PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Munculnya gerakan Modernisme Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 dipengaruhi oleh
berbagai variabel penting yang melatar belakanginya. Menurut Steenbrink, setidaknya terdapat empat
faktor penting yang mendorong ”perubahan dan pembaharuan Islam di Indonesia” pada saat itu.
Pertama, adanya tekanan kuat untuk kembali kepada ajaran Al-quran dan Hadist, yang keduanya
dijadikan sebagai landasan berfikir untuk menilai pola keagamaan dan tradisi yang berkembang di
masyarakat. Tema sentral dari kecenderungan ini adalah menolak setiap pengaruh budaya lokal yang
dianggap mengontaminasi kemurnian ajaran Islam. Sehingga upaya kembali pada ajaran Al-Qur`an
dan Hadist dipilih sebagai jawaban solutif atas problem keberagaman yang meluas di masyarakat.
Kedua, kuatnya semangat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Gerakan perlawanan ini banyak
direalisasikan oleh kelompok nasionalis yang terus berusaha menentang kebijakan penjajah belanda,
tetapi mereka juga enggan menerima gerakan Pan-Islamisme. Ketiga, kuatnya motivasi dari komunitas
muslim untuk mendirikan organisasi di bidang sosial –ekonomi yang diharapkan bermanfaat demi
kepentingan mereka sendiri, maupun kepentingan publik. Keempat, gencarnya upaya memperbaiki
pendidikan Islam.
Masyarakat Indonesia dewsa ini merupakan masyarakat peralihan yang mengalami transformasi
sosial, politik ekonomi dan budaya yang cepat serta memperoleh pengaruh dari dunia luar secara
intens, industrialisasi, urbanisasi, sekulerisasi, polarisasi masyarakat Indonesia yang cendrung menjadi
berbagai kelas merupakan proses yang terus berjalan dengan segala macam implikasinya. Dalam
konteks perubahan atau pembaharuan inilah organisasi islam yang berkembang dalam bidang agama
dan politik yang banyak di bahas di kalangan masayarakat luas, dan juga di makalah ini terdapat empat
organisasi islam yang berkembang di Indonesia yang berkenaan dengan masalah keagamaan dan
politik dari prasejarah hinga hingga pembaharuan keislamannya.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHARUAN DI INDONESIA; KAUM PADRI, KAUM AL-IRSYAD DAN JAMI`ATUL
KHAIR, MUHMMADIYAH, PERSIS, NU & MASYUMI
A. Kaum Paderi
Paderi adalah sebuah nama di daerah Padang. Yang mana didaerah inilah awal mulanya
diterapkannya gerakan puritanisme di Indonesia. Gerakan puritanisme adalah sebuah gerakan
pemurnian ajaran Islam yang telah terpengaruh atau telah tercemari oleh ajaran-ajaran yang datang
dari luar Islam. Gerakan ini pertama kali di plopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, di Nejd.
Berkat bantuan penguasa keluarga su`ud faham ini berkembang pesat di wilayah Jazirah Arabia,
bahkan sempat menggoyahkan pemerintah kerajaan Turki Usmani.
Gerakan Puritanisme ini dibawa masuk ke wilayah Indonesia oleh tiga orang kaum muda paderi
yang baru pulang kembali dari tanah suci selepas melaksanakan ibadah haji, mereka itu adalah Haji
Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang pada tahun 1803 Masehi.
Mereka kemudian membentuk kelompok yang terkenal dengan kelompok Harimau Nan Salapan
atau kaum muda Paderi mereka mengadakan penentangan terhadap praktek kehidupan beragama
masyarakat Minang Kabau, yang telah terpengaruh oleh unsur-unsur tahayul, bid’ah, dan kurafat.
Masyarakatnya sudah menyimpang jauh dari tradisi keagamaan yang telah ada. Perjudian,
penyabungan ayam, dan sebagainya adalah contoh dari sebagian kecil perbuatan mereka yang waktu
telah merupakan perbuatan atau suatu hal yang biasa.oleh karena itu, kedatangan tiga orang Haji ini,
yang kemudian bersekutu dengan tuanku Nan Renceh dan tuanku Imam Bonjol, melakukan gerakan
kemurnian ajaran Islam. Karena aktifitas mereka dianggap cukup membahayakan keberadaan kaum
tua atau kaum adat paderi, maka kaum tua meminta bantuan Belanda pada tahun 1821-1937 M
terjadilah perang paderi. Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu kaum Ulama mengalami
kekalahan Ulama dalam perang paderi dalam menghadapi Belanda, bukanlah membuat patah semangat
para tokoh pejuang pembaharu itu, tetapi gerakannya semakin hebat. Gerakan pembaharuan itu tidak
lagi bersifat politik agama, tetapi dialihkan kedalam gerakan pembaharuan pendidikan.
Perang paderi dianggap sebagai pembaharuan Islam di karena tujuan dari perang paderi adalah
memiliki kekuasaan yang kuat dan dengan memiliki kekuatan atas kekuasaan kaum ulama dapat
menguatakan ajaran Islam yang telah banyak ditinggalkan. Kondisi pada saat itu daerah Minangkabau
jauh dari apa yang Islam ajarkan dan syariatkan oleh agama Islam .
Para Ulama giat mengadakan ceramah-ceramah, pengajian, mendirikan madrasah dan Pondok
Pesantern yang diberi nama Sumatera Thawalib. Pengaruh gerakan ini lalu meluas keseluruh tanah air
yang diikuti dengan bermunculannya berbagai organisasi Islam pada zaman pergerakan nasional di
Indonesia pada abad ke-20 Masehi.
B. Al-Irsyad
Jika ditelusuri awal mulanya, munculnya Al-Irsyad dilatarbelakangi oleh terjadinya pertentangan
dalam Jami’at Al-Khair, terkait persoalan konsep kafa’ah dalam pernikahan. Yakni, apakah mereka
yang memiliki gelar sayyid boleh menikah dengan rakyat biasa atau tidak? Bagi masyarakat arab
modernis, perkawinan semacam itu sah, akan tetapi menurut kaum tradisionalis, pernikahan itu
dianggap tidak sah, karena salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya kafa’ah antara kedua
mempelai. Kalau syarat kafa’ah ini tidak terpenuhi maka perkawinan dianggap batal atau tidak sah.
Semula, perdebatan kafa’ah ini muncul pertama kali ketika Ahmad Surkati berkunjung ke Solo,
tepatnya dalam suatu pertemuan di kediaman Al-Hamid dari keluarga Al-Azami. Pada saat menjamu
Surkati ini terjadi pembicaraan tentang nasib seorang syarifah, yang karena tekanan ekonomi terpaksa
hidup bersama seorang China di Solo. Surkati menyarankan agar dicarikan dana secukupnya untuk
memisahkan kedua orang yang tengah kumpul kebo itu. Pilihan lain yang diajukan Surkati adalah
hendaknya dicarikan seorang muslim yang ikhlas menikahi secara sah si Syarifah tersebut, agar ia bisa
terlepas dari gelimang dosa.
Salah seorang yang hadir, Umar bin Said Sungkar bertanya pada Surkati: ”apakah yang demikian
itu diperbolehkan menurut hukum ajaran agama Islam, sementara ada hukum yang mengharamkan
karena tidak memenuhi syarat kafa’ah, meskipun syarat-syarat lainnya sudah terpenuhi”.
Setelah Surkati mengeluarkan fatwa tentang sahnya pernikahan yang tidak sekutu tersebut, kemudian
terjadi pertentangan yang terkenal dengan ”Fatwa Solo”. Fatwa tersebut telah ”Mengguncang”
masyarakat Arab golongan Alawi. Fatwa ini dianggap sebagai penghinaan besar terhadap kelompok
mereka. Mereka menuntut kepada Surkati agar bersedia mencabut fatwanya, namun Surkati tetap
mempertahankan fatwanya dan berusaha menghormati pendapat publik baik yang setuju maupun yang
menolak.
Akibat telah mengeluarkan fatwa, pada tahun 1914 Ahmad Surkati dikeluarkan dari Jami’atul Al-
Khair. Setelah dikeluarkan dari jami’atul Al-Khair dengan dibantu oleh Sayyid Saleh bin Ubaid
Abdatu dan Sayyid Said Masya’bi untuk mendirikan madrasah Al-Irsyah Al-Islamiyah yang
diresmikan pada tanggal 15 Syawal 1332 H. Bertepatan dengan 6 September 1914 dengan dia sendiri
sebagai pimpinannya.
Tidak lama setelah Surkati dikeluarkan dari Jami’atu Al-Khair, keluar pula para guru yang
berasal dari Makkah, baik yang datang bersama Surkati maupun yang datang atas jasa Surkati.
Sebagian mereka kembali ke Makkah dan sebagian tetap tinggal di Indonesia dan bergabung dengan
Al-Irsyad sampai akhir hayat mereka di Indonesia. Di antara mereka adalah: Abul Fadhel Muhammad
Khair Al-Anshori yang tidak lain adalah saudara kandung Surkati, Syaikh Muhammad Nur
Muhammad Khair Al-Anshori, dan lain sebagainya.
Izin untuk pembukaan dan pengelolaan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah berada ditangan dan
atas nama Surkati. Berdasarkan ordonasi guru 1905 yang mengatur pendidikan Islam, beban tanggung
jawab Surkati akan ringan apabila Madrasah tersebut dinaungi oleh satu organisasi yang teratur dan
memiliki status badan hukum. Maka disiapkanlah berdirinya Jami’iyyah Al-ishlah wa Al-irsyad Al-
Arabiyyah, yang beberapa tahun kemudian diganti dengan nama Jami’iyyah Al-Ishlah wal Irsyad Al-
Islamiyyah.
Permohonan pengesahan diajukan kepada Gubernur Jendral AWF. I den Burg, sementara
pengurusan Madrasah dilaksanakan oleh suatu badan yang diberi nama: Hai’ah Madaris Jami’iyyah
Al-Irsyad yang diketuai oleh Sayyid Abdullah bin Abu Bakar Al-Habsyi. Meskipun pengesahan dari
Gubernur Jendral belum keluar, Syaikh Umar Yusuf Manggus telah berhasil menyewa gedung bekas
hotel ORT yang tidak berfungsi lagi di Molenulist West, Jakarta, guna memenuhi kebutuhan yang
agak mendesak karena perhatian dan peminat yang luar biasa.
Penghimpunan Al-Irsyad (sebagai lembaga yang memiliki hukum) akhirnya memperoleh
pengakuan dari Gubernur Jendral pada tanggal 11 Agustus 1915. Dengan keputusan no 47, yang
disiarkan dalam Javache Courant nomor 67 tanggal 20 Agustus 1915. Sejak itu Al-Irsyad, meminjam
ungkapan Badjerei; ”meluncur laksana meteor; enerjik dan penuh vitalitas; kian hari kian besar dan
meningglkan jami’at Al-Khoir jauh dibelakangnya.
Dalam perjalanannya, Al-Irsyad terlihat sering menjalin kerjasama dengan organisasi Modernis
Islam lainnya, seperti Muhammadiyyah dan Persis sebagaimana diungkapkan oleh Badjerei berikut ini:
”Dengan lahirnya persatuan Islam di Bandung, pada tahun 1923, kemudian dengan munculnya
Fachruddin pada pimpinan Muhammadiyyah kegiatan dakwah menjadi kian semarak dakwah
Muhammadiyyah dan Persis diucapkan pula diucapkan diisi oleh tenaga-tenaga dari Al-Irsyad,
khusnya dari kelompok izh harAl-Haq ini, ketika Ali Harahah berangkat ke Hejaz dan bermukim
kesana, sekitar satu tahun delapan bulam dan baru kembali ke Jakarta bulan juni 1929, kegiatan Izhar
Al-haq ikut berhenti. Meskipun demikian Muhammadiyyah persatuan Islam dan Al-Irsyad merupakan
”tiga serangkai” yang tak terpisahkan sehingga saat ini”.
Kerjasama antara Al-Irsyad dengan organisasi Modernis Islam lainnya terus Berlanjut pada
kongres Al-Islam ke-1 di Cirebon pada tahun 1922, kongres Al-Islam ke-2 tahun 1923 di Garud,
kongres ke-3 di Surabaya tahun 1924, kongres Al-Islam ke-4 di Yogyakarta tahun 1925, kongres Al-
Islam ke-5 di Bandung tahun 1926(Hussein Banjerei, 1996:114). Al-Irsyad juga menjalin kerjasama
dengan gerakan-gerakan Islam lain dalam majelis Islam A’la Indonesia MIAL.
Menurut Hussein Badjerei, salah seorang tokoh pemikir dari Al-Irsyad, organisasi Al-Irsyad didirikan
bukan untuk melawana atau menandingi Jami’at Al-Khoir. Al-Irsyad lahir bukan karena desakan
kebencian kepada segolongan masyarakat Arab yang saat itu di sebut Alawiyyin. Semasa Surkati
masih hidup, Al-Irsyad tidak melulu mengurusi dan berdakwah kepada masyarakat Arab Hadrami;
tidak melulu mengurusi perantau dari Hadramaut. Risalahnya cukup luas, surkati tidak mululu
mengurusi persoalan pembaharuan dikalangan masyarakat Arab hadrawi.
Perhimpunan Al-Irsyad juga tidak dibangun dari asas kekesalah kemarahan, para pemimpinnya
bukanlah diktator. Karena itulah Al-Irsyad bisa hidup terus sepanjang waktu, meski parapemimpinnya
wafat dan silih berganti, sebagai kelompok organisasi Islam tertua yang telah meneliti sejarah di
berbagai jama’ah, dari zaman penjajahan Belanda sampai sekarang ini.
Masa formatif Al-Irsyad diawali sejak kelahirannya. Akte pendirian dan anggaran dasar Al-
Irsyad disahkan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan nomor 47, tertanggal 11agustus 1915,
dan disiarkan dalam surat kabar Javasche Courant Nomor 67, tertanggal 20 Agustus 1915. Keputusan
ini kemudian menjadi izin resmi kelahiran organisasi ini, yaitu 19 Agustus 1915, dalam keputusan ini
pula tercatat pengurus pertamanya, yaitu: Salim bin Awad Balweel sebagai ketua, Muhammad Ubaid
Abud sebagai sekretaris, Said bin Salim Masya’bi sebagai bendahara, dan saleh bin Obeid bin Abdat
sebagai penasehat.
Setelah peristiwa dikeluarkannya beslit dari Gubernur Jendral pada hari selasa tanggal 19 syawal
1333/31 Agustus 1915,maka diadakan rapat umum anggota.dalam rapat itu diputuskan susunan
pengurus untuk kepentingan intern,yaitu;salim bin awad bal weel sebagai ketua, saleh bin obeid bin
abdat sebagai wakil ketua,Muhammad Ubait Abut sebagai sekretaris,Said bin Salim Masy’abi sebagai
bendahara.
Untuk lebih mendinamisasikan gerak dan langkah organisasi serta berperan aktif dalam
pemberdayaan masyarakat,dalam kepengurusannya Al-Irsyad membentuk majelis-majelis yang
mempunyai fungsi yang berbeda-beda,antara lain;1. majelis pendidikan dan pengajaran;2,majelis
dakwah;3,majelis sosial dan ekonomi ;4,Majelis wakaf dan yayasan;5 majelis wanita dan
putri:6.majelis pemuda dan pelajar :7,majelis organisasi dan kelembagaan ;8,Majelis hubungan luar
negri.
