Anda di halaman 1dari 384

POLITIK AGRARIA

Dalam Perspektif Sejarah Hubungan Manusia dan


Tanah

Tugas Kelas B

Dosen Pengampu:
Dr. H. M. Ismail, M.H, M.Si
Disusun Oleh :
Kelas B

PROGRAM STUDI IMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

Politik Agraria | i
2021

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, atas berkat, rahmat, dan karunia dari Allah SWT. Kami dari
kelompok 1dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan lancar. Makalah ini kami susun
untuk memenuhi tugas mata kuliah POLITIK AGRARIA. Selain itu Kami menyusun
makalah ini untuk menambah wawasan untuk memahami.Mungkin makalah yang kami
buat ini belum sempurna karena kami juga masih dalam proses belajar, oleh karena itu
kami menerima saran ataupun kritikan dari segala pihak agar makalah selanjutnya bisa
lebih baik dari sebelumnya.
Kami berterimakasih kepada kakak senior kami yang telah memberikan beberapa
arahan dalam perampungan makalah, juga dalam mencari buku-buku sebagai sumber
refrensi, kami juga berterimakasih kepada bapak Dr. H.M. Ismail, M.H, M.Si selaku
dosen pengampu dalam mata kuliah Politik Agraria.

Surabaya, 28 Maret 2021

Penyusun

Politik Agraria | ii
DAFTAR ISI
BAB 1
A. Latar Belakang1
B. Sejarah Manusia dengan Tanah6
C. Geografi dan Demografi8
D. Pengertian Agraria 12
E. Pengertian Hukum Agraria 13
F. Pengertian Hukum Tanah 17
G. Pengertian Hukum Agraria 20
H. Pengertian Hukum Agraria Sebelum Adanya UUPA22
I. Sejarah Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria 30
J. Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria 32
K. Asas-Asas dalam Undang-Undang Agraria 33
L. UUPA Sebagai Hukum Agraria Nasional34
DAFTAR PUSTAKA37
RINGKASAN50

BAB 2
A. Latar Belakang54
B. Pengertian Sejarah dan Politik Agraria 55
C. Politik di Bidang Agraria Sebelum Kemerdekaan58
D. Politik di Bidang Agraria Pada Zaman Penjajahan Belanda75
E. Zaman VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) Tahun 1602-179977
F. Zaman Gubernur General Mr. Herman Daendles (1808-1811)79
G. Zaman Raffles (1811-1815)81
H. Zaman Van Den Bosch (Cu Iturstelsel – 1930)81
I. Agrariche Wet S. 1870 No. 5583
J. Hak-Hak Tanah Menurut Hukum Adat84
K. Hak-Hak Tanah Menurut Hukum Barat87
L. Politik di Bidang Agraria Sesudah Kemerdekaan89
RINGKASAN95
DAFTAR PUSTAKA105

Politik Agraria | iii


BAB 3
A. Latar Belakang Hukum Agraria109
B. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)112
C. Pengertian Hukum Agraria Nasional116
D. Pengertian Hukum Agraria dalam UUPA119
E. Faktor-Faktor Penting dalam Pembangunan Hukum Agraria Nasional120
F. Sumber Hukum Agraria Nasional122
G. Kesatuan Hukum Agraria125
H. Sifat Nasional Formal dan Sifat Nasional Material127
I. Undang-Undang Maupun Peraturan yang Dicabut129
J. Hukum Adat yang Menjadi Dasar Hukum Nasional131
K. Dasar Kenasionalan UUPA132
RINGKASAN142
DAFTAR PUSTAKA154

BAB 4
A. Latar Belakang158
B. Pengertian Pendaftaran Tanah Menurut Hukum Agraria di Indonesia 158
C. Asas dan Tujuan Pendaftaran Tanah Menurut Hukum Agraria di Indonesia159
D. Pendaftaran Tanah dan Pelaksanaannya161
E. Obyek Pendaftaran Tanah162
F. Sistem Pendaftaran yang Digunakan163
G. Penyelenggaran dan Pelaksana Pendaftaran Tanah163
H. Pengertian Hak Atas Tanah Menurut UUPA169
I. Macam-Macam Hak Atas Tanah170
J. Hak-Hak yang Bersifat Sementara177
K. Sistematika UUPA178
RINGKASAN180
DAFTAR PUSTAKA194

Politik Agraria | iv
BAB 5
A. Latar Belakang199
B. Pengertian Kebijakan 201
C. Pengertian Administrasi Negara205
D. Hukum Administrasi Negara207
E. Hukum Agraria210
F. Pengertian Hukum Adat214
G. Hukum Barat221
H. Hukum Agraria Nasional224
I. Administrasi Agraria di Indonesia231
RINGKASAN237
DAFTAR PUSTAKA246

BAB 6
A. Latar Belakang253
B. Masa Kerajaan Kutai255
C. Masa Kerajaan Banjar260
D. Masa Kerajaan Sriwijaya267
E. Masa Kerajaan Majapahit271
F. Zaman VOC (1602-1870)280
G. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda285
H. Zaman Jepang294
I. Zaman Kemerdekaan304
J. Sejarah Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria310
RINGKASAN317
DAFTAR PUSTAKA326

Politik Agraria | v
BAB 7
A. Latar Belakang331
B. Tugas Pokok dan Fungsi Agraria di Indonesia332
C. Tata Tertib Pertahanan di Indonesia343
D. Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertahanan345
E. Penatagunaan Tanah Pertanian346
F. Penyediaan dan Penggunaan Tanah Bagi Keperluan Perusahaan348
G. Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman-Tanaman Tertentu351
H. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah359
RINGKASAN364
DAFTAR PUSTAKA373

Politik Agraria | vi
Hubungan Manusia Dengan
Tanah
Nama Kelompok :
Adino Opie T.W (I91218062)
Ach Zamruddin (I71218037)
Adien Muliawati (I71218038)
Amar Aka (I91218064)

Politik Agraria | 1
BAB I
Hubungan Manusia Dengan Tanah
A. Latar Belakang
Manusia dengan tanah sejak dulu memiliki keterkaitan yang erat, Persoalan tentang
tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting oleh karena
sebagian besar daripada kehidupan manusia adalah sangat tergantung pada tanah.
Tanah dapat dilihat sebagai suatu yang mempunyai sifat permanent dan dapat
dicadangkan untuk kehidupan masa yang akan datang. Tanah adalah tempat
pemukimandari umat manusia disamping sebagai sumber penghidupan bagi mereka
yang mencari nafkah melalui pertanian serta pada akhirnya tanah pulalah yang
dijadikan tempat persemayaman terakhir bagi seorang yang meninggal dunia.1
Tanah mempunyai peranan peranan yang sangat besar dalam dinamika
pembangunan, maka didalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 3 Ayat (3) disebutkan
bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan
mengenai tanag juga dapat kita lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut
dengan UUPA.
Dalam ruang lingkup agrarian, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut
permukaan bumi.Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya, melainkan di sini mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam
pengertian yuridis disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal
4 ayat(1) UUPA yaitu “ Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hakatas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.2
Semua hak atas tanah itu mempunyai sifat-sifat kebendaan (zakelijk karakter),
yaitu: (1) dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, (2) dapat dijadikan jaminan
suatu hutang, dan (3) dapat dibebani hak tanggungan. Tanah merupakan salah satu
kebutuhan primer manusia untuk sarana berlindung serta melakukan berbagai aspek
kegiatan, manusia tidak bisa terlepas dari tanah, karena dengan tanah manusia dapat
melakuakn pembangunan atau melakukan perekonomian seperti melakukan
penanaman saham, baik dari aspek pertanian maupun pembangunan ruko lainnya.
Dalam pembangunan nasional peranan tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan
meningkat baik untuk keperluan pemukiman maupun kegiatan usaha. Sebagai capital
asset, tanah telah tumbuh. sebagai benda ekonomi yang sangat penting, tidak saja
sebagai bahan perniagaan tapi juga sebagai obyek spekulasi. Disatu sisi tanah
harusdipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat dan disisi lain harus dijaga kelestariannya.3

1
Abdurachman, Masalah Pencabutan Hak dan Pembebanan Atas Tanah di Indonesia, Seri
Hukum Agraria I, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 11.
2
Urip santoso, S.H.,M.H. Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, PT Fajar Interpratama
offset, Jakarta, hlm.10.
3
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Bayumedia,Malang,2007, hlm. 1
Politik Agraria | 2
Pengertian Manusia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Manusia adalah Makhluk yang berakal
budi/insanulkamil artinya makhluk yang paling sempurna. Manusia sebagai makhlauk
yang berpolitik (zon politicon), makhluk yang bermasyarakat, makhluk yang berbudaya,
makhluk yang berbahasa, makhluk yang berbicara (Nata, 2009 : 29).
Manusia adalah makhluk Allah, namun dia mempunyai kedudukan khusus dan
berperan dalam wujud kehidupan ini. Yang memberikan peran dan kedudukan ini adalah
penciptanya sendiri yaitu Allah SWT. Manusia dituntut untuk melihat manusia dengan
berpijak di atas dasar itu, dan memakai kacamata yang sama pula. Manusia adalah salah
satu jenis makhluk ciptaan Allah. Akan tetapi, di antara sekian makhluk, manusialah yang
termulia bagi Allah.4
Menurut Adz-Dzaky (2004 : 13), manusia adalah salah satu makhluk Allah yang paling
sempurna, baik dari aspek jasmaniyah lebih-lebih rohaniyahnya. Manusia adalah makhluk
paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT kesempurnaan yang dimiliki oleh
manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah dimuka
bumi ini (Adz-Dzaky 2004 : 13)
Pengertian Manusia Menurut Para Ahli
a) Ludwing Binswanger: Manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan
untuk mengada, suatu kesadaran bahwa ia ada dan mampu mempertahankan
adanya di dunia.
b) Thomas Aquinas: Manusia adalah suatu substansi yang komplit yang terdiri dari
badan dan jiwa.
c) Marx: Manusia adalah entitas yang dapat dikenali dan diketahui.
d) Spinoza, Goethe, Hegel, dan Marx: Manusia adalah makhluk hidup yang harus
produktif, menguasai dunia di luar dirinya dengan tindakan mengekpresikan
kekuasaan manusiawinya yang khusus, dan menguasai dunia dengan kekuasaannya
ini. Karena manusia yang tidak produktif adalah manusia yang reseptif dan pasif,
dia tidak ada dan mati.
e) Betrand Russel: Manusia adalah maujud yang diciptakan dalam keadaan bersifat
mencari keuntungannya sendiri.
f) Jujun S. Suriasumantri: Manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan
among (unique) di dalam ekosistem, namun juga amat tergantung pada ekosistem
itu dan ia sendiri bahkan merupakan bagiannya.
Dari berbagai uraian di atas maka dapat disimpulkan manusia adalah makhluk yang
paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah baik dari segi jasmani dan rohaninya
karena manusia adalah makhuk yang bermasyarakat dan makhluk yang berbudaya.

4
. Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm.
33
Politik Agraria | 3
Pengertian Tanah
Tanah merupakan lapisan teratas lapisan bumi. Tanah memiliki ciri khas dan sifat-sifat
yang berbeda antara tanah di suatu lokasi dengan lokasi yang lain. Menurut Dokuchaev
(1870) dalam Fauizek dkk (2018), Tanah merupakan kumpulan butiran (agregat) mineral
alami yang bisa dipisahkan oleh suatu cara mekanik bila agregat tersebut diaduk dalam air
atau kumpulan mineral, bahan organic dan endapan-endapan yang relative lepas (loose),
yang terletak diatas batuan dasar (bedrock).5
Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang berasal dari material induk yang telah
mengalami proses lanjut, karena perubahan alami di bawah pengaruh air, udara, dan
macam-macam organisme baik yang masih hidup maupun yang telah mati. Tingkat
perubahan terlihat pada komposisi, struktur dan warna hasil pelapukan.
Menurut Das (1995), dalam pengertian teknik secara umum, tanah didefinisikan
sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak
tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah
melapuk (yang berpartikel padat disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruangruang
kosong di antara partikel-partikel padat tersebut. Menurut Hardiyatmo (1992) dalam
Apriliyandi (2017), tanah adalah ikatan antara butiran yang relatif lemah dapat disebabkan
oleh karbonat, zat organik, atau oksida-oksida yang mengendap-ngendap di antara partikel-
partikel. Ruang di antara partikel-partikel dapat berisi air, udara, ataupun yang lainnya.
Menurut Bowles (1989) dalam Fauizek dkk (2018), tanah adalah campuran partikel-
partikel yang terdiri dari salah satu atau seluruh jenis berikut :
a) Berangkal (boulders), merupakan potongan batu yang besar, biasanya lebih besar
dari 250 mm sampai 300 mm. Untuk kisaran antara 150 mm sampai 250 mm,
fragmen batuan ini disebut kerakal (cobbles).
b) Kerikil (gravel), partikel batuan yang berukuran 5 mm sampai 150 mm.
c) Pasir (sand), partikel batuan yang berukuran 0,074 mm sampai 5 mm, berkisar dari
kasar (3-5 mm) sampai halus (kurang dari 1 mm).
d) Lanau (silt), partikel batuan berukuran dari 0,002 mm sampai 0,074 mm. Lanau
dan lempung dalam jumlah besar ditemukan dalam deposit yang disedimentasikan
ke dalam danau atau di dekat garis pantai pada muara sungai.
e) Lempung (clay), partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari 0,002 mm.
Partikel-partikel ini merupakan sumber utama dari kohesi pada tanah yang kohesif.
f) Koloid (colloids), partikel mineral yang “diam” yang berukuran lebih kecil dari
0,001 mm.

5
Foth, H. D., 1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Purbayanti, E. D., D. R. Lukiwati, dan R.
Trimulatshih., penerjemah; Hudoyo. A. B., penyunting. Terjemahan dari: Fundamental of
Soil Science. Yogyakarta : UGM Press.
Politik Agraria | 4
Aspek dalam menguasai suatu tanah adalah merupakan salah satu bentukpolitik
Agraria, serta dengan memiliki tanah adalah salah satu bentuk kesejahteraan suatu
masyarakat. Maka dari itu sebagai masyarakat yang baik dan taat aturan agar memiliki
surat kepemilikan tanah yang diurus oleh pemerintah setempat agar
pemanfaatannyaatau pengguanaanya tidak dapat menimbulkan sengketa yang
berkelanjutan, sehingga dengan mempunyai surat kepemlikan tanah yang sah,
contohnya berupa sertifikat yang dilakukan dengan jual-beli, maka akan terhindar dari
sengketa tanah.
Selanjutnya menurut pendapat Sangsun dalam bukunya yang berjudul Tata Cara
Mengurus sertifikat Tanah disebutkan bahwa : “peralihan hak-hak atas tanah sangat
erat kaitannya dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), karena dalam pemindahan
hak atas tanah melalui jual beli, maupun memalui pewarisan, pemisahan hak bersama,
dan yang lainya untuk memperoleh kepastian hukum atas sebidang tanah memerlukan
perangkat hukum yang tertulis, lengkap, jelas, dan dilaksanakan secara konsisten sesuai
dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hal tersebut dapat tercapai melalui
pendaftaran tanah6
Dalam kehidupan era modern seperti ini saja, masih marak masyrarakat yang buta
hukum, kurang pemahaman akan pentingnya sertifikat tanah, maka tidak jarang adanya
suatu perselisihan perdata tentang kepemilikan sebidang tanah yang tidak mempunyai
sertifikat, padahal sertifikat adalah salah satu tanda bukti. Menurut KBBI sertifikat
diartikan sebagai surat keterangan tanda buktipemegang atas hak atas tanah dan
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dengan penerbitan sertifikat tanah hakatas
tanah bahwa telah menerangkan seseorang itu mempunyai hakatas suatu bidang tanah.
Salah satu hak kebendaan atas tanah yang diatur dalamPasal 16 ayat (1) UUPA
adalah hak milik hak atas tanah yang paling kuat dan terpenuh.terkuat menunjukan
bahwa jangka waktu hak milik tidak terbatas, serta hakk milik juga terdaftar dengan
adanya “tanda bukti hak” sehingga memiliki kekuatan. Terpenuh maksudnya hak milik
memberi wewenang kepada empunya dalam hal peruntukannya tidak terbatas.6Dalam
Pasal 19 Ayat 2 huruf c UUPA bahwa pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Maksud bunyi pasal diatas dengan
adanyasertifikat menentukan kepemilikan bidang tanah dan merupakan alat bukti yang
kuat. Menurut teorikepastian hukum yang dianut oleh Otto teori kepastian hukum
dibagi kedalam tiga poin, dimana salah satunya menyebutkan “Warga secara prinsipil
menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut.”

B. Sejarah Manusia Dengan Tanah


Tanah merupakan sumber kehidupan bagi manusia, dengan tanah manusia dapat
berpijak dalam melakukan semua aktifitasnya sehari-hari, dan seperti kita ketahui
bahwa pada kenyataannya tanah adalah benda mati akan tetapi mempunyai sumber
nilai dan manfaat yang sangat signifikan bagi seluruh umat manusia yang ada di muka
bumi ini.

6
Sangsun, 2008, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visi media, Jakarta, hlm.10
Politik Agraria | 5
Tanah juga merupakan faktor terpenting bukan saja di saat manusia masih hidup
tetapi disaat manusia meninggal dunia, membutuhkan tanah sebagai tempat
peristirahatan yang terakhir. Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia adalah
bahwa kehidupan manusia sama sekali tidak bisa dipisahkan dari tanah. Mereka hidup
di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah 7 Hal
ini dapat di lihat dalam kehidupan masyarakt Indonesia pada masing-masing wilayah
tempat tinggal dan selain pada masyarakat Indonesia, tanah juga berdampak pada
pemerintah yang dalam hal ini pemerintah mempunyai kewenangan untuk menguasai
tanah di pergunakan dan diperuntukan pada masyarakat tapi kenyataan yang terjadi
masyarakat banyak di rugikan oleh pemerintah.
Sebagaimana yang sudah di jelakan diatas, maka keberadaan kehidupan
masyarakat dengan tanah merupakan suatu hubungan antara tanah dan penguasanya,
dalam hal ini adalah masyarakat hukum adat, dalam kehidupan sehari-hari menjalankan
aktifitas mereka berdasarkan aturan dan norma yang berbeda-beda sesuai dengan adat
tradisi yang dianut oleh masing-masing masyarakt hukum adat yang terpencar pencar
di seluruh belahan jiwa bangsa Indonesia.
Menurut J.B.A.F. Polak, bahwa hubungan manusia dengan tanah sepanjang sejarah
terjadi dalam 3 (tiga) tahap berikut ini.8 Yaitu :
1. Tahap pertama, yaitu tahap di mana manusia memperoleh kehidupannya dengan
cara memburu binatang, mencari buah-buahan hasil hutan, mecari ikan di sungai
atau di danau. Mereka hidup tergantung dari persediaan hutan, mereka hidup
mengembara dari tempat yang satu ke tempat yang lain
2. Tahap kedua, yaitu bahwa pada tahap ini manusia sudah mulai mengenal cara
bercocok tanam. Manusia mulai menetap di suatu tempat tertentu selama
menunggu hasil tanaman. Ikatan terhadap tanahpun semakin erat oleh karena cara
beternak yang dikenal manusia dan bersamaan dengan pengenalan cara bercocok
tanam.
3. Tahap ketiga, yaitu tahap di mana manusia mulai menetap di tempat tertentu dan
tidak ada lagi perpindahan peroidik. Manusia sudah mulai terikat pada penggunaan
ternak untuk membantu usaha-usaha pertanian, untuk kelangsungan hidupnya
sudah mulai dari hasil pertanian dan peternakan. Juga, pada tahap ini manusia
mulai terjamin hidupnya dengan mengandalkan hasil - hasil pertanaian dan
peternakan daripada hidup mengembara. Mulai juga merasakan adanya surplus
hasil-hasil produksi, corak pertanian, mengelola sendiri, menunggu hasil pertanian
untuk jangka waktu yang lama, kemudian memungut hasilnya yang kemudian
mendorong ke arah pemilikan tanah (individual), meskipun masih tunduk pada
kehidupan persekutuan. Pada saat ini manusia mulai menetap dan mengenal
pertukangan, terdapat surplus hasil pertanaian dan kerajinan pada kelompok hidup
orang-orang yang telah menetap. Keadaan ini mendorong lahirnya kelompok
orang-orang yang mulai mengkhususkan dirinya sebagai penjaga keamanan dan
melindungi masyarakat dari gangguan keamanan dari perampok.

7
Muhibbin, Moh. (2011). Penguasaan atas tanah timbul ( aanslibbing ) oleh masyarakat
dalam perspektif hukum Agraria Nasional,Ringkasan Disertasi, Program Doktor Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, h.1.
8
Soeprapto, R.(1966). Undang-Undang Agraria Dalam Praktek, Jakarta, Mitra Sari, h. 36.
Politik Agraria | 6
Berdasarkan tahap-tahap hubungan manusia dengan tanah yang dikemukakan oleh
J.B.A.F. Polak tersebut, dapat dikemukan bahwa hubungan manusia dengan tanah
pada awalnya adalah pendudukan sebagai dasar usaha untuk menjadi sumber
Penghidupannya. Kemudian berkembang pengurusan yang berkaitan dengan
pemanfaatannya, dan akhirnya berkembang kepada penguasaan atas tanah. Dengan
berkembangnya penduduk, kebutuhan tanah semakin luas yang dikuasai.9
Selain mempunya arti yang sangat penting bagi manusia, tanah juga mempunyai
kedudukan yang penting bagi kehidupan masyarakat hukum adat secara komunal
maupun secara individu, Hukum adat mengenal adanya 2 (dua) hal yang menyebabkan
tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam hukum adat yang
disebabkan oleh:
1. Karena sifatnya, yang merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun
mengalami keadaan yang bagaimanapun juga akan tetap masih bersifat tetap dalam
keadaannya bahkan menjadi lebih menguntungkan
2. Karena faktanya, yaitu kenyataannya bahwa tanah itu adalah: a.Merupakan tempat
tinggal persekutuan (masyarakat) b.Memberikan penghidupan kepada persekutuan
(masyarakat) c.Merupakan tempat dimana para warga persekutuan (masyarakat)
yang meninggal dunia dikuburkan d.Merupakan tempat tinggal bagi para danyang -
danyang pelindung persekutuan (masyarakat) dan roh - roh para leluhur
persekutuan (masyarakat).
Berdasarkan uraian-uraian yang tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa tanah dan
masyarakat hukum adat yang berlaku sebelum kemerdekaan dan sebelum berlakunya
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (selanjutnya
disebut UUPA) adalah tanah adat yang dikuasai berdasarkan pada adat-istiadat masyarakat
persekutuan hukum adat baik secara komunal maupun secara individualitis dengan cara
membuka hutan, yang merupakan hak manusia sebagai mahkluk sosial.
Persoalan tanah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat selama mereka
masih hidup dalam wilayah yang dihakinya tidak terlepas dari adat-istiadat, hukum adat,
persekutuan dan anggota persekutuan. Dalam sistim hukum yang dianut oleh Indonesia
yaitu hukum tertulis (statuta law), Indonesia juga menganut hukum yang tidak tertulis
(unstatuta law), yaitu hukum adat, menurut Koesnoe10
Adat adalah keseluruhan dari pada ajaran-ajaran dan amalannya yang mengatur cara
hidup orang Indonesia didalam masyarakat, ajaran dan amalan mana langsung dilahirkan
dari pada tanggapan rakyat, tentang manusia dan dunia, dalam hubungan ini adat adalah
tatanan hidup rakyat Indonesia Indonesia yang bersumber pada pada rasa susilanya.

9
Samosir, Djamanat. (2013). Hukum Adat Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan
Hukum Di Indonesia, Cetakan I, Bandung: Nuansa Aulia, h. . 99-100.
10
Koesnoe, H.Moh.(2002). Kapita Selekta Hukum Adat Suatu Pemikiran Baru, Varia Peradilan, Jakarta:
IKAHI, h.6.
Politik Agraria | 7
C. Geografi dan Demografi
Negara kesatuan Republik Indonesia yang membentang dari Barat ke Timur pada
antara garis Bujur Timur 95o- 141o atau kurang lebih 5.000 Km, yang berarti LU-11 o
L.S., atau sekitar 1.887 Km. Indonesia adalah negara kepulauan, yang dua pertiga dari
wilayahnya berupa laut. Luas teritorial Indonesia dengar perhitungan bbatas laut 12 mil
adalah sekitar 700 juta Ha. Luas daratan adalah sekitar 192,3 juta Ha (termasuk
Propinsi Timor Timur). Daratan tersebut berupa pulau-pulau, yang jumlahnya lebih dari
13.000 buah. Pulau-pulau yangjumlahnya 13.000 itu terdiri dari pulau-pulau besar dan
kecil, pulau-pulau yang luas antara lain : 11
Pulau Kalimantan 59 Juta Ha;
Irian Jaya 42 Juta Ha;
Sumatra 47 Juta Ha;
Sulawesi 19 Juta Ha;
Jawa dan Madura 13 Juta Ha;
Dari luas tanah tersebut yang telah dimanfaatkan dalam komposisi sebagai berikut:
Dari jumlah 192 Juta Ha daratan di Indonesia, yang telah diusahakan baru 28,3 juta Ha
atau sekitar 15% saja. Tanah yang sudah diusahakan itu berupa sawah 6 juta Ha, kampung
2,5 juta Ha, tanah kering 14 juta Ha dan perkebunan 164 Ha. Sedangkan sebagian besar
yang belum diusahakan untuk pertanian meliputi 164 juta Ha yang terdiri dari hutan 149
Ha, dan lain-lain 15 Ha berupa padang alang-alang, rumput semak belukar, dan rawa-rawa.
Jumlah penduduk pada sensus tahun 1980 di ndonesia 147 juta dengan rata-rata
perkembangan/pertambahan sekitar 2,34% (1971-1980). Kepadatan penduduk tidak
merata. Yang terpadat adalah :
Jawa 690 jiwa/Km2
Sumatra 59 jiwa/Km2
Kalimantan 12 jiwa/Km
Jumlah Kepala Keluarga sekitar 30 juta, sehingga rata-rata tiap Kepala Keluarga
terdiri dari 4,9 jiwa. Sekitar 803 dari rumah-tangga tersebut bermata pencaharian
sebagai petani. Dengan demikian bisa disebut bahwa ekonomi Indonesia masih
ditentukan oleh kegiatan agraris.
Geografi berasal dari bahasa yunani, yaitu geo(s) dan graphein. Geo(s) artinya
bumi, graphein artinya menggambarkan, mendeskripsikan ataupun mencitrakan.
Secara harfiah Geografi berarti ilmu yang menggambarkan tentang bumi. Menurut
Bintarto, Geografi adalah ilmu yang mempelajari/ mengkaji bumi dan segala sesuatu
yang ada di atasnya, seperti penduduk, flora, fauna, iklim, udara dan segala
interaksinya. Menurut seminar dan Lokakarya Ikatan Geografi Indonesia
(SEMILOKA IGI) tahun 1989, Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang
persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dalam sudut pandang kelingkungan dan
kewilayahan dalam konteks keruangan12.
Geografi mempunyai dua obyek penelitian, yaitu obyek formal dan obyek
material; Obyek formal adalah dari sudut padang mana kajian ilmu tersebut dilihat,
sedangkan Obyek material adalah apa yang dipelajari oleh ilmu tersebut. Obyek formal
geografi mencakup pendekatan yang digunakan dalam memecahkan suatu persoalan
geografi, sedangkan obyek material geografi adalah geosfer. Geosfer adalah lapisan-
lapisan bumi, yang mencakup :

11
Soetomo, SH, Politik & Administrasi Agraria (Surabaya, Usaha Nasional) hal 11-12
12
Dikutip dari Modul Belajar Gepgrafi, oleh Hendro Murtianto

Politik Agraria | 8
1. Lapisan Kulit/ Kerak Bumi (lithosfer)
2. Lapisan Udara (atmosfer)
3. Lapisan Air (hidrosfer)
4. Lapisan Mahluk Hidup (biosfer)
5. Lapisan Manusia (antroposfer)
Geografi Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004; lihat
pula: jumlah pulau di Indonesia), sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni tetap,
menyebar sekitar katulistiwa, memberikan cuaca tropis. Pulau terpadat penduduknya
adalah pulau Jawa, di mana lebih dari setengah (65%) populasi Indonesia. Indonesia
terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya
dan rangkaian pulau-pulau ini disebut pula sebagai kepulauan Nusantara atau
kepulauan Indonesia.Peta garis kepulauan Indonesia, Deposit oleh Republik Indonesia
pada daftar titik-titik koordinat geografis berdasarkan pasal 47, ayat 9, dari Konvensi
PBB tentang Hukum Laut.
Indonesia memiliki lebih dari 400 gunung berapi and 130 di antaranya termasuk
gunung berapi aktif. Sebag`ian dari gunung berapi terletak di dasar laut dan tidak
terlihat dari permukaan laut. Indonesia merupakan tempat pertemuan 2 rangkaian
gunung berapi aktif (Ring of Fire). Terdapat puluhan patahan aktif di wilayah
Indonesia. Catatan Geografi di kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.504 pulau (6.000
dihuni); dilintasi katulistiwa; di sepanjang jalur pelayaran utama dari Samudra Hindia
ke Samudra Pasifik.13Peta kepadatan penduduk (Demografi) Indonesia berdasarkan
sensus penduduk tahun 2010 memiliki jumlah penduduk sebesar 237.641.326 juta
jiwa, menjadikan negara ini negara dengan penduduk terbanyak ke-4 di dunia. Jumlah
ini diperkirakan akan terus bertambah sehingga diproyeksikan pada tahun 2015
penduduk Indonesia berjumlah 255 juta jiwa hingga mencapai 305 juta jiwa pada
tahun 2035.Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia, dengan lebih
dari 107 juta jiwa tinggal di daerah dengan luas sebesar New York.
Indonesia memiliki budaya dan bahasa yang berhubungan namun berbeda. Sejak
kemerdekaannya Bahasa Indonesia (sejenis dengan Bahasa Melayu) menyebar ke
seluruh penjuru Indonesia dan menjadi bahasa yang paling banyak digunakan dalam
komunikasi, pendidikan, pemerintahan, dan bisnis. Namun bahasa daerah juga masih
tetap banyak dipergunakan.
Dari segi kependudukan, Indonesia masih menghadapi beberapa masalah besar
antara lainPenyebaran penduduk tidak merata, sangat padat di Jawa - sangat jarang di
Kalimantan dan Irian.Piramida penduduk masih sangat melebar, kelompok balita dan
remaja masih sangat besar.Angkatan kerja sangat besar, perkembangan lapangan kerja
yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah penambahan angkatan kerja setiap
tahun.Distribusi Kegiatan Ekonomi masih belum merata, masih terkonsentrasi di
Jakarta dan kota-kota besar dipulau Jawa.Pembangunan Infrastruktur masih tertinggal;
belum mendapat perhatian serius. Indeks Kesehatan masih rendah; Angka Kematian
Ibu dan Angka Kematian Bayi masih tinggi.
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak 237 641 326 jiwa,
yang mencakup mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118 320
256 jiwa (49,79 persen) dan di daerah perdesaan sebanyak 119 321 070 jiwa (50,21
persen).Penyebaran penduduk menurut pulau-pulau besar adalah pulau Sumatera yang
luasnya 25,2 persen dari luas seluruh wilayah Indonesia dihuni oleh 21,3 persen
penduduk, Jawa yang luasnya 6,8 persen dihuni oleh 57,5 persen penduduk,

13
Wikipedia, (Lihat: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia, diakses : 06 Maret 2021, Pukul 15.30 Wib)

Politik Agraria | 9
Kalimantan yang luasnya 28,5 persen dihuni oleh 5,8 persen penduduk, Sulawesi yang
luasnya 9,9 persen dihuni oleh 7,3 persen penduduk, Maluku yang luasnya 4,1 persen
dihuni oleh 1,1 persen penduduk, dan Papua yang luasnya 21,8 persen dihuni oleh 1,5
persen penduduk.14
Para pemakai data kependudukan, khususnya para perencana, dan pengambil
kebijakansangat membutuhkan data penduduk yang berkesinambungan dari tahun ke
tahun. Sayangnya sumber data penduduk yang tersedia hanya secara periodik, yaitu
Sensus Penduduk (SP) pada tahun-tahun yang berakhiran dengan angka 0 (nol) dan
Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) pada pertengahan dua sensus atau tahun-
tahun yang berakhiran dengan angka 5 (lima). Sumber data kependudukan lain yaitu
registrasi penduduk masih belum sempurna cakupan pencatatannya sehingga datanya
belum dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan nasional15. Seperti diketahui
bahwa hampir semua rencana pembangunan perlu ditunjang dengandata jumlah
penduduk, persebaran dan susunannya menurut kelompok umur penduduk yang
relevan dengan rencana tersebut. Data yang diperlukan tidak hanya menyangkut
keadaan pada waktu rencana itu disusun, tetapi juga informasi masa lampau dan yang
lebih penting lagi adalah informasi perkiraan pada waktu yang akan datang. Data
penduduk pada waktu lalu dapat diperoleh dari hasil survei dan sensus, sedangkan
untuk memenuhi kebutuhan data penduduk pada saat ini dan masa yang akan datang
perlu dibuat proyeksi penduduk, yaitu perkiraan jumlah penduduk dan komposisinya
di masa mendatang.
Proyeksi penduduk bukan merupakan ramalan jumlah penduduk tetapi suatu
perhitunganilmiah yang didasarkan pada asumsi dari komponen-komponen laju
pertumbuhan penduduk, yaitu kelahiran, kematian, dan perpindahan. Ketiga
komponen inilah yang menentukan besarnya jumlah penduduk dan struktur umur
penduduk di masa yang akan datang. Untuk menentukan masingmasing asumsi
diperlukan data yang menggambarkan tren di masa lampau hingga saat ini,
faktorfaktor yang mempengaruhi komponen-komponen itu, dan hubungan antara satu
komponen dengan yang lain serta target yang diharapkan tercapai pada masa yang
akan datang.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah beberapa kali membuat proyeksi penduduk
berdasarkan data hasil SP71, SP80, SP90, SP2000 dan SUPAS85, SUPAS95, dan
SUPAS2005. Proyeksi penduduk yang terakhir dibuat adalah proyeksi penduduk
berdasarkan hasil SUPAS 2005 yang mencakup periode 2000-2025. Hasil SP 2010
mengkoreksi jumlah penduduk pada proyeksi penduduk 2000-2025. Dalam rangka
memenuhi kebutuhan data bagi keperluan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang diperlukan data jumlah penduduk sampai
dengan tahun 2035. Oleh karena itu, dipersiapkan proyeksi penduduk berdasarkan SP
2010 mencakup periode 2010–2035. Data dasar perhitungan proyeksi ini adalah data
penduduk hasil SP 2010 yang telah dilakukan penyesuaian ke bulan Juni 2010 dan
asumsi-asumsi yang dibentuk selain menggunakan data SP 2010 juga menggunakan
hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).

14
Wikipedia, (Lihat: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Demografi_Indonesia, diakses : 07 Maret 2021, Pukul 16.00 Wib)
15
Dikutip dari Buku Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035

Politik Agraria | 10
Proyeksi penduduk Indonesia menurut umur, jenis kelamin, dan provinsi yang
disajikan dalam publikasi ini merupakan angka final dan mencakup kurun waktu 25
tahun, mulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2035. Pembuatan proyeksi dengan kurun
waktu yang panjang ini dimaksudkan agar hasilnya dapat digunakan untuk berbagai
keperluan terutama untukperencanaan jangka panjang. Disisipkan pula proyeksi kilas
balik untuk memenuhi tren masa laluhingga masa yang mendatang. Dengan terbitnya
publikasi ini, maka proyeksi-proyeksi sebelumnyayang masih mempunyai tahun
rujukan yang sama dengan publikasi ini dinyatakan tidak berlaku lagi.16
Terdapat 4 sifat dasar iklim Indonesia yang ditemukan oleh faktor-faktor letak dan
sifat kepulauan, yaitu :
1. Suhu rata-rata tahunan sebagai akibat daripada letak “dekat” khatulistiwa
2. Ada hembusan angina musim yang membawa musim hujan dan musim kemarau
sebagai akibat daripada perbedaan tekanan udara di daratan dan lautan
3. Bebas dari hembusan angina taufan karena kepaulauan Indonesia sebagai besar
terletak tidak lebih dari 10 LU / 10 LS
4. Kadar kelembaban udara senantiasa tinggi sebagai akibat dari sifat kepulauan.
Luasnya lautan dan selat-selat serta suhu yang selalu tinggi mengakibatkan
jumlah penguapan selalu tinggi pula

Berdasarkan paparan diatas tentunya terdapat pengaruh yang timbul akibat dari
letak astronomis tersebut, yang antara lain dapat dibagai berdasarkan :
1. Garis Lintang
a. Seluruh wilayah Indonesia terletak di dearah beriklim tropic (panas), hal ini
dikarenakan letak Indonesia sendiri yang terletak pada lintang rendah
b. Kelembaban udara rata-rata tinggi, hal ini dikarenakan pulau-pulau di
Indonesia mudah dipengaruhi peredaran udara yang dating dari laut-laut yang
mengelilinginya, sehingga banyak menerima hujan
c. Karena banyak menerima hujan hal ini menyebabkan wilayah Indonesia kaya
akan flora dan fauna.
2. Garis Bujur
a. Merupakan negara yang ada di bagian bumi sebelah timur.
Adanya perbedaan waktu tiap daerah, hal ini berdampak pada aktivitas penduduk.
Dimana penduduk yang berada di daerah bagian timur lebih dulu melakukan aktivitas
dibandingkan penduduk yang berada dibagian barat.

16
Ibid

Politik Agraria | 11
D. Pengertian Agraria
Sebutan agraria tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dalam bahasa latin ager
artinnya tanah atau sebidang tanah Agrarius berarti persawahan, perladangan,
pertanian17
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanian atau
tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.Sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris
agrarianselalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Sebutan
agraria laws juga seringkali dipergunakan untuk mengarah kepada perangkat peraturan-
peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanahyang luas dalam
rangkameratakan penguasaan dan pemilikannya.
Pengertian agraria juga dapat dilihat dari segi terminologi bahasa, pengertian
agraria dapat juga ditemukan pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal
tersebut diketemukan apabila membaca peraturandan pasalyang terdapat didalam
peraturan Undang-undang Pokok Agraria.Hukum agraria mempunyai arti atau makna
yang luas. Pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi
dibawahnya serta yang berada dibawah air (pasal 1 ayat (4). Pasal 4 ayat (1))
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam campuran atau gabungan antara
sumber daya alam hayati dan non hayati. Tanah bisa menjadi sumber daya alam
terperbaharui selama unsur-unsur atau komponen-komponen hayati tanah dapat
dipelihara dandipertahankan. Tanah mempunyai peranan penting dalam hidup dan
kehidupan masyarakat diantaranya sebagai perumahan dan jalan. Tanah merupakan
tempat pemukiman dari sebagian besar umat manusia, disamping sebagai sumber
penghidupan bagi manusia yang mencari nafkah melalui usaha tani dan perkebunan,
yang akhirnya tanah juga yang dijadikan persemayaman terakhir bagi seseorang yang
meninggal dunia18
Tanah yang terdiri atas ke bawah berturut-turut dapat sisiran garapan dengan
sedalam bajak lapisan pembentuk humusdan lapisan dalam disebut dengan tanah
bangunan. Tanah bangunan merupakan tanah yang digunakan untuk mendirikan sebuah
bangunan diatasnya. Tanah garapan disebut juga sebagai tanah pertanian, tanah
pekarangan, tanah garapan juga dimanfaatkan untuk menanamitumbuhan dan
merupakan bagian dari lapisan bumi yang paling atas. Hal tersebut sesuai dengan
pengertian tanah secara geologis-agronomis.

Boedi Harsono, 2013, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Universitas Trisakti, hlm.4
17

Abdurrahman, 1983. Masalah Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Bandung,
18

Alumni, hlm.1

Politik Agraria | 12
E. Pengertian Hukum Agraria
Menurut Soedikno Mertokusumo, Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-
kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur Agraria.
Bachsan Mustofa menjabarkan kaidah hukum tertulis adalaha Hukum Agraria dalam
bentuk hukum undang-undang dan peraturan-peraturan tertulis lainnya yang dibuat
oleh Negara, sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis adalah Hukum Agraria dalam
bentuk Hukum Adat Agraria yang dibuat oleh masyarakat adat setempat dan yang
pertumbuhan, perkembangan, serta berlakunya dipertahankan oleh masyarakat adat
yang bersangkutan. Hukum agraria tidak hanya mengatur tentang tanah saja, tetapi
lingkupnya meliputi seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Sedangkan hukum tanah hanya menyangkut pengaturan
tentang tanah yakni permukaan bumi. Oleh sebab itu, hukum agraria merupakan genus
dari spesies hukum tanah atau hukum agraria meliputi pula hukum tanah dan hukum
tanah merupakan bagian dari hukum agraria (Urip, 2012 : 5).19
Menurut Soebakti dan R. Tjitrosoedibio, Hukum Agraria, adalah keseluruhan dari
ketentuan – ketentuan hukum, baik Hukum Perdata maupun Hukum Tata Negara
maupun pula Hukum Tata Usaha Negara yang mengatur hubungan – hubungan antara
orang termasuk badan hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh
wilayah Negara dan mengatur pula wewenang – wewenang yang bersumber pada
Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum
Agragia merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing – masing
mengatur hak – hak penguasaan atas sumber – sumber daya alam tertentu yang
termasuk pengertian agrarian. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas
(Urip, 2012 : 6) : 20
a. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti
permukaan bumi.
b. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
c. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak – hak penguasaan atas bahan –
bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan.
d. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam
yang terkandung di dalam air.
e. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-Unsur dalam Ruang Angkasa,
mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa yang dimaksudkan oleh pasal 48 UUPA.

19
Darwin Ginting, Politik Hukum Agraria Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Indonesia (Jurnal Hukum
dan Pembangunan Tahun ke-42 No.1 Januari-Maret 2012)
20
Dr. Urip Santoso, S.H., M.H. Hukum Agraria Kajian Komprehensif (Prenada Media,
Jakarta, 2012) hal 5.

Politik Agraria | 13
Menurut E. Utrecht yang dikutip oleh Boedi Harsono, Hukum Agraria dakam arti
yang sempit sama dengan Hukum Tanah. Hukum Agraria dan Hukum Tanah menjadi
bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang menguji perhubungan – perhubungan
hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas
mengurus soal – soal tentang agraria, melakukan tugas mereka itu.
Termasuk pula dalam kajian Hukum Agraria adalah Hukum Kehutanan yang
mengatur hak–hak penguasaan atas hutan (hak penguasaan hutan) dan hasil hutan (hak
memungut hasil hutan). Hukum Agraria dari segi objek kajiannya tidak hanya
membahas tentang bumu dalam arti sempit yaitu tanah, akan tetapi membahas juga
tentang pengairan, pertambangan, perikanan, kehutanan, serta pengguasaan atas tenaga
dan unsur – unsur dalam luar angkasa (Aminuddin, 2011).21
G. Kartasapoetra menyatakan bahwa : “hukum agraria adalah hukum yang
mempersoalkan masalah pertanahan atau yang terdiri dari sekumpulan norma yang
mengatur manusia dalam masalah pertanahan agar tanah tersebut bermanfaat bagi
kesejahteraan manusia.” Definisi ini ternyata sangat sempit karena penyebutan “tanah”
padahal hukum agraria meliputi tidak hanya tanah atau permukaan bumi saja tetapi
juga meliputi air, ruang angkasa dan kekayaan alam lainnya (Darwin, 2012).22
Pengertian Hukum Agraria menurut Boedi Harsono adalah Keseluruhan kaidah-
kaidah hukum, baik itu tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai
agraria.Agraria ini meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
bahkan dalam batas-batas yang ditentukan, serta mengenai ruang angkasa.
Menurut Gouw Giok Siong, Pengertian Hukum Agraria adalah keseluruhan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai agraria secara lebih luas, tidak hanya
mengenai tanah saja. Misalnya persoalan jaminan tanah untuk hutang, seperti ikatan
kredit atau ikatan panen, sewa menyewa antar golongan, pemberian izin untuk
peralihan hak-hak atas tanah dan barang tetap dan sebagainya.
S. J. Fockema Andrea mengemukakan pengertian hukum agraria, Hukum Agraria
ialah keseluruhan peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian, tersebar
dalam berbagai bidang hukum (hukum perdata dan hukum pemerintahan) dimana
disajikan sebagai suatu kesatuan untuk keperluan studi tertentu yang bertalian dengan
pertanian dan pemilikan hak atas tanah.
Pengertian Hukum Agraria menurut E Utrecht, Hukum Agraria adalah bagian dari
hukum tata usaha negara atau hukum administrasi negara yaitu hukum yang menguji
hubungan-hubungan hukum istimewa yang diadakan untuk memungkinkan pejabat
atau petugas mengurus soal-soal agraria.
Menurut Lemaire, Hukum agraria berisi segi-segi hukum perdata, hukum tata
negara dan hukum tata usaha negara dan dibicarakan secara golongan hukum
tersendiri.Dalam Seminar Tata Guna Sumber Alam 1 pada Tahun 1967, Pengertian
Hukum Agraria adalah hukum yang mengatur tanah dan hak-hak agraria lainnya,
wewenang menggunakan tanah, hubungan manusia dengan tanah.Objeknya ialah tanah
dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanah dan lingkungan sekitarnya.
Menurut C.S.T Kansil hukum agraria didefinisikan sebagai berikut : hukum
agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur agraria.” Sedangkan agraria menurut Kansil meliputi bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bahkan didalam batas-batas yang
ditentukan juga ruang angkasa. Kaidah-kaidah hukum yang dimaksud adalah norma
baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Norma yang tidak tertulis adalah hukum adat
yang bersangkut paut dengan masalah pertanahan (Darwin, 2012).23

21
Ibid, Urip Santoso, hal 6
22
Darwin Ginting, Politik Hukum Agraria Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Indonesia (Jurnal Hukum
dan Pembangunan Tahun ke-42 No.1 Januari-Maret 2012)
23
Darwin Ginting, Politik Hukum Agraria Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Indonesia (Jurnal Hukum
dan Pembangunan Tahun ke-42 No.1 Januari-Maret 2012)

Politik Agraria | 14
Ruang lingkup Hukum Agraria dalam ketentuan UU pokok agraria meliputi bumi,
air dan juga kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, bahkan dalam batas-batas
tertentu juga meliputi ruang angkasa.Jadi, dapat disimpulkan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam lainnya, serta ruang angkasa merupakan bagian dari ruang lingkup
hukum agraria (Aminuddin, 2011).24
Kata agraria mempunyai arti yang berbeda antara bahasa satu dengan yang
lainnya. Dalam bahasa latin agraria berasal dari kata agger dan agrarius. Kata agger
berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius memiliki arti sama dengan
perladangan, persawahan, pertanian. Dalam bahasa indonesia terminologi agraria
berarti urusan tanah, pertanian, perkebunan. Dalam bahasa inggris kata agraria
diartikan agrarian yang berarti tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian.
Pengertian agrarian sama dengan agrarian laws bahkan sering digunakan untuk
menunujuk kepada seperangkat peraturan hukum yang bertujuan mengadakan
pembagian tanah yang luas dalam rangka pemerataan penguasaan dan kepemilikan
tanah. Selain dari segi terminologi pengertian agraria dapat diketemukan dalam
konsiderans dan pasal-pasal dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria).Dalam
UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) pengertian agraria meliputi bumi, air, ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.(Pasal 1 ayat 2).
Politik hukum agraria tidak lain adalah kewenangan atau kekuasan untuk mengatur
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan unsur-unsur agraria yang
meliputi bumi, air dan ruang angkasa (dalam batas-batas tertentu) yang tertuang dalam
kebijakan (policy) yang dalam kenyataanya tertuang di dalam kaidah-kaidah hukum
agraria. Dalam konteks Indonesia, politik hukum agraria nasional harus ditujukan
kepada kebahagiaan dan kemakmuran rakyat Indonesia berdasarkan falsafah bangsa
yaitu Pancasila. Kemudian, politik hukum agraria nasional tersebut dijelmakan dalam
sebuah aturan undang-undang untuk dijadikan dasar hukum bagi pelaksanaan politik
agraria tersebut, dengan konsekuensi harus dapat melenyapkan dualisme hukum dalam
pemberlakuan politik agraria, sehingga kepentingan dalam pola kepemilikan,
penguadaan dan penggunaan tanah serta kesengsaraan petani tidak terulang kembali di
masa-masa kemerdekaan ini yang sesuai dengan tujuan cita-cita dari politik hukum
agraria (Muchsin, 2010).25
Sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya, maka dalam pengertian UUPA
Hukum Agraria bukan hanya meru-pakan satu perangkat bidang hukum. Hukum
agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agrar-ia
merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur
hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu. Kelompok tersebut terdiri
atas :
a. Hukum tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti
permukaan bumi;
b. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
c. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak pen-guasaan atas bahan-bahan
galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok pertambangan;
d. Hukum perikanan yang mengatur hak-hak pengua-saan atas kekayaan alam
yang terkandung didalam air
e. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, mengatur
hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang
dimaksudkan oleh pasal 48 UUPA (Boedi Har-sono, 1999: 8).

24
Aminuddin Salle, dkk. Bahan Ajar Hukum Agraria (Penerbit ASPublishing : Makassar, 2011)
25
Muchsin, dkk, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, (Bandung : PT Refika Aditama, 2010)

Politik Agraria | 15
Hukum agraria menurut Bachsan Mustofa adalah kaidah hukum yang tertulis
adalah hukum agraria dalam bentuk hu-kum undang-undang dan peraturan-peraturan
yang tertulis lainnya yang dibuat oleh negara. Sedangkan kaidah hukum yang tidak
tertulis adalah hukum agraria dalam bentuk hukum adat agraria yang dibuat oleh
masyarakat adat setempat dan yang pertumbuhan, perkembangan serta berlakunya
dipertah-ankan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Pengertian dari hukum agraria tersebut berdasarkan berbagai rumusan dapat
ditemukan dalam Undang-Undang Pokok Agraria(UUPA), pasal dan penjelasan
Undang-Undang Pokok Agraria atau Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.Penjelasan
yang didefinisasikan oleh para ahli tentang menjelaskan tentang hukum agraria
adalahGouwgiokssiong dalam Buku Agrarian Law 1972, menjelaskan bahwa agraria
merupakan hukum yang identik dengan tanah.Buku pengantar dalam Hukum Indonesia
16, E. Utrecht memberikan definisiyang sama terhadap hukum agraria dan hukum
tanah, bahwa hukum agraria menjadi hukum tata usaha negara.
W.L.G Lemaire dalam buku Het Recht in Indonesia1952 membahas hukum agraria
adalah suatu kelompok hukum yang meliputi bagian dari hukum privat maupun bagian
dari hukum tata negara serta HAN, sedangkan Bachsan Mustafa, SH., memberikan
definisibahwa hukum agraria adalah sebagai himpunan aturan yang mengatur
bagaimana pejabat pemerintah dalam menjalankan tugas di bidang agraria.Boedi
Harsono, memberikan definisi terhadap hukum agraria bahwa hukum agraria bukan
hanya satu perangkat bidang hukum saja. Hukum agraria merupakan satu kelompok
berbagai bidang hukum yang mengatur penguasaan atas sumber daya alam tertentu
yang termasuk didalam definisi agraria.
Berbagai definisi tentang hukum agraria tersebut dapat kita ketahui bahwa
sebenarnya hukum agraria memiliki definisi baik dalam pengertian hukum agraria
secara luas maupun pengertian hukum agraria secara sempit.Berkaitan dengan
pengertian hukum agraria tersebut, pokok tujuandari adanyaUUPA, adalah:
1. Membuat dasar bagi penyusunan dari hukum agraria nasional yang merupakan alat
untuk membawakan kebahagiaan, kemakmuran dan keadilan bagi negara serta
rakyat terutama petani, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur;
2. Membuat dasar untuk mengadakan kesatuan, serta kesederhanaan pada hukum
pertanahan nasional;
3. Membuat dasar untuk memberi kepastian hukum tentang hak-hak atas tanah bagi
masyarakat keseluruhan.
4. Sumber hukum agraria nlainnya merupakan peraturan pelaksanaan UUPA dan
peraturan yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan melainkan diperlukan
dalam praktek.Peraturan lama dengan syarat tertentu berdasakan peraturan atau
pasal peralihan yang masih berlaku.Hukum agraria yang tidak tertulis ialah
kebiasaan baru yang timbul setelahberlakunya.

F. Pengertian Hukum Tanah


Sumber hukum tanah Indonesia yang lebih identik pada saat ini adalah status tanah
dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah
kepemilikan dan penguasaan tanah, baik pada masa lampau, masa kini atau masa yang
akan datang. Status tanah atau riwayat tanah pada saat ini dikenal dengan Surat
Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas hak-hak barat dan
lainya. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan riwayat tanah dari
kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan pencatatan, dan peralihan tanah

Politik Agraria | 16
girik milik adat dan sejenisnya pada masa lampau dan saat ini. 26 Jadi setiap tanah yang
ada di Indonesia merupakan tanah kepemilikan dari earga negara indonesia.
Dalam ruang lingkup agrarian, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
peemukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di disini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam
pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumu disebutkan
dalam PAsal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam ha katas permukaan
bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum”. Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis
maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu
hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan
hukum yang konkret, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari
secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu
sistem.27 Dengan demikian jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah
perukaan bumi sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan
bumi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Sedangkan
ruang dalm pengertian yuridis, yang berbatas, berdimensi tiga yaitu panjang, lebar, dan
tinggi, yang dipelajari dalam Hukum Penataan Ruang. Yang dimaksud dengan ha katas
tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk
mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.
Hukum Tanah mengatur segi tertentu dari tanah itu sendiri, yakni menyangkut Hak
Penguasaan atas Atas Tanah (HPAT). Hukum yang berlaku dalam HPAT mencita-
citakan hukum yang tertulis, agar lebih mudah diketahui. Dalam pada itu, untuk
menjamin kepastian hukum maka Hukum Tanah Nasional (HTN) sejauhmungkin diberi
bentuk tertulis. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sampai sekarang kita belum
mampu mengatur semua hukum mengenai HPAT di Indonesia secara tertulis. Dengan
perkataan lain, ada juga pengaturan HPAT dalam bentuk Hukum Adat, bahkan dalam
Hukum Kebiasaan-kebiasaan baru (yang bukan Hukum Adat). Oleh karena itu, sampai
saat ini hukum yang berlaku mengenai HPAT dalam HTN, terdiri atas :
a. Hukum tertulis, yang meliputi :
1) Pasal 33 UUD 1945.
2) UUPA.
3) Peraturan-peraturan pelaksanaan.
4) Peraturan-peraturan lama sebelum UUPA yang berlaku berdasarkan
peraturan peralihan dari UUD 1945.
b. Hukum yang tidak tertulis, yang meliputi :
1) Hukum Adat yang sudah disaneer.
2) Hukum kebiasaan-kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat. Boedi Harsono
menyatakan bahwa dalam tiap Hukum Tanah terdapat pengaturan mengenai
berbagai Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Semua Hak Penguasaan Atas
Tanah (HPAT) berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan/atau larangan
bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.28

26
Supriadi, Hukum Agraria (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hal 8
27
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 10-11.
28
Oloan Sitorus, Widhiana H. Puri, Hukum Tanah, Cetakan Kedua (Yogyakarta : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional,
2014) hlm 3-4.

Politik Agraria | 17
“Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak
penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok pembeda di antara hak-hak
penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah.29
Perkataan “mempergunakan” mengandung pengertian bahwa hak bangunan,
sedangkan perkataan “mengambila manfaat” mengandung pengertian bahwa ha katas
tanah itu dipergunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya
pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan. Atas adasar ketentuan Pasal 4 ayat (2)
UUPA, kepada pemegang ha katas tanah diberi wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang
diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan pertauran-peraturan
hukum lain yang lebih tinggi.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi,yangdisebut
permukaan bumi.Tanah yang dimaksud di sini bukanmengatur tanahdalam segala
aspeknya, melainkan hanya mengatur salahsatu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian
yuridis yang disebut hak.Tanah sebagai bagian dari bumi disebut dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA,yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksuddalam Pasal
2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaanbumi, yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai olehorang-orang, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang-orang lainserta badan-badan hukum”. Dengan demikian jelaslah
bahwa tanah dalampengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas
tanahadalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas,berdimensi dua
dengan ukuran panjang dan lebar.30
Tanah yang dimaksud disini adalah hanya mengatur tentanghaknya saja, yaitu hak
atas tanah tersebut yang sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 4 ayat
(1).Dimana hak-hak atas tanah/hakatas permukaan bumi terdiri dari beberapa macam,
yang dapat didapatdimiliki dan dikuasai oleh seseorang ataulebih dan badan-badan
hukum.
Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalahkeseluruhan peraturan-
peratuuran hukum baik yang tertulis maupun tidaktertulis yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah yang merupakanlembaga-lembaga hukum dan hubungan-
hubungan hukum yang konkret.
Objek Hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah.Yangdimaksud dengan hak
penguasaan atas tanah adalah hak yang berisiserangkaian wewenang, kewajiban
dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang
dihaki.Sesuatu yangboleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi
hakpenguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda di antarahak-hak
penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.
Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum,baik tertulis maupun
tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objekpengaturan yang sama yaitu hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum
yang konkret, beraspekpublik dan privat, yangdapat disusun dan dipelajari secara
sistematis,hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.31
Atas pernyataan dari Effendi Peranginan diatas, dapat disimpulkanbahwa hukum
tanah ialah himpunan peraturan-peraturan yang tertulis atautidak tertulis serta

29
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cetakan Kesembilan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 23.
30
Urip Santoso,Hukum Agraria, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 9-10
31
Ibid hlm 9-10

Politik Agraria | 18
mengatur tentang hak-hak Penguasaan atas tanah. Dan yang menjadi objek Hukum
Tanah adalah hak penguasaan atas tanah yangdibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum; dan
b. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret.
Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang tertulis bersumber pada UUPA dan
peraturan pelaksanaannya yang secara khusus berkaitandengan tanah sebagai sumber
hukum utamanya, sedangkan ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang tidaktertulis
bersumber pada Hukum Adattentang tanah dan yurisprudensi tentang tanah sebagai
sumber hukum pelengkapnya.

G. Penguasaan dan Pengusahaan Tanah


Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam arti fisik juga dalam arti yuridis. Juga
beraspek privat dan beraspek public. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan
yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan
kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik
tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan
kepada orang lain. Ada penguasaan yurudis, yang biarpun memberi kewenangan untuk
menguasai tanah yang dihaki secara fisik pada kenyataannya penguasaan fisiknya
dilakukan oleh pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan
tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis
tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa
tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk
menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik misalnya kreditor (bank) pemegang hak
jaminan atas tanah mempunyai penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan
(jaminan) akan tetapi secara fisik penguasaanya tetap ada pada pemegang hak katas tanah.
Penguasaan yuridis tentang tanah beraspek pada Pasal 20 ayat (1) UUPA menyatakan
bahwa Hak Milik (HM) adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA yakni mengenai
fungsi sosial dari setiap hak atas tanah. 32 Isi dan sifat HM disebutkan ‘turun-temurun,
terkuat, dan terpenuh’. Sudargo Gautama memaknai ‘turun-temurun’ sebagai hak yang
‘dapat diwarisi dan diwariskan’. Boedi Harsono menegaskan bahwa HM tidak hanya akan
berlangsung selama hidup orang yang mempunyainya, tetapi hak itu dapat pula diwariskan
dan diwarisi. A.P. Parlindungan menafsirkan ‘turuntemurun’ tersebut sebagai hak yang
“dapat diwariskan berturut-turut ataupun dan diturunkan kepada orang lain tanpa perlu
diturunkan derajatnya ataupun hak itu menjadi tiada atau harus memohon haknya kembali
ketika terjadi pemindahan hak”.33Serta penguasaan yuridis yang beraspek publik yaitu
penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan
Pasal 2 UUPA. Hak penguasaa atas tanah berisi serangkaian wewenang kewajiban dan atau

32
UUPA ketentuan yang mengatur Hak Milik (HM) ditemukan dalam Pasal 20-27. Selanjutnya, di dalam
Pasal 50 ayat (1) dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai HM akan diatur ‘dengan undang-
undang’.
33
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Cetakan VI, Penerbit
Mandar Maju, Bandung, 1991, hlm. 122.

Politik Agraria | 19
larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
Sesuatu yang boleh wajib atau dilarang untuk diperbuat yang merupakan isi hak penguasa
itulah yang menjadi kriterium atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas
tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.34
Politik hukum agraria jaman kolonial Belanda dan mempengaruhi penguasaan tanah di
Indonesia, maka jenis-jenis penguasaan tanah masih bercorak ragam. Biro Pusat Statistik
dalam usahanya untuk setiap rumah - tangga, telah membuat klasifikasi penguasaan
menjadi 3 kelas yaitu pertama, Milik sendiri, kedua, milik orang lain, dan ketiga, milik
sendiri dan orang lain. Sedangkan luas pengusahaannya dibedakan 3 klas yaitu :
1. 0,25 Ha.
2. 0,25 – 0,05 Ha
3. 0,50 Ha. Lebih

Hak pengelolaan merupakan satu diantara jenis hak-hak penguasaan atas tanah yang
kini berlaku berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
indonesia:
1. Hak penguasaan atas Tanah
Hak pengelolaan sebagai bagian dari hak penguasaan atas tanah yang kini berlaku di
Indonesia, tidak dapat dipisahkan begitu saja dari hak-hak penguasaan atas tanah
pada umumnya. pada hakikatnya merupakan efleksi dari pandangan manusia
terhadap dirinya sebagai manusia dalam hubunganya dengan padanganya terhadap
tanah. ada yang menitikberatkan kepada manusia sebagai individu, dan ada pula yang
menitikberatkan kepada manusia sebagai mahluk sosial.35
2. Perjanjian Tanah
Perjanjian Tanah atau disebut juga dengan “Transaksi Tanah” adalah mengenai
tentang perbuatan kepemilikan dan peralihan hak-hak atas tanah. Pemilikan tanah
merupakan perjanjian sepihak yang menyebabkan timbulnya hak milik tanah antara
dua pihak, sebagaimana disebut dalam bahasa hukum adat seperti jual lepas, jual
gadai, jual tahunan, pemberian tanah, pertukaran tanah dan lain sebagainya. dari
sinilah akan muncul istilah hak milik tanah atau hak penguasaan tanah. Berikut
adalah pengertian dari beberapa istilah dalam perjanjian tanah:
a. Pemilikan Tanah
Dikatakan sebagai perjanjian sepihak karena pihak yang satu berbuat sedangkan
yang lainya diam. perbuatan sepihak itu dapat dilakukan secara berkelompok
atau dilakuakn perseorangan.
b. Jual Lepas
Ialah jual beli tanah yang menyebabkan beralihnya hak milik tanah kepada orang
lain untuk selama-lamanya. Dalam bahasa Jawa disebut “adol plas atau adol
jugil” (Ngoko), “sade plas atau sade jugil” (Kromo).
c. Jual Gadai

34
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010)hlm.74
35
Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA (Jakarta: PT. RINEKA Cipta, 1995) hal 39

Politik Agraria | 20
Dalam bahasa Jawa (adol sende), Sunda (ngajual akad atau gade), yang
mengandung arti penyerahan tanah untuk dikuasai orang lain dengan menerima
pembayaran tunai, dimana sipenjual (penggadai, milik tanah) tetap berhak untuk
menebus kembali tanah tersebut.
d. Jual Tahunan
Dalam istilah Jawa (adol taunan, oyodan, troeongan, kemplongan) ialah
perjanjian penyerahan sebidang tanah (sawah atau kebun) oleh seseorang kepada
orang lain dan setelah beberapa tahun sebagaimana ditentukan tanah itu
dikembalikan lagi kepada yang menyerahkan semula.
e. Pemberian Tanah
Ialah penyerahan tanah kepada anggota kerabat atau orang lain bukan karena
adanya suatu kebutuhan pembayaran uang melainkan suatu sebab yaitu tanda
pengabdian, tanda kekeluargaan, sebagai pembayaran denda, pemberian
perkawinan, seabagi barang bawaan dalam perkawinan dan lain-lain.
f. Pembuktian Tanah
Dalam hukum adat tidak disyaratkan harus diatas kertas dalam bentuk surat,
tetapi cukup dengan kesaksian anggota kerabat tentangga dan tua-tua adat.

H. Pengertian Hukum Agraria Sebelum Adanya UUPA


Hukum tidak lagi suatu yang mistik seperti halnya pada zaman purbakala, akan tetapi
hukum pada saat ini sudah merupakan suatu yang rasional yang mampu dijangkau oleh
setiap manusia yang hidup dalam masyarakat secara sadar sebagai suatu penataan tentang
kehidupan sosial manusia.
Namun menurut John Austin (1790-1859) tokoh positivisme mengutarakan bahwa
jenis-jenis hukum terbagi menjadi:
1) Hukum Allah, Hukum ini lebih merupakan suatu moral hidup manusia kepada
penciptanya.
2) Hukum Manusia, yakni menyangkut segala sesuatu yang dibuat dan diatur oleh
manusia sendiri.
Hukum mengandung arti kemajemukan, sebab terdapat beberapa bidang hukum
disamping negara, walaupun bidang-bidang itu tidak memiliki hukum dalam arti yang
penuh. Hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari negara dan
yang di kukuhnya oleh negara. meskipun terdapat hukum-hukum yang lain akan tetapi
mereka tidak mempunyai arti yang yuridis.36
Kata Agraria memiliki yang sangat berbeda anatara bahasa satu dengan lainya.
Dalam bahasa latin agraria berasal dari kata ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah
atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius berarti perladangan, persawahan dan
pertanian. Dalam terminologi bahasa Indonesia kata agraria mempunyai arti urusan tanah
pertanian dan perkebunan. Sedangkan dalam bahasa inggris kata agraria (agrarian)
diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian.37
Dari pengertian dua kata diatas maka Hukum Agraria adalah himpunan peraturan
yang mengatur semua hal tentang agraria, dan yang berhak menjalankan tugas adalah
pemerintah. Disini yang dimaksud dengan pejabat pemerintah adalah keseluruhan jabatan
pemerintah yang diseahi tugas keagrariaan seperti para camat, para petugas pajak tanah
atau ipeda, notaris, dan sebagainya.
36
D.R Huijbers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius Anggota IKAPI, 1982 ) hal 39-41
37
Ibid, Supriadi, hal 1

Politik Agraria | 21
Kemudian pengertian hukum Agraria sebelum adanya UUPA yakni Hukum dan
kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah senatiasa diorentasikan pada
kepentingan dan keuntungan mereka penjajah, yang pada awalnya melalui politik dagang.
Mereka sebagai penguasa sekaligus merangkap sebagai pengusaha menciptakan
kepentingan-kepentingan atas segala sumber-sumber kehidupan di bumi Indonesia yang
menguntungkan mereka sendiri sesuai dengan tujuan mereka dengan mengorbankan
banyak kepentingan rakyat Indonesia.38
Hukum agraria kolonial memiki sifat dualisme hukum, yaitu dengan berlakunya
Hukum Agraria yang berdasarkan atas hukum adat, disamping peraturan-peraturan dari dan
berdasarkan atas hukum barat.39

a. Pengaturan Hukum Tanah Adat Sebelum Berlakuknya UUPA

Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu
persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai dengan
kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggota persekutuan
berlangsung secara tertulis. Selain itu dalam melakukan tindakan untuk menggunakan
tanah adat, harus terlebih dahulu diketahui atau meminta izin dari kepala adat. Dengan
demikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap milik anggota persekutuan
hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya pihak yang melarang.
Demikian pula sistem hukum adat yang berlaku dapat dikatakan terpengaruh oleh
pandangan masyarakat yang kapitalis dan feodal itu.Dalam hukum adat sana-sini kita
saksiakan corak feodal yang kini tak sesuai dengan jaman.Sebagai contoh tentang corak-
corak feodal dalam hukum adat adalah diwilayah Verstenlenden, khusus berkenaan dengan
hubungan pemakian tanah oleh pengusaha-pengusaha besar dan rakyat. Setelah diadakan
reorganisasi agrarian diwilayah swapraja telah diintrodusir suatu hak atas tananh dari
pengusaha kebun besar barat yang terkenal dengan nama “hak konversi”. Seluruh stelsel
hukum tanah yang berkenaan dengan hak konversi di swapraja Surakarta dan Yogyakarta
memperlihatkan ciri-ciri feodal.Dengan sistem ini maka si pengusaha barat yang
mengadakan perjanjian dengan swapraja dan pejabat-pejabatnya memperoleh tanah dan air
berikut buruh untuk mengerjakannya.Buruh ini dipekerjakan secara paksa dan tak dibayar.
Rakyat turut bekerja secara paksa tanpa dibayar.Bagi para pengusaha barat yang menyewa
tanah dari pemangku-pemangku jabatan feodal.Sistem konversi ini dapat berjalan karena
disandarkan atas pengertian feodal bahwa semua tanah itu pada hakekatnya berada dalam
kekuasaan Sultan. Rakyat hanya dipandang sebagai “pachter” yang memberikan separoh
daripada hasil pekerjaanya kepada “Raja” dalam hubungannya ini adalah terkenal dengan
sistem “apanage” dan para bekel-bekel yang mengeruk keuntungan daripada hasil
pekerjaan rakyat penduduk tanah yang bersangkutan.

b. Pengertian Hukum Adat

Beberapa penegertian Hukum Adat:


1) Menurut V.V. Hoven menyebutkan adanya hukum adat golongan pribumi dan
hukum adat golongan timur asing.
2) Kusumadi Pudjasewojo menggunakan sebutan hukum adat sebagai keseluruhan
aturan hukum tidak tertulis. Masyarakat hukum adat sebagai suatu masyarakat yang
38
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, PT Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2009, Hal 24
39
I Ketut Sudiarta,Hukum Agraria, Denpasar Juli 2017 haL 13

Politik Agraria | 22
menetapkan, terikat dan tunduk pada tata hukumya sendiri. Masyarakat hukum adat
adalah yang timbul secara spontan di wilayah tertentu yang berdirinya tidak
ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa
lainnya dengan rasa solidaritas yang sangat besar di antara para anggota yang
memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan
wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya
oleh anggotanya. Pemanfaatan oleh orang luar harus dengan izin dan pemberian
imbalan tertentu berupa recohnisi dan lain-lain.
3) Menurut UUPA yang dimaksud dengan hukum adat ialah hukum aslinya golongan
rakyat pribumi yang meupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan
mengandung unsur-unsur nasional asli yaitu sifat kemasyarakatan dan kekluargaan
yang berdasarkan keseimbangan serta diliputi oleh suasan keagamaan.

c. Penyebutan Hukum Adat Dalam UUPA

Dalam rangka unifikasi hukum, hukum adat dijasikan dasar pemebntukan hukum
agrarian nasional dalam UUPA terdapat bebrapa tempat penyebutan Hukum Adat antara
lain:
1. Dalam konsideran/pertimbangannya
Untuk menjamin kepastian hukum agrarian perlu adanya hukum agaraia nasioanal
yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanh yang sederhan dan menjamin kepastian
hukum bagi seluruh rajyat Indonesia dengantidak mengabaikan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.
2. Pasal 5
Hukum agrarian berlaku terhadap bumi, air, runag angkasa, dan kekayaaan alam
yang terkandung di dalamnya ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara denag sosialisme Indonesia serta dnegan peraturan lainya
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
3. Penjelasan umum Angka III
Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat maka
hukum agararia yang baru tersebut akan disandarkan pula pada ketentuan hukum adat itu
sebagai hukum yang asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia
internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.
Hukum tanah nasional berdasarkan hukum adat menunjukkan adanya hubungan
fungsional antara hukum adat dan hukum tanah nasional. Dalam pembangunan hukum
tanah nasional hukum adat berfungsi sebagai sumber utama dalam mengambil bahan-
bahan yang diperlukan. Sedang dalam hubungannya dengan hukum tanah nasional positif
hukum adat berfungsi sebagai bahan hukum yang melengkapi.
Sebelum adanya UUPA di Indonesia ada dualisme hukum yang mengatur tentang
pertahanan, yang mengatur bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya, yaitu
hukum adat dan hukum Barat. Sifat dualisme dalam hukum agraria di Indonesia ini, adalah
sebagai warisan dari jaman kolonial, “akibat dari politik hukum pemerintahan jajahan”.
Dualisme dalam hukum agraria ini memberikan tempat berkembangnya “hukum antar
golongan”, juga tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang telah
diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1982. Sejarah hukum agraria lama
tersebut dalam banyak hal, tidak merupakan alat penting untuk membangun masyarakat

Politik Agraria | 23
yang adil dan makmur, bahkan merupakan penghambat pencapaiannya. Hal itu terutama
disebabkan karena:
1) Sejarah Hukum agraria lama itu sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-
sendi dari pemerintah jajahan, sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat
didalam melaksanakan pembangunan nasional.
2) Sejarah Hukum agraria lama bersifat dualisme, yaitu berlakunya peraturan hukum
adat disamping peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat.
3) Bagi rakyat asli sejarah hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum
seluruh rakyat Indonesia.

d. Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat Sebelum Berlakunya UUPA

Dalam membicarakan hak dan kewajiban atas tanah, kita tinjau lebih dahulu
beberapa hak atas tanah yang penting harus kita ketahui yang berasal dari hukum agraria
sebelum adanya UUPA. Antara lain adalah :
1. Hak Ulayat ialah hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat
hukum adat secara bersama-sama (komunal). dengan hak ulayat ini masyarakat
hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh.
Adapun hak warga masyarakat atas tanah yang terwujud dalam dalam hak ulayat ini
pada dasarnya berupa :
a. Hak untuk meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada di wilayah atau
wewenang hukum masyarakat mereka yang bersangkutan.
b. Hak untuk berburu dalam batas wilayah atau wewenang hukum masyarakat
mereka.
2. Hak milik atau Hak Pakai
Hak milik (Adat) atas tanah adalah suatu hak atas tanah yang dipegang oleh
perorangan atas sebidang tanah tertentu yng terletak didalam wilayah hak ulayat
maskarakat hukum adat yang bersangkutan. Contohnya tanah yang dikuasai dengan hak
milik dalam hukum adat itu berupa sawah dan beralih turun menurun.
Hak pakai (Adat) atas tanah adalah suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang
telah memberikan wewenang kepada seseorang tertentu untuk memakai sebidang tanah
tertentu bagi kepentingannya. biasanya tanah yang dikuasai dengan hak pakai dalam
hukum adat itu berupa ladang.
Hukum perdata Barat demikian juga hukum tanahnya bertitik tolak dari pengutamaan
kepentingan pribadi (individualistis /liberalistis), sehingga pangkal dan pusat pengaturan
terletak pada eigendom-recht (hak eigendom) yaitu pemilikan perorangan yang penuh dan
mutlak, di samping domein verklaring (pernyataan domein) atas pemilikan tanah oleh
Negara.
Hukum Adat demikian juga hukum adat tanahnya sebagai bagian terpenting dari
hukum adat, bertitik tolak daripemungutan kepentingan masyarakat (komonalitas) yang
berakibat senantiasa mempertimbangkan antara kepentingan umum dan kepentingan
perorangan. Dalam hukum tanah adat, hak ulayat, yang merupakan hak persekutuan hukum
atas tanah, merupakan pusat pengaturan. Hak perorangan warga masyarakat adat,
memperoleh hak milik garapannya, setelah memperoleh izin dari penguasa adat. Apabila
warga tersebut terus menggarap bidang tanah termaksud secara efektif, maka hubungan
hak miliknya menjadi lebih intensif dan dapat turun temurun. Akan tetapi apabila warga
tersebut menghentikan kegiatan menggarapnya, maka tanah itu kambali ke dalam cakupan
hak ulayat persekutuan hukumnya dan hak miliknya melebur. Jadi dengan demikian ada
landasan filsafat yang berlainan antara hukum perdata barat dengan :
1. Hak-hak atas tanah yang terpenting menurut hukum perdata barat

Politik Agraria | 24
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kedudukan tanah-tanah sebelum
berlakunya UUPA, perlu diketahui terlebih dahulu macam-macam hak atas tanah pada
zaman kolonial, yang dikenal dengan hak-hak Barat diatur dalam Burgerlijk Wetboek,
diantaranya hak eigendom, hak postal, hak erfpacht dan sebagainya.
a. Hak Eigendom
Hak eigendom adalah hak kebendaan yang paling luas. Pasal 570 B.W.
menerangkan,bahwa eigendom adalah hak untuk dengan bebas mempergunakan
(menikmati) suatu benda sepenuhpenuhnya dan untuk menguasainya seluas-luasnya, asal
tidak bertentangan dengan undang-undang atauperaturan-peraturan umum yang ditetapkan
oleh instansi (kekuasaan) yang berhak menetapkannya, serta tidak mengganggu hak-hak
orang lain, semua itu kecuali pencabutan eigendom (onteigening) untuk kepentingan
umum dengan pembayaran yang layak menurut peraturan-peraturan umum.
Dalam pasal ini ditetapkan dengan tegas, bahwa eigendom itu adalah suatu hak
kebendaan (zakelijk recht), artinya orang yang mempunyai eigendom itu mempunyai
wewenang untuk :
1) Menggunakan atau menikmati benda itu dengan batas dan sepenuh-penuhnya;
2) Mengasai benda itu dengan seluas-luasnya.
3) Onteigening (dicabut) harus untuk kepentingan umum dengan ganti kerugian yang
layak dan menurut peraturan-peraturan hukum.
b. Hak Erfpacht
Dalam Pasal 720 BW Hak Erfpacht adalah hak kebendaan untuk menikmati
sepenuhnya kegunaan sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban untuk membayar
setiap tahun sejumlah uang atau hasil bumi kepada pemilik tanah sebagai pengakuan atas
hak eigendom dari pemilik itu.
c. Hak Opstal
Menurut pasal 711 BW hak postal adalah suatu hak kebendaan (zakeijk recht) untuk
mempunyai rumah-rumah, bangunan-bangunan dan tanaman diatas tanah milik orang lain.
3. Hak-hak tanah yang terpenting menurut hukum Adat. Sedangkan hukum adat
mengenal peristilahan
A. Hak persekutuan atas tanah :
1) Hak ulayat;
2) Hak dari kelompok kekerabatan atau keluarga luas.
B. Hak perorangan atas tanah :
1) Hak milik, hak yasan (inland bezetrecht),
2) Hak wewenang pilih, hak kima-cek, hak mendahulu (voorkeursrecht),
3) Hak menikmati hasil (genotsrecht),
4) Hak pakai (gebruiksrecht), dan hak menggarap/mengolah (ontginningsrecht),
5) Hak imbalan jabatan (ambtelijk profijtrecht),
6) Hak wewenang beli (naastingsrecht).

e. UPPA dibentuk berdasarkan hukum adat

Selain itu UUPA juga di bentuk berdasarkan hukum adat, badan pembentuk undang-
undang pada waktu pembentukan UUPA itu menggunakan pola pikiran hukum adat,
dimana kekurang-kekurangan yang terdapat dalam hukum adat yaitu hukum agraria adat
“dilengapi” oleh hukum agraria barat, baik yang tercantum dalam KUHS buku kedua
maupun dalam undang-undang sediri dari luas KUHS atau dengan nama lain, resepsi
hukum agraria asing (Barat) ke dalam hukum agraria Indonesia sifatnya hanya melengkapi
saja. jadi hakikatnya UUPA No. 5/1960 adalah hukum agraria adat dengan “kostum baru”
yaitu hukum agraria adat yang diberi bentuk tertulis atau bentuk undang-undang. sebab

Politik Agraria | 25
hukum undang-undang (tertulis) itu semuanya berasal dari hukum kebiasaan (tidak
tertulis), sedangkan hukum adat adalah hukum kebiasaan yang berasal dari nenek moyang
bangsa Indonesia, bukan dari kebiasaan (barat) seperti misalnya sewa-beli (Huurkoop) dan
penyerahan hak milik dengan kepercayaan (Fiducia), karena hal demikian maka pola pikir
hukum adat ini dicantumkan dalam pasal 5 UUPA No. 5/1960 yang menetapkan bahwa
pada pokok hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional negara.
Oleh karena itu adat merupakan hukum adat yang telah disempurnakan dan
disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat modern yang tidak lepas kebutuhan
ekonomi dan keuangan dalam negeri. bukan hanya dalam negeri, lintas internasional juga
ikut andil, seperti pada Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yaitu
Undang-undang No. 78 tahun 1958 LN 1958/138 dan Undang-undang No. 1 tahun 1967
LN 1967/1, TLN 2818 dimana perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Indonesia
memerlukan tanah untuk usaha-usaha perkebunan, peternakan, untuk pembangunan
perumahan-perumahan, pabrik-pabrik dan lainya.
Hukum adat mengenai pertahananmasyarakat dalam pertumbuhanya dapat
digolongkan dalam 3 bentuk yaitu :
a. masyarakat geneologis terbentuk karena ada hubungan keluarga sehingga
memiliki hubungan yang sangat erat.
b. masyarakat teritorial terbentuk karena para individunya berkeinginan yang sama
untuk menempati suatu wilayah
c. masyarakat gabungan merupakan gabungan dari geneologis dan teritorial.
Hubungan antara satu orang dengan yang lainya dalam masyarakat akan menjadi
lebih erat ketika para manusianya menginginkan dan mampu membentuk persekutuan
hukum, persekutuan hukum tersebut masing-masing menyesuaikan kebebasanya sesuai
dengan kendali yang teah disepakati bersama untuk hidup dengan tertib dan tenang dalam
suatu masyarakat tersebut. Dalam masyarakat geneologis masalah pertanahan tidak akan
muncul karena diantara mereka memiliki hubungan yang erat, namun dalam masyarakat
teritorial masalah pertanahan akan sangat terlihat karena ikatan mereka hanya sebatas
kesamaan dalam menempati suatu wilayah. oleh karena itu para individu yang terhimpun
dalam suatu kelompok masyarakat untuk kelangsungan hidup dan perkembangan
pertumbuhanya sangat memerlukan hal-hal sebagai berikut:
1. sumber-sumber alami yang menyediakan bahan-bahan bagi kepentingan hidupnya.
dan tanahlah yang merupakan pengandung sumber-sumber tersebut. sehingga tanah
sebagai tempat tinggal dan tanah sebagai pengandung sumber-sumber tersebut
merupakan wilayah (teritorial) mereka yang tidak boleh dianggap oleh pihak lain
(pihak luar).
2. kebudayaan, yang pada waktu itu tumbuh dan dikembangakan oleh para anggota
masyarakat itu sendiri.
Dalam kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat, akan tercipta
peraturan-peraturan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam usaha
memanfaatkan dan mendayagunakan tanah, seperti misalnya :
a. Hak memungut hasil hutan
b. diatur pula secara demikian rupa mengenai pemberian-pemberian kesempatan kepada
para anggota masyarakat untuk membuka hutan di lingkungan masyarakatnya.
c. Hak mennggembalakan ternak dikawasan hutan yang di bawah persekutuan hukum.
Undang – undang pokok agrarian di dasarkan atas hukum adat, dengan dicabutnya
peraturan dan keputusan agraria kolonial, maka tercapailah kesatuan hukum agrarian yang
berlaku di Indonesia, yang sesuai dengan kepribadian dan persatuan bangsa Indonesia.

Politik Agraria | 26
Dalam rangka mewujudkan kesatuan hukum tersebut, hukum adat tentang tanah
dijadikan dasar pembentukan hukum agrarian nasional. Hukum adat dijadikan dasar karena
hukum tersebut dianut sebagian besar rakyat Indonesia. Sehingga hukum adat tentang
tanah mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan hukum agraria nasional.
Hukum adat sebagai dasar bagi pembentukan Hukum Agraria nasional mempunyai 2
kedudukan, yaitu :
1) Hukum adat sebagai dasar utama
Penunjukan hukum adat sebagai dasar utama dalam pembentukan hukum agraria
nasional dapat disimpulkan dalam konsideran UUPA di bawah perkataan “Berpendapat”
huruf a, yaitu: “bahwa berhubungan dengan apa yang disebut dalam pertimbangan –
pertimbangan diatas perlu adanya Hukum Agraria nasional, yang berdasarkan atas hukium
adat tentang tanah, yang sederhana, dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur –unsure yang bersandar pada nhukum agraria.
Disamping itu juga dapat dilihat dalam Penjelasan Umum III No 1, yaitu: “…dengan
sendirinya Hukum Agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat
banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada Hukum Adat, maka
Hukum Agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan – ketentuan
Hukum Adat itu, sebagai hukum yang asli, yang di sempurnakan dan di sesuaikan dengan
kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia
internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.
Hukum adat sebagai dasar pembentukan Hukum Agraria nasional memang
menghadapi kesulitan-kesulitan tertentu. Kesulitan tersebut berkaitan dengan sifat
pluralisme hukum Adat itu sendiri, masing-masing masyarakat hukum adat mempunyai
hukum adatnya sendiri-sendiri yang tentunya terdapat perbedaan. Untuk itu perlu dicari
persamaan-persamaannya, yaitu dengan merumuskan asas-asas/konsepsi, lembaga-
lembaga hukum dan sistem hukumnya. Hal-hal inilah yang diambil dalam hukum adat
untuk dijadikan dasar utama dalam pembentukan Hukum Agraria nasional.
Asas-asas/konsepsi, lembaga-lembaga, dan sistem hukum adat tersebut dituangkan
dalam pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan dalam UUPA sebagai hukum positif. Berkaitan
dengan hal ini, Soedikno Mertokusumo menejlaskan:40
a. Asas-asas hukum adat yang diambil sebagai dasar:
1. Menurut konsepsi adat, hubungan manusia dengan kekayaan alam seperti tanah
mempunyai sifat religiomagis, artinya kekayaan alam itu merupakan kekayaan yang
dianugerahkan Tuhan pada masyarakat Hukum Adat. Konsepsi ini kemudian dimuat
dalam pasal 1 ayat 2 UUPA.
2. Di dalam Lingkungan masyarakat Hukum Adat dikenal hak ulayat. Hak ulayat adalah
hak dari masyarakat hukum adat yang berisi wewenang dan kewajiban untuk
menguasai, menggunakan, dan memelihara kekayaan alam yang ada dalam
Lingkungan wilayah hak ulayat tersebut. Jadi hak ulayat bukan untuk memiliki, tetapi
hanya merupakan hak menguasai. Hak ulayat ini kemudian dijadikan dasar dalam
menentukan hubungan negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Konsep ini kemudian dimuat dalam
pasal 2 UUPA.
3. Di dalam konsepsi Hukum Adat disamping ada hak masyarakat Hukum Adat yaitu
hak ulayat juga, ada hak perseorang atas tanah yang diakui. Masing – masing
individu diberi kesempatan untuk mempunyai hak atas tanah. Konsepsi ini kemudian
dimuat dalam pasal 4 jo pasal 16 UUPA. Di dalam hukum adat dikenal suatu asas; “di
dalam hak individu terlekat hak masyarakat”. Hal ini merupakan perwujudan dari
40
Urip santoso,Hukum Agraria dan Hak – hak atas tanah (Jakarta: Prenada Media Group,
2005) hal 66-68

Politik Agraria | 27
sifat kemasyarakatan Indonesia. Asas ini mengandung arti bahwa penggunaan hak
individu harus memerhatikan dan bahkan tidak boleh merugikan kepentingan
masyarakat. Konsepsi ini kemudian dimuat dalam pasal 6 UUPA.
4. Dalam masayarakat hukum adat terdapat asas gotong royong. Setiap usaha yang
menyangkut kepentingan individu dan masyarakatselalu dilakukan melalui gotong
royong. Hal ini untuk mencegah adanya persaingan dan pemerasan anatara golongan
yang mampu terhadap golongan yang tidak mampu. Konsepsi ini kemudian dimuat
dalam pasal 12 ayat 1 UUPA.
5. Asas lain yang terdapat dalam hukum adat adalah ada perbedaan antara warga
masyarakat dan warga asing dalam kaitannya dengan penguasaan, penggunaan
kekayaan alam. Warga masayarakat dapat mengolah, memetik hasil hutan, dan
bahkan mempunyai tanah. Sedangkan warga asing tidak mempunyai hak atas tanah,
mereka hanya dapat memetik hasil hutan dan itu pun dengan syarat harus
memperoleh izin dari kepala adat masyarakat yang bersangkutan. Dalam konsepsi
ada perbedaan kedudukan antara warga masyarakat dengan warga asing dalam
hubungannya dengan penguasaan tanah. Konsepsi ini dimuat dalam pasal 9 UUPA.
b. Lembaga – lembaga Hukum Adat
Lembaga hukum adat yang diambil sebagai dasar utama pembentukan hukum
agrarian nasional adalah susunan macam – macam hak atas tanah. Macam – macam hak
atas tanah yang ada dalam hukum adat seperti hak milik / hak yasan, hak pakai, hak sewa,
hak membuka tanah, hak menikmati hasil hutan. Susunan macam – macam hak atas atanah
yang demikian ini kemudian diangkat dan dijadikan dasar dalam penyusunan hak-hak atas
tanah dalam hukum agraria nasional sebagaiamana diatur dalam pasal 16 UUPA.
Namun demikian, macam – macam hak atas tanah yang ada dalam hukum adat
tersebut masih perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia
yang menuju masayarakat modern. Penyempurnaan tersebut adalah adanya tambahan hak
baru, yaitu hak guna usaha dan hak guna bangunan. Juga adanya keharusan pendaftaran
tanah terhadap macam-macam hak atas tanah tersebut.
c. Sistem hukum adat terutama mengenai sistematika hubungan manusia dengan tanah
Di dalam sistem hukum adat, tanah merupakan hak milik bersama masyarakat
hukum adat atau yang dikenal dengan hak ulayat. Hak ini merupakan hak tertinggi
kedudukannya. Hak ulayat ini mengandung 2 unsur, yakni unsur kepunyaan artinya semua
anggota masyarakat mempunyai hak untuk menggunakan, dan unsur kewenangan artinya
untuk mengatur, merencanakan, dan memimpin penggunaannya. Sistem hukum adat ini
diangkat sebagai sistem hukum agrarian nasional, yang dimuat dalam pasal 2, pasal 4,
pasal 16 UUPA.
2) Hukum adat sebagai hukum pelengkap
Pembentukan hukum agrarian nasional menuju kepada tersediannya peangkat hukum
yang tertulis, yang mewujudkan kesatuan hukum, memberikan jaminan kepastian hukum,
dan memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah merupakan suatu
proses yang memakan waktu. Selama proses tersebut belum selesai, hukum tertulis yang
sudah ada tetapi belum lengkap, maka memerlukan pelengkap agar tidak terjadi
kekosongan hukum.
Dalam hubungannya dengan hukum agrarian nasional tertulis yang belum lengkap
itulah norma – norma hukum adat berfungsi sebagai pelengkapnya. Hal ini telah
dinyatakan dalam pasal 56 UUPA, yaitu: “selama undang – undang mengenai hak milik
sebagai tersebut dalam paasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah
ketentuan – ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai
hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang

Politik Agraria | 28
dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-
ketentuan undang-undang ini”.
Oleh karena itu, hukum adat yang berlaku di Indonesia beraneka ragam dan memiliki
kekurangannya masing-masing, maka hukum adat yang dijadikan dasar hukum agraria
nasional ialah hukum adat yang telah disaneer, yang berarti hukum adat yang telah
dibersihkan dari cela-celanya serta ditambah kekurangan-kekurangannya agar supaya dapat
berlaku umum untuk seluruh wilayah Indonesia.
Menurut Soedalhar, berlakunya hukum adat tersebut bukanlah hukum adat yang
murni, akan tetapi hukum adat yang tealh disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara yang sedang membangun.
Persyaratan dan pembatasan berlakunya hukum adat dalam hukum agraria nasional
secara tegas dimuat dalam pasal 5 UUPA, yaitu:
a) Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara
b) Tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia
c) Tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam UUPA itu sendiri
d) Tidak bertentangan dengan peraturan agrarian lainnya
e) Harus mengindahkan unsur – unsur yang bersandar pada hukum agama.

I. Sejarah Penyusunan Undang – Undang Pokok Agraria


Upaya pemerintah Indonesia untuk membentuk hukum Agraria nasional yang akan
mengganti Hukum Agraria kolonial, yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945 sudah
dimulai pada tahun 1948 dengan membentuk kepanitiaan yang diberi tugas menyusun
Undang –Undang Agraria. Setelah mengalami beberapa penggantian kepanitiaan yang
berlangsung selama 12 tahun sebagai suatu rangkaian proses yang cukup panjang, maka
baru pada tanggal 24 September 1960 pemerintah berhasil membentuk Hukum Agraria
Nasional, yang dituangkan dalam undang undang pokok agrarian 41. Tahapan–tahapan
dalam penyusunan undang – undang pokok agraria dapat dijelaskan :
a. Panitia Agraria Yogya

Panitia ini dibentuk dengan penetapan presiden no. 16 tahun 1948 tanggal 21 mei
1948 berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo, kepala bagian
Agraria kementrian dalam negeri. Panitia ini mengusulkantentang asas-asas yang akan
menjadi dasar-dasar hukum agraria yang baru, yaitu :
1. Meniadakan asas domein dan pengakuan hak ulayat.
2. Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat,
yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan.
3. Mengadakan penyelidikan terlebih dahulu terhadap Negara Negara lain, terutama
Negara – Negara tetangga, sebelum menentukan apakan orang – orang asing dapat
pula mempunyai hak milik atas tanah.

b. Panitia Agraria Jakarta

Panitia Agraria Yogyadibubarkan dengan keputusan presiden no. 36 tahun 1951


tanggal 19 maret 1951, sekaligus dibentuk panitia Agraria Jakarta yang berkedudukan di
Jakarta dan diketuai oleh Singgih Praptodihardjo, wakil kepala bagian Agraria kementrian
dalam negeri. Panitia ini mengemukakan usulan mengenai tanah untuk pertanian rakyat
kecil, yaitu :
1. Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 hektar dengan mengadakan
peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum adat dan hukum waris.

Dr. Santoso Urip, S.H., M.H, Hukum Agraria Kajian Komprehensif,(Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
41

2012) hal. 42.

