Anda di halaman 1dari 26

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

NEONASIONALISME DAN POLITIK MULTIKULTURALISME

Kevin Anderson 00000021755


Luh Gede Girani Saputri 00000021366
Lydia Alessia W. T 00000019866
Maureen Aretha 00000019656
Mushahigo 000000025595
Mochammad Karuniawan 00000024246
Natalia Supit 00000024823
Novita Anggraini 00000024922
Siti Nur Hartinah A. A. R 00000022365
Tri Ulfatul Qurro 00000023546
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif paling anyar
dalam khasanah ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial.1 Dalam khasanah ilmu
politik dikenal dengan aliran pemikiran liberalisme yang dicetuskan oleh John Locke
dan Stuart Mill.2 Multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial
yang dihadapi oleh umat manusia khususnya dalam dunia terbuka dan era
demokratisasi kehidupan. Perubahan sosial yang terjadi dengan sangat cepat di dunia
dewasa ini dalam pemikiran politik dan ekonomi menyebabkan orang berpikir lebih
lanjut mengenai liberalisme.3
Indonesia adalah suatu negara yang terdiri dari berbagai kelompok etnis,
budaya, suku dan agama sehingga Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai
masyarakat multikultural. Akan tetapi, di lain pihak, realitas multikultural tersebut
berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali kebudayaan
nasional Indonesia yang dapat menjadi integrating force yang mengikat seluruh
keragaman etnis dan budaya tersebut.4
Sebagai ideologi modern di bidang sosial politik dan kenegaraan, nasionalisme
muncul sekitar tahun 1779 dan dominan di Eropa pada tahun 1830. Revolusi Perancis
pada akhir abad ke-18 sangat besar pengaruhnya berkembangnya gagasan
nasionalisme tersebut. Semenjak itu beberapa kerajaan feudal mengalami proses
integrasi menjadi ‘negara kebangsaan’ atau nation state yang wilayahnya menjadi
lebih luas dan hidup dalam sistem pemerintahan yang sama. Sejak itu di negara-
negara Eropa dan Amerika bermunculan pula gerakan-gerakan kebangsaan, dan
segera menjalar ke Asia. Hal ini disebabkan ampuhnya nasionalisme sebagai ideology
yang dapat mempersatukan banyak orang di negeri-negeri jajahan dalam menentang
kolonialisme.5
Sebagai warga dunia yang mempunyai hak yang sama atas bumi ini secara
komunal, prinsip kesanggrahan dari Neo-Nasionalisme, yaitu satu posisi yang duduk
sama rendah dan berdiri sama tinggi bersifat lebih manusiawi, dibandingkan sekedar
menerima belas kasihan yang digariskan dalam prinsip toleransi. Masyarakat
Indonesia sangat unik dengan keberagamannya, karakter warga masyarakatnya juga
berbeda dan unik sesuai dengan perkembangan wilayahnya dan budayanya masing-
masing. Konflik-konflik yang di Indonesia umumnya muncul sebagai akibat
1
keanekaragaman etnis, agama, ras, dan adat. Di dalam lingkungan masyarakat, akan
ditemukan beragam kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki karakteristiknya
masing-masing. Perbedaan dari karakteristiknya tersebut ini sangat berkaitan dengan
stratifikasi dan diferensiasi sosial.

1.2 Pokok Masalah


Masyarakat Indonesia memiliki berbagai macam budaya. Karakter
masyarakatnya juga berbeda dan unik sesuai dengan perkembangan wilayah.
Meskipun begitu, konflik-konflik yang muncul di Indonesia umumnya sebagai akibat
keanekaragaman etnis, agama, ras, dan adat. Di dalam lingkungan masyarakat, akan
ditemukan bermacam-macam kelompok masyarakat yang memiliki ciri khas.
Perbedaan dari karakteristiknya tersebut ini sangat berkaitan dengan stratifikasi dan
diferensiasi sosial. Oleh karena itu, penulis ingin membahas bagaimana neo-
nasionalisme dan politik multikulturalisme di Indonesia.

1
1. Rob Reich, Bridging Liberalism and Multiculturalism in American Education (2002),
halaman 11
2. Bakri Abbas, Empat Pemikiran Politik Barat (2003), halaman 36-37
3. John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia (terjemahan,2002)
4. H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif
untuk Indonesia (2002)
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Neonasionalisme
2.1.1 Pengertian Neonasionalisme
Menurut Hans Kohn, nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki
oleh sebagian besar individu di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan
sebagai perasaan memiliki secara bersama di dalam suatu bangsa. Dr. Hertz
dalam bukunya “Nationality in History and Politcis” mengemukakan 4 unsur
nasionalisme yaitu :
1. Hasrat untuk mencapai kesatuan.
2. Hasrat untuk mencapai kemerdekaan.
3. Hasrat untuk mencapai keaslian.
4. Hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa.
Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa negara dan bangsa adalah
sekelompok manusia yang :
1. Memiliki cita-cita bersama yang mengikat warga negara menjadi satu
kesatuan.
2. Memiliki sejarah hidup bersama sehingga tercipta rasa senasib
sepenanggungan.
3. Memiliki adat, budaya, dan kebiasaan yang sama sebagai akibat
pengalaman hidup bersama.
4. Menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah.
5. Teroganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat sehingga mereka
terikat dalam suatu masyarakat hukum.

2.1.2 Jenis Neonasionalisme


1. Ethnic / Ethno Neonasionalisme
Nasionalisme etnis adalah jenis semangat kebangsaan dimana negara
memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah
masyarakat.
Nasionalisme etnis mendefinisikan bangsa dalam etnisitas dimana unsur
keturunan dari generasi sebelumnya, kesamaan budaya bersama, anggota
kelompok berasal nenek moyang mereka, dan kesamaan bahasa sebagai
2. Civic Nationalism / Nasionalisme Kewarganegaraan
Nasionalisme kenegaraan adalah nasionalisme yang memperoleh
legitimasi politik berasal dari partisipasi aktif rakyatnya. Nasionalisme
kewarganegaraan berbasis pada tradisi rasionalisme dan liberalisme.
3. Romantic Nationalism / Nasionalisme Identitas
Nasionalisme romantik disebut juga sebagai nasionalisme
organik/nasionalisme identitas dimana negara memperoleh legitimasi
politik secara alamia (“organik”) dari konsekuensi dan ekspresi
bangsa/ras.
4. Cultural Nationalism / Nasionalisme Budaya
Nasionalisme budaya mendefinisikan bangsa dan budaya saling
mengisi (sharing), dimana keanggotaan dalam suatu bangsa tidak
diperoleh secara otomatis berdasarkan keturunan/ anak-anak dari
anggota bangsa dianggap orang asing apabila dibesarkan dalan budaya
lain. Atau kata lainnya nasionalisme budaya berprinsip dimana negara
memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya
“sifat keturunan” seperti warna kulit, ras, dan sebagainya.
5. State Nationalism / Nasionalisme Negara
Nasionalisme negara adalah variasi dari nasionalisme
kewarganegaraan dan sering diidentikan dengan nasionalisme etnis.
Nasionalisme negara berprinsip bahwa bangsa adalah sebuah
komunitas yang memberikan kontribusi kepada pemeliharaan
kemampuan dan kekuatan negara sehingga individu/ warga negara
adalah wajib untuk memberikan konstribusi pada tujuan itu.
6. Religious Nationalism / Nasionalisme Keagamaan
Nasionalisme keagamaan beranggapan bahwa negara memperoleh
legitimasi politik dari warganya yang menjalani kepatuhan terhadap
ajaran-ajaran agama, lebih dari teokrasi negara-bangsa.
7. Pan Nationalism / Pan Nasionalisme
Pan nasionalisme biasanya mengarah pada nasionalisme budaya dan
etnis, tetapi ‘bangsa’ yang dimaksud adalah kumpulan kelompok etnis
dan budaya terkait.
8. Diaspora Nationalism / Nasionalisme Diaspora
Nasionalisme diaspora mengacu pada perasaan nasionalis ketika
diaspora (tersebar). Perbedaan esensial anatara nasionalisme diaspora
dan pas nasionalisme adalah anggota diaspora yang menurut definisi
tidak lagi tinggal di tanah air mereka, baik secara nasion maupun
secara etnis.
9. Teritorial Nationalism
Dimana perasaan nasionalisme didasarkan pada pernyataan bahwa
semua penduduk bangsa tertentu berutang kesetiaan pada tempat
negara dimana mereka dilahirkan .
10. Ultra Nationalism
Paham ultra nasionalis sering disebut fasist. Fasist adalah paham yang
mementingkan keunggulan ras dan menolak paham hubungan
internasional, karena menurut paham fasist ras lain berada dibawah ras
mereka. Tapi paham ultra nasionalist tidak menolak hubungan
internasional, negara lain diakui dalam paham ultranasionalis, tetapi
negara sendiri adalah yang terutama. Penyebaran paham ini pada
intinya lebih fokus untuk memberikan semangat kepada penduduk
suatu negara.
11. Neo Nationalism
Neo nasionalisme adalah suatu bentuk nasionalisme yang unik, yang
bereaksi pada proses globalisasi. 2

2.1.3 Karakteristik Neonasionalisme (9,10)


Tataran operasional Neo-Nasionalisme harus bersifat praksis, antisipatif dan
evaluatif terhadap fenomena paradoks universalisme.Praksis yang bersifat
antisipatif bagi Indonesia, dalam menyambut datangnya gelombang Neo-
Nasionalisme abad ini, antara lain :
1. Memacu peningkatan kualitas pendidikan untuk membangun

5. Rob Reich, op cit, halaman 59


6. George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (terjemahan, 2003), halaman 323
7. Gladwell, Malcolm. 2002. Tipping Point. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
(Cetakan kedua, dengan isi 260 halaman.)
2. Masyarakat profesional yang pada gilirannya mempertebal lapisan
masyarakat Indonesia golongan menengah dan atas. Kompetisi positif
pada lapisan-lapisan tersebut akan memperkecil gap antara kaya dan
miskin.
3. Mengembalikan roh atau jiwa Pancasila ke dalam batang tubuh UUD
1945 hasil empat kali amandemen.
4. Memperkuat barisan Islam tradisional (pribumi) dalam
keberhadapannya dengan Islam Universal yang bertipologi radikal.
5. Memacu penerapan alih teknologi tepat guna, dalam meningkatkan
segenap aspek ketahanan nasional.
6. Memacu pembangunan infrastruktur politik, sosial dan pertahanan atas
dasar kearifan nasional.
7. Memacu pembangunan infrastruktur ekonomi, budaya dan keamanan
atas dasar kearifan lokal.
8. Memacu pembangunan network (jejaring) ke berbagai sumber daya,
utamanya ekonomi perdagangan nasional, regional dan internasional.
9. Membuka akses yang seluas-luasnya terhadap Kapital (sumber daya
keuangan), baik di dalam maupun di luar negeri.
10. Memberlakukan sistem dwi-kewarganegaraan dengan negara- negara
tertentu, yang bersifat simbiosis mutualistis dalam memecahkan
berbagai common issues (isu bersama); misalnya, dalam mengatasi
ledakan penduduk yang tak terelakkan, perlu kewargaan-ganda dengan
negara yang jarang penduduknya. Demikian pula halnya untuk
mencapai tujuan mendapatkan akses ke berbagai sumber kapital, yang
terdapat di negara- negara maju dan kaya yang secara potensial tidak
bertentangan dengan semangat nasionalisme Indonesia.
11. Memberlakukan penyatuan mata uang regional negara-negara ASEAN.
12. Memberlakukan wajib militer terhadap rakyat Indonesia berkondisi
produktif, berdasarkan konsep conscript (konskripsi) atau draft, dalam
rangka konsolidasi persatuan nasional bangsa Indonesia yang anti
sentimen SARA.
13. Melakukan moratorium terhadap pengelolaan berbagai jenis sumber
daya alam yang tak terbarukan.
14. Menyelenggarakan secara terus-menerus konsensus nasional
menghadapi berbagai macam isu global. Dalam menghadapi isu
separatisme, misalnya, harus diselenggarakan referendum nasional
untuk menentukan pendapat rakyat, bukan referendum lokal seperti
yang pernah dilakukan di Timor Timur pada 1999.
15. Meningkatkan akses secara berkelanjutan keberbagai badan kerjasama
internasional dan lembaga hukum internasional. Kekalahan negara
dalam sengketa internasional abad ini, cenderung merupakan akibat
lemahnya kekuatan lobby universal, baik di The International Court of
Justice maupun di The International Criminal of Court.
16. Melindungi segenap rakyat Indonesia dari aksi terorisme, dengan
memberlakukan Undang-undang intelijen yang berada di luar The
criminal justice system (sistem peradilan kriminal), sehingga mampu
memberikan ruang bagi early warning system (sistem pencegahan
dini).

Karena itu jelas bahwa kita harus membedakan antara nasionalisme


lama (atau klasik) dan fenomena baru neo-nasionalisme. Perbedaan utama di
antara keduanya antara lain sebagai berikut:
a) Nasionalisme berkembang di era negara-bangsa sebagai gerakan untuk
menyatukan komunitas dengan sejarah umum, budaya dan biasanya bahasa di
bawah atap negara-bangsa yang muncul pada saat itu tetapi juga pada abad ke-
20 ketika pembebasan nasional gerakan melawan kerajaan kolonialis berjuang
untuk negara bangsa mereka sendiri. Di sisi lain, neo-nasionalisme
berkembang di era globalisasi dengan tujuan melindungi kedaulatan nasional
negara-negara yang berada di bawah kepunahan karena integrasi negara
mereka.
b) Penekanan Nasionalisme adalah pada negara-bangsa (atau aspirasi untuk
satu), sedangkan penekanan neo-nasionalisme tidak begitu banyak pada
bangsa tetapi pada kedaulatan di ekonomi tetapi juga pada tingkat politik dan
budaya, yang telah bertahap dalam proses globalisasi;
c) Tidak seperti nasionalisme lama, neo-nasionalisme juga menimbulkan
tuntutan bahwa di masa lalu adalah bagian penting dari agenda Kiri, seperti
tuntutan untuk kesetaraan yang lebih besar (dalam negara-bangsa dan antara
negara-bangsa), permintaan untuk meminimalkan kekuatan para elit, bahkan
tuntutan anti-perang.
Tentu saja, mengingat asal-usul banyak partai neo-nasionalis dan
pendukung mereka, elemen-elemen ideologi nasionalis lama dapat menembus
mereka, seperti tren Islamofobia dan anti-imigrasi, yang memberikan alasan
kepada para elit untuk mengabaikan semua gerakan ini sebagai 'jauh kanan'.
Namun, tuntutan semacam itu sama sekali bukan alasan utama mengapa
gerakan semacam itu meluas. Khususnya demikian, karena dapat dengan
mudah ditunjukkan bahwa masalah pengungsi juga merupakan bagian dan
paket dari globalisasi dan '4 kebebasan' (modal, tenaga kerja, barang dan jasa)
ideologinya berkhotbah

2.1.4 Perkembangan Neonasionalisme


Munculnya negara-bangsa modern di abad 17-18 memainkan peran penting
dalam pengembangan sistem ekonomi pasar dan sebaliknya. Namun, sementara
proses 'nasionalisasi' pasar masih diperlukan untuk pengembangan 'sistem pasar' dari
pasar-pasar yang ada di masa lalu, namun begitu pemerintah pusat menerima dampak
dari internasionalisasi maka saat itu juga sistem pasar juga diinternasionalisasi dan
negara malah menjadi salah satu penghalang bagi 'kemajuan' dari sistem pasar. Hal
inilah yang menjadi salah satu penyebab bagaimana NWO (New World Order)
muncul, yang melibatkan restrukturisasi radikal bukan hanya dari ekonomi, dengan
munculnya Korporasi Transnasional, tetapi juga pemerintahan.
Mulai bertahapnya kepasifan pada negara-bagian dan negara berdaulat
menyebabkan berkembangnya neo-nasionalisme yang tidak dapat dicegah, sebagai
gerakan untuk menentukan nasib sendiri. Dengan kata lain, kebutuhan masyarakat
untuk penentuan nasib sendiri, di NWO, tidak memiliki outlet lain selain negara-
bangsa, seperti, hingga beberapa tahun yang lalu, dunia didominasi oleh negara-
bangsa, di mana masyarakat dengan budaya, bahasa, adat istiadat, dapat
mengekspresikan dirinya sendiri. Negara-bangsa menjadi alat penentuan nasib sendiri,
sebagaimana dulu pada abad ke-20 ketika orang-orang di bawah pemerintahan
kolonial yang berjuang untuk pembebasan nasional mereka. Kebudayaan nasional
tentu saja jelas bertentangan dengan budaya globalis seperti yang sekarang seperti
dipaksakan "dari atas" oleh para elit Transnasional dan nasional. Budaya globalis ini
didasarkan pada ideologi globalisasi multikulturalisme, perlindungan hak asasi
3
manusia, dan lain-lain, yang sebenarnya merupakan perluasan ideologi liberal klasik.
Bahkan, Elite Transnasional meluncurkan beberapa perang kriminal dalam tiga puluh
tahun terakhir atau lebih untuk "melindungi" hak asasi manusia (Yugoslavia, Irak,
Afghanistan, Libya dan secara tidak langsung Suriah) yang menyebabkan jutaan
kematian dan dislokasi populasi. Oleh karena itu tidak disengaja bahwa ideologi
globalis mencirikan berkembangnya apa yang saya sebut neo-nasionalisme, sebagai
kebangkitan 'liberalisme'.
2.1.7 Neonasionalisme di Indonesia
Nasionalisme di Indonesia adalah nasionalisme yang
berhubuangan dengan keadilan sosial dan anti kolonialisme. Nasionalisme ini
disebut socio-nasionalism oleh Bung Karno. Nasionalisme ini menghendaki
penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa atau suku-bangsa lain.
Pengalaman penderitaan yang dirasakan oleh bangsa Indonesia bersama
sebagai kaum terjajah melahirkan semangat solidaritas sebagai satu komunitas
yang bangkit dan hidup menjadi bangsa yang merdeka. Semangat yang
dihidupkan oleh para pejuang kemerdekaan hidup tidak hanya dalam batas
waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan masa yang akan datang.
Contoh neonasionalisme yang fenomenal ini adalah seperti
Gerakan Indonesia Mengajar yang digagas Anies Baswedan, Gerakan
Indonesia Berkebun oleh Ridwal Kamil, Gerakan Historia oleh Asep
Khambali dan gerakan-gerakan lain yang terus berkembang. Bahkan sosok
social entrepreneur yang tidak bermutasi menjadi monster kapitalis juga begitu
marak bermunculan. Sebut saja Septuari Sugiarto dengan Sedekah
Rombongannya, Tri Mumpuni dengan pembangkit listriknya, Sandiaga Uno
dengan Indonesia Setara Foundation-nya mempunyai tujuan mulia untuk
memberdayakan sesama warga bangsa. Bahkan NGO-NGO tidak ketinggalan.
Misalnya Dompet Dhuafa yang sudah go internasional dan lembaga-lembaga
sejenisnya yang bermunculan bak cendawan di musim hujan. Rumah Zakat,
PKPU, Al Azhar Peduli Umat adalah beberapa contohnya.

