Anda di halaman 1dari 10

TUGAS ETNISITAS NEGARA BANGSA

INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA

DELRA MAULIDA RISMA (1901124612)


DEVIONIZA SARAH BINTANI (1901110055)
FRANKY (1901111629)

DOSEN PENGAMPU : Dr. YUSNARIDA EKA NIZMI, S.IP., MSi

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2021
PENDAHULUAN
Ketika kita ingin berbicara tentang kehidupan sosial di Indonesia, salah
satu topik yang bisa kita bahas adalah tentang fakta bahwa Indonesia merupakan
negara dengan keberagaman budaya dan suku bangsa dari Kota Sabang sampai
Kota Merauke. Indonesia memiliki budaya unik serta ratusan bahasa daerah yang
tersebar di seluruh wilayah yang menjadikan masyarakat di dalamnya sebagai
masyarakat yang majemuk. Kemajemukan ini yang menjadi sebuah ciri khas yang
melekat sebagai identitas bangsa Indonesia. Di satu sisi kemajemukan masyarakat
membawa dampak yang positif berupa keberagaman identitas yang dapat
dipelajari, dilestarikan, dan dikenalkan ke mata dunia. Sayangnya ketika muncul
sikap protektif yang berlebihan, maka akan berpotensi kearah disintegrasi bangsa
dan konflik yang tiada akhir.
Ketika Indonesia berhasil meraih kemerdekaan seutuhnya, ekspektasi yang
ingin kita wujudkan selain memajukan negara dan mensejahterakan kehidupan
masyarakat, di sisi lain juga ada keinginan untuk menciptakan keharmonisan antar
suku bangsa. Namun realita yang kita lihat dan rasakan sejak dulu hingga
sekarang adalah masih ada beberapa kelompok masyarakat yang harus tersisihkan
dari lingkungan tempatnya tinggal karena mereka ‘berbeda’ dari kelompok
masyarakat lainnya. Pola pikir yang mengkotak-kotakkan seperti inilah yang
berujung pada disintegrasi atau perpecahan bangsa yang bahkan bisa
membahayakan nyawa seseorang. Jika kasusnya seperti ini, maka ini sudah ada
hubungannya dengan pelanggaran HAM. Di Indonesia sendiri, kita bisa
menemukan rekam jejak bukti bahwa Indonesia pernah melewati masa-masa di
mana ada beberapa kelompok masyarakat yang mengalami bentrok besar-besaran
hingga menyebabkan korban jiwa. Sebagai contoh Konflik Sampit di Kalimantan
Tengah, sampai Tragedi berdarah Mei 1998. Pada umumnya keadaan seperti ini
ada kaitannya dengan persaingan sengit di bidang ekonomi, lalu disulut lagi
dengan perbedaan etnis yang menjadi pemantik utama perpecahan serta kekerasan
fisik. Perbedaan yang dimaksud kerap kali dirasakan oleh kelompok masyarakat
yang minoritas. Hal ini mengarah ke kesimpulan bahwa pihak yang paling
merasakan dampak buruk dari pluralisme masyarakat Indonesia adalah kaum
minoritas. Mereka adalah kaum yang paling sedikit eksistensinya, namun
beriringan dengan fakta itu mereka jugalah yang banyak merasakan pahitnya
didiskriminasi.
Etnis Tionghoa yang berdomisili di beberapa kawasan Indonesia
digolongkan sebagai kelompok minoritas di antara keberagaman etnis asli
Indonesia. Di mata etnis asli Indonesia, mereka layaknya dianggap sebagai orang
luar, karena fisik, bahasa, budaya, serta keyakinan yang mereka miliki sangat
kontras dengan etnis kebanyakan. Etnis Tionghoa juga merupakan etnis yang tak
asing lagi di telinga masyarakat tentang kisah-kisahnya yang bentrok dengan etnis
lain sebab suatu hal. Padahal dilihat dari sejarahnya di masa lampau, etnis
Tionghoa pernah menjalin hubungan yang damai dan tentram dengan etnis asli
Indonesia sejak zaman kerajaan, terlebih lagi dalam hubungan dagang.
Kecemburuan sosial dan selisih paham yang muncul ketika Belanda mulai
menjajah tanah air, menjadikan hubungan mereka semakin merenggang dari
waktu ke waktu. Sikap-sikap tersebut yang pada akhirnya diturunkan dari generasi
ke generasi, sikap sentimental dan ketidakpercayaan yang selalu saja berujung
pada perselisihan dan perdebatan, sehingga sulit sekali rasanya mendoktrin makna
tentang kesatuan ditengah-tengah kondisi memanas yang mana dari kedua sisi
masyarakat masih sangat posesif tentang etnisnya masing-masing.
Untuk mengatasi konflik ini, pemerintahpun pernah menciptakan jalan
alternatif berupa upaya asimilasi terhadap etnis Tionghoa dengan masyarakat
Indonesia. Pada kala itu etnis Tionghoa adalah warga negara asing,
menjadikannya bagian dari bangsa Indonesia dengan mengubah status
kewarganegaraan bahkan nama agar terdengar layaknya warga Indonesia dipikir
menjadi solusi terbaik agar terhindar dari konflik. Namun nyatanya, dijumpai
banyak sekali kesalahpahaman yang terjadi. Makna asimilasi yang dijalankan
pada masa itu merujuk kepada etnis Tionghoa yang harus menghapus ‘ke-
Tionghoa-an’ yang dimiliki. Pada akhirnya usaha asimilasi yang
diimplementasikan pada saat itu gagal karena alih-alih menumbuhkan persatuan,
etnis Tionghoa semakin merasa dibedakan dengan kebijakan yang ada. Oleh
karena itu, sampai detik ini usaha menyatukan etnis Tionghoa dan etnis asli
Indonesia untuk meminimalisir gesekan konflik masih diusahakan. Meskipun
masih banyak dijumpai pertikaian, kecil di antaranya ada keberhasilan sebagai
bukti bahwa semakin majunya zaman, asimilasi mudah untuk dilakukan.
Dalam tulisan ini kita akan membahas tentang bagaimana sejarah etnis
Tionghoa masuk ke tanah air, hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis asli
Indonesia, serta lika-liku proses yang dilalui kaum minoritas ini agar dapat
berintegrasi atau menjadi bagian dari Indonesia seutuhnya dari dulu hingga
sekarang.
PEMBAHASAN
Memahami Etnis
Berakhirnya perang dingin rupanya tak menjamin kesejahteraan suatu
negara terhindar dari konflik internal. Ketika segala bentuk upaya yang telah
dikerahkan demi meminimalisir perperangan antar negara bisa dikatakan berhasil
pada kala itu, rupanya ada konflik-konflik internal membuntuti yang tak kalah
pentingnya dengan isu peperangan dan isu perekonomian. Konflik etnis yang
melibatkan sejumlah kecil masyarakat di berbagai belahan dunia tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Pada akhirnya konflik etnis terasa sah-sah saja dan wajib
untuk dibahas dan dicarikan solusinya sampai ke tingkat global karena sebagian
besar bersangkutan tentang keberlanjutan hidup suatu kelompok.
Dikutip dari pernyataan Donald L. Horowitz dalam tulisannya, ia
menyatakan “bahwa sebuah kelompok etnis dibedakan berdasarkan warna kulit,
bahasa dan kepercayaan (religion), yang mencakup suku, ras, nasionalitas dan
kasta”. Lebih lanjut pula, Horowitz juga berpendapat bahwa cikal bakal terjadinya
konflik antar etnis adalah bagaimana dalam usaha mendulang keuntungan di
berbagai aspek terjadi ketimpangan yang muncul akibat modernisasi, Contohnya
ekonomi dan pendidikan.1 Seterusnya, pernyataan Donald Horowitz tentang
kelompok etnis ini sejalan dengan apa yang dirasakan oleh Etnis Tionghoa
sebagai kaum minoritas di Indonesia dari masa ke masa. Mulai dari fisik, bahasa
yang digunakan serta kepercayaan lalu kebiasaan yang diterapkan dalam
kehidupan, Etnis Tionghoa sangat berbeda dengan etnis asli Indonesia. Sehingga
mereka sangat rentan didiskriminasi dan terlibat dalam berbagai konflik etnis.

Masuknya Etnis Tionghoa ke Indonesia


Etnis Tionghoa di Indonesia merupakan orang yang berasal dari China
namun menetap dan menjadi satu kesatuan dalam negara Indonesia. Etnis ini
semakin banyak berkembang dan sudah menjadi salah satu bagian dari suku dan
kebudayaan yang diakui di Indonesia. Masuknya etnis Tionghoa di Indonesia
memiliki berbagai penjelasan berbeda oleh para sejarawan, mulai dari artefak
yang ditemukan dan koloni dari etnis tersebut. Hingga saat ini kepastian mengenai
awal mula keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia masih sulit diketahui. Namun,
dugaan awalnya diketahui berkat penemuan benda arkeologi.
Menurut seorang sejarawan bernama Benny G Setiono dalam bukunya
yang berjudul “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, benda-benda purbakala yang
ditemukan di beberapa kawasan Indonesia menunjukkan kemiripan corak dengan
benda-benda purbakala di dataran China, diketahui bahwa benda tersebut berasal
dari waktu yang bersamaan. Penemuan ini sebagai tanda bahwa kemungkinan

1
Arrochman Mardiansyah, “Negara Bangsa dan Konflik Etnis: Nasionalisme vs Etno-
Nasionalisme,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol. 4, no. 3 (2001). Hlm 293
besar pernah terjadi interaksi yang berlangsung lama antara etnis Tionghoa dari
China dengan masyarakat Indonesia.2
Kisah lainnya datang dari penjelasan dalam The Book Society and Culture
of Chinese Indonesia oleh Hidayat Zainal Mutakin tentang apa yang mendorong
etnis Tionghoa dari China memutuskan untuk meninggalkan tanah airnya dan
menyebar ke daratan lain termasuk Indonesia. Diketahui Sebagian besar dari
mereka pergi menyebar demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik diluar
China. Di sisi lain juga ada keinginan untuk tidak dijajah. Gelombang imigran
kala itu rupanya juga didorong ketika China di invasi oleh dinasti dari Mongolia.
Mereka menganggap populasi yang semakin padat tiap masanya serta kebebasan
yang terbatas memberi kesulitan bagi mereka untuk mengakses kehidupan yang
lebih baik di tanah air sendiri, sehingga mereka lebih memilih ‘kabur’ dan hanya
membawa bekal keahlian yang dimiliki. Dari waktu ke waktu gelombang imigran
dari China semakin banyak. Mereka bertahan hidup selama bertahun-tahun
dengan keahlian dagang yang mereka punya. Mereka juga memiliki hubungan
yang tentram dengan pedagang asli Indonesia. Bahkan ketika Hindia Belanda
memantapkan pemerintahannya, mereka mengakui betapa besar pengaruh
aktivitas ekonomi etnis Tionghoa di Indonesia. Melihat etnis Tionghoa sebagai
salah satu penghambat usaha Hindia Belanda dalam memonopoli perdagangan di
Indonesia, maka merekapun mengeluarkan berbagai strategi. Mereka memberi
berbagai kemudahan bagi etnis Tionghoa dalam urusan berdagang. 3

Awal Mula Hubungan Etnis Tionghoa-Etnis Asli Indonesia Merenggang


Kemudahan yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintahan Hindia
Belanda diduga sebagai titik awal mulanya ketidakharmonisan antara etnis
Tionghoa dan etnis asli Indonesia. Muncul prasangka buruk terhadap etnis
Tionghoa, bahwa selama ini hubungan dagang yang terjalin semata-mata hanyalah
akal bulus kaum mereka untuk menindas etnis asli Indonesia. Oleh karena itu,
mayoritas masyarakat Indonesia semakin posesif dengan etnis masing-masing.
Mereka menjadi sentimen dan memperlakukan etnis Tionghoa yang telah lama
bermukim di Indonesia sebagai “orang luar”. Dalam ukiran sejarah, sikap
sentimental ini yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi, etnis
Tionghoa di Indonesia bisa dikatakan sejak itu memiliki citra yang buruk di mata
sekian banyak etnis asli Indonesia.

2
Bayu Galih, “Menelusuri Sejarah Awal Masuknya Masyarakat Tionghoa di Indonesia,” 18
Januari 2020, https://nasional.kompas.com/read/2020/01/18/12220121/menelusuri-sejarah-awal-
masuknya-masyarakat-tionghoa-di-indonesia?page=all
3
VOI, “Tracing The Early Wave of Chinese Immigrants in Indonesia,” 7 Agustus 2020,
https://www.google.com/amp/s/voi.id/en/amp/10641/tracing-the-early-wave-of-chinese-
immigrants-in-indonesia
Salah satu konflik etnis yang masih pekat pemberitaannya di tanah air
tentang eksistensi Etnis Tionghoa adalah Tragedi Mei 1998. Kala itu terjadi krisis
moneter, dan Etnis Tionghoa menjadi tersangka utama penyebabnya oleh etnis
asli Indonesia. Kerusuhan yang terjadi hingga sekarang menjadi kisah pilu yang
paling membekas bagi etnis Tionghoa. Saat itu banyak sekali ribuan masyarakat
Tionghoa di beberapa wilayah yang nyawanya melayang, usaha-usahanya dijarah,
dan perempuan-perempuannya diperlakukan semena-mena.

Usaha Pemerintah Dalam Meminimalisir Konflik Etnis Tionghoa


Kesenjangan sosial yang terbentang antara etnis Tionghoa dan etnis asli
Indonesia menyadarkan pemerintah Indonesia bahwa fakta ini hanya akan
bermuara pada perseteruan. Pemerintah pernah mengeluarkan sebuah perintah
asimilasi pada masa Orde Baru. Asimilasi diartikan sebagai proses peleburan
identitas suatu kelompok yang beradaptasi dengan kelompok mayoritas dalam
suatu lingkungan. Perintah ini berupa dorongan kepada etnis Tionghoa hendaklah
meleburkan diri dengan etnis asli Indonesia dan meninggalkan sifat ‘ke-Tionghoa-
an’ mereka sebagai bentuk upaya menjadi bagian dari bangsa Indonesia serta
meminimalisir konflik etnis yang kemungkinan akan terjadi di masa yang akan
datang. Namun tak semua dari kaum mereka terbuka dengan perintah ini, justru
tak sedikit dari mereka yang masih berpegangan teguh dengan nilai-nilai
leluhurnya. Ini berujung kesimpulan bahwa upaya asimilasi yang dikerahkan pada
masa Orde Baru tidak begitu berhasil dibuktikan dengan pecahnya kerusuhan
pada Mei 1998.

Namun pada dasarnya asimilasi secara utuh tidak pernah benar-benar bisa
diwujudkan.4 Hidup dalam lingkungan masyarakat majemuk seperti Indonesia hal
yang bisa diharapkan untuk melaksanakan integrasi adalah rasa keinginan untuk
menyatu yang datangnya dari diri sendiri. Jika masih ada rasa takut yang
menghantui, rasa skeptis dan takut untuk terbuka dengan kelompok lain hanya
akan menjadi penghambat bagi proses integrasi dalam suatu bangsa. Begitu pula
yang akan terjadi dengan etnis Tionghoa. Apabila keteguhan untuk menjaga
identitas membuat mereka harus terus-menerus menutup diri, maka sampai
kapanpun integrasi bangsa Indonesia hanya akan menjadi mimpi belaka.

Hingga saat ini proses integrasi dengan melakukan praktik asimilasi


terhadap etnis minoritas seperti etnis Tionghoa bisa dikatakan sudah lebih terarah
dan mulai berubah menjadi pendekatan multikulturalisme. Meskipun masih
menuai kritikan, pendekatan multikulturalisme rasanya lebih efektif jika
diterapkan ke masyarakat Indonesia. Multikulturalisme mencakup gagasan, cara
pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan oleh masyarakat suatu negara, yang
majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-

4
Hasbullah, “Pola Hubungan Etnik Cina dengan Masyarakat Pribumi di Bengkalis,” Toleransi,
vol. 5, no. 1 (2013), hlm 24
cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai
kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.5

Pendekatan multikulturalisme dibutuhkan untuk menumpaskan pemikiran-


pemikiran kaku yang berkembang di kalangan masyarakat seperti budaya
etnosentrisme yang lebih banyak mebawa mudarat dibandingkan manfaat untuk
bangsa Indonesia. Multikulturalisme menawarkan konsep integrasi yang tidak
memposisikan kaum minoritas di keadaan yang tak menguntungkan, justru kaum
minoritas (seperti etnis Tionghoa di Indonesia) diakui keberadaannya, dihargai
perbedaannya, sehingga di kehidupan sosial masyarakat mereka tak perlu merasa
khawatir disisihkan sebab mereka juga memperoleh hak yang sama sebagaimana
kaum mayoritas dapatkan. Multikulturalisme menumbuhkan buah pikir baru
seiring berkembangnya zaman yang membuat masyarakat majemuk seperti
Indonesia sadar bahwa mereka adalah bagian dari kelompok yang lebih besar,
bahwa identitas nasional masyarakat sesungguhnya lebih tinggi dibandingkan
hanya identitas etnis masing-masing. Ketika pemahaman ini diterima dengan baik,
masyarakat dapat lebih menghargai eksistensi budaya serta kepercayaan lainnya,
maka proses integrasi akan berjalan dengan damai dan bertahan dalam jangka
waktu pajang.

Contoh integrasi multikultural bisa kita lihat setelah lengsernya


pemerintahan Orde Baru. Memasuki era Reformasi pada tahun 2000-an yang
suasananya lebih demokratis dan menjunjung nilai-nilai toleransi, memberi ruang
seluas-luasnya bagi etnis Tionghoa untuk menunjukkan identitasnya. Pada awal
mulanya etnis Tionghoa dilarang secara terbuka untuk merayakan hari raya, di era
Reformasi masyarakat Tionghoa akhirnya dapat merayakan hari raya Imlek secara
terbuka di muka umum. Ini merupakan satu langkah baik yang menjadi alasan
etnis Tionghoa untuk kembali membuka diri dan berbaur kembali dengan etnis
asli Indonesia. Pada awalnya etnis Tionghoa tidak diizinkan untuk berkecimpung
dalam perpolitikan bahkan haknya untuk berdagang sempat dibatasi, namun
setelahnya Etnis Tionghoa diberi kebebasan untuk terjun ke dunia politik
meskipun dalam penerapannya masih diterjang berbagai hambatan. Bahkan dalam
beberapa kasus, beberapa daerah di Indonesia dikepalai oleh keturunan etnis
Tionghoa.

Proses integrasi juga terjadi pada masyarakat keturunan etnis Tionghoa


yang bermukim di Surakarta, tepatnya di kampung Balong. Dalam kultur
keseharian etnis Tionghoa di Balong telah menunjukkan sikap kemasyarakatan
yang tidak ekslusif, mampu berbaur secara alamiah tanpa paksaan.6 Dalam
keseharian mereka menggunakan pakaian layaknya orang biasa, tidak
menunjukkan identitas bahwa dirinya adalah keturunan Tionghoa, meskipun

5
Ahmaad Syarqawi, “Masyarakat Multikultural (Dinamika Kehidupan Manusia),” IJTIMAIYAH:
Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya, vol. 2, no. 2 (2018), hlm. 40
6
Riyadi, “Dari Toleransi Kuliner Hingga Politis: Proses Inkulturasi Tionghoa menjadi Jawa
Masyarakat Tionghoa Balong Surakarta Paruh Kedua Abad XX,” Jurnal Candi: Jurnal Pendidikan
dan Penelitian Sejarah, vol. 7, no. 1 (2014), hlm 7-13
dalam beberapa upacara adat mereka masih mempertahankan kebiasaan
penggunakan pakaian tradisional sebagai simbolis. Bahkan dalam keadaan konflik
rasial yang melibatkan orang Jawa dengan orang Tionghoa sekalipun, masyarakat
Balong tidak pernah tersentuh konflik sentimen rasial. Dengan realitas yang layak
untuk disebut sebagai keharmonisan dalam berkehidupan antara Tionghoa Jawa di
Kampung Balong yang merupakan buah yang dihasilkan masing-masing etnis
untuk mengembangkan toleransi serta penerimaan terhadap kondisi masyarakat
multikultural.

Hal yang sama juga terjadi di Gorontalo. Pemerintah daerah di Gorontalo


memiliki kemampuan dalam membina hubungan antar etnis di kawasannya. Hal
ini dibuktikan dengan sedikit sekali fenomena gesekan antar etnis yang terjadi di
sana. Bahkan ketika data menyatakan bahwa Sebagian besar etnis Tionghoa
memegang kekuatan ekonomi di Kota Gorontalo, tak sekalipun etnis di sana yang
menentang posisi mereka. Alih-alih berseteru dan bersaing, mereka justru
menjalin hubungan yang saling menguntungkan. Pemerintah setempat sadar
bahwa dengan bersikap adil dan melibatkan semua etnis yang ada dalam kegiatan
yang diinisasi pemerintah tanpa membeda-bedakan, maka mereka akan menjalani
kehidupan sosial yang harmonis dan terhindar dari pertikaian.7

Nuansa asimilasi dan akulturasi yang berjalan secara natural di Kota


Semarang juga merupakan produk hasil keberhasilan dari upaya integrasi. Kota
Semarang dikenal dengan populasi masyarakatnya yang multi-etnis, pola interaksi
yang tercipta berjalan damai antar etnis. Pemerintah setempat mendukung
kepositifan ini dengan menuangkan keberagaman budaya etnis disana dalam acara
festival bertajuk Dugderan. Dalam festival tradisional ini terdapat sebuah simbolis
Warak Ngendhog sebagai manifestasi percampuran etnis yang telah lama
menghiasi kehidupan sosial budaya di Kota Semarang.

