Anda di halaman 1dari 24

Syiah di Indonesia, Seperti Apa?

Ahad, 15 Oktober 2017 05:30 Riset Keagamaan

Bagikan

Syiah di Indonesia, Seperti Apa?Kajian terkait Syiah oleh PCINU Pakistan (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Dalam lima belas tahun terakhir, ada banyak gelombang penolakan terhadap kegiatan
keagamaan yang diadakan oleh komunitas Syiah di berbagai kota di Indonesia. Bahkan, tidak
sedikit penolakan tersebut berujung kekerasan terhadap kelompok Syiah. Diakui atau tidak,
komunitas Syiah mengalami pertumbuhan di Indonesia dari tahun ke tahun. Inilah yang
menyebabkan sebagian kelompok masyarakat bereaksi. Ada yang melakukan demo atau unjuk
rasa, ada yang membangun opini agar kaum muslim tidak menyukai mazhab Syiah, dan ada juga
yang melakukan kajian tentang bagaimana Syiah ini berkembang di Indonesia.

Tahun 2016, Balitbang Diklat Kemenag melakukan kajian dan penelitian soal Syiah di Indonesia.
Penelitian dilakukan di 22 daerah. Diantara instrumen variabel yang dibahas dalam penelitian ini
adalah terkait dengan perkembangan Syiah di Indonesia.

Ada tiga gelombang perkembangan mazhab Syiah di Indonesia.

Pertama, perkembangan Syiah di Indonesia. Syiah masuk ke Indonesia dimulai sejak awal
masuknya Islam di Nusantara, tepatnya di Aceh. Kesultanan Peurleak adalah kerajaan mazhab
Syiah pada abad ke-8 M. Bahkan, Putri Sultan Peurleak terakhir di abad 13 dinikahkan dengan
raja pertama Kerajaan Samudra Pasai. Dari sini, Syiah mulai berkembang ke seluruh Indonesia.

Kedua, Revolusi Islam Iran. Perkembangan mazhab Syiah menemukan momentumnya ketika
terjadi Revolusi Islam Iran tahun 1979. Dimana pimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini berhasil
menggulingkan Rajadiraja Shah Mohammad Reza Pahlevi dan membangun Iran menjadi
Republik Islam. Hal ini menarik simpati kalangan aktivis muda dan mahasiswa Muslim di
berbagai negara, termasuk Indonesia.

Setelah revolusi itu, buku-buku yang berkaitan dengan revolusi, sejarah Syiah, akidah Syiah, dan
fikih mazhab Syiah membanjiri Indonesia dan dibaca dengan penuh minat. Di samping itu,
komunitas Syiah juga mulai mendirikan lembaga-lembaga penerbitan, yayasan, lembaga
pendidikan, kerja sama internasional. Dari sinilah mazhab Syiah semakin dikenal dan mulai
banyak yang ikut ke mazhab Syiah secara terbuka, tidak lagi sembunyi-sembunyi.

Ketiga, berdirinya ormas keagamaan Ikatan Jama’ah Ahlulbait Indonesia (IJABI) dan ormas
Ahlulbait Indonesia (ABI). Keduanya aktif melakukan sosialisasi ajaran-ajaran mazhab Syiah.
Sehingga masyarakat muslim Indonesia lebih tahu tentang fikih Ja’fari, kemudian mengenalnya
dan sebagiannya berkonversi menjadi Syiah.

Jumlah pengikut mazhab Syiah ini diperkirakan sekitar 200 ribu orang, tersebar di seluruh
wilayah di Indonesia. Meski demikian, Badan Inteljen Negara (BIN) dan Mabes Polri menyatakan
bahwa pengikut mazhab Syiah di Indonesia sekitar 6-7 juta, jauh dari yang diperkirakan semula.
Namun, sampai saat ini belum ada jumlah yang valid soal pengikut mazhab Syiah ini.

Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi pendorong dari perkembangan Syiah di
Indonesia?

Setidaknya ada dua hal yang menjadi pendorong perkembangan Syiah di Indonesia sesuai
dengan hasil penelitian tersebut. Pertama, Revolusi Islam Iran tahun 1979. Bagi seorang muslim
muda aktivis—terutama dari HMI, PII, dan PMII, Revolusi Iran adalah sebuah peristiwa yang
sangat heroik. Oleh karea itu, mereka melakukan kajian-kajian mazhab Syiah di perguruan tinggi
dan sebagian berkonversi ke mazhab Syiah.

Kedua, tuduhan terhadap Syiah. Ada banyak tuduhan yang dialamatkan kepada komunitas Syiah
seperti rukun iman dan rukun Islamnya berbeda, syahadatnya berbeda dengan umat Islam
umumnya, orang Syiah tidak mengakui khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman sebagai khalifah
karena dianggap merebut hak khalifah Ali, kaum Syiah menghujat para sahabat besar, kaum
Syiah mengkafirkan para Sahabat, membenci dan melaknat isteri Nabi Muhammad atau Aisyah.

Tuduhan lainnya menghalalkan nikah mut’ah sama dengan legalisasi pelacuran, taqiyah sama
dengan kemunafikan, adanya tahrif 19 dalam Al-Qur’an, memiliki kitab suci Al-Qur’an mushaf
Fatimah ayatnya 17.000 ayat, orang Syiah tidak melaksanakan salat Jumat, salatnya tiga waktu,
wahyu mestinya turun kepada Ali karena Jibril berkhianat sehingga wahyu jatuh kepada Nabi,
Syiah menuhankan Ali, Syiah adalah karya Abdullah bin Saba’, nikah mut’ah boleh dengan anak
kecil, menyebutkan Husein lebih besar dari Tuhan.

Namun demikian, tuduhan-tuduhan itu tidak dapat dibuktikan dan komunitas tidak mengakui
pemahamannya tidak seperti apa yang dituduhkan itu. (A Muchlishon Rochmat/Kendi Setiawan)

Syiah di Indonesia, Seperti Apa?Kajian terkait Syiah oleh PCINU Pakistan (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Dalam lima belas tahun terakhir, ada banyak gelombang penolakan terhadap kegiatan
keagamaan yang diadakan oleh komunitas Syiah di berbagai kota di Indonesia. Bahkan, tidak
sedikit penolakan tersebut berujung kekerasan terhadap kelompok Syiah. Diakui atau tidak,
komunitas Syiah mengalami pertumbuhan di Indonesia dari tahun ke tahun. Inilah yang
menyebabkan sebagian kelompok masyarakat bereaksi. Ada yang melakukan demo atau unjuk
rasa, ada yang membangun opini agar kaum muslim tidak menyukai mazhab Syiah, dan ada juga
yang melakukan kajian tentang bagaimana Syiah ini berkembang di Indonesia.

Tahun 2016, Balitbang Diklat Kemenag melakukan kajian dan penelitian soal Syiah di Indonesia.
Penelitian dilakukan di 22 daerah. Diantara instrumen variabel yang dibahas dalam penelitian ini
adalah terkait dengan perkembangan Syiah di Indonesia.

Ada tiga gelombang perkembangan mazhab Syiah di Indonesia.

Pertama, perkembangan Syiah di Indonesia. Syiah masuk ke Indonesia dimulai sejak awal
masuknya Islam di Nusantara, tepatnya di Aceh. Kesultanan Peurleak adalah kerajaan mazhab
Syiah pada abad ke-8 M. Bahkan, Putri Sultan Peurleak terakhir di abad 13 dinikahkan dengan
raja pertama Kerajaan Samudra Pasai. Dari sini, Syiah mulai berkembang ke seluruh Indonesia.

