Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muchammad Syahrul Hidayat

NIM : 11190120000051

2B-PBA

Resume Islam Nusantara

A. Latar Belakang
Penyebaran Islam di Indonesia adalah proses yang perlahan, bertahap, dan
berlangsung secara damai. Satu teori menyebutkan bahwa Islam datang secara
langsung dari jazirah Arab sebelum abad ke-9 M, sementara pihak lain menyebutkan
peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang membawa Islam ke Nusantara pada
kurun abad ke-12 atau ke-13, baik melalui Gujarat di India atau langsung dari Timur
Tengah. Pada abad ke-16, Islam menggantikan agama Hindu dan Buddha sebagai
agama mayoritas di Nusantara. Islam tradisional yang pertama kali berkembang di
Indonesia adalah cabang dari Sunni Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang diajarkan oleh
kaum ulama, para kiai di pesantren. Model penyebaran Islam seperti ini terutama
ditemukan di Jawa. Beberapa aspek dari Islam tradisional telah memasukkan berbagai
budaya dan adat istiadat setempat.
Praktik Islam awal di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan
aliran spiritual Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti
menghormati otoritas kyai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga
ikut ambil bagian dalam tradisi Islam seperti ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati
maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan oleh Muslim
tradisional Indonesia. Akan tetapi, setelah datangnya Islam aliran Salafi modernis
yang disusul datangnya ajaran Wahhabi dari Arab, golongan Islam puritan skripturalis
ini menolak semua bentuk tradisi itu dan mencelanya sebagai perbuatan syirik atau
bidah, direndahkan sebagai bentuk sinkretisme yang merusak kesucian Islam. Kondisi
ini telah menimbulkan ketegangan beragama, kebersamaan yang kurang
mengenakkan, dan persaingan spiritual antara Nahdlatul Ulama yang tradisional dan
Muhammadiyah yang modernis dan puritan.

Sementara warga Indonesia secara seksama memperhatikan kehancuran Timur


Tengah yang tercabik-cabik konflik dan perang berkepanjangan; mulai dari Konflik
Israel–Palestina, Kebangkitan dunia Arab, perang di Irak dan Suriah, disadari bahwa
ada aspek keagamaan dalam konflik ini, yaitu munculnya masalah Islam radikal.
Indonesia juga menderita akibat serangan teroris yang dilancarkan oleh kelompok
jihadi seperti Jamaah Islamiyah yang menyerang Bali. Doktrin ultra konservatif Salafi
dan Wahhabi yang disponsori pemerintah Arab Saudi selama ini telah mendominasi
diskursus global mengenai Islam. Kekhawatiran semakin diperparah dengan
munculnya ISIS pada 2013 yang melakukan tindakan kejahatan perang nan keji atas
nama Islam. Di dalam negeri, beberapa organisasi berhaluan Islamis seperti Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), juga Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) telah secara aktif bergerak dalam dunia politik Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir ini. Hal ini menggerogoti pengaruh institusi Islam tradisional khususnya
Nahdlatul Ulama. Elemen Islamis dalam politik Indonesia ini kerap dicurigai dapat
melemahkan Pancasila.
Akibatnya, muncullah desakan dari golongan cendekiawan Muslim moderat yang
hendak mengambil jarak dan membedakan diri mereka dari apa yang disebut Islam
Arab, dengan mendefinisikan Islam Indonesia. Dibandingkan dengan Muslim Timur
Tengah, Muslim di Indonesia menikmati perdamaian dan keselarasan selama
beberapa dekade. Dipercaya hal ini berkat pemahaman Islam di Indonesia yang
bersifat moderat, inklusif, dan toleran. Ditambah lagi telah muncul dukungan dari
dunia internasional yang mendorong Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim
terbesar, agar berkontribusi dalam evolusi dan perkembangan dunia Islam, dengan
menawarkan aliran Islam Nusantara sebagai alternatif terhadap Wahhabisme Saudi.
Maka selanjutnya, Islam Nusantara diidentifikasi, dirumuskan, dipromosikan, dan
digalakkan.

B. Pengertian
Menurut KH. Said Aqil Siradj, Islam Nusantara adalah Islam yang menggabungkan
Islam dengan budaya, Islam yang bersatu dengan nasionalis, dan Islam yang bersatu
dengan kebangsaan. Ia menerangkan bahwa Wali Songo-lah yang menjadi panutan
dalam mengembangkan Islam Nusantara yang melebur dengan budaya, toleran, dan
ramah. Adapun puncak konsep Islam Nusantara, imbuh KH. Said, adalah dicetuskan
oleh KH Hasyim Asy’ari dengan konsep penggabungan Islam dan kebangsaan.
“Islam Nusantara bukan mazhab, bukan aliran, tapi tipologi, mumayyizaat, khashais,”
terangnya. Demikian, KH. Said menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah Islam
yang anti-Arab dan Islam yang benci Arab. “Islam yang santun, berbudaya, ramah,
toleran, berakhlak, dan berperadaban. Inilah Islam Nusantara,” tegasnya.

