Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH

Pendidikan barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak


paruh kedua abad XIX sebagai upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan
tenaga kerja, misalnya, sampai akhir abad XIX pada satu sisi mampu
menimbulkan restratifikasi masyarakat melalui mobilitas sosial kelompok
intelektual, priyayi, dan profesional. Pada sisi lain, hal ini menimbulkan sikap
antipati terhadap pendidikan Barat itu sendiri, yang diidentifikasi sebagai produk
kolonial sekaligus produk orang kafir.

Sementara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan


kristenisasi yang terjadi bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial ke
dalam masyarakat pribumi yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh agama
Islam, mengaburkan identitas politik yang melekat pada penguasa kolonial dan
identitas sosial keagamaan pada usaha kristenisasi di mata masyarakat umum.

Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial,


maupun kultural yang dialami oleh masyarakat secara umum sebagai sesuatu
yang identik dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan kolonial yang
menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari agama Kristen itu
sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh struktur yuridis formal masyarakat
kolonial, yang secara tegas membedakan kelompok masyarakat berdasarkan
suku bangsa. Dalam stratifikasi masyarakat kolonial penduduk pribumi
menempati posisi yang paling rendah, sedangkan lapisan atas diduduki orang
Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan India.

Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap dianggap


sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi sosial yang paling
rendah walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi terdapat juga orang Arab
yang beragama Islam. Di samping itu, akhir abad XIX juga ditandai oleh terjadinya
proses peng-urban-an yang cepat sebagai akibat dari perkembangan ekonomi,
politik, dan sosial.

Kota-kota baru yang memiliki ciri masing-masing sesuai dengan faktor


pendukungnya muncul di banyak wilayah. Perluasan komunikasi dan ransportasi
mempermudah mobilitas penduduk. Sementara itu pembukaan suatu wilayah
sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri, dan perdagangan telah
menarik banyak orang untuk datang ke tempat tersebut. Sementara itu pula,
tekanan ekonomi, politik, maupun sosial yang terjadi di daerah pedesaan telah
mendorong mereka datang ke kota-kota tersebut.

Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah terbentuk


sepanjang abad XIX terus berlangsung. Dalam konteks ekonomi, perluasan
aktivitas ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman modal swasta asing
maupun perluasan pertanian rakyat belum mampu menimbulkan perubahan
ekonomi secara struktural sehingga kondisi hidup sebagian besar penduduk
masih tetap rendah. Di beberapa tempat penduduk pribumi memang berhasil
mengembangkan pertanian tanaman ekspor dlan mendapat keuntungan yang
besar, akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil terhadap perubahan pasar.

Sementara itu perluasan aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan yang


semakin besar sehingga para pengusaha industri pribumi harus bersaing dengan
produk impor yang lebih berkualitas dan lebih murah di pasar lokal, sedangkan
para peclagang pribumi juga harus bersaing ketat dengan pedagang asing yang
terus mendominasi perdagangan lokal, regional, maupun internasional. Dalam
perkembangan selanjutnya persaingan ini di beberapa tempat tidak lagi hanya
terbatas pada masalah ekonomi, melainkan juga telah berkembang menjadi
persoalan sosial, kultural, ataupun politik. Walaupun dalam bidang politik terjadi
pergeseran dari kekuasan administratif yang tersentralisasi ke arah desentralisasi
pada tingkat lokal, kontrol yang ketat pejabat Belanda terhadap pejabat pribumi
masih tetap berlangsung.

Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang difokuskan
pada bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang dilaksanakan sejak dekade
pertama abad XX, telah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada
penduduk pribumi mengikuti pendidikan Barat dibandingkan dengan masa
sebelumnya melalui pembentukan beberapa lembaga pendidikan khusus bagi
penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan tetapi, kesempatan ini tetap saja
masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi secara
keseluruhan.

Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit penduduk


pribumi, atau kesempatan yang ada hanya terbuka untuk pendidikan rendah,
sedangkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi masih
sangat terbatas. Seperti pada masa sebelumnya, kondisi seperti ini terbentuk
selain disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap
antipati dari kelompok Islam, yang menjadi pendukung utama masyarakat pribumi
terhadap pendidikan Barat itu sendiri.

Secara umum mereka lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke


pesantren, atau hanya sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang
mengajarkan pengetahuan dasar agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya ada
dualisme cara memandang pendidikan Barat ini. Di samping dianggap sebagai
perwujudan dari pengaruh Barat atau Kristen terhadap lingkungan sosial dan
budaya lokal maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat secara objektif sebagai
faktor penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi yang mayoritas beragama
Islam.

Pendidikan Barat yang telah diperkenalkan kepada penduduk pribumi


secara terbatas ini ternyata telah menciptakan kelompok intelektual dan
profesional yang mampu melakukan perubahan-perubahan maupun
memunculkan ide-ide baru di dalam masyarakat maupun sikap terhadap
kekuasaan kolonial. Perubahan dan pencetusan ide-ide baru itu pada masa awal
hanya terbatas pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi, akan tetapi kemudian
mencakup juga permasalahan politik. Walaupun feodalisme dalam sikap maupun
struktur yang lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di Jawa masih tetap
berlangsung, pembentukan "organisasi modern" merupakan salah satu realisasi
yang penting dari upaya perubahan dengan ide-ide baru tersebut.

Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa
sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo
sebagai suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur primordial dan terbatas,
keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh terhadap
bentuk baru dari perjuangan kebangsaan melawan kondisi yang diciptakan oleh
kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi baru kemudian didirikan, dan
perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang dulu terkosentrasi di
kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah perkotaan.

Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro


perkembangan dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai oleh
usaha untuk melawan dominasi Barat setelah sebagian besar negara yang
penduduknya beragama Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun budaya
telah kehilangan kemerdekaan dan berada di bawah kekuasaan kolonialisme dan
imprialisme Barat sejak beberapa abad sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim
sendiri muncul usaha untuk mengatasi krisis internal dalam proses sosialisasi
ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada sebagian besar masyarakat, baik
yang disebabkan oleh dominasi kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun
sebab-sebab lain yang ada dalam masyarakat Muslim itu sendiri.

Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat
dari ajaran Islam yang bersumber pada Quran dan Sunnah Rasulullah.
Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat, dan syi'ah. Di
samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan
taqlid kepada para ulama sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam pengajaran
agama Islam, secara umum Qur'an yang menjadi sumber ajaran hanya diajarkan
pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir hanya boleh dipelajari oleh
orang-orang tertentu saja. Sementara itu, pertentangan yang bersumber pada
masalah khilafiyah dan furu'iyah sering muncul dalam masyarakat Muslim,
akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang bersifat laten.

Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul ide-


ide pemurnian ajaran dan kesadaran politik di kalangan umat Islam melalui
pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaludin Al-Afgani, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab.
Jamaludin Al-Afgani banyak bergerak dalam bidang politik, yang diarahkan pada
ide persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan perjuangan pembebasan
tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat.

Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha


memerangi kestatisan, syirik, bid'ah, khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di
kalangan umat Islam. Restrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan mewujudkan
ide-ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian dan
pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha,
misalnya, menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, yang kemudian disebarkan dan
dikenal secara luas di seluruh dunia Islam. Sementara itu, ide-ide pembaharuan
yang dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul Wahab dalam
gerakan Al Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari penguasa Arab
Saudi sehingga gerakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu
berkembang menjadi besar dan kuat.

Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia
pada abad XIX juga mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran
maupun aktivitas, dan pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran
agama Islam di Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan
sinkretisme, pada satu sisi telah berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam.
Akan tetapi secara kualitas muncul kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari
ajaran Islam yang murni.

Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan kemurnian ajaran Islam ini sangat


terasa karena unsur-unsur lokal sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi
ajaran di dalam masyarakat seperti yang terlihat pada: sekaten, kenduri, tahlilan,
dan wayang. Kondisi seperti ini dapat dilihat pada laporan T.S. Raffles tentang
Islam di Jawa pada awal abad XIX, yang menyatakan bahwa orang Jawa yang
berpengetahuan cukup tentang Islam dan berprilaku sesuai dengan ajaran Islam
hanya beberapa orang saja.

Selain itu, K.H. Ahmad Rifa'i, salah seorang ulama di Jawa yang sangat
disegani oleh pemerintah kolonial, pada pertengahan abad XIX menyatakan
bahwa pengamalan agama Islam orang Jawa banyak menyimpang dari aqidah
Islalamiyah dan harus diluruskan. Interaksi reguler antara sekelompok
masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi kesempatan kepada
mereka untuk mempelajari dan memahami lebih dalam ajaran Islam sehingga
tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru dalam
kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai
mempertanyakan kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, di samping unsur-unsur lama yang terus bertahan seperti
pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang sinkretik dan sikap taqlid
terhadap ulama, di dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan
awal abad XX juga berkembang kesadaran yang sangat kuat untuk melakukan
pembaharuan dalam banyak hal yang berhubungan dengan agama Islam yang
telah berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antar kelompok, yang terpolarisasi
dalam bentuk gerakan yang dikenal sebagai "kaum tua" berhadapan dengan
"kaum muda" atau antara kelompok "pembaharuan" berhadapan dengan "anti
pembaharuan". Sementara itu, krisis yang terjadi di dalam Islam di Indonesia,
selain disebabkan oleh dinamika internal juga tidak dapat dipisahkan dengan
perluasan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Islam sejak awal muncul
sebagai kekuatan di balik perlawanan terhadap kolonialisme, baik dalam
pengertian idiologis maupun peran langsung para ulama dan umat Islam secara
keseluruhan. Hal ini dapat dilihat berbagai perlawanan yang terjadi sepanjang
abad XIX dan awal abad XX, seperti: Perang Diponegoro, Perang Bonjol, Perang
Aceh, dan protes-protes petani, yang semuanya diwarnai oleh unsur Islam yang
sangat kental.

Akibatnya, pemerintah kolonial cenderung melihat Islam sebagai ancaman


langsung dari eksistensi kekuasaan kolonial ini. Setiap aktivitas yang berhubungan
dengan Islam selalu dicurigai dan dianggap sebagai langkah untuk melawan
penguasa. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh C.
Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX pemerintah kolonial secara tegas
memisahkan Islam dari politik, akan tetapi Islam sebagai ajaran agama dan
kegiatan sosial dibiarkan berkembang walaupun tetap berada dalam pengawasan
yang ketat. Kecurigaan pemerintah kolonial yang berlebihan terhadap Islam ini
membatasi kreativitas umat, baik dalam pengertian ajaran, pemikiran, maupun
penyesuaian diri dengan dinamika dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat
secara umum.

Hal ini semakin diperburuk oleh munculnya sikap taqlid kepada para ulama
tertentu pada sebagian besar umat Islam di Indonesia pada waktu itu. Pemerintah
kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat
yang berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara
kelompok santri dan abangan yang menjadi konflik sosial berkepanjangan. Selain
itu, aktivitas kristenisasi yang dilakukan oleh missi Katholik maupun zending
Protestan terhadap penduduk pribumi yang telah beragama Islam terus
berlangsung tanpa halangan dari penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari
tingkat dasar sampai menengah, panti asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh
missi dan zending sebagai pendukung utama dalam proses kristenisasi, secara
reguler mendapat bantuan dana yang besar dari pemerintah.
Ahmad Dahlan dan Pembentukan Muhammmadiyah di tengah-tengah
kondisi tidak menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul
sebagai salah seorang yang perduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi
masyarakat pribumi secara umum maupun masyarakat Muslim secara khusus.
Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 dengan
nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan khatib
Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak
K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah, keluarga
Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah
seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa.

Sebagai anak keempat dari keluarga K.H. Abubakar, Muhammad Darwis


mempunyai 5 orang saudara perempuan dan I orang saudara laki-laki. Seperti
layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu yang diarahkan pada
pendidikan informal agama Islam, sejak kecil Muhammad Darwis sudah belajar
membaca Quran di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia belajar membaca
Quran dan pengetahuan agama Islam pertama kali dari ayahnya sendiri dan pada
usia delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca Quran. Menurut cerita,
sejak kecil Muhammad Darwis sudah menunjukkan beberapa kelebihan dalam
penguasaan ilmu, sikap, dan pergaulan sehari-hari dibandingkan teman-temannya
yang sebaya.

Ia juga mempunyai keahlian membuat barang-barang kerajinan dan


mainan. Seperti anak laki-laki yang lain, Muhammad Darwis juga sangat senang
bermain layang-layang dan gasing. Seiring dengan perkembangan usia yang
semakin bertambah, Muhammad Dalwis yang sudah tumbuh remaja mulai belajar
ilmu agama Islam tingkat lanjut, tidak hanya sekedar membaca Quran. Ia belajar
fiqh dari K.H. Muhammad Saleh dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain
belajar dari dua guru di atas yang juga adalah kakak iparnya, Muhammad Darwis
belajar ilmu agama lslam lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan
KH. Muhammad Nur.

