Anda di halaman 1dari 5

Tugas individu

MENJELASKAN AKAR SEJARAH MULTIKULTURALISME

Di susun oleh :

ARYA YUDA

D1E120045

PPT A

JURUSAN PENYULUHAN PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2021
SEJARAH PERKEMBANGAN MULTIKULTURALISME
Multikulturalisme pertama kali digunakan secara luas pada tahun 1970-an,
pertama-tama oleh negara Kanada (1971), kemudian disusul oleh Australia (1973)
sebagai bagian dari kebijakan warga negara mendampingi dan mengelola
keanekaragaman etnis yang berada di wilayah pemerintahannya. Dilihat dari
konteks ini, munculnya terminologi multikulturalisme adalah sebentuk kesadaran
kolektif yang kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan negara atas lahirnya
sejumlah konsekuensi baik sosial maupun kultural, terutama konsekuensi-
konsekuensi yang tidak diinginkan sebagai akibat dari gelombang migrasi berskala
besar yang terjadi pada dekade 1960-an dan akhir tahun 1970-an.

Sejak pertama kali dicetuskan oleh Komisi Kerajaan Kanada (Canadian Royal
Commission) pada 1995, penggunaan ‘multikuturalisme’ secara formal oleh
negara mendapatkan dukungan dari para politikus dan akademisi yang
menggagas dan mempromosikannya. Mereka menyebut kebijakan ini sebagai
sebuah ’keharusan’ (imperatif) politik yang bersifat progresif dan ekspresi resmi
dari keyakinan akan keunggulan nilai-nilai liberal seperti kesamaan, toleransi dan
sikap inklusif (inclusiveness) terhadap para pendatang (migrants) yang berasal
dari latar belakang etnis yang berbeda-beda. Berikut kutipan dari salah seorang
pejabat pemerintah Kanada berkaitan dengan kebijakan “Multikulturalisme yang
diberlakukan di Kanada adalah sesuatu yang fundamental bagi kepercayaan kita
bahwa setiap warga negara adalah ‘sama’ (equal). Multikulturalisme menjamin
setiap warga negara untuk tetap mempertahankan indentitas mereka, berbangga
atas leluhur mereka, dan mempunyai ‘rasa’ kepemilikan yang mendalam’ (a sense
of belonging)”.

Sementara itu, Australia mendeklarasikan diri multikultural dan memeluk paham


multikulturalisme di awal 1970-an sebagai tanggapan terhadap ‘meningkatnya
jumlah orang-orang Asia yang datang dan bermukim di situ’ dan ‘kehadiran para
pendatang dari wilayah di luar Australia yang tidak bisa digolongkan ke dalam tipe
atau kategori tertentu’ . Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Kanada, USA,
Israel, Inggris, dan Jerman, meskipun unsur-unsur penyusun multikultural di
masing-masing negara ini berbeda-beda.Di awal abad ke-21, sudah lazim bagi
negara-negara Barat yang menganut paham demokrasi liberal untuk menyebut
diri mereka sebagai masyarakat multikultural (multikultural societies), meskipun
tidak semuanya menetapkan ‘kebijakan multikultural yang resmi’ (official policies
of mulculturalism). Bahkan sejumlah negara-bangsa yang secara tradisional
dikenal sebagai masyarakat yang homogen secara budaya, seperti Jerman dan
Jepang, tidak lagi bisa menyangkal fakta bahwa populasi mereka diwarnai dan
dipengaruhi oleh kemajemukan rasial dan etnis yang relatif tinggi dalam dua-tiga
dekade terakhir ini. Sebagai salah satu dampak akut dari migrasi global yang
semakin intensif , “dunia menjadi tempat bagi negara-negara yang multi etnis ,
dengan komposisi lebih dari 30% populasi berasal dari masyarakat di luar negara
tersebut.”

Indonesia memiliki sejarah multikulturalisme selama puluhan abad. Di Indonesia,


multikulturalisme telah ada di negeri ini jauh sebelum merdeka. Diterimanya
kehadiran para pendatang eropa yang akhirnya menjadi penjajah, dan kehadiran
pedagang dari Timur Tengah yang kemudian ikut membangun dan mengukir
sejarah megeri ini, merupakan bukti bahwa telah ada unsur multikultural dalam
hati bangsa ini.

Secara historis, sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya yang


kemudian diikuti dengan masa yang disebut sebagai “era reformasi”, kebudayaan
Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra,
bahwa krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada
gilirannya juga telah mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam
kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun masyarakat (fabric of socirty)
tercabik-cabik akibat berbagai krisis yang melanda masyarakat.