Kedua, Revolusi Islam Iran. Perkembangan mazhab Syiah menemukan momentumnya ketika
terjadi Revolusi Islam Iran tahun 1979. Dimana pimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini berhasil
menggulingkan Rajadiraja Shah Mohammad Reza Pahlevi dan membangun Iran menjadi
Republik Islam. Hal ini menarik simpati kalangan aktivis muda dan mahasiswa Muslim di
berbagai negara, termasuk Indonesia.

Setelah revolusi itu, buku-buku yang berkaitan dengan revolusi, sejarah Syiah, akidah Syiah, dan
fikih mazhab Syiah membanjiri Indonesia dan dibaca dengan penuh minat. Di samping itu,
komunitas Syiah juga mulai mendirikan lembaga-lembaga penerbitan, yayasan, lembaga
pendidikan, kerja sama internasional. Dari sinilah mazhab Syiah semakin dikenal dan mulai
banyak yang ikut ke mazhab Syiah secara terbuka, tidak lagi sembunyi-sembunyi.

Ketiga, berdirinya ormas keagamaan Ikatan Jama’ah Ahlulbait Indonesia (IJABI) dan ormas
Ahlulbait Indonesia (ABI). Keduanya aktif melakukan sosialisasi ajaran-ajaran mazhab Syiah.
Sehingga masyarakat muslim Indonesia lebih tahu tentang fikih Ja’fari, kemudian mengenalnya
dan sebagiannya berkonversi menjadi Syiah.

Jumlah pengikut mazhab Syiah ini diperkirakan sekitar 200 ribu orang, tersebar di seluruh
wilayah di Indonesia. Meski demikian, Badan Inteljen Negara (BIN) dan Mabes Polri menyatakan
bahwa pengikut mazhab Syiah di Indonesia sekitar 6-7 juta, jauh dari yang diperkirakan semula.
Namun, sampai saat ini belum ada jumlah yang valid soal pengikut mazhab Syiah ini.

Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi pendorong dari perkembangan Syiah di
Indonesia?

Setidaknya ada dua hal yang menjadi pendorong perkembangan Syiah di Indonesia sesuai
dengan hasil penelitian tersebut. Pertama, Revolusi Islam Iran tahun 1979. Bagi seorang muslim
muda aktivis—terutama dari HMI, PII, dan PMII, Revolusi Iran adalah sebuah peristiwa yang
sangat heroik. Oleh karea itu, mereka melakukan kajian-kajian mazhab Syiah di perguruan tinggi
dan sebagian berkonversi ke mazhab Syiah.

Kedua, tuduhan terhadap Syiah. Ada banyak tuduhan yang dialamatkan kepada komunitas Syiah
seperti rukun iman dan rukun Islamnya berbeda, syahadatnya berbeda dengan umat Islam
umumnya, orang Syiah tidak mengakui khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman sebagai khalifah
karena dianggap merebut hak khalifah Ali, kaum Syiah menghujat para sahabat besar, kaum
Syiah mengkafirkan para Sahabat, membenci dan melaknat isteri Nabi Muhammad atau Aisyah.

Tuduhan lainnya menghalalkan nikah mut’ah sama dengan legalisasi pelacuran, taqiyah sama
dengan kemunafikan, adanya tahrif 19 dalam Al-Qur’an, memiliki kitab suci Al-Qur’an mushaf
Fatimah ayatnya 17.000 ayat, orang Syiah tidak melaksanakan salat Jumat, salatnya tiga waktu,
wahyu mestinya turun kepada Ali karena Jibril berkhianat sehingga wahyu jatuh kepada Nabi,
Syiah menuhankan Ali, Syiah adalah karya Abdullah bin Saba’, nikah mut’ah boleh dengan anak
kecil, menyebutkan Husein lebih besar dari Tuhan.

Namun demikian, tuduhan-tuduhan itu tidak dapat dibuktikan dan komunitas tidak mengakui
pemahamannya tidak seperti apa yang dituduhkan itu. (A Muchlishon Rochmat/Kendi Setiawan)

http://www.nu.or.id/post/read/82128/syiah-di-indonesa-seperti-apa

Syiah dan Kekerasan Terhadapnya

Senin, 16 Oktober 2017 05:30 Riset Keagamaan

Bagikan

Syiah dan Kekerasan TerhadapnyaSumber: hipwee.com

Jakarta, NU Online

Selain kelompok Ahmadiyah, komunitas Syiah juga acap kali menerima perlakuan yang keras dari
sebagian kelompok Islam lainnya. Demonstrasi, penolakan kegiatan, dan bahkan pengusiran dari
kampung halaman adalah sederet perlakuan keras yang diterima komunitas Syiah selama ini.

Apa yang sebetulnya menyebabkan kekerasan terhadap komunitas yang bermazahab Syiah itu?

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Diklat Kemenag RI tahun 2016 lalu, setidaknya
ada enam penyebab kekerasan terhadap komunitas Syiah. Pertama, tuduhan sesat terhadap
mereka yang bermazhab Syiah. Ada gerakan-gerakan yang melakukan mobilisasi dan menuduh
Syiah itu sesat. Kaum muslim yang ‘tidak mengerti apa-apa’ akhirnya ikut-ikutan untuk
membenci kelompok Syiah. Saat ada kelompok yang mengajak untuk melakukan demo dan
kekerasan, kaum muslim ‘yang tidak mengerti apa-apa’ tentang Syiah secara mendalam itu ikut.

Kedua, kelompok Syiah Takfiri. Sama seperti Sunni, mazhab Syiah juga tidak bulat satu tetapi ada
beberapa—bahkan puluhan—sekte Syiah. Syiah Takfiri adalah salah satunya. Ajaran Syiah ini
tidak seperti umumnya dipahami oleh Syiah Imamiyah, sekte terbesar dalam mazhab Syiah.
Salah satu pentolan sekte Syiah ini adalah Yasir Habib yang tinggal di London. Menurut Yasir, ada
8 televisi Syiah Takfiri dan semua didanai Zionisme internasional, termasuk Arab Saudi dan
Bahrain. Semua televisi itu dibiarkan melaknat para sahabat besar Nabi Muhammad dan Aisyah.

Ketiga, adanya kelompok Salafi Takfiri. Kelompok ini dari tahun ke tahun semakin menyebar di
negara-negara Islam. Mereka seringkali mengkafirkan kelompok-kelompok yang tidak sepaham
dengan mereka, baik kelompok Sunni lainnya apalagi kelompok Syiah. Hampir semua rentetan
peristiwa yang memposisikan mazhab Syiah tidak layak menjadi alternatif suatu mazhab
dipelopori oleh kelompok ini.

Selanjutnya, perbedaan dalam memposisikan kitab sebagai sumber ajaran (Kitab Sunni dan Kitab
Syiah). Komunitas Syiah selalu melakukan kritik terhadap kitab—meskipun kitab tersebut
dikarang oleh seorang ulama besar. Jika kitab tersebut tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan akal
sehat, maka mereka tidak akan merujuknya lagi. Hal ini juga dilakukan sebagian kalangan Sunni.
Ada sebagian kalangan Sunni dan anti-Syiah yang memposisikan kitab-kitab sahih sebagai
rujukan setara dengan Al-Qur’an.