Politik Agraria | 29
2. Mengadakan ketentuan batas maksimum pemilikan tanah, yaitu 25 hektar untuk satu
keluarga.
3. Pertanian rakyat hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia dan tidak
dibedakan antara warga Negara asli dan bukan asli.
4. Bangunan hukum untuk pertanian rakyat ialah hak milik, hak usaha, hak sewa, dan
hak pakai.
5. Pengaturan hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar Negara dengan suatu
undang-undang.

c. Panitia Soewahjo

Berdasarkan keputusan presiden no. 1 tahun 1956 tanggal 14 januari 1956


dibentuklah panitia Negara urusan agrarian yang berkedudukan di Jakarta dan diketuai
Soewahjo Soemodilogo, sekretaris jenderal kementrian agrarian. Panitia ini menghasilkan
naskah rancangan undang-undang pokok agrarian pada tanggal 1 januari 1957 yang berisi:
1. Dihapuskannya asas domain dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada
kepentingan umum.
2. Asas domein digantikan dengan hak kekuasaan Negara atas dasar ketetntuan pasal 38
UUDS 1950.
3. Dualisme hukum agrarian dihapuskan42.

d. Rancangan Soenarjo

Setelah dilakukan beberapa perubahan mengenai sistematika dan perumusan


beberapa pasalnya, maka rancangan panitia Soewahjo oleh menteri agraria Soenarjo
diajukan kepada dewan menteri pada tanggal 14 maret 1858. Dewan menteri dalam
sidangnya tanggal 1 april 1958dapat menyetujui rancangan Soenarjo dan diajukan kepada
dewan perwakilan rakyat melalui amanat presiden Soekarno tanggal 24 april 1958.
1. Dalam membahas rancangan Soenarjo, dpr mengharap perlu untuk Membahas
rancangan undang-undang pokok agraria secara teknis yuridis.
2. Mempelajari bahan – bahan yang bersangkutan dengan rancangan undang – undang
pokok agraria tersebut yang sudah ada dan mengumpulkan bahan bahan yang baru.
Menyampaikan mengumpulkan bahan bahan yang lebih lengkap. Selanjutnya panitia
permusyawaratan DPR membentuk sebuah panitia Ad Hoc dengan tugas:
3. laporan tentang pelaksanaan tugasnya serta usul – usul yang dipandang perlu
mengenai rancangan undang – undang pokok agraria kepada panitia
permusyawaratan DPR.

e. Rancangan Sadjarwo

Berdasarkan dekrit persiden tanggal 5 juli 1959 kita kembali kepada UUD 1945.
Berhubung rancangan Soenarjo yang telah diajukan kepada DPR beberapa waktu yang lalu
disusun berdasarkan UUDS 1950, maka dengan surat presiden tanggal 23 maret 1960
rancangan tersebut ditarik kembali dan disesuaikan dengan UUD 1945.
42
Ibid, hal 43.
Politik Agraria | 30
Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan disempurnakan dengan bahan – bahan
dari berbagai pihak, maka rancangan undang undang pokok agraria yang baru diajukan
oleh menteri agrarian Sadjarwo kepada kabinet. Rancangan Sadjarwo ini disetujui oleh
kabinet inti dalam sidangnya tanggal 1 agustus 1960. Kemudian dengan amanat presiden
Soekarno tanggal 1 agustus 1960 nomor 2584/HK/60, rancangan tersebut diajukan kepada
dewan perwakilan rakyat gotong royong.
Dalam siding pleno sebanyak 3 kali, yaitu 12, 13 dan 14 september 1960 diadakan
pemeriksaan pendahuluan. Kemudian dengan suara bulat DPRGR menerima baik
rancangan undang undang pokok agraria. Pada hari sabtu tanggal 14 september 1950 yang
telah disetujui oleh DPRGR itu disahkan oleh presiden menjadi undang undang no. 5 tahun
1960 tentang peraturan dasar pokok pokok agraria, LNRI tahun 1960 no. 104 – TLNRI no.
2043, yang menurut dictum kelimanya disebut undang undang pokok agraria (UUPA)43.
J. Tujuan Undang – Undang Pokok Agraria
Didalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk
perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk
membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Dalam
pada itu hukum Agraria yang berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah
satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut,
ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat dari pada
tercapainya cita-cita diatas. Hal itu disebabkan terutama:
a. Karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi
olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara didalam
melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional
sekarang ini;
b. Karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria
tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari
hukum-adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum
barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masa'alah antar golongan yang serba
sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa;
c. Karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian
hukum.
Berhubung dengan itu maka perlu adanya hukum agraria baru yang nasional, yang
akan mengganti hukum yang berlaku sekarang ini, yang tidak lagi bersifat dualisme,
yang sederhana dan yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum agraria yang baru itu harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi
bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksudkan diatas dan harus sesuai pula
dengan kepentingan rakyat dan Negara serta memenuhi keperluannya, menurut permintaan
zaman dalam segala soal agraria. Lain dari itu hukum agraria nasional harus mewujudkan
penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta
khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-
undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara yang tercantum didalam
Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan didalam
Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960.

43
Ibid, hal 45.
Politik Agraria | 31
Berhubung dengan segala sesuatu itu maka hukum yang baru tersebut sendi-sendi
dan ketentuan-ketentuan pokoknya perlu disusun didalam bentuk undang-undang, yang
akan merupakan dasar bagi penyusunan peraturan-peraturan lainnya.
Sungguhpun undang-undang itu formil tiada bedanya dengan undang-undang lainnya
- yaitu suatu peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat - tetapi mengingat akan sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang
baru, maka yang dimuat didalamnya hanyalah azas-azas serta soal-soal dalam garis
besarnya saja dan oleh karenanya disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Adapun
pelaksanaannya akan diatur didalam berbagai undang-undang, peraturan-peraturan
Pemerintah dan peraturan-perundangan lainnya.44
Tujuan diundangkan UUPA sebagai tujuan Hukum Agraria nasional dimuat dalam
penjelasan umum UUPA, yaitu :
a. Meletakkan dasar dasar bagi penyusunan Hukum Agraria nasional, yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi
Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur.
b. Meletakkan dasar dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertahanan.
c. Meletakkan dasar dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak ha katas
tanah bagi rakyat seluruhnya.
K. Asas – Asas dalam Undang – Undang Agraria
Dalam UUPA dimuat sebelas asas dari hukum Agraria nasional. Asas asas ini karena
sebagai dasar dengan sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap
peraturan pelaksanaannya. Sebagai asas tersebut, adalah sebagai berikut :
a. Asas Kenasionalan
b. Asas pada tingkatan tertinggi, bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara.
c. Asas mengutamakan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa dari pada kepentingan perseorangan atau golongan.
d. Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
e. Asas hanya warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah.
f. Asas persamaan bagi setiap warga Negara Indonesia.
g. Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya
sendiri dan mencegah cara cara yang bersifat pemerasan.
h. Asas tata guna tanah atau penggunaan tanah secara berencana.
i. Asas kesatuanan hukum.
j. Asas jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
k. Asas pemisahan Horizontal.45
44
Penjelasan umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Rancangan Undang-Undang Pokok
Agraria
45
Soimin Sudaryo, S.H.,Status hak dan pembebasan tanah, (Jakarta: sinar grafika, 1994) hal 66.

Politik Agraria | 32
Hak pengelolahan sebagai bagian dari hak-hak penguasaan atas tanah yang kini
berlaku di indonesia, tidak dapat dipisahkan begitu saja dari hak-hak penguasaan atas tanah
pada umumnya. Hak-hak penguasaan atas tanah pada umumnya pada hakikatnya
merupakan refleksi dari pandangan manusia terhadap dirinya sebagai manusia dalam
hubungannya dalam pandangannya terhadap tanah.pada umumnya pandangan terhadap
manusia ada yang menitik beratkan kepada manusia sebagai individu, dan ada pula yang
menitik beratkan kepada manusia sebagai makhluk sosial.
Menurut koesnoe (1979 : 4) bahwa hukum barat berpangkal pada pandangan bahwa
seorang itu adalah makhluk yang bebas atau merdeka dan sama satu dengan yang lain,
akibat sebagai pengalaman sebagai manusia yang hidup bersama dengan lain individu,
maka setiap individu berusaha untuk sedapatnya mempertahankan kebebasannya atau
kemerdekaannya itu, sehingga kemerdekaan dan kebebasan masing-masing dapat saling
terganggu. Hal ini hanya dapat dihindari dengan mengadakan perjanjian masyarakat,
dimana satu sama lain akan menghormati kemerdekaan masing-masing dalam berusaha
memenuhi kebutuhan dan kepentingan masing-masing yang beraneka ragam. Pedoman
hidup yang menetapkan syarat-syarat yang disertai dengan sanksi disebut dengan hukum.
Kehadiran hukum didalam masyarakat diantaranya untuk mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan tersebut. pengorganisasian kepentingan-
kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan tersebut. hukum
melindungi kepentingan seseorang dengan cara mealokasikan suatu kekuasaan kepadanya
untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut.
Hak penguasaan yang dikonfersi menjadi hak pengelolaan oleh peraturan mentri
agreria no 9 tahun 1965 semula diatur oleh peraturan pemerintah no 8 tahun 1953 yang
ditetapkan pada waktu sebelum berlakunya undang-undang pokok agrria no 5 tahun 1960.
Istilah pengelolaan memang ada disebut didalm penjelasan umum undang-undang pokok
agraria no 5 tahun 1960. Hal itu dapat dibaca dipenjelasan umurm II angka (2) yang
menyatakan bahwa dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan diatas negara dapat
memberikan tanah demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak
menurut peruntukan dan keperluannya misalnya hal milik, hak guna usaha, hak bangunaan,
dan hak pakai atau memberikannya dalam pengelolahan kepada suatu badan penguasa
untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (pasal 2 ayat 4) (boedi
harsono 1983 : 29-30).Pasal 2 ayat 4 undang-undang pokok agraria nomer 5 tahun 1960
telah memberikan kemungkinan untuk memberikan suatu hak baru yang namanya ketika
itu belum ada. Hak itu merupakan suatu dilegasi wewenang pelaksanaan hak menguasai
menguasai negara kepada daerah- daerah otonom dan masyarakat hukum adat.

L. UUPA Sebagai Hukum Agraria Nasional


1. Sifat Nasional UUPA

UUPA mempunyai du substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak


memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua, membangun
hukum agraria nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUP, maka terjadilah
perubahan yang fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang
pertanhan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi
yang mendasari maupun isinya. UUPA juga merupakan undang-undang yang melakukan
pembaruan agraria karena di dalamnya memuata program yang dikenal dengan Panca
Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi:

Politik Agraria | 33
a. Pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasioanl dan
pemberian jaminan kepastian hukum.
b. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah.
c. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
d. Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan hukum
yangberhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan
kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal dengan program landreform;
e. Perncanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya serta penggunaan secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan
kemampuannya.
Sebagai undang-undang nasional, UUPA memiliki sifat nasional material dan formal.
Sifat nasional material berkenaan dengan substansi UUPA. Sedangkan nasional formal
berkenaan dengan pembentukan UUPA.46

2. Sifat Nasional Material UUPA

Sifat nasional materian UUPA menunjuk kepada substansi UUPA yang harus
mengandung asas-asas berikut :47
a. Berdasarkan hukum tanah adat;
1) Sederhana.
2) Menjamin kepastian hukum.
3) Tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama.
4) Memberi kemungkinan suapya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai
fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur.
5) Sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia.
6) Memnuhi keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman dalam segala soal
agraria.
7) Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai asas kerohanian negara dan cita-
cita bangsa seperti yang tercantum dalam undang-undang.
8) Merupakan pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Manifesto
Politik.
9) Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

3. Sifat Nasional Formal UUPA.

Sifat nasional formal UUPA menunjuk kepada pembentukan UUPA yang memenuhi
sifat sebagai berikut: 48
46
Imam Sotiknjo, Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria dala Rangka Menyukseskan Pelita V, Makalh
Ceramah Sehari, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya, 1989, hlm. 2-3 dalam UripSantoso.
47
Boedi Harsono, hukum Agraria Indonesia-sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan
Pelaksanaanya. Jilid 1 : Hukum Tnaha Nasional, edisi revisi, (Jakarta Djambatan, 2003)
48
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999.

Politik Agraria | 34
a. Dibuat oleh pembentuk undang-undang naisonal Indonesia, yaitu DPRGR;
b. Disusun dalam bahasa nasional Indonesia;
c. Dibentuk di Indonesia;
d. Bersumber pada UUD 1945;
e. Berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia. 

4. Peraturan Lama yang Dicabut oleh UUPA.

Dengan dindangkannya Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan


Dasar Pokok-pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960, maka dengan demikian
Indonesia memiliki hukum agraria baru yang bersifat nasional yan tentunya lepas dari
sifat-sifat kolonial dan disesuaikan dengan pribadi dan jiwa bangsa Indonesia sebagai
negara merdeka dan berdaulat.

Politik Agraria | 35
RINGKASAN
Sejarah Manusia Dengan Tanah
Manusia dengan tanah sejak dulu memiliki keterkaitan yang erat, Persoalan
tentang tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting oleh karena
sebagian besar daripada kehidupan manusia adalah sangat tergantung pada tanah. Tanah
dapat dilihat sebagai suatu yang mempunyai sifat permanent dan dapat dicadangkan untuk
kehidupan masa yang akan datang. Tanah adalah tempat pemukimandari umat manusia
disamping sebagai sumber penghidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui
pertanian serta pada akhirnya tanah pulalah yang dijadikan tempat persemayaman terakhir bagi
seorang yang meninggal dunia.
Tanah mempunyai peranan peranan yang sangat besar dalam dinamika pembangunan,
maka didalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 3 Ayat (3) disebutkan bahwa Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan mengenai tanag juga
dapat kita lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA
Dalam ruang lingkup agrarian, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut
permukaan bumi.Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya, melainkan di sini mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian
yuridis disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat(1)
UUPA yaitu “ Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hakatas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain serta badan-badan hukum”.
Tanah merupakan sumber kehidupan bagi manusia, dengan tanah manusia dapat
berpijak dalam melakukan semua aktifitasnya sehari-hari, dan seperti kita ketahui bahwa
pada kenyataannya tanah adalah benda mati akan tetapi mempunyai sumber nilai dan
manfaat yang sangat signifikan bagi seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini.
Tanah juga merupakan faktor terpenting bukan saja di saat manusia masih hidup
tetapi disaat manusia meninggal dunia, membutuhkan tanah sebagai tempat peristirahatan
yang terakhir. Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia adalah bahwa kehidupan
manusia sama sekali tidak bisa dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan
memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah Hal ini dapat di lihat
dalam kehidupan masyarakt Indonesia pada masing-masing wilayah tempat tinggal dan
selain pada masyarakat Indonesia, tanah juga berdampak pada pemerintah yang dalam hal
ini pemerintah mempunyai kewenangan untuk menguasai tanah di pergunakan dan

Politik Agraria | 36
diperuntukan pada masyarakat tapi kenyataan yang terjadi masyarakat banyak di rugikan
oleh pemerintah.
Sebagaimana yang sudah di jelakan diatas, maka keberadaan kehidupan masyarakat
dengan tanah merupakan suatu hubungan antara tanah dan penguasanya, dalam hal ini
adalah masyarakat hukum adat, dalam kehidupan sehari-hari menjalankan aktifitas
mereka berdasarkan aturan dan norma yang berbeda-beda sesuai dengan adat tradisi yang
dianut oleh masing-masing masyarakt hukum adat yang terpencar pencar di seluruh
belahan jiwa bangsa Indonesia.

Geografi dan Demografi


Geografi berasal dari bahasa yunani, yaitu geo(s) dan graphein. Geo(s) artinya bumi,
graphein artinya menggambarkan, mendeskripsikan ataupun mencitrakan. Secara harfiah
Geografi berarti ilmu yang menggambarkan tentang bumi. Menurut Bintarto, Geografi
adalah ilmu yang mempelajari/ mengkaji bumi dan segala sesuatu yang ada di atasnya,
seperti penduduk, flora, fauna, iklim, udara dan segala interaksinya. Menurut seminar dan
Lokakarya Ikatan Geografi Indonesia (SEMILOKA IGI) tahun 1989, Geografi adalah ilmu
yang mempelajari tentang persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dalam sudut
pandang kelingkungan dan kewilayahan dalam konteks keruangan.
Geografi mempunyai dua obyek penelitian, yaitu obyek formal dan obyek material;
Obyek formal adalah dari sudut padang mana kajian ilmu tersebut dilihat, sedangkan
Obyek material adalah apa yang dipelajari oleh ilmu tersebut. Obyek formal geografi
mencakup pendekatan yang digunakan dalam memecahkan suatu persoalan geografi,
sedangkan obyek material geografi adalah geosfer. Geosfer adalah lapisan-lapisan bumi,
yang mencakup :
1. Lapisan Kulit/ Kerak Bumi (lithosfer)
2. Lapisan Udara (atmosfer)
3. Lapisan Air (hidrosfer)
4. Lapisan Mahluk Hidup (biosfer)
5. Lapisan Manusia (antroposfer)
Geografi Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004; lihat
pula: jumlah pulau di Indonesia), sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni tetap,
menyebar sekitar katulistiwa, memberikan cuaca tropis. Pulau terpadat penduduknya
adalah pulau Jawa, di mana lebih dari setengah (65%) populasi Indonesia. Indonesia
terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya dan
rangkaian pulau-pulau ini disebut pula sebagai kepulauan Nusantara atau kepulauan
Indonesia.Peta garis kepulauan Indonesia, Deposit oleh Republik Indonesia pada daftar
titik-titik koordinat geografis berdasarkan pasal 47, ayat 9, dari Konvensi PBB tentang
Hukum Laut.
Dari segi kependudukan, Indonesia masih menghadapi beberapa masalah besar
antara lainPenyebaran penduduk tidak merata, sangat padat di Jawa - sangat jarang di
Kalimantan dan Irian.Piramida penduduk masih sangat melebar, kelompok balita dan
remaja masih sangat besar.Angkatan kerja sangat besar, perkembangan lapangan kerja
yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah penambahan angkatan kerja setiap
tahun.Distribusi Kegiatan Ekonomi masih belum merata, masih terkonsentrasi di Jakarta
Politik Agraria | 37
dan kota-kota besar dipulau Jawa.Pembangunan Infrastruktur masih tertinggal; belum
mendapat perhatian serius. Indeks Kesehatan masih rendah; Angka Kematian Ibu dan
Angka Kematian Bayi masih tinggi.

Pengertian Agraria
Sebutan agraria tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dalam bahasa latin ager
artinnya tanah atau sebidang tanah Agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanian atau tanah
pertanian, juga urusan pemilikan tanah.Sebutan agraria ataudalam bahasa Inggris
agrarianselalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Sebutan
agraria laws juga seringkali dipergunakan untuk mengarah kepada perangkat peraturan-
peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanahyang luas dalam
rangkameratakan penguasaan dan pemilikannya.
Pengertian agraria juga dapat dilihat dari segi terminologi bahasa, pengertian
agraria dapat juga ditemukan pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal
tersebut diketemukan apabila membaca peraturandan pasalyang terdapat didalam
peraturan Undang-undang Pokok Agraria.Hukum agraria mempunyai arti atau makna
yang luas. Pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi
dibawahnya serta yang berada dibawah air (pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat (1))
Pengertian hukum Agraria sebelum adanya UUPA yakni Hukum dan kebijakan
pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah senatiasa diorentasikan pada kepentingan
dan keuntungan mereka penjajah, yang pada awalnya melalui politik dagang. Mereka
sebagai penguasa sekaligus merangkap sebagai pengusaha menciptakan kepentingan-
kepentingan atas segala sumber-sumber kehidupan di bumi Indonesia yang
menguntungkan mereka sendiri sesuai dengan tujuan mereka dengan mengorbankan
banyak kepentingan rakyat Indonesia.
Upaya pemerintah Indonesia untuk membentuk hukum Agraria nasional yang akan
mengganti Hukum Agraria kolonial, yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945
sudah dimulai pada tahun 1948 dengan membentuk kepanitiaan yang diberi tugas
menyusun Undang –Undang Agraria. Setelah mengalami beberapa penggantian
kepanitiaan yang berlangsung selama 12 tahun sebagai suatu rangkaian proses yang
cukup panjang, maka baru pada tanggal 24 September 1960 pemerintah berhasil
membentuk Hukum Agraria Nasional, yang dituangkan dalam undang undang pokok
agrarian.
Didalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk
perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk
membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Dalam
pada itu hukum Agraria yang berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah
satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut,
ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat dari pada
tercapainya cita-cita diatas. Hal itu disebabkan terutama:

Politik Agraria | 38
a. Karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi
dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara
didalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan
revolusi nasional sekarang ini;
b. Karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria
tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan
dari hukum-adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas
hukum barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masa'alah antar golongan
yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa;
c. Karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian
hukum.

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam campuran atau gabungan antara
sumber daya alam hayati dan non hayati. Tanah bisa menjadi sumber daya alam
terperbaharui selama unsur-unsur atau komponen-komponen hayati tanah dapat
dipelihara dandipertahankan. Tanah mempunyai peranan penting dalam hidup dan
kehidupan masyarakat diantaranya sebagai perumahan dan jalan. Tanah merupakan
tempat pemukiman dari sebagian besar umat manusia, disamping sebagai sumber
penghidupan bagi manusia yang mencari nafkah melalui usaha tani dan perkebunan,
yang akhirnya tanah juga yang dijadikan persemayaman terakhir bagi seseorang yang
meninggal dunia
Tanah yang terdiri atas ke bawah berturut-turut dapat sisiran garapan dengan
sedalam bajak lapisan pembentuk humusdan lapisan dalam disebut dengan tanah
bangunan. Tanah bangunan merupakan tanah yang digunakan untuk mendirikan
sebuah bangunan diatasnya. Tanah garapan disebut juga sebagai tanah pertanian, tanah
pekarangan, tanah garapan juga dimanfaatkan untuk menanamitumbuhan dan
merupakan bagian dari lapisan bumi yang paling atas. Hal tersebut sesuai dengan
pengertian tanah secara geologis-agronomis.

Pengertian Hukum Tanah


Sumber hukum tanah Indonesia yang lebih identik pada saat ini adalah status
tanah dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis
masalah kepemilikan dan penguasaan tanah, baik pada masa lampau, masa kini atau
masa yang akan datang. Status tanah atau riwayat tanah pada saat ini dikenal dengan
Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas hak-hak barat
dan lainya. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan riwayat tanah dari
kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan pencatatan, dan peralihan tanah
girik milik adat dan sejenisnya pada masa lampau dan saat ini. Jadi setiap tanah yang
ada di Indonesia merupakan tanah kepemilikan dari earga negara indonesia.
Hukum Tanah mengatur segi tertentu dari tanah itu sendiri, yakni menyangkut
Hak Penguasaan atas Atas Tanah (HPAT). Hukum yang berlaku dalam HPAT mencita-
citakan hukum yang tertulis, agar lebih mudah diketahui. Dalam pada itu, untuk
menjamin kepastian hukum maka Hukum Tanah Nasional (HTN) sejauhmungkin
diberi bentuk tertulis. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sampai sekarang kita
belum mampu mengatur semua hukum mengenai HPAT di Indonesia secara tertulis.
Dengan perkataan lain, ada juga pengaturan HPAT dalam bentuk Hukum Adat, bahkan
dalam Hukum Kebiasaan-kebiasaan baru (yang bukan Hukum Adat).

Politik Agraria | 39
Dalam ruang lingkup agrarian, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
peemukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di disini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam
pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumu disebutkan
dalam PAsal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai
yang dimaksud dalam Pasal2 ditentukan adanya macam-macam ha katas permukaan
bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum”. Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis
maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu
hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan
hukum yang konkret, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari
secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu
sistem. Dengan demikian jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah
perukaan bumi sedangkan ha katas tanah adalah ha katas sebagian tertentu permukaan
bmi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Sedangkan
ruang dalm pengertian yuridis, yang berbatas, berdimensi tiga yaitu panjang, lebar, dan
tinggi, yang dipelajari dalam Hukum Penataan Ruang. Yang dimaksud dengan ha katas
tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemeganf haknya untuk
mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.
Hukum Tanah mengatur segi tertentu dari tanah itu sendiri, yakni menyangkut
Hak Penguasaan atas Atas Tanah (HPAT). Hukum yang berlaku dalam HPAT mencita-
citakan hukum yang tertulis, agar lebih mudah diketahui. Dalam pada itu, untuk
menjamin kepastian hukum maka Hukum Tanah Nasional (HTN) sejauhmungkin
diberi bentuk tertulis. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sampai sekarang kita
belum mampu mengatur semua hukum mengenai HPAT di Indonesia secara tertulis.
Dengan perkataan lain, ada juga pengaturan HPAT dalam bentuk Hukum Adat, bahkan
dalam Hukum Kebiasaan-kebiasaan baru (yang bukan Hukum Adat). Oleh karena itu,
sampai saat ini hukum yang berlaku mengenai HPAT dalam HTN, terdiri atas :
M. Hukum tertulis, yang meliputi :
1) Pasal 33 UUD 1945.
2) UUPA.
3) Peraturan-peraturan pelaksanaan.
4) Peraturan-peraturan lama sebelum UUPA yang berlaku berdasarkan
peraturan peralihan dari UUD 1945.
N. Hukum yang tidak tertulis, yang meliputi :
1) Hukum Adat yang sudah disaneer.
2) Hukum kebiasaan-kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat. Boedi
Harsono menyatakan bahwa dalam tiap Hukum Tanah terdapat pengaturan
mengenai berbagai Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Semua Hak
Penguasaan Atas Tanah (HPAT) berisi serangkaian wewenang, kewajiban,
dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai
tanah yang dihaki.
Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum,baik tertulis maupun
tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objekpengaturan yang sama yaitu hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum
yang konkret, beraspekpublik dan privat, yangdapat disusun dan dipelajari secara
sistematis,hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.

Politik Agraria | 40
Penguasaan dan Pengusahaan Tanah
Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam arti fisik juga dalam arti yuridis.
Juga beraspek privat dan beraspek public. Penguasaan dalam arti yuridis adalah
penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya
memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang
dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah
yang dihaki, tidak diserahkan kepada orang lain. Ada penguasaan yurudis, yang
biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik pada
kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, misalnya seseorang yang
memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada
pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah akan
tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis
yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara
fisik misalnya kreditor (bank) pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai
penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan) akan tetapi secara fisik
penguasaanya tetap ada pada pemegang hak katas tanah.
Penguasaan yuridis tentang tanah beraspek pada Pasal 20 ayat (1) UUPA
menyatakan bahwa Hak Milik (HM) adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA
yakni mengenai fungsi sosial dari setiap hak atas tanah. Isi dan sifat HM disebutkan
‘turun-temurun, terkuat, dan terpenuh’. Sudargo Gautama memaknai ‘turun-temurun’
sebagai hak yang ‘dapat diwarisi dan diwariskan’. Boedi Harsono menegaskan bahwa
HM tidak hanya akan berlangsung selama hidup orang yang mempunyainya, tetapi
hak itu dapat pula diwariskan dan diwarisi. A.P. Parlindungan menafsirkan
‘turuntemurun’ tersebut sebagai hak yang “dapat diwariskan berturut-turut ataupun dan
diturunkan kepada orang lain tanpa perlu diturunkan derajatnya ataupun hak itu
menjadi tiada atau harus memohon haknya kembali ketika terjadi pemindahan hak”.
Serta penguasaan yuridis yang beraspek publik yaitu penguasaan atas tanah
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan Pasal 2 UUPA. Hak
penguasaa atas tanah berisi serangkaian wewenang kewajiban dan atau larangan bagi
pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang
boleh wajib atau dilarang untuk diperbuat yang merupakan isi hak penguasa itulah
yang menjadi kriterium atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas
tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.
Pengertian Hukum Agraria Sebelum Adanya UUPA
Hukum tidak lagi suatu yang mistik seperti halnya pada zaman purbakala, akan
tetapi hukum pada saat ini sudah merupakan suatu yang rasional yang mampu
dijangkau oleh setiap manusia yang hidup dalam masyarakat secara sadar sebagai suatu
penataan tentang kehidupan sosial manusia.
Namun menurut John Austin (1790-1859) tokoh positivisme mengutarakan bahwa
jenis-jenis hukum terbagi menjadi:
1. Hukum Allah, Hukum ini lebih merupakan suatu moral hidup manusia kepada
penciptanya.

Politik Agraria | 41
2. Hukum Manusia, yakni menyangkut segala sesuatu yang dibuat dan diatur oleh
manusia sendiri.
Hukum mengandung arti kemajemukan, sebab terdapat beberapa bidang hukum
disamping negara, walaupun bidang-bidang itu tidak memiliki hukum dalam arti yang
penuh. Hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari negara
dan yang di kukuhnya oleh negara. meskipun terdapat hukum-hukum yang lain akan
tetapi mereka tidak mempunyai arti yang yuridis.
Kata Agraria memiliki yang sangat berbeda anatara bahasa satu dengan lainya.
Dalam bahasa latin agraria berasal dari kata ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah
atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius berarti perladangan, persawahan dan
pertanian. Dalam terminologi bahasa Indonesia kata agraria mempunyai arti urusan
tanah pertanian dan perkebunan. Sedangkan dalam bahasa inggris kata agraria
(agrarian) diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian.
Dari pengertian dua kata diatas maka Hukum Agraria adalah himpunan
peraturan yang mengatur semua hal tentang agraria, dan yang berhak menjalankan
tugas adalah pemerintah. Disini yang dimaksud dengan pejabat pemerintah adalah
keseluruhan jabatan pemerintah yang diseahi tugas keagrariaan seperti para camat,
para petugas pajak tanah atau ipeda, notaris, dan sebagainya.
Kemudian pengertian hukum Agraria sebelum adanya UUPA yakni Hukum dan
kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah senatiasa diorentasikan pada
kepentingan dan keuntungan mereka penjajah, yang pada awalnya melalui politik
dagang. Mereka sebagai penguasa sekaligus merangkap sebagai pengusaha
menciptakan kepentingan-kepentingan atas segala sumber-sumber kehidupan di bumi
Indonesia yang menguntungkan mereka sendiri sesuai dengan tujuan mereka dengan
mengorbankan banyak kepentingan rakyat Indonesia.
Hukum agraria kolonial memiki sifat dualisme hukum, yaitu dengan berlakunya Hukum
Agraria yang berdasarkan atas hukum adat, disamping peraturan-peraturan dari dan
berdasarkan atas hukum barat.
Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu
persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai dengan
kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggota
persekutuan berlangsung secara tertulis. Selain itu dalam melakukan tindakan untuk
menggunakan tanah adat, harus terlebih dahulu diketahui atau meminta izin dari
kepala adat. Dengan demikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap
milik anggota persekutuan hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa
adanya pihak yang melarang.
Demikian pula sistem hukum adat yang berlaku dapat dikatakan terpengaruh oleh
pandangan masyarakat yang kapitalis dan feodal itu.Dalam hukum adat sana-sini kita
saksiakan corak feodal yang kini tak sesuai dengan jaman.Sebagai contoh tentang
corak-corak feodal dalam hukum adat adalah diwilayah Verstenlenden, khusus
berkenaan dengan hubungan pemakian tanah oleh pengusaha-pengusaha besar dan
rakyat. Setelah diadakan reorganisasi agrarian diwilayah swapraja telah diintrodusir
suatu hak atas tananh dari pengusaha kebun besar barat yang terkenal dengan nama
“hak konversi”. Seluruh stelsel hukum tanah yang berkenaan dengan hak konversi di
swapraja Surakarta dan Yogyakarta memperlihatkan ciri-ciri feodal. Dengan sistem ini
maka si pengusaha barat yang mengadakan perjanjian dengan swapraja dan pejabat-
pejabatnya memperoleh tanah dan air berikut buruh untuk mengerjakannya.Buruh ini
dipekerjakan secara paksa dan tak dibayar. Rakyat turut bekerja secara paksa tanpa
dibayar.Bagi para pengusaha barat yang menyewa tanah dari pemangku-pemangku
jabatan feodal.Sistem konversi ini dapat berjalan karena disandarkan atas pengertian
feodal bahwa semua tanah itu pada hakekatnya berada dalam kekuasaan Sultan.
Rakyat hanya dipandang sebagai “pachter” yang memberikan separoh daripada hasil

Politik Agraria | 42
pekerjaanya kepada “Raja” dalam hubungannya ini adalah terkenal dengan sistem
“apanage” dan para bekel-bekel yang mengeruk keuntungan daripada hasil pekerjaan
rakyat penduduk tanah yang bersangkutan.

Sejarah Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria


Upaya pemerintah Indonesia untuk membentuk hukum Agraria nasional yang
akan mengganti Hukum Agraria kolonial, yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945
sudah dimulai pada tahun 1948 dengan membentuk kepanitiaan yang diberi tugas
menyusun Undang –Undang Agraria. Setelah mengalami beberapa penggantian
kepanitiaan yang berlangsung selama 12 tahun sebagai suatu rangkaian proses yang
cukup panjang, maka baru pada tanggal 24 September 1960 pemerintah berhasil
membentuk Hukum Agraria Nasional, yang dituangkan dalam undang undang pokok
agrarian Tahapan–tahapan dalam penyusunan undang – undang pokok agraria dapat
dijelaskan :
a. Panitia Agraria Yogya

Panitia ini dibentuk dengan penetapan presiden no. 16 tahun 1948 tanggal 21 mei
1948 berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo, kepala bagian
Agraria kementrian dalam negeri. Panitia ini mengusulkantentang asas-asas yang akan
menjadi dasar-dasar hukum agraria yang baru, yaitu :
1. Meniadakan asas domein dan pengakuan hak ulayat.
2. Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat,
yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan.
3. Mengadakan penyelidikan terlebih dahulu terhadap Negara Negara lain, terutama
Negara – Negara tetangga, sebelum menentukan apakan orang – orang asing dapat
pula mempunyai hak milik atas tanah.

b. Panitia Agraria Jakarta

Panitia Agraria Yogyadibubarkan dengan keputusan presiden no. 36 tahun 1951


tanggal 19 maret 1951, sekaligus dibentuk panitia Agraria Jakarta yang berkedudukan
di Jakarta dan diketuai oleh Singgih Praptodihardjo, wakil kepala bagian Agraria
kementrian dalam negeri. Panitia ini mengemukakan usulan mengenai tanah untuk
pertanian rakyat kecil, yaitu :
1. Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 hektar dengan mengadakan
peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum adat dan hukum
waris.
2. Mengadakan ketentuan batas maksimum pemilikan tanah, yaitu 25 hektar untuk
satu keluarga.
3. Pertanian rakyat hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia dan tidak
dibedakan antara warga Negara asli dan bukan asli.
4. Bangunan hukum untuk pertanian rakyat ialah hak milik, hak usaha, hak sewa, dan
hak pakai.

Politik Agraria | 43
5. Pengaturan hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar Negara dengan suatu
undang-undang.

c. Panitia Soewahjo

Berdasarkan keputusan presiden no. 1 tahun 1956 tanggal 14 januari 1956


dibentuklah panitia Negara urusan agrarian yang berkedudukan di Jakarta dan
diketuai Soewahjo Soemodilogo, sekretaris jenderal kementrian agrarian. Panitia ini
menghasilkan naskah rancangan undang-undang pokok agrarian pada tanggal 1
januari 1957 yang berisi:
1. Dihapuskannya asas domain dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan
pada kepentingan umum.
2. Asas domein digantikan dengan hak kekuasaan Negara atas dasar ketetntuan pasal
38 UUDS 1950.
3. Dualisme hukum agrarian dihapuskan
.
d. Rancangan Soenarjo

Setelah dilakukan beberapa perubahan mengenai sistematika dan perumusan


beberapa pasalnya, maka rancangan panitia Soewahjo oleh menteri agraria Soenarjo
diajukan kepada dewan menteri pada tanggal 14 maret 1858. Dewan menteri dalam
sidangnya tanggal 1 april 1958dapat menyetujui rancangan Soenarjo dan diajukan
kepada dewan perwakilan rakyat melalui amanat presiden Soekarno tanggal 24 april
1958.
1. Dalam membahas rancangan Soenarjo, dpr mengharap perlu untuk Membahas
rancangan undang-undang pokok agraria secara teknis yuridis.
2. Mempelajari bahan – bahan yang bersangkutan dengan rancangan undang – undang
pokok agraria tersebut yang sudah ada dan mengumpulkan bahan bahan yang baru.
1. Menyampaikan mengumpulkan bahan bahan yang lebih lengkap. Selanjutnya
panitia permusyawaratan DPR membentuk sebuah panitia Ad Hoc dengan tugas:
laporan tentang pelaksanaan tugasnya serta usul – usul yang dipandang perlu
mengenai rancangan undang – undang pokok agraria kepada panitia
permusyawaratan DPR.

e. Rancangan Sadjarwo

Berdasarkan dekrit persiden tanggal 5 juli 1959 kita kembali kepada UUD 1945.
Berhubung rancangan Soenarjo yang telah diajukan kepada DPR beberapa waktu yang
lalu disusun berdasarkan UUDS 1950, maka dengan surat presiden tanggal 23 maret
1960 rancangan tersebut ditarik kembali dan disesuaikan dengan UUD 1945.
Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan disempurnakan dengan bahan – bahan
dari berbagai pihak, maka rancangan undang undang pokok agraria yang baru diajukan
oleh menteri agrarian Sadjarwo kepada kabinet. Rancangan Sadjarwo ini disetujui oleh
kabinet inti dalam sidangnya tanggal 1 agustus 1960. Kemudian dengan amanat
presiden Soekarno tanggal 1 agustus 1960 nomor 2584/HK/60, rancangan tersebut
diajukan kepada dewan perwakilan rakyat gotong royong.
Dalam siding pleno sebanyak 3 kali, yaitu 12, 13 dan 14 september 1960 diadakan
pemeriksaan pendahuluan. Kemudian dengan suara bulat DPRGR menerima baik

Politik Agraria | 44
rancangan undang undang pokok agraria. Pada hari sabtu tanggal 14 september 1950
yang telah disetujui oleh DPRGR itu disahkan oleh presiden menjadi undang undang
no. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok pokok agraria, LNRI tahun 1960 no.
104 – TLNRI no. 2043, yang menurut dictum kelimanya disebut undang undang
pokok agraria (UUPA)
Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria
Didalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk
perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk
membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Dalam
pada itu hukum Agraria yang berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah
satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut,
ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat dari pada
tercapainya cita-cita diatas. Hal itu disebabkan terutama:
1. Karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi
dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara
didalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan
revolusi nasional sekarang ini;
2. Karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria
tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan
dari hukum-adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas
hukum barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masa'alah antar golongan
yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa;
3. Karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian
hukum.
Berhubung dengan itu maka perlu adanya hukum agraria baru yang nasional,
yang akan mengganti hukum yang berlaku sekarang ini, yang tidak lagi bersifat
dualisme, yang sederhana dan yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Hukum agraria yang baru itu harus memberi kemungkinan akan tercapainya
fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksudkan diatas dan harus sesuai
pula dengan kepentingan rakyat dan Negara serta memenuhi keperluannya, menurut
permintaan zaman dalam segala soal agraria. Lain dari itu hukum agraria nasional
harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita
Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan
dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada
ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada
haluan Negara yang tercantum didalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal
17 Agustus 1959 dan ditegaskan didalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960
Asas-Asas Dalam Undang-Undang Agraria
Dalam UUPA dimuat sebelas asas dari hukum Agraria nasional. Asas asas ini
karena sebagai dasar dengan sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan
segenap peraturan pelaksanaannya. Sebagai asas tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Asas Kenasionalan
2. Asas pada tingkatan tertinggi, bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara.
Politik Agraria | 45
3. Asas mengutamakan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa dari pada kepentingan perseorangan atau golongan.
4. Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
5. Asas hanya warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah.
6. Asas persamaan bagi setiap warga Negara Indonesia.
7. Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya
sendiri dan mencegah cara cara yang bersifat pemerasan.
8. Asas tata guna tanah atau penggunaan tanah secara berencana.
9. Asas kesatuanan hukum.
10. Asas jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
11. Asas pemisahan Horizontal.

Hak pengelolahan sebagai bagian dari hak-hak penguasaan atas tanah yang kini
berlaku di indonesia, tidak dapat dipisahkan begitu saja dari hak-hak penguasaan atas
tanah pada umumnya. Hak-hak penguasaan atas tanah pada umumnya pada hakikatnya
merupakan refleksi dari pandangan manusia terhadap dirinya sebagai manusia dalam
hubungannya dalam pandangannya terhadap tanah.pada umumnya pandangan
terhadap manusia ada yang menitik beratkan kepada manusia sebagai individu, dan
ada pula yang menitik beratkan kepada manusia sebagai makhluk sosial.
Menurut koesnoe (1979 : 4) bahwa hukum barat berpangkal pada pandangan bahwa
seorang itu adalah makhluk yang bebas atau merdeka dan sama satu dengan yang lain,
akibat sebagai pengalaman sebagai manusia yang hidup bersama dengan lain individu,
maka setiap individu berusaha untuk sedapatnya mempertahankan kebebasannya atau
kemerdekaannya itu, sehingga kemerdekaan dan kebebasan masing-masing dapat
saling terganggu. Hal ini hanya dapat dihindari dengan mengadakan perjanjian
masyarakat, dimana satu sama lain akan menghormati kemerdekaan masing-masing
dalam berusaha memenuhi kebutuhan dan kepentingan masing-masing yang beraneka
ragam. Pedoman hidup yang menetapkan syarat-syarat yang disertai dengan sanksi
disebut dengan hukum.
Kehadiran hukum didalam masyarakat diantaranya untuk mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan tersebut. pengorganisasian kepentingan-
kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan tersebut.
hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mealokasikan suatu kekuasaan
kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut.

UUPA Sebagai Hukum Agraria Nasional


1. Sifat Nasional UUPA

UUPA mempunyai du substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak


memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua, membangun
hukum agraria nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUP, maka
terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama
hukum di bidang pertanhan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur

Politik Agraria | 46
perangkat hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya. UUPA juga merupakan
undang-undang yang melakukan pembaruan agraria karena di dalamnya memuata
program yang dikenal dengan Panca Program Agraria Reform Indonesia, yang
meliputi:
a) Pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasioanl
dan pemberian jaminan kepastian hukum.
b) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah.
c) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
d) Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan
hukum yangberhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan
pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal dengan program
landreform;
e) Perncanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya serta penggunaan secara terencana, sesuai dengan daya
dukung dan kemampuannya.
Sebagai undang-undang nasional, UUPA memiliki sifat nasional material dan
formal. Sifat nasional material berkenaan dengan substansi UUPA. Sedangkan
nasional formal berkenaan dengan pembentukan UUPA.

2. Sifat Nasional Material UUPA

Sifat nasional materian UUPA menunjuk kepada substansi UUPA yang harus
mengandung asas-asas berikut :
Berdasarkan hukum tanah adat;
1. Sederhana.
2. Menjamin kepastian hukum.
3. Tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama.
4. Memberi kemungkinan suapya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai
fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur.
5. Sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia.
6. Memnuhi keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman dalam segala
soal agraria.
7. Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai asas kerohanian negara dan
cita-cita bangsa seperti yang tercantum dalam undang-undang.
8. Merupakan pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
Manifesto
9. Politik.
10. Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

3. Sifat Nasional Formal UUPA.


Sifat nasional formal UUPA menunjuk kepada pembentukan UUPA yang
memenuhi sifat sebagai berikut:
a) Dibuat oleh pembentuk undang-undang naisonal Indonesia, yaitu DPRGR;
b) Disusun dalam bahasa nasional Indonesia;
c) Dibentuk di Indonesia;
d) Bersumber pada UUD 1945;
e) Berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia. 

Politik Agraria | 47
4. Peraturan Lama yang Dicabut oleh UUPA.

Dengan dindangkannya Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan


Dasar Pokok-pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960, maka dengan demikian
Indonesia memiliki hukum agraria baru yang bersifat nasional yan tentunya lepas dari
sifat-sifat kolonial dan disesuaikan dengan pribadi dan jiwa bangsa Indonesia sebagai
negara merdeka dan berdaulat

DAFTAR PUSTAKA

Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Foth, H. D., 1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Purbayanti, E. D., D. R. Lukiwati, dan
R. Trimulatshih., penerjemah; Hudoyo. A. B., penyunting. Terjemahan dari: Fundamental
of Soil Science. Yogyakarta : UGM Press.

Politik Agraria | 48
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Bayumedia,Malang,2007,
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999.
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Cetakan VI,
Penerbit
Mandar Maju, Bandung, 1991,
Sangsun, 2008, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visi media, Jakarta,
Muhibbin, Moh. (2011). Penguasaan atas tanah timbul ( aanslibbing ) oleh
masyarakat dalam perspektif hukum Agraria Nasional,Ringkasan Disertasi, Program
Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Soeprapto, R.(1966). Undang-Undang Agraria Dalam Praktek, Jakarta, Mitra Sari

Samosir, Djamanat. (2013). Hukum Adat Eksistensi Dalam Dinamika


Perkembangan Hukum Di Indonesia, Cetakan I, Bandung: Nuansa Aulia,

Koesnoe, H.Moh.(2002). Kapita Selekta Hukum Adat Suatu Pemikiran Baru, Varia
Peradilan, Jakarta: IKAHI

Soetomo, SH, Politik & Administrasi Agraria (Surabaya, Usaha Nasional)

Modul Belajar Gepgrafi, oleh Hendro Murtianto

Buku Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035

Boedi Harsono, 2013, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Universitas Trisakti,

Abdurrahman, 1983. Masalah Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di


Indonesia, Bandung, Alumni

Darwin Ginting, Politik Hukum Agraria Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat di Indonesia (Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-42 No.1 Januari-Maret
2012)
Dr. Urip Santoso, S.H., M.H. Hukum Agraria Kajian Komprehensif (Prenada
Media,
Jakarta, 2012)

Politik Agraria | 49
Darwin Ginting, Politik Hukum Agraria Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat di Indonesia (Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-42 No.1 Januari-Maret
2012)
Aminuddin Salle, dkk. Bahan Ajar Hukum Agraria (Penerbit ASPublishing :
Makassar, 2011)
Muchsin, dkk, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, (Bandung : PT
Refika Aditama, 2010)
Supriadi, Hukum Agraria (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hal 8
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 10-11.
Oloan Sitorus, Widhiana H. Puri, Hukum Tanah, Cetakan Kedua (Yogyakarta :
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2014)
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cetakan
Kesembilan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003
Urip Santoso,Hukum Agraria, (Jakarta: Kencana, 2013)
UUPA ketentuan yang mengatur Hak Milik (HM) ditemukan dalam Pasal 20-27.
Selanjutnya, di dalam Pasal 50 ayat (1) dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
HM akan diatur ‘dengan undang-undang’.
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Cetakan VI,
Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1991
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2010)
Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA (Jakarta: PT. RINEKA Cipta,
1995)
D.R Huijbers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius Anggota IKAPI, 1982 )
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, PT Fajar Interpratama
Offset, Jakarta, 2009
I Ketut Sudiarta,Hukum Agraria, Denpasar Juli 2017
Dr. Santoso Urip, S.H., M.H, Hukum Agraria Kajian Komprehensif,(Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup 2012)
Penjelasan umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Rancangan
Undang-Undang Pokok Agraria
Soimin Sudaryo, S.H.,Status hak dan pembebasan tanah, (Jakarta: sinar grafika,
1994)

Politik Agraria | 50
Imam Sotiknjo, Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria dala Rangka
Menyukseskan Pelita V, Makalh Ceramah Sehari, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya,
1989,
Boedi Harsono, hukum Agraria Indonesia-sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaanya. Jilid 1 : Hukum Tnaha Nasional, edisi revisi,
(Jakarta Djambatan, 2003)
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999.

Politik Agraria | 51
Sejarah Politik Di Bidang
Agraria
Nama Kelompok :
Ali Akbar Rafsanjani (I71218039)
Alivia Rizki (I71218040)
Atik Nur Avivah (I91218065)

BAB II
Sejarah Politik Di Bidang Agraria
A. Latar Belakang
B. BAB I
C. PENDAHULUAN
Politik Agraria | 52
D. 1.1 Latar Belakang
E. Politik senantiasa diperlukan oleh masyarakat di negara manapun.
Ia merupakan
F. upaya untuk memelihara urusan umat di dalam dan di luar negeri. Jika memandang
seseorang
G. dalam sosoknya sebagai manusia (sifat manusiawinya), ataupun sebagai individu
yang hidup
H. dalam komunitas tertentu, maka sebenarnya ia bisa disebut sebagai seorang
politikus. Di
I. dalam hidupnya manusia tidak pernah berhenti dan mengurusi urusannya
sendiri, urusan
J. orang lain yang menjadi tanggung jawabnya, urusan bangsanya, ideologi dan
pemikiran-
K. pemikirannya. Oleh karena itu setiap individu, kelompok, organisasi ataupun
negara yang
L. memperhatikan urusan umat (dalam lingkup negara dan wilayah-wilayah
mereka) bisa
M. disebut sebagai politikus. Dapat dikenali hal ini dari tabiat aktivitasnya,
kehidupan yang
N. mereka hadapi serta tanggung jawabnya. Islam sebagai agama yang juga
dianut oleh
O. mayoritas umat di Indonesia selain sebagai aqidah ruhiyah (yang
mengatur hubungan
P. manusia dengan Rabb-nya), juga merupakan aqidah siyasah (yang mengatur
hubungan antara
Q. sesama manusia dan dirinya sendiri). Oleh karena itu Islam tidak bisa dilepaskan
dari aturan
R. yang mengatur urusan masyarakat dan negara. Islam bukanlah agama yang
mengurusi ibadah
S. mahdloh individu saja. Berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum
muslimin. Di
T. dalam negeri, kaum muslimin harus memperhatikan, apakah urusan umat dapat
terpelihara
U. dengan baik oleh negara. Mulai dari penerapan hukum pemerintahan, ekonomi,
kesehatan,
V. pendidikan, keamanan, aturan interaksi antar individu pria dan wanita
serta seluruh
W. kepentingan umat lainnya. Dengan demikian memperhatikan politik dalam negeri
ini berarti
X. menyibukkan diri dengan urusan-urusan kaum muslimin secara umum. Yaitu
memperhatikan
Y. kondisi kaum muslimin dari segi peranan pemerintah dan penguasa terhadap
mereka. Jika
Z. melihat kondisi politik yang ada sekag ini sangatlah memprihatinkan, politik yang
hanya
AA. men- Tuhankan uang dan tidak membawa kaidah apapun bagi negeri ini.
Hal ini dikarenakan
BB. tidak diterapkannya nilai-nilai dasar politik dalam ajaran Islam. Dimana
nilai-nilai tersebut

Politik Agraria | 53
CC. mencakup segala peraturan tentang berpolitik dengan menjauhkan dari
segala larangan Allah
DD. SWT dan menerapkan sistem politik yang ada pada zaman Rasulullah
EE. BAB I
FF. PENDAHULUAN
GG. 1.1 Latar Belakang
HH. Politik senantiasa diperlukan oleh masyarakat di negara
manapun. Ia merupakan
II. upaya untuk memelihara urusan umat di dalam dan di luar negeri. Jika memandang
seseorang
JJ. dalam sosoknya sebagai manusia (sifat manusiawinya), ataupun sebagai individu
yang hidup
KK. dalam komunitas tertentu, maka sebenarnya ia bisa disebut sebagai
seorang politikus. Di
LL. dalam hidupnya manusia tidak pernah berhenti dan mengurusi
urusannya sendiri, urusan
MM. orang lain yang menjadi tanggung jawabnya, urusan bangsanya,
ideologi dan pemikiran-
NN. pemikirannya. Oleh karena itu setiap individu, kelompok, organisasi
ataupun negara yang
OO. memperhatikan urusan umat (dalam lingkup negara dan wilayah-
wilayah mereka) bisa
PP. disebut sebagai politikus. Dapat dikenali hal ini dari tabiat aktivitasnya,
kehidupan yang
QQ. mereka hadapi serta tanggung jawabnya. Islam sebagai agama
yang juga dianut oleh
RR. mayoritas umat di Indonesia selain sebagai aqidah ruhiyah (yang
mengatur hubungan
SS. manusia dengan Rabb-nya), juga merupakan aqidah siyasah (yang mengatur
hubungan antara
TT. sesama manusia dan dirinya sendiri). Oleh karena itu Islam tidak bisa
dilepaskan dari aturan
UU. yang mengatur urusan masyarakat dan negara. Islam bukanlah agama yang
mengurusi ibadah
VV. mahdloh individu saja. Berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum
muslimin. Di
WW. dalam negeri, kaum muslimin harus memperhatikan, apakah urusan umat
dapat terpelihara
XX. dengan baik oleh negara. Mulai dari penerapan hukum pemerintahan,
ekonomi, kesehatan,
YY. pendidikan, keamanan, aturan interaksi antar individu pria dan
wanita serta seluruh
ZZ. kepentingan umat lainnya. Dengan demikian memperhatikan politik dalam
negeri ini berarti
AAA. menyibukkan diri dengan urusan-urusan kaum muslimin secara umum.
Yaitu memperhatikan
BBB. kondisi kaum muslimin dari segi peranan pemerintah dan penguasa
terhadap mereka. Jika
CCC. melihat kondisi politik yang ada sekag ini sangatlah memprihatinkan,
politik yang hanya

Politik Agraria | 54
DDD. men- Tuhankan uang dan tidak membawa kaidah apapun bagi negeri ini.
Hal ini dikarenakan
EEE. tidak diterapkannya nilai-nilai dasar politik dalam ajaran Islam. Dimana
nilai-nilai tersebut
FFF. mencakup segala peraturan tentang berpolitik dengan menjauhkan dari
segala larangan Allah
GGG. SWT dan menerapkan sistem politik yang ada pada zaman Rasulullah
Pada zaman kerajaan, Pada mulanya kepemilikan tanah di Indonesia bersifat
kolektif. Pemilikan tanah oleh masyarakat awal ini yang kemudian disebut sebagai
tanah komunal. Di desa, tanah dimiliki secara komunal. Kegiatan produksi
(pertanian) dikerjakan secara gotong-royong. Bung Hatta menyebutkan corak
kolektif masyarakat desa asli di Indonesia tersebut merupakan ciri dari: Sosialisme
Indonesia. Tanah kepunyaan masyarakat dan bukan kepunyaan orang-seorang.
Kepemilikan pribadi atas tanah selalu dibatasi oleh hak ulayat/bersama. Karena sifat
tanah yang berfungsi sosial tadi maka tanah tidak diperbolehkan untuk
dikomoditikan.
Di abad ke 14 muncul sistem kepemilikan “tanah raja”, khususnya di Jawa,
kaum priyayi diberikan tanah lungguh (apnage). Tanah lungguh diberikan bukan
menurut luasnya, melainkan menurut jumlah penduduknya (cacah). Karena itu,
kemakmuran priyayi ditentukan bukan berdasarkan luas tanahnya, melainkan jumlah
rakyatnya.49
Namun, semua itu berubah ketika bangsa Belanda datang ke Indonesia. Tepatnya
pada bulan April 1595 empat buah pasukan Belanda yang dipimpim Coenels De
Houtman berlabuh di Banten. Tujuan awal Belada yaitu untuk berdagang. Dengan
berbagai siasat Belanda dapat mempermainkan pasar. Dan pelan namun pasti
Belanda mulai menjajah Indonesia. Kekuatan Belanda telah menguasai Indonesia.
Sehingga Indonesia mau tidak mau harus menuruti apa saja yang diperintah oleh
Belanda. Banyak hal yang telah dibuat oleh Belanda untuk Indonesia yang mana
merugikan bangsa Indonesia. Semua aspek telah diperimtah oleh Belanda.
Tanah merupakan suatu benda tak bergerak yang mampu memberikan hidup,
tempat tinggal, tempat bertahan hidup dengan cara mengusahakannya, sehingga
sebagian besar kebutuhan manusia tergantung pada tanah. Mengingat pentingnya arti
tanah bagi manusia, maka diperlukan suatu peraturan atau norma-norma tertentu
dalam penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah. Pengertian tanah menurut
penjelasan pasal 1 Undang- Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, yang dimaksud denga n tanah adalah permukaan bumi. 50
Agraria merupakan lembaga yang menyatakan hal-hal yang terkait dengan
pembagian, peruntukan, dan pemilikan lahan. Agraria sering pula disamakan dengan
pertanahan. Dalam banyak hal, agraria berhubungan erat dengan pertanian (dalam
pengertian luas, agrikultur), karena pada awalnya, keagrariaan muncul karena terkait
dengan pengolahan lahan.51 Masalah agraria adalah masalah yang sangat penting
untuk dibahas. Karena pertanahan adalah sumber penghidupan. Dari lahan yang
dimilikinya bisa untuk dibangun rumah. Lahan yang lain juga bisa untuk dibuat
ladang untuk penghasilan dan untuk keperluan hidup sehari – hari.
Tanah merupakan faktor pendukung utama dalam kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat52. Fungsi tanah tidak hanya terbatas pada kebutuhan tempat tinggal,
tetapi juga tempat tumbuh kembang, sosial, politik dan budaya seseorang maupun
49
Agus Pranata. “Tanah, Neokolonialisme, dan Reforma Agraria”.
(http://mimbarprotes.blogspot.com/2013/02/tanah-neokolonialisme-dan-reforma.html, diakses pada 8
Maret 2021 Pukul 09.33).
50
Redaksi Sinar Grafik. Undang – Undang Agraria (Sinar Grafika: Jakarta. 2008) Hal. 2.
51
Wikipedia. “Agraria”. (https://id.wikipedia.org/wiki/Agraria, diakses pada 8 Maret 2021 Pukul 8.37).
52
Winahyu Herwiningsih. Perubahan politik dan Agenda Perbaharuan Agararia Diindonesia (Jakrta: FE UI.
1997) Hal. 28-31.

Politik Agraria | 55
suatu komunitas masyarakat. Tanah sebagai pendukung utama kehidupan ketika
dijamah kolonial belanda dan setelh merdeka banyak diperbincangkan, entah dari
sejarah filosofisnya atau dari segi berlakunya, indonesia telah banyak menuai “asam-
manis” kerasnya kehidupan menuju kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera.
Indonesia telah banyak melewati masa-masa yang sangat keras. 53 Seperti masa-masa
diberlakukanya Agrarische Wet pada tahun 1980, Regelings Reglement, dan Indische
Staat Regeling. Dan bahkan Indonesia telah mempunyai undang-undang khusus
tentang Agraria yaitu Undang-undang pokok agraria (UUPA), yang dimana UU itu
muncul setelah indonesia memperoleh kemerdekaannya. Sebagai realisasi dan
keinginan pemerintah jajahan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya
dari hasil pertanian di Indonesia pemerintah berusaha mempersempit kesempatan
pihak-pihak pengusaha swasta untuk memperoleh jaminan yang kuat atas tanah-
tanah yang diusahainya, seperti untuk memperoleh hak eigendom. Kepada para
pengusaha oleh pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa atas tanah-tanah kosong
dengan waktu yang terbatas yaitu tidak lebih dari 20 tahun sebagai hak personalitas.
Tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan hutang. Demikian juga dengan hak
erfpacht oleh pemerintah tidak dapat diberikan,karena masih menghargai hak-hak
adat yang tidak rnengenal adanya hak erfpact.54
Salah satunya yaitu politik di Bidang Agraria. Pemerintahan Belanda
mengeluarkan Undang-Undang pertanahan yang tentunya sangat merugikan bangsa
Indonesia. Berbagai upaya penolakan telah dilakukan oleh bangsa Indonesia. Namun
sebelum kemerdekaan berhasil didapatkan oleh bangsa Indonesia, niscaya upaya
tersebut akan sia – sia.
Setelah kemerdekaan telah didapat oleh Indonesia, pemerintahan Indonesia
mulai menata kembali politik agraria yang sebelumnya dikeluarkan oleh pihak
Belanda. Banyak revisi-revisi perundang-undangan yang dilakukan. Yang mana
gunanya hanya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
Maka dari itu, pembahasan ini sangat menarik guna menambah wawasan tentang
perpolitikan dalam hal agraria. Bagaimana kejamnya hukum yang agraria yang
diterapkan di Indonesia ketika pemerintahan Belanda. Serta dapat mengetahui
bagaimana usaha pemerintah Indonesia ketika merevisi Undang – Undang yeng telah
dibuat oleh Belanda yang gunanya untuk mengembalikan hak kepemilikan tanah
rakyat Indonesia. Yang mana wawasan ini nantinya dapat dijadikan pijakan untuk
membedakan politik agraria zaman Belanda dan pada zaman kemerdekaan.

B. Pengertian Sejarah dan Politik Agraria


- Pengertian Sejarah
Kata sejarah berasal dari bahasa Arab sajaratun yang artinya pohon. Dalam
bahasa Arab, kata sejarah disebut tarikh. Adapun kata tarikh dalam bahasa
Indonesia artinya waktu. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu
historia yang berarti ilmu. Dalam bahasa Inggris berasal dari history, yakni masa
lalu. Dalam bahasa Prancis historie, bahasa Italia storia, bahasa Jerman
geschichte, yang berarti yang terjadi, dan bahasa Belanda dikenal
gescheiedenis.55
Pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian sejarah menyangkut
waktu dan peristiwa. Oleh karena itu masalah waktu penting dalam memahami
peristiwa, sejarawan cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat
periodisasi.

53
Winahyu Herwiningsih. Hak Menguasai Negara Atas Tanah. (Yogyakarta: Total media dan FH UII. 2009).
Hal. 1.
54
Ibid. Hal. 2.
55
Tengku Iskandar. Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka. (Kuala Lumpur. 1996) Hal. 1040.

Politik Agraria | 56
Sejarah, babad, hikayat, riwayat, atau tambo dalam bahasa Indonesia dapat
diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lalu
atau silsilah, terutama bagi raja-raja.56
Kata sejarah menurut pendapat para ahli, yaitu sebagai berikut: J. Bank
berpendapat bahwa Sejarah merupakan semua kejadian atau peristiwa masa lalu.
Sejarah untuk memahami perilaku masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan
datang. Robin Winks berpendapat bahwa Sejarah adalah studi tentang manusia
dalam kehidupan masyarakat. Leopold von Ranke berpendapat bahwa Sejarah
adalah peristiwa yang terjadi.57
Sir Charles Firth berpendapat bahwa Sejarah merekam kehidupan manusia,
perubahan yang terus menerus, merekam ide-ide, dan merekam kondisi-kondisi
material yang telah membantu atau merintangi perkembangnnya. John Tosh
berpendapat bahwa Sejarah adalah memori kolektif, pengalaman melalui
pengembangan suatu rasa identitas sosial manusia dan prospek manusia tersebut
di masa yang akan datang.
Henry Steele Commager berpendapat bahwa Sejarah merupakan rekaman
keseluruhan masa lampau, kesusatraan, hukum, bangunan, pranata sosial, agama,
filsafat. Moh. Hatta berpendapat bahwa Sejarah adalah pemahaman masa lalu
yang mengandung berbagai dinamika dan problematika manusia.58 Sedangkan
Moh. Ali mempertegas pengertian sejarah, yakni :
1. Jumlah perubahan, kejadian atau peristiwa di sekitar kita.
2. Cerita perubahan, kejadian, atau peristiwa di sekitar kita.
3. Ilmu yang menyelidiki perubahan, kejadian, peristiwa di sekitar kita.59
Dari sini dapat kita simpulkan bahwasanya pengertian sejarah saat ini, yang
setelah dilihat secara umum dari para ahli ialah memiliki makna sebagai cerita,
atau kejadian yang benar-benar telah terjadi pada masa lalu. Namun yang jelas,
bahwasanya sejarah merupakan suatu penggambaran ataupun rekonstruksi
peristiwa, kisah, maupun cerita yang benar-benar terjadi pada masa lalu.

- Pengertian Politik Agraria


Politik Agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh Negara
dalam memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil
manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk
hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan Negara, yang bagi Negara
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar (UUD) 1945. Politik
Agraria dapat dilaksanakan, dijemalkan dalam sebuah Undang-Undang mengatur
agrarian yang memuat asas-asas, dasardasar, dan soal-soal agraria dalam garis
besarnya, dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya.Dengan demikian, ada
hubungan yang erat antara politik dan hukum.60
Problem utama yang dihadapi oleh setiap negara agraris ialah ketika
manusia membutuhkan tanah dan hasilnya untuk kelangsungan hidup,
membutuhkan tanah untuk tempat hidup dan usaha, bahkan sesudah
meninggalpun masih membutuhkan sejengkal tanah. Sehubungan dengan luas
tanah dalam negara itu terbatas, terlebih ketika kita membicarakan lahan
pertanian padahal jumlah penduduk semakin lama semakin bertambah. Oleh
karena itu masalah utama yang dihadapi oleh setiap negara yang mengaku agraris

56
Ibid. Hal. 1041.
57
Abdullah, T. dan A. Surjomihardjo. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif. Jakarta:
Gramedia.
58
Hardjasaputra A. Sobana. 2008. Meode Penelitian Sejarah di dalam Materi Penyuluhan Workshop
Penelitian dan Pengembangan Kabudayaan. BPSBP: Bandung.
59
R. Moh. Ali. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia (Yogyakarta : Penerbit Lkis. 2003) Hal. 53.
60
Urip Santoso. Hukum Agraria Kajian Komprehensif (Kencana: Jakarta). Hal.24.

Politik Agraria | 57
adalah, mengingat keadaan alam dan luas tanah dalam negara, dalam
hubungannya dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah, bagaimana cara
memelihara, mengawetkan, memperuntukan, mengusahakan mengurus dan
membagi tanah serta hasilnya sedemikian rupa sehingga menguntungkan bagi
kesejahteraan rakyat dan negara.
Dalam Politik Agraria, permasalahan diatas adalah permasalahan pokok
yang ingin dipecahkan. Politik agrarian mempunyai objek, hubungan manusia
dengan tanah, beserta segala persoalan dan Lembaga-lembaga masyarakat yang
timbul karenanya, yang bersifat politis, ekonomis, social dan budaya. Secara
ringkas dapat disimpulkan fokus utama politik agrarian ada pada 3 faktor
berikut:61
1. Adanya hubungan antar manusia dengan tanah yang merupakan suatu realita
yang selamanya akan ada.
2. Manusia dari sudut politis, social, ekonomis, kultural dan mental.
3. Alam khususnya tanah.
Agraria menjadi salah satu fokus atau kajian di dalam ilmu politik yang
cukup penting untuk dibahas. Boleh jadi agraria menjadi salah satu hal penting
yang cukup kompleks untuk dibahas. Banyak persoalan sosial maupun hukum
yang selalu mewarnai pemberitaan di media di Indonesia terkait dengan agraria.
Istilah atau pengertian agraria berasal dari bahasa Yunani yaitu Ager yang
berarti tanah atau ladang.62 Selain itu, pengertian agraria menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) berarti urusan pertanian atau urusan kepemilikan
tanah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian agraria secara sempit
berarti tanah. Pengertian tersebut tentu masih bersifat multitafsir karena ada
beberapa orang yang boleh jadi menganggap tanah sebagai sesuatu yang ada di
permukaan bumi saja. Di sisi lain, pengertian agraria secara luas mempunyai
makna atau cakupan yang lebih besar lagi, tidak hanya tanah, tetapi juga hal-hal
yang terkandung di dalam tanah itu sendiri. Secara lebih ringkas, pengertian
agraria secara luas mencakup berbagai hal seperti bumi, air, angkasa, dan
kekayaan alam yang ada di dalamnya sesuai dengan UUPA.
Dari perspektif politik, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai definisi
politik. Politik dalam hal ini dimaknai sebagai kekuasaan (power). Dalam
perspektif ini, fokus kajiannya adalah cara mengelola sumber daya atau agraria
yang sudah ada. Hal itu bisa dilakukan apabila seseorang atau sekelompok orang
mempunyai kekuasaan yang besar untuk mengatur hal tersebut. Dengan
demikian, mereka mempunyai wewenang untuk mengatur sebuah kebijakan yang
terkait dengan agraria. Selain itu, orang-orang yang memiliki kekuasaan boleh
jadi karena kepemilikan atas beberapa bagian agraria seperti tanah, air, atau
pertambangan. Dari hal tersebut, seseorang mampu memberikan influence
kepada orang lain supaya tunduk dalam artian orang-orang yang mempunyai
resource tadi secara tidak langsung sedang mengelola kekuasaannya.
Dari paparan diatas, dapat diambil beberapa poin penting yang menyangkut
tentang pengertian dan perspektif agraria. Agraria pada umumnya dapat
didefinisikan secara sempit (sebagai tanah) dan secara luas (tanah, air, angkasa,
dan kekayaan yang ada di dalamnya). Selain itu, Sitorus juga membagi dua
dimensi dalam mempelajari agraria yaitu dari sisi objek (kekayaan SDA atau
sumbersumber agraria) dan subjek (pemerintah, komunitas, dan swasta).
61
Noer Fauzi. Petani dan Penguasa (Insist Press: Jogjakarta. 1999) Hal. 256.
62
Ali Achmad Chomzah. Hukum Agraria Pertanahan Indonesia. Jilid 2. Hal. 64.

Politik Agraria | 58
Selanjutnya, dari adanya subjek tersebut, maka dapat diambil 3 tipe struktur
agraria atau hubungan sosial agraria yaitu tipe kapitalis, sosialis, dan populis.
Terakhir, agraria dapat didefinisikan atau dipandang dari multidisiplin ilmu
seperti dari ilmu hukum, ekonomi, sosial, sejarah, antropologi, dan politik.63

C. Politik Di Bidang Agraria Sebelum Kemerdekaan


Sebelum mengetahui lebih lanjut tentang politik di bidang agraria. Di awal perlu
dibahas tentang pengertian tentang agraria. Istilah agraria berasal dari kata akker
(bahasa Belanda), agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (bahasa latin)
tanah atau sebidang tanah, agrarius (bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan,
pertanian, agrarian (bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian. Menurut Andi
Hamzah, agraria adalah masalah tanah dari semua yang ada di dalam dan di atasnya.
Menurut subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah segala apa yang ada
diatasnya.64 Yang dimaksud disini adalah seperti batu, tanah, kerikil, tambang,
tanaman dan bangunan.
Kata agraria berasal dari bahasa latin “ager” yang berarti tanah atau sebidang
tanah. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agraria berarti urusan
pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.Bahkan sebutan
agrarian laws dalam Black’s Law Dictionary seringkali digunakan untuk menunjuk
kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan melakukan pembagian
tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan
pemilikannya.Adapun pengertian agraria menurut Andi Hamzah, Subekti, dan R.
Tjitrosoedibio adalah masalah atau urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam
dan di atasnya.65
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia agraria memiliki pengertian urusan
pertanian atau tanah pertanian. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, susunan W. J.
S Purwodarminta, bahwa agraraia berasal dari dari Eropa dan berarti urusan tanah
pertanian (Perkebunan)66. Dalam Black’s Law Dictionary, disebutkan bahwa
agrarian itu relating to land or to a division or distribution of land; esp, from land or
land ownership: agrarian laws (problems, disputes). Dalam hal ini kata agraraia
adala kata sifat, yang mana agraraia dipergunakan untuk membedakan corak
kehidupan (ekonomi) masyarakat non-agraris (perdagangan dan industri). 67 Menurut
Andi Hamzah, agraria adalah masalah dan semua yang ada di dalam dan diatasnya.
Menurut Subekti dan R Tjitrisoedibio (Santoso, 2013: 1), 68 agraria adalah urusan
tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya, yang di dalam tanah misalnya
batu, kerikil, tambang, sedangkan yang ada diatas tanah berupa tanaman, bangunan.
Ruang lingkup agraria / sumber daya alam dapat dijelaskan sebagi berikut :
1. Bumi
Pengertian bumi menurut pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi,
termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.
2. Air
Pengertian air menurut pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada
diperairan pedalaman maupun air yang berada dilaut diwilayah Indonesia
3. Ruang Angkasa
Penertian ruang angkasa menurut pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang diatas
bumi wilayah Indonesia dan ruang diatas air wilayah Indonesia. Pengertian
ruang angkasa menurut pasal 48 UUPA ruang diatas bumi dan air yang

63
Arief Rahman. Buku Ajar Politik Agraria (Jambi: Salim Media Indonesia. 2019). Hal. 17-18.
64
Urip Santoso. Hukum Agraria Kajian Komperhensif (Kencana: Jakarta. 2012 ) Hal. 1.
65
Ibid.
66
J. B Daliyo. Hukum Agraraia I Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta: Gloria. 2001) Hal. 5.
67
Ibid.
68
Urip Santoso. Hukum Agraria kajian komprehensif (Jakarta: Kencana Prenada Group. 2013) Hal. 1.

Politik Agraria | 59
mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha
memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya.
4. Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya
Kekayaan alam yang terkandung didalam bumi disebut bahan, yaitu unsur –
unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk
batuan-batuan mulia yang merupakan endapan – endapan alam.
Menurut Soedikno Mertokusumo (2013)69, hukum Agraria adalah Keseluruhan
kaidah-kaidah   hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur
agraria. Bachsan Mustofa menjabarkan kaidah hukum yang tertulis adalah Hukum
Agraria dalam bentuk hokum undang-undang dan peraturan-peraturan tertulis lainnya
yang dibuat negara, sedangkan kaidah hokum yang tidak tertulis adalah Hukum
Agraria dalam bentuk hokum Adat Agraria yang dibuat oleh masyarakat adapt
setempat dan yang pertumbuhan, perkembangan serta berlakunya dipertahankan oleh
masyarakat adat yang bersangkutan. Boedi Hasono menyatakan Hukum Agraria
merupakan satu kelompok berbagai bidang hokum, yang masing-masing mengatur
hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian
agrarian.
Pada zaman kolonial terdapat tanah-tanah yang merupakan hak barat seperti
tanah eigendom, tanah erfpacht, tanah opstal. Sedangkan tanah-tanah yang merupakan
hak Indonesia seperti tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah
bengkok, tanag agraricsh eigendom dan lain-lain. Tanah-tanah eropa hampir semuanya
terdaftar di kantor Ordonansi Balik Nama. Tanah-tanah barat ini tunduk pada
ketentuan hukum agraria barat misalkan, seperti cara memperoleh, pemeliharaan,
lenyapnya, pembebanan dan lain-lain. Perbuatan hukum yang dapat dilakukan terbatas
sesuai dengan ketentuan agraria barat. Misalkan tanah egeindom tidak dapat
digadaikan, tetapi dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hipotik menurut
BW.
Tanah Indonesia adalah tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia, tanah Indonesia
hampir semuanya belum terdaftar, kecuali tanah-tanah agrarisch eigendom, seperti
tanah milik di dalam kota Yogyakarta dan Surakarta. Tanah Indonesia tunduk pada
ketentuan hukum adat Indonesia. Namun tidak seluruh tanah Indonesia memiliki status
sebagai hak-hak asli adat, ada juga yang bukan merupakan hak asli adat seperti tanah
agrarissh eigendom yang merupakan ciptaan pemerintah. Selain dua macam tanah
diatas terdapat juga tanah lain, seperti tanah Tionghoa. Menurut Eddy Ruchiyat dalam
bukunya “ Politik Petenahan sebelum dan sesudahnya UUPA” (Eddy Rucchiyat,
1986:7) Tanah Tionghoa adalah tanah-tanah yang dimiliki dengan landerijenbezitrecht.
Landerijenbezitrecht adalah hak yang dengan sendirinya diperoleh seorang timur asing
pemegang hak usaha di tanah partikelir, yang sewaktu-waktu tanah partikelir bisa
dibeli kembali oleh pemerintah. Sehingga dapat dikatakan bahwa tanah tersebut pada
asasnya adalah hak milik Indonesia namun subjeknya terbatas pada golongan timur
asing.70
Perkembangan hukum agraria sudah dimulai sejak zaman kerajaan, di mana
tanah bukanlah benda yang diperdagangkan karena masih melimpahnya tanah-tanah
yang belum dimiliki.Masyarakat pada masa kerajaan menjalani kehidupannya
69
Ibid. Hal. 57.
70
Ruchhiyat, Eddy. Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA (Bandung: Penerbit Alumni.
1986). Hal. 7.

Politik Agraria | 60
berdasarkan ketentuan raja.Sebagai pemimpin tertinggi dalam sebuah wilayah, raja
berdaulat penuh atas semua hal yang ada dalam wilayah yuridiksinya. Begitupun
dalam pengurusan tanah (Gunawan Wiradi, 2009:66) raja telah menentukan batas dan
bagian masing-masing bagi rakyatnya.Pola pembagian wilayah yang menonjol pada
masa awal-awal kerajaan di Jawa adalah berupa pembagian tanah ke dalam beragam
penguasaan atau pengawasan, yang diberikan ke tangan pejabat- pejabat yang ditunjuk
oleh raja atau yang berwenang di istana.71
Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan banyaknya sumber daya
alam. Indonesia kaya akan pulau – pulaunya, macam ragam budaya serta hasil
pertaniannya. Banyak kalangan Eropa yang berdagang di Indonesia guna mendapatkan
rempah – rempah dengan kualitas yang tinggi. Yang mana akan mereka bawa ke
negaranya untuk menghangatkan badan dengan suhu udara yang dingin serta
digunakan untuk obat – obatan.
Salah satu negara Eropa yang tertarik dengan Indonesia adalah Belanda. Belanda
datang pertaman kali ke Indonesia pada bulan April 1595 menggunakan empat buah
kapal yang dipimpin oleh cournelis De Houtman dan berlabuh di Banten. Belanda
menggunakan alsan berdangan dalam perjalanannya yang menjadikan rakyat Banten
menyambut baik kedatangan mereka. Karena sikap tidak baik ditunjukkan kepada
rakyat Banten akhirnya Belanda diusir dalm berlayar kembali menuju arah timur dan
berlabuh ke Bali. Rombongan kedua dari Belanda dengan delapan kapal datang lagi ke
Banten dibawah pimpinan Jacob Van Neck dan Van Waewyck. Karena hubungan
Banten dengan portugis memburuk yang menyebabkan pemimpin Belanda dapat
mengambil hati pemimpin Banten dan memulai perdagangan disana. Belanda juga
mengirimkan pasukannya di Maluku.72
Tujuan awal Belanda adalah berdagang. Namun, setelah mereka mendapatkan
hasil yang melimpah, serta menemukan daerah sumber – sumber rempah – rempah,
Belanda melakukan aksi monopoli perdagangan dan sejarah penjajahan Belanda di
Indonesiapun dimulai. Dengan berbagai politik yang dilalukan oleh Belanda kepada
penduduk Indonesia, yang mana digunakan untuk melanggengkan kekuasaan belanda
yang ada di Indonesia.73 Dalam sejarah Indonesia, sejak zaman kerajaan hingga
sekarang, tanah merupakan sumber aset yang sangat penting bagi semua penguasa.
Hal ini yang mendorong para penguasa yang mengeluarkan peraturan tentang hukum
pertanahan. Hukum pertanahan ini sangat berguna bagi semua rakyat serta perintah itu
sendiri.
Menurut Drs. Sunyoto dalam bukunya hukum agrarian hal 2 yang
mengemukakan sustu definisi berikut:74 Hukum agrarian adalah keseluruhan kaidah –
kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agrarian. Sedangkan
menurut dr. E. Utrecht dalam bukunya Pengantar dalam hukum Indonesia pag 495
memberkan definisi hukum agararua sebagai berikut: hukum agraria menguji
hubungan istimewa yang diadaan memungkinkan pejabat (administrasi) yang bertugas
mengurus soal – soal tentang agrarian, melakukan tugas mereka.Pada pembahasan

71
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Diterbitkan bersama oleh: Konsorsium
Pembaruan Agraria (Jaksel). Sajogyo Institute (Bogor). AKATIGA (Bandung). Edisi Baru. 2009. Hal. 66.
72
Noname. Perlawanan Terhadap Belanda. (http://herlinaherli.blogspot.com/ Diakses pada tanggal 25
Meret 2016 pukul 19.32).
73
https://portalsejarah.com/ .
74
Bachsan Mustafa. Hukum Agraraia dalam Perspektif Remadja (Bandung: Karya CV. 1988).

Politik Agraria | 61
selanjutnya akan dijelaskan tentang berbagai perkembangan hukum agraria. Mulai dari
zaman kerajaan, zaman penjajahan sampai pada zaman kemerdekaan.

1. Sejarah Politik Agraria Zaman Kerajaan Nusantara


Masa kerajaan adalah masa dimana semua warga dipimpin oleh seorang raja
yang mana seorang raja berkuasa penuh atas pemerintahan serta semua aspek yang
ada di dalam wilayah kepemiminannya. Zaman kerajaan berbeda dengan zaman
penjajahan. Di zaman kerajaan ini, seorang raja harus berusaha dengan keras untuk
mengembangkan wilayah kekuasannya dengan bantuan rakyat – rakyatnya yang
dilatih sebagai prajurit. Dalam lingkup ini rakyat tidak hanya di gunakan sebagi
alat. Berbeda sekali dengan zaman penjajahan, yang mene yang mengekploitasi
tenaga kerja pribumi untuk melakukan semua perintahnya tapa mementingkan
keadaan, kesejahteraan rakyat jajahan. Rakyat jajahan diperlakukan seperti boneka
yang kapan saja harus bersedia melakuakan semua perintah yang di peritahkan
untuknya.
Pada zaman kerajaan, yang harus diperhatikan bukan hanya masalah
kekuasaan, namun juga harus diperhatikan kesejahteraannya serta Hak milik atas
tanah dapat sebagai lembaga hukum, dapat pula sebagai hubungan hukum konkrit.
Dalam hak pertanahan pada zaman kerajaan, lebih dikenal dengan hukum adat.
Yang mana hukum adat ini yang menentukan adalah Raja yang berkuasa di daerah
tersebut. Dalam hukum adat ini merupakan hukum yang tak tertulis akan tetapi
wajib dilaksanakan oleh semua penduduk yang berada di dalam kekuasaannya.
Hukum ini di putuskan sesuai dengan ketentuan dan kesepakatan yang ada
diantara pemimpin kerajaan.

2. Pada Zaman Kerajaan Kutai


Kerajaan Kutai (sekitar 400 M), jauh sebelum masuknya orang-orang Eropa
di Nusantara, sebenarnya pengaturan dalam masalah tanah sudah dikenal dalam
sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan terdahulu. Pada masa jayanya kerajaan
Kutai pernah dikenal adanya suatu ketentuan yang mengatur tentang acara
penggunaan, pengolahan, pemeliharaan, jual beli, sistem pemilikan, tanah
terlantar, dan tanah-tanah kehutanan. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut sebagai
berikut :
a. Pada masa kerajaan Kutai dikenal dengan Kitab Undang-Undang Brajananti
atau Brajaniti.
b. Pada masa kerajaan Banjar dikenal dengan Kitab Undang-Undang Sultan
Adam dibuat sekitar tahun 1251.
Dalam Perkembangan banyak ditemukan masalah-masalah yang berhubungan
dengan tanah Kerajaan bahwa hampir seluruh tanah bekas kerajaan, Sengketa
tanah yang mengatas namakan hibah (grant). Grant Sultan pada mulanya dikenal
di masa pemerintahan kolonial Belanda dimana pada saat itu daerah Swapraja
mempunyai hak pemerintahan sendiri. Sedangkan daerah Swapraja adalah
meliputi daerah Sumatera Timur yang terdiri dari Kerajaankerajaan Melayu
(Kerajaan Deli). Grant Sultan adalah sebentuk surat keterangan tentang hak-hak
atas tanah yang dapat dipunyai oleh warga pribumi atas izin, pemberian, maupun
pengakuan Sultan terhadap hak-hak atas tanah yang diberikan kepada kaulanya, di
wilayah Swapraja. Tanah Ulayat yang dikuasai oleh Sultan Kutai Kertanegara Ing
Martadipura dapat di wariskan kepada Keturunannya dengan hak waris dan dapat
di berikan kepada Kerabat Kesultanan dalam bentuk Penghibahan Tanah agar
dapat diusahakan secara berkelompok. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui
Status hukum Tanah grant sultan Kertanegara Ing Martadipura dalam hukum
Agraria di Indonesia dan Untuk mengetahui Keabsahan pemberian tanah grant
Politik Agraria | 62
sultan Kutai Kertanegara Ing Martadipura terhadap keturunan dan bukan garis
keturunan. Metode penelitian adalah yuridis empiris. melakukan kajian secara
langsung dilapangan disertai kajian pustaka dapat menemukan fakta-fakta riil di
Kedaton Kutai Kertanegara Ing Martadipura.75
Hasil penelitian menyatakan Dalam Titah Sultan Kutai Kertanegara Ing
Martadipura Ditandatangani di Tenggarong, 10 September 2011 dengan
menegaskan bahwa Haji Adji Mohamad Salehoedin II tidak mengenal adanya
“Grant Sultan”. Bahwa didalam Hukum Tanah Kerajaan Kutai Tanah Grant Sultan
disebut dengan Tanah Limpah Kemurahan. Tanah yang diberikan kepada kaum
diluar dari garis keturunan yang dapat disebut sebagai kerabat dari kesultanan atas
jasa kerabat terhadap sultan atas kemurahan dari hati sultan memberikan sebidang
tanah untuk diusahakan kepada beberapa kelompok kaum Suku Bugis Wajo Paniki
yang berada di Samarinda Seberang. Berbeda dengan tanah pusaka untuk
keturunan kesultanan yaitu tanah Sultan yang diberikan secara turun temurun
dengan bukti surat wasiat. Selama Berlakunya UUPA, bagi pemilik surat hibah
maupun surat wasiat pada Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura harus
didaftarkan kembali ke Kantor Pertanahan Nasional setempat. Sesuai dengan
peraturan mengenai pendaftaran tanah yang berlaku, dengan tujuan agar
memperoleh kepastian hukum atas hak kepemilikan. Bentuk penghibahan tanah
bukan merupakan salah satu obyek dari pendaftaran tanah tetapi hanya sebagian
bentuk dari perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak untuk menggunakan tanah tersebut, namun guna untuk
memperoleh kepastian hukum perlu adanya bukti otentik.76

3. Pada Zaman Kerajaan Sriwijaya


Munculnya kerajaan Melayu tua di Sumatera -Sriwijaya- yang telah
dipandang sebagai suatu kerajaan yang memiliki kekayaan dan rakyatnya hidup
sejahtera dari perdagangan hasil bumi Sumatera dan kemegahan Sriwijaya telah
mampu membangun sistem politik yang mapan, pertahanan darat dan laut yang
kuat, sehingga kerajaan Sriwijaya telah menjadi suatu khazanah dalam sejarah
dunia Melayu di Asia Tenggara. Sistem pemerintahannya ditata mengikut acuan
Melayu yang berasaskan keterbukaan dengan dunia luar dan memompa semangat
rakyatnya untuk bekerja keras dan selalu peka terhadap setiap kemungkinan-
kemungkinan adanya anasir luar yang mengancam keselamatan Sumatera. Itulah
sebabnya para sejarawan telah menyifatkan bahwa sistem yang digunakan sebagai
suatu model pemerintahan yang modern pada waktu itu. Kita tidak dapat
membayangkan betapa masyhurnya kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Untuk
menggambarkannya, izinkan saya meminjam ucapan Wang Gungwu: “Pada tahun
775, kerajaan ini telah menjadi begitu masyhur sehingga hanya raja-raja yang
dipertuan dari Sriwijaya, raja tertinggi di antara semua raja di permukaan
bumi”1).77
Pengaturan sistem pertanahan pada masa kerajaan Sriwijaya (693-1400)
dikenal dengan nama kitab undang-undang Simbur Cahaya yang merupakan
peninggalan kitab undang-undang jaman raja-raja Sriwijaya. Prinsip pemilikan

75
Rosnia Agus Sari. Jurnal Beraja Niti. Status Hukum Tanah Grant Sultan Kutai Kertanegara Ing Martadipura
Dalam Hukum Agraria Indonesia (Studi Lapangan Di Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura). Volume
3 Nomor 6 (2014). Hal. 1.
76
Ibid. Hal. 2.
77
Wang Gungwu. The Nanhai Trade: A study of Early Hiistory of Chinese Trade in South China Sea. 1958. Hal.
135.

Politik Agraria | 63
hak atas tanah, raja dianggap sebagai pemilik, sedangkan rakyat sebagai pemakai
(penggarap) yang harus membayar upeti kepada raja sebagai pemilik.

Wilayah Tanah Kekuasaan Kerajaan Śriwijaya 78


Sebuah kerajaan maritim yang berbentuk kadātuan tentu Sriwijaya merupakan
gabungan dari beberapa dātu atau kerajaan–kerajaan. Berdasarkan sebaran
tinggalan arkeologi yang semasa dengan priode Kerajaan Śriwijaya yaitu abad ke-
7 s.d 13 M, luas kerajaan ini menyebar di hampir seluruh bagian pulau Sumatra
terutama di wilayah pantai timur Sumatra hingga Barus di bagian barat laut. Di
wilayah Sumatra bagian selatan lokasi sebaran tinggalan arkeologis terdapat tidak
saja di sekitar kota Palembang tetapi juga hampir di sepanjang aliran Sungai Musi
dari Ogan Ulu hingga di wilayah pantai timur dan Pulau Bangka.
Di wilayah pantai timur Sumatra, sebaran temuan arkeologis yang semasa
dengan masa kejayaan Sriwijaya terdapat dari wilayah selatan hingga utara pulau
tersebut. Wilayah Selatan dimulai dari wilayah Lampung dengan prasasti “Palas
Pasemah”nya, lalu wilayah muara Sungai Musi pada Air Sugihan, Karang Agung
dan Kota Kapur (Bangka) yang merupakan peninggalan tertua dari masa Sriwijaya
atau masa awal Sriwijaya.79
Bergerak ke arah utara yaitu pantai timur Sumatra di wilayah Jambi, tersebar
juga situs-situs masa Sriwijaya dari abad ke-10 hingga 14 M. Bermula dari
wilayah tepian Batang Hari, sungai besar yang membelah wilayah Jambi menjadi
bagian utara dan selatan seperti juga Sungai Musi di kota Palembang, tinggalan
arkeologis tersebar hampir merata dari wilayah hulu hingga hilir. Di tepian sungai
ini terdapat kompleks percandian agama Buddha terbesar di Indonesia yaitu
kompleks percandian Muara Jambi. Percandian ini sering dihubungkan dengan
Kerajaan Moloyu, yang di duga sebagai salah satu dātu dari kadātuan Sriwijaya.
Pertanggalan dan jenis peninggalan keramik asing di situs ini relatif sebagian besar
lebih muda dari wilayah pantai timur Sumatra bagian selatan, namun hampir
serupa dengan yang ditemukan di wilayah sekitar Kota Palembang. Sebaran
temuan permukiman kuna masa Sriwijaya semakin padat pada wilayah Pantai
Timur Jambi yaitu di wilayah Delta Batang Hari berhadapan dengan Pulau
Berhala. Di wilayah ini terdapat situs-situs permukiman kuna yang terdiri dari
Muara Sabak, Siti Hawa, Nipah Panjang, dan Lambur (Taim, 1996).
Provinsi Riau, pertama kali dihubungkan dengan salah satu prasasti Sriwijaya,
ketika Poerbatjaraka menafsirkan kata yang disebut dalam Prasati Kedukan Bukit
682 M, sebagai tempat asal dari Dapunta Hyang bernama “Minanga Tamwan”
adalah berada di wilayah Riau. Menurut beliau, berdasarkan etimologi “minanga“
berarti kuala atau muara dan “tamwan” berarti temuan atau pertemuan sehingga
tempat tersebut adalah tempat pertemuan muara, yang dalam hal ini berada di
wilayah pertemuan dua buah muara yang terletak di Riau, yaitu Kampar Kiri dan
Kampar Kanan (Poerbatjaraka, 1952: 34). Sementara itu Alm. Prof. Boechari
menghubungkan “minanga” dengan kuala atau muara yang dalam bentuk “krămă”
berarti kuantan, dan wilayah hulu Sungai Indragiri juga disebut Batang Kuantan.

78
Eka Asih Putrina Taim. Studi Kewilayahan dalam Penelitian Peradaban Sriwijaya.
79
Daliyo, J. B. 2001. Hukum Agraraia I Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: Gloria. Hal. 41.

Politik Agraria | 64
Dengan demikian kemungkinan besar “Minanga” berada di suatu tempat di tepi
Batang Kuantan.80
Pada beberapa tahun terakhir, di tepi Batang Kuantan Indragiri Hulu ada satu
situs yang memiliki indikasi kuat berasal dari masa Sriwijaya adalah Situs Padang
Candi. Secara administratif Situs Padang Candi berada pada Dusun IV Betung,
Desa Sangau, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi,
sedangkan secara astronomis situs berada pada koordinat 00°39,578’LS dan
101°28,978’BT. Situs ini berada di areal permukiman penduduk dan lahan
pertanian, yang ditanami palawija dan karet.81 Dekat situs mengalir Sungai/ Batang
Salo, yang masih merupakan DAS Batang Kuantan. Pada beberapa tahun terakhir
di Dusun Botuang, Desa Padang Candi, Kabupaten Batang Kuantan dilaporkan
oleh masyarakat setempat, akan adanya temuan-temuan peninggalan purbakala di
desa mereka. Berdasar keterangan masyarakat, di Situs Padang Candi sering
didapat beragam pecahan keramik serta bata berbagai ukuran. Dusun Botuang ini
banyak tinggalan-tinggalan arkeologi yang sering ditemukan penduduk setempat
secara tak sengaja, sewaktu menggali tanah untuk berkebun dan atau hanya
sekedar menata halaman rumah, seperti perhiasan yang terbuat dari emas: cincin,
kalung, gelang, juga jarum penjahit dan mata kail. Dari hasil penelitian terakhir
atas kerjasama Puslitbang Arkenas, Balai Arkeologi Medan, BP3 Batu Sangkar
dan Pemda Riau Daratan tahun 2010, ditemukan beberapa sisa struktur bangunan
bata dengan temuan pecahan tembikar dan keramik asing dari masa Tang Akhir
abad ke 9-10 M hingga Masa Song abad ke 12-13 M, selain lembaran prasasti dari
bahan emas (Taim, 2010).

4. Pada Zaman Kerajaan Majapahit


Kerajaan Majapahit (1293-1525) merupakan suatu kerajaan yang menguasai
seluruh nusantara dan memiliki ketentuan yang paling lengkap tentang pengaturan
kehidupan masyarakat. Tanah dalam kehidupan rakyat majapahit memegang
peranan penting karena itu dibuat undang-undang tentang hak memakai tanah
yang disebut Pratigundala. Pratigundala didapati dalam negarakertagama pupuh
88/3 baris 4 hal 37. Undang-undang tersebut disusun dengan latar belakang bahwa
kerajaan Majapahit merupakan suatu kerajaan yang rakyatnya sebagian besar
hidup dari hasil-hasil pertanian. Dalam kitab undang-undang yang disebut agama,
terdapat lima pasal diantara 271 pasalnya yang mengatur masalah tanah. Tanah
menurut undang-undang agama dalam kerajaan Majapahit adalah milik raja.
Rakyat hanya mempunyai hak untuk menggarap dan memungut hasilnya tetapi
tidak memiliki tanah tersebut, hak milik atas tanah tetap ada pada raja.
Pada zaman Kerajaan Majapahit, seluruh tanah adalah milik raja, kerabat, dan
adipati. Posisi rakyat hanya sebagai pengelola tanah milih pejabat kerajaan yang
hasilnya mewajibkan untuk membayar upeti sewa tanah. Kemudian disetorkan ke
bendahara kerajaan di Trowulan (sekarang masuk wilayah Mojokerto-Jawa
Timur). Apabila ada kelebihan beban upeti, maka menjadi tanggungan pengelola
yang tak lain adalah rakyat jelata. Dalam hal ini rakyat yang sangat dirugikan dan
pihak penguasa hanya menikmati keuntungan dan kekayaan secara cuma-cuma.82

80
Halim, A. Ridwan. 1988. Hukum Agraria Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal. 27-28.
81
Ibid.
82
Noname. Sosialisme Suatu Jalan Keempat?, Rakyat Kecil Dunia Ketiga Berjuang Demi Keadilan
(Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta. 2002). Hal. 67.

Politik Agraria | 65
Kejayaan Politik Kerajaan Majapahit83
Raja Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja Majapahit ketika masih berusia
17 tahun. Tepatnya, Hayam Wuruk menjadi raja setelah Tribhuana
Wijayatunggadewi turun tahta untuk kembali menjabat sebagai Bhre Kahuripan
yang tergabung ke dalam Saptaprabhu pada tahun 1351 M. Pada tahun tersebut,
Gayatri berpulang ke alam kelanggengan. Semasa pemerintahan Hayam Wuruk,
Majapahit mengalami puncak kejayaan berkat peran Patih Amangkubhumi Gajah
Mada. Puncak kejayaan Majapahit yang ditandai dengan terwujudnya gagasan
penyatuan wilayah-wilayah Nusantara. Suatu gagasan yang pernah direalisasikan
oleh Kertanegara dan Tribhuwana Wijayatunggadewi
Zaman keemasan Majapahit melekat erat dengan masa pemerintahan Hayam
Wuruk, raja keempat Majapahit. Bersama orang yang mengasuhnya sejak kecil,
Gajah Mada, Hayam Wuruk membangun Majapahit ke puncak kejayaan
berdasarkan falsafah kenegaraan Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma
mangrwa. Hayam Wuruk lahir tahun 1334, beberapa bulan sebelum Gajah Mada
dikukuhkan sebagai Mahapatih Amangkubumi. Pada saat Gajah Mada
mengucapkan sumpah sakral Amukti Palapa bayi Hayam Wuruk baru saja
menikmati udara Majapahit. Di tangannyalah kemudian seluruh perairan nusantara
bersatu menentang penjajahan bangsa asing, terutama Tiongkok.
Kebesaran Majapahit sebagai negara pemersatu bangsa, nusantara raya,
dikenal hampir di seluruh mancanegara pada zamannya dari tahun 1293 sampai
1478. Kemajuan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik menarik perhatian
beberapa negara sahabat, pada zamannya maupun abad-abad belakangan ini.
Kebesaran Majapahit, berarti kebesaran Gajah Mada, Patih yang telah mengabdi
kepada tiga pimpinan pemerintahan selama lebih dari tiga puluh tahun.84
Pada tahun 1343, Majapahit menyerang Bali. Pasukan Majapahit dipimpin
oleh bangsawan bernama Usana-Jawa, mengalahkan pasukan Dalem Bedahulu,
Raja Pejeng. Usana-Jawa ditemani enam komandan, salah satunya Arya Damar.
Majapahit menang, dan keluarga bangsawan Bali ditawan. Arya Damar disebut
juga Adityawarman. Nama Adityawarman pertama kali disebut dalam patung yang
berasal dari tahun 1343 terletak di Candi Jago, Jawa Timur, sebagai perwujudan
Bodhisatwa Manjusri. Menurut Pararaton, Adityawarman adalah anak laki-laki
dari seorang putri Melayu bernama Dara Jingga yang menikah dengan pangeran
Jawa bernama Adwayarman.85
Tentara inti Jawa dalam upaya menaklukan wilayah lain disesuaikan dengan
medan yang dihadapi. Setiap pengiriman pasukan, baik dalam jumlah besar
maupun jumlah kecil, selalu diperhitungkan dengan matang. Dalam banyak
peperangan, tentara Jawa memperoleh kemenangan karena dibantu oleh negara
lain. Ketika Majapahit mengalahkan Singapura, bantuan Radjuna Tapa begitu
besar. Begitu pula ketika mengalahkan Negara Dipa, pangeran dan rakyat Negara
Dipa memberikan bantuan kepada tentara Jawa. Karena itu, pengiriman pasukan

83
Agus Susilo dan Andriana Sofiarini. Gajah Mada Sang Maha Patih Pemersatu Nusantara di Bawah
Majapahit Tahun 1336 M - 1359 M. Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora (KAGANGA)
Volume 1. No 1. Juni 2018.
84
Harsono, Boedi. 1997. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya) Jakarta: Djambatan. Hal. 18.
85
Ibid.

Politik Agraria | 66
tidak selalu dalam kekuatan maksimal. Dalam membantu menaklukan Negara
Dipa, tentara Jawa yang dikirim tidak lebih dari 1.000 orang.86
Pelaksanaan politik luar negeri dalam rangka penyatuan Nusantara mencapai
kemantapannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Daerah-daerah yang
belum bernaung di bawah kekuasaan Majapahit berhasil disatukan. Pemberitaan
Prapanca dalam kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa wilayah kekuasaan
Majapahit sangat luas. Daerah tersebut meliputi hampir seluas wilayah Republik
Indonesia sekarang, yakni Sumatera di bagian Barat, sampai Maluku dan Irian di
bagian Timur. Hayam Wuruk sering melakukan perjalanan ke daerah-daerah dalam
rangka konsilidasi. Wilayah yang luas, pembinaan perhadap setiap wilayah harus
dilakukan agar tetap memiliki kesetiaan terhadap pemerintahan pusat di
Majapahit. Adanya kunjungan tersebut, wilayah-wilayah di setiap daerah akan
merasa diperhatikan oleh Raja Hayam Wuruk.
Berkat jasa Patih Gajah Mada, Raja Rajasanagara berhasil membawa
Kerajaan Majapahit ke puncak kebesarannya. Gagasan politik luar negeri
mengenai perluasan cakrawala mandala, dilakukannya dengan baik. Gagasan
penyatuan Nusantara oleh Gajah Mada satu demi satu ditundukkan. Dari
pemberitaan Negarakretagama pupuh XIII – XV diketahui bahwa pengaruh
kekuasaan Majapahit sangat luas. Daerah-daerah itu hampir seluas wilayah
Indonesia sekarang.87
Masyarakat Majapahit umumnya merupakan masyarakat yang majemuk.
Wilayah Kerajaan Majapahit yang sangat luas, dengan segala karakteristik
wilayahnya, menjadikan Majapahit memiliki keragaman yang ditentukan oleh
banyak hal, wilayah di pedalaman yang bersendikan agraris, akan memiliki pola
kebudayaan yang berbeda dengan daerah pantai yang bersendikan perdagangan.
Masyarakat pedalaman lebih bersifat tertutup dengan kebudayaan siklus (berputar
tetap). Sementara masyarakat pantai yang secara geografis sering berhubungan
dengan bangsa asing, lebih bersifat terbuka terhadap hal-hal baru. Kehidupan
keagamaan Majapahit menunjukkan pula hubungan dengan sendi-sendi toleransi
yang kuat. Majapahit mengakui dan menghormati dua agama besar saat itu, yakni
Hindu dan Buddha, dalam bentuk pengangkatan pejabat keagamaan dalam struktur
pemerintahannya.88
Semasa menjabat menjadi raja, Hayam Wuruk tidak hanya menerapkan
kebijakan untuk meningkatkan bidang pertahanan dan keamanan di dalam negeri.
Meningkatkan bidang pertahanan dan keamanan, Majapahit di masa pemerintahan
Hayam Wuruk terbebas dari ancaman baik dalam maupun luar negeri. Tidak ada
pemberontakan yang digenncarkan dari dalam negeri, maupun dari luar negeri
Majapahit. Hubungan kerja sama di bidang ekonomi dengan negara-negara
tetangga sangatlah penting bagi Majapahit. Hal ini karena Majapahit merupakan
sumber barang dagangan yang sangat laku di pasaran. Barang dagangan seperti
beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkih, pala, kapas, dan kayu

86
Kartodirdjo, A. Sartono. 1969. Struktur Sosial dari Masyarakat radisonal dan Kolonial, dalam Lembaran
Sejarah, Yogyakarta: Seksi Penelitian Jurusan Sejarah UGM. Hal. 78.
87
Kartodordjo, A. Sartono.1977. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka. Hal. 26.
88
Ibid.

Politik Agraria | 67
cendana. Bidang perdagangan, Majapahit memiliki peranan ganda yang sangat
penting, yakni sebagai produsen dan perantara.89

Gajah Mada Sang Maha Patih Pemersatu Nusantara di Bawah Majapahit


Tahun 1336 M-1359 M
Menurut Masmada (2003), setelah Sadeng ditundukkan pada tahun 1331, dan
Adityawarman berangkat ke Tiongkok pada tahun 1332 untuk melakukan misi
diplomatik kepada Kaisar Tiongkok, Gajah Mada mulai melakukan persiapan
dalam negeri. Sebagai seorang ksatria sejati yang sangat peduli terhadap
negaranya, hati Gajah Mada terketuk melihat keadaan Arya Tadah yang semakin
parah. Sementara pemerintahan sedang tumbuh, dan tentunya tidak boleh berhenti
hanya karena Arya Tadah tidak mampu lagi menjalankan kebijakannya karena
sakit.
Pada saat pengangkatannya itulah Gajah Mada mengucapkan sumpah yang
sangat populer: Amukti Palapa! Yang bunyinya sebagai berikut:90
Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah Gurun, ring
Seram, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa. Artinya setelah tunduk
Nussantara, aku akan beristirahat. Setelah tunduk Gurun, Seram, Tanjung Pura,
Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah aku
beristirahat.
Realisasi dari Sumpah Palapa Gajah Mada mencapai keberhasilannya semasa
pemerintahan Hayam Wuruk. Hal ini dapat dibuktikan bahwa Majapahit pada
waktu itu mampu menguasai wilayah-wilayah Nusantara yang meliputi Melayu
(Sumatra), Tanjungpura (Kalimantan), Semenanjung Melayu (Malaka), sebelah
Timur Jawa dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Irian Barat, dan Jawa (kecuali
Kerajaan Sunda Galuh dan Sunda Pakuan). Berkat keberhasilannya ini, pengaruh
Gajah Mada di Majapahit lebih besar. Bahkan pengaruhnya bisa dikatakan
melampau Hayam Wuruk dan anggota Saptaprabhu (semacam Dewan
Pertimbangan Agung yang beranggotakan keluarga Kerajaan Majapahit).91
Sampai abad ke-15, Kerajaan Jawa memiliki pasukan yang sangat disegani
dan ditakuti di dunia. Hang Tuah yang luar biasa, hanya takut kepada tentara Jawa
(Majapahit), bukan kepada Patih Gajah Mada atau Raja Majapahit. Rasa segan
karena takut juga ditunjukkan oleh Raja Dinasti Ming. Pada tahun 1377, utusan
Raja Dinasti Ming menuju Raja Sumatra Timur dicegat dan dibunuh tentara
Majapahit. Tindakan ini tidak mendapat balasan. Padahal, perbuatan ini melebihi
perbuatan Raja Kertanegara yang melukai wajah Meng Chi, utusan Raja Mongol,
dan Raja Mongol melakukan pembalasan. Ketakutan beberapa negara kepada
tentara Jawa bukan tanpa dasar. Selain reputasi tentara Jawa yang mampu
menghancurkan tentara Mongol beserta rajanya sebagai tentara terkuat dunia,
tentara Jawa merupakan reguler profesional yang berbeda dengan pasukan-
pasukan lain pada masanya.92
Hubungan antara pusat Kerajaan Majapahit dengan daerah yang meliputi
aspek ekonomi dan bisnis. Secara ekonomis wilayah pengaruh Majapahit

89
Kreasi Wacana Yogyakarta. Sosialisme Suatu Jalan Keempat?, Rakyat Kecil Dunia Ketiga Berjuang Demi
Keadilan. 2002. Hal. 35.
90
Ibid.
91
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Jakarta: Pustaka
Jaya. Hal. 56.
92
Ibid.

Politik Agraria | 68
dipersatukan dalam rangka kepentingan-kepentingan perdagangan, bukan dalam
arti pertuanan atau kekuasaan. Daerah-daerah kekuasaan Majapahit memberikan
dukungan ekonomi kepada istana yang ditukar dengan penjagaan keamanan di
jalur-jalur perdagangan. Pemerintah pusat memandang perlu memberikan
perlindungan kepada daerah-daerahnya dengan menempatkan pasukan khusus
untuk menjaga segala tindak kejahatan yang terjadi pada wilyahnya. Hal ini untuk
memonitor segala aktivitas daerah seiring dengan meningkatnya aktivitas
perdagangan yang melibatkan daerah-daerah di Nusantara dengan sejumlah
pelabuhan di Asia Tenggara, India, dan Pantai Laut Tengah (Pinuluh, Esa Damar,
2010). Puncak kejayaan Kerajaan Majapahit ditandai dengan terwujudnya gagasan
penyatuan wilayah-wilayah Nusantara. Suatu gagasan yang pernah direalisasikan
oleh Kertanegara (Raja Singasari terakhir) dan Tribuana Wijayatunggadewi (raja
ke tiga Majapahit). Adanya topangan spirit Sumpah Palapa serta politik Patih
Amangkubhumi Gajah Mada, Kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Hayam
Wuruk tersebut berhasil mengembangkan wilayah kekuasaannya di seluruh
Nusantara. Sempat terjadi perang Bubat karena saat bersitegang antara Kerajaan
Majapahit dengan Kerajaan Sunda Pajajaran yang menewaskan Prabu
Linggaubuana, Dyah Pitaloka beserta pembesar istana Sunda Pajajaran.93
Pada tahun 1389, setelah mengantarkan Majapahit ke percaturan sejarah
dunia, serta menjalankan roda pemerintahan Majapahit dengan gemilang, Hayam
Wuruk dikabarkan meninggal di usia 55 tahun. Tampuk kekuasaan Majapahit
kemudian diturunkan oleh Kusumawardani. Akan tetapi, Wikramawardhanalah
yang tercatat menggantikan kursi pemerintahan Majapahit selanjutnya.
Sepeninggalan Hayam Wuruk, kejayaan Majapahit berangsur-angsur surut.
Kesurutan yang menyebabkan terlepasnya beberapa wilayah bawahan Majapahit
itu dikarenakan perselisihan antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi yang
merupakan saudara tiri Kusumawardhani. Perselisihan yang mengakibatkan
perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1401 M (Adji, Krisna Bayu, dkk,
2013).

Perkembangan Sebuah Peradaban Majapahit94


Majapahit sebagai sebuah kerajaan besar memperlihatkan sistem birokrasi
sebagai hasil evoluasi panjang dari kerajaan-kerajaan pendahulunya10 (Rahardjo,
2002:71-77). Sebagai kerajaan yang telah mem-perlihatkan kehidupan kompleks
tentunya membutuhkan sistem birokrasi yang rapi, mengurusi banyak bidang,
berjenjang dan memikirkan sistem karir. Sistem yang berlaku dalam masa ini
tentunya telah mulai muncul dari masa-masa sebelumnya yang kemudian
berkembang seiring tuntutan jaman dan sebagian diadopsi masa se-sudahnya.
Birokrasi yang muncul tentunya dapat dilihat lapisannya sebagai birokrasi pusat
dan birokrasi daerah meskipun porsi pemberitaan daerah tidak sebanyak tentang
jenjang yang ada di pusat.
Hal yang menarik dari sistem ini adalah konsep menempatkan keluarga raja
(saudara namun punya potensi pengganggu tahta) dalam tatanan herarki kerajaan
dan pembagian kekuasaan serta wilayah, namun mereka ditempatkan di ibukota
sehingga pemantauannya lebih maksimal. Berdasarkan temuan artefak di situs
Trowulan dapat sedikit direkonstruksi bagaimana kehidupan para pembesar ini dan

93
Parlindungan, 1990. Konversi Hak – Hak Atas Tanah, Bandung: Mandar Maju. Hal. 71.
94
Deny Yudo Wahyudi. Kerajaan Majapahit Dinamika Dalam Sejarah Nusantara. Sejarah dan Budaya Tahun
Ketujuh. No 1 Juni 2013.

Politik Agraria | 69
para orang kaya yang terlihat dari struktur rumahnya, benda-benda yang
ditemukan dan lokasinya yang dekat dengan bagian yang diduga sebagai keraton.95
Perkembangan ekonomi pada masa ini juga telah memperlihatkan variasi pe-
kerjaan dan juga aktivitas perdagangan yang terlihat dari temuan-temuan situs dan
informasi yang digambarkan dalam beberapa sumber tertulis (Munandar, 1990;
Wahyudi, 2005). Sebagai salah satu pemain ekonomi global pada tingkat regional
nusantara, Majapahit terlihat cukup dominan. Wilayah- wilayah yang tersebut
dalam sumber tertulis menampakkan telah terjadi interaksi dengan Majapahit
apakah dalam bidang politik dan juga ekonomi. Kecanggihan maritim Majapahit
diakui sebagai salah satu yang termaju di jamannya, pelabuhan-pelabuhan laut
maupun sungai memperlihatkan jaringan perdagangan global yang cukup maju.96
Sebagai negara besar tentunya sektor produksi dan konsumsi juga menjadi
per-hatian dalam kerangka pengembangan. Tradisi agraris yang cukup tua
tentunya sudah sangat berkembang pada masa ini. Pembangunan ataupun
perawatan bangunan-bangunan air rupanya dalam rangka kemajuan kebudayaan
agraris tersebut. Sektor jasa juga berkembang seiring ke-majuan kualitas hidup
masyarakat, hal ini tercermin baik dari penyebutan bidang-bidang pekerjaan dalam
sumber-sumber tertulis maupun apa yang dapat digambarkan dalam relief-relief
baik yang terdapat pada candi-candi maupun temuan lepas. Tradisi yang
memperkuat Majapahit sebagai ke-rajaan maritim tergambar pada hubungan
dagang dan misi diplomatik yang cukup luas. Sarana transportasi dan pelabuhan
juga menjadi pendukung sistem perdagangan maritim ini. Ekspedisi-ekspedisi
dalam rangka perluasan wilayah tentunya juga dapat tergambarkan sebagai usaha
kemajuan dalam bidang kelautannya.97
Kemajuan dalam bidang budaya tercermin dari keragaman temuan artefak,
gambaran dalam sumber tertulis maupun tradisi-tradisi yang diwariskan.
Gambaran kehidupan dalam sistem perkotaan terekam cukup lengkap dari situs
Trowulan maupun gambaran sumber tertulis. Sistem kanal yang canggih semakin
memperlihatkan selain masalah fungsional bisa jadi juga masalah cita rasa dalam
membangun kota. Kota-kota lain tentunya juga berkembang sebagai sentrum-
sentrum aktifitas manusia. Belum lagi desa-desa atau wanua-wanua yang tersebar
cukup banyak dan luas.
Kemajuan dalam bidang per-kembangan religi juga tercermin dari berbagai
agama yang berkembang, variasi aliran dan juga bangunan-bangunan suci yang
dibangun. Komunitas keagamaan juga nampak dalam beberapa potret sumber
tertulis yang memberitakannya. Temuan-temuan mandala kadewaguruan
merupakan bentuk lain dari aktivitas pendidikan dan keagamaan, hal ini juga
gambaran bahwa kuil-kuil keagamaan juga didukung oleh komunitas agamawan15
(Noorduyn, 1982).
Gambaran perkembangan seni ter-cermin dari variasi arsitektur baik
bangunan sakral maupun profan, perkembangan seni dekorasi dan pahat,
perkembangan seni sastra maupun seni pertunjukan. Seni dapat menjadi
pendukung urusan kepercayaan namun banyak juga yang berkaitan dengan cita
rasa atau kegiatan menikmati hidup. Perkembang-an dalam bidang ini juga
melahirkan be-berapa identitas ke-Majapahitan sehingga mempermudah
95
Patittingi, Farida. 2012. Dimensi Hukum Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Yogyakarta: Rangkang Education.
Hal. 67.
96
Santoso, Urip. 2012. Hukum Agraria Kajian Komperhensif. Jakarta: Kencana. Hal. 23.
97
Soemarsaid Moetono. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau; Studi tentang Masa
Mataram II, Abad XVI sampai XXI. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 89.

Politik Agraria | 70
menafsirkan sebagai bagian dari peradaban Majapahit atau melacak proses
akulturasinya.98

Nagarakretagama99
Kakawin Nagarakretagama (Nāgarakṛtâgama), atau juga disebut dengan nama
kakawin Desawarnana (Deśawarṇana) bisa dikatakan merupakan kakawin Jawa
Kuno karya Empu Prapañca yang paling termasyhur. Kakawin ini adalah yang
paling banyak diteliti pula. Kakawin yang ditulis tahun 1365 ini, pertama kali
ditemukan kembali pada tahun 1894 oleh J.L.A. Brandes, seorang ilmuwan
Belanda yang mengiringi ekspedisi KNIL di Lombok. Ia menyelamatkan isi
perpustakaan Raja Lombok di Cakranagara sebelum istana sang raja akan dibakar
oleh tentara KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger). Kakawin ini
menguraikan keadaan di keraton Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu
Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara. Ia bertakhta dari
tahun 1350 sampai 1389 Masehi, pada masa puncak kerajaan Majapahit, salah satu
kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara. Bagian terpenting teks ini tentu
saja menguraikan daerahdaerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus
menghaturkan upeti. Naskah kakawin ini terdiri dari 98 pupuh. Dilihat dari sudut
isinya pembagian pupuh-pupuh ini sudah dilakukan dengan sangat rapi. Pupuh 1
sampai dengan pupuh 7 menguraikan raja dan keluarganya.100
Pupuh 8 sampai 16 menguraikan tentang kota dan wilayah Majapahit. Pupuh
17 sampai 39 menguraikan perjalanan keliling ke Lumajang. Pupuh 40 sampai 49
menguraikan silsilah Raja Hayam Wuruk, dengan rincian lebih detailnya pupuh 40
sampai 44 tentang sejarah rajaraja Singasari, pupuh 45 sampai 49 tentang sejarah
raja-raja Majapahit dari Kertarajasa Jayawardhana sampai Hayam Wuruk. Pupuh 1
- 49 merupakan bagian pertama dari naskah ini. Bagian kedua dari naskah kakawin
ini yang juga terdiri dari 49 pupuh, terbagi dalam uraian sebagai berikut: Pupuh 50
sampai 54 menguraikan kisah raja Hayam Wuruk yang sedang berburu di hutan
Nandawa. Pupuh 55 sampai 59 menguraikan kisah perjalanan pulang ke
Majapahit. Pupuh 60 menguraikan oleh-oleh yang dibawa pulang dari pelbagai
daerah yang dikunjungi. Pupuh 61 sampai 70 menguraikan perhatian Raja Hayam
Wuruk kepada leluhurnya berupa pesta srada dan ziarah ke makam candi. Pupuh
71 sampai 72 menguraikan tentang berita kematian Patih Gadjah Mada. Pupuh 73
sampai 82 menguraikan tentang bangunan suci yang terdapat di Jawa dan Bali.
Pupuh 83 sampai 91 menguraikan tentang upacara berkala yang berulang kembali
setiap tahun di Majapahit, yakni musyawarah, kirap, dan pesta tahunan. Pupuh 92
sampai 94 tentang pujian para pujangga termasuk prapanca kepada Raja Hayam
Wuruk. Sedangkan pupuh ke 95 sampai 98 khusus menguraikan tentang pujangga
prapanca yang menulis naskah tersebut.101
Kakawin ini bersifat pujasastra, artinya karya sastra menyanjung dan
mengagung-agungkan Raja Majapahit Hayam Wuruk, serta kewibawaan kerajaan
Majapahit. Akan tetapi karya ini bukanlah disusun atas perintah Hayam Wuruk
sendiri dengan tujuan untuk politik pencitraan diri ataupun legitimasi kekuasaan.

98
Ibid.
99
Kakawin Nagarakertagama. Kitab Negarakertagama.
100

101
Ibid.

Politik Agraria | 71
Melainkan murni kehendak sang pujangga Mpu Prapanca yang ingin
menghaturkan bhakti kepada sang mahkota, serta berharap agar sang Raja ingat
sang pujangga yang dulu pernah berbakti di keraton Majapahit. Artinya naskah ini
disusun setelah Prapanca pensiun dan mengundurkan diri dari istana. Nama
Prapanca sendiri merupakan nama pena, nama samaran untuk menyembunyikan
identitas sebenarnya dari penulis sastra ini. Karena bersifat pujasastra, hanya hal-
hal yang baik yang dituliskan, hal-hal yang kurang memberikan sumbangan bagi
kewibawaan Majapahit, meskipun mungkin diketahui oleh sang pujangga,
dilewatkan begitu saja. Karena hal inilah peristiwa Pasunda Bubat tidak
disebutkan dalam Negarakretagama, meskipun itu adalah peristiwa bersejarah,
karena insiden itu menyakiti hati Hayam Wuruk. Karena sifat pujasastra inilah
oleh sementara pihak Negarakretagama dikritik kurang netral dan cenderung
membesar-besarkan Hayam Wuruk dan Majapahit, akan tetapi terlepas dari itu,
Negarakretagama dianggap sangat berharga karena memberikan catatan dan
laporan langsung mengenai kehidupan di Majapahit.102
Judul kakawin ini, Nagarakretagama artinya adalah "Negara dengan Tradisi
(Agama) yang suci". Nama Nagarakretagama itu sendiri tidak terdapat dalam
kakawin Nagarakretagama. Pada pupuh 94/2, Prapanca menyebut ciptaannya
Deçawarnana atau uraian tentang desa-desa. Namun, nama yang diberikan oleh
pengarangnya tersebut terbukti telah dilupakan oleh umum. Kakawin itu hingga
sekarang biasa disebut sebagai Nagarakretagama. Nama Nagarakretagama
tercantum pada kolofon terbitan Dr. J.L.A. Brandes: Iti Nagarakretagama Samapta.
Rupanya, nama Nagarakretagama adalah tambahan penyalin Arthapamasah pada
bulan Kartika tahun saka 1662 (20 Oktober 1740 Masehi). Nagarakretagama
disalin dengan huruf Bali di Kancana.
Naskah ini selesai ditulis pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September –
Oktober 1365 Masehi), penulisnya menggunakan nama samaran Prapanca,
berdasarkan hasil analisis kesejarahan yang telah dilakukan diketahui bahwa
penulis naskah ini adalah Dang Acarya Nadendra , bekas pembesar urusan agama
Buddha di istana Majapahit. Dia adalah putera dari seorang pejabat istana di
Majapahit dengan pangkat jabatan Dharmadyaksa Kasogatan. Penulis naskah ini
menyelesaikan naskah kakawin Negarakretagama diusia senja dalam pertapaan di
lereng gunung di sebuah desa bernama Kamalasana. Hingga sekarang umumnya
diketahui bahwa pujangga "Mpu Prapanca" adalah penulis Nagarakretagama.103
Teks ini semula dikira hanya terwariskan dalam sebuah naskah tunggal yang
diselamatkan oleh J.L.A. Brandes, seorang ahli Sastra Jawa Belanda, yang ikut
menyerbu istana Raja Lombok pada tahun 1894. Ketika penyerbuan ini
dilaksanakan, para tentara KNIL membakar istana dan Brandes menyelamatkan isi
perpustakaan raja yang berisikan ratusan naskah lontar. Salah satunya adalah
lontar Nagarakretagama ini. Semua naskah dari Lombok ini dikenal dengan nama
lontar-lontar Koleksi Lombok yang sangat termasyhur. Koleksi Lombok disimpan
di perpustakaan Universitas Leiden Belanda. Naskah Nagarakretagama disimpan
di Leiden dan diberi nomor kode L Or 5.023. Lalu dengan kunjungan Ratu Juliana,
Belanda ke Indonesia pada tahun 1973, naskah ini diserahkan kepada Republik
102
Suharsosno. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta (1830 - 1920),
Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal. 56.
103
Supriadi. 2008. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 44

Politik Agraria | 72
Indonesia. Naskah disimpan di Perpustakaan Nasional RI dan diberi kode NB 9. 104
Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008 diakui sebagai bagian dalam Daftar
Ingatan Dunia (Memory of the World Programme) oleh UNESCO.

5. Pada Zaman Kerajaan Mataram Islam


Pada jaman raja-raja feodal pra-kolonial, sistem kebangsawanan, pembagian
wilayah dan birokrasi kerajaan sangat berkaitan erat dengan sistem pertanahan.
Hal ini bisa dimengerti karena pada hakekatnya pengertioan feodalisme adalah
sistem pemerintahan yang dalam pendistribusian kekuasaan berjalan sejajar
dengan pembagian tanah kepada para aparat brokrasi dan bangsawan. Dengan
demikian tanah merupakan hal sangat penting dalam penyelenggaraan kekuasaan.
Terdapat dua kriteria untuk menentukan kedudukan seseorang dalam
stratifikasi masyarakat kerajaan Mataram tradisional. Yang pertama bahwa status
atau kedudukan bangsawan seseorang ditentukan oleh hubungan darah seseorang
dengan pemegang kekuasaan yaitu raja. Yang kedua ditentukan oleh posisi atau
kedudukan seseorang dalam hierarki birokrasi kerajaan. Dengan memiliki salah
satu dari kriteria itu, maka seseorang dianggap termasuk golongan elit dalam
stratifikasi masyarakat tradisional kerajaan mataram. Untuk kriteria yang
disebutkan pertama hanya ditempati oleh para bangsawan yaitu yang berdasarkan
atas hubungan darah.dengan pemegang atau pemilik kekuasaan yaitu raja.
Sementara untuk yang disebutkan kedua bisa berasal dari bangsawan atau non-
bangsawan. Artinya bahwa seseorang, meskipun bukan bangsawan, bisa diangkat
dan menduduki strata tertentu dalam birokrasi kerajaan.105
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin dekat
hubungan darah seseorang dengan raja berarti semakin tinggi pula status
kebangsawanan seseorang. Sebaliknya makin jauh hubungan darah itu dari
pemegang kekuasaan, maka makin kurang murnilah darah kebangsawanannya,
yang berarti semakin menurun pula derajad kebangsawanannya. Pada umumnya
derajad kebangswanan itu hanya menurun kepada ahli waris raja sampai derajad
keempat atau paling jauh sampai derajad kelima.
Berdasarkan peraturan yang dibuat oleh raja Mataram yaitu Amangkurat,
yang kemudian dilengkapi oleh Paku Buwana X, terdapat lima tingkatan dalam
hiererki kebangsawanan yaitu :106
1. Para putra raja, termasuk dalam golongan gusti.
2. Para cucu raja, termasuk dalam golongan bendara
3. Para cicit raja, termasuk dalam golongan abdi sentana
4. Para canggah, termasuk golongan bendara sentana
5. Para wareng raja, termasuk dalam golongan abdi kawula warga
Sementara itu menurut Van den Berg, hanya terdapat empat gelar bangsawan
di luar raja. Gelar tertinggi, yaitu para putra raja, yang mempunyai gelar
Pangeran, kedua adalah para cucu raja dengan gelar Raden Mas yang lai-laki dan
Raden Ayu untuk yang perempuan, ketiga adalah para cicit raja dengan gelar
Raden (laki-laki) dan Raden Nganten (perempuan), keempat atau terakhir adalah
para canggah raja dengan gelar Mas (laki-laki) dan Mas Nganten (perempuan).107

104
Ibid.
105
Anoniem. Tedhakan Pranatan Tuwin Serat Warni-Warni Tumrap Nagari Surakarta (Surakarta: Koleksi
Perpustakaan Radya Pustaka. No. Katalogus 165) Hal. 6.
106
A. Sartono Kartodirdjo. Struktur Sosial dari Masyarakat Radisonal dan Kolonial dalam Lembaran Sejarah
(Yogyakarta: Seksi Penelitian Jurusan Sejarah UGM. 1969) Hal. 26.
107
Opo.cit. Tedhakan Pranatan Tuwin Serat Warni-Warni Tumrap Nagari Surakarta. Hal. 16.

Politik Agraria | 73
Mengenai pembagian wilayah, sebelum semakin berkurang sebagai akibat
aneksasi wilayah-wilayah kerajaan Mataram Islam oleh Belanda, terutama pada
jaman pemerintahan Sultan Agung sebagai raja ketiga yang memerintah Matara
Islam dari tahun 1613 – 1645, wilayah kekuasaan kerajaan Mataram masih
meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta sebagian Jawa Barat. Pada
masa pemerintahan raja-raja pengganti Sultan Agung wilayah kerajaan Mataram
itu secara berangsur-angsur semakin menyusut sebagai akibat aneksasi yang
dilakukan oleh Belanda.108
Dalam sistem pemerintahan kerajaan Mataram Islam wilayah kerajaan dibagi
menjadi 4 bagian. Yang perama adalah wilayah Kuthagara atau Kutha Negara,
yan merupakan wilayah inti kerajaan Mataram. Di Kuthagara inilah terletak istana
atau kraton yang sekaligus merupakan tempat tingal raja beserta keluarga
besarnya, dan para pejabat tinggi kerajaan. Kuthagara juga merupakan pusat atau
ibukota kerajaan, dan tempat raja serta para pejabat tinggi kerajaan mengendalikan
pemerintahan. Diluar wilayah Kutha Negara terdapat apa yang disebut wilayah
Negara Agung, yang juga masih termasuk sebagai wilayah inti kerajaan, yang
letaknya mengitari Kuthagara. Di wilayah inilah terletak tanah lungguh atau
apanage (yang akan dibahas di belakang) para bangsawan kraton dan pejabat
tinggi kerajaan yang bertempat tinggal di Kutha Negara. Daerah daerah yang
termasuk wilayah Negara Agung adalah Mataram (kira-kira sama dengan
Yogyakarta yang sekarang ini), Pajang (terletak di sebelah Barat Daya Surakarta),
Sukowati (terletak di sebelah Timur Laut Surakarta sekarang ini), Begelen, Kedu,
Bumi Gede atau Siti Ageng (daerah yang terletak di sebelah Barat Laut Surakarta
di tambah dengan daerah di sebelah Barat Daya Semarang dengan garis batas kira-
kira antara Ungaran dengan Kedung Jati.
Yang ketiga di luar wilayah Negara Agung terdapat wilayah yang disebut
dengan istilah Manca Negara. Sesuai dengan posisi arahnya dari pusat kerajaan
yaitu Kutha Negara, wilayah Manca Negara dibagi menjadi dua yaitu wilayah
Manca Negara Wetan (Timur) dan Manca Negara Kulon (Barat). Tidak seperti
wilayah Negara Agung, di Manca Negara tidak terdapat tanah-tanah lungguh atau
apanage dari para bangsawan Kraton dan pejabat tinggi kerajaan. Akan tetapi pada
waktu kerajaan Surakarta diperintah oleh Paku Buwana IV (1788-1820), terdapat
tanah apanage yang berlokasi di wilayah Manca Negara. Hal itu sebagi akibat
perang perebutan kekuasaan di Kasultanan Yogyakarta, antara raja Hamengku
Buwana (HB) II melawan putranya sendiri yaitu Pangeran Adipati Anom, yang
mengiginkan kedudukan tahta dari ayahnya. Adipati Anom meminta bantuan
kepada Ingtgris, sedangkan raja H.B. II meminta bantuan kepada Paku Buwana
IV. Dalam pertempuran pada tahun 1812 antara kedua belah fihak yang
bersengketa, H.B. II ditangkap oleh Inggris dan kraton Yogyakarta berhasil
diduduki. Akhirnya Adipati Anom berhasil menjadi raja menggantikan ayahnya.
Sementara itu Paku Buwana IV yang telah membantu raja Yogyakarta H.B. II
dituntut oleh Inggris unuk membayar ganti rugi perang dan menyerahkan tanah di
Kedu, Wisobo dan Blora. Penyerahan itu dituangkan melalui perjanjian 1 Agustus
1812. dan untuk penyerahan itu P.B. IV mendapat ganti rugi sebesar 12.000
ringgit. Sebagai ganti tanah lungguh para pejabat tinggi kerajaan di Kedu yang

108
A. Sartono Kartodordjo (et al.). Sejarah Nasional Indonesia. Jilid IV (Jakarta: Balai Pustaka. 1977) Hal. 1.

Politik Agraria | 74
diambil alih Inggris, Sunan memberikan tanah-tanah di daerah Madiun dan
Kediri.109
Pada masa pemerintahan raja Paku Buwana II di Mataran Kartasura yang
memerintah dari tahun 1726 – 1749, wilayah Manca Negara ini secara keseluruhan
meliputi daerah daerah sebagai berikut:
a. Manca Negara Barat: Banjar, Banyumas dan pasir (Purwakerta), Ngayah,
Kalibeber, Modern (Timur Banyumas), Roma (Karanganyar), Karangbolong,
Warah, Tersana, Karencang, Lebalsiyu, Balapulang, Bobotsari, Kartanegara,
Bentar dan Dayaluhur.
b. Manca Negara Timur: Panaraga, Kediri, Madiun, Pacitan, Magetan,
Caruban, Kaduwang, Pace, Kertasana, Sarengat dan Blitar, Jipang, Grobogan,
Warung, Sela, Blora, Rawa, Kalangbret, Japan, Wirasaba (Majaagung),
Barebeg dan Jagaraga.
Di luar wilayah Mancanegara dan yang letaknya paling jauh dari pusat
kerajaan terdapat apa yang disebut dengan istilah wilayah Pasisiran (pantai).
Wilayah ini juga dibagi menjadi dua bagian yaitu Pasisiran Wetan (Timur),
meliputi daerah-daerah pantai dari Demak ke barat, dan Pasisiran Kulon (Barat)
yaitu wilayah dari daerah Jepara ke timur. Pada masa pemerintahan Paku Buwana
II daerah-daerah Pasisiran barat terdiri dari daerah-daerah: Brebes, Bentar,
Labaksiyu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, Demak, dan Kaliwungu. Sementara
wilayah Pasisiran timur terdiri dari daerah-daerah: Jepara, Kudus, Cengkal, Pati,
Juwana, Rembang, Pajangkungan, Lasem, Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik,
Surabaya, Pasuruhan, Bangil, Banyuwangi, Blambangan dan Madura. Wilayah
Pasisiran kerajaan Mataram secara berangsur-angsur menjadi menyusut sejak
jaman pemerintahan Paku Buwana II sebagai akibat anenksasi oleh Belanda
(VOC).110

 Eksploitasi Tanah
Pada masa kerajaan Mataram Islam yang agraris, kegiatan ekonomi
sebagian besar masih dilakukan dengan cara tukar-menukar, upeti yang terdiri
dari hasil panen dan tenaga kerja. Meskipun sudah ada organisasi/ lembaga
keuangan di pusat kerajaan, akan tetapi belum berfungsi sebagai alat
perekonomian kerajaan yang utama. Bagi raja kekayaan adalah alat yang ditimbun
dan kadang-kadang digunakan untuk membeli dukungan., sehingga tidak pernah
dianggap sebagai alat efisiensi dalam organisasi ekonomi kerajaan.111
Sementara itu dalam konsep kekuasaan Jawa, raja adalah pemilik tanah
dengan kekuasaanya yang mutlak. Tanah itu dibagi-bagikan kepada para pejabat
birokrasi dan para bangsawan sebagai tanah apanage, dan kemudian diserahkan
kepada rakyat untuk dikerjakan. Hasil panen dari tanah-tanah yang dikerjakan
rakyat di pedesaan, upeti atau penyerahan wajib lainya diserahkan oleh para
kepala desa (petingi atau bekel) kepada para atasanya yaitu para Demang. Para
demang ini kemudian menyerahkan lagi kepada para atasanya yaitu para Panji,
109
Mudjiono. 2007. Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia Melalui Revitalisasi Fungsi
Badan Peradilan. Jurnal Hukum No. 3 Vol.14.

110
Rosnia Agus Sari. 2014. Jurnal Beraja Niti, Status Hukum Tanah Grant Sultan Kutai Kertanegara Ing
Martadipura Dalam Hukum Agraria Indonesia (Studi Lapangan Di Kerajaan Kutai Kartanegara Ing
Martadipura), Volume 3 Nomor 6.
111
Onghokham. Pungutan Dalam Sejarah dalam Harian Kompas. 14 Juli 1963. Hal. 2.

Politik Agraria | 75
yang biasanya bergelar Tumenggung. Kepala dari para panji adalah Wedana yang
selanjutnya bertangung jawab secara langsung kepada Patih. (Schrieke, 1951, part
II: 191-194). Agar bisa mengontrol tanah-tanahnya yang dikerjakan oleh rakyat di
pedesaan, raja mengangkat petugas-petugas khusus, yaitu apa yang disebut
dengan istilah bekel, petinggi dan sebagainya, yang sekaligus berfungsi sebagai
pemungut pajak.
Mereka ini tentu saja juga diberi imbalan jasa atau semacam gajih, yaitu
bagian dari hasil tanah desa di wilayah kerja mereka masing-masing. Untuk para
bekel ini raja memberikan tanah bebas pajak yang luasnya seperlima dari tanah
sawah yang ada di wilayah kerja mereka masing-masing. Kemudian separoh dari
sisanya, yaitu sebesar 2/5 bagian menjadi hak para petani penggarap yang mereka
nikmati pada setiap panen. Sisanya lagi yang tinggal 2/5 bagian, harus dipotong
lagi 1/5 bagian untuk bupati sebagai kepala daerah dan 1/5 lagi menjadi bagian
para kepala distrik seperti Demang dan Ngabehi. Dengan demikian raja tinggal
memperoleh bagian 2/5 x 100 % - 2/5 x 40 % = 40 % - 16 % = 24 % dari seluruh
hasil panen di suatu kabupaten. Sistem tanah bebas pajak atau hak guna tanah
yang seluas 1/5 bagian dari seluruh tanah sawah yang ada di wilayah kerja bekel
atau petinggi (atau jabatan setingkat) itu dinamakan sistem perlimaan. Sistem
kesatuan tanah di Jawa pada jaman raja-raja Mataram Islam pra kolonial adalah
“jung” yang arti harafiah atau yang sesungguhnya adalah kaki, yang kira-kira
sama dengan 50 x 50 cengkal = 2.500 roede persegi. Satu jung masih bisa dibagi
lagi menjadi 5 bau (bau = lengan). Pengertian harafiah bau atau lengan adalah
lengan pekerja seperti petani atau peladang, yang kemudian juga disebut dengan
istilah karya, yang berarti tugas kerja. Satu bahu luasnya kira-kira sama dengan
500 roede persegi. Akan tetapi dalam administrasi pertanahan Jawa yang masih
sederhana tanah, tanah bebas pajak dari para bekel tidak pernah diperhitungkan
dalam menentukan luas tanah desa. Oleh karena itu dalam daftar pajak yang resmi
hanya diperhitungkan 1 jung sama dengan 4 bau atau karya (G.P. Ruffaer, XXXIV,
1931: 72). Artinya untuk ukuran satu jung yang sesungguhnya masih harus
ditambah bagian bekel sebesar 1 bau, sehingga menjadi 5 bau.

D. Politik di Bidang Agraria Pada Zaman Penjajahan Belanda

Sebagaimana diketahui bahwasannya pada masa sebelum kolonial masyarakat


masih menggunakan hukum kepemilikan adat atas tanah. Masalah kepemilikan tanah
maupun pembagian tanah selalu mengedepankan keseimbangan antara kepentingan
bersama dengan kepentingan perseorangan. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus
memperhatikan keselarasan dan kesejahteraan bersama. Masalah kepemilikan tanah
petani Jawa telah banyak berubah terutama ketika kolonial masuk dan menerapkan
beberapa kebijakan yang berhubungan langsung dengan tanah. Kebijakan ini
merupakan pijakan awal bagi petani Sindanglaut dalam mengenal sistem tanah yang
berdasarkan atas kontrak dan bukan hukum kepemilikan adat ataupun ikatan-ikatan
feodal.112
Masuknya sistem pertanahan kolonial ini mengubah sistem kepemilikan tanah
umumnya sistem kepemilikan tanah bersifat dualisme, di mana peraturanperaturan
agraria terdiri dari peraturan-peraturan yang bersumber pada hukum adat (hukum
yang sudah lama melekat di masyarakat Indonesia) dan hukum barat (hukum
pemerintahan Hindia Belanda). Masyarakat pribumi tunduk pada hukum barat dan
hukum adat sedangkan pemerintah Hindia Belanda tidak memperdulikan hukum adat
yang sudah turun temurun ada pada masyarakat Indonesia. Masyarakat membentuk
sistem penguasaan tanah baru yang disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan
112
Rosnia Agus Sari. 2014. Jurnal Beraja Niti, Status Hukum Tanah Grant Sultan Kutai Kertanegara Ing
Martadipura Dalam Hukum Agraria Indonesia (Studi Lapangan Di Kerajaan Kutai Kartanegara Ing
Martadipura), Volume 3 Nomor 6.

