Anda di halaman 1dari 8

Proses pembentukan identitas nasional

Identitas nasional terbentuk secara evolusioner dengan mengendalikan elemen-elemen


identittas nasional diatas. Identitas nasional terbentuk dari akumulasi identitas perseorangan.
Namun, identitas nasional bukanlah sesuatu yang telah melekat pada kelahiran. Berbagai
penelitian menunjukan bahwa identitas nasional seseorang merupakan hasil langsung dari
keberadaan elemen “ hal yang sama” dari kehidupan sehari-hari masyarakat: simbol nasional,
bahasa, warna, sejarah bangsa, kesadaran nasional, ikatan darah, budaya, musik, makanan,
radio, televisi, dan lain-lain.

Terkadang identitas nasional bertabrakan dengan identitas pribadi seseorang.identitas


nasional dari sebagian besar warga negara dari suatu negara atau bangsa cenderung
bertambah kuat ketika negara atau bangsa itu terncam secara militer. Perasaan memiliki
bangsa itu menjadi hal yang pokok seiring dengan ancaman dari luar itu menjadi lebih jelas.

Menurut smith, proses pembentukan identitas dasar nya merupakan kolektivitas


banyak unsur. Jika ia seorang raja, maka identitasnya adalah ayah, suami, raja dan pahlawan,
lokasi (asal). Identitas individualnya dalam tatanan yang lebih luas membentuk peran
sosialnya dan pada akhirnya kultur masyarakat setempat. Peran raja yang dijadikan sebagai
contoh di atas, maka pada perkembangannya identitas tersebut berkembang menjadi keluarga,
teritori, kelas, agama, etnik, dan gender.

1. Budaya nasional
Menurut TAP MPR No. II tahun 1998 tentang Garis Besar Haluan Negara,
budaya nasional adalah:
“......... perwujudan cipta, karya, dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan
keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan
martabat sebagai bangsa,serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna dan
pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian
pembangunan nasional merupakan pembangunan yang berbudaya......”
Sementara itu ki hajar dewantara mengartikan budaya atau kebudayaan
nasional sebagai “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Sehingga unsur
pembentuk budaya nasional adalah budaya daerah, yang menunjukan semangat dan
paham kesatuan yang semakin mantap. Sedangkan koentjaningrat mendefinisikan
budaya nasional sebagai “yang khas dan bermutu dari suku bangsa manapun asalnya,
asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan
nasional”. Pernyataan itu merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan
kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang indonesia
jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.

2. Budaya Politik
Budaya politik dapat diartikan sebagai berikut:
1. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan,
adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian
besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak
atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
2. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang
pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau
nasionalisme. Yang kedua menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya
politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
3. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah dan nilai-nilai adalah
prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan
masalah tujuan
4. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan
tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan
masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan
), sikap terhadap mobilitas ( mempertahankan suatu quo atau mendorrong
mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik)

Dengan pengertian budaya politik diatas, nampaknya membawa kita pada konsep
yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu.

Menurut Smith (1991:101), karakteristik utama dari budaya politik yang dapat
mendukung pembentukan identitas nasional, antara lain:
1. Dasar aristokratnya dalam arian etnik, walaupun melibatkan elemen
demokratis, negara dilindungi oleh budaya dan tradisi aristokrat, seringkali
diprngaruhi oleh agam dan pemuka agama
2. Memberi tempat bagi etnik minoritas
3. Birokrasi negara yang modern

Affan Gaffar (1999) dalam bukunya Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi
mengatakan bahwa budaya politik Indonesia memiliki tiga ciri dominan yaitu sebagai berikut.

1) Hirarkis
Sebagian besar masyarakat Indonesia bersifat hirarkis yang menunjukkan adanya
pembedaan atau tingkatan atas dan bawah. Stratifikasi sosial yang hierarkis ini
tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa dan rakyat kebanyakan. Masing-
masing terpisah melalui tatanan hierarkis yang sangat ketat. Dalam kehidupan politik,
pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercermin pada cara penguasa
memandang dirinya dan rakyatnya. Mereka cenderung merendahkan rakyatnya.
Karena penguasa sangat baik, pemurah, dan pelindung, sudah seharusnya rakyat
patuh, tunduk, setia, dan taat kepada penguasa negara. Bentuk negatif lainnya dapat
dilihat dalam soal kebijakan publik. Penguasa membentuk semua agenda publik,
termasuk merumuskan kebijakan publik, sedangkan rakyat cenderung disisihkan dari
proses politik. Rakyat tidak diajak berdialog dan kurang didengar aspirasinya.

2) Patronage

Kecenderungan patronage, adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan


patronage, baik di kalangan penguasa dan masyarakat maupun pola hubungan patron-
client. Pola hubungan ini bersifat individual. Antara dua individu, yaitu patron dan
client, terjadi interaksi timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya yang
dimiliki masing-masing. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan
atau jabatan, perlindungan, perhatian dan kasih sayang, bahkan materi. Kemudian,
client memiliki sumber daya berupa dukungan, tenaga, dan kesetiaan. Menurut Yahya
Muhaimin, dalam sistem bapakisme (hubungan bapak-anak), ”bapak” (patron)
dipandang sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material dan bahkan
spiritual serta pelepasan kebutuhan emosional ”anak” (client). Sebaliknya, para anak
buah dijadikan tulang punggung bapak.

3) Neo-Patrimonalistik

Dikatakan neo-patrimonalistik karena negara memiliki atribut atau kelengkapan yang


sudah modern dan rasional, tetapi juga masih memperhatikan atribut yang
patrimonial. Negara masih dianggap milik pribadi atau kelompok pribadi sehingga
diperlakukan layaknya sebuah keluarga. Menurut Max Weber, dalam negara yang
patrimonalistik penyelenggaraan pemerintah berada di bawah kontrol langsung
pimpinan negara.

3. Istilah Indonesia sebagai identitas nasional

Pada tahun 1850 untuk pertama


kalinya penggunaan istilah Indonesia digunakan. Adalah seorang ilmuwan
kebangsaan Inggris J.R. Logan menggunakan istilah Indonesia tersebut dalam
pengertian geografis. J.R. Logan merupakan seorang etnolog dan juga seorang
Redaktur Journal of the Indian Archipelago and Eastrn Asia, berpendapat bahwa kata
Indonesia itu berasal dari gabungan dua kata, yaitu India dan nesos yang bermakna
Kepulauan Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1884 kata Indonesia dalam arti
etnologis digunakan oleh A. Bastian seorang jerman dalam tulisannya Indonesien
oder die Inselndes Malayischen Archipels. Kata Indonesia yang dimaksud adalah
Kepulauan Melayu (Hindia). sejak kedua pakar itu memunculkan kata Indonesia,
istilah Indonesia kemudian dipakai dalam ilmu etnologi, hukum adat, dan ilmu bahasa
oleh guru-guru besar Universitas Leiden, seperti R.A. Kern, Snouck Hurgronye, van
Vallenhoven dan lain-lain. dalam buku-buku yang ditulis oleh para guru besar itu,
istilah Indonesia disebarluaskan melalui pemakaian kata-kata Indonesie, Indonesier,
atau Indonesisch.

Para pelajar Indonesia yang tengah menuntut ilmu di negeri Belanda kemudian
dapat mengetahui istilah-istilah itu dan mulai ikut menggunakanya. Nama organisasi
para pelajar yang semula bernama indische Vereeniging (1908 ) kemudian di ubahnya
menjadi indonesische Vereeniging (1922 ) dan di ubah lagi menjadi Perhimpunan
Indonesia ( 1924 ). Berkenaan dengan hal itu, di dalam kata pengantar majalah
Indonesia Merdeka, termuat kalimat, " kita memasuki tahun baru dengan pakaian baru
dan nama baru" yang di maksud nama baru adalah kata "Indonesia". Perhimpunan
Indonesia dalam setiap kesempatan ternyata terus menerus menyuarakan nama
Indonesische sebagai identitas bangsa yang berusaha membangkitkan tujuan dan cita-
cita menentang imperialism dan kolonialisme. Propaganda Perhimpunan Indonesia di
negeri Belanda ternyata mendapat sambutan hangat dari kaum pergerakan dalam
neger , seperti Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1927 di
Bandung. Kedua organisasi pergerakan tersebut telah ikut menggunakan dan
menyebarluaskan kata Indonesia sebagai identitas kebangsaan. Pembentukan identitas
nasional Indonesia semakin jelas di ikrarkannya sumpah pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928 dalam kongres pemuda indonesia II di Jakarta. Satu nusa , satu bangsa ,
dan satu bahasa Indonesia adalah pernyataan yang jelas dan tegas bahwa nasionalisme
Indonesia mendapatkan dukungan dari berbagai suku bangsa yang mencakup wilayah
dari sabang sampai merauke. sejak saat itu , bahasa melayu sebagai sebagai bahasa
pengantar di Nusantara di sebut bahasa Indonesia . Lagu Indonesia Raya gubahan
Wage Rudolf Supratman untuk pertama kali di perdengarkan dalam kongres yang
semankin memantapkan rasa nasionalisme Indonesia. Kata "Indonesia" dalam politik
ketatanegaraan di gunakan pula dalam Volksraad (Dewan Rakyat) oleh Fraksi
Nasional. Di bawah pimpinan Mohammad Husni Thamrin, ia mengumumkan akan
menggunakan bahasa Indonesia pada setiap pidato dalam siding-sidang Volksraad.
Pernyataan tersebut tentu saja mendapatkan dukungan dari semua anggota Volksraad
bangsa Indonesia , seperti Wiwoho dan Sutardjo. Mereka kemudian meninggalkan
aksinya dengan mengeluarkan mosi ketatanegaraan dan perlu adanya kejelasan
tentang kewarganegaraan Hindia. Di dalam mosi Mohammad Husni Thamrin di
usulkan pula agar kata-kata Nederlandschindie dan Inlander di hapus dari semua
undang-undangdanperaturan-peraturan serta dig anti dengan indonesie atau
indonesier. Mosi ini ternyata di tolak pemerintah kolonial dan bahkan di beritahukan
bahwa sidang Volkrraad tidak boleh lagi membicarakan usul-usul yang bermaksud
menuju indonesa merdeka. Penggunaan kata Indonesia sebagai identitas kebangsaan
semakin di populerkan para sastrawan poejangga baru , seperti Sutan Takdir
Alisyahbana, Armyn Pane , dan Amir Hamzah. Melalui tulisan-tulisanya tercermin
bahwa mereka dengan sadar menggunakan kata "Indonesia" sebagai bahasa dan
identitas kebangsaan yang kemudian di baca semua kalangan di Indonesia. Tokoh-
tokoh lain yang ikut mendobrak penggunaan bahasa dan kata"Indonesia" antara lain
Dr.soetomo dan Dr. M Amir ( dokter dan politikus ) , Adinegoro dan Tjindarbumi
(wartawan ) , Ki Hajar Dewantara ( pendidikan dan budayawan ), dan Dr.
Purbatjaraka ( sejarawan dan budayawan ). Akhirnya , istilah "Indonesia " resmi
menjadi arti politik ketatanegaraan secara nasional dan internasional setelah
tercetusnya proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Paham Identitas Nasional : Patriotisme, Nasionalisme, dan chauvinisme

Ekspresi positif dari identitas nasional adalah patiotisme dan nasionalisme, sedangkan
bentuk negatifnya adalah chauvinisme. Istilah patriotisme dikenal lebih dulu, dan terkadang
dipertentangkan dengan istilah nasionalisme Untuk mengetahui ekspresi positif dan negatif
dari identitas nasional perlu memahami ketiga istilah di atas.

1. Patriotisme

Patriotisme adalah kecintaan dan pengabdian pada suatu Negara. Namun


demikian, tidak ada satu pengertian yang tetap karena pengertiannya selalu
berubah – ubah sepanjang waktu dan sangat tergantung pada konteks geografi,
dan filosofi yang dipakai. Patriotism sangat terkait dengan nasionalisme,
walaupun nasionalisme tidak mesti menjadi bagian dari patriotism.
Pada abad ke delapan belas, patriotisme yang merupakan kepada Negara
dianggap berlawanan dengan kesetiaan pada Gereja, dan diperdebatkan bahwa
pendeta seharusnya tidak boleh mengajar di sekolah publik karena kecintaan
mereka adalah surge. Sehingga mereka tidak dapat menginspirasikan cinta tanah
air kepada murid – muridnya. Salah satu pendukung yang paling berpengaruh
pada era klasik ini terhadap pemikiran patriotisme adalah Jean – Jacques
Rousseau.
Berlawanan dengan pemikiran adanya pemisahan yang tegas antara Negara
dan agama, Patriotisme memandang bahwa sikap cinta tanah air justru bisa
diperkuat oleh kepatuhan kepada agama. Pertentangan yang dilakukan terhadap
kedua hal tersebut sesungguhnya terletak pada persepsi individu saja, bukan
merupakan konsep yang dibedakan secara tegas. Billig (1995) mengatakan bahwa
perbedaan antara patriotisme dengan takdir (agama) sulit ditegaskan, dan
perbedaan keduanya hanya terletak pada perilaku para pelabelnya saja
2. Nasionalisme
Secara etimologis, kata nasionalisme berasal dari kata Latin nation, yang
berakar pada kata nascor : “saya lahir”. Nasionalisme adalah suatu paham yang
menciptakan dan mempertahankan kedaulatan. Nasionalisme berasal dari
kata nation (bangsa) yang berarti suatu masyarakat yang tertib yang muncul dari
kesamaan karakter, atau kesamaan nasib (Hatta dkk, 1980). Bangsa atau nasional
berarti menunjuk pada sifat khas kelompok yang memiliki ciri – ciri kesamaan,
baik fisik ( budaya, agama, Bahasa ) maupun non fisik ( keinginan, cita – cita, dan
tujuan ).
Dengan berkembangnya system politik dan bernegara diseluruh dunia,
pengeritan nasionalisme juga mengalami pergeseran. Nasionalisme menerut Kohn
(1961:11) adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi
individu harus diserahkan kepada Negara kebangsaan. Semangat nasionalisme
dipakai sebagai metode dan alat identifikasi untuk mengetahui siapa kawan dan
lawan.
Menurut Profesor W. F. Wertheim, nasionalisme dapat dipertimbangkan
sebagai suatu bagian integral dari sejarah politik, terutama apabila ditekankan
pada konteks gerakan-gerakan nasionalisme pada masa pergerakan nasional. Lagi
pula Wertheim juga menegaskan bahwa faktor-faktor seperti perubahan ekonomi,
perubahan sistem status, urbanisasi, reformasi agama Islam, dinamika
kebudayaan, yang semuanya terjadi dalam masa kolonial telah memberikan
kontribusi perubahan reaksi pasif dari pengaruh Barat kepada reaksi aktif
nasionalisme Indonesia. Faktor-faktor tersebut telah diuraikan secara panjang
lebar dalam bab-bab buku karangannya yang berjudul : Indonesian Society in
Transision: A Study of Social Change(1956).

Nasionalisme merupakan bagian dari karakter atau kepribadian bangsa, yaitu


nilai-nilai dan norma hidup yang memolakan perangai serta tingkah laku individu
dalam kerangka kehidupan kolektifnya. Kepribadian bangsa terdiri atas beberapa
unsur, yaitu kebudayaan nasioanal, identitas nasional, etos bangsa, dan
nasionalisme.
3. Chauvinisme

Chauvinisme sebagai paham kebangsaan, berlandaskan pada paham


kebangsaan yang sempit didasarkan pada pertimbangan realisme atau
etnosentrisme. Menurut arti awalnya, chauvinism merupakan rasa patriotism dan
keyakinan akan superioritas dan kejayaan suatu bangsa yang lebih dari bangsa
yang lain. Pengertian ini kemudian diperluas memasukkan yang diwujudkan
dnegan kekerasan dan kebencian terhadap kelompok lawan. Chauvinsme sering
juga diberlakukan dalam konteks gender. Terutama untuk menunjukkan bahwa
gender tertentu lebih baik dari pada gender yang lain. Biasanya ini berlaku untuk
kaum laki – laki yang merasa lebih baik dari pada perempuan.
Chauvinism muncul dari rasa nasionalisme yang berlebihan, berasal dari
antroposentrisme. Lang mendefinisikan chauvinism sebagai perilaku ideology
yang muncul dari mereka yang hidup pada posisi dominan dan dari hirarki politik
hubungan kekuasaan Chauvinisme merupakan cara berpkir supermatif yang
mengabsahkan hubungan kekuasaan yang tidak setara yang memunculkan
diskriminasi terhadap kelompok yang berstatus lebih rendah.
Menurut Arendt, chauvinism merupakan produk konsep nasional yang alamiah
karena ia muncul dari ide lama tentang “misi Negara”. Misi Negara bisa diartikan
sebagai upaya membawa cahaya kepada bangsa lain yang masih mengalami
kegelapan, yang lebih miskin, atau karena alasan lain menyebabkan bangsa ini
tertinggal.
Dalam konteks Indonesia,sikap ini jelas bertentangan dengan pancasila dan
jiwa UUD 1945. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menghargai keberagaman,
tidak diskriminatif ataupun merasa diri lebih baik dari bangsa lain.

Anda mungkin juga menyukai