Kelima, kelompok anti-Syiah tidak melakukan klarifikasi (tabayun). Memahami mazhab Syiah
untuk kepentingan persatuan bangsa dan kerukunan internal umat beragama mestinya harus
diikuti dengan tabayun atau klarifikas secara benar dan mendalam. Namun, terkadang mereka
mengabaikan proses klarifikasi atau tabayun ini sehingga akhirnya mereka membenci kelompok
Syiah berdasarkan persepsinya sendiri. Saat narasi kebencian terhadap Syiah terbangun, lalu
disampaikan kepada umat Islam agar diikuti, maka terjadilah kebencian massal yang akut
terhadap mazhab Syiah.

Terakhir, komunitas Syiah berbahaya bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dan kelompok Sunni. Ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja mengembuskan tuduhan
bahwa Syiah itu berbahaya bagi NKRI dan Sunni. Berdasarkan fakta yang ada, tuduhan ini juga
tidak memiliki dasar pijakan. Misalkan, saat terjadi perang antara Irak dan Iran. Meski di Irak
yang mayoritas Syiah ketika perang dengan Iran, tetapi mereka tetap membela Irak, bukan Iran.
Begitu pula dengan apa yang terjadi di Lebanon.

Di Syiah memang ada sekte yang memang melenceng seperti Syiah Takfiri yang memaki-maki
sebagian besar sahabat Nabi Muhammad. Tapi itu tentu tidak bisa mempresentasikan Syiah
secara keseluruhan. Bukankah di Sunni juga ada sekte yang menyimpang dan melenceng, yaitu
Islamic State of Iraq and Syuriah (ISIS)? Wallahu ‘alam. (A Muchlishon Rochmat/Kendi Setiawan)
Syiah dan Kekerasan TerhadapnyaSumber: hipwee.com

Jakarta, NU Online

Selain kelompok Ahmadiyah, komunitas Syiah juga acap kali menerima perlakuan yang keras dari
sebagian kelompok Islam lainnya. Demonstrasi, penolakan kegiatan, dan bahkan pengusiran dari
kampung halaman adalah sederet perlakuan keras yang diterima komunitas Syiah selama ini.

Apa yang sebetulnya menyebabkan kekerasan terhadap komunitas yang bermazahab Syiah itu?

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Diklat Kemenag RI tahun 2016 lalu, setidaknya
ada enam penyebab kekerasan terhadap komunitas Syiah. Pertama, tuduhan sesat terhadap
mereka yang bermazhab Syiah. Ada gerakan-gerakan yang melakukan mobilisasi dan menuduh
Syiah itu sesat. Kaum muslim yang ‘tidak mengerti apa-apa’ akhirnya ikut-ikutan untuk
membenci kelompok Syiah. Saat ada kelompok yang mengajak untuk melakukan demo dan
kekerasan, kaum muslim ‘yang tidak mengerti apa-apa’ tentang Syiah secara mendalam itu ikut.

Kedua, kelompok Syiah Takfiri. Sama seperti Sunni, mazhab Syiah juga tidak bulat satu tetapi ada
beberapa—bahkan puluhan—sekte Syiah. Syiah Takfiri adalah salah satunya. Ajaran Syiah ini
tidak seperti umumnya dipahami oleh Syiah Imamiyah, sekte terbesar dalam mazhab Syiah.
Salah satu pentolan sekte Syiah ini adalah Yasir Habib yang tinggal di London. Menurut Yasir, ada
8 televisi Syiah Takfiri dan semua didanai Zionisme internasional, termasuk Arab Saudi dan
Bahrain. Semua televisi itu dibiarkan melaknat para sahabat besar Nabi Muhammad dan Aisyah.

Ketiga, adanya kelompok Salafi Takfiri. Kelompok ini dari tahun ke tahun semakin menyebar di
negara-negara Islam. Mereka seringkali mengkafirkan kelompok-kelompok yang tidak sepaham
dengan mereka, baik kelompok Sunni lainnya apalagi kelompok Syiah. Hampir semua rentetan
peristiwa yang memposisikan mazhab Syiah tidak layak menjadi alternatif suatu mazhab
dipelopori oleh kelompok ini.

Selanjutnya, perbedaan dalam memposisikan kitab sebagai sumber ajaran (Kitab Sunni dan Kitab
Syiah). Komunitas Syiah selalu melakukan kritik terhadap kitab—meskipun kitab tersebut
dikarang oleh seorang ulama besar. Jika kitab tersebut tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan akal
sehat, maka mereka tidak akan merujuknya lagi. Hal ini juga dilakukan sebagian kalangan Sunni.
Ada sebagian kalangan Sunni dan anti-Syiah yang memposisikan kitab-kitab sahih sebagai
rujukan setara dengan Al-Qur’an.

Kelima, kelompok anti-Syiah tidak melakukan klarifikasi (tabayun). Memahami mazhab Syiah
untuk kepentingan persatuan bangsa dan kerukunan internal umat beragama mestinya harus
diikuti dengan tabayun atau klarifikas secara benar dan mendalam. Namun, terkadang mereka
mengabaikan proses klarifikasi atau tabayun ini sehingga akhirnya mereka membenci kelompok
Syiah berdasarkan persepsinya sendiri. Saat narasi kebencian terhadap Syiah terbangun, lalu
disampaikan kepada umat Islam agar diikuti, maka terjadilah kebencian massal yang akut
terhadap mazhab Syiah.

Terakhir, komunitas Syiah berbahaya bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dan kelompok Sunni. Ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja mengembuskan tuduhan
bahwa Syiah itu berbahaya bagi NKRI dan Sunni. Berdasarkan fakta yang ada, tuduhan ini juga
tidak memiliki dasar pijakan. Misalkan, saat terjadi perang antara Irak dan Iran. Meski di Irak
yang mayoritas Syiah ketika perang dengan Iran, tetapi mereka tetap membela Irak, bukan Iran.
Begitu pula dengan apa yang terjadi di Lebanon.

Di Syiah memang ada sekte yang memang melenceng seperti Syiah Takfiri yang memaki-maki
sebagian besar sahabat Nabi Muhammad. Tapi itu tentu tidak bisa mempresentasikan Syiah
secara keseluruhan. Bukankah di Sunni juga ada sekte yang menyimpang dan melenceng, yaitu
Islamic State of Iraq and Syuriah (ISIS)? Wallahu ‘alam. (A Muchlishon Rochmat/Kendi Setiawan)

http://www.nu.or.id/post/read/82161/syiah-dan-kekerasan-terhadapnya

Hadapi Wahabi dan Syiah dengan Ilmu!

Kamis, 05 Februari 2015 12:01 Nasional

Bagikan

Hadapi Wahabi dan Syiah dengan Ilmu!

Subang, NU Online

Salah satu prinsip yang dipegang teguh oleh kelompok Ahlussunah wal Jamah adalah attawasuth
yang berarti moderat atau berada di tengah-tengah, meski dengan posisi semacam ini ia menjadi
rebutan bagi kelompok Wahabi dan Syiah.
<>

Demikian disampaikan KH. Musyfiq Amrullah, Ketua PCNU Kabupaten Subang dalam
sambutannya pada kegiatan Daurah Ilmiah di Auditorium PCNU setempat, Rabu (4/2)

Dalam kegiatan itu, PCNU Subang mengundang ulama dari Beirut, Lebanon, Syekh Kholil Abdul
Qadir Dabbagh Alhasani.