Politik Agraria | 76
mereka selaku penjajah, maka tidak mengherankan jika banyak hal melemahkan
sendi-sendi hukum yrang asli milik orang-orang pribumi. Oleh karena itu, terjadilah
dualisme hukum pertanahan di Indonesia. Hukum barat bagi orang Eropa dan
golongan asing lainnya yang dipersamakan dengan orang Eropa, dan di pihak lain
berlaku hukum adat bagi orang pribumi yang terdapat pada Buku II KUH Perdata
yang merupakan hukum tertulis.113
Sebagaimana yang dilansir oleh para sejarawan pada umumnya, banyak negara
di Eropa pada abad XVI dan XVII114 mulai menemukan bentuk dan identitas
nasionalnya. Salah satu prasyarat bagi tegaknya identitas nasional suatu negara
(bangsa), adalah memperkuat kedudu-kannya di dalam negeri yang diwujudkan serta
sedikit banyak ditentukan oleh hubungannya dengan luar negeri atau negara lain.
Senada dengan itu, pada abad yang sama rute perdagangan internasional pindah dari
laut Tengah ke samudra Atlantik dan yang pertama mendapat kesempatan untuk itu
yakni Spanyol, Belanda dan Inggris. Raja-raja penganut paham merkantilisme yakni
Karel V (Spanyol), Ratu Elizabet (Inggris), Prins Maurits (Wali negara Belanda) dan
disusul Louis XIV (Prancis). Tampillah mereka sebagai mercu suar pada masanya,
yang ditandai dengan mengalirnya kekayaan logam mulia ke Eropa115.
Pada masa kolonial Belanda, hukum agraria di Hindia – Belanda (Indonesia)
terdiri dari 2 hukum. Yaitu hukum agraria Adat dan hukum agraria Barat. Hukum
Agraria yang merupakan keseluruhan kaidah – kaidah hukum agraria yang
bersumber pada hukum Adat dan beraku terhdap tanah – tanah yang dipunyai dengan
hak – hak atas tanah yang diatur oleh HukumAdat, yang selanjutnya sering disebut
tanah adat atau tanah Indonesia. Hukum agraria adat terdapat dalam hukum adat
tentang tanah dan air (bersifat Intern), yang memberikan pengaturan bagi sebagian
negara terbesar tanah di negara. Hukum agraria adat diberlakukan bagi tanah – tanah
yang tunduk pada hukum adat. Misalnya tanah ulayat, tanah milik perseorangan yang
tunduk pada hukum adat. Hukum agraria barat, yaitu keseluruhan dari kaidah –
kaidah hukum agraria yang bersumber pada hukum perdata Barat, khususnya yang
bersumber pada Burgerlijk Wetboek (BW). Hukum ini terdapat dalam BW (bersifat
eksteren) yang memberikan pengaturan bagi sebagian kecil tanah tetapi bernilai
tinggi. Hukum agraria barat ini diberlakukan atas dasar kebijakan barat. misalnya
tanah hak Eigemdom, hak Opsal dll. 116 Alasan diberlakukannya dua hukum di
Indonesia karena adanya perbedaan golongan rakyat oleh Belanda, sebagaimana
dimuat dalam Pasal 163 I.S (indischestaatsregeling ) yakni: (1) Golongan Eropa dan
dipersamakan dengannya; (2) Golongan timur-asing, yang terdiri dari timur asing
golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa seperti Arab, India, dan lain -lain; (3)
Golongan bumi putera, yaitu golongan orang Indonesia asli yang terdiri atas semua
suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia. Berdasarkan Pasal 131 IS
(indischestaatsregeling) ayat 2 dinyatakan bahwa bahwa berlaku hukum Belanda
bagi warga negara Belanda yang tinggal di Hindia -Belanda dengan asas
konkordansi, ayat 3 dinyatakan bahwa membuka kemungkinan untuk unifiksasi
hukum yaitu menghendaki penundukan pada golongan bumi putera dan timur asing
untuk tunduk kepada hukum eropa, serta ayat 4 diyatakan bahwa memberlakukan
hukum adat bagi golongan bumi Putera.
Politik hukum di bidang agraria, pada zaman penjajahan Indonesia sangat
merugikan bagi masyarakat pribumi (Inlander). Pemerintahan dan perundang –
undangan Belanda sangat menyudutkan masyarakat Indonesia, sangat jauh dari kata
keadilan. Termasuk dalam hal pertanahan sangat menguntungkan pihak penjajah
(Belanda). Karena mengatur tanah sama dengan mengatur perekonomian yang akan
menghasilkan banyak keuntungan bagi Belanda karena sumber perekonomian

113
H. M. Arba. Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika. 2015) Hal. 28.
114
Ahmadin. Masalah Agraria di Indonesia Masa Kolonial. Vol. IV. No. 1. Januari-Juni 2007. Hal. 57.
115
Ibid. Hal. 57.
116
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komperhensif (Jakarta: Kencana. 2012 ) Hal. 7.

Politik Agraria | 77
Indonesia berasal dari pertanian. 117 dengan dasar perekonomian ini Belanda
mengambil kebijakan untuk mendirikan lembaga yang mengatur khusus tentang
perekonomian untuk Belanda. Lembaga tersebut bernamakan VOC. Yang bertugas
untuk mengatur perekonomian Indonesia yang menguntungkan Belanda. Selanjutnya
akan dijelaskan mengenai seluk beluk VOC yang didirikan oleh Belanda.
Belanda yang pada saat itu terlibat dalam kompetisi perdagangan inter-nasional
dituntut untuk tetap eksis, dan ekspansi serta imperialisme merupakan syarat mutlak
yang mereka harus tempuh. Singkat cerita, ekspansi barat sejak abad ke-15
memunculkan Belanda dengan VOC-nya sebagai pemegang hegemoni politik di
Nusantara (Kartodirdjo, 1993)118. Kehadiran VOC inilah yang telah menimbulkan
berbagai problema, serta merusak sendi-sendi hukum agraria di Indonesia
(Parlindungan, 1993: 56).
Verenidge Oost Indisch Compagnie (VOC) yang didirikan sejak 1602 sebagai
sindikat dagang Timur Jauh, inilah yang berfungsi sebagai wadah yang diberi
wewenang untuk mengatur perekonomi-an dalam persaingan di pasar inter nasional
(Eropa). Berbagai kebijakan segera muncul untuk mengatur roda perekonomian di
tanah jajahan, sehingga sindikat dagang ini seakan tampil sebagai “state in state”
(negara dalam negara).
Pada awalnya mereka hanya tertarik untuk berdagang, sehingga sasaran
utamanya hanya terbatas pada kota-kota pelabuhan (daerah pantai). Pada tahun 1660
Maluku berhasil dikuasai, sehingga raja-raja diwajibkan membayar upeti. Namun
demikian, permintaan pasar dunia yang semakin meningkat, men-dorong mereka
untuk mengembangkan sektor pertanian dan akhirnya daerah Jawa, Madura Sumatra
Timurlah yang menjadi sasaran dan perioritas untuk mengembangkan usaha
perkebunan. Ricklefs dalam bukunya “A History of Modern Indonesia (1981: 119)”
men-jelaskan bahwa pada tahun 1859, terdapat sekitar 17.285 orang Eropa di
Indonesia, dan pada tahun 1900 melonjak menjadi 62.477 orang119.
Data tersebut menunjukkan bahwa dalam aktivitas perekonomian masa itu,
peranan orang-orang Eropa di Hindia Belanda (Indonesia) menjadi sangat penting.
Bahkan keterlibatan dan inter-vensi lebih jauh dalam aktivitas per-ekonomian
(perdagangan), semakin nyata tatkala sindikat perdagangan bernama VOC
mendukungnya. Mengetahui peran penting VOC dalam aktivitas per-dagangan,
sangat penting karena melalui peran itulah juga menjadi dasar penetapan berbagai
kebijakan politik dalam bidang agraria.

E. Zaman VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) Tahun 1602-1799


Masuknya penjajah Belanda dengan sistem perkebunan barunya berciri usaha pertanian
besar dan kompleks, padat modal, teknologi modern dan ber-orientasi komersil,
membutuhkan jumlah tenaga kerja yang relatif banyak. Melalui VOC-nya sebagai suatu
sindikat dagang, pemerintah Belanda menerapkan sistem monopoli dan pungutan paksa.
Meningkatnya permintaan akan bahan rempah-rempah di pasar internasional menyebabkan
kolonial Belanda mengadakan perluasan kebun dan tidak hanya sebatas rempah-rempah,
tetapi juga kopi di Priyangan dan perkebunan tebu di Jawa Tengah serta Jawa Timur
(Mubyarto, dkk., 1992).
Dalam menjalankan pemerintahan di tanah jajahan, kolonial Belanda memberlakukan
politik monopoli dan pungutan paksa melalui dua cara. Pertama, Contingenten yakni pajak
yang harus dibayar secara innatura dengan hasil bumi. Kedua, Verplicte leverentien yakni
hasil bumi yang disetorkan sesuai dengan kontrak yang ditetapkan oleh VOC (Mubyarto,
Dkk., 1992: 30). Pola-pola pemilikan tanah dan penguasaan tenaga kerja, pun tampak
menjadi bagian integral yang menyatu dalam pelaksanaan program-program VOC. Karena
itu, demi eksisnya pertahanan VOC di Indonesia, maka ia mulai membuat prasarana yang

117
Soetomo. Politik dan Administrasi Agraria (Surabaya: Usaha Nasional Indonesia. 1986) Hal. 16.
118
Ahmadin, Masalah Agraria di Indonesia Masa Kolonial. Vol. IV. No. 1. Januari-Juni. 2007. Hal. 57.
119
Ibid. Hal. 58.

Politik Agraria | 78
diperlukan seperti berupaya membangun benteng-benteng, loji, gudang penyimpa-nan hasil
bumi, pabrik dan juga rumah tempat tinggal (Djuliati, 1991: 143).
Dalam merealisasi keinginannya, untuk pertama kali VOC menuntut pengerahan tenaga
rakyat dari para Bupati. Tenaga rakyat ini digunakan untuk menebang dan mengumpulkan
kayu dari hutan jati. Blandbong adalah istilah yang dipergunakan untuk menyebut kerja
wajib umum ini. Kerja sebagai blandbong hanya mendapat upah relatif kecil yang tidak
sesuai dengan kerja yang harus mereka lakukan. Kerja wajib umum selalu dituntut oleh
penguasa pribumi terhadap para sikep. Bahkan di beberapa wilayah, tuntutan terhadap tenaga
kerja wajib tanam tidak saja didasarkan pada pemilikan tanah tetapi juga bagi mereka yang
hanya memiliki rumah (numpang karang atau indung tempel) (Djuliati, 1991: 263).
Kebijakan politik ini dalam versi Geertz (1963: 48-49) disebutnya “menumpangkan”, karena
alasan bahwa yang dilakukan oleh Belanda dari tahun 1619 hingga masuk-nya Jepang tahun
1942 adalah mencari produk pertanian di Indonesia khususnya Jawa untuk dijual di pasaran
dunia tanpa mengubah stuktur ekonomi pribumi secara asasi. 120
Untuk memperoleh sebuah cinema-tografi mengenai kebijakan kolonial di sektor
agraria, berikut diuraikan kondisi perkebunan pada beberapa wilayah di Indonesia: (1) di
Maluku sumber cengkeh dan pala dibatasi serta diberikan hukuman kolektif bagi
penyelundup dan diharuskan kerja rodi; (2) di daerah lada seperti Banten, Lampung dan
Sumatra Tengah diadakan perjanjian dengan raja di kota-kota pelabuhan untuk menetap-kan
kuota berikut harga ditetapkan oleh VOC; (3) di tanah pegunungan Priangan dibuka kebun-
kebun kopi dengan menggunakan bangsawan sebagai kontraktor untuk menyediakan buruh;
(4) di daerah Jakarta dan sekitarnya termasuk daerah-daerah pantai, terdapat hampir 100
buah tanah sewaan yang dikelola oleh pegawai setempat (yang diangkat oleh VOC); (5)
pemilik perkebunan hampir semua perkebunan yang punya hak istimewa sebagai tuan besar
atas penduduk desa; (6) di Jawa Tengah yang baru setengah takluk oleh VOC, mengenakan
pajak sederhana berupa padi, kayu, katun, benang, kacang-kacangan, dan uang. 121
Keinginan Belanda untuk melakukan monopoli dibidang perdagangan
dikawasan Nusantara, ternyata tidak hanya merupakan keingan Belanda sendiri,
tetapi juga negara lainnya, seperti Inggris. Bahkan Inggris telah mendahului langkah
VOC dengan membentuk sebuah perserikatan dagang untuk kawasan Asia di tahun
1600 yang diberi nama EIC (East India Company), yang mana telah menimbulkan
kekawatiran dikalangan para pedagang Belanda sehingga persaingan yang tadinya
ada diantara mereka sendiri berubah menjadi kesepakatan untuk membentuk sebuah
badan dagang guna membendung EIC. Untuk menghilangkan persaingan antar
pedagang Bealnda dan untuk mengahdapi persaingan dagang dengan bangsa Eropa
lainya, maka pada tanggal 20 Maret 1602, atas prakarsa Pangeran Maurits dan Olden
Barneveld didirikan kongsi perdagangan bernama Verenigde Oost-Indische
Compagnie-VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). Pengurus pusat VOC terdiri
dari 17 orang. Pada tahun 1602 VOC membuka kantor pertamanya di Banten yang di
kepalai oleh Francois Wittert.
VOC didirikan sebagai landasan perdagangan untuk menghindari dan mencegah
persaingan diantara pedagang Belanda. Menurut Octroi (23 – 03- 1602) VOC diberi
kekuasaan atas nama Staten General untuk mengadakan perjanjian dengan negara
dan raja – raja asing. Mempunyai dan memelihara tentara, mengeluarkan uang
sendiri, mengangkat gubernur dan pegawai tinggi lainnya. 122 Tujuan didirikannya
VOC di Indonesia antara lain sebagai berikut123 :

120
Suharsosno. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta (1830 - 1920),
Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal. 21.
121
Ahmadin. Masalah Agraria Indonesia: Konsepsi dan Sejarahnya. (Makassar: Bahan Mata Kuliah Jurusan
Sejarah UNM. 2001).Hal. 23.
122
Ibid. Hal. 17.
123
Noname. Pengertian Sejarah dan Sejarah VOC. (http://www.pengertiansejarah.com/sejarah-voc.html#
diakses pada tanggal 8 Maret 2021 pukul 20.00).

Politik Agraria | 79
1. Menghindari persaingan dagang tidak sehat diantara sesama pedang Belanda
sehinggan keuntungan maksimal dapat diperoleh.
2. Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan dagang dengan
bangsa Eropa lainya.
3. Membantu dana pemerintah Belanda yang sedang berjuang menghadapi Spayol
yang masih menduduki Belanda.
VOC mulai menaklukan raja-raja dari kerajaan-kerajaan kecil dengan cara
mengharuskan menandatangani perjanjian (tractaat) bahwa mereka (raja dan
rakyatnya) harus tunduk dan patuh kepada VOC dengan sistem perdagangan
Verpelichte Leverantie dan Contingenten, yaitu menyerahkan hasil bumi dengan
harga yang sudah dipatok atau ditentukan dan hasil bumi yang diserahkan dipandang
sebagai pajak tanah. Kemudian hukum perdata Belanda (Burgerlijk Wetboek) mulai
diberlakukan untuk seluruh wilayah kekuasaan VOC, penekanan praktek
penegakkannya adalah pada perolehan tanah untuk hubungan keagrariaan bagi
pengumpulan hasil bumi untuk dijual di pasaran Eropa.124
Dengan hukum barat itu, maka hak-hak tanah yang dipegang oleh rakyat dan
raja-rajaIndonesia tidak dipedulikan.Namun rakyat Indonesia masih dibiarkan untuk
hidup menurut hukum adat dan kebiasaannyaVOC mengadakan hukum secara barat
didaerah-daerah yang dikuasainya, dalam hal ini tidak memperdulikan hak-hak tanah
yang dipegang oleh rakyat dan raja-raja Indonesia. Pada zaman VOC dikenal
kebijaksanaan yang berkaitan dengan politik pertanian yang sangat menindas rakyat.
Kebijaksanaan dalam pertanian tersebut antara lain berupa :
a. Contingenten, yaitu berupa pajak atas hasil pertanian ysng harus diserahkan
kepada pengusaha kolonial (kompeni). Petani pribumi harus menyerahkan
sebagian hasil taninya kepada kompeni tanpa bayar sesen pun.
b. Verpilichte leverenten, yaitu suatu bentuk ketentuan yang diputuskan
olehbkompeni dengan para raja tentang kewajiban menyerahkan seluruh hasil-
hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara
sepihak. Rakyat tidak bisa berbuat apa-apa, mereka tidak berkuasa atas apa yang
mereka hasilkan.
c. Roerendiensten, atau dikenal dengan nama kerja rodi, yang dibebankan kepada
rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
Pada tanggal 31-12-1799 tamatlah riwayat kompeni, badan perdagangan VOC
pecah dan daerahnya serta hutang-hutangnya diserahkan kepada Bataafse Republik 1
januari 1980. Runtuhnya disebabkan oleh hal-hal berikut :
1. Banyak pegawai VOC yang korupsi.
2. VOC terjerat banyak hutang.
3. Pengeluaran VOC yang semakin besar akibat melukakan perang.

F. Zaman Gubernur General Mr. Herman Daendles (1808-1811)


Meester in de RechtenHerman Willem Daendels (lahir di Hattem, Gelderland,
Republik Belanda, 21 Oktober1762 – meninggal di Elmina, Belanda Pantai Emas, 2
Mei1818 pada umur 55 tahun), adalah seorang politikus Belanda yang merupakan
Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-36. Ia memerintah antara tahun 1808 –
1811.125 Masa itu Belanda sedang dikuasai oleh Perancis. Pada tahun 1780 dan 1787
ia ikut para kumpulan pemberontak di Belanda dan kemudian melarikan diri ke
Perancis. Di sana ia menyaksikan dari dekat Revolusi Perancis dan lalu

124
Supomo dan Djoksutono. Sedjarah Politik Hukum Adat 1609-1848 (Jakarta: Djambatan. Cetakan ke-4.
1955) Hal. 1.
125
Wikipedia. Herman Willem Daendelsam. (https://id.wikipedia.org/wiki/Herman_Willem_Daendelsam
Diakses pada tanggal 8 Maret 2021 Pukul 20.30)

Politik Agraria | 80
menggabungkan diri dengan pasukan Batavia yang republikan. Akhirnya ia mencapai
pangkat Jenderal dan pada tahun 1795 ia masuk Belanda dan masuk tentara Republik
Batavia dengan pangkat Letnan-Jenderal. Sebagai kepala kaum Unitaris, ia ikut
mengurusi disusunnya Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama. Bahkan ia
mengintervensi secara militer selama dua kali. Tetapi invasi orang Inggris dan Rusia
di provinsi Noord-Holland berakibat buruk baginya. Ia dianggap kurang tanggap dan
diserang oleh berbagai pihak. Akhirnya ia kecewa dan mengundurkan diri dari
tentara pada tahun 1800. Ia memutuskan pindah ke Heerde, Gelderland.
Pada tahun 1806 ia dipanggil oleh Raja Belanda, Raja Louis (Koning Lodewijk)
untuk berbakti kembali di tentara Belanda. Ia ditugasi untuk mempertahankan
provinsi Friesland dan Groningen dari serangan Prusia. Lalu setelah sukses, pada
tanggal 28 Januari1807 atas saran KaisarNapoleon Bonaparte, ia dikirim ke Hindia
Belanda sebagai Gubernur-Jenderal.
Pada jaman ini dikenal pemerintahan Gubernur General Daendels yang
mengeluarkan kebijaksanaan yang benar – benar langsung menyangkut pengusahaan
atas tanah oleh bangsa lain di Indonesia. Suatu politik pertanahan yang dijalankan
dengan cara menjual tanah kepada orang-orang yang mempunyai modal besar
terutama Cina, Arab dan Belanda. Tanah-tanah yang dijual ini disebut tanah
partikelir. Tanah partikelir adalah tanah yang dimiliki oleh orang – orang swasta
Belanda dan orang – orang pribumi yang mendapat hadiah tanah karena dianggap
berjasa kepada belanda. tanah eigendom (hak untuk dengan bebas mempergunakan
atau menikmati benda sepenuhpenuhnya dan untuk menguasai seluas-luasnya, asal
saja tidak bertentangan dengan undang – undang atau peraturan-peraturan umum
yang ditetapkan oleh instansi yang berhak menetapkannya) yang mempunyai sifat
dan corak istimewa. Menurut Soetomo (Soetomo, 1986:16) Yang membedakan
dengan tanah eigendom lainnya ialah adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat
kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan.126 Dengan politik
ini Belanda hendak melahirkan tuan – tuan taah yang lebih lagi menindas rakyat,
muncullah semacam negara – negara kecil dan rakyat di wilayahnya diperlakukan
seperti budak-budak.127
Menurut Clifford Geertz dalam bukunya “Involusi Pertanian” (Clifford Geertz,
1963:43)128, membagi pandangan mengenai pemilikan tanah menjadi dua bagian.
Wilayah Jawa dan Madura yang disebutnya sebagai “Indonesia dalam”, beranggapan
bahwa tanah adalah hak milik dan alat produksi, dan demi tanah setiap orang
bersedia mempertaruhnya nyawa untuk memper-tahankan tanah tersebut. Di sisi lain,
beliau istilahkan dengan “Indonesia luar” (di luar Jawa dan Madura) yakni kolonial
beranggapan bahwa kepemilikan tanah tidak jelas dan ditentukan oleh jenis tanaman
tertentu. Dalam pengertian bahwa tanah adalah milik umum, sehingga siapa yang
mengolah (menanami) itulah pemiliknya.
Perbedaan persepsi mengenai kepemilikan tanah inilah yang di kelak kemudian
hari menjadi bom waktu yang siap meledak, seperti aksi protes berupa
pemberontakan Ratu Adil, Perang Diponegoro, Pemberontakan Petani Banten,
sampai kepada aksi protes dengan organisasi modern seperti pemogokan di
Keresidenan Madiun, Keresidenan Yogyakarta, Keresidenan Pasuruan, dan lain-lain.
Herman Willem Daendels (1808-1811)129 menetapkan ber-bagai kebijakan sebagai
berikut: (1) meletakkan dasar pemerintahan dengan sistem barat, (2) pusat
pemerintahan di Batavia, (3) di pulau Jawa dibentuk 9 keresidenan, (4) membentuk
pengadilan keliling, (5) Kesultanan Banten dan Cirebon dijadikan daerah
Gubernemen.130

126
Soetomo. Politik dan Administrasi Agraria (Surabaya: Usaha Nasional Indonesia. 1986) Hal. 16.
127
Ibid. Hal. 19.
128
Ahmadin. Masalah Agraria di Indonesia Masa Kolonial. Vol. IV. No. 1. Januari-Juni 2007. Hal. 59.
129
Ibid. Hal. 60.
130
Ibid.

Politik Agraria | 81
G. Zaman Raffles (1811-1815)
Pada masa pemerintahan Thomas Stamford Rafles yang menjabat selaku
Gubernur Jenderal di Jawa dan sekitarnya pun menetapkan kebijakan berbeda yakni:
(1) membagi Jawa menjadi 18 keresidenan, (2) para bupati dijadikan pegawai negeri
dan gaji ditetapkan oleh pemerintah kolonial, (3) melarang pungutan paksa. Berbagai
kebijakan pemerintah kolonial tersebut, rupanya mengalami kegagalan dan tidak
mencapai target yang diharapkan. Penyebab kegagalan tersebut disebabkan oleh
terbatasnya pegawai yang cakap, perekonomian desa yang belum memungkinkan
untuk sistem penyewa-han berupa uang, dan masih banyaknya kepemilikan tanah
didasarkan pada ketentuan hukum adat.
Sir Thomas Stamford Bingley Raffles adalah gubernur – Letnan Hindia Belanda
ke – 39 yang dinobatkan sebagai gubernur terbesar. Beliau lahir 6 Juli 1781 di
Jamaica dan meninggal di London Inggris tahun 1826 pada umur 44 tahun. Beliau
dikatakan juga pendiri kota dan negara kota Singapura. Ia salah seorang Inggris yang
paling dikenal sebagai yang menciptakan kerajaan terbesar. Selama menjabat sebagai
penguasa Hindia Belanda beliau telah mengusahakan banyak hal, yang mana antara
lain adalah sebagai berikut : mengintroduksi otonomi terbatas, menghentikan
perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan pemerintahan kolonial Belanda,
menyelidiki flora dan fauna di Indonesia serta meneliti peninggalan – peninggalan
kuno. Seperti borobudur, candi Prambaman dll.
Thomas Stamford Raffles (1811-1816) mewujudkan suatu pikiran adanya fiscal
(pajak), ia mengadakan lan drente yang ditetapkan besarnya:131
1. Bagi sawah ½, 2/5 atau 1/3 dari panen.
2. Bagi tanah kering, dari ¼ sampai ½ hasil tanah.
Menurut Raffles, semua tanah adalah eigendom Gubernemen, tanah di daerah
yang ditaklukkan maupun daerah yang dikuasai menurut perjanjian disebut dengan
tanah Gubernemen.

H. Zaman Van Den Bosch (Cu Iturstelsel – 1930)


Van Den Bosch dilahirkan di Herwijen, provinsi Gelderland Belanda. Beliau
meniti karir di bidang militer. Di bidang militer beliau diangkat sebagai panglima di
Maastricht dengan pangkat sebagai mayor Jenderal. Di luar karirnya beliau banyak
membantu menyadarkan wargan Belanda akan kemiskinan akut di wilayah koloni.
Pada tahun 1827 beliau diangkat sebagai jenderal komisaris dan dibawa ke Batavia
hingga akhirnya menjadi Gubernur jenderal pada tahu 1830.
Pada jaman Gubernur Jendral Van de Bosch dikenal dengan kebijaksanaan yang
sangat menindas rakyat yaitu dengan system tanam paksa yang dikenal dengan nama
Cultuurstelsel (1830). Petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu
yang langsung atau tidak langsung dibutuhkan oleh pasar internasional waktu itu
yang hasilnya harus disetorkan kepada pemerintah Belanda tanpa mendapat imbalan
apa pun. Bagi tanah yang tidak punya tanah menyumbangkan tenaganya dengan
paksa dengan seperlima dari masa kerjanya yaitu 66 hari tiap satu tahun.
Politk hukum dalam pemerintahan Belanda ini tidak menyentuh rasa keadilan
bangsa Indonesia. Rakyat ditindas makin melarat tidak berdaya. Dalam perjalanan
waktu 30 tahun tanam paksai ini, hasilnya mulai menurun sehingga kurang
menguntungkan. Disamping itu dengan adanya protes-protes dan perlawanan-
perlawanan. Mereka mengingnkan beberapa ahli untuk mencari yang baru untuk
pengembangan dan memantapkan kedudukan mereka sebagai penguasa.132
Sistem tanam paksa (cultuurstelsel) oleh Belanda, yang menyebabkan
perkebunan-perkebunan negara meng-hasilkan bahan-bahan ekspor harus membuat
Jawa menjadi sebuah jajahan yang menguntungkan. Pada tahun 1870 perkebunan-

131
Santoso, Urip. 2012. Hukum Agraria Kajian Komperhensif. Jakarta: Kencana. Hal. 90.
132
Ibid. Hal. 20.

Politik Agraria | 82
perkebunan ini diambil oleh penanam-penanam modal swasta Belanda (Onghokham
dalam Sediono dan Gunawan Wiradi, 1983: 4; Onghokham, 1979).
Kebijakan baru kolonial yakni sistem tanam paksa yang memuat beberapa
ketentuan: (1) penduduk desa diharuskan menyediakan 1/5 tanahnya untuk ditanami,
(2) tanah yang disedia-kan untuk tanaman dagangan dibebas- kan dari pajak tanah,
(3) tanaman dagangan diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, (4) wajib
tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk pengangkutan ke pabrik, (5)
penggarap-an tanah diawasi langsung oleh kepala-kepala pribumi.133
Tanaman yang dipaksakan meliputi 2 kategori besar, yakni tanaman tahunan
seperti tebu, nila dan tembakau yang ditanami secara bergiliran dengan padi dan
tanaman keras (berumur panjang) yakni jenis tanaman yang tidak dapat digilirkan
dengan padi (kopi, teh dan lada). Ketidakteraturan penanaman, me-nyebabkan 2 jenis
tanaman mengembang-kan dua gaya yang saling berpengaruh dan bertentangan
dengan komunitas biotis yang sudah mapan. Karena, itu kesuburan tanah tidak dapat
diper-tahankan dan produksi hasil pertanian menurun.
Dalam sumber lain, juga dijelaskan mengenai ketentuan kerja wajib yang
diterapkan pada masa kolonial. Adapun mengenai jenis-jenisnya dapat dibedakan
dalam 4 kategori: (1) kerja wajib umum (heerendiensten) meliputi kerja dalam
pekerajaan umum, pelayanan umum dan penjagaan keamanan; (2) kerja wajib
pancen (pancendiensten) khusus untuk melayani rumah tangga pejabat; (3) kerja
wajib tanam (cultuurdiensten) tediri dari berbagai jenis kerja dibidang penanaman,
pengolahan dan pengangkutan tanaman wajib; (4) kerja wajib desa (desadiensten,
gemeentediensten) meliputi jenis kerja untuk kepentingan kepala desa dan ber-
macam-macam pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan warga desa dan
lingkungan desa pada umumnya.
Tanam paksa dihapus sedikit demi sedikit dan sebagai gantingan diadakan
hukum yang baru, yang dijadikan dasar hukum bidang agraria dalam masa colonial.
Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian
telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada
dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan
jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu
yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu
adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanah-
tanah negara nyang masih kosong.

I. Agrariche Wet S. 1870 No. 55


Agrarische wet adalah Udang – Undang yang dibuat di negeri Belanda pada
tahun 1870. Agrarische wet 1870 diundangkan dalam 1870 – 55 sebagai tambahan
ayat baru pada pasal 62 Regerings Reglement Hindia Belanda tahun 1854. 134
Menurut (H.M. Arha, 2015:24) Tujuan dari diberlakukannya Agrarische Wet di
Hindia Belanda adalah untuk membuka kemungkinan dan memberik jaminan hukum
kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di hindia Belanda. 135
Agrarische Wet membuka peluang bagi para pengusaha swasta untuk mendapatkan
tanah yang masih berupa hutan dari pemerintah. Tanah tersebut kemudian dijadikan
perkebunan dengan hak erpacht yang jangka waktunya bisa mencapai 75 tahun.
Selain penguasaan tanah dengan hak erpacht. Agrarische Wet juga menbuka peluang
untuk menggunakan tanah milik rakyat dengan sistem sewa.
Agrarische Wet lahir berdasarkan atas desakan modal besar-besar swasta di
negeri Belanda, yang sejalan dengan politik monopoli pemerintahan dalam bidang
pertanahan dimana pihak swasta pengusaha perkebunan terbatas kemungkinannya

133
Ahmadin. Masalah Agraria Indonesia: Konsepsi dan Sejarahnya (Makassar: Bahan Mata Kuliah Jurusan
Sejarah UNM. 2001) Hal. 32.
134
H. M. Arba. Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika. 2015) Hal. 24.
135
Ibid. Hal. 31.

Politik Agraria | 83
memperoleh tanah – tanah yang luas. Undang – undang ini diberlakukan atau
dikodifikasikan dalam Burgerlij Wetboek yang bermaksud dalam hukum tertulis dan
punya dasar hukum yang kuat dan mengikat, sedangkan hukum yang berlaku untuk
bumi putra adalah hukum adat.dengan demikian terjadinya dualisme hukum.136
Berlakunya Agrarische Wet politik monopoli (politik kolonial konservatif)
dihapuskan dan digantikan dengan politik liberal yaitu pemerintah tidak ikut
mencampuri di bidang usaha, pengusaha diberikan kesempatan dan kebebasan
mengembangkan usaha dan modalnya dibidang pertanian di Indonesia. Agrarische
Wet merupakan hasil rancangan dari wet (undang-undang 0 yang diajukan oleh
Menteri jajahan de Waal. Agrarische Wet diundangkan dalam Stb.1870 No.55,
sebagai tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62 Regering Reglement (RR) Stb.1854
No.2. Pasal 62 RR ini kemudian menjadi Pasal 51 Indische Staatsregeling (IS),
Stb.1925 No. 447.
Isi pasal 51 IS adalah sebagai berikut :137
a. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
b. Dalam tanah diatas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang
diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-
kegiatan usaha.
c. Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuanketentuan yang
ditetapkan dengan Ordonasi.
d. Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Ordonasi diberikan tanah
dengan Hak Erfpacht selama tidak lebih dari 75 tahun..
e. Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang
melanggar hak-hak pribumi.
f. Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat.
g. Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai pribadi
yang turun temurun (yang dimaksud adalah hak milik adat) atas permintaan
pemiliknya yang sah dapat diberikan kepada nya dengan hak eigendom.
h. Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non pribumi
dilakukan menurut ketentuan yng diatur dengan ordonasi.Agrarische Besluit
Stb.1870 No.118.
Salah satu ketentuan pelaksanaan Agrarische Wet adalah Agrarische Besluit,
yang dimuatdalam Stb.1870 Nomor 118. Pasal 1 Agrarische Besluit memuat
suatu pernyataan yang dikenal dengan Domein Verklaring (pernyataan kepemilikan),
yang pada garis besarnya berisi asas bahwa semua tanah yang pihak lain tidak
dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya adalah domain (milik) Negara.

J. Hak-Hak Tanah Menurut Hukum Adat


Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India,
dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah
peraturan-peraturan hukumtidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan
ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama
suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.

Definisi hukum adat menurut para ahli138 :

136
Soetomo, SH. Politik dan Adminitrasi Agraria (Surabaya: Usaha Nasional) Hal. 20.
137
H. M. Arba. Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika. 2015) Hal. 38.
138
Supomo. Sejarah Hukum Adat Jilid 1, (Jkarta: Pradnya Paramita. 1982) Hal. 32.

Politik Agraria | 84
1. Prof . Dr. Supomo
Dalam bukunya yang berjudul Beberapa catatan mengenai kedudukan
hukum, beliau memberikan batasan tentang hukum adat bahwa hukum adat
adalah sebagai hukum yang tidak tertulis didalam peraturan legislatif (unstanstry
low) meliputi perauran-peraturan hidup yang meskipun tidak di tetapkan oleh
yang berwajib tetapi harus ditaati dan di dukung oleh rakyat berdasarkan
keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan
hukum.
4. Dr. Sukanto
Dalam bukunya yang berjudul Meninjau Hukum Adat Indnesia batasan
hukum Adat menurut beliau bahwa Hukum adat sebagai complex adat-adat yang
kebanyakan tidak di kitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan,
mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.
5. Prof. Mr. C. Van Vollen Hoven
Dalam bukunya yang berjudul “Het Adatrecht van Nederland Inde” jilid I
halaman 7 beliau memberi pengertian bahwa hukum adat adalah hukum adat
tidak bersumber dari peraturan-peraturan yang di buat oleh Pemerintah Hindia
Belanda dahulu atau adat-adat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan
didasarkan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.139
6. Mr. B Ter Haar Bzn
Beliau memberikan defenisi tentang hukum bahwa hukum adat itu adalah
keputusan-keputusan yang lahir dan di pelihara oleh masyarakat yang membantu
perbuata perbuatan hukum dalam rangka jika timbul pertentangan dalam hal
kepentingan hakim.

Ciri-ciri Hukum Adat140


1. Bercorak Relegius-Magis
Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi
oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram
bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib
serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti
kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-
makluk lainnya.
Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp pada
nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan
masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka
tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya
selalu diadakan upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan
tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan
baik.
2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan
Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok,
sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat
hidup sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup
bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan
perseorangan.

3. Bercorak Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan,
kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan
pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai system
139
Ibid. Hal. 36.
140
http://iusyusephukum.blogspot.com/2013/06/makalah-hukum-adat-pada-jaman-kerajaan.html Diakses
pada tanggal 8 Maret 2021 pukul 13.00)

Politik Agraria | 85
pemerintahan. Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa
berdasarkan hasil musyawarah dan lain sebagainya.
4. Bercorak Kontan
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat
yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan
secara serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan
bermasyarakat.
5. Bercorak Konkrit
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau
keinginan dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan
dengan benda-benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji,
semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan
yang lainnya.
Ketentuan-ketentuan hukum tanah yang mengatur hak-hak atas tanah sebagai
lembaga hukum adalah sebagai berikut :141
1. Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan, misalnya hak milik,
hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai.
2. Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dilarang
untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya.
3. Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh jadi pemegang
haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya.
4. Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
Sedangakan hak – hak adat mengenai peristilahan yang lain sekali 142
a. Hak persekutuan atas tanah
1. Hak ulayat
2. Hak dari kelompok kekerabatan atau keluarga luas
b. Hak perseorangan atas tanah
1. Hak milik, hak yyaasan (inland bezitrecht)
2. Hak wewenang pilih, hak kima-cek, hak mendahulu, (vookeursrecht)
3. Hak menikmati hasil (genotsrecht)
4. Hak pakai (gebruisrecht) dan hak menggara/ mengolah (ontginningsrecht)
5. Hak imbalan jabatan (ambtelijk profijt recht)
6. Hak wenang beli (naatingsrecht)
Disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA. Secara khusus lagi diatur
dalam Pasal 20-27 UUPA. Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak
turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan
mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. Turun temurun artinya hak milik atas
tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya
meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang
memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat, artinya hak milik atas tanah
lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya, tidak mempunyai batas
waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lian, dan tidak mudah
hapus. Terpenuh, artinya hak milik atas tanah memberikan wewenang kepada
pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat
menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang
lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah
yang lain.
Ini adalah hak hukum adat pada zaman penjajahan. Mengenai pengaturan hukum
adat terkait urusan keagrariaan, Ter Haar dan para muridnya yang belajar di Sekolah
141
H. M. Arba. Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika. 2015) Hal. 32.
142
J. B Daliyo. Hukum Agraraia I Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta: Gloria. 2001) Hal. 21.

Politik Agraria | 86
Tinggi Hukum di Jakarta (yang pada waktu itu bernama Rechtshogeschool te
Batavia) mulai bekerja di lapangan untuk mencatat kaidah-kaidah sosial (adat)
komunitas-komunitas dengan sanksi-sanksi.Van Vollenhoven telah menjelaskan sifat
atau ciri khusus sebagai tanda-tanda pengenal Hukum Pertanahan dan Keagrariaan
Adat Indonesia, yaitu:143
1. Masyarakat hukum dengan pimpinan dan warganya dapat dengan bebas
menggunakan dan mengusahakan semua tanah hutan belukar yang belum
dikuasai seseorang dalam lingkungan masyarakat hukum untuk membukanya,
mendirikan perkampungan atau desa, berburu, mengumpulkan hasil hutan,
menggembala dan merumput.
2. Orang asing hanya dapat melakukan hal-hal yang disebutkan sebelumnya setelah
mendapatkan izin dari masyarakat hukum, karena setiap pelanggarannya
dinyatakan sebagai suatu pelanggaran adat yang disebut maling utan.
3. Setiap orang asing, tetapi kadang-kadang terhadap warga masyarakat hukum
pun, diharuskan membayarkan uang pemasukan, untuk dapat memungut dan
menikmati hasil tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat.
4. Masyarakat hukum adat bertanggung jawab atas setiap pelanggaran hukum yang
terjadi dalam wilayah masyarakat hukum adat.
5. Masyarakat hukum adat tetap berhak menguasai dan mengawasi tanah-tanah
pertanian dalam lingkungan masyarakat hukumnya
6. Tanah masyarakat hukum adat tidak boleh dijual lepaskan kepada pihak lain
untuk selama-lamanya.
Berkat perjuangan Van Vollenhoven dan Ter Haar serta para penerusnya, pada
zaman Hindia Belanda itu hukum negara yang diterapkan (oleh badan-badan yudisial
pemerintah kolonial) menjadi tidak – atau tidak banyak – menyimpang dari hukum
yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

K. Hak-Hak Tanah Menurut Hukum Barat


Hak-hak tanah menurut hukum barat meurpakan hak atas tanah yang diatur dalam
kitab Undang-Undang perdata (BW). Hukum ini biasanya digunakan oleh bangsa
Eropa. Lain halnya dengan hukum adat. Hukum ini adalah hukum tertulis. 144 Buku II
Burgerlijk Wetboek (BW) mengatur tentang jenis-jenis hak atas tanah yang dapat
dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum, termasuk mengatur isi dari hak yang
bersangkutan beserta hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanah yang
dikuasainya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tanah yang tercakup dalam BW
cenderung bersifat keperdataan. Selain itu, BW juga memuat ketentuanketentuan yang
mengatur hal-hal yang bersifat administratif, yang berisi kebijakan Pemerintah Hindia
Belanda tentang pemberian hak atas tanah di Indonesia.145 Menurut Purbacaraka dan
Halim, tanah-tanah hak adat terdiri atas:
1. Hak ulayat, yaitu hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat
hukum adat secara bersama-sama.
2. Hak milik dan hak pakai. Hak milik adat atas tanah adalah suatu hak atas tanah
yang dipegang oleh perseorangan atas sebidang tanah tertentu dalam wilayah
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak pakai adat atas tanah adalah,

143
Soetandyo Wignjosoebroto dalam monograf Untuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan
Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia (Jakarta: Epistema Institute. 2011) Hal. 29.
144
Ibid. Hal. 22.
145
Mudjiono. Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia Melalui Revitalisasi Fungsi Badan
Peradilan. Jurnal Hukum No. 3 Vol.14. Juli 2007. Hal : 458 – 473.

Politik Agraria | 87
suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang telah diberikan kepada seseorang
tertentu untuk memakai sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya tanah
yang dipakai dalam hukum adat dengan dasar hak pakai, dan biasanya terhadap
tanah sawah ladang. Van Dijk menyebutkan bahwa hak atas tanah adat dapat
dibedakan atas (a) Hak persekutuan atau hak pertuanan; (b) Hak persekutuan
yang berakibat keluar ialah: (1) Larangan terhadap orang luar untuk menarik
keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan sesudah
membayar uang pengakuan (recognitie); (2) Larangan pembatasan atau berbagai
peraturan yang mengikat terhadap orang- orang untuk mendapatkan hak – hak
perorangan atas tanah pertanian.
3. Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari :
a. Hak milik adat (inland bezitrecht) adalah, hak perorangan atas tanah, di mana
yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus ditanamnya pada
tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota
lainnya, dan kekuasaan kaum/persekutuan semakin menipis, dan kekuasaan
perorangan semakin kuat.
b. Hak memungut hasil tanah (genotrecht) ialah, suatu hak pribadi yang
mempunyai kekuatan tertentu, yaitu tentang menikmati hasil tanah saja,
sedangkan kekuasaan atas tanah yang berada pada persekutuan, hak ini
mempunyai kekuatan sementara.
c. Hak menarik hasil ialah, suatu hak yang diperdapat dengan suatu persetujuan
para pemimpin persekutuan dengan orang yang mengelola sebidang tanah
untuk satu atau dua kali panen.146
Tanah yang diatur menurut hukum perdata barat itu ada beberapa macam hak,
antara lain:
1. Hak Recht van Eigendom.
Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa Hak
eigendom adala h hak untuk menikmati suatu kebendaan dengan leluasa, dan
untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal
tidak bertentangan dengan undangundang atau peraturan umum yang ditetapkan
oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-
hak orang lain, kesemuanya itu tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan
hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang – undang dan
dengan pembayaran ganti rugi.
2. Hak Recht van Opstal
Hak Opstal atau disebut juga dengan recht van opstal adalah suatu hak
kebendaan (zakelijk recht) untuk mempunyai rumah-rumah, bangunan-bangunan
dan tanaman di atas tanah milik orang lain. Hak Optsal menurut pasal 711 KUH
Perdata merupakan hak numpang karang yaitu suatu hak kebendaan untuk
mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman diatas
perkarangan orang lain. Bagi pemegang Hak Opstal, mempunyai kewajiban antara
lain147 :
a. Membayar Canon (uang yang wajib dibayar pemegang hak opstal setiap
tahunnya kepada negara)
b. Memelihara tanah opstal tersebut dengan sebaik-baiknya
c. Opstaller daapat membebani haknya kepada hipotik
d. Opstaller dapat membebani tanah itu dengan pembebanan perkarangan
selama hak opstall itu berjalan
e. Opstaller dapat mengasingkan hak opstall itu kepada orang lain.

146
Soetomo,SH. Politik dan Adminitrasi Agraria (Surabaya: Usaha Nasional). Hal. 23.
147
Hasanah ulfiah. Status Kepemilikan Tanah Hasil Konverensi Hak Barat Berdasarkan UU No.5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Dihubungkan Dengan PP No.24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3 No.1. Hal. 7.

Politik Agraria | 88
3. Hak Recht van Erfpacht
Hak erfpacht, menurut Pasal 720 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu
barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan membayar upeti
tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa
uang, baik berupa hasilatau pendapatan.
4. Tanah Recht van Vruchgrebuick
Menurut Pasal 756 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, recht van
gebruik adalah suatu hak kebendaan, dengan mana seorang diperbolehkan menarik
segala hasil dari sesuatu kebendaan milik orang lain, sehingga seolah-olah dia
sendiri pemilik kebendaan itu,dan dengan kewajiban memeliharanya sebaik-
baiknya.148
5. Hak pinjam pakai (Bruikleen)
Hak ini diatur dalam pasal 1740 BW “hak pinjam pakai adalah suatu
perjanjian dalam mana pihak yang meminjamkan menyerahkan benda dengan
cuma-cuma kepada pihak yang meminjam untuk dipakainya dengan kewajiban
bagi yang meminjam setelah benda itu dipakai untuk mengembalikannya dalam
waktu tertentu”.

L. Politik di Bidang Agraria Sesudah Kemerdekaan


Sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, maka mulai sejak saat itu merupakan titik awal bagi perkembangan politik
hukum bangsa Indonesia. Dengan telah dinyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia,
maka pada tanggal 18 Agustus 1945 pemerintah negara Indonesia membentuk Undang
– Undang Dasar negara Indonesia sebagai dasar konstitusional pelaksanaan pemerintah
dan pelaksanaan pembangunan bangsa dan negara di berbagai kehidupan, termasuk di
dalamnta titik awal pembangunan hukum nasional negara Indonesia. 149
Pada awal kemerdekaan persoalan Agraria memerlukan perhatian yang khusus.
Oleh karenanya dibentuk UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berisikan bahwa Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunaka
sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat.adanya hukum ini adalah berasal dari
Buku II KUH perdata. Pemerintah Indonesia juga membentuk uNdang – undang
penunjang yaitu :150
1. UU no. 19 tahun 1956 tentang penentuan perusahaan Pertanian/ perkebunan milik
belanda yang dikenakan nasionalisasi.
2. UU no. 28 tahun 1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan Hak Atas Tanah
perkebunan.
3. UU no. 29 tahun 1956 tentang peraturan pemerintah dan tindakan - tondakan
menganai tanah perkebunan.
4. Ketentuan lain yang menyangkut pemakainan tanah – tanah milik warga negara
Belanda yang kembali ke negerinya.
Namun demikian perangkat – perangkat hukum inipun tidap dapat meyelesaikan
persoalan tanah yang ada di negara Indpnesia. Sehingga pemerinrah sejak terbentuknya
UUD 1945 berusaha untuk membentuk hukum agrarua bnasioanla yang berdasarkan
kepada hukum nasional Inddonesia dan yang akhirnya melahirkan UU no. 5 tahun
1960 tentang peraturan dasar - dasar pokok Agraria. Tujuan dibentuknya Undang-
Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)
adalah untuk mengakhiri peraturan-paraturan peninggalan pemerintahan kolonial
Belanda yang bersifat diskriminatif dan menindas rakyat. UUPA dengan tegas

148
Ibid. Hal. 24.
149
H. M. Arba. Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika. 2015) Hal. 29.
150
Ibid. Hal. 33.

Politik Agraria | 89
mencabut beberapa peraturan di bidang hukum agraria yang merupakan warisan
penjajah.151
1. Panitia Agraria Yogya
Usaha-usaha nyata untuk menyusun hukum agraria nasional yang akan
menggantikan hukum agraria kolonial telah dimulai tiga tahun setelah Indonesia
merdeka. Panitia Agraria Yogya dibentuk dengan penetapan Presiden Republik
Indonesia tanggal 21 Mei 1948 No. 16. Terbentuknya undang-undang pokok
Agraria melalui proses yang panjang. Dibentuknya Panitia Agraria Yogya yang
bertugas untuk menyusun hukum Agraria baru dan menetapkan kebijaksanaan
politik Agraria negara. Panitia ini diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo, dengan
anggota yang terdiri dari pejabat utusan dari kementrian dan jawatan-jawatan,
wakil organisasi-organisasi petani yang juga anggota KNIP wakil dari serikat buruh
perkebunan dan ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum adat. Panitia Agraria
Yogya dapat menghasilkan karya dalam sebuah laporan yang disampaikan kepada
Presiden 3 Febuari 1950.
Panitia Agraria Yogya mempunyai tugas Antara lain :
a. Mempertimbangkan pertimbangan kepada Pemerintah tentang hukum tanah
pada umumnya.
b. Merencanakan dasar-dasar hukum dan politik Agraria negara Republik
Indonesia.
c. Merencanakan penggantian, perubahan maupun pencabutan peraturan-
peraturan lama tentang tanah yang tidak sesuai dengan kedudukan Negara
Republik Indosnesia sebagai negara yang merdeka.
Hasil kerja panitia Agraria Yogya ialah, panitia ini telah mengusulkan suatu
konsepsi mengenai asas-asas yang menjadi dasar hukum agraria Republik
Indonesia ialah152 :
a. Menjelaskan asas domein dan pengakuan terhadap hak ulayat.
b. Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak milik perseorangan
yang dapat dibebani hak tanggungan.
c. Mengadakan penyelidikan terutama dinegara-negara tetangga tentang
kemungkinan pemberian hak milik atas tanah kepada orang asing.
d. Mengadakan penetapan luas minimum pemilikan tanah agar supaya para
petani kecil dapat hidup layak (untuk Jawa dua hektar).
e. Menerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan oleh Ketua Panitia
Agraria Yogya.
f. Mengadakan penetapan luas maksimum pemilikan tanah, tidak memandang
macam tanahnya (untuk Jawa 10 hektar sedangkan untuk luar Jawa masih
diperlukan penelitian lebih lanjut).
g. Diadakan pendaftaran tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting.

2. Panitia Agraria Jakarta


Pada tahun 1951, seiring dengan peralihan bentuk pemerintahan dari
Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
ibu kota negara yang awalnya berada di Yogyakarta dipindah ke Jakarta.
Berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Maret 1951 No.
36/1951. Panitia Agraria Yogya di bubarkan dan dibentuk panitia Agraria Jakarta.
151
http://jurnalhukum.com/peraturan-peraturan-kolonial-yang-dicabut-oleh-undang-undang-pokok-agraria
(Diakses pada 8 April 2021 Pukul 21.00)
152
Soetomo, SH. Politik dan Adminitrasi Agraria (Surabaya: Usaha Nasional) Hal. 26.

Politik Agraria | 90
Pantia ini telah diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo pada 1953 dan digantikan oleh
Singgih Praptodihardjo yang beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai
kementrian dan jawatan serta wakil-wakil organisasi-organisasi tani.153 Dalam
laporannya kepada pemerintah telah dikemukakan oleh panitia mengenati tanah
pertania rakyat yaitu:154
a. Mengadakan batas minimum pemilikan tanah (2 hektar) dengan mengadakan
peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum adat dan
hukum waris.
b. Mengadakan penentuan batas maksumum pemilikan tanah (25 hektar untuk
satu keluarga).
c. Pertanian rakyat hanya dapat dimiliki oleh warganegara Indonesia dan tidak
dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli. Badan hukum tidak
diperkenankan mengerjakan tanah pertanian rakyat.
d. Bangunn hukum untuk pertanian rakyat yaitu hak milik, hak usaha, hak sewa
dan hak pakai.
e. Pengaturan hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar negara dengan suatu
undang-undang.155

3. Panitia Negara Urusan Agraria


Dengan dibentuknya Kementrian Agraria dengan Keputusan Presiden R.I
tanggal 29 Maret 1955 No.55 tahun 1955, pemerintah telah memberikan tugas
kepada kementrian Agraria dengan mempersiapkan undang-undang Agraria.
Dengan terbentuknya kementrian Agraria ini Pemerintah bermaksud akan segera
menggantikan hukum agraria dengan keputusan Presiden R.I tanggal 14 Januari
No.1 tahun 1956 panitia Agraria Jakarta dibubarkan sekaligus membentuk panitia
Negara Urusan Agraria. Tanggal 1 Juni panitia negara urusan Agraria telah dapat
menyusun Rancangan Undang-undang Pokok Agraria. Dengan keputusan presiden
tanggal 6 Mei 1958 No.37 tahun 1958. Dengan selesainya penyusunan tugas pokok
rancangan Undang-undang maka panitia Negara Urusan Agraria dibubarkan.
Panitia negara urusan Agraria berkedudukan di Jakarta panitia ini diketuai oleh
Soewahjo Soemodilogo. Dan beranggotakan yaitu pejabat-pejabat pelbagai
kemntriana dan jawatan, ahli-ahli hukum adat, dan wakil-wakil beberapa organisasi
tani. Pokok-pokok rancangan Undang-undang pokok Agraria yang dibuat oleh
Panitia Negara Urusan Agraria sebagai berikut:156
 Penghapusan asas domein dan pengakuan terhadap hak ulayat, dengan
mengingat kepentingan umum dan negara.
 Penggantian asas domein dengan hak menguasai negara.
 Penghapusan dualisme hukum agraria dan diadakan kesatuan hukum yang
memuat unsur-unsur positif (baik) daripadalembaga-lembaga hukum adat
maupun hukum Barat.
 Menentukan bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang boleh
mempunyai hak milik atas tanah dan tidak membedakan antara warga negara
asli dan bukan asli, sedangkan badan hukum pada asasnya tidak boleh
mempunyai hak milik atas tanah.
 Menentukan hak-hak atas tanah yaitu hak milik, sebagai hak yang terkuat, hak
usaha, hak bangun dan hak pakai.
 Penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh dimiliki oleh
perseorangan atau badan hukum.

153
Ibid.
154
Soetomo, SH. Politik dan Adminitrasi Agraria (Surabaya: Usaha Nasional) Hal. 27.
155
Ibid.
156
Ibid.

Politik Agraria | 91
 Pada asasnya para pemilik tanah harus mengerjakan sendiri tanah
pertaniannya.
 Mengadakan pendaftaran tanah dan merencanakan penggunaan tanah.
Rancangan undang-undang pokok Agraria diajukan kepada dewan
Perwakilan Rakyat pada tanggal 24 April 1958 dan disusun berdasarkan undang-
undang dasar sementara pada tahun 1950. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
untuk kembali ke undang-undang dasar 1945 rancangan undang-undang pokok
Agraria yang diajukan kepada dewan Perwakilan Rakyat ditarik kembali dan
disesuaikan dengan undang-undang dasar 1945. Setelah mengalami perubahan pada
tanggal 1 Agustus 1960 rancangan undang-undang pokok Agraria diajukan kembali
pada dewan Perwakilan Rakyat dan tanggal 14 September 1960 telah disetujui oleh
dewan Perwakilan Rakyatdan selanjutnya pada tanggal 24 September 1960
disahkan oleh dewan Perwakilan Rakyat dengan sebutan “Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria”. Dan kemudian undang-undang ini dikenal dengan nama “Undang-
undang Pokok Agraria” atau Undang-undang No.5 tahun 1960 (Lembaga Negara
Tahun 1960 No. 104).157
4. Panitia penyusun Undang – Undang Agraria lanjutan
Bukan hanya terdapat 2 panitia yang ada di bentuk untuk menyusun Undang-
Undang Agraria setelah kemerdekaan didapatkan oleh pemerintah Indonesia. Ada
beberapa panitia lanjutan yang dibentuk untuk menyusun Undang-Undang Agraria
yang baru. Yang mana dambeil dari zaman penjajahan dan diubah sesuai karaktaer
dan dasar negara Indonesia. Panitia tersebut anatar lain158:
1. Panitia Soewahjo.Berdasarkan Keputusan Presiden No. 1Tahun 1956 tanggal
14 januari 1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria berkedudukan di
Jakarta yang diketuai Soewahjo Soemodilogo,Sekretaris Jendral Kementrian
Agraria.
2. Rancangan Soenarjo. Setelah dilakukan beberapa perubahan mengenai
sistematika dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan Panitia
Soewahjo oleh Menteri Agraria Soenarjo diajukan kepada Dewan Menteri
pada tanggal 14 Maret 1958.
3. Rancangan Sadjarwo. Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 kita
kembali kepada UUD 1945. Berhubung Rancangan Soenarjo yang telah
diajukan kepada DPR beberapa waktu yang lalu disusun berdasarkan UUDS
1950, maka dengan surat Presiden tanggal 23 Maret 1960 rancangan tersebut
ditarik kembali dan disesuaikan dengan UUD 1945.
Sesuai persetujuan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949,
Pemerintah Indonesia tidak akan menggugat dan tidak akan menganggu
beroperasinya perusahaan asing yang dimiliki oleh Belanda di Indonesia.
Pemerintah republik Indonesia hanya dapat mengambil alih lahan jika mereka
bersedia memberikan uang ganti rugi. Pada saat itu pula, perlawanan petani
semakin diperkuat dengan adanya kebebasan berorganisasi, seperti Barisan Tani
Indonesia (BTI), Rukun Tani Indonesia (RTI), Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia
(Sarbupri), dan Persatuan Tani Nasional Indonesia (Petani). Organisasi-organisasi
yang berkutat dalam memperjuangkan agraria ini berafiliasi dengan partai-partai
politik sehingga perlawanan mereka semakin kuat, contohnya adalah munculnya
Peristiwa Tanjung Morawa pada tanggal 16 Maret 1953 yang menyebabkan
jatuhnya kabinet Wilopo teraentuknya Kementrian Urusan Agraria.159 Dengan
adanya perlawanan dari masyarakat dalam memperjuangkan hak lahan, maka
157
Ibid. Hal. 28-30.
158
http://ardinal.net/hukum-agraria-hak-hak-atas-tanah/ Diakses Diakses tanggal 5 April 2021 Pukul 11.33).

Politik Agraria | 92
pemerintah mengeluarkan undang-undang darurat dengan nomor 8 tahun 1954
yang menyatakan bahwa pemakaian lahan perkebunan tidak melanggar hukum dan
proses penyelesain yang dilakukanoleh pemerintah untuk kepentingan semua rakyat
adalah pemberian hak atas tanah dan perundingan terhadap yang bersengketa.
Di era Orde Lama dimana Soekarno menjadi presiden Republik Indonesia
dikeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Isi dari
undang-undang tersebut melandaskan pada hukum adat dalam masyarakat yang
telah disempurnakan sehingga semua bentuk hak-hak tanah di zaman pemerintahan
Belanda dihapuskan serta diubah menjadi hak-hak rakyat yang diatur oleh UUPA.
Dalam pelaksanaan reformasi lahan sebagaimana penjelasan sebelumnya,
para tuan tanah berusaha menghindari ketentuan-ketentuan UUPA dengan berbagai
cara. Pada saat itu pula pelaksanaan reformasi lahan menjadi bagian dari strategi
Partai Komunis Indonesia untuk menuai dukungan dari kalangan masyarakat
pedesaan. PKI menggunakan isu land reform (reformasi lahan) untuk menduelkan
penduduk desa versus tuan tanah (penguasa tanah) yang dalam konsepnya menjadi
“tuan tanah setan desa” versus “petani.” Konflik antara PKI dan masyarakat desa
terjadi ketika pemerintah dianggap tidak mampu mereformasi lahan dan akhirnya
PKI melakukan tindakan sepihak atas nama partai yang memperjuangkan aspirasi
masyarakat.160
Pemerintahan republik Indonesia di tangan Soeharto melakukan perubahan
mengenai politik agraria secara nasonal. Dalam pemerintahan Soeharto Kebijakan
pertanahan kembali mengalami perubahan ketika terjadi pergantian pemerintahan.
Pemerintah Orde Baru cenderung melakukan kebijakan pembangunan untuk
peningkatan pendapatan ekonomi negara. Tanah-tanah luas yang dikelola rakyat
oleh orde baru dianggap sebagai wadah investasi besar dan alat akumulasi modal
bagi para pengusaha.161
Politik agraria di era orde baru berlanjut dengan dikelaurkannya undang-
undang yang bertentangan dengan UUPA sebagai undang-undang agraria pembela
petani atau rakyat kecil. Contohnya ialah UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing dan UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang
memberikan kesempatan pada berbagai kalangan untuk memperoleh Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).
Kepentingan masyarakat terklahkan oleh kepentingan kapitalis yang mempunyai
hukum sah dari pemerintah.
Pada periode kepemimpinan orde baru, konflik agraria berkembang dari yang
semula tuan tanah versus masyarakat desa menjadi “pemilik tanah(rakyat/petani)”
versus “pemilik modal besar dan pemerintah negara.” 20 Hasil penelitian sengketa
tanah di Jawa Barat menunjukkan bahwa 57% adalah konflik antara rakyat dengan
negara, 30% rakyat dengan pemodal swasta, 11% antara sesama rakyat dan 1%
antara sesama perusahaan swasta.162
Isu dalam konflik pertanahan beragam, contohnya ialah penggusuran yang
sewenang-wenang, ganti rugi, izin lokasi, pemaksaan untuk menanam tanaman

159
Karl J. Pelzer. Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
1991).
160
Ririn Darini. Sengketa Agraria: Kebijakan dan Perlawanan dari Masa ke Masa. Hal 7.
161
Ririn Darini. Sengketa Agraria: Kebijakan dan Perlawanan dari Masa ke Masa. Hal 9.
162
Gunawan Wiradi. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir (Yogyakarta: Insist. 2000) Hal. 148.

Politik Agraria | 93
tertentu dan pelecehan hak-hak masyarakat adat lainnya. Sengketa tanah
perkebunan yang banyak terjadi khususnya di daerah-daerah kantong perkebunan
seperti di Jawa dan Sumatra, ini muncul karena adanya penetapan baru,
perpanjangan, maupun pengalihan Hak Guna Usaha atas lahan perkebunan dan/atau
bekas lahan perkebunan yang sudah digarap oleh rakyat. Wilayah sengketa juga
semakin meluas, tidak hanya terjadi pada masyarakat pedesaan tetapi juga pada
masyarakat perkotaan. Penggusuran rumah tinggal di berbagai kota besar misalnya,
yang digunakan untuk keperluan para pemilik modal, pengembang perumahan-
perumahan mewah, maupun sejumlah proyek milik pemerintah. UU No. 20 Tahun
1961 mengenai Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di
atasnya ditafsirkan sedemikian rupa sehingga dalam praktek, untuk kepentingan
umum atau bahkan untuk kepentingan swasta, pejabat setingkat gubernur atau
bupati dapat melakukan pencabutan hak atas tanah.163
Pada masa ini perlawanan yang dilakukan rakyat berkaitan dengan sengketa
agraria terjadi dengan hadirnya kelompok mahasiswa, Lembaga Bantuan Hukum,
maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Dalam era orde lama, dalam
memperjuangkan hak atas tanahnya para petani mendapat dukungan dari partai
politik.164

163
Ririn Darini. Sengketa Agraria: Kebijakan dan Perlawanan dari Masa ke Masa. Hal 10.
164
Ibid.

Politik Agraria | 94
RINGKASAN

Latar Belakang

Tanah merupakan suatu benda tak bergerak yang mampu memberikan hidup,
tempat tinggal, tempat bertahan hidup dengan cara mengusahakannya, sehingga
sebagian besar kebutuhan manusia tergantung pada tanah. Mengingat pentingnya arti
tanah bagi manusia, maka diperlukan suatu peraturan atau norma-norma tertentu dalam
penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah. Pengertian tanah menurut penjelasan
pasal 1 Undang- Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, yang dimaksud denga tanah adalah permukaan bumi.
Agraria merupakan lembaga yang menyatakan hal-hal yang terkait dengan
pembagian, peruntukan, dan pemilikan lahan. Agraria sering pula disamakan dengan
pertanahan. Dalam banyak hal, agraria berhubungan erat dengan pertanian (dalam
pengertian luas, agrikultur), karena pada awalnya, keagrariaan muncul karena terkait
dengan pengolahan lahan. Masalah agraria adalah masalah yang sangat penting untuk
dibahas. Karena pertanahan adalah sumber penghidupan. Dari lahan yang dimilikinya
bisa untuk dibangun rumah. Lahan yang lain juga bisa untuk dibuat ladang untuk
penghasilan dan untuk keperluan hidup sehari – hari.
Tanah merupakan faktor pendukung utama dalam kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat. Fungsi tanah tidak hanya terbatas pada kebutuhan tempat tinggal, tetapi
juga tempat tumbuh kembang, sosial, politik dan budaya seseorang maupun suatu
komunitas masyarakat. Tanah sebagai pendukung utama kehidupan ketika dijajah
kolonial belanda dan setelah merdeka banyak diperbincangkan, entah dari sejarah
filosofisnya atau dari segi berlakunya, Indonesia telah banyak menuai “asam-
manis” kerasnya kehidupan menuju kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera.
Indonesia telah banyak melewati masa-masa yang sangat keras. Seperti masa-masa
diberlakukanya Agrarische Wet pada tahun 1980, Regelings Reglement, dan Indische
Staat Regeling. Dan bahkan Indonesia telah mempunyai undang-undang khusus
tentang Agraria yaitu Undang-undang pokok agraria (UUPA), yang dimana UU itu
muncul setelah indonesia memperoleh kemerdekaannya. Sebagai realisasi dan
keinginan pemerintah jajahan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari
hasil pertanian di Indonesia pemerintah berusaha mempersempit kesempatan pihak-
pihak pengusaha swasta untuk memperoleh jaminan yang kuat atas tanah-tanah yang
diusahainya, seperti untuk memperoleh hak eigendom. Kepada para pengusaha oleh
pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa atas tanah-tanah kosong dengan waktu
yang terbatas yaitu tidak lebih dari 20 tahun sebagai hak personalitas. Tanah tersebut
tidak dapat dijadikan jaminan hutang. Demikian juga dengan hak erfpacht oleh
pemerintah tidak dapat diberikan, karena masih menghargai hak-hak adat yang tidak
rnengenal adanya hak erfpact.

Pengertian Sejarah dan Politik Agraria


- Pengertian Sejarah
J. Bank berpendapat bahwa Sejarah merupakan semua kejadian atau
peristiwa masa lalu. Sejarah untuk memahami perilaku masa lalu, masa sekarang

Politik Agraria | 95
dan masa yang akan datang. Robin Winks berpendapat bahwa Sejarah adalah studi
tentang manusia dalam kehidupan masyarakat. Leopold von Ranke berpendapat
bahwa Sejarah adalah peristiwa yang terjadi.
Pengertian sejarah ialah memiliki makna sebagai cerita, atau kejadian yang
benar-benar telah terjadi pada masa lalu. Namun yang jelas, bahwasanya sejarah
merupakan suatu penggambaran ataupun rekonstruksi peristiwa, kisah, maupun
cerita yang benar-benar terjadi pada masa lalu.
- Pengertian Politik Agraria
Politik Agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh Negara
dalam memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil
manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk
hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan Negara, yang bagi Negara
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar (UUD) 1945. Politik
Agraria dapat dilaksanakan, dijemalkan dalam sebuah Undang-Undang mengatur
agrarian yang memuat asas-asas, dasar-dasar, dan soal-soal agraria dalam garis
besarnya, dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, ada
hubungan yang erat antara politik dan hukum.

Politik di Bidang Agraria Sebelum Proklamsi Kemerdekaan 17 Agustus 1945


Sebelum mengetahui lebih lanjut tentang politik di bidang agraria. Di awal
perlu dibahas tentang pengertian tentang agraria. Istilah agraria berasal dari kata akker
(bahasa Belanda), agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (bahasa latin)
tanah atau sebidang tanah, agrarius (bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan,
pertanian, agrarian (bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian. Menurut Andi
Hamzah, agraria adalah masalah tanah dari semua yang ada di dalam dan di atasnya.
Menurut subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah segala apa yang ada diatasnya.
Yang dimaksud disini adalah seperti batu, tanah, kerikil, tambang, tanaman dan
bangunan.
Menurut Andi Hamzah, agraria adalah masalah dan semua yang ada di dalam
dan diatasnya. Menurut Subekti dan R Tjitrisoedibio, agraria adalah urusan tanah dan
segala apa yang ada di dalam dan di atasnya, yang di dalam tanah misalnya batu,
kerikil, tambang, sedangkan yang ada diatas tanah berupa tanaman, bangunan.
Ruang lingkup agraria / sumber daya alam dapat dijelaskan sebagi berikut :
1. Bumi
Pengertian bumi menurut pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi,
termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. 
2. Air
Pengertian air menurut pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada
diperairan pedalaman maupun air yang berada dilaut diwilayah Indonesia
3. Ruang Angkasa
Penertian ruang angkasa menurut pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang diatas
bumi wilayah Indonesia dan ruang diatas air wilayah Indonesia. Pengertian ruang
angkasa menurut pasal 48 UUPA ruang diatas bumi dan air yang mengandung
tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya.
4. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

Politik Agraria | 96
Kekayaan alam yang terkandung didalam bumi disebut bahan, yaitu unsur –
unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk
batuan-batuan mulia yang merupakan endapan – endapan alam.

Sejarah Politik Agraria Zaman Kerajaan Nusantara


Masa kerajaan adalah masa dimana semua warga dipimpin oleh seorang raja
yang mana seorang raja berkuasa penuh atas pemerintahan serta semua aspek yang
ada di dalam wilayah kepemiminannya. Zaman kerajaan berbeda dengan zaman
penjajahan. Di zaman kerajaan ini, seorang raja harus berusaha dengan keras untuk
mengembangkan wilayah kekuasannya dengan bantuan rakyat – rakyatnya yang
dilatih sebagai prajurit. Dalam lingkup ini rakyat tidak hanya di gunakan sebagi
alat. Berbeda sekali dengan zaman penjajahan, yang mene yang mengekploitasi
tenaga kerja pribumi untuk melakukan semua perintahnya tapa mementingkan
keadaan, kesejahteraan rakyat jajahan. Rakyat jajahan diperlakukan seperti boneka
yang kapan saja harus bersedia melakuakan semua perintah yang di peritahkan
untuknya.

Pada Zaman Kerajaan Kutai


Kerajaan Kutai (sekitar 400 M), jauh sebelum masuknya orang-orang Eropa
di Nusantara, sebenarnya pengaturan dalam masalah tanah sudah dikenal dalam
sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan terdahulu. Pada masa jayanya kerajaan
Kutai pernah dikenal adanya suatu ketentuan yang mengatur tentang acara
penggunaan, pengolahan, pemeliharaan, jual beli, sistem pemilikan, tanah terlantar,
dan tanah-tanah kehutanan. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut sebagai berikut :
 Pada masa kerajaan Kutai dikenal dengan Kitab Undang-Undang Brajananti
atau Brajaniti.
 Pada masa kerajaan Banjar dikenal dengan Kitab Undang-Undang Sultan
Adam dibuat sekitar tahun 1251.

Pada Zaman Kerajaan Sriwijaya


Pengaturan sistem pertanahan pada masa kerajaan Sriwijaya (693-1400)
dikenal dengan nama kitab undang-undang Simbur Cahaya yang merupakan
peninggalan kitab undang-undang jaman raja-raja Sriwijaya. Prinsip pemilikan hak
atas tanah, raja dianggap sebagai pemilik, sedangkan rakyat sebagai pemakai
(penggarap) yang harus membayar upeti kepada raja sebagai pemilik.

Pada Zaman Kerajaan Majapahit


Kerajaan Majapahit (1293-1525) merupakan suatu kerajaan yang menguasai
seluruh nusantara dan memiliki ketentuan yang paling lengkap tentang pengaturan
kehidupan masyarakat. Tanah dalam kehidupan rakyat majapahit memegang
peranan penting karena itu dibuat undang-undang tentang hak memakai tanah yang
disebut Pratigundala. Pratigundala didapati dalam negarakertagama pupuh 88/3
baris 4 hal 37.

Pada Zaman Kerajaan Mataran Islam


Pada jaman raja-raja feodal pra-kolonial, sistem kebangsawanan, pembagian
wilayah dan birokrasi kerajaan sangat berkaitan erat dengan sistem pertanahan. Hal
ini bisa dimengerti karena pada hakekatnya pengertioan feodalisme adalah sistem
pemerintahan yang dalam pendistribusian kekuasaan berjalan sejajar dengan
pembagian tanah kepada para aparat brokrasi dan bangsawan. Dengan demikian
tanah merupakan hal sangat penting dalam penyelenggaraan kekuasaan.
Di luar wilayah Mancanegara dan yang letaknya paling jauh dari pusat
kerajaan terdapat apa yang disebut dengan istilah wilayah Pasisiran (pantai).
Politik Agraria | 97
Wilayah ini juga dibagi menjadi dua bagian yaitu Pasisiran Wetan (Timur),
meliputi daerah-daerah pantai dari Demak ke barat, dan Pasisiran Kulon (Barat)
yaitu wilayah dari daerah Jepara ke timur. Pada masa pemerintahan Paku Buwana
II daerah-daerah Pasisiran barat terdiri dari daerah-daerah: Brebes, Bentar,
Labaksiyu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, Demak, dan Kaliwungu. Sementara
wilayah Pasisiran timur terdiri dari daerah-daerah: Jepara, Kudus, Cengkal, Pati,
Juwana, Rembang, Pajangkungan, Lasem, Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik,
Surabaya, Pasuruhan, Bangil, Banyuwangi, Blambangan dan Madura. Wilayah
Pasisiran kerajaan Mataram secara berangsur-angsur menjadi menyusut sejak
jaman pemerintahan Paku Buwana II sebagai akibat anenksasi oleh Belanda
(VOC).
 Eksploitasi Tanah
Pada masa kerajaan Mataram Islam yang agraris, kegiatan ekonomi
sebagian besar masih dilakukan dengan cara tukar-menukar, upeti yang terdiri
dari hasil panen dan tenaga kerja. Meskipun sudah ada organisasi/ lembaga
keuangan di pusat kerajaan, akan tetapi belum berfungsi sebagai alat
perekonomian kerajaan yang utama. Bagi raja kekayaan adalah alat yang
ditimbun dan kadang-kadang digunakan untuk membeli dukungan., sehingga
tidak pernah dianggap sebagai alat efisiensi dalam organisasi ekonomi kerajaan.

Politik di Bidang Agraria Pada Zaman Penjajahan Belanda


Sebagaimana diketahui bahwasannya pada masa sebelum kolonial masyarakat
masih menggunakan hukum kepemilikan adat atas tanah. Masalah kepemilikan tanah
maupun pembagian tanah selalu mengedepankan keseimbangan antara kepentingan
bersama dengan kepentingan perseorangan. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus
memperhatikan keselarasan dan kesejahteraan bersama. Masalah kepemilikan tanah
petani Jawa telah banyak berubah terutama ketika kolonial masuk dan menerapkan
beberapa kebijakan yang berhubungan langsung dengan tanah. Kebijakan ini
merupakan pijakan awal bagi petani Sindanglaut dalam mengenal sistem tanah yang
berdasarkan atas kontrak dan bukan hukum kepemilikan adat ataupun ikatan-ikatan
feodal.
Masuknya sistem pertanahan kolonial ini mengubah sistem kepemilikan tanah
umumnya sistem kepemilikan tanah bersifat dualisme, di mana peraturanperaturan
agraria terdiri dari peraturan-peraturan yang bersumber pada hukum adat (hukum yang
sudah lama melekat di masyarakat Indonesia) dan hukum barat (hukum pemerintahan
Hindia Belanda). Masyarakat pribumi tunduk pada hukum barat dan hukum adat
sedangkan pemerintah Hindia Belanda tidak memperdulikan hukum adat yang sudah
turun temurun ada pada masyarakat Indonesia. Masyarakat membentuk sistem
penguasaan tanah baru yang disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan mereka
selaku penjajah, maka tidak mengherankan jika banyak hal melemahkan sendi-sendi
hukum yrang asli milik orang-orang pribumi. Oleh karena itu, terjadilah dualisme
hukum pertanahan di Indonesia. Hukum barat bagi orang Eropa dan golongan asing
lainnya yang dipersamakan dengan orang Eropa, dan di pihak lain berlaku hukum adat
bagi orang pribumi yang terdapat pada Buku II KUH Perdata yang merupakan hukum
tertulis.

Zaman VOC (Vereinde Oest Indiche Compagnie 1602 - 1799)


Keinginan Belanda untuk melakukan monopoli dibidang perdagangan
dikawasan Nusantara, ternyata tidak hanya merupakan keingan Belanda sendiri, tetapi

Politik Agraria | 98
juga negara lainnya, seperti Inggris. Bahkan Inggris telah mendahului langkah VOC
dengan membentuk sebuah perserikatan dagang untuk kawasan Asia di tahun 1600
yang diberi nama EIC (East India Company), yang mana telah menimbulkan
kekawatiran dikalangan para pedagang Belanda sehingga persaingan yang tadinya ada
diantara mereka sendiri berubah menjadi kesepakatan untuk membentuk sebuah badan
dagang guna membendung EIC.
Untuk menghilangkan persaingan antar pedagang Bealnda dan untuk
mengahdapi persaingan dagang dengan bangsa Eropa lainya, maka pada tanggal 20
Maret 1602, atas prakarsa Pangeran Maurits dan Olden Barneveld didirikan kongsi
perdagangan bernama Verenigde Oost-Indische Compagnie-VOC (Perkumpulan
Dagang India Timur). Pengurus pusat VOC terdiri dari 17 orang. Pada tahun 1602
VOC membuka kantor pertamanya di Banten yang di kepalai oleh Francois
Wittert.Tujuan didirikannya VOC di Indonesia antara lain sebagai berikut :
1. Menghindari persaingan
dagang tidak sehat diantara sesama pedang Belanda sehinggan keuntungan
maksimal dapat diperoleh.
2. Memperkuat posisi Belanda
dalam menghadapi persaingan dagang dengan bangsa Eropa lainya.
3. Membantu dana pemerintah
Belanda yang sedang berjuang menghadapi Spayol yang masih menduduki
Belanda.

Zaman Gubernur General Mr. Herman Daendles (1808 - 1811)


Meester in de RechtenHerman Willem Daendels (lahir di Hattem, Gelderland,
Republik Belanda, 21 Oktober1762 – meninggal di Elmina, Belanda Pantai Emas, 2
Mei1818 pada umur 55 tahun), adalah seorang politikusBelanda yang merupakan
Gubernur-JenderalHindia Belanda yang ke-36. Ia memerintah antara tahun 1808 –
1811. Masa itu Belanda sedang dikuasai oleh Perancis. Pada tahun 1780 dan 1787 ia
ikut para kumpulan pemberontak di Belanda dan kemudian melarikan diri ke Perancis.
Di sana ia menyaksikan dari dekat Revolusi Perancis dan lalu menggabungkan diri
dengan pasukan Batavia yang republikan. Akhirnya ia mencapai pangkat Jenderal dan
pada tahun 1795 ia masuk Belanda dan masuk tentara Republik Batavia dengan
pangkat Letnan-Jenderal. Sebagai kepala kaum Unitaris, ia ikut mengurusi disusunnya
Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama. Bahkan ia mengintervensi secara militer
selama dua kali. Tetapi invasi orang Inggris dan Rusia di provinsi Noord-Holland
berakibat buruk baginya. Ia dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai pihak.
Akhirnya ia kecewa dan mengundurkan diri dari tentara pada tahun 1800. Ia
memutuskan pindah ke Heerde, Gelderland.
Pada jaman ini dikenal pemerintahan Gubernur General Daendels yang
mengeluarkan kebijaksanaan yang benar-benar langsung menyangkut pengusahaan atas
tanah oleh bangsa lain di Indonesia. Suatu politik pertanahan yang dijalankan dengan
cara menjual tanah kepada orang-orang yang mempunyai modal besar terutama Cina,
Arab dan Belanda. Tanah-tanah yang dijual ini disebut tanah partikelir. Tanah partikelir
adalah tanah yang dimiliki oleh orang-orang swasta Belanda dan orang-orang pribumi
yang mendapat hadiah tanah karena dianggap berjasa kepada belanda. tanah eigendom
(hak untuk dengan bebas mempergunakan atau menikmati benda sepenuhpenuhnya dan
untuk menguasai seluas-luasnya, asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang

Politik Agraria | 99
atau peraturan-peraturan umum yang ditetapkan oleh instansi yang berhak
menetapkannya) yang mempunyai sifat dan corak istimewa.

Zaman Raffles (1811 - 1816)


Sir Thomas Stamford Bingley Raffles adalah gubernur – Letnan Hindia
Belanda ke – 39 yang dinobatkan sebagai gubernur terbesar. Beliau lahir 6 Juli 1781 di
Jamaica dan meninggal di London Inggris tahun 1826 pada umur 44 tahun. Beliau
dikatakan juga pendiri kota dan negara kota Singapura. Ia salah seorang Inggris yang
paling dikenal sebagai yang menciptakan kerajaan terbesar.
Selama menjabat sebagai penguasa Hindia Belanda beliau telah mengusahakan
banyak hal, yang mana antara lain adalah sebagai berikut: mengintroduksi otonomi
terbatas, menghentikan perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan
pemerintahan kolonial Belanda, menyelidiki flora dan fauna di Indonesia serta meneliti
peninggalan – peninggalan kuno. Seperti borobudur, candi Prambaman dll.
Thomas Stamford Raffles (1811-1816) mewujudkan suatu pikiran adanya fiscal
(pajak), ia mengadakan lan drente yang ditetapkan besarnya:
1. Bagi sawah ½, 2/5 atau 1/3 dari panen.
2. Bagi tanah kering, dari ¼ sampai ½ hasil tanah.

Zaman Van Den Bosch (Culturstelsel - 1930)


Van Den Bosch dilahirkan di Herwijen, provinsi Gelderland Belanda. Beliau
meniti karir di bidang militer. Di bidang militer beliau diangkat sebagai panglima di
Maastricht dengan pangkat sebagai mayor Jenderal. Di luar karirnya beliau banyak
membantu menyadarkan wargan Belanda akan kemiskinan akut di wilayah koloni.
Pada tahun 1827 beliau diangkat sebagai jenderal komisaris dan dibawa ke Batavia
hingga akhirnya menjadi Gubernur jenderal pada tahu 1830.
Pada jaman Gubernur Jendral Van de Bosch dikenal dengan kebijaksanaan yang
sangat menindas rakyat yaitu dengan system tanam paksa yang dikenal dengan nama
Cultuurstelsel (1830). Petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang
langsung atau tidak langsung dibutuhkan oleh pasar internasional waktu itu yang
hasilnya harus disetorkan kepada pemerintah Belanda tanpa mendapat imbalan apa
pun. Bagi tanah yang tidak punya tanah menyumbangkan tenaganya dengan paksa
dengan seperlima dari masa kerjanya yaitu 66 hari tiap satu tahun.

B. Agrariche Wet S. 1870 No. 55


Agrarische wet adalah Udang – Undang yang dibuat di negeri Belanda pada
tahun 1870. Agrarische wet 1870 diundangkan dalam s 1870 – 55 sebagai tambahan
ayat baru pada pasal 62 Regerings Reglement Hindia Belanda tahun 1854.
Tujuan dari diberlakukannya Agrarische Wet di Hindia Belanda adalah untuk
membuka kemungkinan dan memberik jaminan hukum kepada para pengusaha swasta
agar dapat berkembang di hindia Belanda. Agrarische Wet membuka peluang bagi para
pengusaha swasta untuk mendapatkan tanah yang masih berupa hutan dari pemerintah.
Tanah tersebut kemudian dijadikan perkebunan dengan hak erpacht yang jangka
waktunya bisa mencapai 75 tahun. Selain penguasaan tanah dengan hak erpacht.
Agrarische Wet juga menbuka peluang untuk menggunakan tanah milik rakyat dengan
sistem sewa.

C. Hak-Hak Tanah Menurut Hukum Adat


Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India,
dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah
peraturan-peraturan hukumtidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan

Politik Agraria | 100


dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan
ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dan elastis.
Definisi hukum adat menurut para ahli :
1. Prof. Dr. Supomo
Dalam bukunya yang berjudul Beberapa catatan mengenai kedudukan hukum
beliau memberikan batasan tentang hukum adat bahwa hukum adat adalah sebagai
hukum yang tidak tertulis didalam peraturan legis latif (unstanstry low) meliputi
perauran-peraturan hidup yang meskipun tidak di tetapkan oleh yang berwajib tetapi
toh ditaati dan di dukung oleh rakyat berdasarkan keyakinan bahwasanya peraturan-
peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

2. Dr. Sukanto
Dalam bukunya yang berjudul Meninjau Hukum Adat Indnesia batasan hukum
Adat menurut beliau bahwa Hukum adat sebagai complex adat-adat yang
kebanyakan tidak di kitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan,
mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.
3. Prof. Mr. C. Van Vollen Hoven
Dalam bukunya yang berjudul “Het Adatrecht van Nederland Inde” jilid I
halaman 7 beliau memberi pengertian bahwa hukum adat adalah hukum adat tidak
bersumber dari peraturan-peraturan yang di buat oleh Pemerintah Hindia Belanda
dahulu atau adat-adat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan didasarkan
sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.
4. Mr. B Ter Haar Bzn
Beliau memberikan defenisi tentang hukum bahwa hukum adat itu adalah
keputusan-keputusan yang lahir dan di pelihara oleh masyarakat yang membantu
perbuata perbuatan hukum dalam rangka jika timbul pertentangan dalam hal
kepentingan hakim.

Hak-Hak Tanah Menurut Hukum Barat


Hak-hak tanah menurut hukum barat meurpakan hak atas tanah yang diatur
dalam kitab Undang-Undang perdata (BW). Hukum ini biasanya digunakan oleh
bangsa Eropa. Lain halnya dengan hukum adat. Hukum ini adalh hukum tertulis.
Buku II Burgerlijk Wetboek (BW) mengatur tentang jenis-jenis hak atas tanah
yang dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum, termasuk mengatur isi dari
hak yang bersangkutan beserta hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanah
yang dikuasainya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tanah yang tercakup dalam BW
cenderung bersifat keperdataan. Selain itu, BW juga memuat ketentuanketentuan yang
mengatur hal-hal yang bersifat administratif, yang berisi kebijakan Pemerintah Hindia
Belanda tentang pemberian hak atas tanah di Indonesia.
Tanah yang diatur menurut hukum perdata barat itu ada beberapa macam hak,
antara lain:
a. Hak Recht van Eigendom
Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa Hak
eigendom adalah hak untuk menikmati suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk
berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak
bertentangan dengan undangundang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh
suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak
orang lain, kesemuanya itu tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu
demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang – undang dan dengan
pembayaran ganti rugi.
b. Hak Recht van Opstal

Politik Agraria | 101


Hak Opstal atau disebut juga dengan recht van opstal adalah suatu hak
kebendaan (zakelijk recht) untuk mempunyai rumah-rumah, bangunan-bangunan
dan tanaman di atas tanah milik orang lain.
c. Hak Recht van Erfpacht
Hak erfpacht, menurut Pasal 720 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu
barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan membayar upeti
tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa
uang, baik berupa hasil atau pendapatan.

d. Tanah Recht van Vruchgrebuick


Menurut Pasal 756 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, recht van gebruik
adalah suatu hak kebendaan, dengan mana seorang diperbolehkan menarik segala
hasil dari sesuatu kebendaan milik orang lain, sehingga seolah-olah dia sendiri
pemilik kebendaan itu,dan dengan kewajiban memeliharanya sebaik-baiknya.
e. Hak pinjam pakai (Bruikleen)
Hak ini diatur dalam pasal 1740 BW “hak pinjam pakai adalah suatu
perjanjian dalam mana pihak yang meminjamkan menyerahkan benda dengan
Cuma – Cuma kepada pihak yang meminjam untuk dipakainya dengan kewajiban
bagi yang meminjam setelah benda itu dipakai untuk mengembalikannya dalam
waktu tertentu”.

Politik di Bidang Agraria Sesudah Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945


Sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, maka mulai sejak saat itu merupakan titik awal bagi perkembangan politik
hukum bangsa Indonesia. Dengan telah dinyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia,
maka pada tanggal 18 Agustus 1945 pemerintah negara Indonesia membentuk
Undang-Undang Dasar negara Indonesia sebagai dasar konstitusional pelaksanaan
pemerintah dan pelaksanaan pembangunan bangsa dan negara di berbagai kehidupan,
termasuk di dalamnta titik awal pembangunan hukum nasional negara Indonesia.
Tujuan dibentuknya Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) adalah untuk mengakhiri peraturan-peraturan
peninggalan pemerintahan kolonial Belanda yang bersifat diskriminatif dan
menindas rakyat. UUPA dengan tegas mencabut beberapa peraturan di bidang hukum
agraria yang merupakan warisan penjajah.
a. Panitia Agraria Yogya
Usaha-usaha nyata untuk menyusun hukum agraria nasional yang akan
menggantikan hukum agraria kolonial telah dimulai tiga tahun setelah Indonesia
merdeka. Panitia Agraria Yogya dibentuk dengan penetapan Presiden Republik
Indonesia tanggal 21 Mei 1948 No. 16. Terbentuknya undang-undang pokok
Agraria melalui proses yang panjang. Dibentuknya Panitia Agraria Yogya yang
bertugas untuk menyusun hukum Agraria baru dan menetapkan kebijaksanaan
politik Agraria negara. Panitia ini diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo, dengan
anggota yang terdiri dari pejabat utusan dari kementrian dan jawatan-jawatan,
wakil organisasi-organisasi petani yang juga anggota KNIP wakil dari serikat
buruh perkebunan dan ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum adat. Panitia
Agraria Yogya dapat menghasilkan karya dalam sebuah laporan yang
disampaikan kepada Presiden 3 Febuari 1950.
Panitia Agraria Yogya mempunyai tugas Antara lain :
1) Mempertimbangkan pertimbangan kepada Pemerintah tentang hukum
tanah pada umumnya.
2) Merencanakan dasar-dasar hukum dan politik Agraria negara Republik
Indonesia.

Politik Agraria | 102


3) Merencanakan penggantian, perubahan maupun pencabutan peraturan-
peraturan lama tentang tanah yang tidak sesuai dengan kedudukan Negara
Republik Indosnesia sebagai negara yang merdeka.
b. Panitia Agraria Jakarta
Pada tahun 1951, seiring dengan peralihan bentuk pemerintahan dari
Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), ibu kota negara yang awalnya berada di Yogyakarta dipindah ke
Jakarta. Berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Maret
1951 No. 36/1951. Panitia Agraria Yogya di bubarkan dan dibentuk panitia
Agraria Jakarta. Pantia ini telah diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo pada 1953
dan digantikan oleh Singgih Praptodihardjo yang beranggotakan pejabat-pejabat
dari berbagai kementrian dan jawatan serta wakil-wakil organisasi-organisasi
tani. Dalam laporannya kepada pemerintah telah dikemukakan oleh panitia
mengenati tanah pertania rakyat yaitu:
a. Mengadakan batas minimum pemilikan tanah (2 hektar) dengan
mengadakan peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum
adat dan hukum waris.
b. Mengadakan penentuan batas maksumum pemilikan tanah (25 hektar untuk
satu keluarga).
c. Pertanian rakyat hanya dapat dimiliki oleh warganegara Indonesia dan tidak
dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli. Badan hukum tidak
diperkenankan mengerjakan tanah pertanian rakyat.
d. Bangunn hukum untuk pertanian rakyat yaitu hak milik, hak usaha, hak
sewa dan hak pakai.
e. Pengaturan hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar negara dengan
suatu undang-undang.
c. Panitia Negara Urusan Agraria
Dengan dibentuknya Kementrian Agraria dengan Keputusan Presiden R.I
tanggal 29 Maret 1955 No.55 tahun 1955, pemerintah telah memberikan tugas
kepada kementrian Agraria dengan mempersiapkan undang-undang Agraria.
Dengan terbentuknya kementrian Agraria ini Pemerintah bermaksud akan segera
menggantikan hukum agraria dengan keputusan Presiden RI tanggal 14 Januari
No.1.
Pokok-pokok rancangan Undang-undang pokok Agraria yang dibuat oleh
Panitia Negara Urusan Agraria sebagai berikut :
1) Penghapusan asas domein dan pengakuan terhadap hak ulayat, dengan
mengingat kepentingan umum dan negara.
2) Penggantian asas domein dengan hak menguasai negara.
3) Penghapusan dualisme hukum agraria dan diadakan kesatuan hukum yang
memuat unsur-unsur positif (baik) daripadalembaga-lembaga hukum adat
maupun hukum Barat.
4) Menentukan bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang boleh
mempunyai hak milik atas tanah dan tidak membedakan antara warga
negara asli dan bukan asli, sedangkan badan hukum pada asasnya tidak
boleh mempunyai hak milik atas tanah.
5) Menentukan hak-hak atas tanah yaitu hak milik, sebagai hak yang terkuat,
hak usaha, hak bangun dan hak pakai.
6) Penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh dimiliki
oleh perseorangan atau badan hukum.
7) Pada asasnya para pemilik tanah harus mengerjakan sendiri tanah
pertaniannya.
8) Mengadakan pendaftaran tanah dan merencanakan penggunaan tanah.
Rancangan undang-undang pokok Agraria diajukan kepada dewan
Perwakilan Rakyat pada tanggal 24 April 1958 dan disusun berdasarkan undang-

Politik Agraria | 103


undang dasar sementara pada tahun 1950. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
untuk kembali ke undang-undang dasar 1945 rancangan undang-undang pokok
Agraria yang diajukan kepada dewan Perwakilan Rakyat ditarik kembali dan
disesuaikan dengan undang-undang dasar 1945. Setelah mengalami perubahan
pada tanggal 1 Agustus 1960 rancangan undang-undang pokok Agraria diajukan
kembali pada dewan Perwakilan Rakyat dan tanggal 14 September 1960 telah
disetujui oleh dewan Perwakilan Rakyatdan selanjutnya pada tanggal 24
September 1960 disahkan oleh dewan Perwakilan Rakyat dengan sebutan
“Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria”. Dan kemudian undang-undang ini
dikenal dengan nama “Undang-undang Pokok Agraria” atau Undang-undang
No.5 tahun 1960 (Lembaga Negara Tahun 1960 No. 104).
d. Panitia penyusun Undang – Undang Agraria lanjutan
Bukan hanya terdapat 2 panitia yang ada di bentuk untuk menyusun
Undang – Undang Agraria setelah kemerdekaan didapatkan oleh pemerintah
Indonesia. Ada beberapa panitia lanjutan yang dibentuk untuk menyusun
Undang – Undang Agraria yang baru. Yang mana dambeil dari zaman penjajahan
dan diubah sesuai karaktaer dan dasar negara Indonesia. Panitia tersebut anatar
lain:
1) Panitia Soewahjo.Berdasarkan Keputusan Presiden No. 1Tahun 1956
tanggal 14 januari 1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria
berkedudukan di Jakarta yang diketuai Soewahjo Soemodilogo,Sekretaris
Jendral Kementrian Agraria
2) Rancangan Soenarjo. Setelah dilakukan beberapa perubahan mengenai
sistematika dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan Panitia
Soewahjo oleh Menteri Agraria Soenarjo diajukan kepada Dewan Menteri
pada tanggal 14 Maret 1958.
3) Rancangan Sadjarwo. Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 kita
kembali kepada UUD 1945. Berhubung Rancangan Soenarjo yang telah
diajukan kepada DPR beberapa waktu yang lalu disusun berdasarkan
UUDS 1950, maka dengan surat Presiden tanggal 23 Maret 1960
rancangan tersebut ditarik kembali dan disesuaikan dengan UUD 1945.