8. Lawrence E. Harrison and Samuel P. Huntington (ed.), Culture MAtters, How Values
Shape Human Frogress (2002), halaman xxiv
9. Sijori, Pearl River Delta, Yangtze River Delta, Newsweek, Special Issues, October-
Desember 2003, halaman 35
Tidak berhenti disitu saja. Anak-anak muda berbakat Indonesia
juga sudah menunjukkan kiprah internasionalnya untuk menunjukkan “Kami
Bangsa Indonesia”. Iman Usman, Mapres Nasional yang berasal dari
Universitas Indonesia ini sudah mempunyai gerakan parlemen muda dan
penggagas Indonesia Future Leaders Summit. Ivan Ahda dengan Forum
Indonesia Muda yang rutin tiap tahun diadakan. Muhammad Assad, yang
menggemparkan dengan bukunya Notes From Qatar, menaklukkan Malaysia
dan Qatar dengan prestasi akademis gemilangnya serta usahanya yang sudah
berkiprah di Doha, Toronto dan Jakarta.
Neonasionalisme ini berfokus pada kekuatan individu yang bisa
menggerakkan bangsanya dengan bantuan media sosial yang bertebaran dimana-
mana. Mereka memenuhi passion-nya, mematuhi satu takdir hidupnya untuk menjadi
‘sesuatu’ bagi bangsanya. Bayangkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang 230
juta lebih ini jika sepuluh persennya saja bisa menjadi ‘sesuatu’ tersebut, maka
Indonesia mercusar dunia akan benar-benar terwujud nyata.
2.1.8 Neonasionalisme di Negara lain

Nasionalisme yang dianut oleh bangsa barat adalah nasionalisme yang


mengarah ke sovinisme,yang sempit, yang membenci bangsa atau suku lain, dan
menganggap bangsa sendiri yang paling bagus, paling unggul sesuai dengan
individualisme Barat.
Nasionalisme Eropa yang menghasilkan deklarasi hak-hak manusia berubah
menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self interest, bukan atas
kemanusiaan. Dalam perkembangannya nasionalisme di Eropa, berpindah haluan
menjadi persaingan fanatisme nasional antar bangsa di Eropa yang melahirkan
penjajahan terhadap negeri yang belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme)
seperti di benua Afrika, Amerika Latin, dan Asia termasuk Indonesia.

2.2. MULTIKULTURALISME
2.2.1 Definisi Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,
multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme
(aliran/paham). Istilah Multikulturalisme menunjuk pada keberadaan bersama
(coexistence) sejumlah pengalaman kultural yang berbeda di dalam sebuah kelompok
atau masyarakat.
Sampai batas tertentu, semua masyarakat manusia dalam sejarah berciri
multikultural, dikarenakan adanya perbedaan dalam bidang gender, generasi,
pekerjaan, etnisitas dari rangkaian pengalaman yang berbeda. Hanya, belakangan ini
istilah multikulturalisme digunakan dalam kaitan dengan masyarakat atau atau bagian
masyarakat, yang memiliki kebudayaan-kebudayaan yang berbeda akibat letak
geografis atau historis yang beranekaragam.
Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus dipertaruhkan atau
dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep
yang dipunyai ahli lainnya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideology dan
sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya,
maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan
manusia. (Antonius Eddy Kristiyanto OFM, Jakarta, Komisi Teologi Konferensi
Waligereja Indonesia dan OBOR, 2014, 1)
Indonesia memiliki budaya yang sangat beragam dari sabang sampai merauke.
Multikulturalisme digunakan di Indonesia untuk merumuskan identitas diri sebagai
bangsa yang otonom, yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politis,
ekonomis, budaya bangsa lain atau kelompok tertentu. Setiap negara mempunyai
keadaan politis dan historis yang bebeda. Sebagai contoh multikulturalisme di
Indonesia berbeda dengan multikulturalisme di Amerika Serikat, Australia, dan
Kanada.
Di Indonesia, menjadi identitas suatu kelompok merupakan perspektif historis
masyarakat Indonesia. Dan di dalam identitas tersebut memiliki beragam sumber
budaya. Seperti halnya mayoritas dalam minoritas. (Thomas Tokan Pureklolon,
Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2016, 172)
2.2.2 Tiga Kaidah Epidemi
Epidemi itu sendiri adalah sebuah fungsi yang memiliki beberapa unsur yakni: orang
yang bertindak sebagai agen penginfeksi, agen penginfeksi itu sendiri, dan lingkungan tempat
beroperasinya agen penginfeksi. Dan ketika sebuah epidemi meledak, ketika keseimbangan
tiba-tiba terganggu, ketika eskalasi meningkat setelah suatu kejadian, suatu perubahan telah
terjadi pada satu (atau dua atau tiga) unsur tadi. Epidemi sangat terpengaruh oleh situasi,
yaitu oleh keadaan, dan kondisi lingkungan kejadian..
Tiga Kaidah Epidemi adalah : bersifat menular, perubahan kecil entah bagaimana
membawa perubahan besar, dan ketiga, perubahannya tidak bertahap tetapi dramatis. Ketiga
unsur perubahan ini disebut ”Hukum tentang Yang Sedikit”, ”Faktor Kelekatan”, dan
”Kekuatan Konteks”. Epidemi sangat terpengaruh oleh situasi, yaitu oleh keadaan, dan
kondisi lingkungan kejadian..
Hukum tentang yang sedikit artinya yaitu keberhasilan suatu epidemi social sangat
bergantung pada keterlibatan orang-orang yang memiliki seperangkat keterampilan sosial
langka. Faktor kelekatan artinya yaitu ada sejumlah cara tertentu untuk membuat sebuah
kesan mudah menular dan terus diingat; ada perubahan yang meskipun sederhana sekali baik
dalam cara menyajikan maupun cara menyusun informasi yang dapat menghasilkan
perbedaan besar dari segi dampaknya. Kekuatan konteks artinya yaitu adanya sifat
masyarakat untuk memiliki “masalah kecenderungan menjadi penonton” atau bystander
problem.

2.2.3 Hukum (12)


Pasal 28 C ayat 1 UUD 1945
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia
Pasal 28 E ayat 1 dan 2 UUD 1945
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 28 I ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan jati
nurani,hak beragama hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas hukum yang berlaku surutadalahhak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadapa perlakuan yang bersifatdiskriminatif itu
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras denganperkembangan
zaman dan peradaban.
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945
Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.
Pasal 32 ayat 1 dan 2 UUD 1945
Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya.
Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
Pasal 4 UU No. 20 tahun 2003
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem
terbuka dan multimakna.
Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan,dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis,dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat.
Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat
melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

2.2.4 Faktor Kelekatan


Faktor kelekatan artinya yaitu ada sejumlah cara tertentu untuk membuat sebuah
kesan mudah menular dan terus diingat; ada perubahan yang meskipun sederhana sekali baik
4
dalam cara menyajikan maupun cara menyusun informasi yang dapat menghasilkan
perbedaan besar dari segi dampaknya. Faktor kelekatan menyiratkan perubahan atau aksi
harus langsung dan berulang-ulang, karena untuk memicu epidemi, gagasan harus mudah
diingat dan merangsang orang untuk berbuat sesuatu. Sayangnya di abad informasi ini, segala
sesuatunya telah banyak diulang dan hal ini menimbulkan masalah pada faktor kelekatan.