Krisis sosio budaya yang meluas itu dapat disaksikan dalam berbagai bentuk
disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita, misalnya: disintegrasi
sosio-politik yang bersumber dari euphoria kebebasan yang nyaris kebablasan,
lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi realitas kehidupan
yang semakin sulit sehingga mudah melakukan tindakan kekerasan dan anarki,
merosotnya penghargaan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan
kesantunan sosial, semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-
penyakit sosial lainnya, berlanjutnya konflik dan kekerasan yang bersumber atau
sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti terjadi di Aceh, Kalimantan
Barat dan Tengah, Maluku Sulawesi Tengah, dan lain-lain.

Dari perspektif politik Indonesia, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada


masa Orde Baru memaksakan “mono-kulturalisme”, monokulturalitas,
keseragaman, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak tidak mengandung
sejumlah implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang pada
hakikatnya multi-kultural. Bersamaan dengan proses otonomisasi dan
desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi pula peningkatan gejala
“provinsialisme dan etnisitas”.

Pemahaman terhadap kultur subjektif masyarakat menjadi sangat penting


mengingat selama 32 tahun perbedaan dianggap memiliki potensi destruktif yang
berbahaya dan mengancam kesatuan bangsa. Sehingga, realitas sosiologis dari
keberagamaan masyarakat direpresi dan didekonstruksi sesuai dengan arah
kebijakan negara Orde Baru. Rekonstruksi wacana etnisitas gaya Orde Baru
memandang bahwa perbedaan dan keanekaragaman etnis merupakan
penghambat utama pembangunan nasional.

Derivasi dari kebijakan yang unfairness tersebut menyumbat terciptanya ruang


publik (free public sphere) bagi masyarakat dalam membangun dialog lintas
kultural, bersosialisasi, berinteraksi, dan saling komunikasi antar kelompok
masyarakat multi-etnik. Padahal, penyeragaman dan penihilan entitas lokal justru
menjadi “bara dalam sekam” yang setiap saat siap meledak, menjelma menjadi
konflik sosialkamanusiaan yang menelan korban jiwa anak bangsa.

Cultural engineering yang dilakukan negara lewat meretraadisionalisasi budaya


etnis selama masa pembangunan Orde Baru, diredusir untuk mengikuti laju
perkembangan proyek modernisasi politik negara. Salah satunya,
mencampuradukkan komposisi penduduk Indonesia agar bisa menjaga
pertahanan nasional (lewat program wawasan nusantara) yang berdampak
langsung pada proses inkulturasi antar etnis di Indonesia menjadi kurang alamiah.
Sehingga, solidaritas bangsa sebagai unit budaya dan politik yang berangkat dari
pengakuan cultural distinctiveness unsur-unsur pembentukan bangsa tidak
berkembang dengan baik.

Pemerintahan Orde Baru secara sistematik telah mengkooptasi potensi kelompok


etnis untuk berkembang secara optimal. Tidak hanya itu, distribusi kekuasaan dan
marginalisasi pembangunan melalui eksploitasi sumber daya alam dan ekonomi,
membangun struktur penindasan baru yang sangat hegemonik. Kekerasan politik
yang dibangun negara menjadi precipitating event terbentuknya herarki
kekerasan dilapisan masyarakat bawah. Benih disintegrasi sosial yang tumbuh dan
berkembang dalam tubuh masyarakat ikut dibentuk oleh kekuatan negara melalui
pranata sosial dan instrument politiknya yang tidak berfungsi secara maksimal.

Berangkat dari asumsi historis di atas, dibutuhkan rekonstruksi paragdimatik


dalam memaknai perbedaan dan pergeseran yang berlaku dalam komunitas
kultur. Membangun pemahaman kultur subjektif antar kelompok etnik adalah
salah satu pondasi dalam upaya membangun jalan resolusi konflik dan
perdamaian dalam masyarakat.

Menurut analisis Muhaemin el-Ma’hady, akar sejarah multikulturalisme bisa


dilacak secara historis, bahwa sedikitnya selama tiga dasa warsa kebijakan yang
sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah
menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan
memecahkan persoalan yang muncul karena adanya perbedaan secara terbuka,
rasional dan damai.

Kenyataan yang sulit diingkari, bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari


sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain, sehingga negara-
bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat
multicultural.

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh para pendiri bangsa ini
untuk mendesain kebudayaan Indonesia, bagi pada umumnya orang Indonesia
kini multikulturalisme adalah sebuah konsep yang masih asing.

Anda mungkin juga menyukai