Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

“GENOSIDA”
Dosen :
Indah Sari. S.H.,M.si

Oleh:
Muhammad Alif Terianto
NPM : 14080033

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA
JAKARTA
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahman

dan hidayahnya sehingga makalah yang berjudul “GENOSIDA” ini dapat

kami selesaikan tepat pada waktunya.

Terima kasih juga diucapkan kepada Ibu Indah sari. S.H.,M.si

selaku Dosen yang telah memberikan tugas ini , sehingga wawasan

tentang sistem peradilan internasional bertambah. Sistem peradilan

internasional adalah salah satu proses yang menjelaskan tentang

hubungan peradilan yang bekerja sama secara luas dengan bangsa lain.

Karena sistem peradilan internasional bersikap luas, maka masyarakat

pun juga mengambil andil di dalam pelaksanaannya.

Jakarta, 6 Oktober 2017

Muhammad Alif Terianto

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Adakalanya manusia mempunyai kepentingan perseorangan (untuk
melindunginya diperlukan hak) dan mempunyai kepentingan bersama.
Manusia yang mempunyai kepentingan bersama, memperjuangkan suatu
tujuan tertentu, berkumpul dan mempersatukan diri. Keanekaragaman
pada hakikatnya merupakan suatu kelebihan yang dimiliki umat manusia.
Perbedaan itu bisa berupa apa saja. Baik perbedaan jenis kelamin,
perbedaan umur, tempat tinggal, warna kulit, bahasa ataupun
budaya.Masing-masing perbedaan tersebut memiliki keunikan dan
kelebihan masing-masing. Namun justru perbedaan inilah yang menjadi
bibit perselisihan. Sepanjang sejarah dunia pada umunya dan Indonesia
pada khususnya, perselisihan kerap kali terjadi pada dua kelompok yang
memiliki perbedaan. Banyak sekali perbedaan yang menjadi cikal bakal
perselisihan ataupun permusuhan besar-besaran, tetapi dalam banyak
kasus, perbedaan etnis atau budaya merupakan salah satu yang paling
sering menjadi sorotan. Perbedaan ini seringmenjadi awal pertikaian yang
sangat sulit untuk dihentikan bahkan hingga turun-temurun.
Indonesia yang dikenal dengan keanearagamannya yang luar biasa
tentu sajatidak dapat luput dari berbagai kasus perselisihan antar dua
kelompok budaya.Perselisihan semacam ini kerap terjadi dalam berbagai
bentuk. Mulai dariperebutan hak milik atas suatu benda, tanah hingga
perkelahian fisik yang menyebabkan korban dari di dua belah pihak.
Namun terkadang perselisihan semacam ini bisa berkembang terlalu
jauhdan menyimpang dari apa yang biasanya terjadi. Perselisihan antar
etnis atau budaya ternyata mampu berkembang menjadi suatu tindakan
agresif yang membuat pelakunya bertindak diluar batas bahkan
dikategorikan kriminal berat. Kategori criminal tertinggi dari perselisihan
macam ini adalah pembantaian besar-besaran terhadap suatu etnis
tertentu. Hal ini pernah beberapa kali terjadi di masa silam baik di

3
Indonesia ataupun negara lain. Pembantaian ini tak urung yang
menyebabkan jatuhnya banyak korban dan kerugian materil maupun
immateril. Pembantaian semacam ini biasa juga dikenal dengan istilah
Genosida atau pembantaian massal .
Pembantaian Massal Yang Terjadi Di Bosnia – Herzegovina
Merupakan Salah Satu Dari Banyak Contoh Genosida Yang Telah Terjadi
Selama Ini. Peperangan Yang Berawal Dari Perbedaan Cara Pandang
Mereka Dalam Memahami Keyakinan Dan Kepentingan Satu Sama Lain
Berujung Pada Peristiwa Pembantaian Massal Yang Dilakukan Oleh
Tentara Ultra Nasionalis Serbia Terhadap Etnis Bosnia Yang Mayoritas
Islam. Ketika Peperangan Berlangsung Banyak Dari Tentara Ultra
Nasionalis Yang Melakukan Kekejaman Tiada Tara Seperti Pembunuhan
Terhadap Penduduk Sipil (Terutama Warga Muslim), Pemerkosaan
Massal, Pemindahan Penduduk Secara Paksa, Dan Pengerusakan
Fasilitas Umum.
Dalam bukunya yang berjudul The First Casuality Philip Knightley
berujar : “Korban pertama perang adalah kebenaran, pihak yang saling
baku bunuh selalu berprinsip bahwa alasan mereka berada di garis depan
adalah untuk membela kebenaran’’. Pembantaian penduduk sipil di Bosnia
telah menjadi saksi sejarah yang teramat penting dan menyakitkan bagi
umat Islam di dunia.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas ada beberapa permasalahan yang dapat
ditarik sebagai berikut :
1. Berikan penjelasan lebih lanjut mengenai GENOSIDA ?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. GENOSIDA
a. Pengertian Genosida
Pengertian Genosida Genosida dalam ilmu sosiologi termasuk
sebagai bagian pola hubunganantar kelompok. Kontak antar dua
kelompok ras dapat diikuti proses akulturasi (perpaduan budaya),
dominasi (satu ras menguasai ras yang lain), paternalism (dominasi ras
pendatang), atau integrasi (pengakuan perbedaan). Genosida secara
umum didefinisikan sebagai sebuah pembantaian besar besaran secara
sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud
memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali
digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada
tahun 1944 dalambukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan
di Amerika Serika. Kata inidiambil dari bahasa Yunani γένος genos (ras,
bangsa atau rakyat) dan bahasa Latincaedere (pembunuhan). Genosida
merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang beradadalam
yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lain nya
ialah kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang, dan kejahatan
Agresi.
Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun
2000tentang Pengadilan HAM, genosida ialah “ Perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompokbangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan
cara membunuh anggotakelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau
mental yang berat terhadapanggota kelompok; menciptakan kondisi
kehidupan kelompok yang menciptakankemusnahan secara fisik sebagian
atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegahkelahiran dalam
kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalamkelompok ke
kelompok lain.

5
b. Kasus Genosida dan Faktor-Faktor Penyebabnya
1. Kasus genosida di Indonesia
Indonesia sebagai Negara kesatuan yang terdiri dari ribuan pulau
dan wilayah yang cukup besar memiliki banyak sekali budaya yang
terdapat didalamnya. Bahkan di satu pulau dapat memiliki ratusan
kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Keanekaragaman ini
merupakan suatu kelebihan namun tidak menutup adanya perselisihan
antar kelompok etnis yang tumbuh tersebar di seluruh kawasan Indonesia.
Hal itu dapat terlihat dari berbagai kasus Genosida yang terjadi sejauh
sejarah berdirinya Indonesia.
Indonesia sebagai Negara kesatuan yang terdiri dari ribuan pulau
dan wilayah yang cukup besar memiliki banyak sekali budaya yang
terdapat didalamnya. Bahkan di satu pulau dapat memiliki ratusan
kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Keanekaragaman ini
merupakan suatu kelebihan namun tidak menutup adanya perselisihan
antar kelompok etnis yang tumbuh tersebar di seluruh kawasan Indonesia.
Hal itu dapat terlihat dari berbagai kasus Genosida yang terjadi sejauh
sejarah berdirinya Indonesia.
· Pembunuhan masal di Bandanaira (Pulau Banda) tahun 1621 oleh
Belanda pada zaman Jan Pietersz Coen. Penduduk dipaksa untuk
bekerja. Akibat pembunuhan tersebut belanda terpaksa mendatangkan
budak dr Negara dan daerah lain. Jumlah pasti tidak diketahui. Dalam
kesaksian disebut hamper semua penduduk meninggal, sebagian kecil
melarikan diri.
· Pembantaian pada zaman Kerja Tanam Paksa setelah Perang Jawa
(18251830) dibawah kepemimpinan Jenderal Van den Bosch. Jumlah
pasti korban tidak diketahui. Tragedi pembantaian Jepang di Kalimantan.
Tidak hanya kaum prokemerdekaan yg dibunuh tetapi juga para pemuka
agama, pemuka golongan dan para Raja di zaman itu. Westerling di
Sulawesi Selatan. Menurut mantan Diplomat RI, Manai Sophian, tercatat

