Anda di halaman 1dari 11

DDIPB FIB UI 2023/2024

Culturalism
Indira Aleeza (2206827131)
Majenta Rizpa (2206074011)
Nasheka Adyta (2206828405)
Rayasha Bisma (2206073955)
Pre-colonial: Cross-cultural
exchanges and Political Conquests
Pada zaman prakolonial di kepulauan Indonesia, terdapat konflik politik dan perpaduan
budaya. Keberagaman budaya menjadi ciri khasnya, dengan konflik kekuasaan antara
kerajaan-kerajaan kecil dan besar. Meskipun terjadi persaingan politik, terdapat juga toleransi
agama, seperti Islam yang menyerap pengaruh budaya Hindu-Buddhis di Jawa.

Masyarakat lokal cenderung terbuka terhadap pengaruh budaya dari luar, dan agama-agama
utama bercampur dengan budaya lokal. Penyebaran Islam mengubah dinamika agama di
wilayah ini, dengan runtuhnya kerajaan Hindu/Buddhis. Namun, Islam di kepulauan ini tetap
moderat dan sinkretis. Interaksi lintas-budaya terjadi melalui perdagangan antar-pulau, dan
kerajaan kuno seperti Sriwijaya dan Majapahit memiliki hubungan dengan wilayah Asia
Tenggara lainnya. Ini membentuk dasar multikulturalisme Indonesia dan lintas-batas di era
modern. Agama juga memainkan peran penting dalam keragaman budaya di kepulauan
tersebut.
Dutch Colonial Legacy:
Orientalist Policy
Kedatangan pedagang Eropa di Asia Tenggara pada abad ke-17 yang kemudian mengakibatkan penjajahan
mengubah pertukaran lintas-batas. Khususnya, penjajahan Belanda di Indonesia dan penguasaan Inggris atas
Semenanjung Malaya serta Prancis di Indo-Cina membentuk batas-batas politik baru. Pengaruh budaya Eropa juga
merasuki kehidupan sehari-hari. Namun, struktur kekuasaan kolonial dan perspektif orientalis Belanda memengaruhi
hubungan lintas-budaya secara kompleks.

Gouda (2008) menyoroti kompleksitas budaya kolonial Belanda di Indonesia, dengan pengetahuan etnografis dan
antropologis yang digunakan untuk mendukung administrasi kolonial. Belanda cenderung mengurangi budaya yang
kompleks menjadi taksonomi esensialistis. Pemerintah kolonial Belanda memberikan status hierarki berdasarkan ras,
dengan orang Eropa di atas, lalu "Oriental Asing" (Cina, India, dan Arab), dan penduduk pribumi di bawah. Terjadi
monopoli pasar dengan peran yang berbeda untuk kelompok berbeda, seperti Cina yang diberi wewenang dalam
penarikan pajak. Pemukiman di kota dibagi berdasarkan etnis/rasial, dan penduduk Cina diatur dengan ketat.

Warisan kebijakan kolonial ini berdampak besar pada sejarah Indonesia. Sistem pendidikan Belanda memisahkan
masyarakat berdasarkan ras dan kelas. Kota menjadi daya tarik bagi kelompok elit kolonial, menciptakan
kesenjangan sosial dengan mayoritas pedesaan. Posisi ambigu penduduk Cina mengakibatkan mereka tidak
sepenuhnya diterima sebagai bagian integral dari bangsa.
Revolutionary Legacy: Bhineka
Tunggal Ika Multiculturalism
Teks ini membahas tentang bagaimana perang revolusi dan pendudukan Jepang mempengaruhi jalan
Indonesia menuju kebangsaan, serta tantangan-tantangan dalam menghadapi warisan kolonial, terutama
bias terhadap orang Tionghoa.

Benedict Anderson, dalam karyanya menyoroti kapitalisme cetak, pendidikan kolonial, dan peran administrasi
dalam membentuk nasionalisme resmi. Pendudukan Jepang mengacaukan praktik-praktik kolonial,
menyebarkan bahasa Indonesia tetapi mengisolasikan orang Tionghoa.

Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 dengan pengaruh upaya-upaya sebelumnya
untuk membentuk negara-bangsa Melayu-Indonesia. Soekarno berperan penting dalam menyatukan
populasi yang beragam dan menekankan toleransi beragama dan persatuan.

Pasca kemerdekaan, Indonesia menghadapi pemberontakan dari kelompok-kelompok Islam radika, gerakan
separatis dan lainnya. Perjuangan yang sedang berlangsung melibatkan keseimbangan antara persatuan,
kontrol sumber daya, dan kebutuhan regional dalam pembangunan bangsa.
Political Pluralism and Cultural
Cosmopolitanism
Kondisi Indonesia pada tahun 1950-an ditandai dengan adanya gejolak politik dan
kebangkitan berbagai kelompok sosial dan politik berdasarkan faktor agama,
etnis, dan ideologi. Organisasi terkemuka antara lain Nahdatul Ulama,
Muhammadiyah, dan Syarikat Islam untuk umat islam, sedangkan penduduk
Tionghoa terlibat dalam berbagai kelompok. Organisasi-organisasi ini kemudian
bertransformasi menjadi partai politik.

Era ini memiliki aspek yang kacau tetapi optimis, dengan keterlibatan budaya yang
dinamis dan keterbukaan terhadap pengaruh global. Namun, “Demokrasi
Terpimpin” yang diterapkan presiden Soekarno dan dengan dikeluarkannya Dekrit
Presiden ‘59, menyebabkan meningkatnya ketegangan rasial, khususnya terhadap
pengusaha Tionghoa, sehingga menyebabkan banyak warga negara asing yang
meninggalkan Indonesia, terutama warga Tionghoa.
Cold War Legacy: Communism is the
Other and the Taman Mini
Multiculturalism
Dampak internal dari perang dingin yang terjadi pada tahun 1960-an bagi masyarakat Tionghoa
Indonesia antara lain:
1. Orang Tionghoa Indonesia dipaksa untuk memutuskan hubungan budaya-nya dengan
Tiongkok daratan. Aksara, seni, dan budaya Tionghoa tidak boleh ditampilkan di tempat
umum, sekolah-sekolah tionghoa ditutup, dsb.
2. "Undang-Undang Asimilasi Budaya" asimilasi yang dipaksakan merampas hak-hak budaya mereka
3. Adanya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) menyebabkan kesulitan bagi
orang Tionghoa Indonesia ketika mendaftar di universitas negeri, melamar menjadi pegawai
negeri, atau bergabung dengan militer atau polisi.

1 2 3
The Reformasi Legacy: The Putra
Daerah [The Native Son]
Multiculturalism
“Putra Daerah” atau “The Native Son” merujuk kepada seseorang yang
memiliki hubungan erat dengan suatu daerah, etnis, atau latar belakang
kultural di Indonesia. Konsep “The Native Son Multiculturalism” berfokus dalam
memajukan dan merayakan keberagaman di Indonesia, seperti beragam suku,
agama, dan ras.
Bagaimana kita memahami
“multikulturalisme”
Multikulturalisme adalah konsep yang merujuk pada keberagaman budaya, agama, etnis, dan latar belakang
dalam masyarakat yang berbeda. Ini adalah suatu pendekatan atau filosofi yang menghargai dan
merayakan perbedaan antara individu dan kelompok, serta mempromosikan inklusi sosial, persamaan hak,
dan toleransi di antara mereka.

Cara memahami multikulturalisme melibatkan beberapa aspek kunci, seperti, persamaan hak, toleransi,
inklusi sosial, dan penghargaan terhadap keragaman. Pemahaman multikulturalisme memungkinkan
masyarakat untuk menghargai keberagaman yang ada di sekitar mereka, mendorong kehidupan bersama
yang damai, dan mempromosikan kesetaraan sosial. Ini adalah prinsip dasar bagi masyarakat yang semakin
global dan beragam.
Insiden dalam sejarah Indonesia sampai
era reformasi yang belum didiskusikan
dalam artikel yang merepresentasikan
permasalahan multikulturalisme dalam
linimasa kesejarahan Indonesia
Diskriminasi terhadap minoritas agama di Indonesia. Artikel-artikel di Indonesia
yang membahas tentang multikulturalisme sering kali menyoroti agama Islam
sebagai agama mayoritas di Indonesia, namun masih sedikit sekali pembahasan
mengenai penindasan dan diskriminasi terhadap agama minoritas di Indonesia.
Apakah multikulturalisme
sudah tercapai atau masih
merupakan wacana yang
belum terealisasi?
Beberapa negara telah mencapai tingkat multikulturalisme yang lebih
tinggi dibanding negara lain, dengan implementasi yang berbeda-
beda.
Faktor yang mempengaruhi implementasi multikulturalisme termasuk
kebijakan pemerintah, sikap masyarakat, isu-isu seperti diskriminasi
rasial, dan kolonialisme, atau konflik antar kelompok budaya.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai