RINGKASAN MULTIKULTURALISME
DOSEN PENGAMPU : Mahmuddin Sirait S.SOS, MA
DISUSUN OLEH :
Berasal dari kata multi (plural) dan kultural (tentang budaya), multi-kulturalisme
mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik
keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman
bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan
masyarakat.
Istilah multikulturalisme secara umum diterima secara positif oleh masyarakat Indonesia. Ini
tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Kemajemukan masyarakat
Indonesia terlihat dari beberapa fakta berikut: tersebar dalam kepulauan yang terdiri atas 13.667 pulau
(meskipun tidak seluruhnya berpenghuni), terbagi ke dalam 358 suku bangsa dan 200 subsuku bangsa,
memeluk beragam agama dan kepercayaan yang menurut statistik: Islam 88,1%, Kristen dan Katolik
7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1% dan yang lain 1% (dengan catatan ada pula penduduk yang menganut
keyakinan yang tidak termasuk agama resmi pemerintah, namun di kartu tanda penduduk menyebut
diri sebagai pemeluk agama resmi pemerintah), dan riwayat kultural percampuran berbagai macam
pengaruh budaya, mulai dari kultur Nusantara asli, Hindu, Islam, Kristen, dan juga Barat modern.
Yang umumnya dikenal oleh masyarakat awam adalah multikultural-isme dalam bentuk
deskriptif, yakni menggambarkan realitas multikultural di tengah masyarakat (Heywood, 2007).
Parekh (1997) membedakan lima model multikulturalisme:
Selain multikulturalisme deskriptif, sebetulnya ada lagi multikulturalisme normatif, yakni suatu
sokongan positif, bahkan perayaan atas keragaman komunal, yang secara tipikal didasarkan entah atas
hak dari kelompok-kelompok yang berbeda untuk dihargai dan diakui, atau atas keuntungan-
keuntungan yang bisa diperoleh lewat tatanan masyarakat yang lebih luas keragaman moral dan
kulturalnya (Heywood, 2007: 313). Multikulturalisme normatif melibatkan kebijakan sadar, terarah,
dan terencana dari pemerintah dan elemen masyarakat untuk mewujudkan multikulturalisme.
Menurut Parekh (2001), ada tiga komponen multikulturalisme, yakni kebudayaan, pluralitas
kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Multikulturalisme bukanlah doktrin
politik pragmatik, melainkan cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia
tersusun dari aneka ragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia
dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus
diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan
warga negara.
Setidaknya ada tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi realitas pluralitas
kebudayaan.
Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang
dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan
nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang— bukan
kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai
penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan
menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan
terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur
integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.
Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang
landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders).
Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai
model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan
etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.
Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara
kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan
diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang
muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi
juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks
lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus
menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah
karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi
pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik-konflik internal berkepanjangan yang
pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.
Sampai saat ini pemerintah dan masyarakat Indonesia belum menentukan secara normatif model
multikulturalisme macam apa yang harus diterapkan di negeri ini. Selain membutuhkan kajian-kajian
antropologis yang lebih mendalam, tampaknya juga diperlukan kajian filosofis terhadap
multikulturalisme itu sendiri sebagai sebuah ideologi. Berbeda dari yang dipahami orang awam,
ternyata multikulturalisme mengandung asumsi-asumsi problematis yang harus sebaiknya dikenali,
diakui sepenuhnya atau direvisi sesuai realitas khas setiap negeri, sebelum pemerintah dan masyarakat
dapat memutuskan apakah akan memeluk ideologi multikulturalisme dan selanjutnya
menormatifkannya.
Dalam makalah ini, penulis akan berusaha menguraikan asumsi-asumsi dasar dari
multikulturalisme dan konsekuensinya secara konseptual, lalu menyajikan beberapa tinjauan kritis
terhadap multikulturalisme tersebut, sebelum akhirnya mencoba untuk mengaitkan pertimbangan atas
bangunan konsep multikulturalisme itu secara keseluruhan dengan realitas masyarakat Indonesia yang
majemuk.
Pengakuan akan kesamaan derajat dari fenomena budaya yang beragam itu tampak dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Ungkapan itu sendiri
mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat untuk mengakui perbedaan tapi sekaligus memelihara
kesatuan atas dasar pemeliharaan keragaman, bukan dengan menghapuskannya atau mengingkarinya.
Perbedaan dihargai dan dipahami sebagai realitas kehidupan, hal ini adalah asumsi dasar yang juga
melandasi pahammukltikulturalisme.
Lahirnya paham multikulturalisme berlatar belakang kebutuhan akan pengakuan (the need of
recognition) terhadap kemajemukan budaya, yang menjadi realitas sehari-hari banyak bangsa,
termasuk Indonesia. Oleh karena itu, sejak semula multikulturalisme harus disadari sebagai suatu
ideologi, menjadi alat atau wahana untuk meningkatkan penghargaan atas kesetaraan semua manusia
dan kemanusiaannya yang secara operasional mewujud melalui pranata-pranata sosialnya, yakni
budaya sebagai pemandu kehidupan sekelompok manusia sehari-hari. Dalam konteks ini,
multikulturalisme adalah konsep yang melegitimasi keanekaragaman budaya. Kita melihat kuatnya
prinsip kesetaraan (egality) dan prinsip pengakuan (recognition) pada berbagai definisi
multikulturalisme:
Konsekuensi dari multikulturalisme adalah sikap menentang dan anti terhadap, atau setidaknya
bermasalah dengan, monokulturalisme dan asimilasi yang merupakan norma-norma wajar dari
sebuah negara bangsa sejak abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya
secara normatif, sebab yang dituju oleh monokulturalisme adalah homogenitas, sekalipun
homogenitas itu masih pada tahap harapan atau wacana dan belum terwujud (pre- existing).
Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang
berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan untuk mewujud menjadi satu kebudayaan
baru. Pertentangan antara multikulturalisme dan monokulturalisme tampak nyata sekali dari asumsi
dasar yang saling berseberangan, yang satu melegitimasi perbedaan sementara yang lain
meminimalisir perbedaan.
Secara awam, kita menyadari kebutuhan untuk mengakui berbagai ragam budaya sebagai
sederajat demi kesatuan bangsa Indonesia. Namun secara filosofis, ternyata multikulturalisme
mengandung persoalan yang cukup mendasar tentang konsep kesetaraan budaya itu sendiri. Beberapa
kritikus multikulturalisme telah bicara tentang kelemahan multikulturalisme. Kritik terhadap
multikulturalisme biasanya berangkat dari dua titik tolak.
Pertama, kesadaran tentang ketegangan filosofis antara kesatuan dan perbedaan (one and
many). David Miller (1995) menulis bahwa multikulturalisme radikal menekankan perbedaan-
perbedaan antarkelompok budaya dengan mengorbankan berbagai persamaan yang mereka miliki dan
dengan demikian multikulturalisme akan melemahkan ikatan-ikatan solidaritas yang berfungsi
mendorong para warga negara untuk mendukung kebijakan-kebijakan redistributif dari negara
kesejahteraan. Hal ini, komentar Anne Phillips (2007:13), akan menghancurkan kohesi
sosial,melemahkan identitas nasional, mengosongkan sebagian besar dari isi konsep kewarganegaraan.
Jika telah sampai pada titik yang berbahaya, multikulturalisme radikal akan membangkitkan semangat
untuk memisahkan diri atau separatisme dalam psike kelompok- kelompok kultural.
Kedua, kenyataan bahwa dapat terjadi benturan prinsip kesetaraan antara elemen minoritas
dalam kelompok sosial. Peneliti feminis Susan Moller Okin (lihat Okin, 1998, 1999, dan 2002),
misalnya, menilai bahwa agenda multikulturalisme tidak dapat berbuat banyak, atau justru makin
melemahkan posisi perempuan dalam tatanan masyarakat lokalnya. Praktik-praktik seperti poligami,
penyunatan alat kelamin perempuan, pernikahan paksa terhadap anak-anak perempuan termasuk anak-
anak perempuan berusia dini, dan lain sebagainya praktik yang bias gender, justru dilegitimasi oleh
multikulturalisme yang memberikan hak otonom bagi setiap kelompok kultural untuk melanggengkan
tatanan sosial masing-masing. Jika tatanan sosial dari kelompok kultural tersebut didasarkan atas
sistem patriarki, kata Okin, posisi perempuan dalam masyarakat itu sangat lemah.
Sampai di titik ini, kita bisa memandang proyek multikulturalisme dengan lebih menyeluruh,
bukan semata-mata sebagai jargon politik untuk mencitrakan ideologi atau organisasi yang pro
kemanusiaan, melainkan sebagai sebuah konsep filosofis dengan asumsi- asumsi yang ternyata
problematis. Salah satu ironi dari proyek multikultural, lanjut Anne Phillips (2007:25), adalah bahwa
atas nama kesetaraan dan respek mutual antarelemen masyarakat, ia juga mendorong kita untuk
memandang kelompok-kelompok dan tatanan-tatanan budaya secara sistematis lebih berbeda daripada
kenyataan sesungguhnya dan dalam proses tersebut, multikulturalisme berkontribusi menciptakan
stereotipisasi wujud-wujud kultural yang ada.
Saat ini term multikulturalisme sedang laris dalam arti positif di kalangan birokrat, akademisi,
maupun masyarakat umum. Visi indah tentang kelompok-kelompok budaya berbeda yang berinteraksi
dalam kedamaian dan ko-eksistensi konstruktif ada di benak kita semua. Pidato-pidato dan esai-esai
yang mendorong dijunjung tingginya multikulturalisme ada di mana- mana, meminta dan menuntut
adanya sikap menghargai setiap wujud kebudayaan, daerah atau sub-kelompok, yang ada di Indonesia.
Namun, konflik inheren dalam konsep multikulturalisme belum dicarikan solusi fundamental,
sehingga kita melihat dalam praktiknya terjadi benturan-benturan antara konsep yang satu dan yang
banyak (one and many). Aksi terorisme, misalnya, menunjukkan adanya identitas kelompok kultural
yang kuat namun memberontak terhadap identitas bersama dan kepentingan rakyat banyak sebagai
sesama warga Indonesia. Para teroris mengorbankan kepentingan dan keselamatan sesama warga
negara Indonesia untuk memperjuangkan tujuan kelompok kulturalnya sendiri. Kita bisa menilai hal
yang sama terjadi pada gerakan-gerakan separatisme di berbagai penjuru wilayah Indonesia.
Menguatkan identitas kelompok kultural ternyata bisa menabrak kepentingan agenda nasional yang
lebih besar, sila ketiga dari Pancasila, yakni persatuan Indonesia.
Problem benturan antarklaim kesetaraan juga perlu diselesaikan. Jika esensi dari
multikulturalisme adalah pengakuan bahwa kaum minoritas perlu diperlakukan setara seperti
kelompok mayoritas, kita akan berhadapan dengan persoalan: bagaimana dengan kaum minoritas di
tengah kaum minoritas itu (minorities within minorities)? Bahkan kaum minoritas pun dapat berlaku
menindas terhadap kaum minoritasnya sendiri, itu kita temui dalam realitas masyarakat. Perlakuan
terhadap kaum perempuan di tengah sub-kelompok kultural yang patriarkis adalah satu contoh. Di
Indonesia juga kita temukan kasus-kasus seperti sekte-sekte keagamaan minoritas yang tidak
memperoleh pengakuan kesetaraan dari kelompok keagamaan mayoritas tempat mereka berafiliasi,
juga sub-sub kultur lain yang masih bergerak di bawah tanah, eksis tapi tidak berani menampilkan diri
karena takut pada konsekuensi social dari kelompok kultural mayoritas, misalnya kaum gay dan
lesbian, kelompok ateis, dan seterusnya. Multikulturalisme macam apa yang bisa memperlakukan
mereka secara sepantasnya? Jika kesetaraan dan penghargaan atas perbedaan dijunjung tinggi, adakah
batas-batasnya? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dibahas lebih lanjut dalam penelitian-penelitian
selanjutnya.
Pada dasarnya semua bangsa di dunia bersifat multikultural. Adanya masyarakat multikultural
memberikan nilai tambah bagi bangsa tersebut. Keragaman ras, etnis, suku, ataupun agama menjadi
karakteristik tersendiri, sebagaimana bangsa Indonesia yang unik dan rumit karena kemajemukan
suku bangsa, agama, bangsa, maupun ras. Masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah
masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhinneka Tunggal Ika yang
multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.
Berkaca dari masyarakat multikultural bangsa Indonesia, kita akan mempelajari penyebab
terbentuknya masyarakat multikultural.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika bisa jadi merupakan sebuah ”monumen” betapa bangsa
yang mendiami wilayah dari Sabang sampai Merauke ini memang merupakan bangsa yang
majemuk, plural, dan beragam. Majemuk artinya terdiri atas beberapa bagian yang merupakan
kesatuan, plural artinya lebih dari satu, sedangkan beragam artinya berwarna-warni. Bisa
dibayangkan bagaimana wujud bangsa Indonesia. Mungkin dapat diibaratkan sebagai sebuah
pelangi. Pelangi itu akan kelihatan indah apabila beragam unsur warnanya bisa bersatu begitu pula
dengan bangsa kita. Indonesia akan menjadi bangsa yang damai dan sejahtera apabila suku bangsa
dan semua unsur kebudayaannya mau bertenggang rasa membentuk satu kesatuan. Kita mencita -
citakan keanekaragaman suku bangsa dan perbedaan kebudayaan bukan menjadi penghambat tetapi
perekat tercapainya persatuan Indonesia. Namun, kenyataan membuktikan bahwa tidak selamanya
keanekaragaman budaya dan masyarakat itu bisa menjadikannya pelangi. Keanekaragaman budaya
dan masyarakat dianggap pendorong utama munculnya persoalan-persoalan baru bagi bangsa
Indonesia.
Keragaman di masyarakat dapat ditinjau dari beberapa hal, misalnya ras, suku bangsa,
agama dan jenis kelamin (lihat Turangan, D. D. (2011), Siregar, N. O., Bariah, C., & Rahman, A.
(2014), Garaudy, R. (2000), Balasuriya, T. (1994). Bertens, K. (2009)) :
1. Ras
Pembedaan masyarakat berdasarkan ras bisa didasarkan atas perbedaan ciri-ciri fisiknya.
Ras merupakan konsep biologis, bukan kebudayaan. Ciri-ciri yang dikemukakan dalam
diferensiasi ras adalah ciri-ciri yang menurun. Mengenai diferensiasi berdasar ras banyak
permasalahan yang muncul dari situ. Pada zaman imperialisme dan kolonialisme, diferensiasi
sosial berdasarkan ras digunakan untuk mengukur tinggi rendah seseorang atau kelompok
dalam masyarakat.
2. Suku Bangsa
Keragaman suku bangsa merupakan pembedaan masyarakat berdasarkan kebudayaan.
Menurut Koentjaraningrat (1974:73) ras adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh
kesadaran dan identitas dalam kesatuan kebudayaan. Kesadaran dan identitas tersebut
seringkali dikuatkan oleh kesatuan atau persamaan bahasa. Masing-masing kebudayaan suku
bangsa memiliki corak khas yang akan dapat dilihat dengan jelas oleh masyarakat di luar
kelompok tersebut.
3. Agama
Pemerintah Indonesia mengakui dan mengembangkan lima agama, yaitu Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, dan Budha meskipun masih ada berbagai kepercayaan yang ingin
mendapatkan pengakuan oleh pemerintah sebagai suatu agama. Kondisi ini sangat rentan
terhadap terjadinya konflik dan disintegrasi bangsa Indonesia. Walaupun bangsa Indonesia
terdiri atas bermacam-macam agama, namun hendaknya tetap bersatu seperti dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa Indonesia memiliki suku bangsa yang tersebar dari
Sabang sampai Merauke dengan kebudayaan yang beragam pula.
Dengan adanya perbedaan itu maka dalam menjalankan keimanan dan ketakwaan terhadap
Tuhan, tiap-tiap umat beragama dituntut menghormati satu sama lain. Pemeluk agama tidak
boleh saling menghina terhadap pemeluk agama lain. Sebagai warga negara kita ikut
berupaya untuk menumbuhkan dan mengembangkan toleransi antarumat beragama. Kita
harus menghindari dan menjauhi hal-hal sebagai berikut:
a) Sikap fanatik yang berlebihan, yaitu sikap tidak mau menghargai pemeluk agama lain
dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bahkan memusuhinya.
b) Sikap mencampuradukan ajaran agama dengan kepercayaan atau ajaran lain.
c) Sikap acuh tak acuh terhadap agama atau kepercayaan lain. Kita harus membina kerja
sama antarumat beragama.
Ketika mendengar tentang kata Bhinneka Tunggal Ika maka serta merta pikiran kita akan
mengaitkannya dengan Pancasila, Burung Garuda, Perbedaan Suku, dan mungkin kita sudah lupa
tentang asal usul Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri, menghadapi kompleksitas gobalisasi, dan
peluangnya dengan memegang teguh BhinnekaTunggalIka. Melalui tulisan singkat ini penulis
ingin mengajak kembali melihat dengan singkat dan cepat (quick flash back) historikal Bhinneka
Tunggal Ika, mengaitkannya dengan kemajemukan bangsa dan globalisasi, dan tantangan ke
depan dalam menjaga Bhinneka Tunggal Ika di setiap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bhinneka Tunggal Ika tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 1951 dan
Undang Undang RI Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta
Lagu Kebangsaan. Bhinneka Tunggal Ika mengandung makna: Mendorong makin kukuhnya
persatuan Indonesia; Mendorong timbulnya kesadaran tentang pentingnya pergaulan demi
kukuhnya persatuan dan kesatuan; Tidak saling menghina, mencemooh, atau saling menjelekkan
diantara sesame bangsa; Saling menghormati dan saling mencintai antar sesama; Meningkatkan
identitas dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia; dan Meningkatkan nilai kegotongroyongan
dan solidaritas.
Dengan demikian Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari Pancasila, semangat
persatuan dan kesatuan, kebersamaan dan kekompakan sebagai sebuah negara dan bangsa.
Artikel singkat ini bukan merupakan justifikasi bahwa hal lain tidak demikian kuat berpengaruh
dalam membentuk persatuan dan kesatuan, namun merupakan sebuah pandangan yang
menguatkan faktor-faktor lain dalam negara dan bangsa. Pengaruh globalisasi menyediakan
tantangan sekaligus peluang yang harus dihadapi segenap komponen bangsa secara bersama-
sama, bukan sendiri-sendiri.
Pengaruh globalisasi itu tidak dapat dibendung, ditahan, disaring bila tidak
mengembalikan jati diri bangsa Indonesia, dimana jati diri itu salah satunya ada di dalam seloka
Bhinneka Tunggal Ika.
Mohammad Hatta dalam bukunya Bung Hatta Menjawab (1979) dituliskan asal- usul dan
penjelasan tentang semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Setelah merdeka semboyan itu
dicantumkan dengan lambang yang dibuat Sultan Abdul Hamid (Pontianak) dan diresmikan
pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Pebruari 1950 sebagai semboyan pada lambing
negara. Presiden Soekarno pada tanggal 22 Juli 1958 di Istana Negara menyatakan bahwa
Bhinneka Tunggal Ika merupakan seloka buatan Empu Tantular yang berasal dari seloka
“Bhina ika tunggal ika” yang memiliki pengertian “berjenis-jenis tetapitunggal.”
Mohammad Yamin dalam bukunya 6000 Tahun Sang Merah Putih (1954)
menyatakan bahwa semboyan itu dinamai seloka Tantular karena kalimat yang tertulis dengan
huruf yang jumlah aksaranya 17 itu berasal dari pujangga Tantular yang mengarang kitab
Sutasoma pada Era Majapahit. Artiseloka itu adalah walaupun berbeda- beda ataupun berlainan
agama, keyakinan dan tinjauan tetapi tinggal bersatu. Moh. Yamin menyatakan:
“…berbedalah itu, tetapi satulah itu. Seloka ini falsafah awalnya berasal dari tinjauan
hidup untuk memperkuat persatuan dalam kerajaan Keprabuan Majapahit, karena pada waktu itu
aliran agama sangat banyak dan aliran fikiran demikian juga. Untuk maksud itu seloka itu
disusun oleh Empu Tantular dengan tujuan untuk menyatukan segala aliran dengan
mengemukakan persamaan. Persamaan inilah yang mengikat segalanya, yaitu Bhinneka Tunggal
Ika…”
Namun jauh sebelumnya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika pertama kali diteliti oleh Prof.
H. Kern pada tahun 1888 dalam Verspreide Geschriften (1916, IV:172) dimana semboyan itu
awalnya tertera dalam lontar Purusadacanta atau Sutasoma (lembar 120) yang tersimpan di
Perpustakaan Kota Leiden. Kemudian diteliti kembali oleh Muhammad Yamin pada tahun-tahun
berikutnya dan tertuang dalam bukunya 6000 tahun Sang Merah Putih (1954). Sejarah semboyan
itu menempuh proses evolusi dan kristalisasi mulai sebelum kemerdekaan, pergerakan
nasional 1928 sampai berdirinya negara Republik Indonesia 1945 dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam lambing Negara sejak 8 Februari 1950. Selanjutnya, Latar belakang pemikiran
Bhinneka Tunggal Ika dapat dijelaskan melalui keterangan Mohammad Hatta dalam Bukunya
Bung Hatta Menjawab (1979) bahwa:
“Ke Ika-an di dalam Bhinneka Tunggal Ika, adalah berujud unsur-unsur kesatuan dalam
kehidupan bangsa, dalam arti adanya segi-segi kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan dan
kejiwaan yang bersatu dan dipegang bersama oleh segala unsur-unsur ke-Bhinneka- an itu.
Unsur keanekaragaman tetap ada pada daerah-daerah dari berbagai adat dan suku. Akan
tetapi, makin sempurna alat-alat perhubungan, semakin pesat pembauran putra-putri bangsa dan
semakin bijak pegawai Pemerintah dan Pemimpin Rakyat melakukan pimpinan, bimbingan dan
pengayoman terhadap rakyat seluruhnya, maka akan pastilah pula bahwa unsur-unsur ke
Bhinneka itu lambat laun akan cenderung meleburkan diri dan semangatnya kepada unsur ke-
lka-an. Bhinneka Tunggal Ika ini menegaskan pula, betapa pentingnya dihubungkan dengan
Pancasila sebagai tali pengikat untuk memperkuat unsur ke-lka-an dari adanya unsur-unsur ke-
Bhinneka-an itu, dengan kenyataan bahwa dalam lambang negara kita dimana jelas tergambar
Pancasila dengan Ketuhanan terletak dipusatnya, maka satu-satunya tulisan yang dilekatkan jadi
satu dengan lambang itu adalah perkataan Bhinneka Tunggal Ikaitu.”
Seloka Bhinneka Tunggal Ika yang tertera didalam lambang negara itu memberikan makna
tersirat dan tersurat. Namun kedua makna itu dapat dirangkum menjadi sebuah universalitas
bahwa Bangsa Indonesia menghargai akan kemajemukan, sehingga kemajemukan itu bukanlah
ancaman tetapi dijadikan sarana mempersatukan dengan tetap menghargai kemajemukan bangsa.
Akar sejarah dari falsafah Bhinneka Tunggal Ika adalah seloka dari Empu Tantular, 1350 M
sebagaimana dinyatakan Muhammad Yamin dalam bukunya sebagai berikut:
"Apabila kita pelajari buah fikiran ahli filsafah Indonesia sesudah abad ke-XIV sampai
kini, maka kagumlah kita kepada pertjikan otak ahli pemikir Empu Tantular, seperti dijelaskan
dalam kitab Sutasoma yang dikarangnya dalam jaman kentjana keperabuan Majapahit pada
pertengahan abad ke-XIV. Hal itu bukanlah suatu hal yang sudah mati.”
Seloka Mpu Tantular secara lengkap adalah “Bhinneka Tunggal Ika, Tanhana Dharma
Mangrwa” yang memiliki arti: “berbedalah itu, tetapi satulah itu; dan didalam peraturan undang-
undang tidak adalah diskriminasi atau dualisme.” Seloka ini telah menyatukan segala aliran
dengan mengemukakan persamaan, bahwa diantara berbagai fikiran, perbedaan agama,
perbedaan filsafah namun ada juga persamaan yang menyatukan. Persamaan inilah yang
mengikat segala jenis tetapi tetap tinggal bersatu. Perbedaan pikiran, pendapat, agama, aliran
politik, kebudayaan dan sebagainya, jangan menimbulkan diskriminasi dan dualisme, melainkan
sungguh sama nilai dan sama harganya (dinyatakan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma).
Seloka Bhinneka Tunggal Ika dalam konsep lambang menurut transkrip Sultan Hamid II
(15April1967) dinyatakan Bhinneka Tunggal Ika sebagai berikut:
"……ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki jang mentjekram
seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinja terbalik, saja mentjoba mendjelaskan
kepada Paduka Jang Mulia, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan
alamiahnja, tetapi menurut Paduka Jang Mulia Seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena
memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita merah putih jang
menurut beliau sudah terwakili pada warna perisai, selandjutnja meminta saja untuk mengubah
bagian tjakar kaki mendjadi mentjekram pita/mendjadi kearah depan pita agar tidak "terbalik"
dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip "djatidiri" bangsa Indonesia, karena merupakan
perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" dalam negara RIS,
mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika "bhinneka" jang ditondjolkan
itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika "keikaan" jang ditondjolkan itulah kesatuan
republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang negara RIS jang
didalamnja merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan"
haruslah dipegang teguh sebagai "djatidiri" dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua,
"e pluribusunum".
Transkrip Sultan Hamid II di atas menyatakan bahwa masuknya seloka Bhinneka Tunggal
Ika pada pita yang dicengkram cakar Elang Rajawali Garuda Pancasila adalah sebuah sinergitas
dari berbagai pandangan kenegaraan saat itu, yaitu paham federalis (kebhinnekaan) dengan
paham kesatuan/Unitaris (Tunggal). Pandangan federalisme yang mengutamakan prinsip
keragaman dalam persatuan, sementara itu pandangan unitaris yang mengutamakan prinsip
persatuan dalam keragaman. Makna secara semiotika bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah
“keragaman dalam persatuan dan persatuan dalam keragaman”. Kata Bhinneka artinya
keragaman; Tunggal artinya satu; dan Ika artinya itu. Maknanya yang beragam-ragam satu itu
dan yang satu itu beragam- ragam. Makna “yang satu itu” yaitu Negara Kesatuan
RepublikIndonesia.
Menelusuri sejarah lambang Negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
memberikan penegasan, bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah merupakan jati diri kebangsaan
Indonesia yang tepat untuk menyatukan perbedaan. Dari uraian singkat diatas dapat disimpulkan
bahwa segala perbedaan dipersatukan dalam kesatuan yang utuh bulat. Apapun jenis kelamin,
agama, pandangan politik, suku, ras, tingkat pendidikan, status ekonomi, status sosial dan
sebagainya dijadikan satu dalam pandangan kebangsaan. Prosesi yang demikian panjang oleh
para pendahulu merupakan suatu nilai (norma), identitas dan kedaulatan pemikiran bangsa,
bahwa kita sudah memiliki nilai luhur yang dibangun dengan pemikiran mendalam dan waktu
yang tidak singkat. Bhinneka Tunggal Ika selayaknya digaungkan kembali guna memperkokoh
Negara Kesatuan Republik Indonesia disetiap golongan generasi, level kemasyarakatan, pelaku
pemerintahan, aparat keamanan dan seluruh komponen negara dan bangsa Indonesia.
C. INTERSEKSI SOSIAL
Pengertian interseksi adalah titik pertemuan atau perpotongan atau juga persilangan antara
dua garis maupun dua arah. Lebih lengkapnya, pertemuan atau persilangan keanggotaan suatu
kelompok sosial dari berbagai seksi baik itu berupa suku, agama, jenis kelamin, kelas sosial, dan
yang lainnya dalam suatu keanggotaan masyarakat majemuk.
Suatu interseksi terbentuk melalui interaksi sosial atau pergaulan yang intensif dari
anggota-anggotanya melalui sarana pergaulan dalam kebudayaan manusia, antara lain bahasa,
kesenian, sarana transportasi, pasar, sekolah. Dalam memanfaatkan sarana-sarana interseksi
sosial itu, anggota masyarakat dari latar belakang ras, agama, suku, jenis kelamin, tingkat
ekonomi, pendidikan, atau keturunan berbeda-beda dapat bersama-sama menjadi anggota suatu
kelompok sosial tertentu atau menjadi penganut agama tertentu.
Interseksi akan menghasilkan golongan baru yang juga akan saling menyilang. Untuk itu,
banyak daerah, penggolongan dari beberapa individu akan sekaligus menempatkan seseorang
atau kelompok masyarakat dalam beberapa kriteria yang berbeda.
1. Homogen, yaitu suatu sektor kehidupan namun memiliki kriteria yang berbeda. Contohnya
seperti antar agama,suku, dan profesi.
2. Heterogen, yaitu sektor berbeda. Contohnya seperti ras dan agama, suku bangsa dan agama,
pendidikan dan profesi, suku bangsa dan organisasi politik.
Persilangan keanggotaan dalam suatu kelompok sosial tidak terjadi begitu saja, namun
dengan dibantu adanya interaksi yang terjadi di antara berbagai seksi. Interaksi antara satu seksi
dengan seksi yang lain lewat hubungan ekonomi, sosial dan juga politik.
Hubungan ekonomi
1. Melalui perdagangan
2. Melalui perindustrian
Hubungan sosial
1. Melalui perkawinan
2. Melalui pendidikan
Hubungan politik
Hubungan diplomatik maupun hubungan antar negara juga memiliki peran terjadinya
proses interseksi di antara para pejabat maupun utusan dari masing-masing negara.
1. Adanya perasaaan saling memiliki serta tanggung jawab yang mengikat kepada tempat atau
wadah keanggotaannya yang bisa meredakan konflik.
2. Konsekuensi interseksi akan mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Memiliki keragaman sifat-sifat yang berdasarkan ras,suku bangsa dan agama.
1. Rahmat, Rizal, Afri berasal dari daerah yang berbeda, namun pada hari Minggu mereka
selalu bertemu di Masjid.
2. Para anggota legislatif yang duduk bersama di bangku DPR atau MPR berasal dari berbagai
macam suku bangsa, daerah dan agama yang beragam.
3. Masyarakat yang hidup di kota yang berbeda dan juga mereka memiliki status sosial dan
agama yang berbeda pula.
Berikut penjelasannya:
Indonesia adalah negara yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah terutama
dalam hal rempah-rempah. Sehingga banyak negara-negara asing ingin menjajah Indonesia,
seperti Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Banyak dari mereka yang tinggal dalam jangka
waktu lama bahkan menikah dengan penduduk nusantara. Kondisi inilah yang menambah
kekayaan budaya dan ras yang ada di Indonesia.
Faktor geografis
Indonesia mempunyai letak geografis yang strategis yaitu di antara benua dan dua
samudera sehingga Indonesia menjadi jalur perdagangan internasional. Sebagai jalur
perdagangan, banyak negara-negara asing yang datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang,
seperti China, India, Arab dan negara-negara Eropa. Kondisi ini menambah kekayaan budaya
yang masuk ke Indonesia dan terciptanya masyarakat multikultural.
Bila dilihat dari struktur geologi, Indonesia terletak di antara tiga lempeng yang berbeda
yaitu Asia, Australia dan Pasifik. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan
dan mempunyai beberapa tipe geologi seperti tipe Asiatis, tipe peralihan dan tipe Austrialis.
Dengan kondisi yang berpulau-pulau tersebut, maka kehidupan masyarakat setiap pulau berbeda-
beda sesuai dengan kondisi pulaunya.
Faktor iklim
Iklim juga sangat memengaruhi keberagaman kebudayaan di Indonesia. Contoh orang yang
ada di daerah pegunungan dengan iklim sejuk membentuk kebudayaan masyarakat yang ramah.
Kemajemukan yang dimiliki oleh Indonesia ditanggapi serius oleh pemerintah pusat dengan
adanya penetapan otonomi daerah. Pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah bukan
semata-mata untuk memajukan setiap wilayah yang ada di Indonesia, tetapi juga untuk menjaga
kemajemukan yang ada di daerah tersebut. Melalui otonomi daerah, fungsi pemerintah daerah
dalam pembangunan dan pengembangan potensi daerah menjadi lebih maksimal karena pemerintah
daerahlah yang lebih tahu bagaimana cara untuk memaksimalkan pembangunan dan
pengembangan potensi yang ada. Pemberlakukan otonomi daerah yang sesuai dengan asas-asas
pemerintahan daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 merupakan salah satu cara yang ditempuh
oleh pemerintah pusat dalam rangka untuk mewujudkan integrasi nasional.
Suatu struktur sosial dinamakan intersected apabila keanggotaan para warga masyarakat
dalam kelomopk-kelompok sosial yang ada bersifat silang-menyilang (interseksi). Sebuah
kelompok sosial anggota-anggotanya berasal dari berbagai latar belakang, ras, suku bangsa,
maupun agama. Sehingga orang-orang yang berbeda suku bangsa, ras, dan agama dapat berkumpul
dalam suatu kelompok sosial.
Misalnya, dalam keanggotaan pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan partai
Golkar setiap pengurus parpol beranggotakan orang-orang yang berasal dari berbagai macam ras,
suku bangsa, agama, dan profesi. Diantara anggota terjalin komunikasi dan interaksi untuk
kemajuan partai mereka walaupun mereka berbeda dalam hal agama, suku bangsa, dan ras.
Struktur sosial yang terinteraksi berfungsi positif terhadap proses integrasi sosial dalam
masyarakat majemuk, karena memungkinkan orang-orang yang berbeda ras, suku bangsa, agama,
maupun profesi dapat saling bergaul dan berinteraksi melalui kelompok-kelompok sosial yang ada.
Keanggotaan para warga masyarakat dalam kelompok-kelompok sosial yang saling menyilang
(intersected atau cross cutting affiliation).
Misalnya, dalam keanggotaan pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan partai
Golkar setiap pengurus parpol beranggotakan orang-orang yang berasal dari berbagai macam ras,
suku bangsa, agama, dan profesi. Diantara anggota terjalin komunikasi dan interaksi untuk
kemajuan partai mereka walaupun mereka berbeda dalam hal agama, suku bangsa, dan ras.
Struktur sosial yang terinteraksi berfungsi positif terhadap proses integrasi sosial dalam
masyarakat majemuk, karena memungkinkan orang-orang yang berbeda ras, suku bangsa, agama,
maupun profesi dapat saling bergaul dan berinteraksi melalui kelompok-kelompok sosial yang ada.
Keanggotaan para warga masyarakat dalam kelompok-kelompok sosial yang saling menyilang
(intersected atau cross cutting affiliation)
Consolidated Social Structure adalah sebuah struktur sosial jika terjadi parameter (tolok
ukur) karena berasal dari satu karakteristik atau latar belakang yang sama.
Struktur sosial yang terkonsolidasi berfungsi menghambat proses intergrasi sosial dalam
masyarakat majemuk karena terjadinya penguatan identitas yang dalam batas-batas tertentu dapat
mempertajam prasangka antara ras, suku bangsa, dan agama yang berbeda.
Penajaman prasangka akan lebih nyata apabila diantara ras, suku bangsa, dan agama yang
berbeda itu terjadi pula perbedaan peluang untuk memperoleh kesempatan dalam proses-proses
ekonomi dan politik. Akibatnya timbul kesenjangan sosial dan ekonomi. Kasus-kasus kerusuhan di
beberapa kota di Indonesia dapat kita jadikan gambaran struktur yang terkonsolidasi dan
penajaman prasangka akibat kesenjangan ekonomi.
Di Indonesia pernah terjadi konflik antara dua etnis, yaitu orang etnis Cina yang memeluk
agama nonmuslim yang menguasai aktifitas ekonomi modern, bahkan menjadi majikan, dan
menempati status ekonomi atas, aktifitas ekonomi tradisional, menjadi buruh dan menempati status
ekonomi bawah. Ketika terjadi konflik antarburuh dengan majikan, konflik tersebut menjadi luas
karena adanya penguatan identitas akibat dari tumpang-tindih parameter keanggotaan dalam
kelompok sosial. Konflik buruh majikan akhirnya berubah menjadi konflik agama, yaitu muslim
melawan nonmuslim atau konflik etnis pribumi dengan etnis Cina nonpribumi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, H. A. (2016). Kerjasama Antar Umat Beragama dalam Wujud Kearifan Lokal di
Kabupaten Poso. Jurnal Multikultural & Multireligius, 162.
Baidhawy, Zakiyuddin. (2005). Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Erlangga,
Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach.
Efendi, A. (2008) Sekolah sebagai tempat Persemaian Nilai Multikulturalisme. Insania 13(1),
55-66.
Firman, F. (2016). Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural dalam Al Qur’an: Kajian terhadap
Tafsir Al- Azhar Karya Buya HAMKA. SYAMIL, 4(2).
Gunawan, K., & Rante, Y. (2011). Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat
Multikultural di Indonesia. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, 2(2), 212-224.
Gunawan, K., & Rante, Y. (2011). Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat
Multikultural di Indonesia. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, 2(2), 212-224.
Hasan, A. M. (2016). PRAKTIK MULTIKULTURALISME DI YOGYAKARTA: Integrasi dan
Akomodasi Mahasiswa Papua Asrama Deiyai (Doctoral dissertation, FIS).
Helmiati, H. (2013). Dinamika Islam Singapura: Menelisik Pengalaman Minoritas Muslim di
Negara Singapura yang Sekular & Multikultural. TOLERANSI, 5(2), 87-99.
Irhandayaningsih, A. (2012) Kajian filosofis terhadap Multikulturalisme
Indonesia.’HUMANIKA 15, no.9 (2012)
Mahrus, M., & Muklis, M. (2015). Konsep Multikulturalisme Perspektif Hadits: Studi Kitab
Bulughul Maram. FENOMENA, 7(1), 1-16.
Modood, T. (2013). Multiculturalism. John Wiley & Sons, Ltd.
Nurdin Hasan (2011) Multikulturalisme: menuju pendidikan berbasis multicultural.
Banda Aceh: Yayasan Anak Bangsa (YAB)
Suparlan, P. (2014). Menuju masyarakat Indonesia yang multikultural. Antropologi
Indonesia.
Taufani, P., Holillulloh, H., & Adha, M. M. (2013). Sikap Masyarakat Multikultur Terhadap
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Jurnal Kultur Demokrasi, 1(7).