Pustaka

Daya, Burhanuddin. 1995. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera

Thawalid (Cet.Ke-2), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

HB, Zulfahmi dan Rusli. 2022. Islam dan Budaya Minangkabau. Padang, UIN IB Press.

Istadiyantha. 2006. Fungsi Tarekat Syattariyah. Suatu Telaah Filologis. Solo. Dalam

http://listayn.files.wordpress.com/2007/12/pibsi-2006.doc diakses tanggal 9 Maret 2022.

Lathief, Sanusi. 1988. Gerakan Kaum Tua di Minangkabau. Disertasi, Jakarta: Fakultas

Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah.

Nova, Yosi 2021. Penengah Kaum Muda dan Tua di Minangkabau. Media Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai