Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH PERKEMBANGAN SYI’AH DI INDONESIA DAN

PENGARUH BAHAYA SYI’AH BAGI UMAT ISLAM

Oleh:

Amelia Putri Fathiah

511220067

FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INFORMATIKA

UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN

2022/2023
Bermula dari kepulangan Khomeini ke Iran pada 1 Februari 1978 dari
pengasingannya di Paris, Khomeini langsung menyerukan penggulingan Perdana Menteri
Shapour Bachtiar, yang menjadi kepanjangan tangan Shah Iran. Khomeini seakan-akan
menjadi antitesa dari rezim Shah Iran yang disokong oleh Amerika Serikat. Ia seolah
menjadi tokoh anti-Amerika dan Barat. Karena itu, banyak kalangan muda di dunia Islam
yang tertindas oleh rezim-rezim yang menjadi kaki tangan Amerika Serikat dan Barat,
menemukan bentuknya yang baru, dan sosok Khomeini sepertinya menjadi pahlawan
mereka. Kemudian dengan penuh semangat mereka mengidentikkan diri mereka ke dalam
revolusi “Islam” Iran ala Khomeini. Inilah awal masuknya pengaruh Iran ke dunia Islam.
Sejatinya, revolusi “Islam” Iran itu tidak lain hanyalah revolusi kaum Syi’ah yang ingin
meluaskan pengaruhnya ke dunia Islam sehingga banyak muncul kekuatan politik baru
yang bercorak ideologi Syi’ah.
Sejarah Syi’ah di Indonesia memiliki alur yang sangat abu-abu. Banyak sekali klaim-
klaim sejarah yang dimotori oleh kaum Syi’ah sendiri. Sampai hari ini, ada beberapa pihak
yang menyimpulkan bahwa Syi’ah masuk ke Indonesia pada abad ke-12 Masehi, dibawa
oleh bangsa Persia. Akan tetapi, hal ini kemudian dianulir oleh Syi’ah. Salah seorang tokoh
Syi’ah, Jalaluddin Rakhmat, ketika ditanya tentang kapan kali pertama Syi’ah masuk
Indonesia, menjawab, “Tidak ada yang tahu pasti karena tidak pernah ada sejarah yang
mencatatnya. Tapi saya duga, Islam yang pertama kali masuk ke Aceh sekitar abad ke-8
atau waktu Dinasti Abbasiyah. Ketika itu orang Hadramaut dari Arab masuk ke Aceh untuk
berdakwah. Tapi mereka tidak menunjukkan dirinya Syi’ah, melainkan bertaqiyyah
(berpura-pura) menjadi pengikut mazhab Syafi’i.” (www.tempo.co) Demikianlah klaim
Jalaluddin Rakhmat. Tentu, ini hanyalah sebuah klaim yang tidak bisa kita terima begitu
saja. Sebab, orang-orang Hadramaut lebih dikenal sebagai penganut mazhab Syafi’i dalam
hal fikih dan berpemahaman sufi.
Sebenarnya, pada 1976 di Indonesia telah berdiri sebuah yayasan yang menjadi
corong Syi’ah, yaitu Yayasan YAPI (Yayasan Pesantren Islam di Bangil) yang didirikan
oleh Husein al- Habsyi. Santri pada pesantren ini kemudian dituntut untuk mengkaji akidah
Syi’ah secara mendalam. Lulusan pesantren ini pun banyak memotori dakwah Syi’ah di
beberapa tempat di Indonesia dengan “visi” terselubung.
Sementara itu, 1979 adalah tahun terjadinya revolusi Iran. Perlu dicatat bahwa
sebelum itu, beberapa orang Indonesia sudah ada yang belajar di Qum, Iran. Tempat ini
merupakan wadah atau sebagai madrasah Syi’ah terbesar ke-4 di dunia, setelah Najaf dan
Karbala di Irak, dan Mashad di Iran sendiri.
Ditinjau dari perjalanan sejarah, komunitas Syi’ah di Indonesia dapat dikategorikan
dalam tiga generasi, yaitu:
1. Generasi utama.
Sebelum meletus revolusi Iran pada 1979, Syi’ah sudah di Indonesia, baik Imamiyah,
Zaidiyah, maupun Ismailiyah. Mereka menyimpan keyakinan itu hanya untuk diri
mereka sendiri dan untuk keluarga yang sangat terbatas. Karena itu, mereka bersikap sangat
ekslusif, tidak atau belum punya semangat menyebarkan ajarannya kepada orang lain.