Sebenarnya masih banyak contoh dari proses integrasi yang berjalan


melibatkan etnis Tionghoa dan etnis asli Indonesia. Seperti pemerintah yang
menyediakan institusi pendidikan yang terbuka untuk siapapun, ini membuktikan
bahwa pemerintah mendukung proses integrasi. Institusi pendidikan yang tersedia
menjadi media yang memberikan kesempatan bagi etnis Tionghoa dan etnis asli
Indonesia untuk memberlangsungkan pendidikan, terjalinnya komunikasi serta
keterlibatan pelajar dari berbagai kalangan etnis dalam satu organisasi membuat
mereka lebih terbuka satu sama lain dan menghargai sebuah perbedaan.

7
Roni Lukum, “Membina Harmonisasi Kehidupan Antar Etnis di Provinsi Gorontalo,” Jurnal
Pelangi Ilmu (2011), hlm 9-10
KESIMPULAN

Ketika sudah memahami dengan baik betapa pentingnya keberagaman


etnisitas dalam suatu bangsa, maka dalam lingkungan masyarakat multietnis
seperti Indonesia kita akan paham bahwa untuk menciptakan suasana tentram
damai akan dihadapkan ke berbagai rintangan dalam perwujudannya. Bahkan
dalam beberapa konflik, akibat dari penolakan sebuah etnis di suatu wilayah bisa
menjurus kepada kekerasan fisik dan penerapan kebijakan yang diskriminatif
terhadap kaum minoritas. Fenomena-fenomena seperti yang harus kita hindari.
Pemerintah Indonesia sendiri juga pernah mengupayakan asimilasi terhadap etnis
Tionghoa, namun jika ditelusuri lebih lanjut masih ditemukan ketimpangan-
ketimpangan dalam implementasinya. Sebenarnya integritas suatu bangsa akan
terwujud apabila muncul kemauan dari diri sendiri untuk menjadi bagian dari satu
kesatuan bangsa negara. Namun sayangnya, kesan traumatis yang dirasakan oleh
Sebagian besar etnis Tionghoa di masa lalu menyebabkan proses integrasi antar
etnis melambat. Namun seiring berjalannya waktu, Indonesia memasuki era yang
lebih demokratis dan kebijakan yang dikeluarkan juga tak lagi bersifat kaku dan
mengkungkung etnis Tionghoa. Bersesuaian dengan makna yang terkandung
dalam multikulturalisme yang berkembang di masa modernisasi seperti sekarang
ini, baik kaum minoritas dan kaum mayoritas mulai menyadari bahwa
menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tentram dan damai,
identitas nasional bangsa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan identitas etnis
masing-masing. Akhirnya kebijakan-kebijakan baru, serta sikap toleran yang
ditunjukkan oleh etnis asli Indonesia lambat laun menumbuhkan rasa percaya
dalam diri etnis Tionghoa.
DAFTAR PUSTAKA

Mardiansyah, Arrochman. “Negara Bangsa dan Konflik Etnis: Nasionalisme vs


Etno-Nasionalisme,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol. 4, no.
3 (2001): 289-316.

Galih, Bayu. “Menelusuri Sejarah Awal Masuknya Masyarakat Tionghoa di


Indonesia.”
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/18/12220121/menelusuri-
sejarah-awal-masuknya-masyarakat-tionghoa-di-indonesia?page=all.
18 Januari 2020.

VOI. “Tracing The Early Wave of Chinese Immigrants in Indonesia.”


https://www.google.com/amp/s/voi.id/en/amp/10641/tracing-the-
early-wave-of-chinese-immigrants-in-indonesia, 7 Agustus 2020

Hasbullah. “Pola Hubungan Etnik Cina dengan Masyarakat Pribumi di


Bengkalis.” Toleransi, vol. 5, no. 1 (2013): 23-32.

Syarqawi, Ahmad. “Masyarakat Multikultural (Dinamika Kehidupan Manusia).”


IJTIMAIYAH: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya, vol. 2, no. 2 (2018):
40.

Riyadi. “Dari Toleransi Kuliner Hingga Politis: Proses Inkulturasi Tionghoa


menjadi Jawa Masyarakat Tionghoa Balong Surakarta Paruh Kedua
Abad XX.” Jurnal Candi: Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah,
vol. 7, no. 1 (2014): 1-22.

Lukum, Roni. “Membina Harmonisasi Kehidupan Antar Etnis di Provinsi


Gorontalo.” Jurnal Pelangi Ilmu (2011): 1-15.

Anda mungkin juga menyukai