"Tadi di atas (lantai 2), beliau (Syekh Kholil Dabagh Alhasani), ditanya sama pengurus NU,
bagaimana sikap kita dalam menghadapi Wahabi dan Syiah? Beliau menjawab menghadapi
mereka harus dengan ilmu," ungkap Pengasuh Pesantren Attawazun Kalijati, Subang itu

Karena kita, lanjut Musyfiq, secara finansial kalah dengan Wahabi yang selalu diberi sokongan
dana dari Timur Tengah khususnya Arab Saudi.

"Mereka bisa mencetak jutaan eksemplar buku dan disebar ke Indonesia, dengan uang yang
banyak mereka juga bisa bangun masjid, pesantren lalu menyebarkan pahamnya di Indonesia.
Nah kita harus memperkuat keilmuan Aswaja kita," tambahnya

Selain Wahabi, Syaikh Kholil pun menyinggung soal Syiah. Menurutnya yang berperang di Syiria
dan Irak sebenarnya adalah antara Wahabi dan Syiah.

"ISIS di Irak dan Syiria, lawannya itu adalah sebenarnya Syiah, kita di mana? NU dan Ahlussunah
wal Jamaah berada di tengah-tengah kedua kelompok itu dan kita selalu ditarik-tarik oleh
Wahabi dan Syiah," pungkasnya. (Aiz Luthfi/Mahbib)

Hadapi Wahabi dan Syiah dengan Ilmu!

Subang, NU Online

Salah satu prinsip yang dipegang teguh oleh kelompok Ahlussunah wal Jamah adalah attawasuth
yang berarti moderat atau berada di tengah-tengah, meski dengan posisi semacam ini ia menjadi
rebutan bagi kelompok Wahabi dan Syiah.
<>

Demikian disampaikan KH. Musyfiq Amrullah, Ketua PCNU Kabupaten Subang dalam
sambutannya pada kegiatan Daurah Ilmiah di Auditorium PCNU setempat, Rabu (4/2)

Dalam kegiatan itu, PCNU Subang mengundang ulama dari Beirut, Lebanon, Syekh Kholil Abdul
Qadir Dabbagh Alhasani.

"Tadi di atas (lantai 2), beliau (Syekh Kholil Dabagh Alhasani), ditanya sama pengurus NU,
bagaimana sikap kita dalam menghadapi Wahabi dan Syiah? Beliau menjawab menghadapi
mereka harus dengan ilmu," ungkap Pengasuh Pesantren Attawazun Kalijati, Subang itu

Karena kita, lanjut Musyfiq, secara finansial kalah dengan Wahabi yang selalu diberi sokongan
dana dari Timur Tengah khususnya Arab Saudi.

"Mereka bisa mencetak jutaan eksemplar buku dan disebar ke Indonesia, dengan uang yang
banyak mereka juga bisa bangun masjid, pesantren lalu menyebarkan pahamnya di Indonesia.
Nah kita harus memperkuat keilmuan Aswaja kita," tambahnya

Selain Wahabi, Syaikh Kholil pun menyinggung soal Syiah. Menurutnya yang berperang di Syiria
dan Irak sebenarnya adalah antara Wahabi dan Syiah.

"ISIS di Irak dan Syiria, lawannya itu adalah sebenarnya Syiah, kita di mana? NU dan Ahlussunah
wal Jamaah berada di tengah-tengah kedua kelompok itu dan kita selalu ditarik-tarik oleh
Wahabi dan Syiah," pungkasnya. (Aiz Luthfi/Mahbib)

http://www.nu.or.id/post/read/57423/hadapi-wahabi-dan-syiah-dengan-ilmu

PBNU: Syiah Masuk dalam Golongan Al Firaq Al Islamiyyah

Rabu, 04 Januari 2012 14:56 Warta

Bagikan
Jakarta, NU Online - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali menegaskan, aksi
pembakaran pesantren di Sampang, Madura, tidak memiliki latar belakang pemusuhan antara
aliran Sunni dan Syiah. Bahkan Syiah yang oleh sebagian besar orang dikategorikan aliran sesat,
dengan tegas dinyatakan masih dalam golongan Al Firaq Al Islamiyyah.

Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj mengatakan, Syiah sebagai bagian Al Firaq Al Islamiyyah
sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya semasa menjalani studi di Universitas Ummul Qura',
Mekah. Syiah diakuinya masuk dalam mata kuliah Al Firaq Al Islamiyyah atau partai-partai Islam,
yang di antaranya meliputi Khawarij, Jabariyyah, Mu'tazilah, Qadariyyah, Murjiah, Asy'ariyyah,
Maturidiyyah dan lain sebagainya. Sebagai perbandingannya juga diajarkan Al Firaq Ghairul
Islamiyyah, yaitu partai-partai di luar Islam atau perpecahan dalam Islam yang sudah keluar dari
ajaran Islam, di antaranya Qadiyaniyyah, Ismailiyyah, dan Bathiniyyah.

"Syiah masih bagian dari ajaran Islam, bagian dari Al Firaq Al Islamiyyah, dan NU tidak gampang
memberikan stigma sesat pada aliran lain," tegas Kiai Said di Jakarta, Rabu (4/1).<>

Kiai Said juga mengatakan, NU tidak gampang memberikan stigma sesat pada suatu aliran juga
mengacu pada dasar pendirian NU oleh KH. Hasyim Asyari, yaitu ukhuwah Islamiyah,
Wathaniyyah dan Insaniyyah. "(Penilaian) Ini juga sesuai dengan sikap NU yang setia mengawal
UUD 1945, tepatnya pasal dua puluh sembilan," tandasnya.

Lebih lanjut Kiai yang akrab disapa Kang Said ini juga mengatakan, Syiah sama dengan aliran lain
dalam Islam karena bisa didebatkan perbedaan-perbedaan yang ada di antara satu sama lainnya.
Khusus mengenai perbedaan ajaran Sunni dan Syiah, dialog-dialog yang tak jarang berujung
debat sudah pernah dilakukan di tingkat internasional dan nasional.

"Tingkat internasional pernah digelar di Doha, Qatar. Saat itu dari Indonesia yang hadir saya
sendiri dan Pak Nasarudin (Umar). Tingkat nasional pernah digelar di Istana Bogor, yang
membuka saat itu bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," ungkap Kang Said.

Untuk aksi pembakaran pesantren di Sampang, Madura, Kang Said juga kembali menegaskan
kejadian tersebut berlatarbelakang persoalan keluarga. Penilaian ini juga mengacu pada kondisi
penganut ajaran Syiah di berbagai daerah di Indonesia, antara lain Banten, Jakarta, Jawa Barat
dan Jawa Tengah yang selama ini hidup aman berdampingan dengan penganut aliran lain dalam
Islam.

"Artinya itu memang karakter masyarakat di sana (Madura) dan ada penyebab lain terjadinya
pembakaran itu, salah satunya persoalan keluarga. Kondisinya semakin sulit setelah ada pihak-
pihak lain yang memanfaatkannya untuk mencoba menghancurkan kerukunan umat beragama di
Indonesia," pungkas Kang Said.

Penulis: Emha Nabil Haroen

Jakarta, NU Online - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali menegaskan, aksi
pembakaran pesantren di Sampang, Madura, tidak memiliki latar belakang pemusuhan antara
aliran Sunni dan Syiah. Bahkan Syiah yang oleh sebagian besar orang dikategorikan aliran sesat,
dengan tegas dinyatakan masih dalam golongan Al Firaq Al Islamiyyah.

Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj mengatakan, Syiah sebagai bagian Al Firaq Al Islamiyyah
sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya semasa menjalani studi di Universitas Ummul Qura',
Mekah. Syiah diakuinya masuk dalam mata kuliah Al Firaq Al Islamiyyah atau partai-partai Islam,
yang di antaranya meliputi Khawarij, Jabariyyah, Mu'tazilah, Qadariyyah, Murjiah, Asy'ariyyah,
Maturidiyyah dan lain sebagainya. Sebagai perbandingannya juga diajarkan Al Firaq Ghairul
Islamiyyah, yaitu partai-partai di luar Islam atau perpecahan dalam Islam yang sudah keluar dari
ajaran Islam, di antaranya Qadiyaniyyah, Ismailiyyah, dan Bathiniyyah.

"Syiah masih bagian dari ajaran Islam, bagian dari Al Firaq Al Islamiyyah, dan NU tidak gampang
memberikan stigma sesat pada aliran lain," tegas Kiai Said di Jakarta, Rabu (4/1).<>

Kiai Said juga mengatakan, NU tidak gampang memberikan stigma sesat pada suatu aliran juga
mengacu pada dasar pendirian NU oleh KH. Hasyim Asyari, yaitu ukhuwah Islamiyah,
Wathaniyyah dan Insaniyyah. "(Penilaian) Ini juga sesuai dengan sikap NU yang setia mengawal
UUD 1945, tepatnya pasal dua puluh sembilan," tandasnya.
Lebih lanjut Kiai yang akrab disapa Kang Said ini juga mengatakan, Syiah sama dengan aliran lain
dalam Islam karena bisa didebatkan perbedaan-perbedaan yang ada di antara satu sama lainnya.
Khusus mengenai perbedaan ajaran Sunni dan Syiah, dialog-dialog yang tak jarang berujung
debat sudah pernah dilakukan di tingkat internasional dan nasional.

"Tingkat internasional pernah digelar di Doha, Qatar. Saat itu dari Indonesia yang hadir saya
sendiri dan Pak Nasarudin (Umar). Tingkat nasional pernah digelar di Istana Bogor, yang
membuka saat itu bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," ungkap Kang Said.

Untuk aksi pembakaran pesantren di Sampang, Madura, Kang Said juga kembali menegaskan
kejadian tersebut berlatarbelakang persoalan keluarga. Penilaian ini juga mengacu pada kondisi
penganut ajaran Syiah di berbagai daerah di Indonesia, antara lain Banten, Jakarta, Jawa Barat
dan Jawa Tengah yang selama ini hidup aman berdampingan dengan penganut aliran lain dalam
Islam.

"Artinya itu memang karakter masyarakat di sana (Madura) dan ada penyebab lain terjadinya
pembakaran itu, salah satunya persoalan keluarga. Kondisinya semakin sulit setelah ada pihak-
pihak lain yang memanfaatkannya untuk mencoba menghancurkan kerukunan umat beragama di
Indonesia," pungkas Kang Said.

Penulis: Emha Nabil Haroen

http://www.nu.or.id/post/read/35644/pbnu-syiah-masuk-dalam-golongan-al-firaq-al-islamiyyah

Grand Syekh Al-Azhar: Sunni dan Syiah Adalah Saudara

Senin, 22 Februari 2016 19:30 Nasional

Bagikan

Grand Syekh Al-Azhar: Sunni dan Syiah Adalah Saudara

Jakarta, NU Online

Grand Syekh Al Azhar Prof Dr Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb mengatakan
bahwa umat Islam yang berakidah Ahlussunah bersaudara dengan umat Islam dari golongan
Syiah.
“Sunni dan Syiah adalah saudara,” terang Syekh Ath-Thayyeb saat dimintai pandangannya oleh
Dirjen Bimas Islam Machasin terkait permasalahan Sunni dan Syiah saat melakukan pertemuan
di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta, Senin (22/02) seperti dikutip dari laman
kemenag.go.id. Hadir dalam kesempatan ini, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin serta
sejumlah ulama dan tokoh cendekiawan Muslim.

Menurut Syekh Ath-Thayyeb, Islam mempunyai definisi yang jelas. Yaitu, bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, berpuasa, berzakat,
dan beribadah haji bagi yang mampu.

“Mereka yang melaksanakan lima hal pokok ini maka dia Muslim. Kecuali mereka yang
mendustakan,” tegasnya.

Grand Syekh menilai bahwa tidak ada masalah prinsip yang menyebabkan kaum Syiah keluar dari
Islam. Bahkan, banyak ajaran Syiah yang dekat dengan pemahaman Sunni. Perbedaan antara
Sunni dan Syiah dalam pandangan Syekh Thayyeb hanya pada masalah imamiah.

“Syiah mengatakan imamiah bagian dari ushuluddin, kita mengatakan sebagai masalah furu’,”
terangnya.

“Kalau kita membaca kitab-kitab Syiah yang lama, mereka secara umum menghormati para
sahabat,” tambahnya lagi.

Bersama Majelis Hukama Al Muslimin yang dipimpinnya, Syekh Ath-Thayyeb dijadwalkan akan
berada di Indonesia selama 6 hari guna menghadiri serangkaian acara. Red: Mukafi Niam

Grand Syekh Al-Azhar: Sunni dan Syiah Adalah Saudara

Jakarta, NU Online

Grand Syekh Al Azhar Prof Dr Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb mengatakan
bahwa umat Islam yang berakidah Ahlussunah bersaudara dengan umat Islam dari golongan
Syiah.
“Sunni dan Syiah adalah saudara,” terang Syekh Ath-Thayyeb saat dimintai pandangannya oleh
Dirjen Bimas Islam Machasin terkait permasalahan Sunni dan Syiah saat melakukan pertemuan
di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta, Senin (22/02) seperti dikutip dari laman
kemenag.go.id. Hadir dalam kesempatan ini, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin serta
sejumlah ulama dan tokoh cendekiawan Muslim.

Menurut Syekh Ath-Thayyeb, Islam mempunyai definisi yang jelas. Yaitu, bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, berpuasa, berzakat,
dan beribadah haji bagi yang mampu.

“Mereka yang melaksanakan lima hal pokok ini maka dia Muslim. Kecuali mereka yang
mendustakan,” tegasnya.

Grand Syekh menilai bahwa tidak ada masalah prinsip yang menyebabkan kaum Syiah keluar dari
Islam. Bahkan, banyak ajaran Syiah yang dekat dengan pemahaman Sunni. Perbedaan antara
Sunni dan Syiah dalam pandangan Syekh Thayyeb hanya pada masalah imamiah.

“Syiah mengatakan imamiah bagian dari ushuluddin, kita mengatakan sebagai masalah furu’,”
terangnya.

“Kalau kita membaca kitab-kitab Syiah yang lama, mereka secara umum menghormati para
sahabat,” tambahnya lagi.

Bersama Majelis Hukama Al Muslimin yang dipimpinnya, Syekh Ath-Thayyeb dijadwalkan akan
berada di Indonesia selama 6 hari guna menghadiri serangkaian acara. Red: Mukafi Niam

http://www.nu.or.id/post/read/65954/grand-syekh-al-azhar-sunni-dan-syiah-adalah-saudara

Sunni-Syiah Punya Kedekatan Historis dan Kultural

Ahad, 30 November 2014 19:31 Nasional


Bagikan

Sunni-Syiah Punya Kedekatan Historis dan Kultural

Jakarta, NU Online

Konflik antara Sunni dan Syiah seolah terus berkepanjangan, padahal secara historis dan kultural
keduanya mempunyai kedekatan. Munculnya konflik antara dua aliran ini dimulai dari jalur
politik.