2. Generasi kedua.
Generasi ini didominasi oleh kalangan intelektual, kebanyakan berasal dari
perguruan tinggi. Dari segi struktur sosial, generasi ini berasal dari kelompok menengah ke
atas, mayoritasnya adalah mahasiswa dan akademis perguruan tinggi.
Sebagian referensi menyebutkan bahwa dakwah yang berporos di lingkungan
mahasiswa terjadi pada rentang tahun 1970—1980-an. Mereka tertarik dengan pemikiran-
pemikiran Syi’ah. Bersamaan dengan itu mahasiswa pun tertarik pada pemikiran Hasan al-
Banna, Abul A’la al-Maududi, Sayyid Quthub, dan Ikhwanul Muslimin.
3. Generasi ketiga.
Kelompok ini—terutama lulusan Qum di Iran—mulai mempelajari fikih Syi’ah,
bukan lagi sebagai pemikiran. Mereka cenderung berkonflik dengan kelompok lain,
bersemangat misionaris yang tinggi dalam menyebarkan ajarannya. dan cenderung
memosisikan diri sebagai representasi orisinal tentang paham Syi’ah dan atau sebagai
pemimpin Syi’ah di Indonesia.
Perkembangan Syi’ah di Indonesia
Setelah berhasilnya Revolusi Iran, berbagai varian tulisan yang berbau Iran mulai
didistribusikan. Akibatnya, secara independen akidah Syi’ah tersiar di belantara nusantara.
Tulisan-tulisan tokoh Syi’ah membanjiri toko-toko buku di Indonesia. Dikupaslah seputar
revolusi Iran, Khomeini, dan filsafat Syi’ah yang miring, oleh penerjemah-penerjemah
Indonesia.
1. Penerbitan Buku
Salah satu penerbit yang kemudian memfasilitasi buku-buku terjemahan Syi’ah
adalah Mizan, yang dipelopori oleh Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin. Mereka
semua merupakan lulusan dari ITB. Mizan sendiri dibentuk pada 7 Maret 1983. Buku yang
pertama kali diterbitkan sebanyak 2.000—3.000 eksemplar, berjudul Dialog Sunni-Syi’ah,
Surat Menyurat antara asy-Syaikh al-Misyri al-Maliki, Rektor al-Azhar di Kairo Mesir dan
as- Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-Amili, Seorang Ulama Besar Syi’ah. Buku ini
kemudian banyak menjadi perhatian saat itu.
Penerbit Syi’ah ini banyak dibantu oleh ayah Haidar Bagir, yaitu Muhammad al-
Bagir al- Habsyi, yang dikenal sebagai tokoh yang mengidolakan Syi’ah. Pada akhirnya,
penerbit Mizan banyak berperan dalam menerbitkan buku-buku pemikiran Syi’ah pada
dekade 1980— 1990, sehingga masyarakat pun mencap Mizan sebagai corong Syi’ah.
Kemudian Syi’ah menerbitkan sejumlah majalah dan buletin, hingga kini yang
tersebar di antaranya; Majalah al-Quds, diterbitkan oleh Kedutaan Besar Iran di Jakarta
dalam bahasa Indonesia; Majalah al-Mawaddah, diterbitkan oleh IJABI Cabang Bandung,
Jabar; Majalah al-Hikmah, diterbitkan Yayasan al-Muthahhari Bandung; Bulletin al-Jawad
dan al-Ghadir, diterbitkan oleh Yayasan al-Jawad Jakarta; Bulletin at-Tanwir, diterbitkan
oleh Yayasan al- Muthahhari, dan majalah serta buletin lainnya yang tersebar di Nusantara.
2. Pendirian Yayasan
Pada 3 Oktober 1988, Haidar Bagir, Agus Effendi, Ahmad Tafsir, dan Ahmad
Muhajir, serta Jalaludin Rakhmat, mendirikan Yayasan Muthahhari. Jalaludin Rakhmat
pada awalnya aktif berbicara seputar pemikiran Hasan al-Banna, Sayyid Quthub, dan Said
Hawwa. Akan tetapi, pertemuannya dengan Husein al-Habsyi membuatnya berafiliasi
kepada Syi’ah dan mulai aktif berbicara seputar akidah Syi’ah. Orientasi dari Yayasan
Muthahhari adalah SMA Muthahhari. Maka dari itu, SMA ini kemudian dikenal sebagai
sekolah modern milik Syi’ah yang pertama di Kota Kembang Bandung.
Hingga 2001, Syi’ah telah mendirikan 36 yayasan di Indonesia dan terus bertambah
