Anda di halaman 1dari 3

Panduan Materi ke-Aswaja-an Pada Jenjang Makesta

I. Pengertian Aswaja

Istilah Aswaja (Ahlussunah wal Jamaah) secara bahasa biasanya diartikan sebagai suatu
pegangan atau dasar atau pemahaman keagamaan yang bersandarkan pada tradisi (Sunnah)
Rasulullah, para Sahabatnya dan Ulama penerusnya.

Sedangkan pengertian aswaja yang berdasarkan pada kaca mata sejarah Islam, maka akan
menjadi lain. Pengertian aswaja dalam kaca mata sejarah Islam ini adalah paham keagamaan
yang di bawah oleh Imam Asy’ari dan Maturidi, sebagai upaya mengcounter paham
muktazilah yang kemudian menjadi maenstream (arus utama) pemikiran-pemikiran Islam
yang akhirnya mengkristal menjadi sebuah kelompok baru yang sering disebut dengan
kelompok ahlussunah wal Jamaah (ASWAJA).

Di samping itu definisi Aswaja berdasarkan pada ungkapan umum dari Nabi yang kemudian
dijadikan sebagai dasar aturan/pijakan Ahl al-sunnah wa al-jamaah, yaitu ungkapan “Ma ana
‘alaihi wa ashhaby”: jalan yang aku dan sahabatku tempuh. Jadi Islam yang benar adalah Islam
yang mengikuti tuntunan Nabi dan para sahabatnya yang bersumber pada al-Qur’an dan al-
Sunnah. Sehingga siapapun yang mengikuti pola-pola Rasul dan para sahabat, bisa
dikategorikan sebagai Ahlussunah.

II. Prinsip-prinsip Islam Aswaja

Secara umum sumber-sumber hukum Aswaja adalah Al Quran, Al Hadist, Al Ijma’ wa Qiyas.
Posisi Al Quran dan Al Hadist menempati posisi yang utama sebagai sumber hokum Aswaja.
Sedangkan al Ijma wa Qiyas merupakan sumber kedua setelah al Quran dan al Hadist.

Sedangkan prinsip-prinsip lainnya yang sangat popular di kalangan Aswaja adalah prinsip
kemasyarakatan yang berisi lima prinsip. Prinsip-prinsip tersebut antara lain pertama, prinsip
Tasamuh merupakan prinsip Aswaja yang menekankan pada sikap toleransi terhadap
perbedaan-perbedan yang ada. Baik perbedaan suku, bangsa maupun perbedaan agama.

Prinsip yang kedua adalah Tawazun. Prinsip ini menekankan pada suatu sikap yang fleksibel
dan tidak kaku dalam menghadapi kehidupan di masyarakat. Yang ketiga adalah Tawasuth.
Prinsip ini merupakan suatu sikap yang mampu memilah segala macam permasalahan secara
seimbang atau mencari jalan tengah.

Sedangkan prinsip yang keempat adalah prinsip I’tidal, yakni suatu sikap yang selalu
mendahulukan pada prinsip keadilan yang harus dilakukan di masyarakat. Dan prinsip yang
terakhir adalah prinsip amar ma’ruf nahi munkar, yakni suatu prinsip yang menekankan pada
sikap upaya pencegahan pada kemungkaran dengan malakukan tindakan-tindakan kesalihan
sesuai dengan sumber-sumber Islam.

III. Sejarah Singkat Aswaja dan Perkembangannya di Indonesia

Sesuai dengan apa yang sudah disebutkan di atas bahwa secara sejarah Islam Aswaja mulai
terferbalkan semenjak Imam Asyari dan al Maturidi berupaya untuk mengcounter paham
Muktazilah yang pada masa itu menjadi suatu paham resmi dari sebagian umat Islam di
jazirah Arab.

Pada abad ke 3 Hijriyah pada masa kekuasaan Khalifah al Mutawakil dinasti Abasiyah, secara
resmi para pengikut dari kedua Imam tersebut dinamakan sebagai kelompok Ahlussunah.
Namun, sekedar ditegaskan bahwa jauh sebelum masa Al Asyari dan al Maturidi muncul,
paham-paham keagamaan yang bercorak sama atau hampir sama dengan gagasan-gagasan
kedua Imam tersebut telah ada dan banyak dianut oleh umat Islam sebelumnya. Masa tersebut
yang dalam kaitannya dengan sejarah Aswaja merupakan masa-masa embrio dari paham
Aswaja. Jadi, walaupun dalam hal paham hampir sama dengan paham kedua Imam tersebut,
tapi secara nama paham tersebut belum disebut sebagai paham Aswaja. Ulama-ulama yang
menggagasnya antara lain adalah Imam Hasan al Basri.

Untuk konteks Indonesia, Aswaja telah hadir lama semenjak Islam pertama kali masuk ke
Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari corak keislaman masyarakat Indonesia yang tidak kaku,
toleran, menghargai tradisi dan mengikuti salah satu dari empat Imam Besar Madzhab Fiqh,
yakni Madzhab Syafi’i.

Dalam berbagai teori tentang masuknya Islam di Indonesia, terdapat dua teori yang secara
langsung mendukung bahwa corak Islam yang pertamakali masuk ke Indonesia adalah corak
Islam Syafiiyah yang berasal dari Gujarat atau Mesir atau Yaman. Dari sumber tersebut jelas
bahwa Islam di Indonesia semenjak pertamakali masuknya hingga kini merupakan corak
islam ala ahlussunah wal jamaah (Aswaja).

Di samping atas dasar tersebut, ada beberapa hal lain yang memperkuat pernyataan bahwa
Islam di Indonesia semenjak awal bercorakkan Aswaja. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat
para sosok tokoh penyebar Islam di Indonesia. Tokoh-tokoh tersebut melakukan penyebaran
Islam di Indonesia dengan menggunakan metode-metode ke-aswajaan yang tidak kaku,
toleran dan menghargai tradisi setempat, yang kemudian atas sebab tersebut mampu menarik
simpati dari mayoritas masyarakat Indonesia.

IV. Peran Ulama Dalam Perkembangan Islam di Indonesia

Masuknya Islam di Indonesia yang dimulai semenjak abad ke 7 M, banyak direspon secara
positif oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena para penyebar Islam pertamakali di Indonesia
menggunakan strategi dakwah yang akomodatif, santun dan membumi.

Banyak dari mereka yang disamping berupaya untuk menyiarkan Islam, juga merangkap
menjadi saudagar-saudagar niaga, atau melakukan pernikahan dengan penduduk pribumi.
Hingga kemudian bisa semakin diterima oleh masyarakat.
Generasi awal para penyebar Islam memberikan suatu contoh yang baik tentang Islam, di
samping itu mereka mampu menonjolkan sisi rahmat lil alamin dari nilai-nilai yang
terkandung dalam agama Islam yang kemudian mampu menarik simpati masyarakat dan
menjadikan Islam sebagai agama alternatif bagi penduduk Nusantara.

Abad XIV, penyebaran Islam mencapai puncaknya. Hampir di setiap titik pusat perniagaan
dan pusat-pusat pemerintahan Islam menjadi agama populer. Bahkan terferbalkann dalam
bentuk baru yakni kekuasaan-kekuasaaan politik yang berdasarkan Islam.

Sebut saja salah satunya adalah kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Demak, Cirebon, Banten,
kemudian menyebar lebih ke arah timur seperti kerajaan Ternate, Tidore, Goa, Tallo,
Banjarmasin, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Perkembangan Islam yang spektakuler tersebut semuanya tidak terlepas dari peran para
Ulama yang selalu konsisten melakukan dakwah Islam dan mampu mengemasnya secara apik
hingga Islam bisa di terima oleh masyarakat.

