Anda di halaman 1dari 6

Artikel Islam dan Ilmu Sosial Humaniora

ISLAM, SYIAH, DAN KONFLIK SOSIAL DI INDONESIA

Soraya Nesytia Amara Bilqist


Nadia Aulia Putri
Wafy Alamul Huda

Program Studi Akuntansi Syariah, Fakultas Ekonomi Islam, UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, Indonesia

ABSTRAK
Sejarah awal masuknya Syiah ke Indonesia dipelajari melalui fase-fase perkembangannya,
mulai dari Kerajaan Samudra Pasai di Aceh hingga pengaruh Revolusi Islam Iran pada tahun
1979. Meskipun masyarakat Indonesia awalnya mengikuti ajaran Sunni, adanya lembaga
pendidikan Syiah seperti IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) menunjukkan
perkembangan Syiah di Indonesia. Konflik antara Sunni dan Syiah mencakup perbedaan
keyakinan tentang suksesi kepemimpinan dan kualifikasi seorang khalifah. Sejumlah konflik
tercatat, seperti di Bangil, Sampang, dan Yogyakarta, yang melibatkan pembakaran,
pengusiran, dan penyerangan terhadap kelompok Syiah. Meskipun Syiah terbagi dalam
beberapa aliran, stigma buruk terhadap kelompok ini tetap bertahan, menyebabkan
ketegangan dalam masyarakat.

ABSTRACT
The early history of the entry of Shia into Indonesia is studied through the phases of its
development, ranging from the Kingdom of Samudra Pasai in Aceh to the influence of the
Iranian Islamic Revolution in 1979. Although Indonesian society initially followed Sunni
teachings, the existence of Shia educational institutions such as IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul
Bait Indonesia) shows the development of Shia in Indonesia. The conflict between Sunnis and
Shiites includes differing beliefs about leadership succession and the qualifications of a
caliph. A number of conflicts were recorded, such as in Bangil, Sampang, and Yogyakarta,
involving burning, expulsions, and attacks on Shia groups. Although Shia is divided into
several sects, the stigma against the group persists, causing tension in society.
Artikel Islam dan Ilmu Sosial Humaniora

PENDAHULUAN
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Islam mulai mengalami perpecahan di bidang
politik. Dari persoalan politik, perpecahan tersebut lambat laun merambah ke persoalan
akidah dan madzhab fikih. Syiah dan sunni merupakan contoh golongan yang muncul pasca
wafatnya Nabi. Sunni merupakan kelompok Islam yang mengikuti ajaran Nabi dan pola pikir
serta nilai ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan syiah
adalah kelompok yang meyakini bahwa Nabi SAW telah menetapkan nash tentang khalifah
beliau dengan menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib.
Perbedaan prinsip keyakinan dan perbedaan pandangan dalam hal pergantian imam
membuat syiah terbagi menjadi beberapa golongan. Ada syiah zaidiyah yang ajarannya
paling dekat dengan aswaja, dan ada pula syiah ghulat yang meyakini Ali bin Abi Thalib
adalah Tuhan. Adanya paham kelompok syiah yang ekstrim tersebut melahirkan stigma
buruk terhadap kelompok ini secara general.
Perkembangan syiah di Indonesia dibagi menjadi empat fase. Syiah mulai muncul di
Indonesia ditandai dengan berdirinya Kerajaan Islam Perlak yang menganut syiah pada abad
ke-8. Fase kedua dirasakan sebagai dampak dari Revolusi Islam Iran 1979 yang menarik
simpati aktivis muda Indonesia. Fase ketiga terjadi karena masyarakat Indonesia mulai
mempelajari fikih syiah. Pada perkembangan terakhir, terbentuknya IJABI (Ikatan Jemaah
Ahlul Bait Indonesia) pada 1 Juli 2000 semakin membuat syiah semakin kokoh berdiri di
Indonesia.
Berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pengikut syiah di Indonesia, meningkat
pula ketegangan antara sunni dan syiah. Pembakaran masjid, pengusiran, serta penyerangan
terhadap pondok pesantren terjadi sebagai akibat gesekan dua kelompok tersebut.

PEMBAHASAN

1. Pengertian Islam, Syiah, dan Konflik Sosial

Pengertian Islam berasal dari akar kata Arab "Salima," yang merujuk pada konsep
keselamatan, kedamaian, dan ketaatan. Dari derivasi kata "aslama," Islam diartikan sebagai
suatu bentuk berserah diri, tunduk, patuh, dan taat kepada Allah. Etimologis kata Islam
mencerminkan ketaatan dan tunduk dalam usaha mencapai kebahagiaan serta keselamatan,
baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Artikel Islam dan Ilmu Sosial Humaniora

Dalam konteks global, Islam dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu Sunni dan
Syiah. Sunni, sebagai pengikut ajaran Nabi Muhammad, terdiri dari empat madzhab berbeda,
antara lain Hanbali, Syafi’i, Maliki, dan Hanafi. Sementara itu, Syiah, yang berasal dari kata
Arab sya’a- yasyi’u- syi’an/syi’aatan, memiliki makna sebagai "pengikut" atau "pendukung."
Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad telah menetapkan nasb dan memilih Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah, suatu pandangan yang dijelaskan oleh Muhammad Jawwad
Maghniyyah dan Ali Muhammad Al-Jurjani.

Kelompok Syiah, dengan dominasi yang signifikan di negara-negara seperti Iran, Irak,
Lebanon, Bahrain, dan Azerbaijan, memiliki tiga mazhab utama, yaitu Zaydi, Ismaili, dan
Ashariyya. Perbedaan mendasar antara Sunni dan Syiah mencuat dalam konflik sosial, yang
merupakan pertentangan menyeluruh antar anggota masyarakat. Konflik ini dipicu oleh
perbedaan kepentingan sosial, pemikiran, dan pendapat terutama terkait pengganti Rasulullah
dan kualifikasi seorang khalifah.

Perspektif Sunni menganggap khalifah sebagai pemelihara batas teritorial, kedamaian,


dan kenyamanan, sementara pandangan Syiah menekankan kompleksitas pengetahuan terkait
hukum Islam dan pemahaman esoteris Al-Qur'an. Menurut Syiah, pemilihan khalifah tidak
bisa dilakukan oleh rakyat langsung, melainkan harus melalui wahyu Allah kepada
Rasulullah. Sebagai bagian dari dinamika sosial dan keberagaman masyarakat, pemahaman
yang mendalam terhadap perbedaan ini menjadi penting untuk menjaga kerukunan.

2. Sejarah Awal Mula Masuknya Syiah ke Indonesia

Sejarah masuknya paham Syiah ke Indonesia dapat ditelusuri hingga abad ke-16, saat
dinasti Safawi yang menganut Syiah merebut kekuasaan di Persia. Pendapat ini didukung
oleh teori yang diutarakan oleh Oemar Amin Hoessein, P.A. Djajadiningrat, dan Abu Bakar
Atjeh. Salah satu figur penting dalam perkembangan Syiah di Indonesia adalah Husein al
Habsyi (1921-1994), pendiri Yayasan YAPI di Bangil, Jawa Timur. Meskipun awalnya
dikenal sebagai tokoh Sunni, Husein al Habsyi kemudian tertarik mempelajari Syiah saat
terjadi revolusi di Iran, yang secara signifikan mempengaruhi pola pikirnya. Namun, teori ini
dinilai lemah karena mayoritas masyarakat Indonesia mengidentifikasi diri sebagai Sunni
atau Ahlussunnah Wal Jamaah.
Artikel Islam dan Ilmu Sosial Humaniora

Tokoh-tokoh Muslim seperti Azyumardi Azra menentang pengaruh Persia dan paham
Syiah di Indonesia. Sebaliknya, Nurcholis Madjid meyakini bahwa kerajaan Islam Perlak,
yang diduga menganut Syiah, memerlukan peningkatan kajian. Nurcholis menyatakan bahwa
pengaruh Syiah dari Persia telah merasuki Indonesia, meskipun tidak secara langsung.

Beberapa ahli berpendapat bahwa Syiah yang dianut di Indonesia adalah Syiah
Imamiyah dari Iran. Para pengikut Syiah di Indonesia mengidentifikasi diri dengan sebutan
Ahlul Bayt, yaitu Syiah Imamiyah. Organisasi Ikatan Jamaah Ahlul Bayt Indonesia (IJABI)
dipimpin oleh Dr. Umar Shahab menjadi wadah untuk menyebarkan ajaran Syiah di
Indonesia.

Meskipun kelompok Syiah sudah lama hadir di Indonesia, perkembangannya tidak


begitu meluas karena populasi penganut Syiah yang lebih sedikit dibandingkan dengan
kelompok mubaligh dan pedagang dari Hadramaut, Yaman. Meskipun demikian, pengaruh
Syiah di Indonesia terus berkembang, terutama setelah munculnya kader-kader Syiah yang
melanjutkan pendidikan mereka ke Iran. Kader-kader ini masih aktif dan meneruskan tradisi
dengan mengirimkan santri ke Qum, Iran, dan menjalin komunikasi yang baik dengan ulama
Syiah di sana.

3. Perkembangan Syiah di Indonesia

Sejarah perkembangan Syiah di Indonesia dapat dipilah ke dalam empat fase yang
mencerminkan dinamika perjalanan ajaran ini di tanah air. Pertama, pada fase awal masuknya
Islam ke Indonesia, terutama melalui orang-orang Persia di Gujarat, Syiah tumbuh di wilayah
Aceh. Raja pertama Kerajaan Samudra Pasai, Meurah Silu, yang bergelar Malikus Saleh,
memeluk Islam yang beraliran Syiah. Perkembangan Syiah didukung oleh tokoh-tokoh
seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin ar Raniry, Syamsuddin Abdullah as Sumatrani,
Burhanuddin, dan Ismail al Abdulla. Namun, saat Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan
Iskandar Tsani, kekuasaan beralih kepada ulama Sunni, membuat kelompok Syiah memilih
taqiyah, yakni menyembunyikan identitas mereka untuk menghindari potensi ancaman.

Kemudian, fase kedua terjadi setelah Revolusi Islam Iran pada 1997, yang merubah
sistem pemerintahan Irak dari monarki menjadi republik. Figur Ayatullah Khomeini menjadi
Artikel Islam dan Ilmu Sosial Humaniora

idola baru di kalangan aktivis muda, namun untuk menekan perkembangan Syiah, Saudi
Arabia dan Indonesia menerbitkan buku-buku anti-Syiah. Meskipun demikian, ketertarikan
masyarakat terhadap ajaran ini tetap tidak terbendung.

Fase ketiga muncul ketika masyarakat Indonesia mulai mempelajari fikih Syiah
melalui habib yang belajar di Khum, Iran pada tahun 1998. Pemahaman Syiah di ranah fikih
menimbulkan perbedaan pandangan yang membawa benih-benih konflik terbuka.

Terakhir, dalam perkembangan terbaru, penganut Syiah membentuk kelompok


bernama Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Meskipun demikian, Syiah telah
menjadi realitas di tengah masyarakat Indonesia, terbukti dengan adanya lembaga pendidikan
yang bermadzhab Syiah, seperti Yayasan Muththahhari di Bandung, Pesantren Al-Hadi di
Pekalongan, Yayasan Pesantren Islam di Bangil, Jawa Timur, Yayasan Al-Islah di Makassar,
Ponpes Al-Khairat di Jepara, Yayasan Mulla Shadra di Bogor, dan Yayasan Muntazar di
Jakarta. Dalam keseluruhan dinamika perkembangannya, Syiah di Indonesia menghadapi
tantangan dan perubahan yang mencirikan keragaman di Indonesia.

4. Konflik yang terjadi antara Sunni dan Syiah

Syiah, sebagai salah satu aliran besar dalam Islam, terbagi menjadi tiga aliran utama,
yakni Zaidiyah, Imamiyah, dan Ghulat, yang masing-masing memiliki cabang dan
kepercayaan tersendiri. Syiah Zaidiyah dikenal sebagai aliran yang paling mendekati Ahlus
Sunnah Wal Jamaah, sementara Syiah Imamiyah terpecah menjadi Syiah Ismailiyah dan
Syiah Itsna Asy’ariyah, yang masing-masing memiliki pandangan unik terkait tujuh imam
dan konsep imamah. Di sisi lain, Syiah Ghulat merupakan aliran yang paling ekstrim, dengan
keyakinan kontroversial seperti menganggap Ali sebagai Tuhan, meyakini kesalahan malaikat
Jibril dalam menyampaikan wahyu, dan memperbolehkan minuman keras.

Meskipun terdapat keragaman dalam aliran Syiah, masyarakat umum telah


membentuk stigmatisasi negatif terhadap ajaran ini, merasa bahwa perbedaan ideologi,
teologi, konsep imamah, dan aqidah antara Syiah dan Sunni menjadi sumber
ketidaksepakatan. Konflik sunni-syiah di Indonesia telah mencatat beberapa insiden yang
menegaskan stigma buruk ini.
Artikel Islam dan Ilmu Sosial Humaniora

Yang pertama yaitu Konflik di Bangil di Madura, Konflik ini muncul pada 1993
setelah ditemukan surat rahasia Habib Husein al-Habsyi yang menyatakan pengakuan taqiyah
(menyembunyikan kesyiahannya). Pada 2003, konflik kembali memanas ketika kelompok
Syiah mulai terang-terangan berdakwah, menciptakan penolakan di alun-alun Bangil.

Konflik yang kedua berada di Sampang, Madura, berlangsung antara 2004-2008,


dakwah yang dianggap aneh oleh Tajul Muluk memicu ancaman, teror, dan intimidasi. Pada
2010, Tajul Muluk dilaporkan ke MUI karena dianggap meresahkan. Puncaknya, pada akhir
2011, pesantren Syiah dibakar atas nama Sunni, dan pada pertengahan 2012, orang-orang
Syiah diusir dari Madura.

Konflik terakhir ada di Yogyakarta, konflik ini timbul akibat tuduhan Front Jihad
Islam terhadap Yayasan Rausyan Fikr sebagai pusat Syiah di Yogyakarta. Konflik ini
mengakibatkan penghentian aktivitas pembelajaran dan penurunan papan nama yayasan.
Sultan Hamengkubuwono X dan Kapolda DIY berupaya memberikan jaminan keamanan
terhadap yayasan ini sebagai respons terhadap hate speech yang semakin meningkat.

Anda mungkin juga menyukai