sampai sekarang. Di antara yayasan yang telah mereka dirikan ialah Yayasan Fatimah,
Condet Jakarta; Yayasan Al-Muntazhar, Jakarta; Yayasan Mulla Shadra, Bogor; YAPI,
Bangil; Yayasan Al-Itrah dan Yayasan Al-Hujjah, Jember; Yayasan Madina Ilmu, Bogor;
Yayasan Al-Baro’ah Tasikmalaya; Yayasan As-Salam, Majalengka; Yayasan Al-Mujtaba,
Purwakarta; Yayasan Rausyan Fikr, Jogya; Yayasan Al-Ishlah, Cirebon; Yayasan Al-
Wahdah, Solo; Yayasan Al-Amin, Semarang; Yayasan Safinatunnajah, Wonosobo;
Yayasan Pintu Ilmu, Palembang; Yayasan Al-Hakim, Lampung; Yayasan Ulul Albab,
Aceh; Yayasan Arridho, Banjarmasin; dan lainnya.
3. Pendirian Pesantren
Selanjutnya, pada 1989, berdiri pesantren Al-Hadi di Pekalongan, Jawa Tengah,
yang didirikan oleh Ahmad Baragbah dan Hasan Musawa. Pendirian ini didesak guna
menjembatani para pelajar Syi’ah untuk bisa melanjutkan studi ke Qum, Iran. Kini
diperkirakan ada 7.000-an mahasiswa Indonesia yang dikirim ke Iran untuk belajar, di
samping ribuan lainnya yang sudah pulang ke Indonesia dengan mengadakan pengajian
ataupun mendirikan yayasan, dan kegiatan lainnya. Di antara tempat pengajian, sekolah,
dan pesantren milik Syi’ah adalah MT. Ar-Riyahi; Pengajian Ummu Abiha, Pondok Indah
Jakarta; Pengajian Al-Bathul, Cililitan Jakarta; Majlis Ta’lim Al-Idrus, Purwakarta; Majlis
Ta’lim An-Nur, Tangerang; MT Al-Jawad, Tasikmalaya; dan Majlis Ta’lim Al-Alawi,
Probolinggo. Dalam kategori pesantren, tercatat Pesantren YAPI, Bangil; Pesantren Al-
Hadi, Pekalongan; SMA PLUS MUTHAHHARI, di Bandung dan Jakarta; ICAS (Islamic
College for Advanced Studies), Jakarta cabang London; Sekolah Lazuardi dari Pra-TK
sampai SMP, Jakarta; Sekolah Tinggi Madina Ilmu, Depok; dan Madrasah Nurul Iman,
Sorong.
4. Pendirian Ormas
Pada 1998, turunnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan atau era reformasi
membawa dampak yang cukup signifikan bagi pemekaran Syi’ah di Indonesia. Hal itu
menjadi jalan mulus untuk menanam bibit Syi’ah di Indonesia. Bahkan, pada orde Gus Dur,
berdirilah untuk pertama kalinya ormas Syi’ah secara resmi yang bernama IJABI (Ikatan
Jama’ah Ahlul Bait Indonesia).
Ormas IJABI tepatnya berdiri pada tahun 2000 di Bandung dengan Jalaludin
Rakhmat menjabat Ketua Dewan Syura IJABI dan Dimitri Mahayana sebagai Ketua Dewan
Tanfidziyyah. Posisi IJABI kemudian semakin kokoh setelah organisasi tersebut
mendapatkan pengakuan legal formal dari Pemerintah Indonesia pada 11 Agustus 2000.
Sampai tahun 2008, anggota yang terdaftar mencapai jumlah 2,5 juta orang di 84
cabang dan 145 subcabang IJABI yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Pada kongres
pertamanya di Bandung, Jalaludin Rakhmat memberikan klaim bahwa organisasi tersebut
memiliki tiga setengah juta pengikut di seluruh Indonesia.
Organisasi lainnya yang didirikan Syi’ah antara lain Ikatan Pemuda Ahlulbait
Indonesia (IPABI), Bogor; HPI—Himpunan Pelajar Indonesia—Iran; Shaf Muslimin
Indonesia, Cawang; MMPII, Condet; FAHMI (Forum Alumni HMI), Depok; Himpunan
Pelajar Indonesia di Republik Iran (ISLAT); Badan Kerja Sama Persatuan Pelajar Indonesia
Se- Timur Tengah dan sekitarnya (BKPPI); dan Komunitas Ahlul Bait Indonesia
(TAUBAT).
Kemudian pada 2011, di Bandung, kembali jamaah Syi’ah memprakarsai berdirinya
Majelis Sunni Syi’ah Indonesia (MUHSIN) yang kemudian menjadi wadah sosial antara
Sunni dan Syi’ah dalam versi yang ‘abu-abu’.

Anda mungkin juga menyukai