6
40.000 orang meninggal meski Belanda mengklaim hanya 5000 orang
yang meninggal.
· Tragedi 1965. Setelah gerakan G30SPKI terjadi, gerakan
‘membersihkan’ komunis menggelora dimana-mana. Militer dikerahkan ke
seluruh negri, Mereka yang dianggap pendukung komunis, dibantai,
ditangkap, disiksa dan dibuang tanpa pernah ada pengadilan yang adil
dan bukti yang jelas. Kebanyakan dari mereka yang ditangkap adalah
buruh dan petani.
· Tragedi mei 1998 dimana etnis tionghoa mengalami pembantaian,
pengrusakan properti, pemerkosaan dan penculikan. Kerusuhan Sampit,
(Februari 2001) Kalimantan Barat antara suku Dayak dan Suku Madura.
Kebanyakan kasus Genosida yang terjadi sebelum masa kemerdekaan
memiliki motif atau latar belakang kepentingan politik para penjajah di
masa itu. Sedangkan kasus Genosida yang terjadi setelah kemerdekaan
Indonesia seperti kasus G30SPKI dimana pembantaian dilakukan
terhadap mereka yang menganut paham dan termasuk golongan komunis
merupakan kasus Genosida dengan latar belakang faham atau golongan.
2. Kasus Genosida Internasional
Selain di Indonesia, dunia memiliki sejarah sendiri tentang terjadinya
Genosida. Sebagian kasus di antaranya adalah :
a. Pembantaian bangsa Kanaan oleh bangsa Yahudi pada
milenium pertama sebelum Masehi.
b. Pembantaian bangsa Helvetia oleh Julius Caesar pada abad ke-
1 SM.
c. Pembantaian suku bangsa Keltik oleh bangsa Anglo-Saxon di
Britania dan Irlandia sejak abad ke-7.
d. Pembantaian bangsa-bangsa Indian di benua Amerika oleh para
penjajah Eropa semenjak tahun 1492.
e. Pembantaian bangsa Aborijin Australia oleh Britania Raya
semenjak tahun 1788.
f. Pembantaian Bangsa Armenia oleh beberapa kelompok Turki
pada akhir Perang Dunia I.

7
g. Pembantaian Orang Yahudi, orang Gipsi (Sinti dan Roma) dan
suku bangsa Slavia oleh kaum Nazi Jerman pada Perang Dunia
II.
h. Pembantaian suku bangsa Jerman di Eropa Timur pada akhir
Perang Dunia II oleh suku-suku bangsa Ceko, Polandia dan Uni
Soviet di sebelah timur garis perbatasan Oder-Neisse.
i. Pembantaian lebih dari dua juta jiwa rakyat oleh rezim Khmer
Merah pada akhir tahun 1970-an.
j. Pembantaian bangsa Kurdi oleh rezim Saddam Hussein Irak
pada tahun 1980-an. Efraín Rios Montt, diktator Guatemala dari
1982 sampai 1983 telah membunuh 75.000 Indian Maya.
k. Pembantaian Rwanda, pembantaian suku Hutu dan Tutsi di
Rwanda pada tahun 1994 oleh terutama kaum Hutu.
l. Pembantaian suku bangsa Bosnia dan Kroasia di Yugoslavia
oleh Serbia antara 1991 - 1996. Salah satunya adalah
Pembantaian Srebrenica, kasus pertama di Eropa yang
dinyatakan genosida oleh suatu keputusan hukum.
m. Pembantaian kaum berkulit hitam di Darfur oleh milisi
Janjaweed di Sudan pada 2004.
Pembantaian ini dianggap Genosida oleh pemerintah Amerika
Serikat namun dianggap tidak oleh PBB. Dari sekian banyak kasus
Genosida yang terjadi, kasus Rwanda merupakan salah satu kasus
Genosida yang sangat bernuansa etnis. Republik Rwanda adalah sebuah
negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan Republik
Demokratik Kongo, Uganda, Burundi danTanzania. Penduduk asli Rwanda
terdiri dari tiga suku yaitu Tutsi, yang merupakan orang-orang dusun yang
tiba di sini sejak abad ke-15; Hutu, yang merupakan mayoritas penduduk,
merupakan petani asal Bantu. Hingga 1959, suku Hutu membentuk strata
dominan di bawah sistem feodal yang berdasarkan pada kepemilikan
ternak; dan Twa, yang dipercayai merupakan sisa pemukim terawal di sini.
Suku Twa dianggap yang tertua, lalu orang Hutu dan kemudian Tutsi.
Rwanda merupakan salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman

8
penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh
Belgia. Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit,
bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. tapi
pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu di anggap sebagai suku yang
minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi
eksistensinya.
Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang,
postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang
lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang
berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan
pesek.Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi
untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari
suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah
putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya sedangkan untuk “kerah
biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekeja kasar diberikan kepada
suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda.
Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini.
Hal inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian,
ke iri hatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Menurut
Simon Fisher dalam bukunya, Mengelola konflik; Keterampilan & Strategi
untuk Bertindak, dalam teori Hubungan Masyarakat disebutkan bahwa
konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan
dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu
masyarakat.Setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1994,
masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan timbulnya konflik
ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai
kelompok Tutsi yang disebut dengan “Cocoroaches” (cockroach : kecoa),
dan menyamakan mereka tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk
dibantai. Dengan sandi “lets cut all the trees!” mereka memulai
pembantaian itu.Bahkan ketika pada bulan Juli 1994, beberapa hari
sebelum pembantaian tersebut terjadi, Presiden Rwanda yang baru saja
terpilih (suku Hutu) dan telah menyetujui perjanjian damai Hutu-Tutsi,

9
dibunuh dalam pesawatnya, yang sebenarnya dilakukan oleh kelompok
Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai dengan
menyebarkan berita bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh
kelompok dari suku Tutsi. Upaya damai yang telah dilakukan oleh
perwakilan dari kedua suku tersebut pun gagal. Operasi mereka dimulai
dengan sweeping masal KTP warga negara Rwanda yang dimana di KTP
tersebut terdapat cap besar untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi.
Selain itu menurut teori Identitas, konflik juga disebabkan oleh
identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu
atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Jika dikaitkan
dengan konflik yang terjadi di Rwanda antara kedua kelompok suku
tersebut, dapat dilihat bahwa diversivikasi dan stratifikasi sosial yang
terjadi antara Hutu dan Tutsi pada masa kolonialisasi menimbulkan
kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi yang baik antara kedua
suku tersebut. Dendam suku Hutu terhadap identitas dirinya sebagai
penduduk mayoritas yang terdiskriminasi di Rwanda belum terselesaikan
hingga kini dan menjadi penyebab utama timbulnya pembantaian
terhadap suku Tutsi.
Penyebab lain adalah terjadinya eskalasi konflik. Tidak adanya
komunikasi yang baik, diskriminasi pekerjaan, kecemburuan sosial,
menyebabkan kesenjangan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut
mengakar dan menimbulkan konflik yang sejak dulu ada kembali muncul
ke permukaan. Eskalasi konflik terjadi ketika kelompok suku Hutu sengaja
melakukan pembunuhan berencana terhadap presiden Habyarimana. Hal
tersebut dilakukan untuk memancing kemarahan massa suku Hutu
terhadap dendam yang selama ini terpendam. Mereka dengan sengaja
menyebarkan berita palsu bahwa pembunuhan presiden yang juga
berasal dari suku Hutu tersebut dibunuh oleh kelompok pemberontak suku
Tutsi.
Dengan tersebarnya berita tersebut dikalangan masyarakat,
menyebabkan suku Hutu semakin marah dan mengupayakan tindakan
balas dendam terhadap seluruh suku Tutsi di Rwanda. Kurang Lebih