Hal tersebut bisa kita lihat seperti metode dakwah Wali Sanga di Jawa. Para Ulama sembilan
tersebut mampu menyerasikan tradisi-tradisi masyarakat dengan ajaran Islam melalui
gending-gending, wayang, serat, macapat dan tradisi-tradisi lainnya. Mereka paham bahwa
Islam merupakan milik setiap mahluk di alam ini, karena itu mereka tidak hanya
menampilkan Islam versi arab yang mungkin asing bagi masyarakt Jawa, tetapi mereka
menampilkan Islam yang seakan-akan berasal dari Jawa.

Pasca generasi Wali Sanga, kita masih bisa menemukn banyak Ulama yang secara metode
hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Wali Sanga tersebut. Seperti, Syek Ahmad
Mutamakin di Kajen, Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Arsyad al Banjari, Syekh Abdussomad
al Falembani, Syekh Abdurrauf Singkel, Syekh Yusuf al Makasari, dan beberapa Ulama lagi
yang terkenal yang menggunakan metode yang sama dengan wali sanga.

Kemudian dalam perkembangan selanjutnya semenjak abad ke 18 M. Terjadi sebuah


perubahan yang drastis dalam dunia Islam internasional. Hal ini ditandai dengan munculnya
sebuah paham baru di jazera Arab, yakni paham Wahaby yang berpusat di tanah Haram
(Makkah-Madinah). Paham ini membawa semboyan pembaharuan Islam dan perang melawan
TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat) yang secara tidak langsung mengecam paham Aswaja
yang memang sudah menjadi paham mayoritas umat Islam sedunia.

Bagi paham Wahaby, tradisi-tradisi yang terdapat dalam paham Aswaja itu sudah melenceng
jauh dari Islam yang sesungguhnya. Mereka menganggap Aswaja sebagai ahlul bid’ah yang
terlalu lentur dalam pengamalan Islamnya. Akibat dari munculnya paham ini untuk konteks
jazerah Arab terjadi suatu kondisi yang sangat panas. Wahaby yang berkuasa memberangus
dan menghancurkan semua tradisi-tradisi dan peninggalan-peninggalan bersejarah yang
terdapat pada masa Nabi. Karena bagi mereka hal tersebut yang menyebabkan munculnya
TBC.

Hal tersebut tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi di Indonesia. Gerakan Wahaby
generasi pertama di Indonesia di bawa masuk ke wilayah Minangkabau oleh Alumni Timur
Tengah seperti Tuanku nan Miskin dan Tuanku Imam Bonjol yang langsung berusaha
memerangi kelompok Adat di Minangkabau. Kemudian, pada tahun 1912, di Jawa didirikan
persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh H. Ahmad Dahlan yang bersemboyan
sama yakni pembaharuan. Di susul kemudian oleh berdirinya Persis di Bandung.

Atas dasar hal tersebut, terjadi sebuah respon balik dari kalangan Ulama Aswaja yang identik
dengan sebutan Ulama Tradisionalis. Melihat semakin ramainya perdebatan antara yang
pembaharu dengan yang tradisionalis, mengakibatkan para Ulama dari kalangan Tradisionalis
mengambil sikap dengan membentuk komunitas ulama-ulama Aswaja sebagai upaya untuk
menghadang laju dari gerakan pembaharuan tersebut.

Hal ini di pelopori oleh kalangan Ulama pesantren yang tersebar di seluruh Nusantara. KH.
Wahab Hasbullah, KH. Hasyim Asyari, KH. Abbas, KH. Abdul Halim, Syekh Sulaiman
Arrasuli dan hampir seluruh kalangan Ulama Pesantren menyepakati dibentuknya sebuah
komunitas baru bagi kalangan pesantren. Yang kemudian di Jawa dibentuk komunitas dengan
nama Nahdlatul Ulama (NU), yang kemudian menjadi wadah bagi kalangan Ulama pesantren
seluruh Indonesia, kemudian PUI (Persatuan Umat Islam). Sedangkan di Sumatra dibentuk
PERTI. Di Sulawesi Selatan dibentuk RU, dan di daerah-daerah lainnya juga muncul
komunitas-komunitas baru yang berasal dari kalangan Ulama Tradisionalis.

Referensi :
1. Muzadi, Muchit, KH,

Anda mungkin juga menyukai