Selain KH. Said Aqil Siradj, pakar ushul fikih yaitu KH. Afifuddin Muhajir
mengatakan bahwa Al-Quran sebagai sumber utama Agama Islam memuat tiga
ajaran. Pertama, ajaran akidah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan dengan apa yang
wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi Allah, malaikat, para utusan,
kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan. Kedua, ajaran akhlak/tasawuf, yaitu ajaran
yang berintikan takhalli dan tahalli, yakni membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat
tercela dan menghiasinya dengan sifat terpuji. Ketiga, ajaran syariat, yaitu aturan-
aturan praktis (al-ahkam al-‘amaliyah) yang mengatur perilaku dan tingkah laku
mukallaf, mulai dari peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya. Yang pertama
dan kedua sifatnya universal dan statis, tidak mengalami perubahan di manapun dan
kapanpun. Tentang keimanan kepada Allah dan hari akhir tidak berbeda antara orang
dahulu dan sekarang, antara orang-orang benua Amerika dengan benua Asia.
Demikian juga, bahwa keikhlasan dan kejujuran adalah prinsip yang harus
dipertahankan, tidak berbeda antara orang Indonesia dengan orang Nigeria. Penipuan
selalu buruk, di manapun dan kapanpun. Dalam segmen keyakinan dan tuntunan
moral ini, Islam tidak bisa di-embel-embeli dengan nama tempat, nama waktu,
maupun nama tokoh.

Sementara yang ketiga, yaitu ajaran syari’at, masih harus dipilah antara yang
tsawabith/qath’iyyat dan ijtihadiyyat. Hukum-hukum qath’iyyat seperti kewajiban
shalat lima kali sehari semalam, kewajiban puasa, keharaman berzina, tata cara ritual
haji, belum dan tidak akan mengalami perubahan (statis) walaupun waktu dan
tempatnya berubah. Shalatnya orang Eropa tidak berbeda dengan salatnya orang
Afrika. Puasa, dari dahulu hingga Kiamat dan di negeri manapun, dimulai semenjak
Subuh dan berakhir saat kumandang azan Maghrib. Penjelasan Al-Quran dan As-
Sunah dalam hukum qath’iyyat ini cukup rinci, detil, dan sempurna demi menutup
peluang kreasi akal. Akal pada umumnya tidak menjangkau alasan mengapa,
misalnya, berlari bolak-balik tujuh kali antara Shafa dan Marwa saat haji. Oleh karena
itu akal dituntut tunduk dan pasrah dalam hukum-hukum qath’iyyat tersebut.
Sementara itu, hukum-hukum ijtihadiyyat bersifat dinamis, berpotensi untuk berubah
seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi tertentu. Hukum
kasus tertentu dahulu boleh jadi haram, tapi sekarang atau kelak bisa jadi boleh. Al-
Quran dan As-Sunah menjelaskan hukum-hukum jenis ini secara umum, dengan
mengemukakan prinsip-prinsipnya, meski sesekali merinci. Hukum ini memerlukan
kreasi ijtihad supaya sejalan dengan tuntutan kemaslahatan lingkungan sosial. Para
tabi’in berpendapat bahwa boleh menetapkan harga (tas’ir), padahal Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi wa Sallam melarangnya. Tentu saja mereka tidak menyalahi As-
Sunah. Perbedaan putusan itu karena kondisi pasar yang berubah, yaitu bahwa pada
masa Nabi SAW harga melambung naik karena kelangkaan barang dan meningkatnya
permintaan, sedangkan pada masa tabi’in disebabkan keserakahan pedagang. (Nailul
Authar, V, 220) Di sini, para tabi’in membedakan antara-apa yang disebut ekonomi
modern dengan-pasar persaingan sempurna dari pasar monopoli atau oligopoli
misalnya. Para tabi’in juga memfatwakan larangan keluar menuju masjid untuk
perempuan muda karena melihat zaman demikian rusak, banyak laki-laki berandal
yang sering usil hingga berbuat jahil, (Al-Muntaqa Syarḥul Muhadzdzab, I, 342)
padahal Nabi sendiri bersabda-seperti dalam riwayat Abu Daud (‫ال تمنعوا اماء هللا مساجد‬
‫رة‬WWW‫و داود عن أبي هري‬WWW‫ رواه أب‬.‫رجن تفالت‬WWW‫ ولكن ليخ‬،‫هللا‬.)-supaya jangan sampai perempuan
dilarang keluar menuju masjid.

Dalam pengertian hukum yang terakhir ini kita sah dan wajar menambahkan pada
‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan
seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan
penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash,
syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Dalam istilah “Islam
Nusantara”, tidak ada sentimen benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun,
apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan bahasanya
menjadi bahasa Al-Qur’an. Ini persis sama dengan nama FPI misalnya, saya benar-
benar yakin kalau anggota FPI tidak bermaksud bahwa selain mereka bukan pembela
Islam.

Anda mungkin juga menyukai