1
Arrochman Mardiansyah, “Negara Bangsa dan Konflik Etnis: Nasionalisme vs Etno-
Nasionalisme,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol. 4, no. 3 (2001). Hlm 293
besar pernah terjadi interaksi yang berlangsung lama antara etnis Tionghoa dari
China dengan masyarakat Indonesia.2
Kisah lainnya datang dari penjelasan dalam The Book Society and Culture
of Chinese Indonesia oleh Hidayat Zainal Mutakin tentang apa yang mendorong
etnis Tionghoa dari China memutuskan untuk meninggalkan tanah airnya dan
menyebar ke daratan lain termasuk Indonesia. Diketahui Sebagian besar dari
mereka pergi menyebar demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik diluar
China. Di sisi lain juga ada keinginan untuk tidak dijajah. Gelombang imigran
kala itu rupanya juga didorong ketika China di invasi oleh dinasti dari Mongolia.
Mereka menganggap populasi yang semakin padat tiap masanya serta kebebasan
yang terbatas memberi kesulitan bagi mereka untuk mengakses kehidupan yang
lebih baik di tanah air sendiri, sehingga mereka lebih memilih ‘kabur’ dan hanya
membawa bekal keahlian yang dimiliki. Dari waktu ke waktu gelombang imigran
dari China semakin banyak. Mereka bertahan hidup selama bertahun-tahun
dengan keahlian dagang yang mereka punya. Mereka juga memiliki hubungan
yang tentram dengan pedagang asli Indonesia. Bahkan ketika Hindia Belanda
memantapkan pemerintahannya, mereka mengakui betapa besar pengaruh
aktivitas ekonomi etnis Tionghoa di Indonesia. Melihat etnis Tionghoa sebagai
salah satu penghambat usaha Hindia Belanda dalam memonopoli perdagangan di
Indonesia, maka merekapun mengeluarkan berbagai strategi. Mereka memberi
berbagai kemudahan bagi etnis Tionghoa dalam urusan berdagang. 3
2
Bayu Galih, “Menelusuri Sejarah Awal Masuknya Masyarakat Tionghoa di Indonesia,” 18
Januari 2020, https://nasional.kompas.com/read/2020/01/18/12220121/menelusuri-sejarah-awal-
masuknya-masyarakat-tionghoa-di-indonesia?page=all
3
VOI, “Tracing The Early Wave of Chinese Immigrants in Indonesia,” 7 Agustus 2020,
https://www.google.com/amp/s/voi.id/en/amp/10641/tracing-the-early-wave-of-chinese-
immigrants-in-indonesia
Salah satu konflik etnis yang masih pekat pemberitaannya di tanah air
tentang eksistensi Etnis Tionghoa adalah Tragedi Mei 1998. Kala itu terjadi krisis
moneter, dan Etnis Tionghoa menjadi tersangka utama penyebabnya oleh etnis
asli Indonesia. Kerusuhan yang terjadi hingga sekarang menjadi kisah pilu yang
paling membekas bagi etnis Tionghoa. Saat itu banyak sekali ribuan masyarakat
Tionghoa di beberapa wilayah yang nyawanya melayang, usaha-usahanya dijarah,
dan perempuan-perempuannya diperlakukan semena-mena.
Namun pada dasarnya asimilasi secara utuh tidak pernah benar-benar bisa
diwujudkan.4 Hidup dalam lingkungan masyarakat majemuk seperti Indonesia hal
yang bisa diharapkan untuk melaksanakan integrasi adalah rasa keinginan untuk
menyatu yang datangnya dari diri sendiri. Jika masih ada rasa takut yang
menghantui, rasa skeptis dan takut untuk terbuka dengan kelompok lain hanya
akan menjadi penghambat bagi proses integrasi dalam suatu bangsa. Begitu pula
yang akan terjadi dengan etnis Tionghoa. Apabila keteguhan untuk menjaga
identitas membuat mereka harus terus-menerus menutup diri, maka sampai
kapanpun integrasi bangsa Indonesia hanya akan menjadi mimpi belaka.
4
Hasbullah, “Pola Hubungan Etnik Cina dengan Masyarakat Pribumi di Bengkalis,” Toleransi,
vol. 5, no. 1 (2013), hlm 24
cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai
kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.5
5
Ahmaad Syarqawi, “Masyarakat Multikultural (Dinamika Kehidupan Manusia),” IJTIMAIYAH:
Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya, vol. 2, no. 2 (2018), hlm. 40
6
Riyadi, “Dari Toleransi Kuliner Hingga Politis: Proses Inkulturasi Tionghoa menjadi Jawa
Masyarakat Tionghoa Balong Surakarta Paruh Kedua Abad XX,” Jurnal Candi: Jurnal Pendidikan
dan Penelitian Sejarah, vol. 7, no. 1 (2014), hlm 7-13
dalam beberapa upacara adat mereka masih mempertahankan kebiasaan
penggunakan pakaian tradisional sebagai simbolis. Bahkan dalam keadaan konflik
rasial yang melibatkan orang Jawa dengan orang Tionghoa sekalipun, masyarakat
Balong tidak pernah tersentuh konflik sentimen rasial. Dengan realitas yang layak
untuk disebut sebagai keharmonisan dalam berkehidupan antara Tionghoa Jawa di
Kampung Balong yang merupakan buah yang dihasilkan masing-masing etnis
untuk mengembangkan toleransi serta penerimaan terhadap kondisi masyarakat
multikultural.
7
Roni Lukum, “Membina Harmonisasi Kehidupan Antar Etnis di Provinsi Gorontalo,” Jurnal
Pelangi Ilmu (2011), hlm 9-10
KESIMPULAN