Anda di halaman 1dari 1

Nama: malik royan qodri

Nim: 202210360311286
Pancasila sebagai civil religion
Sebagai sebuah bangsa yang plural, Indonesia tidak menjadikan salah satu doktrin
dari agama-agama yang bermacam-macam itu sebagai dasar negaranya. Secara tegas telah
disepakati bahwa dasar negara adalah nasionalisme-sekuler, bukan agama-teokrasi. Di titik
inilah seringkali persolan tidak bisa dihindarkan. Karena dianggap tidak Islam i,
menyimpang, dan tidak mampu mengakomodasi segala kepentingan dari agama-agama yang
beragam itu, negara dinilai gagal. Cap gagal ini dijadikan pijakan sekaligus alasan oleh
kelompok-kelompok radikal yang bergerak berdasarkan agama, ras, atau golongan tertentu
untuk melakukan perlawanan. Ketidakadilan dan ketimpangan di segala bidang kehidupan
turut pula membumbui masifnya gerakan-gerakan radikal tersebut.
Agama dan negara adalah dua kutub yang berlainan. Maka, untuk menjembatani dasar
negara yang bersifar sekuler, dengan agama yang transenden, diperlukan sebuah sistem yang
disepakati bersama untuk mengakomodasi keduanya. Di sinilah konsep civil religion atau
agama sipil menemukan signifikansinya. Konsep tentang agama sipil sendiri berasal dari
Zaman Pencerahan Eropa (abad ke-18) khususnya terkait pemikiran filosofis dari Jean-
Jacques Rousseau (1712-1778) dalam ‘The Social Contract’. Rousseau adalah tokoh pertama
yang memunculkan term ‘agama sipil’ sebagai alternatif terhadap agama konvensional, di
mana ia lebih didefinisikan sebagai sentimen religius yang menyatukan warga negara dan
menstimulus rakyat untuk membela negara seperti membela agamanya.
Pancasila sebagai civil religion bukan hanya mampu menjadi perekat dari
keberagaman agama, ras, dan suku bangsa yang ada, tetapi juga menjadi landasan bersama
dalam mengarungi kehidupan bernegara. Sila-sila yang termaktub dalam Pancasila itu dapat
menjadi landasan moral bersama tanpa harus memedulikan sekat-sekat perbedaan. Pancasila
sebagai hasil konsensus melahirkan kesadaran dan kesukarelaan untuk menerima kalangan
yang berbeda. Dengan kata lain, Pancasila merupakan hasil konsensus politik yang
memungkinkan seluruh warga dapat hidup berdampingan.
Para pendiri bangsa tentu paham betul, ketika merumuskan Pancasila akan ada
pergesekan-pergesekan yang tidak dapat dihindarkan antar-golongan yang memang memiliki
aneka kepentingan. Dengan dicetuskannya sila pertama “KeTuhanan yang Maha Esa”
menandakan bahwa tidak ada agama yang mendaku diri lebih superior dibandingkan agama-
agama lain. Posisi negara pun dituntut netral. Ia tidak berhak mengadopsi doktrin salah satu
agama sebagai dasarnya. Peran negara justru harus mengayomi dan melindungi ekspresi-
ekspresi keberagamaan warganya. Sebab ekspresi keberagamaan apapun yang hadir di
tengah-tengah warga, tentu patut diperhatikan dan diberi ruang, sepanjang ia tak bertentangan
dengan sila-sila yang lain.
Bahkan PJ. Suwarno menilai, bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu
sudah termanifestasi sejak jaman kerajaan Kutai dan Sriwijaya (400-1500 M). Dari kerajaan-
kerajaan awal di Nusantara itulah telah terbentang bahan material Pancasila. Sebagai contoh,
misalnya, nilai persatuan tak terpisahkan dengan nilai keTuhanan, di mana raja
mengakomodasi kedua nilai itu untuk menstabilkan kekuasaannya. Begitupun kaitanya
dengan ekonomi dan kesejahteraan, terjalin erat dengan prinsip internasionalisme dalam
bentuk hubungan dagang antar-negeri. Singkatnya, nilainilai religius, sosial, dan
kemasyarakatan sudah menghujam kuat dalam laku hidup masyarakat Nusantara sejak dulu.

Anda mungkin juga menyukai