Muhammad Darwis yang sudah dewasa terus belajar ilmu agama Islam
maupun ilmu yang lain dari guru-guru yang lain, termasuk para ulama di Arab
Saudi ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia pernah belajar ilmu hadist
kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qiraah kepada
Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan
Semarang, dan ia juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi
racun binatang. Menurut beberapa catatan, kemampuan intelektual Muhammad
Darwis ini semakin berkembang cepat dia menunaikan ibadah haji pertama pada
tahun 1890, beberapa bulan setelah perkawinannya dengan Siti Walidah pada
tahun 1889.

Proses sosialisasi dengan berbagai ulama yang berasal dari Indonesia


seperti: Kyai Mahfudh dari Termas, Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil
Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, dan Kyai Nawawi dari
Banten, maupun para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari
selama bermukim di Mekah kurang lebih delapan bulan, telah membuka
cakrawala baru dalam diri Muhammad Darwis, yang telah berganti nama menjadi
Ahmad Dahlan. Perkembangan ini dapat dilihat dari semakin, luas dan
bervariasinya jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan. Sebelum menunaikan
ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-kitab, dari
Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu ‘aqa’id, dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh
dari Imam Ghozali dalam ilmu tasawuf.

Sesudah pulang dari menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai


membaca kitah- kitab lain yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Semangat
membaca Ahmad Dahlan yang besar ini dapat dilihat pada kejadian ketika ia
membeli buku menggunakan sebagian dari modal sebesar 1500 setelah ia pulang
dari menunaikan ibadah haji yang pertama, yang sebenarnya diberikan oleh
keluarganya untuk berdagang. Sementara itu, keinginan untuk memperdalam
ilmu agama Islam terus muncul pada diri Ahmad Dahlan. Dalam upaya untuk
mewujudkan cita-citanya itu, ia menunaikan ibadah haji kedua pada tahun 1903,
dan bermukim di Mekah selama hampir dua tahun. Kesempatan ini digunakan
Ahmad Dahlan untuk belajar ilmu agama Islam baik dari para guru ketika ia
menunaikan ibadah haji pertama maupun dari guru-guru yang lain.

Ia belajar fiqh pada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh
Sa' id Babusyel. Ahmad Dahlan belajar ilmu hadist pada Mufti Syafi'i, sementara
itu ilmu falaq dipelajari pada Kyai Asy'ari Bawean. Dalam bidang ilmu qiro’at,
Ahmad Dahlan belajar dari Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim
di Mekah ini Ahmad Dahlan juga secara reguler mengadakan hubungan dan
membicarakan berbagai masalah sosial keagamaan, termasuk masalah yang
terjadi di Indonesia dengan para Ulama Indonesia yang telah lama bermukim di
Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari
Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.

Berdasarkan koleksi buku-buku yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan,


sebagian besar adalah buku yang dipengaruhi ide-ide pembaharuan. Di antara
buku-buku yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara lain: Kosalatul Tauhid
karangan Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma karangan Muhammad Abduh,
Kanz AL-Ulum, Da’irah Al Ma'arif karangan Farid Wajdi, Fi Al -Bid'ah karangan
Ibn Taimiyah, Al Tawassul wa-al-Wasilah karangan Ibn Taimiyah, Al-Islam wa-l-
Nashraniyah karangan Muhammad Abduh, Izhar al-Haq karangan Rahmah al
Hindi, Tafsshil al-Nasyatain Tashil al Sa'adatain, Matan al-Hikmah karangan Atha
Allah, dan Al-Qashaid al-Aththasiyvah karangan Abd al Aththas.

Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di dalam masyarakat


dimulai setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji pertama. Ahmad Dahlan
mulai dengan membantu ayahnya mengajar para murid yang masih kanak-kanak
dan remaja. Dia mengajar pada siang hari sesudah dzuhur, dan malam hari,
antara maghrib sampai isya’. Sementara itu, sesudah ashar Ahmad Dahlan
mengikuti ayahnya yang mengajar agama Islam kepada orang- orang tua. Apabila
ayahnya berhalangan, Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya memberikan
pelajaran sehingga akhirnya ia mendapat sebutan kyai, sebagai pengakuan
terhadap kemampuan dan pengalamannya yang luas dalam memberikan
pelajaran agama Islam.

Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan


agama Islam yang dimiliki, pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok
dalam dunia Islam, serta pengalamannya memberi pelajaran agama Islam selama
ini sehingga sering muncul ide dan aktivitas baru. Berbeda dengan para khatib
lain yang cenderung menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas
piket di serambi masjid besar Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin memberikan
pelajaran agama Islam kepada orang-orang yang datang ke masjid besar ketika
ia sedang melakukan piket.

Ahmad Dahlan juga mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih


mendasar, seperti persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi, ide
baru ini tidak begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan di serambi
masjid besar karena mempersoalkan arah kiblat salat merupakan suatu hal yang
sangat peka pada waktu itu. Ahmad Dahlan memerlukan waktu hampir satu tahun
untuk menyampaikan masalah ini. Itu pun hanya terbatas pada para ulama yang
sudah dikenal dan dianggap sepaham di sekitar Kampung Kauman. Pada satu
malam pada tahun 1898, Ahmad Dahlan mengundang 17 orang ulama yang ada
di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di
surau milik keluarganya di Kauman.

Diskusi antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan berbagai
kitab acuan ini berlangsung sampai waktu subuh, tanpa menghasilkan
kesepakatan. Akan tetapi, dua orang yang secara diam-diam mendengar
pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm
di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat
sehingga mengejutkan para jemaah salat dzuhur waktu itu. Akibatnya, Kanjeng
Kyai Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus
tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.

Sebagai realisasi dari ide pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan
yang merenovasi surau milik keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau
tersebut ke arah kiblat yang sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural
berbeda dengan arah masjid besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari
untuk kegiatan Ramadhan, Ahmad Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng
Penghulu untuk membongkar surau tersebut, yang tentu saja ditolak. Akhirnya,
surau tersebut dibongkar secara paksa pada malam hari itu juga. Walaupun diliputi
perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun kembali surau tersebut sesuai
dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil dibujuk oleh saudaranya,
sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan membuat garis petunjuk
di bagian dalam masjid.

Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas sosial


keagamaan Ahmad Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai Khatib Amin
semakin berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung para murid
yang ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu
falaq, tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah Residensi
Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di Jawa Tengah. Walaupun begitu,
pengajaran agama Islam melalui pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja,
dan orang tua yang telah lama berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping
itu, di rumahnya Ahmad Dahlan mengadakan pengajian rutin satu minggu atau
satu bulan sekali bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para
guru dan pamong praja yang berlangsung setiap malam Jum`at.

Ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan
dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur
pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang
berlangsung di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang pedagang
sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat
di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain seperti: Periangan, Jakarta,
Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang,
Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di tempat-tempat itu ia bertemu
dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum cerdik cendekia lain, yang
sama-sama menjadi pedagang atau bukan.

Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah agama


Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang
secara langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau
keterbelakangan penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial.
Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini
dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal maupun formal antara
Ahmad Dahlan dengan organisasi seperti : Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat
Khair, maupun hubungan formal antara organisasi yang ia cirikan kemudian,
terutama dengan Budi Utomo.

Secara personal Ahmad Dahlan mengenal organisasi Budi Utomo melalui


pembicaraan atau diskusi dengan Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di
Yogyakarta yang mempunyai hubungan dekat dengan dr. Wahidin Sudirohusodo,
salah seorang pimpinan Budi Utomo yang tinggal di Ketandan Yogyakarta. Melalui
Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan berkenalan dengan dr. Wahidin
Sudirohusodo secara pribadi dan sering menghadiri rapat anggota maupun
pengurus yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di Yogyakarta walaupun secara
resmi ia belum menjadi anggota organisasi ini. Setelah banyak mendengar
tentang aktivitas dan tujuan organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan pribadi
dan kehadirannya dalam pertemuan-pertemuan resmi, Ahmad Dahlan kemudian
secara resmi menjadi anggota Budi Utomo pada tahun 1909.

Dalam perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi


anggota biasa, melainkan ia menjadi pengurus Ranting Kauman dan salah
seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta.
Sementara itu, pada sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota
Jamiat Khair, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan
dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab. Keterlibatan secara
langsung di dalam Budi Utomo memberi pengetahuan yang banyak kepada
Ahmad Dahlan tentang cara berorganisasi dan mengatur organisasi secara
modern.

Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam
Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang Islam,
ia juga mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang
berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model
sekolah. Semua ini tentu saja merupakan suatu hal yang baru dan sangat
berpengaruh bagi langkah-langkah yang dilakukan Ahmad Dahlan pada masa
selanjutnya, seperti pendirian sekolah model Barat maupun pembentukan satu
organisasi.

Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya


terbatas pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah organisasi.
Ia sering memanfaatkan forum pertemuan pengurus maupun anggota Budi Utomo
sebagai tempat untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam, bidang yang
sangat ia kuasai. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai.
Kepiawaian Ahmad Dahlan dalam menyampaikan informasi tentang agama Islam
dalam berbagai pertemuan informal itu telah menarik perhatian para pengurus
maupun anggota Budi Utomo yang sebagian besar terdiri dari pegawai
pemerintah dan guru sehingga sering terjadi diskusi yang menarik di antara mereka
tentang agama Islam.

Di antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah
agama Islam adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu
menjabat sebagai guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua orang guru ini
Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa
Kweekschool Jetis, setelah kepala sekolah setuju dan memberikan izin. Pelajaran
agama Islam di sekolah guru milik pemerintah itu diberikan di luar jam pelajaran
resmi, yang biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu sore.

Dalam mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun


membaca Quran, Ahmad Dahlan menerapkan metode pengajaran yang
disesuaikan dengan kemampuan siswa sehingga mampu menarik perhatian para
siswa untuk menekuninya. Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa waktu
pelajaran agama Islam pada hari Sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab itu,
beberapa orang siswa, termasuk mereka yang belum beragama Islam sering
datang ke rumah Ahmad Dahlan di Kauman pada hari Ahad untuk bertanya
maupun melakukan diskusi lebih lanjut tentang berbagai persoalan yang
berhubungan dengan agama Islam.

Dalam perkembangan selanjutnya, pengalaman berorganisasi di Budi


Utomo dan Jamiat Khair memberikan pelajaran kepada siswa Kweekschool dan
didukung oleh perkembangan pendapat masyarakat umum pada waktu itu yang
mulai menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana yang penting
bagi kemajuan penduduk pribumi. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan secara pribadi
mulai merintis pembentukan sebuah sekolah yang memadukan pengajaran ilmu
agama Islam dan ilmu umum. Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan
menyampaikan ide pendirian sekolah yang mengacu pada metode pengajaran
seperti yang berlaku pada sekolah milik pemerintah kepada berbagai pihak,
termasuk kepada para santri yang belajar di Kauman maupun penduduk Kauman
secara umum. Sebagian besar dari mereka bersikap acuh tak acuh, bahkan ada
yang secara tegas menolak ide pendidikan sistem sekolah tersebut karena
dianggap bertentangan dengan tradisi dalam agama Islam.

Akibatnya, para santri yang selama ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu
persatu berhenti. Walaupun belum mendapat dukungan dari masyarakat
sekitarnya, Ahmad Dahlan tetap berkeinginan untuk mendirikan lembaga
pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama
Islam maupun ilmu pengetahuan umum. Sekolah tersebut dimulai dengan 8 orang
siswa, yang belajar di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x
6 m dan ia bertindak sendiri sebagai guru. Keperluan belajar dipersiapkan sendiri
oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri.
Sementara itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh
Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan tulis dibuat dari kayu
suren.

Delapan orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih setia,
serta anak-anak yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ahmad
Dahlan. Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik
dari masyarakat sekitarnya kecuali beberapa orang pemuda. Pada tahap awal
proses belajar mengajar belum berjalan dengan lancar. Selain ada penolakan dan
pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu
juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan
tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk
sekolah kembali, di samping ia terus mencari siswa baru. Seiring dengan
pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan juga menambah meja dan bangku
satu per satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi 20
orang.

Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan dengan anggota dan


pengurus Budi Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool Jetis, Ahmad
Dahlan mendapat dukungan yang besar. Di antara para pendukung itu adalah :
Mas Raji yang menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R. Budiarjo yang menjadi
guru di Kweekschool Jetis sangat membantu Ahmad Dahlan mengembangkan
sekolah tersebut sejak awal.

R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi


Utomo Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang penyelenggaraan sebuah
sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala sekolah di Kweekschool
Jetis. Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk meminta subsidi kepada
pemerintah jika sekolah yang didirikan itu sudah teratur, dengan dukungan dari
Budi Utomo. Selain itu, pendirian sekolah itu juga mendapat dukungan dari
kelompok terpelajar yang berasal dari luar Kauman serta para siswa Kweekschool
Jetis yang biasa datang ke rumahnya pada setiap hari Ahad.

Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo, organisasi ini menempatkan


Kholil, seorang guru di Gading untuk mengajar ilmu pengetahuan umum pada
sore hari di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan. Oleh sebab itu, para siswa
masuk dua kali dalam satu hari karena Ahmad Dahlan mengajar ilmu
pengetahuan agama Islam pada pagi hari. Walaupun masih mendapat tantangan
dari beberapa pihak, jumlah siswa terus bertambah sehingga Ahmad Dahlan
harus memindahkan ruang belajar ke tempat yang lebih luas di serambi
rumahnya.

Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah yang


didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dan
diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu
mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat
62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang
baru saja terbentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan
perhatian lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan. Dalam kondisi seperti itu,
pengalaman Ahmad Dahlan berorganisasi dalam Budi Utomo dan Jamiat Khair
menjadi suatu hal yang sangat penting bagi munculnya ide dan pembentukan satu
organisasi untuk mengelola sekolah tersebut, di samping kondisi makro pada saat
itu yang telah menimbulkan kesadaran akan arti penting suatu organisasi modern
maupun masukan yang didapat dari para pendukung, termasuk dari para murid
Kweekschool Jetis.

Seorang siswa kweekschool yang biasa datang ke rumah Ahmad Dahlan


pada hari Ahad, misalnya, menyarankan agar sekolah tersebut tidak hanya diurus
oleh Ahmad Dahlan sendiri melainkan dilakukan oleh suatu organisasi supaya
sekolah itu dapat terus berlangsung walaupun Ahmad Dahlan tidak lagi terlibat di
dalamnya atau setelah ia meninggal. Ide pembentukan organisasi itu kemudian
didiskusikan lebih lanjut dengan orang-orang yang selama ini telah mendukung
pembentukan dan pelaksanaan sekolah di Kauman, terutama para anggota dan
pengurus Budi Utomo serta guru dan murid Kweekschool Jetis.

Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan dukungan dalam rangka


merealisasi ide pembentukan sebuah organisasi, Ahmad Dahlan melakukan
pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis
dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi utomo yang sangat berpengaruh pada
masa itu. Pembicaraan tersebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari
dukungan, melainkan juga sudah difokuskan pada persoalan nama, tujuan,
tempat kedudukan, dan pengurus organisasi yang akan dibentuk. Berdasarkan
pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan didapatkan beberapa hal yang
berhubungan secara langsung dengan rencana pembentukan sebuah organisasi.

Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para


siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi mereka
tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya
larangan dari inspektur kepala dan anjuran agar pengurus supaya diambil dari
orang-orang yang sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian
perkumpulan baru tersebut. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan
pembentukan sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih intensif,
melalui pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit membicarakan dan
merumuskan masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi
Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia
Belanda.

Walaupun secara praktis organisasi yang akan dibentuk bertujuan untuk


mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih dahulu, akan tetapi dalam
pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selanjutnya tujuan pembentukan
organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan pengajaran
agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran dasar
organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang
dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa
Melayu di Kweekscbool Jetis.

Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama "Muhammadiyah", nama


yang berhubungan dengan nama nabi terakhir Muhammad SAW."' Berdasarkan
nama itu diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan
beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi
Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman.
Sementara itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung
Kauman, yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M.
Tamim untuk menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan
formal Budi Utomo dalam proses permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia
Belanda terhadap pembentukan Muhammadiyah.

Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan


setelah melakukan shalat istikharah akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M
atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Dalam
kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akan
membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar
pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum.
Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan
Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu
pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial,
maupun para pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun
Kadipaten Pakualaman.

Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh Budi Utomo
secara resmi mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk
mengakui Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran dasar
yang diajukan kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah
merupakan organisasi yang bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi
Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra di Jawa dan Madura serta
memajukan pengetahuan agama para anggotanya. Pada waktu itu terdapat 9
orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai ketua, Abdullah Sirat sebagai
sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan
Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota hanya dibatasi
pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam.

Anda mungkin juga menyukai