1
1. Rob Reich, Bridging Liberalism and Multiculturalism in American Education (2002),
halaman 11
2. Bakri Abbas, Empat Pemikiran Politik Barat (2003), halaman 36-37
3. John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia (terjemahan,2002)
4. H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif
untuk Indonesia (2002)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Neonasionalisme
2.1.1 Pengertian Neonasionalisme
Menurut Hans Kohn, nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki
oleh sebagian besar individu di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan
sebagai perasaan memiliki secara bersama di dalam suatu bangsa. Dr. Hertz
dalam bukunya “Nationality in History and Politcis” mengemukakan 4 unsur
nasionalisme yaitu :
1. Hasrat untuk mencapai kesatuan.
2. Hasrat untuk mencapai kemerdekaan.
3. Hasrat untuk mencapai keaslian.
4. Hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa.
Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa negara dan bangsa adalah
sekelompok manusia yang :
1. Memiliki cita-cita bersama yang mengikat warga negara menjadi satu
kesatuan.
2. Memiliki sejarah hidup bersama sehingga tercipta rasa senasib
sepenanggungan.
3. Memiliki adat, budaya, dan kebiasaan yang sama sebagai akibat
pengalaman hidup bersama.
4. Menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah.
5. Teroganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat sehingga mereka
terikat dalam suatu masyarakat hukum.
8. Lawrence E. Harrison and Samuel P. Huntington (ed.), Culture MAtters, How Values
Shape Human Frogress (2002), halaman xxiv
9. Sijori, Pearl River Delta, Yangtze River Delta, Newsweek, Special Issues, October-
Desember 2003, halaman 35
Tidak berhenti disitu saja. Anak-anak muda berbakat Indonesia
juga sudah menunjukkan kiprah internasionalnya untuk menunjukkan “Kami
Bangsa Indonesia”. Iman Usman, Mapres Nasional yang berasal dari
Universitas Indonesia ini sudah mempunyai gerakan parlemen muda dan
penggagas Indonesia Future Leaders Summit. Ivan Ahda dengan Forum
Indonesia Muda yang rutin tiap tahun diadakan. Muhammad Assad, yang
menggemparkan dengan bukunya Notes From Qatar, menaklukkan Malaysia
dan Qatar dengan prestasi akademis gemilangnya serta usahanya yang sudah
berkiprah di Doha, Toronto dan Jakarta.
Neonasionalisme ini berfokus pada kekuatan individu yang bisa
menggerakkan bangsanya dengan bantuan media sosial yang bertebaran dimana-
mana. Mereka memenuhi passion-nya, mematuhi satu takdir hidupnya untuk menjadi
‘sesuatu’ bagi bangsanya. Bayangkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang 230
juta lebih ini jika sepuluh persennya saja bisa menjadi ‘sesuatu’ tersebut, maka
Indonesia mercusar dunia akan benar-benar terwujud nyata.
2.1.8 Neonasionalisme di Negara lain
2.2. MULTIKULTURALISME
2.2.1 Definisi Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,
multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme
(aliran/paham). Istilah Multikulturalisme menunjuk pada keberadaan bersama
(coexistence) sejumlah pengalaman kultural yang berbeda di dalam sebuah kelompok
atau masyarakat.
Sampai batas tertentu, semua masyarakat manusia dalam sejarah berciri
multikultural, dikarenakan adanya perbedaan dalam bidang gender, generasi,
pekerjaan, etnisitas dari rangkaian pengalaman yang berbeda. Hanya, belakangan ini
istilah multikulturalisme digunakan dalam kaitan dengan masyarakat atau atau bagian
masyarakat, yang memiliki kebudayaan-kebudayaan yang berbeda akibat letak
geografis atau historis yang beranekaragam.
Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus dipertaruhkan atau
dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep
yang dipunyai ahli lainnya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideology dan
sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya,
maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan
manusia. (Antonius Eddy Kristiyanto OFM, Jakarta, Komisi Teologi Konferensi
Waligereja Indonesia dan OBOR, 2014, 1)
Indonesia memiliki budaya yang sangat beragam dari sabang sampai merauke.