10
250.000 suku Tutsi dibantai dihari itu dan hampir 50.000 jiwa yang berasal
dari suku Hutu mati karena juga terjadi perlawanan di pihak Tutsi oleh
“Tutsi Rebels”. Total semua korban yang mengalami kematian dari
genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkaksampai angka
800.000. Berdasarkan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa
melayang. Pada saat genosida ini berlangsung, para perempuan dari suku
Tutsi di perkosa lalu di bunuh. Mereka diperlakukan tidak manusiawi.
Mereka dilempari batu, di perkosa dan di kandangkan.
c. Pengendalian dan Pencegahan Genosida dalam Masyarakat
Telah dibahas sebelumnya bahwa Genosida merupakan bagian dari
pola hubungan antar kelompok, dalam pokok bahasan disini, Genosida
menjadi salah satu pola hubungan antar kelompok etnis. Berdasarkan
uraian kasus kasus diatas, dapat terlihat bahwa genosida yang terjadi
khususnya antar kelompok etnis berkembang dan pecah bukan hanya
karena perilaku menyimpang dari kedua belah pihak yang memanfaatkan
rasa etnosentris pada diri mereka untuk melakukan hal yang tidak
manusiawi, tetapi ada juga faktor dari luar kelompok yang menyebabkan
itu bisa terjadi.Salah satu yang dibahas diatas adalah ketidakpuasan
kelompok atas kinerja pemerintah yang tidak tuntas dalam menyelesaikan
masalah antar dua belah pihak sehingga menyebabkan kelompok
bersangkutan mencari cara lain untuk menyelesaikan. Atas dasar
solidaritas terhadap sesama kelompok satu etnis, maka mereka
melakukan tindakan yang melanggar hukum dan tidak manusiawi.
Tindakan ini bisa dikategorikan tindakan yang menyimpang atau tidak
sesuai harapan masyarakat. Selain itu adanya diversifikasi yang terjadi
baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan
kecemburuan sosial dan berujung pada dendam yang mengakar.
Sehubungan dengan penyimpangan yang dilakukan kelompok
tentunya ada pengendalian sosial yang dilakukan. Menurut Berger, cara
pengendalian terakhir dan tertua adalah dengan paksaan fisik.Pada kasus
kerusuhan Sampit maupun kasus Rwanda, bentuk pengendalian yang
dilakukan adalah dalam bentuk fisik. Hal ini dilakukan karena kategori

11
penyimpangan yang dilakukan masyarakat sudah memasuki kategori
criminal berat yang direncanakan oleh kolektif. Bentuk pengendalian yang
diambil pun lebih kuat yaitu melalui militer pemerintahan yang turun
langsung dan menghentikan tindakan Genosida secara langsung dan fisik.
Dalam kasus Rwanda khususnya yang merupakan peristiwa cukup besar,
militer yang digunakan untuk mengendalikan sebagian besar berasal dari
luar negri dimana pasukan-pasukan perdamaian berdatangan dari
berbagai Negara untuk menghentikan tragedi kemanusiaan abad 20 itu
Disamping itu, baik di Indonesia maupun internasional telah
ditetapkan hukum-hukum tentang keberlangsungan hidup (HAM) pada
umumnya dan perlindungan terhadap kelompok masyarakat dan golongan
baik etnis atau bukan. Di Indonesia Pengadilan HAM berkedudukan di
daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi
daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
hakasasi manusia yang berat. Pengadilan HAM berwenang juga
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik
Indonesia oleh warga negara Indonesia
Akan tetapi Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
tahun pada saat kejahatan dilakukan. Berdasarkan UU no. 26 tahun 2000,
pelanggaran HAM meliputi kejahatan Genosida sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7a : “ adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan
maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan
cara: Membunuh anggota kelompok; Mengakibatkan penderitaan fisik
atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; Memindahkan
secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain;

12
Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok; “
Dunia internasional sendiri merujuk peraturan HAM oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merupakan organisasi dunia
dan dibentuk dengan alasan utama hak asasi manusia. Kekejaman dan
Genosida setelah Perang Dunia II menyebabkan munculnya konsensus
bahwa organisasi baru ini harus bekerja untuk mencegah tragedi serupa
di masa mendatang. Tujuan awal adalah menciptakan kerangka hukum
untuk mempertimbangkan dan bertindak atas keluhan tentang
pelanggaran hak asasi manusia.
Beberapa hak 370 juta masyarakat adat di seluruh dunia juga
merupakan suatu fokus untuk PBB, dengan Deklarasi tentang Hak-Hak
Masyarakat Adat yang disetujui oleh Majelis Umum pada tahun
2007. Deklarasi ini menguraikan hak-hak individu dan kolektif untuk
budaya , bahasa, pendidikan, identitas, pekerjaan dan kesehatan,
menyikapi isu-isu pasca-kolonial yang dihadapi masyarakat adat selama
berabad-abad. Deklarasi tersebut bertujuan untuk mempertahankan,
memperkuat dan mendorong pertumbuhan adat, budaya institusi dan
tradisi. Deklarasi ini juga melarang diskriminasi terhadap masyarakat adat
dan mendorong partisipasi aktif mereka dalam hal-hal yang menyangkut
masa lalu, masa sekarang dan masa depan mereka.
Meski bisa dilakukan tindakan pengendalian, perlu juga dipahami
bahwa tindakan pencegahan akan jauh lebih baik jika tindakan
pencegahan juga dilakukan sejak awal. Jika menilik kasus genosida
bernuansa etnis diatas, dapt terlihat bahwa masalh antar dua kelompok
bertikai dimulai dari ketidakcocokan dan prasangka yang berkembang
menjadi streotip negatif tertentu. Diversifikasi etnis yang dilakukan pihak
luar ataupun pemerintah juga menjadi salah satu penyebabnya. Dan yang
paling utama adalah tidak terselesaikannya urusan hukum secara tuntas
antara kedua belah pihak yang berseteri sehingga salah satu pihak atau
keduanya memilih untuk bertindak secara agresif untuk mendapat

13
keinginannya. Karena itu tindakan pencegahan yang paling penting
adalah berasal dari pemerintah sebagai pihak yang memiliki kuasa lebih.
Tindakan pencegahan yang paling utama adalah memastikan
apabila ada kasus antar dua kempompok etnis, proses hukum berjalan
dengan sebagaimana mestinya sesuai peraturan yang berlaku dan tanpa
memihak salah satunya. Dengan berjalannya proses hukum yang baik,
akan menimbulkan kepercayaan terhadap hukum sehingga jika ada suatu
pertikain baik bernuansa etnis ataupun tidak, kelompok-kelompok tersebut
akan mempercayakan penyelesaiannya kepada hukum pemerintah
bukannya malah bertindak agresif dan menyimpang.Tindakan
pencegahan berikutnya adalah memastikan peraturan-peraturan yang ada
sudah cukup meng-cover segala hak dan kewajiban serta perlindungan
bagi masyarakat etnis tanpa mendahulukan atau menkhususkan etnis
manapun. Dengan adanya peraturan tersebut, masyrakat etnis akan
merasa aman dan tidak akan terpicu untuk membuat tindakan sendiri tapi
menjadikan peraturan pemerintah sebagai rujukan pertama.
Kedua pencegahan diatas sangat penting untuk menghindari
eskalasi konflik yang mungkin terjadi antar dua kelompok etnis terutama di
Negara Indonesia yang terdiri dari ribuan suku bangsa berbeda. Penting
bagi Indonesia untuk memliki peraturan dengan status hukum yang kuat
tentang keberadaan ettnis-etnis yang berbeda dalam kawasaanya. Tugas
pemerintahlah untuk memastikan semua peraturan dijalankan dengan
sesuai.
Selain pencegahan dari pihak luar, anggota kelompok etnis sendiri
pun perlu menumbuhkan rasa toleransi terhadap etnis lain sebagai salah
satu langkah merubah pola pikir atas prasangka maupun stereotip etnis
tertentu yang kerap kali menjadi awal permusuhan antar etnis. Stereotip-
stereotip yang berkembang seperti suku Minang yang perhitungan, suku
Batak yang kasar ataupu suku Jawa yang kaku dan konservatif
sebenarnya bisa dihapuskan. Harus ada pemahaman di kalangan semua
masyarakat terutama masyarakat yang masih menganut nilai-nilai etnis
tertentu bahwa stereotip bukanlah penilaian mutlak untuk keseluruhan

14
mayarakat etnis tertentu. Sehingga tidak ada anggapan bahwa etnis
tertentu adalah lebih baik dari etnis lainnya. Sikap saling toleran dan
terbuka dengan perbedaan tentunya mampu menumbuhkan sikap saling
menghormati antar etnis sehingga tidak akan terjadi pertikaian hingga
tindakan seperti Genosida.

15
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Genosida yaitu pembunuhan massal terhadap suatu etnis tertentu
merupakan tindakan menyimpang yang tidak manusiawi yang seringkali
diikuti dengan perilaku menyimpang lainnya seperti penculikan,
pemerkosaan dan penyiksaan. Banyak hal yang melatar belakangi
tindakan Genosida seperti adanya kepentingan politik, ekonomi dan juga
rasa etnosentrisme berlebihan sehingga membuat suatu etnis pantas
memusnahkan etnis lainnya. Rasa etnosentrisme negatif dapat dicegah
mulai dari pemerintah yang harus memastikan adanya peraturan hukum
yang kuat tentang masyarakat etnis, pelaksanaanya hingga tuntas dan
tanpa memihak, serta harus adanya pemahaman dari masyrakat sendiri
tentang toleransi antar etnis. Pengendalian Genosida apabila sudah
terjadi adalah berupa pengendalian fisik melibatkan pihak berwajib baik
dari dalam negeri maupun luar negeri jika dibutuhkan.

B. Saran
Tindak pidana GENOSIDA ini bukan masalah yang biasa ,tindakan
ini merupakan tidakan yang menyimpang dan tidak manusiawi .Sebaiknya
para penegak hukum harus lebih tegas untuk menangani kasus Genosida
yang terjadi di dunia ini.

16
DAFTAR BACAAN

http://id.wikipedia.org/wiki/Genosidahttp://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan
_HAMhttp://id.wikipedia.org/wiki/Perserikatan_Bangsa-Bangsa
http://id.wikipedia.org/wiki/Tutsihttp://members.fortunecity.com/sakinahonli
ne/alislam/www.alislam.or.id/informasi/i-sampit-berdarah.html
http://nyanyoataraxis.wordpress.com/2009/06/14/genosida-di-indonesia/
http://sejarahunj.blogspot.com/2010/05/genosida-di-bosnia.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Genosida
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FISIPS1IK/207613003/BAB%20I.pdf
Banton (1967:68-76 2 Lihat Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi,
(Jakarta: LPFEUI, 2004), hal. 149.

17
HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
TUGAS MAKALAH JUDUL : GENOSIDA

Dosen : Indah Sari S.H., Msi.

Oleh:
Muhammad Alif Terianto
NPM : 14080033

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA
JAKARTA
2017

18
19

Anda mungkin juga menyukai