<>

Demikian disampaikan sejarawan Islam Nusantara, Agus Sunyoto, ketika menyampaikan tentang
pengaruh Syiah Zaidiyah dalam proses Islamisasi Nusantara di hadapan mahasiswa Pascasarjana
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta Kelas Ciganjur, Jumat (28/11).

"Sunni dengan Syiah tidak praktis hitam putih begitu itu. Sekarang aja ketika muncul Syiah politik
macam-macam itu kan, sekarang baru terjadi (gesekan), dulu tidak begitu," tegas Dosen
Arkeologi STAINU Jakarta ini.

Lebih lanjut Agus mengisahkan tentang diskusinya dengan orang Syiah yang memberikan
penilaian negatif kepada Abu Bakar. Saat itu Agus langsung bertanya kepada orang Syiah itu
tentang sosok Imam Ja`far Shadiq. Dijelaskan bahwa Imam Ja`far Shadiq adalah keturunan dari
Imam Ali, dari Imam Zainal Abidin dan seterusnya.

"Kamu tahu nggak ibunya Imam Ja`far Shadiq itu sopo? Nggak tahu dia. Saya beri tahu ibunya
Ja`far itu, Shafah itu cucunya Abu Bakar, nah dalam tulisannya Ja`far Shadiq itu kamu akan baca
bagaimana Ja`far itu memuji-muji kakeknya yang bernama Abu Bakar karena itu Imam Ja`far
diberi gelar ‘Shadiq’. Kenapa? Perilakunya persis kakeknya Abu Bakar Asshidiq, maka dia disebut
Ja`far Shadiq, namanya Ja`far aja nggak pake Shadiq, artinya kalau Imam Ja`far tahu kamu
menghujat Abu Bakar Ashidiq, wah kamu bisa ditempelengi Ja`far Shadiq karena menghina
kakeknya, dia memuji-muji kamu malah mencela dia," papar penulis buku Atlas Wali Songo itu.

Agus pun menyesalkan perilaku orang-orang Syiah yang banyak mencela dan menghina Abu
Bakar, padahal Imamnya sendiri, Imam Ja`far Shadiq adalah keturunan Abu Bakar dari pihak Ibu,
bahkan Imam Ja`far Shadiq sangat menghormati dan memuji-muji Abu Bakar namun sayangnya
para penganut Syiah justru banyak yang mencela, seolah-olah menghilangkan hubungan dekat
dengan empat sahabat Nabi (khulafaurrasyidin).

Sebaliknya, lanjut Agus, orang-orang yang anti Syiah juga berlebihan karena mereka mengatakan,
“Awas hati-hati paham Ja`fari sudah berkembang di Indonesia, itu paham Syiah, paham sesat.”
Statemen ini, menurutnya, cukup ironis karena Imam Ja`far Shadiq adalah guru dari imam
mazhab fiqh, yakni Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah.

"Kalau kamu meyakini bahwa paham yang dibangun oleh Imam Ja`far Shadiq itu sesat, ya kamu
harus memberikan kesimpulan juga berarti kalau Ja`far Shadiq sesat, mazhab Ja`fari sesat,
murid-muridnya pasti sesat juga. Imam Ja`far itu punya murid Imam Malik dan Imam Abu
Hanifah, itu berarti dua orang itu sesat juga, berani nggak kamu mengatakan Imam Malik dan
Imam Abu Hanifah sesat, nah Imam Maliki itu punya murid, Imam Syafi`i, apa sesat juga?"
ujarnya.

Untuk itu, Agus mengimbau, dalam meneliti sejarah hendaknya melepaskan aspek-aspek
emosional seperti kebencian atau kecintaan, karena jika salah satu dari dua aspek ini hadir
dalam diri seorang peneliti maka hasilnya tidak akan objektif. (Aiz Luthfi/Mahbib)

Sunni-Syiah Punya Kedekatan Historis dan Kultural

Jakarta, NU Online

Konflik antara Sunni dan Syiah seolah terus berkepanjangan, padahal secara historis dan kultural
keduanya mempunyai kedekatan. Munculnya konflik antara dua aliran ini dimulai dari jalur
politik.

<>

Demikian disampaikan sejarawan Islam Nusantara, Agus Sunyoto, ketika menyampaikan tentang
pengaruh Syiah Zaidiyah dalam proses Islamisasi Nusantara di hadapan mahasiswa Pascasarjana
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta Kelas Ciganjur, Jumat (28/11).

"Sunni dengan Syiah tidak praktis hitam putih begitu itu. Sekarang aja ketika muncul Syiah politik
macam-macam itu kan, sekarang baru terjadi (gesekan), dulu tidak begitu," tegas Dosen
Arkeologi STAINU Jakarta ini.
Lebih lanjut Agus mengisahkan tentang diskusinya dengan orang Syiah yang memberikan
penilaian negatif kepada Abu Bakar. Saat itu Agus langsung bertanya kepada orang Syiah itu
tentang sosok Imam Ja`far Shadiq. Dijelaskan bahwa Imam Ja`far Shadiq adalah keturunan dari
Imam Ali, dari Imam Zainal Abidin dan seterusnya.

"Kamu tahu nggak ibunya Imam Ja`far Shadiq itu sopo? Nggak tahu dia. Saya beri tahu ibunya
Ja`far itu, Shafah itu cucunya Abu Bakar, nah dalam tulisannya Ja`far Shadiq itu kamu akan baca
bagaimana Ja`far itu memuji-muji kakeknya yang bernama Abu Bakar karena itu Imam Ja`far
diberi gelar ‘Shadiq’. Kenapa? Perilakunya persis kakeknya Abu Bakar Asshidiq, maka dia disebut
Ja`far Shadiq, namanya Ja`far aja nggak pake Shadiq, artinya kalau Imam Ja`far tahu kamu
menghujat Abu Bakar Ashidiq, wah kamu bisa ditempelengi Ja`far Shadiq karena menghina
kakeknya, dia memuji-muji kamu malah mencela dia," papar penulis buku Atlas Wali Songo itu.

Agus pun menyesalkan perilaku orang-orang Syiah yang banyak mencela dan menghina Abu
Bakar, padahal Imamnya sendiri, Imam Ja`far Shadiq adalah keturunan Abu Bakar dari pihak Ibu,
bahkan Imam Ja`far Shadiq sangat menghormati dan memuji-muji Abu Bakar namun sayangnya
para penganut Syiah justru banyak yang mencela, seolah-olah menghilangkan hubungan dekat
dengan empat sahabat Nabi (khulafaurrasyidin).

Sebaliknya, lanjut Agus, orang-orang yang anti Syiah juga berlebihan karena mereka mengatakan,
“Awas hati-hati paham Ja`fari sudah berkembang di Indonesia, itu paham Syiah, paham sesat.”
Statemen ini, menurutnya, cukup ironis karena Imam Ja`far Shadiq adalah guru dari imam
mazhab fiqh, yakni Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah.

"Kalau kamu meyakini bahwa paham yang dibangun oleh Imam Ja`far Shadiq itu sesat, ya kamu
harus memberikan kesimpulan juga berarti kalau Ja`far Shadiq sesat, mazhab Ja`fari sesat,
murid-muridnya pasti sesat juga. Imam Ja`far itu punya murid Imam Malik dan Imam Abu
Hanifah, itu berarti dua orang itu sesat juga, berani nggak kamu mengatakan Imam Malik dan
Imam Abu Hanifah sesat, nah Imam Maliki itu punya murid, Imam Syafi`i, apa sesat juga?"
ujarnya.