Patut garis bawahi bahwa dalam penyebaran gagasan atau pemikirannya,Al- Irsyad lebih
memfokuskan pada upaya perbaikan dan pelayanan pendidikan. Ini biasa dilihat dari pembukaan
sekolah Al-Isyad yang didukung oleh pemuka-pemuka arab.Terutama Syaikh Umar Manggus,yang
saat itu menjabat sebagai kapten arab.Tokoh ini yang memberi saran agar didirikan suatu perkumpulan
untuk menunjang sekolah yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Surkati tersebut. Atas dukungan
itu,berdirilah sekolah”Jam’iyyah Al Ishlah Wa Al Irsyad Al Islamiyyah”.Agar kehadirannya tidak
terkesan hanya diperuntukkan bagi orang arab,maka beberapa waktu kemudian namanya di ubah
menjadi ”Jam’iyyah Al- Irsyad Al-Islamiyyah”.Yang selanjutnya dikenal dengan nama Al- Irsyad,Al-
irsyad beranggotakan semua orang Islam yang berumur 18 tahun atau yang telah beristri dan tingggal
diwilayah Indonesia.
Periode perkembangan Al- Irsyad ditandai dengan pembukaan cabang-cabang Al -Irsyad dengan
prioritas pertama pulau Jawa.Pada tanggal 29 Agustus 1917 Al- Irsyad membuka cabang yang pertama
di Tegal,dengan diketahui oleh Ahmad Ali Bais.Pada tanggal 20 November 1917 di resmikan pula
keputusan untuk pembukaan cabang Al -Irsyad kedua,yaitu di Pekalongan dengan ketua pertama
kalinya Said Bin Salaim Sahaq,cabang Al Irsyad ketiga dibuka di Bumiayu pada tanggal 14 Oktober
1918,dengan ketuanya yang pertama adalah Husein Bin Muhammad Al Yazidi pada tanggal 31
Oktober 1918 Al Irsyad membuka cabang ke empat di cerebon,dengan ketua pertamanya Ali Awad
Baharmuz.Tanggal 21 Januari 1919,dibuka cabang ke lima disurabaya. pembukaan cabang di Surabaya
ini di nilai sebagai peristiwa amat penting dalam sejarah Al- Irsyad,karena kedudukan Surabaya waktu
ini sebagai pusat kegiatan pergerakan Islam dan tempat berdomisilinya para pemuka masyarakat
muslim pada waktu itu.Cabang ini pertama kalinya di ketuain Oleh Muhammad bin Rayis bin Thaib
Pada periode berikutnya, setelah pulau jawa, Al irsyad semakin melebarkan saya at punya keluar
jawa.Dari tahun 1927 sampai dengan tahun 1931 telah tercatat berdirinya cabang-cabang Al irsyad di
lhokseumawhe Aceh , Menggala Lampung,Sungeiliat Bangka ,labuan haji dan talewang Nusa
Tenggara Barat, Pemekasan, Probolinggo, Krian, Jombang, Bangil, Sepanjang, Semarang, Comal,
Pemalang, Prowokerto, Indramayu, Cibadak, Sindang laya, dan Solo.sampai tahun 1970-an, cabang
Al-Irsyad telah tersebar diseluruh propinsi Sulawesi Utara dan sekarang, hampir disetiap propinsi di
Indonesian telah berdiri cabang Al-Irsyad.
Di masing-masing cabanh tersebut, didirikan pusat pendidikan bagi warga Al-Irsyad khususnya,
dan masyarakat. Luas pada umumnya.oleh pendirinya,Ahmad Surkati pendidikan formal dipilih
sebagai wahana yang tepat untuk menyemaikan dan mengembangkan gagasan-gagasan Al-Irsyad
seban agaimana telah dicanangkan dalam Mabadi Al-Irsyad.
Konsistensi dan fokus gerakan terhadap bidang pendidikan formal tampaknya tetap mampu
dipertahankan hingga saat ini kiprah al irsyad lebih banyak di fokuskan kepada pengembangan
pendidiksn fornal, yang di harapkan mampu membentuk generasi irsyadi. Jika diklasifikasikan, maka
akan terlihat perbedaan perkembangan pendidikan al irsyad dari setiap periode,periode 1914sampai
dengan1942 menunjukan adanya perkembangan yang cukup pesat,namun pada periode 1942-1961
terjadi kemunduran .baruhlah pada periode1961-1982,pendidikan Al-Irsyad mengalami kebangkitan
kembalidengan di tandai pedirian sekolah-sekolah Al- Irsyad di berapah daerah ditanah air
.perkembangan yang cepat terjadi pada periode 1982-1997.pada periode ini Al- Irsyad masih dan
berhasil mendirikan lembaga pendidika berupa pesantren dan perguruan tinggi
Terdapat keunikan dari pengembangan pendidikan Al-Irsyad,yaitu dengan didirikannya pesantren pada
tahun 80-an.Jika pada kelompok tradisional {Nahdlatul Ulama}muncul trend mengembangkan
pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah umum dan madrasah maka tidak demikian dengan
ormas Al Irsyad (dan juga muhammdiyah)yang justeru mendirikan pesantren ,karena didorong oleh
kesadaran perlunya memberikan perhatian yang besar pada aspek pendidikan agama.Namun
demikian,tipologi pesantren Al Irsyad tetap memiliki perbedaan dengan pesantren milik ormas itu.