Multikulturalisme digunakan di Indonesia untuk merumuskan identitas diri sebagai
bangsa yang otonom, yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politis,
ekonomis, budaya bangsa lain atau kelompok tertentu. Setiap negara mempunyai
keadaan politis dan historis yang bebeda. Sebagai contoh multikulturalisme di
Indonesia berbeda dengan multikulturalisme di Amerika Serikat, Australia, dan
Kanada.
Di Indonesia, menjadi identitas suatu kelompok merupakan perspektif historis
masyarakat Indonesia. Dan di dalam identitas tersebut memiliki beragam sumber
budaya. Seperti halnya mayoritas dalam minoritas. (Thomas Tokan Pureklolon,
Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2016, 172)
2.2.2 Tiga Kaidah Epidemi
Epidemi itu sendiri adalah sebuah fungsi yang memiliki beberapa unsur yakni: orang
yang bertindak sebagai agen penginfeksi, agen penginfeksi itu sendiri, dan lingkungan tempat
beroperasinya agen penginfeksi. Dan ketika sebuah epidemi meledak, ketika keseimbangan
tiba-tiba terganggu, ketika eskalasi meningkat setelah suatu kejadian, suatu perubahan telah
terjadi pada satu (atau dua atau tiga) unsur tadi. Epidemi sangat terpengaruh oleh situasi,
yaitu oleh keadaan, dan kondisi lingkungan kejadian..
Tiga Kaidah Epidemi adalah : bersifat menular, perubahan kecil entah bagaimana
membawa perubahan besar, dan ketiga, perubahannya tidak bertahap tetapi dramatis. Ketiga
unsur perubahan ini disebut ”Hukum tentang Yang Sedikit”, ”Faktor Kelekatan”, dan
”Kekuatan Konteks”. Epidemi sangat terpengaruh oleh situasi, yaitu oleh keadaan, dan
kondisi lingkungan kejadian..
Hukum tentang yang sedikit artinya yaitu keberhasilan suatu epidemi social sangat
bergantung pada keterlibatan orang-orang yang memiliki seperangkat keterampilan sosial
langka. Faktor kelekatan artinya yaitu ada sejumlah cara tertentu untuk membuat sebuah
kesan mudah menular dan terus diingat; ada perubahan yang meskipun sederhana sekali baik
dalam cara menyajikan maupun cara menyusun informasi yang dapat menghasilkan
perbedaan besar dari segi dampaknya. Kekuatan konteks artinya yaitu adanya sifat
masyarakat untuk memiliki “masalah kecenderungan menjadi penonton” atau bystander
problem.
10. Lawrence E. Harrison and Samuel P. Huntington (ed.), Culture MAtters, How Values
Shape Human Frogress (2002), halaman xxiv
11. Sijori, Pearl River Delta, Yangtze River Delta, Newsweek, Special Issues, October-
Desember 2003, halaman 35
12. Samuel P.Huntington, The Clash of Civilization and Remaking of World Order
(1996)
13. Ram Mahalingam & Cameron McCarthy. Multicultural Curiculum (2000), halaman 9
negatif yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Untuk menjelaskan masalah ini, makalah ini
mencoba menggambarkan dinamika toleransi wacana dan multikulturalisme di Belanda.
Bagaimana perkembangan gagasannya? Tantangan apa yang harus dihadapi oleh nilai-nilai
mereka? Selain itu makalah ini juga akan menggambarkan relevansi kasus Belanda dengan
isu keberagaman di Indonesia saat ini.
16. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK), Kode Etik Kedokteran
Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, 2002, Jakarta :
IDI, halaman 3-4
17. Sudharto, S. (2012). Multikulturalisme dalam Perspektif Empat Pilar Kebangsaan.
CIVIS, 2(1/Januari).
Sambas, Poso dan juga di Maluku. Padahal, Indonesia selama ini dikenal sebagai
bangsa yang plural, beradab, dan memiliki semangat teloransi antara satu dengan
yang lainnya dengan semangat kerukunan. Perbedaan agama di Indoensia bukan
merupakan hal baru, akan tapi sudah terpatri sejak nenek moyang. Sayang sekali,
suasana kerukunan kehidupan di masyarakat itu diusik secara brutal oleh berbagai
kepentingan sempit dari pihak-pihak yang mengiginkan Indonesia bercerai-berai
melalui konflik sosial.
Upaya untuk membangun kerukunan agama kembali setelah tercerai- berainya
masyarakat akibat dari konflik agama sangat diperlukan dalam membangun harmoni
kehidupan. Kerukunan umat beragama merupakan bagian dari pilar pembangunan,
yang memberikan pengaruh besar pada keberhasilan. Dengan semakin mantapnya
kerukunan antar umat beragama maupun intern umat beragama, akan semakin kokoh
pula persatuan dan kesatuan bangsa. Pada saat yang sama, upaya untuk memanfaatkan
agama untuk melegitimasi kon ik sosial akan semakin sulit dilakukan oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggung jawab.
Pola Kerukunan di Bali
Nilai-nilai budaya di Bali tidak bisa terlepas dengan pengaruh Agama Hindu.
Tidak dapat dihindari bahwa pengaruh Agama Hindu dan budaya India di Bali
demikian besarnya, hal ini dibuktikan dari berbagai peninggalan purbakala seperti
diungkapkan oleh Swellengrebel (1960:17), yaitu: sumber utamanya adalah prasasti-
prasasti yang dikeluarkan oleh para raja yang banyak jumlahnya baik yang tertulis
pada batu maupun pada logam (tembaga). Prasasti-prasasti itu menceritakan
para raja yang memerintah dan para menterinya, hubungannya dengan administrasi
pemerintahan pusat dan orang-orang di desa-desa, peraturan di bidang keagamaan,
aturan yang. berhubungan dengan pengairan, perpajakan, dan sebagainya. Sumber
lainnya adalah peninggalan purbakala, arca-arca dan artifak-artifak, sumber-sumber
teks berupa berbagai manuskrip (lontar) yang cukup banyak jumlahnya.
Posisi agama sebagai bagian dari budaya di masyarakat Bali, menjadikan
agama Hindu menempati posisi penting dalam ranah sosial. Dominasi kebudayaan
Hindu sebagai mayoritas menjadikan pola kehidupan di Bali di pengaruhi oleh ajaran-
ajaran Hindu, sehingga posisi agama-agama lain hanya menjadi bagian kecil dari
warna sosial. Dalam posisi seperti itu maka ruang interaksi budaya antar umat agama
dengan agama lain hampir tidak ada karena agama lain di luar agama Hindu tidak
mampu mewarnai corak budaya Bali.
Dalam sosial budaya seperti itu, Lembaga Adat Banjar sebagai pusat kegiatan
sosial menempati posisi cukup strategis untuk menjaga harmoni kerukunan umat
beragama. Fungsi Banjar sebagai bagian dari penjaga budaya Bali memberikan
pengaruh kuat dimasyarakat dalam akti tas sosial. Konsep “nyama braya” hidup
bersama menempatkan persaudaraan senegara, persaudaraan sebangsa, dan
persaudaraan sesama umat manusia.
Selain nyama bray di Banjar Adat juga memiliki tradisi sima karma yaitu
upaya untuk menyerap aspirasi masyarakat baik dalam bentuk saran, masukan hingga
kritik, yang diadakan sebulan sekali dengan tidak melihat latar belakangnya. Mereka
yang datang dalam forum sima karma bisa berdialog dengan bebas tanpa
membedakan latar bekang agama.Pada kegiatan sosial terdapat tradisi gotong-royong.
Gotong royong dilakukan sebagai kewajiban warga terhadap lingkungan sosialnya.
Gotong royong biasanya dilakukan atas perintah ketua adat dalam bentuk kebersihan
lingkungan atau persiapan dalam acara perhelatan seperti pernikahan. Dalam
pernikahan inilah ada tradisi ngejot. Ngejot merupakan bentuk penghormatan pada
tamu muslim pada perhelatan perkawinan dengan memberikan hidangan khusus, yaitu
hidangan yang diolah dengan cara muslim untuk menghindari terampurnya makanan
dengan daging bagi.