Anda di halaman 1dari 3

Kabupaten Bulukumba

Mengenal Kabupaten Bulukumba (4-bersambung):


"Mali Siparappe, Tallang Sipahua" Makam Dato Tiro di Bulukumba. Dato Tiro adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat ulukumba kepada Abdul Jawad atau Nurdin Ariyani atau Al Maulana Khatib Bungsu adalah pembawa agama Islam di Sulsel. (foto: asnawin)

Masyarakat Bulukumba tergolong masyarakat religius. Ketika agama Islam dibawa dan diperkenalkan oleh seseorang yang bernama Abdul Jawad dan bergelar Al Maulana Khatib Bungsu, beberapa abad silam, masyarakat Bulukumba dapat menerimanya dengan tangan terbuka. Abdul Jawad (versi lain menyebut nama aslinya adalah Nurdin Ariyani) atau Al Maulana Khatib Bungsu datang ke Sulawesi Selatan bersama dua orang sahabatnya yaitu: Khatib Makmur yang lebih dikenal dengan nama Dato ri Bandang, dan Khatib Sulaiman yang lebih dikenal dengan Dato Patimang. Mereka bertiga adalah murid atau santri dari Pesantren Sunan Giri. Sunan Giri adalah nama salah seorang walisongo (wali sembilan yang merupakan penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17) dan pendiri kerajaan Guru Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin, dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kebomas, Gresik. Pada tahun 1600-an Masehi, Abdul Jawad menyiarkan agama Islam di Tiro (Bulukumba) dan sekitarnya. Adapun raja yang pertama diislamkan dalam kerajaan Tiro adalah Launru Daeng Biasa yang bergelar Karaeng Ambibia. Launru Daeng Biasa adalah cucu ke empat dari Karaeng Samparaja Daeng Malaja yang bergelar Karaeng Sapo Batu yang merupakan raja pertama di Tiro. Makam Abdul Jawad di Hila-hila, Kecamatan Bontotiro yang kemudian lebih dikenal dengan nama Dato Tiro hingga kini masih terjaga dengan baik dan selalu banyak pengunjungnya.

Agama Islam kemudian berkembang dengan baik di Bulukumba yang ditandai dengan banyaknya pesantren dan masjid yang dibangun di daerah tersebut. Bulukumba bahkan sempat menjadi bahan pembicaraan secara nasional setelah ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan syariat Islam di era pemerintahan Bupati Andi Patabai Pabokori (1995-2005). Sejarah panjang, kebudayaan, dan keagamaan yang berkembang dengan baik di Bulukumba telah memberikan nuansa moralitas dalam sistem pemerintahan yang pada tatanan tertentu menjadi etika bagi struktur kehidupan masyarakat melalui satu prinsip "Mali siparappe, Tallang sipahua." Mali artinya terbawa arus air, siparappe artinya saling menolong agar tidak terbawa arus air, tallang artinya tenggelam, sedangkan sipahua artinya saling menolong saat tenggelam). Ungkapan yang mencerminkan perpaduan dari dua dialek bahasa Bugis Makassar tersebut, merupakan gambaran sikap batin masyarakat Bulukumba untuk mengemban amanat persatuan di dalam mewujudkan keselamatan bersama, demi terciptanya tujuan pembangunan lahir dan batin, material dan spiritual, serta dunia dan akhirat. Nuansa moralitas ini pula yang mendasari lahirnya slogan pembangunan "Bulukumba Berlayar" yang mulai disosialisasikan pada bulan September 1994 dan disepakati penggunaannya pada tahun 1996. Konsepsi "Berlayar" sebagai moral pembangunan lahir batin mengandung filosofi yang cukup dalam, serta memiliki kaitan kesejarahan, kebudayaan, dan keagamaan dengan masyarakat Bulukumba. "Berlayar" adalah singkatan dari "Bersih Lingkungan Alam Yang Ramah". Filosofi yang terkandung dalam slogan tersebut dilihat dari tiga sisi pijakan, yakni pijakan sejarah, pijakan kebudayaan, dan pijakan keagamaan. Pijakan Sejarah (historis) Bulukumba lahir dari suatu proses perjuangan panjang yang mengorbankan harta, darah dan nyawa. Perlawanan rakyat Bulukumba terhadap kolonial Belanda dan Jepang menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, diawali dengan terbentuknya barisan "merah putih" dan "laskar brigade pemberontakan Bulukumba angkatan rakyat." Organisasi yang terkenal dalam sejarah perjuangan ini, melahirkan pejuang yang berani mati menerjang gelombang dan badai untuk merebut citacita kemerdekaan sebagai wujud tuntutan hak asasi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara. Tidak sedikit rakyat dan pejuang di Bulukumba yang mati dalam proses perjuangan merebut dan memertahankan kemerdekaan Indonesia. Salah seorang pemimpin pejuang tersebut adalah Andi Sultan Daeng Radja yang kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Haji Andi Sultan Daeng Radja lahir di Matekko, Gantarang pada 20 Mei 1894. Beliau adalah putra pertama pasangan Passari Petta Lanra Karaeng Gantarang dan Andi Ninong. Semasa muda, Sultan Daeng Radja dikenal taat beribadah dan aktif dalam kegiatan Muhammadiyah. Beliau merupakan pendiri Masjid di Ponre yang pada jamannya konon merupakan masjid terbesar di Sulawesi Selatan. Kebudayaan (culture) Dari sisi budaya, Bulukumba telah tampil menjadi sebuah "legenda modern", dalam kancah percaturan kebudayaan nasional. Bahkan melalui industri budaya dalam bentuk perahu, baik itu perahu jenis phinisi, padewakkang, lambo, pajala, maupun jenis lepalepa, telah berhasil mencuatkan nama Bulukumba di dunia internasional. Kata layar memiliki pemahaman terhadap adanya subjek yang bernama perahu sebagai suatu refleksi kreativitas masyarakat Bulukumba. Keagamaan (religius) Masyarakat Bulukumba telah bersentuhan dengan ajaran agama Islam sejak awal abad ke 17 Masehi, yang diperkirakan tahun 1605 M. Ajaran agama Islam ini dibawa oleh 3 (tiga) ulama besar (waliyullah) dari pulau Sumatera yang masingmasing bergelar Dato Tiro (Bulukumba), Dato Ribandang (Makassar), dan Dato Patimang (Luwu). Ajaran agama Islam yang berintikan tasawwuf ini menumbuhkan kesadaran religius bagi penganutnya dan menggerakkan sikap keyakinan mereka untuk berlaku dzuhud, suci lahir batin, serta selamat dunia dan akhirat, dalam kerangka tauhid "Appasewang" (meng-Esa-kan Allah SWT).

Anda mungkin juga menyukai