Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang difokuskan
pada bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang dilaksanakan sejak dekade
pertama abad XX, telah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada
penduduk pribumi mengikuti pendidikan Barat dibandingkan dengan masa
sebelumnya melalui pembentukan beberapa lembaga pendidikan khusus bagi
penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan tetapi, kesempatan ini tetap saja
masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi secara
keseluruhan.
Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa
sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo
sebagai suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur primordial dan terbatas,
keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh terhadap
bentuk baru dari perjuangan kebangsaan melawan kondisi yang diciptakan oleh
kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi baru kemudian didirikan, dan
perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang dulu terkosentrasi di
kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah perkotaan.
Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat
dari ajaran Islam yang bersumber pada Quran dan Sunnah Rasulullah.
Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat, dan syi'ah. Di
samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan
taqlid kepada para ulama sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam pengajaran
agama Islam, secara umum Qur'an yang menjadi sumber ajaran hanya diajarkan
pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir hanya boleh dipelajari oleh
orang-orang tertentu saja. Sementara itu, pertentangan yang bersumber pada
masalah khilafiyah dan furu'iyah sering muncul dalam masyarakat Muslim,
akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang bersifat laten.
Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia
pada abad XIX juga mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran
maupun aktivitas, dan pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran
agama Islam di Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan
sinkretisme, pada satu sisi telah berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam.
Akan tetapi secara kualitas muncul kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari
ajaran Islam yang murni.
Selain itu, K.H. Ahmad Rifa'i, salah seorang ulama di Jawa yang sangat
disegani oleh pemerintah kolonial, pada pertengahan abad XIX menyatakan
bahwa pengamalan agama Islam orang Jawa banyak menyimpang dari aqidah
Islalamiyah dan harus diluruskan. Interaksi reguler antara sekelompok
masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi kesempatan kepada
mereka untuk mempelajari dan memahami lebih dalam ajaran Islam sehingga
tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru dalam
kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai
mempertanyakan kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, di samping unsur-unsur lama yang terus bertahan seperti
pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang sinkretik dan sikap taqlid
terhadap ulama, di dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan
awal abad XX juga berkembang kesadaran yang sangat kuat untuk melakukan
pembaharuan dalam banyak hal yang berhubungan dengan agama Islam yang
telah berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antar kelompok, yang terpolarisasi
dalam bentuk gerakan yang dikenal sebagai "kaum tua" berhadapan dengan
"kaum muda" atau antara kelompok "pembaharuan" berhadapan dengan "anti
pembaharuan". Sementara itu, krisis yang terjadi di dalam Islam di Indonesia,
selain disebabkan oleh dinamika internal juga tidak dapat dipisahkan dengan
perluasan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Islam sejak awal muncul
sebagai kekuatan di balik perlawanan terhadap kolonialisme, baik dalam
pengertian idiologis maupun peran langsung para ulama dan umat Islam secara
keseluruhan. Hal ini dapat dilihat berbagai perlawanan yang terjadi sepanjang
abad XIX dan awal abad XX, seperti: Perang Diponegoro, Perang Bonjol, Perang
Aceh, dan protes-protes petani, yang semuanya diwarnai oleh unsur Islam yang
sangat kental.
Hal ini semakin diperburuk oleh munculnya sikap taqlid kepada para ulama
tertentu pada sebagian besar umat Islam di Indonesia pada waktu itu. Pemerintah
kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat
yang berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara
kelompok santri dan abangan yang menjadi konflik sosial berkepanjangan. Selain
itu, aktivitas kristenisasi yang dilakukan oleh missi Katholik maupun zending
Protestan terhadap penduduk pribumi yang telah beragama Islam terus
berlangsung tanpa halangan dari penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari
tingkat dasar sampai menengah, panti asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh
missi dan zending sebagai pendukung utama dalam proses kristenisasi, secara
reguler mendapat bantuan dana yang besar dari pemerintah.
Ahmad Dahlan dan Pembentukan Muhammmadiyah di tengah-tengah
kondisi tidak menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul
sebagai salah seorang yang perduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi
masyarakat pribumi secara umum maupun masyarakat Muslim secara khusus.
Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 dengan
nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan khatib
Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak
K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah, keluarga
Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah
seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa.