Jika pesantren itu didirikan oleh perorangan,maka pesantren Al Irsyad didirikan oleh Jam’iyyah
(Organisasi),dengan manajement pesantren yang tidak bersifat kekeluargaan.kitab-kitab yang diajarkan
dipesantren Al Irsyad,Meskipun sama-sama berbahasa arab,namun tidak tergolong kitab kuning seperti
yang diajarkan dipesantren-pesantren itu.kitab-kitab tersebut ditulis oleh para ulama komtemporer di
timur tengah.lebih dari itu,kesan lux juga terlihat pada pesantren-pesantren milik Al Irsyad,jika
dibandingkan dengan pesantren-pesantren tradisional,Akibatnya biaya pendidikan pun menjadi mahal.
Bisa dikatakan bahwa dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia,Al Irsyad telah berhasil
mempelopori pendirian lembaga-lembaga Islam modoren,yang pada massa berikutnya di ikutin oleh
ormas-ormas Islam lain.Namun demikian,meskipun lembaga pendidikan Al Irsyad didirikan oleh
organisasi yang merupakan representasi dari masyarakat keturunan arab,pribumi yang simpati dan
bersekolah dilembaga-lembaga pendidikan Al Irsyad,baik sekolah pesantren maupun perguruan
tingginya.
Meskipun Al Irsyad didirikan tidak hanya oleh Ahmad sukarti,namun berbicara kontributor
pemikiran untuk Al Irsyad sosok sukarti tetap menjadi fokus utama.Dia juga menjadi figur utama dan
sentral yang tinggi kini gagasan-gagasannya masi dipakai dan menyemangati Al Irsyad.Berbicara
tentang gagasan Sukarti,maka tidak salah lagi bahwasanya Sukarti mengadopsi pemikiran dari
Muhammd abdul Wahab sebagai sang inspiratornya.
Jika dirunut,genealogi pemikiran keIslaman Al Irsyad bermula dari kehadiran Ahmad Sukarti di
Indonesia.saat itu, sukarti merasa menghadapi masyarakat yang memiliki kesamaan ciri dengan yang
dihadapi Muhammad Abdul Wahab pada masanya.baik Sukarti maupan Abdul Wahab sama-sama
dihadapkan pada persoalan yang sangat mendasar dalam agama Islam,yakni Taulid kehadiran Sukarti
di Indonesia,khususnya dikota Solo,membuat dia merasa prihatin dengan kemurnian ajaran tauhid
yang berkembang dimasyarakat.Meskipun agama Islam telah berkembang cukup lama di
Indonesia,namun pengaruh Hindu-Budha maupun budaya lokal masih sangat kuat,apa lagi di kota Solo
yang merupakan pusat situs kerajaan besar di Indonesia,tentu persinggungan Islam dengan budaya
setempat masih sangat insentif.
Meyikapi kondisi yang demikian,Ahmad Sukarti pernah menyampaikan beberapa pandangan
tentang ketauhidan.Apa bila di bandingkan dengan pandangan Muhammad bin Abdul Wahab,maka
terdapat kemiripan,sebagai contoh,Sukarti mempersoalkan Bid’ah sebagai berikut: Pertama,Taklid
buta sebagaimana yang dilakukan para ulama yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk
memahami Al-Quran dan Hadits.Namun mereka menjadikan pendapat seseorang sebagai dalill agama
Sukarti menyatakan adapun taklid buta dan menjadikan pendapat orang sebagai dalill agama tidak
diperbolehkan oleh allah dan rosull-nya,para sahabat maupun para ulama terdahulu,dan merupakan
bid’ah yang sesat.
Kedua,meminta syafa”at . ia mengatakan kepada orang yang sudah mati dan bertawasul dengan
Mereka ,surkati menyatakan sebagai perbuatan yang munkar dan bid’ah ia mengatakan :”meminta
syafa”at kepada orang yang mati atau bertawasul kepada mereka adalah perbuatan munkar, sebab hal
tersebut tidak pernah di kerjakan oleh rasulullah saw,al khulafa”al rasyidan ataupun oleh para mujtahid
,baik bertawasul dengan rasul sendiri atau dengan yang lain .selain itu ,hal tersebut merupakan sesuatu
yang diada – adakan dalam ruang lingkup al din. Setiap yang baru dalam agama adalah bid ”ah ,setiap
bid ah adalah sesat ,dan setiap yang sesat akan masuk neraka’’.
Ketiga, dalam kasus pembayaran fidyah membayar sejumlah tebusan kepada orang lain untuk
mengganti shalat dan puasa yang di tinggalkan oleh salah seorang anggota keluarganya,ketika
menyampaikan fidyah seseorang berkata ;’’terimalah uang ini sebagai penebus shalat dan puasa si
fulan ’’.kemudian si penerima menjawab ,’’saya terima pemberian ini ’’ .bagi surkarti,pembuatan ini
dilarang karena tidak di dasarkan atas dasar dalil agama ,dan merupakan perbuatan bid’ah.
Keempat,dalam kasus pembacaan talqin untuk mayat yang baru di kubur surkarti melihatnya
sebagai pembuatan yang tidak bedasarkan tuntunan al qur’an dan hadits juga tidak ada petunjuk dari
para sahabat
Kelima,pembuatan berdiri pada saat melakukan pembacaan kisah maulid nabi muhammad
saw,bagi surkarti bukan perbuatan agama,namun demikian,apa bila perbuatan tersebut di pandang
sebagai perbuatan agama,atau termasuk dalam ruang lingkup agama,maka pembuatan tersebuttetap di
anggap sebagai perbuatan bid’ah.
Keenam,pengucapan niat (Nawaitu atau Ushalli) bagi Sukarti adalah perbuatan
bid’dah.Alasannya,melafalkan niat demikian diPadang sebagai tambahan dalam melaksanakan niat
yang seharusnya merupakan maksud didalam hati.Menurut Sukarti pula,ia tidak pernah memperoleh
petunjuk bahwa perbuatan tersebut pernah dirawihkan orang dari nabi Muhammad,atau dari para
sahabat,walaupun diajarkan oleh salah satu imam yang keempat.Dari berbagai sumber rujukan dapat
disimpulkan bahwa niat adalah maksud dalam hati lebih tidak beralasan lagi ialah pendapat tentang
wajib atau sunnahnya pengucapan lafal niat tersebut.Itu berarti ”mewajibkan apa yang sebenarnya
tidak wajib”.
Ketujuh, adat berkumpul untuk melakukan ritual tahlil dirumah orang yang baru ditimpah
musibah kematian menurut Sukarti,merupakan perbuatan Bid’ah dan bertentangan dengan sunnah
rasul.Sukarti menilai parbuatan tersebut sebagai perbuatan yang membebeni keluarga yang terkena
musibah.Dan perbuatan terpuji yang berkenan dengan keluarga yang terkena musibah adalah
penyediakan makanan,sebagaimana Sabda nabi Jafar bin Abi Thalib meninggal dunia.”Buatlah
makanan bagi keluarga Jafar, ,sebab mereka telah ditimpa sesuatu yang membuat mereka lupa makan”.
Dan kedelapan,adat berdzikir bersama dan berdoaa bersama setelah shalat wajib lima waktu menurut
surkarti, merupakan perbuatan bid’ah dan bertentangan dengan sunnah Rasul. Surkati menilai
perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang mengada-ada dan menambah-nambah karena Rasulallah
selesai sholat wajib lima waktu, langsung mengerjakan sholat sunnah ba’diah dirumah, tetapi kalau
ada yang akan dia sampaikan maka dia berdiri lalu menyampaikannya ke umat Muslim.
Pendeknya, dari negara Sudan, Ahmad Surkati datang dengan membawa ”gagasan rasional”. Gagasan
itulah yang kemudian memberi kontribusi besar bagi lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, sebuah
gerakan pembaharuan untuk memperbaiki pemahaman keberagaman muslim Indonesia.Deliar Noor
menyatakan, seperti halnya seperti Modernis muslim Indonesia yang lain. Pemikiran-pemikiran yang
berkembang di Al-Irsyad banyak dipengaruhi oleh pemikiran Puritanisme yang berkembang di Timur
Tengah, yang diplopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (dengan gerakan Wahabinya), pemikiran
tersebut secara intensif masuki Indonesia pada awal abad ke-20, melalui kontak personal antara
masyarakat Arab di Indonesia dengan mereka yang berada di Timur Tengah, juga melaui penerbitan-
penerbitan majalah, seperti majalah Al-Manar dan lain-lainnya.
C. Jami’atul Khair
Setiap dari mereka gerakan Modernisme Islam termasuk organisasi Islam yang beranggoatakan
keturunan Arab memiliki karakter gerakan yang berbeda-beda. Ada gerakan Islam yang menekankan
pada aspek ekonomi dan politik, ada yang menekankan pada upaya pemurnian ajaran Islam, serta ada
yang menekankan pada uapaya pemurnian ajaran Islam, serta ada yang menekankan pada aspek
pembaharuan pendidikan Islam.
Contoh gerakan Moderenisme Islam yang berdiri pada awal abad ke-20 adalah Jami’atul khair,
sebuah organisasi Islam, yang mana organisasi ini sebagai tempat para Ulama dan aktivis berjuang dan
memperjuangkan pembaharuan dalam segala aspek. Jami’atu khair juga sebagai organisasi Islam
pertama di Indonesia yang dikelola dengan system (managemen) keorganisasian modern, Jami’atu
khairmemliki anggaran dasar, anggaran rumah tangga, buku anggota notulensi rapat, iuran anggota dan
lembaga control anggota melalui rapat tahunan, dan lain sebagainya. Konon, lembaga ini telah
diusahakan berdirinya sejak tahun 1901.pemrakarsanya adalah golongan terpelajar dari kalangan
muslim Indonesia keturunan Arab, dari keluarga shihab dan Yahya. Klan Shihab dan Yahya
dikalangan Alawiyyin termasuk dalam stratifikasi sosial kelas rendah.
Dalam proses pendiriannya, Jami’atul khair mengalami banyak hambatan . berulangkali permohonan
izin pengesahan diajukan kepada Gubernur Jendral W.Rooseboom, namun selalu ditolak. Penyebabnya
tidak jelas pada tahun 1903 misalnya,permohonan izin diajukan, namun ditolak. Kemudian untuk
meyakinkan pemerintah colonial Belanda, surat permohonan dikirim berulang kali dengan
mencantumkan nama pemohonan yang berbeda, yaitu Said bin Ahmad Basandid dan Muhammad bin
Abdurrahman Al-Masyhur.
Setelah lama menunggu, akhirnya izin pendirian Jami’atul khair dikeluarkan pada tanggal 17
Juni 1905, setelah permohonan disetujui oleh Gubernur Jendral J.V.Van Heutsz. Izin pendirian
Jami’atul khair keluar disertai catatan dari pemerintah, bahwa Jami’atul khair tidak boleh mendirikan
cabang diluar Jakarta.
Pengurus Jami’atul khair angkatan pertama terdiri dari Said bin Ahmad Basandid sebagai ketua,
Muhammad bin Abdullah bin Shihab sebagai wakil ketua, Muhammad Al-Fakhir bin Abdurrahman
masyhur sebagai sekretaris, dan Idrus bin Ahmad bin Shihab sebagai bendahara, setahun kemudian
pengurus Jami’atul khair dirubah dan tersusun pegurus baru dengan Idrus Bin Abdullah Al-Masyhur
sebagai ketua , Salim bin Ahmad Balwel sebagai wakil ketua, Muhammad Al-Fakhir bin
Abdurrahmnan Al-Masyhur sebagai sekretaris, dan Idrus bin Ahmad bin Shihab sebagai bendahara.
Jami’atul khair semula mencantumkan tujuannya untuk menolong orang-orang Arab yang tinggal di
Jakarta pada saat kemetian dan pesta perkawinan. Organisasi ini kemudian mendirikan sekolah
pertama di Pekojan Jakarta. Beberapa tahun setelah itu, dibuka pula sekolah-sekolah di Krukut, Tanah
Abang dan Bogor, pada bulan Rabiul Awal 1329 H, atau bulan Maret 1911 M. Datanglah pengajar dari
Makkah yang ditujukan untuk memperkuat staf penagajar pada sekolah-sekolah Jami’atul khair
mereka adalah Syaikh Ahmad Surkati Al-Anshari ditempatkan disekolah Jami’atul khair di Pekojan
dan sekaligus sebagai pemilik sekolah-sekolah Jami’atul khair lainnya.Syaikh Ahmad Tayyib Al-
Maghribi ditempatkan disekolah Krukut dan syaikh Muhammad Abdul Hamid Al-Sudani ditempatkan
di sekolah Jami’atul khair di Bogor. Kemudian atas jasa seorang staf pimpinan Jami’atul khair,
Abdullah Al-Attas, didatangkan pula seorang pengajar asak Tunis dan lulusan kulliyyah Azzaitun,
yaitu Muhammad Al-Hasyimi, kemudian ditempat disekolah Jami’atul khair di Tanah Abang.
Muhammad Al-Hasyimi adalah seorang berkebangsaan Tunis yang pernah ikut memberontak
melawan pemerintah Prancis, ia dikenal sebagai guru olahraga dan memiliki berbagai pengetahuan
keterampilan, seperti memasak, membuat sabun dan lain sebagainya. Dialah yang pertama kali yang
mengenalkan gerakan kepanduan dikalangan umat Islam Indonesia. dengan demikian ia mestinya
disebut sebagai “bapak kepanduan Islam Indonesia”.
Dalam perkembangan berikutnya, Abdullah Al-Atas mengalami perselisihan dengan pengurus
Jami’atul khair. Karena perselisihan itu dia memutuskan untuk meninggalkan Jami’atul khair, dan
mendirikan Al-Atas school pada tahun 1912.langkah Abdullah Al-Atas ini diikuti oleh Al-Hasyimi
dengan cara meninggalkan Jami’atul khair dan bergabung dengan Al-Atas Schcool. Namun ketika Al-
Irsyad berdiri, dia meninggalkan Al-Atas school dan bergabung dengan Al-Irsyad serta menjadi guru
pada sekolah Al-Irsyad.
Dua tahun kamudian, atas jasa Ahmad Surkati, didatangkan empat orang pengajar lagi, yaitu
syaikh Ahmad Al-Aqib Assudani. Ditempatkan di sekolah Al-Khairyyah di Surabaya, syaikh Abul
Fadhel Muhammad Assati Al-Anshari, saudara kandung Ahmad Surkati ditempatkan disekolah
Jami’atul khair di Tanah Abang, syaikh Muhammad Nur Muhammad Khair An-Anshari ditempat
disekolah Jami’atul khair di Pekojan dan Jami’atul khair di Krukut. Dalam perkembangan selanjutnya
Syaikh Hasan Hamid Al-Anshari dipindahkan ke Bogor karena syaikh Muhammad Abdul Hamid
Assudani kembali ke Negerinya.
Kesimpulan
Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada masyarakat yang Statis, semua pasti mengalami
perubahan dan perkembangan.salah stu faktor penting yang mendorong perubahan dan perkembangan
itu adalah adanya kontak pergaulan dengan masyarakat yang lebih maju sehingga terangsang untuk
mengejar ketertigalannya atau bisa sejajar dengan mitra pergaulannya. Pada permulaan abad ke-20
banyak orang Islam di Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan dapat menyaingi kekuatan
kolonialisme penjajahan Belanda dan mengejar ketertinggalan dari Barat, apabila mereka melanjutkan
cara-cara yang bersifat trdisional dalam menegakkan ajaran Islam golongan ini merintis cara-cara baru
dalam memahami dan mengembangkan ajaran-ajaran Islam ditengah-tengah masyarakat oleh sebab
itu, mereka disebut kaum pembaharu.