2.2.5 Kekuatan Konteks


Kekuatan Konteks artinya yaitu adanya sifat masyarakat untuk memiliki “masalah
kecenderungan menjadi penonton” atau bystander problem. Dengan kata lain, kemampuan
seseorang untuk memiliki tanggung jawab tergantung pada beberapa jumlah orang yang
berada bersamanya pada saat suatu peristiwa terjadi. Kekuatan konteks mengatakan bahwa
dibanding kelihatannya, orang sesungguhnya jauh lebih peka terhadap lingkungan sekitar.
Kekuatan konteks mebicarakan bagaimana suatu lingkungan mempengaruhi sesorang.

2.2.6 Studi Kasus


Kasus Multikulturalisme Belanda sebagai Kritik atas Utopia Multikulturalisme
Indonesia
Banyak aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir, menyiratkan gagalnya bangsa ini untuk mengelola keragamannya. Sungguh ironis
karena sejak didirikan, para pendiri bangsa Indonesia mengembangkan gagasan bahwa
Indonesia akan tumbuh sebagai bangsa yang menjunjung tinggi keragaman budaya. Fakta ini
memunculkan perdebatan di kalangan cendekiawan Indonesia untuk mengusulkan konsep
multikulturalisme sebagai konsep ideal yang mampu memecahkan masalah di Indonesia.
Terlepas dari perdebatan, tidak banyak tulisan yang berfokus pada implementasi
multikulturalisme pada kasus nyata. Makalah ini menunjukkan bahwa implementasi
multikulturalisme di Belanda bukanlah konsep samping yang mungkin kita pikirkan
sebelumnya. Kebijakan multikulturalisme di Belanda telah menghadapi banyak tantangan

10. Lawrence E. Harrison and Samuel P. Huntington (ed.), Culture MAtters, How Values
Shape Human Frogress (2002), halaman xxiv
11. Sijori, Pearl River Delta, Yangtze River Delta, Newsweek, Special Issues, October-
Desember 2003, halaman 35
12. Samuel P.Huntington, The Clash of Civilization and Remaking of World Order
(1996)
13. Ram Mahalingam & Cameron McCarthy. Multicultural Curiculum (2000), halaman 9
negatif yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Untuk menjelaskan masalah ini, makalah ini
mencoba menggambarkan dinamika toleransi wacana dan multikulturalisme di Belanda.
Bagaimana perkembangan gagasannya? Tantangan apa yang harus dihadapi oleh nilai-nilai
mereka? Selain itu makalah ini juga akan menggambarkan relevansi kasus Belanda dengan
isu keberagaman di Indonesia saat ini.

2.2.7 Perkembangan Multikulturaisme


Telah kita lihat betapa pemikiran multikulturalisme telah lahir dari
perubahan sosial dan kehidupan umat manusia di dunia yang berubah dengan cepat.
Boleh dikatakan multikulturalisme telah lahir dari perubahan paradigma mengenai
hakikat kehidupan manusia dan manusia itu sendiri.6 Oleh sebab itu perlu kita lihat
kekuatan-kekuatan apa yang telah mendorong maraknya pandangan multikulturalisme
dewasa ini. Menurut pendapat penulis setidaknya ada tiga hal yang mendorong
perkembangan pesatnya pemikiran multikulturalisme yaitu HAM, globalisme, dan
proses demokratisasi.
2.2.7.1 Multikulturalisme dan HAM
Di dalam sejarah kehidupan manusia, hak asasi manusia tidak selalu
diperhatikan. Ada masanya hak-hak manusia itu ditindas atau tidak dihargai oleh
karena kekuatan kekuasaan yang dipusatkan kepada seseorang atau sekelompok elit
penguasa seperti dalam totaliterisme, kediktatoran, dan pemerintah kerajaan yang
absolut. Hak asasi manusia kemudian pada akhir abad 20 lebih disempurnakan
meliputi sebidang budaya yaitu hak asasi untuk memiliki kebudayaan sendiri (the
right to culture).8
2.2.7.2 Multikulturalisme dan globalisme
Perkembangan multikuturalisme juga didorong oleh keterbukaan kehidupan
manusia karena terbentuknya apa yang disebut the global village. Terutama didorong
oleh kemajuan teknologi komunikasi, hubungan antar manusia di dunia ini semakin
terbuka dan menyatu sehingga timbulah rasa persaudaraan dan juga rasa permusuhan
yang dimungkinkan oleh hubungan global yang semakin erat. Yang jelas ialah di
dalam hubungan kehidupan ekonomi, globalisasi melahirkan adanya pasar terbuka
(open market).9 Globalisme selain daripada melahirkan bentuk-bentuk interaksi antar
bangsa juga melahirkan berbagai masalah budaya bahkan tidak jarang dapat terjadi
benturan antar budaya (Huntington).10
2.2.7.3 Multikulturalisme dan Demokrasi
Pengakuan terhadap hak asasi manusia yang semakin lama semakin
solid diakui oleh kehidupan global memicu pula pada suatu pengakuan akan hak-hak
politik dari manusia dalam kelompoknya. Inilah yang disebut proses demokratisasi
yang merasuk kehidupan bersama manusia global. Proses demokratisasi sedang
berjalan dengan sangat pesatnya sejalan dengan keterbukaan kehidupan bersama
manusia karena kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi. Dengan
teknologi informasi orang tidak hanya dapat mengenal dan melaksanakan hak-hak
politisnya tetapi juga mengenal akan hak budayanya termasuk budaya kelompok dan
budaya bangsa yang lain. Dapat dikatakan antara proses demokratisasi dan
multikulturalisme terjadi hubungan timbal balik.11
2.2.8 Multikulturalisme di Indonesia
Multikulturalisme di masyarakat terjadi ketika masyarakat memiliki kultur
atau budaya yang beragam. Menurut studi sosiologi dan antropologi, masyarakat
multikultural adalah masyarakat yang memiliki etnik yang memiliki respect satu sama
lain sehingga tercipta negara yang memiliki kontribusi.
Alo 2005:68
Indonesia memiliki beragam suku dan budaya yang berbeda-beda di berbagai
tempat. Karena itu Indonesia dapat dikategorikan sebagai bansa yang multikultural.
Di Indonesia terdapat banyak suku seperti Jawa, Sunda, Dayak, Bali, dan lain-lain.
Karena adanya perbedaan tersebut, tidak heran jika terdapat perbedaan prinsip dan
kepercayaan. Contohnya golongan A percaya bahwa setiap manusia yang mati tidak
akan lahir kembali sedangkan golongan B percaya bahwa manusia yang mati akan
hidup kembali melalui reinkarnasi. Kedua belah pihak memiliki pendapat masing
masing. Karena itu dapat terjadi konflik.
Maryati, kun, juju 2001:171

2.2.9 Penyebab Multikulturalisme di Indonesia


Pertama, perbedaan kebudayaan antar kelompok akan dikorbankan berbagai
persamaan yang mereka miliki untuk mendukung kebijakan-kebijakan dari negara.
Dengan demikian multikultural akan meregangkan ikatan solidaritas.
Multikulturalisme yang radikal akan membangkitkan semangat untuk memisahkan
diri dari kelompok-kelompok kultural.
Anne Philips 2007;13
Kedua, terjadi benturan prinsip kesetaraan antara elemen minoritas didalam
kelompok sosial. Contohnya menurut peneliti feminis, Susan Moller mengatakan
bahwa posisi perempuan dalam masyarakat lokal melemah. Seperti adanya praktik-
praktik poligami, pernikahan paksa, penyunatan alat kelamin perempuan justru di
legistimasi oleh multikulturalisme yang memberikan hak otonom bagi setiap
kelompok kultural.
Okin, 1998, 1999, 2000
Menurut Anne Philips, situasi ini adalah benturan antar prinsip kesetaraan
sehingga terjadi konflik antara dua klaim kesetaraan. Multikulturalisme ingin
menghapuskan ketidaksetaraan yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas dan
feminisme ingin menghapuskan ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan.
Philips 2007;3
Oleh karena itu kita harus memandang multikulturalisme dengan lebih
menyeluruh. Bukan semata-mata untuk politik tetapi juga konsep filosofis yang
memiliki asumsi-asusmi yang problematis. Multikulturalisme juga berkontribusi
untuk menciptakan stereotipisasi wujud-wujud kultural yang ada.
Anne Philips 2007;25

2.2.10 Pandangan tentang Masyarakat Multikultural


Di Indonesia, masyarakat bebas memilih agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
yang Maha Esa. Setiap agama dan kepercayaan tersebut memiliki tata cara yang
berbeda. Karena perbedaan tersebut, muncul 3 pandangan yang berbeda.
1. Pandangan Primodialisme
Kelompok ini menganggap bahwa perbedaan-perbedaan yang berasal dari
genetika seperti suku, ras, agama, dan lain-lain merupakan sumber
utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun budaya.
2. Pandangan Kaum Instrumentalis
Kelompok ini berpendapat bahwa suku, agama, dan identitas yang lain
dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar
tujuan yang lebih besar baik dalam bentuk materiil maupun nonmateriil
3. Pandangan Kaum Kontruktivisme
Kelompok ini menganggap identitas kelompok tidak bersifat kaku,
sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Bagi kelompok ini
5
etnisitas dapat diolah sehingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Etnisitas adalah
sumber kekayaan yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya.
Mereka menganggap persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah.

2.2.11 Macam-Macam Multikulturalisme


Keragaman struktur budaya dalam masyarakat menjadikan multikulturalisme
terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu :
1. Multikulturalisme Isolasi
Masyarakat jenis ini biasanya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat
dalam interaksi yang saling mengenal satu sama lain. Kelompok-kelompok
tersebut pada dasarnya menerima keragaman, namun pada saat yang sama
berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain
umumnya.
Contohnya : Masyarakat suku Kajang yang ada di Kabupaten Bulukumba
yang masih mengisolasi diri dan mempertahankan budaya mereka dari budaya
luar, namun tetap menerima keragaman masyarakat selain masyarakat mereka
seperti tetap berinteraksi dengan masyarakat lain.
2. Multikulturalisme Akomodatif
Masyarakat ini memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian-
penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum
minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan
menerapkanundang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif
secara kultural, serta memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk
mengembangkan/ mempertahankan kebudayaan mereka. Sebaliknya, kaum
minoritas tidak menentang kultur dominan.
Contohnya : suku Jawa yang ada di daerah Palopo.
3. Multikulturalisme Otonomi
Dalam model ini kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan
kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan

14. Ibid, halaman 11


15. Harya W. Bachtiar, “Integrasi NAsional Indonesia” dan Harry Tjan Silalahi
“pemahaman Baru Kebangsaan” dalam Merumuskan Kembali Bangsa Indonesia
(2002), halaman 322
otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Prinsip-
prinsip pokok kehidupan kelompok-kelompok dalam multikultural jenis ini
adalah mempertahankan cara hidup mereka masing-masing yang memiliki
hak-hak sama dengan kelompok dominan. Mereka juga menentang kelompok
dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua
kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
Contohnya : kelompok feminis yang memperjuangkan kesetaraan gender.
4. Multikulturalisme Kritikal / Interaktif
Jenis multikulturalisme ini terjadi pada masyarakat plural di mana kelompok-
kelompok yang ada sebenarnya tidak terlalu menuntut kehidupan otonom,
akan tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang menegaskan
perspektif-perspektif distingtif (membedakan) mereka. Kelompok dominan
dalam hal ini tentunya menolak, bahkan berusaha secara paksa menerapkan
budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok
minoritas.
Contohnya : Kelompok lesbian, gay, biseksual dan transeksual (LGBT)
sebagai kelompok minoritas yang ingin diakui eksistensi oleh kelompok
mayoritas atau masyarakat luas, sebagai kelompok yang ingin mendapatkan
perlakuan yang sama dengan kelompok yang lain.
5. Multikulturalisme Kosmopolitan
Kehidupan dalam multikulturalisme jenis ini berusaha menghapus segala
macam batas-batas kultural untuk menciptakan masyarakat yang setiap
individu tidak lagi terikat pada budaya tertentu. Bisa juga sebaliknya, yaitu
tiap individu bebas dengan kehidupan-kehidupan lintas kultural atau
mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
Contohnya : Kehidupan di kota Makassar yang hidup berdampingan dengan
kultur yang berbeda.