Untuk itu, Agus mengimbau, dalam meneliti sejarah hendaknya melepaskan aspek-aspek
emosional seperti kebencian atau kecintaan, karena jika salah satu dari dua aspek ini hadir
dalam diri seorang peneliti maka hasilnya tidak akan objektif. (Aiz Luthfi/Mahbib)

http://www.nu.or.id/post/read/56057/sunni-syiah-punya-kedekatan-historis-dan-kultural

Gerakan Syiah di Indonesia

Senin, 30 Mei 2011 11:11 Opini

Bagikan

Oleh H. As’ad Said Ali

Syi’ah yang berkembang di Indonesia dapat dibedakan kedalam dua corak, yakni Syi’ah politik,
dan Syi’ah non-politik. Syi’ah politik adalah mereka yang memiliki cita-cita politik untuk
membentuk negara Islam, sedangkan Syi’ah non-politik mencita-citakan membentuk masyarakat
Syi’ah. Syi’ah politik aktivitasnya menekankan pada penyebaran ide-ide politik dan pembentukan
lapisan intelektual Syi’ah, sedangkah Syiah non-politik menekankan pada pengembangan ide-ide
fikih Syi’ah.

Syi’ah non-politik atau Syi’ah fikih masuk ke Indonesia sejak awal abad 19, yang dibawa oleh
pedagang-pedagang dari Gujarat, India, dan ulama-ulama dari Hadramaut. Salah satu tokohnya
yang membawa masuk ke Indonesia adalah Habib Saleh Al-Jufri, mantan panglima perang Syarif
Husen, kakek dari Raja Husen Yordania, yang dikalahkan oleh Abdul Aziz, bapak dari Raja
Abdullah Arab Saudi. Syi’ah yang mereka bawa ke Indonesia pada gelombang ini adalah Syi’ah
Zaidiyah. Pada awalnya cara dakwahnya dilakukan secara individu-individu, kemudian, sejak
kemerdekaan beberapa tokoh dari mereka membentuk pesantren, salah satunya adalah Husen
Al-Habsyi, mendirikan Pesantren YAPI di Bangil, Jawa Timur. <>

Sementara itu, Syi’ah politik masuk Indonesia baru kemudian, yaitu sejak pecahnya Revolusi Iran
tahun 1979. Jika Syi’ah fikih mengembangkan dirinya melalui dukungan swasta, sebaliknya Syi’ah
politik mendapat dukungan resmi dari pemerintah Iran. Namun demikian sejak revolusi Iran,
Syi’ah fikih juga mendapatkan dukungan resmi dari pemerintah.
Strategi dakwah Syi’ah politik pada awalnya menggunakan pendekatan kampus. Beberapa
kampus yang menjadi basisnya adalah Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Jayabaya
Jakarta, Universitas Pajajaran (Unpad) Bandung, dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun
karena gagal dan kalah berkembang dengan kelompok Ihwan, akhirnya pada tahun 1990-an
strateginya diubah. Kini kelompok Syi’ah keluar dari kampus dan mengembangkan dakwahnya
langsung ke tengah masyarakat melalui pendirian sejumlah yayasan dan membentuk ormas
bernama IJABI (Iakatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia). Yayasan-yayasan itu sebagian
mengkhususkan pada kegiatan penerbitan buku, sebagian lainnya membangun kelompok-
kelompok intelektual dengan program beasiswa ke luar negeri (ke Qum, Iran) dan sebagian lagi
mengembangkan kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan.

Sejauh yang dapat diketahui, generasi program beasiswa ke Qum, Iran, yang pertama adalah
Umar Shahab dan Husein Shahab. Keduanya berasal dari YAPI, Bangil, dan pulang ke Indonesia
tahun 1970-an. Kedua tokoh inilah yang mengembangkan Syi’ah dikalangan kampus pada awal
1980-an. Tidak banyak yang berhasil dikader dan menjadi tokoh. Dari UI misalnya, diantaranya
adalah Agus Abubakar dan Sayuti As-Syatiri. Dari Universitas Jayabaya muncul Zulfan Lindan, dan
dari ITB muncul Haidar Bagir. Namun perlu digarisbawahi, di luar jalur kedua tokoh diatas, pada
pertengahan 1980-an muncul Jalaluddin Rahmat sebagai cendekiawan Syi’ah.

Namun seiring berhasilnya revolusi Islam di Iran, sejak 1981 gelombang pengiriman mahasiswa
ke Qum mulai semakin intensif. Generasi alumni Qum kedua inilah yang sekarang banyak
memimpin yayasan-yayasan Syi’ah dan menjadi pelopor gerakan Syi’ah di Indonesia.

Kini, gerakan Syiah di Indonesia diorganisir olehl Islamic Cultural Center (ICC), dipimpin Syaikh
Mohsen Hakimollah, yang datang langsung dari Iran. Secara formal organisasi ini bergerak dalam
bidang pendidikan dan dakwah. ICC Jakarta dibawah kendali dan pengawasan langsung Supreme
Cultural Revolution Council (SCRC) Iran.

Di bidang pendidikan ICC mengorganisir lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan penerbitan


yang jumlahnya sangat banyak dan bertebaran diberbagai daerah. Sedangkan dibidang dakwah,
ICC bergerak di dua sektor, pertama, gerakan kemasyarakatan, yang dijalankan oleh Ikatan
Jamaah Ahlul Bait (IJABI), kedua, gerakan politik, yang dijalankan oleh yayasan OASE. Yayasan ini
mengkhusukan bergerak dibidang mobilisasi opini publik. Sedangkan untuk bidang gerakan
politik dan parlemen dikomandani oleh sejumlah tokoh. Strategi politik parlementer yang
mereka tempuh ini dilakukan dengan cara menyebarkan kader ke sejumlah partai politik.
Mengenai IJABI sebagai motor gerakan kemasyarakatan, hingga sekarang strukturnya telah
meluas secara nasional hingga di Daerah Tingkat II. Tentu format yang demikian dapat menjadi
kekuatan efektif untuk memobilisasi pengaruh dan kepentingan politik. Kader-kader IJABI selain
telah banyak yang aktif di dunia kampus, kelompok-kelompok pengajian, lembaga-lembaga sosial
dan media, di daerah-daerah juga telah banyak yang menjadi anggota parlemen. Di level daerah
inilah IJABI memiliki peranan penting sebagai simpul gerakan dakwah dan politik di masing-
masing daerah.

Marja Al Taqlid dan Sayap Militer Syiah

Dewasa ini Syiah Indonesia sedang berupaya membuat lembaga yang disebut Marja al-Taqlid,
sebuah institusi kepemimpinan agama yang sangat terpusat, diisi oleh ulama-ulama Syiah
terkemuka dan memiliki otoritas penuh untuk pembentukan pemerintah dan konstitusi Islam. Di
beberapa negara yang masuk dalam kaukus Persia lembaga itu telah berdiri kokoh dan
memainkan peran yang efektif dengan kepemimpinan yang sangat kuat. Di Irak misalnya,
lembaga Marja Al Taqlid dipimpin oleh Ayatollah Agung Ali al-Sistani.

Lembaga Marja Al Taqlid, selain berfungsi menyusun dan mempersiapkan pembentukan


pemerintahan dan konstitusi Islam, juga berfungsi menyusun prioritas-prioritas pemerintah,
termasuk pembentukan sayap militer yang disebut amktab atau lajnah asykariyah. Selama Marja
al Taqlid ini belum terbentuk maka pembentukan maktab askariyah pun pastilah belum
sistematis dan terstruktur. (bersambung)

*Wakil ketua umum PBNU

Oleh H. As’ad Said Ali

Syi’ah yang berkembang di Indonesia dapat dibedakan kedalam dua corak, yakni Syi’ah politik,
dan Syi’ah non-politik. Syi’ah politik adalah mereka yang memiliki cita-cita politik untuk
membentuk negara Islam, sedangkan Syi’ah non-politik mencita-citakan membentuk masyarakat
Syi’ah. Syi’ah politik aktivitasnya menekankan pada penyebaran ide-ide politik dan pembentukan
lapisan intelektual Syi’ah, sedangkah Syiah non-politik menekankan pada pengembangan ide-ide
fikih Syi’ah.

Syi’ah non-politik atau Syi’ah fikih masuk ke Indonesia sejak awal abad 19, yang dibawa oleh
pedagang-pedagang dari Gujarat, India, dan ulama-ulama dari Hadramaut. Salah satu tokohnya
yang membawa masuk ke Indonesia adalah Habib Saleh Al-Jufri, mantan panglima perang Syarif
Husen, kakek dari Raja Husen Yordania, yang dikalahkan oleh Abdul Aziz, bapak dari Raja
Abdullah Arab Saudi. Syi’ah yang mereka bawa ke Indonesia pada gelombang ini adalah Syi’ah
Zaidiyah. Pada awalnya cara dakwahnya dilakukan secara individu-individu, kemudian, sejak
kemerdekaan beberapa tokoh dari mereka membentuk pesantren, salah satunya adalah Husen
Al-Habsyi, mendirikan Pesantren YAPI di Bangil, Jawa Timur. <>

Sementara itu, Syi’ah politik masuk Indonesia baru kemudian, yaitu sejak pecahnya Revolusi Iran
tahun 1979. Jika Syi’ah fikih mengembangkan dirinya melalui dukungan swasta, sebaliknya Syi’ah
politik mendapat dukungan resmi dari pemerintah Iran. Namun demikian sejak revolusi Iran,
Syi’ah fikih juga mendapatkan dukungan resmi dari pemerintah.

Strategi dakwah Syi’ah politik pada awalnya menggunakan pendekatan kampus. Beberapa
kampus yang menjadi basisnya adalah Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Jayabaya
Jakarta, Universitas Pajajaran (Unpad) Bandung, dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun
karena gagal dan kalah berkembang dengan kelompok Ihwan, akhirnya pada tahun 1990-an
strateginya diubah. Kini kelompok Syi’ah keluar dari kampus dan mengembangkan dakwahnya
langsung ke tengah masyarakat melalui pendirian sejumlah yayasan dan membentuk ormas
bernama IJABI (Iakatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia). Yayasan-yayasan itu sebagian
mengkhususkan pada kegiatan penerbitan buku, sebagian lainnya membangun kelompok-
kelompok intelektual dengan program beasiswa ke luar negeri (ke Qum, Iran) dan sebagian lagi
mengembangkan kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan.

Sejauh yang dapat diketahui, generasi program beasiswa ke Qum, Iran, yang pertama adalah
Umar Shahab dan Husein Shahab. Keduanya berasal dari YAPI, Bangil, dan pulang ke Indonesia
tahun 1970-an. Kedua tokoh inilah yang mengembangkan Syi’ah dikalangan kampus pada awal
1980-an. Tidak banyak yang berhasil dikader dan menjadi tokoh. Dari UI misalnya, diantaranya
adalah Agus Abubakar dan Sayuti As-Syatiri. Dari Universitas Jayabaya muncul Zulfan Lindan, dan
dari ITB muncul Haidar Bagir. Namun perlu digarisbawahi, di luar jalur kedua tokoh diatas, pada
pertengahan 1980-an muncul Jalaluddin Rahmat sebagai cendekiawan Syi’ah.
Namun seiring berhasilnya revolusi Islam di Iran, sejak 1981 gelombang pengiriman mahasiswa
ke Qum mulai semakin intensif. Generasi alumni Qum kedua inilah yang sekarang banyak
memimpin yayasan-yayasan Syi’ah dan menjadi pelopor gerakan Syi’ah di Indonesia.

Kini, gerakan Syiah di Indonesia diorganisir olehl Islamic Cultural Center (ICC), dipimpin Syaikh
Mohsen Hakimollah, yang datang langsung dari Iran. Secara formal organisasi ini bergerak dalam
bidang pendidikan dan dakwah. ICC Jakarta dibawah kendali dan pengawasan langsung Supreme
Cultural Revolution Council (SCRC) Iran.

Di bidang pendidikan ICC mengorganisir lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan penerbitan


yang jumlahnya sangat banyak dan bertebaran diberbagai daerah. Sedangkan dibidang dakwah,
ICC bergerak di dua sektor, pertama, gerakan kemasyarakatan, yang dijalankan oleh Ikatan
Jamaah Ahlul Bait (IJABI), kedua, gerakan politik, yang dijalankan oleh yayasan OASE. Yayasan ini
mengkhusukan bergerak dibidang mobilisasi opini publik. Sedangkan untuk bidang gerakan
politik dan parlemen dikomandani oleh sejumlah tokoh. Strategi politik parlementer yang
mereka tempuh ini dilakukan dengan cara menyebarkan kader ke sejumlah partai politik.

Mengenai IJABI sebagai motor gerakan kemasyarakatan, hingga sekarang strukturnya telah
meluas secara nasional hingga di Daerah Tingkat II. Tentu format yang demikian dapat menjadi
kekuatan efektif untuk memobilisasi pengaruh dan kepentingan politik. Kader-kader IJABI selain
telah banyak yang aktif di dunia kampus, kelompok-kelompok pengajian, lembaga-lembaga sosial
dan media, di daerah-daerah juga telah banyak yang menjadi anggota parlemen. Di level daerah
inilah IJABI memiliki peranan penting sebagai simpul gerakan dakwah dan politik di masing-
masing daerah.

Marja Al Taqlid dan Sayap Militer Syiah

Dewasa ini Syiah Indonesia sedang berupaya membuat lembaga yang disebut Marja al-Taqlid,
sebuah institusi kepemimpinan agama yang sangat terpusat, diisi oleh ulama-ulama Syiah
terkemuka dan memiliki otoritas penuh untuk pembentukan pemerintah dan konstitusi Islam. Di
beberapa negara yang masuk dalam kaukus Persia lembaga itu telah berdiri kokoh dan
memainkan peran yang efektif dengan kepemimpinan yang sangat kuat. Di Irak misalnya,
lembaga Marja Al Taqlid dipimpin oleh Ayatollah Agung Ali al-Sistani.
Lembaga Marja Al Taqlid, selain berfungsi menyusun dan mempersiapkan pembentukan
pemerintahan dan konstitusi Islam, juga berfungsi menyusun prioritas-prioritas pemerintah,
termasuk pembentukan sayap militer yang disebut amktab atau lajnah asykariyah. Selama Marja
al Taqlid ini belum terbentuk maka pembentukan maktab askariyah pun pastilah belum
sistematis dan terstruktur. (bersambung)

*Wakil ketua umum PBNU

http://www.nu.or.id/post/read/32380/gerakan-syiah-di-indonesia

Anda mungkin juga menyukai