Muhammad Darwis yang sudah dewasa terus belajar ilmu agama Islam
maupun ilmu yang lain dari guru-guru yang lain, termasuk para ulama di Arab
Saudi ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia pernah belajar ilmu hadist
kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qiraah kepada
Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan
Semarang, dan ia juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi
racun binatang. Menurut beberapa catatan, kemampuan intelektual Muhammad
Darwis ini semakin berkembang cepat dia menunaikan ibadah haji pertama pada
tahun 1890, beberapa bulan setelah perkawinannya dengan Siti Walidah pada
tahun 1889.
Ia belajar fiqh pada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh
Sa' id Babusyel. Ahmad Dahlan belajar ilmu hadist pada Mufti Syafi'i, sementara
itu ilmu falaq dipelajari pada Kyai Asy'ari Bawean. Dalam bidang ilmu qiro’at,
Ahmad Dahlan belajar dari Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim
di Mekah ini Ahmad Dahlan juga secara reguler mengadakan hubungan dan
membicarakan berbagai masalah sosial keagamaan, termasuk masalah yang
terjadi di Indonesia dengan para Ulama Indonesia yang telah lama bermukim di
Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari
Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.
Diskusi antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan berbagai
kitab acuan ini berlangsung sampai waktu subuh, tanpa menghasilkan
kesepakatan. Akan tetapi, dua orang yang secara diam-diam mendengar
pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm
di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat
sehingga mengejutkan para jemaah salat dzuhur waktu itu. Akibatnya, Kanjeng
Kyai Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus
tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.
Sebagai realisasi dari ide pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan
yang merenovasi surau milik keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau
tersebut ke arah kiblat yang sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural
berbeda dengan arah masjid besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari
untuk kegiatan Ramadhan, Ahmad Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng
Penghulu untuk membongkar surau tersebut, yang tentu saja ditolak. Akhirnya,
surau tersebut dibongkar secara paksa pada malam hari itu juga. Walaupun diliputi
perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun kembali surau tersebut sesuai
dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil dibujuk oleh saudaranya,
sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan membuat garis petunjuk
di bagian dalam masjid.
Ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan
dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur
pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang
berlangsung di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang pedagang
sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat
di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain seperti: Periangan, Jakarta,
Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang,
Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di tempat-tempat itu ia bertemu
dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum cerdik cendekia lain, yang
sama-sama menjadi pedagang atau bukan.
Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam
Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang Islam,
ia juga mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang
berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model
sekolah. Semua ini tentu saja merupakan suatu hal yang baru dan sangat
berpengaruh bagi langkah-langkah yang dilakukan Ahmad Dahlan pada masa
selanjutnya, seperti pendirian sekolah model Barat maupun pembentukan satu
organisasi.
Di antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah
agama Islam adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu
menjabat sebagai guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua orang guru ini
Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa
Kweekschool Jetis, setelah kepala sekolah setuju dan memberikan izin. Pelajaran
agama Islam di sekolah guru milik pemerintah itu diberikan di luar jam pelajaran
resmi, yang biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu sore.
Akibatnya, para santri yang selama ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu
persatu berhenti. Walaupun belum mendapat dukungan dari masyarakat
sekitarnya, Ahmad Dahlan tetap berkeinginan untuk mendirikan lembaga
pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama
Islam maupun ilmu pengetahuan umum. Sekolah tersebut dimulai dengan 8 orang
siswa, yang belajar di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x
6 m dan ia bertindak sendiri sebagai guru. Keperluan belajar dipersiapkan sendiri
oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri.
Sementara itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh
Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan tulis dibuat dari kayu
suren.
Delapan orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih setia,
serta anak-anak yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ahmad
Dahlan. Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik
dari masyarakat sekitarnya kecuali beberapa orang pemuda. Pada tahap awal
proses belajar mengajar belum berjalan dengan lancar. Selain ada penolakan dan
pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu
juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan
tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk
sekolah kembali, di samping ia terus mencari siswa baru. Seiring dengan
pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan juga menambah meja dan bangku
satu per satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi 20
orang.
Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh Budi Utomo
secara resmi mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk
mengakui Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran dasar
yang diajukan kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah
merupakan organisasi yang bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi
Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra di Jawa dan Madura serta
memajukan pengetahuan agama para anggotanya. Pada waktu itu terdapat 9
orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai ketua, Abdullah Sirat sebagai
sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan
Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota hanya dibatasi
pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam.