Anda di halaman 1dari 12

Sejarah Pluralisme dan

Multikulturalisme
Multikulturalisme sebelum kemerdekaan

• Wilayah Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia dan Singapura) sebagai


masyarakat pluralisme kultural.
• Pada tahun 1930 dan 1940 an wilayah ini (termasuk Indonesia)
dipandang sebagai lokus klasik bagi konsep “masyarakat
majemuk/plural” yang diperkenalkan ke dunia Barat oleh JS
Furnival (1944, 1948)

• Masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih
unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hiduo berdampingan, tetapi
tidak bercampur dan menyatu dalam satu unit politik tunggal (Furnival
1944: 446).
• Realitas ini berkaitan dengan realitas sosial politik di Eropa yang relatif
homogen tetapi sangat diwarnai oleh chauvisme etnis, rasial, agama dan
gender.
• Berdasar pengalaman Eropa, Furnival memandang masyarakat plural Asia
Tenggara, khususnya Indonesia akan terjerumus ke dalam anarki jika
gagal menemukan formula federasi pluralis yang memadai (Furnivall 1944:
468-9)
• Pada praktiknya setelah perang dunia kedua masyarakt Indonesia
dapat menyatu dalam satu kesatuan unit politik tunggal.
• Meskipun dapat menyatu dalam politik tunggal tidak
menghilangkan realitas pluralitas sosial-budaya.
• Indonesia bersatu karena menemukan “common platform” yang
dapat mengintegrasikan berbagai keragaman itu.
• Tantangan Indonesia Baru adalah adanya sentimen etno-relijius
yang dapat sangat explosif
• Melihat fakta pluralitas masyarakat dan kekhawatiran perpecahan
negara, pemimpin bangsa cenderung melaksanakan politik
“keseragaman budaya” (monokulturalisme atau monoculturality)
Pada Zaman Demokrasi terpimpin: NASAKOM (Nasionalisme,
Agama dan Komunisme).
Pada Zaman Orde Baru Monokulturalisme dibangun atas nama
“stabiltas” untuk “developmentalisme” dan menghancurkan
”local geniuses”.
• Politik monokulturalisme telah menghancurkan local genius dan
mengakibatkan terjadinya kerentanan dan disintegrasi sosial
budaya lokal.
• Konflik dan kekerasan yang bernuansa etnis dan agama marak
sejak akhir tahun 1990 (tahun 1996 di situbondo), (23 Mei 1997 di
Banjarmasin).
• Kekerasan antar kelompok menunjukkan rentannya rasa
kebersamaan yang dibangun dalam bangsa, kentalnya prasangka
antar kelompok dan rendahnya saling pengertian antar kelompok
menyangkut nilai0nilai multikulturalisme masyarakat.
• Tiga dasawarsa zaman orde baru yang sentralistis
dan pengawalan yang ketat terhadap isu
perbedaan telah menghilangkan kemampuan
masyarakat untuk memikirkan, membicarakan
dan memecahkan persoalan yang muncul karena
adanya perbedaan secara terbuka, rasional dan
damai (el Ma’hady)
• Puncaknya sejak jatuhnya Presiden Soeharto yang diikuti ‘era
reformasi’, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami
disntegrasi.
• Krisis sosial-budaya dapat disaksikan dalam berbagai bentuk
disorientasi dan dislokasi.
• Disintgrasi soaial-politk bersumber dari :
euforia kebebsan yang nyaris kebablasan,
Lenyapnya kesabaran sosial (social tempere) dalam menghadapi kesulitan
hidup
Merosotnya kepatuhan terhadap hukum, etika, moral dan kesantunan
Semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit sosial lainnya.
Berlanjutnya konflik dan kekerasan bernuansa politis, etnis dan agama
(Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku dan Sulawesi Tengah)
Pandangan tentang identitas dan konflik

• Primordialis: perbedaan genetika, seperti sukus dan ras (termasuk


agama) sebagai sumber utama benturan kepentingan etnis dan
agama.
• Instrumentalis: suku, agama, dan identitas lain dianggap sebagai
alat yang digunakan oleh individu atau kelompok untuk mengejar
tujuan yang lebih besar
• Konstruktivis: identitas kelompok tidak bersifat kaku. Etnisitas
dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial.
Etnisitas sebagai kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk
saling mengenal dan memperkaya budaya.
• Berdasar kronologi historis diatas, dapat dipahami
bahwa sebenarnya multikulturalisme adalah sebuah
konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks
kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan
dan kemajemukan budaya, baik ras, suku etnis,
agama dan sebagainya dan dapat hidup berdampingan
secara damai dalam prinsip co existensi yang ditandai
oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain.
• Gagasan multikulturalisme merupakan sebuah
konsep yang mampu meredam konflik vertikal
dqn horizontal dalam masyarakat yang heterogen
dimana tuntutan akan pengakuan atas eksistensi
dan keunikan budaya kelompok etnis sangat
lumrah terjadi.
• Multikuluralsime sebagai politic of recognition

Anda mungkin juga menyukai