2.2.12 Konsep Multikulturalisme


Perkembangan konsep multikulturalisme yang berkenaan dengan hak
asasi manusia, kehidupan politik, kehidupan sosial yang terus berubah, pandangan
mengenai budaya, dan juga pandangan mengenai pendidikan demokrasi menunjukkan
betapa konsep multikulturalisme mempunyai banyak segi. Salah satu segi yang
menarik misalnya dalam filsafat posmodernisme. Promodernisme sangat
6
mementingkan kepada local system dan memustahilkan kebenaran universal (Alois
A. Nugroho, 2003).12 Dengan sendirinya berbicara mengenai kompetisi antara
peradaban misalnya dalam percaturan supremasi kebudayaan Barat dan kebudayan
Timur merupakan suatu kesalahan berpikir oleh karena setiap kebudayaan memiliki
nilainya sendiri. Adalah merupakan suatu kenyatan bahwa setiap manusia
menghormati hak-hak untuk berbeda dengan orang lain.13
Selain konsep multikulturalisme di dalam perkembangannya, demikian juga
perlu disimak pengembangan arti budaya di dalam pengertian mutikulturalisme. Rob
Reich yang membedakan antara multikulturalisme deskriptif dan normatif.14 yang
dimaksud dengan multikulturalisme deskriptif yaitu kenyataan sosial yang dikenal
oleh para pakar ilmu politik sebagai kenyataan pluralistik. Multikuturalisme deskriptif
tidak mengakui adanya satu konsep mengenai apa yang disebut sesuatu yang baik
(good). Sesuatu yang baik bergantung kepada nilai pluralistik di dalam masyarakat.
Dengan demikian kebenaran yang absolut dan tinggal tidak dikenal kedalam konsep
multikulturalisme.
Multikulturalisme normatif berkaitan dengan dasar-dasar moral. dasar -dasar
moral antara lain keterikatan seseorang dalam suatu negara-bangsa. Artinya terdapat
suatu ikatan moral dari anggota-anggotanya didalam batas-batas negara-bangsa untuk
melakukan sesuatu sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan bersama. Inilah yang
dimaksudkan oleh Benedict Anderson tentang “the imagined community” atau
komunitas yang dibayangkan oleh suatu kelompok yang mengikat anggota-
anggotanya. Dalam kaitan ini multikultural normatif merupakan suatu kritik sosial
atau rekonstruksi sosial dalam membangun suatu keinginan bersama dari suatu
kelompok membangun sebuah wadah di dalam pluralitas budaya yang ada di dalam
komunitas tersebut.15
2.2.13 Refleksi Teologis di Tengah Keberagaman Agama(13)
Situasi konflik agama juga dialami Indonesia dalam dasawarsa terakhir.
Berbagai kerusuhan terjadi di daerah, antara lain di Tasikmalaya, Situbondo, Kupang,

16. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK), Kode Etik Kedokteran
Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, 2002, Jakarta :
IDI, halaman 3-4
17. Sudharto, S. (2012). Multikulturalisme dalam Perspektif Empat Pilar Kebangsaan.
CIVIS, 2(1/Januari).
Sambas, Poso dan juga di Maluku. Padahal, Indonesia selama ini dikenal sebagai
bangsa yang plural, beradab, dan memiliki semangat teloransi antara satu dengan
yang lainnya dengan semangat kerukunan. Perbedaan agama di Indoensia bukan
merupakan hal baru, akan tapi sudah terpatri sejak nenek moyang. Sayang sekali,
suasana kerukunan kehidupan di masyarakat itu diusik secara brutal oleh berbagai
kepentingan sempit dari pihak-pihak yang mengiginkan Indonesia bercerai-berai
melalui konflik sosial.
Upaya untuk membangun kerukunan agama kembali setelah tercerai- berainya
masyarakat akibat dari konflik agama sangat diperlukan dalam membangun harmoni
kehidupan. Kerukunan umat beragama merupakan bagian dari pilar pembangunan,
yang memberikan pengaruh besar pada keberhasilan. Dengan semakin mantapnya
kerukunan antar umat beragama maupun intern umat beragama, akan semakin kokoh
pula persatuan dan kesatuan bangsa. Pada saat yang sama, upaya untuk memanfaatkan
agama untuk melegitimasi kon ik sosial akan semakin sulit dilakukan oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggung jawab.
Pola Kerukunan di Bali
Nilai-nilai budaya di Bali tidak bisa terlepas dengan pengaruh Agama Hindu.
Tidak dapat dihindari bahwa pengaruh Agama Hindu dan budaya India di Bali
demikian besarnya, hal ini dibuktikan dari berbagai peninggalan purbakala seperti
diungkapkan oleh Swellengrebel (1960:17), yaitu: sumber utamanya adalah prasasti-
prasasti yang dikeluarkan oleh para raja yang banyak jumlahnya baik yang tertulis
pada batu maupun pada logam (tembaga). Prasasti-prasasti itu menceritakan
para raja yang memerintah dan para menterinya, hubungannya dengan administrasi
pemerintahan pusat dan orang-orang di desa-desa, peraturan di bidang keagamaan,
aturan yang. berhubungan dengan pengairan, perpajakan, dan sebagainya. Sumber
lainnya adalah peninggalan purbakala, arca-arca dan artifak-artifak, sumber-sumber
teks berupa berbagai manuskrip (lontar) yang cukup banyak jumlahnya.
Posisi agama sebagai bagian dari budaya di masyarakat Bali, menjadikan
agama Hindu menempati posisi penting dalam ranah sosial. Dominasi kebudayaan
Hindu sebagai mayoritas menjadikan pola kehidupan di Bali di pengaruhi oleh ajaran-
ajaran Hindu, sehingga posisi agama-agama lain hanya menjadi bagian kecil dari
warna sosial. Dalam posisi seperti itu maka ruang interaksi budaya antar umat agama
dengan agama lain hampir tidak ada karena agama lain di luar agama Hindu tidak
mampu mewarnai corak budaya Bali.
Dalam sosial budaya seperti itu, Lembaga Adat Banjar sebagai pusat kegiatan
sosial menempati posisi cukup strategis untuk menjaga harmoni kerukunan umat
beragama. Fungsi Banjar sebagai bagian dari penjaga budaya Bali memberikan
pengaruh kuat dimasyarakat dalam akti tas sosial. Konsep “nyama braya” hidup
bersama menempatkan persaudaraan senegara, persaudaraan sebangsa, dan
persaudaraan sesama umat manusia.
Selain nyama bray di Banjar Adat juga memiliki tradisi sima karma yaitu
upaya untuk menyerap aspirasi masyarakat baik dalam bentuk saran, masukan hingga
kritik, yang diadakan sebulan sekali dengan tidak melihat latar belakangnya. Mereka
yang datang dalam forum sima karma bisa berdialog dengan bebas tanpa
membedakan latar bekang agama.Pada kegiatan sosial terdapat tradisi gotong-royong.
Gotong royong dilakukan sebagai kewajiban warga terhadap lingkungan sosialnya.
Gotong royong biasanya dilakukan atas perintah ketua adat dalam bentuk kebersihan
lingkungan atau persiapan dalam acara perhelatan seperti pernikahan. Dalam
pernikahan inilah ada tradisi ngejot. Ngejot merupakan bentuk penghormatan pada
tamu muslim pada perhelatan perkawinan dengan memberikan hidangan khusus, yaitu
hidangan yang diolah dengan cara muslim untuk menghindari terampurnya makanan
dengan daging bagi.

2.3 Hubungan antara Neonasionalisme dan Multikulturalisme


Dalam dunia kedokteran, perilaku seorang dokter harus berpedoman
pada kode etik kedokteran. Semua telah diatur agar tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan dalam menjalankan tugasnya.
Di Indonesia, tahun 1908, berawal dari kelompok mahasiswa
kedokteran Jawa mendirikan sebuah organisasi. Organisasi tersebut bernama
Boedi Utomo. Sekarang peristiwa tersebut secara resmi diperingati sebagai
hari kebangkitan Nasional. Tapi statuta organisasi tersebut sebenarnya
menyatakan bahwa tujuan organisasi itu adalah untuk mempromosikan
kebudayaan Jawa. Dapat diartikan dalam pengertian ini, organisasi itu belum
merupakan organisasi yang sepenuhnya nasionalis. Tiga tahun kemudian,
muncullah organisasi-organisasi baru yang memiliki tujuan mempromosikan
kepentingan kelompok mereka sendiri. Seperti Syarikat Dagang Islam yang
kemudian merubah nama mereka menjadi sebuah partai politik Syarikat Islam.
Dengan demikian, organisasi secara internal masih sangat kuat dipengaruhi
oleh ikatan etnoreligius. Dan secara eksternal basis religiusnya
memisahkannya dari kelompok orang-orang non-Muslim. (Robert W. Hefner,
2007)
Hal inilah yang tidak ada di dunia kedokteran. Seorang dokter maupun
tenaga medis tidak dipatok oleh budaya, etnis, ras, dan lain sebagainya dalam
menjalankan profesinya. Telah dijelaskan pula di dalam kode etik kedokteran
bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani. Selain itu, seorang dokter harus berusaha menjadi
pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.(Kode Etik
Kedokteran Indonesia, 2002)
Hal inilah yang menjadi dasar bahwa di dunia kedokteran
menggunakan sistem politik multikulturalisme. Walaupun berbeda ras,
budaya, status sosial ekonomi sebagai seorang dokter maupun tenaga medis
tidak diperbolehkan memilah-milah dalam menolong orang. Karena semua
pasien memiliki hak mendapat perlakuan kesehatan yang sama.
7

18. Hefner Robert W, POLITIK MULTIKULTURALISME-Menggugat Realitas


Kebangsaan, 2007, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, halaman 472
BAB III
PENUTUP
Keseluruhan uraian di atas telah memperlihatkan bahwa nasionalisme sekaligus merupakan
perilaku dan ideologi. Sebagai ideologi, ia jarang berjalan sendirian, ia selalu menggandeng
ideologi politik lainnya. Sehingga, wajah dan bentuk nasionalisme itu pun beraneka ragam.
Dengan begitu, dapat dimengerti mengapa klaim kematian terhadap ideologi ini justru tidak
tepat. Menjadi semakin tidak tepat mengingat klaim fundamental dari nasionalisme berupa
“kedaulatan” dan “penentuan nasib sendiri” merupakan klaim berbasis antropologis yang
tidak bisa tidak sangat mewarnai sosialitas dan sosiabilitas manusia baik dalam masyarakat
sipil maupun masyarakat politik (negara). Namun, diskursus romantis tentang nasionalisme
selain ahistoris dalam arti seolah buta terhadap pelbagai kekejaman dan luka menganga
akibat ideologi ini di masa silam di hampir seluruh belahan dunia (terutama abad 19 dan 20),
juga tidak peka politik dalam arti ruang publik pentas politik kontemporer sudah semakin
sempit bagi praktik nasionalisme klasik itu. Meski demikian, semangat dasar nasionalisme
tetap dan tak mungkin hilang, bahkan di sana dan di sini
mewarnai pelbagai ideologi politik lainnya. Karena itu, suatu konsekuensi logis akan kita
terima. Entah nasionalisme itu, dalam arti semangatnya, membonceng ideologi politik
lainnya, atau entah ia muncul dalam rupa dan karakter yang lain. Nasionalisme demokratis
merupakan nasionalisme kontemporer yang banyak diterima dewasa ini. Kita bisa namakan
pelbagai perubahan rupa ini, terutama yang terakhir sebagai sebentuk neo-nasionalism atau
juga beyond nationalism
(melampaui nasionalisme).
Neo-nasionalisme yang dimaksud adalah lebih dari nasionalisme demokrat,
melainkan nasionalisme multikultural. Nasionalismemultikultural tidak berjalan mundur
seperti etno-nasionalisme, sekaligus juga tidak kaku seperti nasionalisme dengan model
nation-sate. Nasionalisme multikultural adalah nasionalisme yang tidak lagi terbangun di atas
konsep kebangsaan tertentu, melainkan dibangun di atas kesatuan kultural. Nasionalisme
multikultural berarti sistem politik yang terintegrasi oleh semangat nasionalisme sebagai roh
penguat dan pengukuh dari institusi politik bernama negara, di mana negara yang dimaksud
tersusun dari inter-relasi, komunikasi, dan inter-dependensi atas pelbagai sistem kultur yang
berbeda-beda. Kesatuan komunitas berdasarkan karakter kultural lebih lentur ketimbang
kesatuan komunitas berdasarkan karakter kebangsaan. Itulah yang membuat nasionalisme
multikultural lebih dinamis, lebih lentur, tetapi juga lebih rasional dan etis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rob Reich, Bridging Liberalism and Multiculturalism in American Education (2002),


halaman 11
2. Bakri Abbas, Empat Pemikiran Politik Barat (2003), halaman 36-37
3. John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia (terjemahan,2002)
4. H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif
untuk Indonesia (2002)
5. Rob Reich, op cit, halaman 59
6. George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (terjemahan, 2003), halaman 323
7. Gladwell, Malcolm. 2002. Tipping Point. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
(Cetakan kedua, dengan isi 260 halaman.)
8. Lawrence E. Harrison and Samuel P. Huntington (ed.), Culture MAtters, How Values
Shape Human Frogress (2002), halaman xxiv
9. Sijori, Pearl River Delta, Yangtze River Delta, Newsweek, Special Issues, October-
Desember 2003, halaman 35
10. Samuel P.Huntington, The Clash of Civilization and Remaking of World Order
(1996)
11. Ram Mahalingam & Cameron McCarthy. Multicultural Curiculum (2000), halaman 9
12. Alios A Nugroho, Benturan Peradaban, Muktikulturalisme, dan Fungsi Rasio,
KOMPAS, 4 April 2003
13. Sonia Neito, Affig Diversity (2000)
14. Ibid, halaman 11
15. Harya W. Bachtiar, “Integrasi NAsional Indonesia” dan Harry Tjan Silalahi
“pemahaman Baru Kebangsaan” dalam Merumuskan Kembali Bangsa Indonesia
(2002), halaman 322
16. Hefner Robert W, POLITIK MULTIKULTURALISME-Menggugat Realitas
Kebangsaan, 2007, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, halaman 472
17. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK), Kode Etik Kedokteran
Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, 2002, Jakarta :
IDI, halaman 3-4
18. Sudharto, S. (2012). Multikulturalisme dalam Perspektif Empat Pilar Kebangsaan.
CIVIS, 2(1/Januari).

Anda mungkin juga menyukai