Para pembaharu di Indonesia mengikuti jejak kaum pembaharu di Timur Tengah, terutama yang
berpusat di Mesir.. Mereka berkenalan dengan gagasan tajdid melalui bacaan dan pertemuan langsung
dengan tokohtokohnya sewaktu mereka menuntut ilmu di Timur Tengah. Terutama di Al-Haramain
atau dua tanah suci yaitu Mekkah dan Madinah.
Menurut kami disimpulkan pembaharuan yang dilakukan Jami’atul Khoir, Padri, dan Al-Irsyad
secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. menyegarkan pemahaman ajaran Islam dengan membuka kembali pintu Ijtihad.
b. Mengembangkan pemikiran rasional.
c. Memurnikan Aqidah umat Islam.
Daftar Pustaka
M.Mukhsin Jamil, Nalar Islam Nusantara, 2007, Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
Departemen Agama RI.
Badrus Zaman, Sejarah Kebudayaan Islam, 2005, Surakarta: Amand Press
Abdullah,Tradisi Dan Kebngkita Islam di Asia Tenggara, 1989,Jakarta: Lp3 Press,
Bolland, Pergumulan Islam di Indonesia, 1985,Jakarta: Grafitti Press.
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia,1980 Jakarta:Lp3 Press
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam,1994, Semarang : PT Karya Toha Semarang.
Masyumi, yang didirikan oleh hampir semua organisasi Islam, baik pasca maupun pra kemerdekaan
RI, adalah sebagai partai yang berniat merealisasikan pandangan Islam dan Politik di Indonesia,
Lahirnya partai ini ditujukan guna untuk menjaga dan memperjuangkan kepentingan tanggal 7
November 1945, diadakanlah muktamar umat Islam Indonesia di Yogyakarta, di dalam keputusannya,
diambil kesepakatan bahwa diperlukannya suatu wadah untuk menampung aspirasi umat Islam dan
menyalurkannya melalui wadah tersebut.
Maka, partai Masyumi pun dibentuk, Besarnya partai Masyumi ternyata tidak bisa dielakkan dari
perpecahan bahkan terjadi pembubaran pada tahun 1960 oleh rezim pada saat itu, Setelah bergantinya
dua rezim, ternyata tidak mampu menghilangkan roh partai itu, justru sebaliknya, sisa-sisa para
pegiatnya sanggup membangkitkan dan melahirkannya kembali, Namun, disayangkan persatuan para
pegiatnya itu tidak ada, sehingga melahirkan beberapa bentuk partai Islam yang berbeda dari partai
Masyumi atau sebagai metamorfosis partai Masyumi.
Hubungan yang terjadi antara Masyumi dengan partai yang lahir dalam pemilu 1999 dan partai apa
yang merupakan partai metamorfosis dari partai Masyumi Untuk mendapatkan hasil yang maksimal
dari penyusunan ini, maka pendekatan yang digunakan adalah sosio-historis, yaitu menela’ah
fenomena sosial dan partai-partai yang lahir pada pemilu 1999 dengan memaparkan perjalanan
Masyumi dari awal berdirinya (1945) hingga partai ini dibubarkan (1960), Kemudian data yang
terkumpul dianalisis secara kuantitaif dengan metode berpikir deduktif-induktif Dengan menggunakan
pendekatan dan metode tersebut di atas menunjukkan bahwa, mendirikan partai Islam merupakan
suatu kemaslahatan bagi umat. Sebagaimana Masyumi, pembentukan partai tersebut selain bertujuan
untuk kelangsungan demokrasi, juga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah.
Demikian juga dengan partai-partai Islam yang lahir pada pemilu 1999, adanya kesamaan-kesamaan
antara partai Masyumi dengan partai-partai Islam yang lahir pada pemilu 1999 baik dari
perjuangannya, ideologinya, asasnya, nama partainya, tanda gambarnya, maupun basis massanya,
maka hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya sebuah hubungan historis perjuangan yang tidak
terputus antara partai-partai Islam 1999 seperti PBB, PMB, PPIM dan, PPP dengan partai Islam
Masyumi.
KESIMPULAN
Dari empat organisasi tersebut dapat di pahami pembaharuan Islam yang berkenaan dalam bidang
politik, sosial dan budaya bertujuan untuk memperbaiki Islam yang murni,oleh karena itu ajaran Islam
bersifat universal, tidak saja dalam dimensi sejarah, akan tetapi juga universal dalam dimensi
sosiologis dan antropologis. Dengan demikian Islam adalah agama bagi semua zaman, dan bagi semua
orang dalam berbagai posisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Munir Mulkhan, 1990, Pemikiran K.H..A. Dahlan dan Muhammadiyah, Bumi aksara; Jakarta
.
3. Mulkhan Abdul Munir, 2000, Menggugat muhammadiyah, Fajar pustaka baru, yogya karta.