Politik Agraria | 104


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdullah, T. dan A. Surjomihardjo. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan
Perspektif. Jakarta: Gramedia
Ahmadin. 2001. Masalah Agraria Indonesia: Konsepsi dan Sejarahnya. Makassar: Bahan
Mata Kuliah Jurusan Sejarah UNM.
Anoniem. Tedhakan Pranatan Tuwin Serat Warni-Warni Tumrap Nagari Surakarta,
Surakarta: Koleksi Perpustakaan Radya Pustaka, No. Katalogus 165.
Arba, H. M. 2015. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Chomzah, Ali Achmad. Hukum Agraria Pertanahan Indonesia.
Daliyo, J. B. 2001. Hukum Agraraia I Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: Gloria.
Deny Yudo Wahyudi. 2013. Kerajaan Majapahit Dinamika Dalam Sejarah Nusantara.
Eka Asih Putrina Taim. 2019. Studi Kewilayahan dalam Penelitian Peradaban Sriwijaya.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa Yogyakarta: Insist Press.
Halim, A. Ridwan. 1988. Hukum Agraria Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Harsono, Boedi. 1997. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya) Jakarta: Djambatan.
Iskandar, Tengku. 1996. Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur.
Kakawin Nagarakertagama. 2019. Kitab Negarakertagama.
Karl J. Pelzer. 1991. Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Kartodirdjo, A. Sartono. 1969. Struktur Sosial dari Masyarakat radisonal dan Kolonial,
dalam Lembaran Sejarah, Yogyakarta: Seksi Penelitian Jurusan Sejarah UGM.
Kartodordjo, A. Sartono.1977. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Kreasi Wacana Yogyakarta. Sosialisme Suatu Jalan Keempat?, Rakyat Kecil Dunia Ketiga
Berjuang Demi Keadilan. 2002.
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau,
Jakarta: Pustaka Jaya.
Mustafa, Bachsan. 1988. Hukum Agraraia dalam Perspektif. Bandung: CV. Remadja
Karya.
Noname. 2002. Sosialisme Suatu Jalan Keempat?, Rakyat Kecil Dunia Ketiga Berjuang
Demi
Keadilan. Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta.

Politik Agraria | 105


Onghokham. 1963. “Pungutan Dalam Sejarah” dalam Harian .
Parlindungan, 1990. Konversi Hak – Hak Atas Tanah, Bandung: Mandar Maju.
Patittingi, Farida. 2012. Dimensi Hukum Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Yogyakarta:
Rangkang Education.
R. Moh. Ali. 2003. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Lkis.
Rahman, Arief. 2019. Buku Ajar Politik Agraria. Jambi: Salim Media Indonesia.
Redaksi Sinar Grafika. 2008. Undang – Undang Agraria, Jakarta: Sinar Grafika.
Ririn Darini. Sengketa Agraria: Kebijakan dan Perlawanan dari Masa ke Masa.
Ruchhiyat, Eddy. 1986.  Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA.
Bandung: Penerbit Alumni.
Sobana, Hardjasaputra A. 2008. Meode Penelitian Sejarah di dalam Materi Penyuluhan
Workshop.
Penelitian dan Pengembangan Kabudayaan. Bandung: BPSBP.

Santoso, Urip. 2012. Hukum Agraria Kajian Komperhensif. Jakarta: Kencana.

Soemarsaid Moetono. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau;
Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XXI. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Soetomo. 1986. Politik dan Administrasi Agraria, Surabaya: Usaha Nasional Indonesia.
Suharsosno. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta (1830 -
1920), Yogyakarta: Tiara Wacana.
Supomo, dan Djoksutono. 1955. Sedjarah Politik Hukum Adat 1609-1848. Jakarta:
Djambatan.
Supomo. 1982. Sejarah Politik Hukum Adat Jilid 1, Jakarta: Pradnya Paramita.
Supriadi. 2008. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
Wang Gungwu. 1958. The Nanhai Trade: A study of Early Hiistory of Chinese Trade in
South
China Sea.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2011. Dalam Monograf Untuk Apa Pluralisme Hukum?
Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia. Jakarta:
Epistema Institute.
Winahyu Herwiningsih. 1997. Perubahan politik dan Agenda Perbaharuan Agararia
Diindonesia.
Jakrta: FE UII.
Winahyu Herwiningsih. 2009. Hak Menguasai Negara Atas Tanah. Yogyakarta: Total
media dan FH UII.

Politik Agraria | 106


Wiradi, Gunawan. 2009. Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Diterbitkan
bersama oleh: Konsorsium Pembaruan Agraria (Jaksel), Sajogyo Institute (Bogor),
AKATIGA (Bandung).

Jurnal
Agus Susilo, Andriana Sofiarini, Gajah Mada Sang Maha Patih Pemersatu Nusantara Di
Bawah Majapahit Tahun 1336 M - 1359 M, Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset
Sosial Humaniora (KAGANGA) Volume 1, No 1, Juni 2018.
Ahmadin. Masalah Agraria di Indonesia Masa Kolonial. Vol. IV. No. 1. Januari-Juni 2007.
Hasanah Ulfiah. Status Kepemilikan Tanah Hasil Konverensi Hak Barat Berdasarkan UU
No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Dihubungkan
Dengan PP No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Jurnal Ilmu Hukum.
Volume 3 No.1.
Mudjiono. 2007. Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia Melalui
Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan. Jurnal Hukum No. 3 Vol.14.
Rosnia Agus Sari. 2014. Jurnal Beraja Niti, Status Hukum Tanah Grant Sultan Kutai
Kertanegara Ing Martadipura Dalam Hukum Agraria Indonesia (Studi Lapangan Di
Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura), Volume 3 Nomor 6.

Website
Agus Pranata. “Tanah, Neokolonialisme, dan Reforma Agraria”.
(http://mimbarprotes.blogspot.com/2013/02/tanah-neokolonialisme-dan-reforma.html,
diakses pada 8 Maret 2021 Pukul 09.33).
Noname. Pengertian Sejarah dan Sejarah VOC.
(http://www.pengertiansejarah.com/sejarah- voc.html# diakses pada tanggal 24 Maret
2016 pukul 20.00).
Noname. Perlawanan Terhadap Belanda. (http://herlinaherli.blogspot.com/ Diakses pada
tanggal25 Meret 2016 pukul 19.32).
Wikipedia. “Agraria”. (https://id.wikipedia.org/wiki/Agraria, diakses pada 8 Maret 2021
Pukul 8.37).
Wikipedia. Herman Willem Daendelsam.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Herman_Willem_Daendelsam Diakses pada tanggal 8
Maret 2021 Pukul 20.30)
https://portalsejarah.com/ .
http://iusyusephukum.blogspot.com/2013/06/makalah-hukum-adat-pada-jaman-
kerajaan.html (Diakses pada tanggal 8 Maret 2021 pukul 13.00)

Politik Agraria | 107


http://jurnalhukum.com/peraturan-peraturan-kolonial-yang-dicabut-oleh-undang-undang-
pokok- agraria (Diakses pada 8 April 2021 Pukul 21.00)
http://ardinal.net/hukum-agraria-hak-hak-atas-tanah/ Diakses (Diakses tanggal 5 April
2021 Pukul 11.33).

Hukum Agraria Nasional


Nama Kelompok :
Destri Fransisca W Kaunang (I71218042)
Dian Anggraini (I71218044)
Dimas Abifardi Ciganta (I71218045)

Politik Agraria | 108


BAB III
Hukum Agraria Nasional
A. Latar Belakang Hukum Agraria

Usaha untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memang memerlukan


keterlibatan dari masyarakat untuk ikut serta dalam membangun semua manusia
dalam semua bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya.
Salah satu cara agar bisa terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia ialah
dengan hukum hukum agraria yang berlaku dipakai sebagai sumber sarana untuk
menciptakan keadilan dan kemakmuran khususnya di bidang agrarian.

Di dalam upaya untuk mewujudkan politik hukum agraria nasional perlu


memberikan kedudukan yang penting pada hukum adat. Hukum adat dijadikan dasar
dan sumber dari pembentukan hukum agraria nasional. Pengambilan hukum adat
sebagai dasar merupakan pilihan yang paling tepat karena hukum adat merupkan
hukum yang sudah dilaksanakan dan dihayati oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia. Pengambilan hukum adat sebagai sumber memang mengandung
kelemahan-kelemahan tertentu. Hal ini berkaitan dengan sifat pluralistis hukum adat
itu sendiri. Untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan itu harus dicari dan
dirumuskan asas-asas, konsepsi-konsepsi, lembaga-lembaga dan sistem hukumnya.

Hukum agraria didalamnya memuat berbagai macam hak penguasaan atas


tanah. Beberapa hal penting yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) adalah penetapan tentang jenjang kepemilikan hak atas penguasaan tanah dan
serangkaian wewenang, larangan, dan kewajiban bagi pemegang hak untuk
memanfaatkan dan menggunakan tanah yang telah dimilikinya tersebut. Beberapa
pasal penting dalam hukum agraria yang berlandaskan UndangUndang Pokok Agraria
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 adalah tentang Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Bangunan, Hak Membuka Tanah
dan Memungut Hasil Hutan, Hak Guna Air, Hak Guna Ruang Angkasa, Hak Tanah
untuk Keperluan Sosial.165 Tanah bagi kehidupan mengandung makna yang
multidimensional. Karena makna yang multidimensional tersebut ada kecenderungan,
bahwa orang yang memiliki tanah akan mempertahankan tanahnya dengan cara
apapun bila hak-haknya dilanggar.

Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang
berkaitan dengan bumi atau tanah, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya lebih dikenal
dengan sebutan UUPA. Dalam UUPA kita lihat adanya perbedaan pengertian bumi
dan tanah. Untuk mengetahui hal tersebut dapat dilihat dari kedua pasal dibawah ini :
Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan : “Dalam pengertian
bumi, selain permukaan bumi, termasuk tubuh bumi dibawahnya serta yang berada
dibawah air.” Pasal tersebut diatas memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud
dengan istilah bumi.

165
Adrian Sutedi, Peralihan Hak, 117-122.

Politik Agraria | 109


Dalam Undang-Undang Pokok Agraria pengertian bumi meliputi permukaan
bumi (yang disebut tanah) berikut apa yang ada dibawahnya yang berada dibawah air.
Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (3) menyatakan : “Atas dasar hak menguasai dari
negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain atau badan hukum.” Dominasi kegiatan
manusia yang berkaitan dengan tanah dibidang ekonomi diwujudkan melalui
pemanfaatan tanah sesuai dengan ketentuan UUPA dengan berbagai jenis hak atas
tanah seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan sebagainya.166

Akibat pemanfaatan tanah sesuai dengan kebutuhan manusia melalui perbuatan


hukum sering menimbulkan hubungan hukum sebagai contoh pemilikan hak atas
tanah. Selain itu tanah juga sering menjadi obyek yang sangat subur untuk dijadikan
ladang sengketa oleh berbagai pihak dan kelompok. Penguasaan tanah di Indonesia
sampai saat ini dibalut kekhawatiran dari semua pihak baik dari masyarakat, swasta,
maupun instansi pemerintah. Hal ini dikarenakan legalisasi atas hak atas tanah
menimbulkan banyak permasalahan hukum. Salah satu penyebabnya adalah karena
masih terjadi benturan konsep penguasaan tanah secara hukum adat dengan konsep
penguasaan tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan positif yang
berlaku.167Sehubungan dengan itu hak menguasai negara dan hak penguasaan tanah
menurut hukum adat (hak ulayat) perlu mendapatkan legalisasi, sehingga hak-hak atas
tanah yang timbul atas dasar hak menguasai negara dan hak ulayat, yang diberikan
kepada Warga Negara dan Badan Hukum Indonesia dalam bentuk Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan lain-lain perlu didaftarkan untuk mendapatkan
jaminan kepastian hukum. Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah
tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht).

Setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka


tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus menerus, maka tanah
tersebut dapat menjadi Hak Milik secara individual. Hak ulayat yang diakui oleh
masyarakat adat ini merupakan Hak Pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini
diakui sebagai milik bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota
masyarakat tidak bisa mengalihkan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka
kepada anggota dari masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat tersebut,
kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggota
komunal tersebut.168

Hak rakyat ini mengandung aspek hukum privat, yaitu unsur kepunyaan yang
termasuk bidang hukum perdata dan aspek hukum publik yaitu tugas kewenangan
untuk mengatur penguasaan dan memimpin tanah bersama termasuk bidang hukum
administrasi negara, dimana pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri
166
Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Di Indonesia : Suatu
Pemikiran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006, halaman 2.
167
Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah, 265. Menurut A.P. Parlindungan, peralihan hak atas tanah baik
melalui jual beli, hibah, tukar menukar ataupaun karena diwakafkan merupakan sarana administratif oleh BPN.
Tugas-tugas ini disebut dengan recording of titla (Pendaftaran alas hak) dan continous recording (pendaftran
yang berkelanjutan karena peralihan hak). Lihat, A.P. Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA, 24.
168
Urip Santoso, Hukum Agraria; Kajian Komprehensif, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hal. 278.

Politik Agraria | 110


atau bersama-sama dengan para ketua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan
dan merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dilingkungan masyarakat
hukum adat bersangkutan.169

Hak-hak perseorangan atas sebagian tanah tersebut baik langsung maupun tidak
langsung adalah bersumber dari padanya. Dalam Pasal 3 UUPA No. 5 Tahun 1960
dinyatakan dengan tegas bahwa hak ulayat masih berlaku sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan harus disesuaikan dengan kepentingan nasional,
kepentingan negara, persatuan bangsa, dan tidak bertentangan dengan undang-undang
yang lebih tinggi. Dengan demikian, hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu
masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada yang
dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari, pelaksanaan hak ulayat dibatasi sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara.

Pada pasal 33 UUD 1945 sudah dijelaskan bahwa bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, sepangjang perjalanan sejarah
umat manusia selalu merupakan sumber daya alam yang amat penting dalam
kelangsungan hidupnya. Fakta tentang adanya hubungan antara manusia dan bumi, air
dang ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, telah
merangsang para ahli untuk melakukan pemikiaran tentang hal itu sejak
dulu.pemikiran itu telah beralangsung sejak zaman yunani. Pemikiran pemikiran itu
pun telah melahirkan bermacam-macam aliran didalam ilmu pengaetahuan.170

Pertambahan jumlah penduduk dunia yang bersamaan dengan penguasaan ilmu


pengetahuan dan teknologi semakin berkembang, bukan hanya menuntun adanya
seperangkat peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara manusia
dengan laut, melainkan telah mendorong terjadinya suatu proses perubahan menuju
perubahan perkembangan hukum laut yang berlaku. Ketentuan hukum yang mengatur
hubungan antara bangsa indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam wilayah negara kesatuan
republik indonesia dalam kenyataan ini telah di tetapkan pada 24 september 1960.171

Ketentuan hukum yang di maksud adalah undang-undang nomer 5 tahun 1960


tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang di muat dalam lembaran negara
tahun 1960 nomer 104 yang lazim di singkat UUPA. Dalam undang-undang tersebut
di dalamnya terdapat pertauran-peraturan yang mengenai bumi, air, dan euang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mengikuti realita sehingga
penyelenggaraannya sedikit banyaknyamengikuti dan di pengaruhi oleh
perkembangan keadaan di dfalam realitanya itu, terutama dalam arti mempunyai dasar
realita.172

169
Arie S. Hutagalung (Selanjutnya disebut Arie S.. Hutagalung-I), Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum
Tanah, (Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, Agustus 2005), hal. 81.
170
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), halaman
201 – 202.
171
Maria SW Sumardjono (selanjutnya disebut Maria S.W Sumardjono -1), “kepastian hukum dan perlindungan
hukum dalam pendaftaran tanah,” makalah, seminar nasional kebijakan baru pendaftaran tanah dan pajak-pajak
yang terkait: suatu proses sosialisasi dan tantangannya, kerjasama fakultas hukum Universitas Gajah Mada dan
badan pertahanan nasional, Yogyakarta, 13 september 1997, hal 1

Politik Agraria | 111


Dalam pembahasan ini akan kami bahas tentang hukum agraria nasional yang
meliputi kesatuan hukum di bidang agraria yang bersifat nasional, hukum adat yang
menjadi hukum dasar nasional dalam penetuan undang-undang pokok agraria. Yang di
dalamnya mengatur tentang berbagai macam hal atau aspek tentang hak-hak yang ada
dalam undang-undang tersebut, beserta dengan contoh dan realitas yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat luas. Ruang lingkup dari hukum agraria itu
sendiri mencakup dari aspek hak atas tanah , hak kepemilikan tanah, hak bangunan,
hak guna air yang sesuai pasal 47 UUPA dan hak guna ruang angkasa yang sesuai
dengan pasal 48 UUPA. Pemberian hak pengelolaan tentunya tidak hanya
berpengaruh pada pola penguasaan tanah tapi melainkan pula akan memberi peluang
untuk semakin meningkatnya pemberian hak pengelolaan atas tanah baik secara
kulitatif maupun kuantitatif yang akan di gunakan di masa yang akan datang dalam
undang-undang pokok agraria.173

B. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Sebelum diterbitkannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) No. 5


Tahun 1960, yang membuka hak atas tanah yaitu terdapat pada pasal 51 ayat 7 IS,
pada Stb 1872 No. 117 tentang Agraris Eigendom Recht yaitu memberi hak
eigendem (hak milik) pada orang Indonesia. Hal tersebut juga disamakan
dengan hak eigendom yang terdapat pada buku II BW, tetapi hak tersebut
diberikan bukan untuk orang Indonesia. Maka dengan adanya dualisme aturan
yang mengatur tentang hak-hak tanah untuk menyeragamkan-nya pada tanggal
24 september 1960 diterbitkan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun
1960 pada lembar Negara No. 104/1960.

Undang-undang No.5 tahun 1960 tersebut bersifat nasionalis, yaitu


diberlakukan secara nasional dimana seluruh warga negara indonesia
menggunakan Undanng-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tersebut. Dasar
kenasionalan hukum agraria yang telah dirumuskan dalam UUPA, adalah:

1. Wilayah indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya merupakan satu kesatuan tanah air dari
rakyat indonesia yang bersatu sebagai bangsa indonesia (pasal 1 UUPA).
2. Bumi air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
merupakan karunia tuhan yang maha esa kepada bangsa indonesia dan
merupakan kekayaan nasional. Untuk itu kekayaan tersebut harus dipelihara
dan digunakan untuksebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal1,2,14, dan 15
UUPA).
3. Hubungan antara bangsa indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnyabersifat abadi, sehingga tidak
dapat diputuskan oleh siapa pun (pasal 1 UUPA).
4. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat indonesia diberi
wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam
172
Mhd yamin lubis dan abd Rahim lubis, hukum pendaftaran tanah, (Bandung: Mandar
Maju, , 2008), hal 15.
173
Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, (Jakarta : Kurniaesa, 1981), halaman
28.

Politik Agraria | 112


yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran, rakyat
(pasal 2 UUPA).
5. Hak ulayat sebagi hak masyarakat hukum adat diakui keberadaanya.
Pengakutan tersebut disertai syarat bahwa hak ulayat tersebut masih ada,
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-
uandangan yang lebih tinggi (pasal 3 UUPA).
6. Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah warga
negara indonesia tanpa dibedakan asli dan tidak asli. Badan hukum pada
perinsipnya tidak mempunyai hubungan sepenuhnya alam yang terkandung
didalamnya (pasal 9, 21,dan 49 UUPA)
7. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.174

a. Keadaan hukum tanah di Indonesia menjelang lahirnya UUPA


Hukum dan kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah
senatiasa diorentasikan pada kepentingan dan keuntungan mereka penjajah,
yang pada awalnya melalui politik dagang. Mereka sebagai penguasa
sekaligus merangkap sebagai pengusaha menciptakan kepentingan-kepentingan
atas segala sumber-sumber kehidupan di bumi Indonesia yang menguntungkan
mereka sendiri sesuai dengan tujuan mereka dengan mengorbankan banyak
kepentingan rakyat Indonesia.175 Hukum agraria kolonial memiki sifat
dualisme hukum, yaitu dengan berlakunya Hukum Agraria yang berdasarkan
atas hukum adat, disamping peraturan-peraturan dari dan berdasarkan atas
hukum barat.176
Setelah Merdeka, Indonesia telah menentukan suatu kebijakan terhadap
penguasaan tanah di NKRI, yang tertuang dalam UUD 1945 pada pasal 33 dan
yang sangat berhubungan dengan masalah pertanahan terkhususkan lagi pada ayat
(3) pasal 33 yag berbunyi “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Pemerintah RI mengakui hak milik atas tanah setiap warga
negaranya yang memang mempunyai hak itu dan sepanjang hak tersebut
diperolehnya tidak bertentangan dengan huku yang berlaku.
Dari segi yuridis, proklamasi kemerdekaan merupakan saat tidak
berlakunya hukum kolonial dan saat mulai berlakunya hukum nasional,
sedangkan dari segi politis, peroklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa
bangsa indonesia terbatas dari penjajahan bangsa asing dan memiliki
kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri. Proklamasi kemerdekaan RI
mempunyai 2 arti penting bagi penyusunan hukum agraria nasional, yaitu
pertama, bangsa indonesia memutuskan hubungannya dengan hukum agraria
kolonial, dan kedua, bangsa indonesia sekaligus menyusun hukum agraria
nasional.177

174
Asri Agustiwi, Hukum dan Kebijakan Hukum Agraria di Indonesia, hal 2.
175
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, PT Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2009, Hal 24.
176
Asri Agustiwi, Hukum dan Kebijakan Hukum Agraria di Indonesia, Hal 3.
177
Ibid, hal 4.

Politik Agraria | 113


Tentang kebijakan pemerintah RI pada pasal 33 UUD 1945 sejak perebutan
kemerdekaan hingga pada saat mengisi kemerdekaan sampai tahun 1960 namun,
belum dapat dijabarkan karena sejak tanggal 17 agustus 1945-1949 indonesia di
hadapkan pertempuran melawan belanda yang hendak merebut kemerdekaan
Indonesia. Politik pertanahan setelah tahun1945 akibat keadaan Negara yang kacau
dapat dikatakan ada dalam kegoncangan karena disatu pihak Agrarische Wet 1870
masih terpaksa diberlakukan.178
Padahal UU tersebut jelas tidak cocok, sedangkan dipihak lain UUD 1945
yang memang segala ketentuannya sangat cocok namun belum dapat dijabarkan.
Maka dari itu, masalah pertanahan dapat dikatakan baru sampai tingkat interpretasi
dari beberapa pejabat dengan mmperhatikan Agrarische Wet 1870 serta UUD 1945
sehingga penyelesaiannya sulit untuk memperoleh kekuatan hukum. Prodak-
prodak tersebut sering menimbulkan masalah, misalnya: ada sebidang tanah yang
ternyata kemudian dimiliki oleh dua pemilik yang masing-masing mempunyai
bukti otentik tentang kepemilikannya itu. Akibat dari keadaan ini maka mereka
yang bermodal kuatlah yang beruntung dan melahirkan para tuan tanah dipulau
jawa.
Kemudian pada tahun 1948 pemerintah telah membentuk panitia yang
berfungsi untuk menyusun RUU Agraria yang baru yang disesuaikan dengan
kehidupan bangsa Indonesia.179 Tugas panita ini terhambat dengan situasiddan
kondisi dimana secara nyata para anggotanya harus berpencaran karena di
dudukinya wilayah Yogyakarta oleh penjajah Belanda. Tugas panitia yang serupa
baru dapat dilanjutkan setelah Belanda pergi dari Indonesia, akan tetapi susana
poitik dan keadaan kabinet yang selalu berganti-ganti karena telah menyeleweng
bahkan ditinggalkannya UUD 1945 dalam perjuangan pembangunan.
Maka tugas panitia ini pun semakin tidak berfungsi dengan pembentukan
konstitusi yang mengalami kegagalan. Kemudian muncullah dekrit presiden pada
tahun 1959dengan berlakunya kembali UUD 1945. Dalam pembentukan peran
RUU Agraria jelas terlihat bahwa pasal 33 UUD 1945 mendasari kembali dalam
perancangannya.
b. Lahirnya UUPA

Dengan adanya gambaran-gambaran yang telah disebutkan diatas sehingga


pada tanggal 24 September 1960 UU nomor 5 th 1960 atau yang lebih dikenal
dengan UUPA disahkan yang memuat tentang perturan dasar-dasar pokok
Agraria.180
UUPA merupakan pertauran dasar pokok-pokok agraria, maka demi
kelancaran pelaksanannya telah dilengkapi dengan :

178
G. Kartasapoetra dkk, Hukum Tanah UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tana, Jakarta: 1991, Rineka
Cipta Jakarta Hal 101
179
G. Kartasapoetra dkk, Hukum Tanah UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta: 1991, Rineka
Cipta Jakarta Hal 104
180
Efendi Perangin, SH, Hukum Agrria di Indonesia (suatu telaah dari praktisi hukum), Jakarta: 1991,
Rajawali, Hal 194

Politik Agraria | 114


1. Peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 56 tahun 1960 tentang penetapan
luas tanah
2. UU Nomor 2 tahun 1960 tentang UU pokok bagi hasil.
3. Peraturan pemerintah nomor 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian
tanah dan pemberian ganti rugi.

Tujuan UUPA dapat dikemukakan sebagai berikut:


1. Memberikan landasan Bagi pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan
revolusi.
2. Untuk menghilangkan dualism atas tanah yaitu yang tunduk pada hukum adat
(Indlandsbezittercht) dan yang tunduk pada hukum barat (eigendom agraria).
3. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.
4. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas taah bagi rakyat seluruhnya.

Undang-undang pokok agrarian (UUPA) mempunyai 2 sifat nasional yakni:


1. Formal nasional, karena dibuat oleh pembentuk UU indonesia, dibuat di
Indonesia dan di susun dalam bahasa indonesia.
2. Material nasional karena berisi ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan asas-
asas kepentingan nasional.

Hubungan orang dengan tanah dari satu individu ke individu yang lain dapat
beraneka ragam, keaneka ragaman orang desa dengan tanah ppertanian ini akan
menyebabkan peranan-peranan yang berlainan.
Dengan adanya UUPA maka peranan-peranan yang berlainan dapat
dibimbing kearah yang satu yatu, sosialisme Indonesia, karena itu ditentukan
bahwa setiap tanah mempunyai fungsi sosial. Sebagai hukum, UUPA tidak hanya
mengatur hak seseorang atas tanah yang diwenangkan sebagai miliknya.181
Hak-hak yang diatur dalam UUPA yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa dan beberapa hak lainnya yang berhubungan
dengan tanah. Pemerintah menyadari bahwa dengan pengaturan hak-hak tersebut
harus disertai dengan kemampuan para pemegang hak tersebut untuk
mendayagunakan tanah yang menjadi haknya dengan baik dan untuk melakukan
kewajiban-kewajiban terhadap tanahnya. Dengan keluarnya UUPA maka terjadilah
perubahan besar dalam hukum tanah di Indonesia. Sebelum keluar UUPA ada dua
hukum tanah yang berlaku:
1. Hukum tanah bersumber dari hukum barat.
2. Hukum tanah bersumber dari hukum adat.

Jadi, terdapat dualisme dalam hukum tanah. Ada dua perangkat hukum tanah
yang berlaku bersamaan disutau Negara. Hukum tanah barat mengatur hubungan-
hubungan hukum (hak penguasaan) atas sebagian tanah di Indonesia ( yang disebut
tanah hak barat). Hukum tanah adat mengatur hak penguasaan atas sisa tanah diluar
tanah barat (yang disebut tanah Indonesia). Tanah-tanah barat hanya sebagian kecil,
merupakan pulau di Indonesia. Hukum tanah barat terbagi atas :
1. Hukum tanah barat administrative

181
G. Kartasapoetra dkk, Hukum Tanah UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tana, Jakarta: 1991, Rineka
cipta Jakarta, Hal 106

Politik Agraria | 115


2. Hukum tanah barat perdata
Sedangkan hukum tanah adat terbagi atas:
1. Hukum tanah adat administratif
2. Hukum tanah adat perdata

C. Pengertian Hukum Agraria Nasional


1. Pengertian Agraria dalam Bahasa Umum

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, agraria berarti urusan pertanian atau
tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.182 Maka sebutan agrarian atau dalam
bahasa Inggris agraria selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan uasaha
pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk
kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan
pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan
pemilikannya.

Dalam Black Law Dictionary arti agraria adalah segala hal yang terkait
dengan tanah, atau kepemilikan tanah terhadap suatu bagian dari suatu kepemilikan
tanah (agraria is relating to land, or land tenure to a division of landed property).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok
Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043), atau yang lebih dikenal
dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan landasan hukum
tanah nasional tidak memberikan definisi atau pengertian mengenai istilah agraria
secara tegas. Walaupun UUPA tidak memberikan definisi atau pengertian secara
tegas tetapi dari apa yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal dan
penjelasanya dapat disimpulkan bahwa pengertian agaria dan hukum agraria
dipakai dalam arti yang sangat luas.

Pengertian Agraria meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya.183 Dalam pengertian yang disebutkan dalam pasal 48 UUPA bahkan
meliputi juga ruang angkasa, yaitu ruang diatas bumi dan air yang mengandung
tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.184

Dalam UUPA, pengertian agraria menjadi lebih luas lagi dari pengertian
dalam teks bahasa Inggris. Pembuat undang-undang memasukan faktor sumber
daya alam dalam definisi agraria, menurut penulis hal tersebut dimaksudkan untuk
membuat landasan hukum terhadap kekayaan sumber daya alam Indonesia. Jadi
bila ingin memanfaatkannya kekayaan sumber daya alam tersebut, negara harus
ikut berperan dalam pengaturanya sesuai dengan jiwa Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945.

182
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), 1994.
183
Ibid
184
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, LN No.104 Tahun 1960 TLN No. 2043 , Pasal 48.

Politik Agraria | 116


Pengertian hukum agraria dalam UUPA adalah dalam arti pengertian yang
luas bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum, tetapi merupakan
kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak
penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian
agraria. Kelompok tersebut terdiri atas:
1. hukum tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti
permukaan bumi;
2. hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
3. hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahanbahan
galian yang dimaksudkan dalam undang-undang di bidang pertambangan;
4. hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung di dalam air;
5. hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan
Space Law), yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur
dalam ruang angkasa yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 UUPA
Berikut beberapa pengertian Agraria menurut para ahli :
1. Menurut Budi Harsono hukum agrarian adalah keseluruhan kaidah-kaidah
hukum, baik itu tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tentang agraria.
Agrarian ini meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
2. Menurut Gouw Giok Sioang hukum agrarian adalah keseluruhan kaidah hukum
yang mengatur mengenai agraris secara lebih luas, tidak hanya mengenai tanah
saja, misalnya persoalan jaminan tanah untuk hutang seperti ikatan kredit atau
ikatan panen ,sewa menyewa antar golongan, pemberian izin untuk peralihan
hak-hak atas tanah dan barang tetap.
3. Menurut S.J. Fockema Andrea hukum agraria ialah keseluruhan peraturan
hukum mengenai usaha dan tanag pertanian, tersebar berbagai bidang hukum
(hukum perdata dan hukum pemerintahan ) disajikan sebagai suatu kesatuan
untuk keperluan studi tertentu yang berhubungan dengan pertanian dan
pemilikan hak atas tanah.
4. Menurut E Utrecht hukum agraria adalah bagian dari hukum tata usaha Negara
untuk hukum administrasi Negara yaitu hukum yang menguji hubungan-
hubungan hukum istimewa yang diadakan untuk memungkinkan pejabat atau
petugas mengurus soal-soal agraria.
5. Menurut Lemaire hukum agraris berisi segi-segi hukum perdata hukum tata
Negara dan hukum tata usaha Negara yang dibicarakan secara golongan hukum
tersendiri.

2. Pengertian Agraria di Lingkungan Administrasi Pemerintahan

Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan administrasi pemerintahan


dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun nonpertanian. Tetapi
Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan administrasi pemerintahan
dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan
hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan.
Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari Hukum Administrasi
Negara.

Dalam tahun 1988 dibentuk Badan Pertanahan Nasional dengan


keputusan Presiden nomor 26 tahun 1988, yang sebagai Lembaga Pemerintah
Non-Departemen bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan. Pemakaian sebutan pertanahan sebagai

Politik Agraria | 117


nama badan tersebut tidak mengubah ataupun mengurangi lingkup tugas dan
kewenangan yang sebelumnya ada pada Departemen dan Direktorat Jrnderal
Agraria. Sebaliknya, justru memberikan kejelasan dan penegasan mengenai
lingkup pengertian agrarian yang dipakai di lingkungan Administrasi
Pemerintahan. Adapun “administrasi pertanahan” meliputi baik tanah-tanah di
daratan maupun yang berada di bawah air, baik air daratan maupun air laut.

Adanya jabatan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan


Nasional dalam Kabinet Pembangunan, juga tidak mengubah lingkup pengertian
agraria. Sebutan jabatan tersebut tampaknya dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa tugas kewenangan Menteri Negara Agraria adalah lebih luas dari dan tidak
terbatas pada lingkup tugasnya sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang
disebut dalam KEPPRES 26/1988 di atas (KEPPRES 44/1993).185

3. Pengertian Agraria dalam UUPA

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, agraria berarti urusan pertanian atau
tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.186 Maka sebutan agrarian atau dalam
bahasa Inggris agraria selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan uasaha
pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk
kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan
pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan
pemilikannya.

Istilah agraria juga berasal dari kata akker (Bahasa belanda), agros (Bahasa
Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti perladangan,
persawahan, pertanian, agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.187
Menurut Subekti dan R.Tjirtrosoediblo, agrarian adalah urusan tanah dan segala
apa yang ada di dalamnya dan di atasnya.188Apa yang ada di dalam tanah misalnya
batu, kerikil, tambang, sedangkan yang ada di atas tanah bisa berupa tanaman,
bangunan.

Biarpun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam
konsiderans, pasal-pasal dan penjelasannya, dapatlah disimpulkan bahwa
pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat
luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam pasal 48, bahkan
meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang diatas bumi dan air yang mengandung:
tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.189 Pengertian bumi
meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah) tubuh bumi dibawahnya serta yang

185
Mhd yamin lubis dan abd Rahim lubis, hukum pendaftaran tanah, (Bandung: Mandar Maju, , 2008), hal 15.
186
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), 1994.
187
UripSantoso, HukumAgraria: kajianKomprehensif. (Jakarta : Kencana), 2012, h 1
188
Subektidan R. Tjirtrosoediblo, KamusHukum, (Jakarta : PradnyaParamita), 1983, h 12
189
Prof. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan), 2008, hal 7.

Politik Agraria | 118


berada di bawah air (pasal 1 ayat 4). Dengan demikian, pengertian “tanah” meliputi
permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah
air, termasuk air laut. Pengertian air meliputi baik perairan pedalaman maupun laut
wilayah Indonesia (pasal 1 ayat 5). Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974
tentang pengairan (LN 1974-65) pengertian air tidak dipakai dalam arti yang seluas
itu. Pengertiannya meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari
sumber-sumber air baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah.
Tetapi tidak meliputi air yang terdapat di laut (Pasal 1 angka 3). Kekayaan alam
yang terkandung di dalam bumi disebut bahan-bahan galian, yaitu unsur-unsur
kimia, mineral-mineral, biji-biji dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan
mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-undang Nomor 11 Tahun
1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. LN 1967-227, TLN 2831).
Kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan lain-lain kekayaan
alam yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia.
(Undang0undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan).190

Dalam hubungan dengan kekayaan alam di dalam tubuh bumi dan air
tersebut perlu dimaklumi adanya pengertian dan lembaga Zone Ekonomi Eksklusif,
yang meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia. dalam ZEE ini hak berdaulat untuk melakukan
eksplorasi, eksploitasi, dan lain-lainnya atas segala sumber daya alam hayati dan
nonhayati yang terdapat di dasar laut serta tubuh bumi di bawahnya dan air di
atasnya, ada pada negara Republik Indonesia. (Undang-undang Nomor 5 Tahun
1983 tentang Zone Ekonomi Eksklusif).

Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian 3, pengertian “agraria’ dalam


UUPA hakikatnya adalah sama degan pengertian “ruang” dalam Undang-undang
24/1992. Dalam pasal 1 angka 1dinyatakan: “Ruag adalah wadah yang meliputi
ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah
tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatannya serta
memelihara kelangsungan hidupnya.

D. Pengertian Hukum Agraria Dalam UUPA


Dengan pemakaian sebuah agraria dalam arti yang demikian luasnya, maka
dalam pengertian UUPA Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat
bidang hukum. Kukum Agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum,
yang masih-masih mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam
tertentu yang termasuk pengertian agrarian seperti yang sudah diuraikan di atas.
Kelompok tersebut terdiri atas:
1. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti
permukaan bumi
2. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air
3. Hukum pertambangan yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan
galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok Pertambangan
4. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung di dalam air
190
Prof. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan), 2008, hal.8

Politik Agraria | 119


5. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-Unsur Dalam Ruang Agkasa,
mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa
yang dimaksudkan oleh pasal 48 UUPA.191

UUPA merupakan pelaksanaan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana yang
dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1,
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalam nya
itu pada tingkat antar tinggi dikuasai oleh negara, segala organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.192 Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bagi
pembentukan politik dan hokum agrarian nasional, yang berisi perintah kepada
negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang
diletakkan dalam penguasaan Negara itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-
besarnya kemakmuran seluruh rakyat indonesia.

UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yiatu pertama, tidak
memberlakukan lagi atau mencabut hukum agrarian colonial, yang kedua,
membangun hukum agrarian nasional.Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya
UUPA Maka terjadi lah perubahan yang fundamental padahukum agrarian di
Idnonesia.Terutama hukum di bidang pertahanan, perubahan yang fundamental ini
mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari maupun isisnya.193

E. Faktor-Faktor Penting Dalam Pembangunan Hukum Agraria Nasional


Menurut Notonagoro, faktor-fakror yang harus diperhatikan dalam
pembangunanhukum agraria nasional, adalah faktor formal, faktor materil,faktor
ideal, faktor agraria modern, dan faktor ideologi politik
1. Faktor formal
Keadaan hukum agraria diindonesia sebelum diundangkannya UUPA
merupakan keadaan peralihan, keadaan sementara waktu oleh karena peraturan-
peraturan yang sekarang berlaku ini berdasarkan pada peraturan-perturan peralihannn
yang terdapat dalan pasal 142 undang-undang dasar sementaraa (UUDS) 1950, pasal
192 konstitusi Republik indonesia serikat (KRIS) dan pasal 2 aturan peralihan UUD
1945 , yang semuanya itu bersama-sama menentukan dalam garis besarnya bahwa
peraturan-peraturan hkum yang berlaku pada zaman hindia belanda memegang
kekuasaan, masih berlaku untuk sementara.
Apabila diperhatikan dengan cermat UUPA secara keseluruhan merupakan
konkritisasi nilainilai Pancasila.' Kandungan nilai-nilai Pancasila pada keseluruhan
pasal-pasal di dalamnya mencerminkan adanya hubungan tidak terpisahkan antara
Tuhan-manusia-tanah. Pada Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa: "Seluruh bumi, air,
dan ruangangkasa, termasuk kekayaan alam yang terkendung di dalamnya dalam
wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air,
dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan naslonal'. Kata-kata
"karunia Tuhan Yang Maha Esa" terkandung nilai relegius yang begitu sakral dan
sekaligus mencerminkan karakteristik: Pertama, pengakuan adanya kekuasaan di luar
191
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta : Kompas, 2003), halaman 178
192
UripSantoso – op.cit h. 46
193
BoediHarsono – op cit h.1

Politik Agraria | 120


diri manusia yang menganugerahkan rahmat-Nya kepada bangsa Indonesia. Dia
adalah Tuhan Yang Maha Esa; Kedua, pengakuan ada hubungan dan kesatuan antara
bumi Indonesia dengan bangsa Indonesia; dan Ketiga, pengakuan adanya hubungan
antara Tuhan-manusia-tanah Indonesia. Hal itu membawa konsekuensi pada
pertanggungjawaban dalam pengaturan maupun pengelolaannya, tidak saja secara
horizontal kepada bangsa dan Negara Indonesia, tetapi juga pertanggungjawaban
vertikal kepada Tuhan Yang MahaEsa194
2. Faktor material
Hukum agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum. Dualisme hukum ini
dapat meliputi hukum, subjek maupun objek. Menurut hukumnya, yaitu disuatu pihak
berlaku hukum agraria barat yang diatur dalam KUH perdata maupun agrarische wet,
di pihak lain berlaku hukum agraria adat yang diatur dalam hukum adat tentang tanah
masing – masing. Menurt subjeknya, hukum agraria barat berlaku bagi orang – orang
yang tunduk pada hukum barat, dipihak lain hukum agraria adat berlaku bagi orang –
orang yang tunduk pada hukum adat. Menurut objeknya, di satu pihak ada hak-hak
atas tanah yang diperuntukan bagi orang-orang yang tunduk hukum barat, di pihak
lain ada hak-hak ats tanah yang diperuntukkan bagi orang – orang yang tunduk pada
hukum adat. Adanya sifat dualisme hukum ini membawa konsekuensi, baik dari
sistem hukum maupun segi hak dan kewajiban bagi subjek hukumnya. Sifat dualisme
hukum ini menimbulkan persoalan dan kesulitan yang tidak dapat dibiarkan terus-
menerus.
3. Faktor ideal
Dari faktor ideal (tujuh negara),sudah tentu tujuan hukum agraria tidak cocok
dengan tujuan negara indonesia yang tercantum dalam alinea IV pembukaan UUD
dan tujuan penguasaan bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya ,
seperti yang tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
4. Faktor agraria modern
Faktor-faktor agraria modern terletak dalam lapangan – lapangan:
a. Lapangan sosial
b. Lapangan ekonomi
c. Lapangan etika.
d. Lapangan idiil fundamental
Faktor-faktor diatas yang mendorong agar dibuat hukum agraria nasional.
5. Faktor ideologi politik
Indonesia sebagi bangsa dan negara mempunyai keterkaitan hidup dengan
negara-negara lain. Indonesia tidak dapat mempunyai kedudukan tersendiri terlepas
dari keadaan dan hubungan dengan negara-negara lain. Dalam menyusun hukum
agraria nasional boleh mengadopsi hukum agraria lain sepanjang tidak bertentangan
dengan pancasila dan UUD 1945. UUD 1945 dijadikan faktor dasar dalam
pembangunan hukum agraria nasional.
Oleh karenanya diperlukan hukum agraria nasional yang mampu
mengakomodasi kepentingan masyarakat internasional, tanpa harus mengalahkan sifat
kenasionalan. Lebih dari itu perlu dijaga agar nasionalisme itu tidak luntur karena
desakan hukum internasional. Dengan kata lain, hukum nasional harus disusun dalam
semangat menjaga kedaulatan hukum alas negeri sendiri. Maka arah pembangunan

194
Notonagoro, 1984 Hukum dan Pembangunan Agrana di lndonesia, Jakarta: Aksara, him. 75-80

Politik Agraria | 121


hukum agraria nasional yang dilandasi oleh cita hukum dan cetak biru masyarakat di
dalam UUO NRI 1945, tidak sepenuhnya sama dengan cita-cita kapitalisme global.'
Seperti prinsip kekeluargaan, penolakan terhadap dominasi kepentingan perorangan di
atas kepentingan rakyat banyak, tanah berfungsi sosial, pengakuan hak ulayat, prinsip
nasionalisme penguasaan tanah, pembangunan ekonomi untuksebesar-besar
kemakmuran rakyat. Jadi, terdapat perlindungan untuk membesarkan kemakmuran
rakyat, dan bukan untuk mengembangkan kepentingan kapitalisme. Gita hukum
dalam fungsi konstitutif adalah menentukan dasar suatu tata hukum, yang tanpa itu
suatu tata hukum kehilangan arti atau maknanya sebagai hukum.195Fungsi yang lain
adalah regulatif, yaitu menentukan apakah suatu hukum positif adil atau tidak adil.
Pancasila sebagai cita hukum, maka nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mempunyai
fungsi konstitutif yang menentukan apakah tata hukum Indonesia merupakan tata
hukum yang benar. Selain itu Pancasila sebagai cita hukum mempunyai fungsi
regulatif yang menentukan apakah hukum positif yang berlaku di Indonesia
merupakan hukum yang adil atau tidak.

F. Sumber Hukum Agraria Nasional


Hukum agraria menurut Bachsan Mustofa adalah kaidah hukum yang tertulis
adalah hukum agraria dalam bentuk hukum undang-undang dan peraturan-peraturan
yang tertulis lainnya yang dibuat oleh negara. Sedangkan kaidah hukum yang tidak
tertulis adalah hukum agraria dalam bentuk hukum adat agraria yang dibuat oleh
masyarakat adat setempat dan yang pertumbuhan, perkembangan serta berlakunya
dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.196
Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis
maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu
hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai
hubungan hukum yang konkret, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan
dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang
merupakan satu sistem. Sumber hukum agraria dibagi menjadi 2 yakni hukum tertulis
dan tidak tertulis.
Hukum Tertulis :
Ketentuan-ketentuan hukum tanah yang tertulis bersumber pada UUPA dan
peraturan pelaksanaannya yang secara khusus berkaitan dengan tanah sebagai sumber
hukum utamanya.
1. UUD 1945 Khusnya Pasal 33 Ayat 3
Perihal “dipergunakan” sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Oleh sebab itu. A.P.
perlindungan197berkomentar bahwa, sungguhpun dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3)
tidak mencantumkan dengan tegas kata-kata lain fungsi sosial , namun harus
ditafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak milik itu tidak boleh di biarkan merugikan
kepentingan masyarakat.
Menurut Notonagro “hak milik adalah fungsi sosial, akan tetapi dalam arti
bahwa itu bukannya menghilangkan sifat diri, melainkan di dalam hak miik tersendiri
sifar diri. Dan disamping itu mempunyai sifat kolektif. Jadi sebenarnya perumusan
195
A. Hamid S., 1990. Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
(Disertasi), Jakarta, Fakultas Pascasarjana UI
hlm.303-313.
196
Sigit Sapto Nugroho, Hukum Agraria Indonesia, (Solo: Kafilah Publishing; 2017), hlm 12
197
Darwin Ginting Paradigma, Kebijakan Pembangunan Baru Hukum Agrari Nasional Dosen Sekolah Tinggi
Hukum Bandung

Politik Agraria | 122


yang cocok dengan maksud itu, hubungan dengan kekuasaan manusia terhadap tanah
mempunyai sifat perseorangan dan mempunyai sifat sosial. Jelas bahwa antara konsep
Individualitas dan Kolektivitas terlindungi tanah harus equilibirum atau bercorak dwi
tunggal.198
2. Berbagai Undang-Undang pokok meliputi :
a. UUPA nmer 5 tahun 1940
b. UUP pertambangan (UU nomer 11 1967)
c. UU pertambangan minyak undang-undang bumi nomer 44 tahun 1960
d. UUP kehutanan nmer 5 tahun 1967
3. Peraturan pelaksanaaan dari Undang-undang pokok tadi serta peraturan lainnya
yang bukan peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan kareana suatu masalah.
Misalnya UU nomer 51 tahun 1961 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin
yang berhak atau kuasanya.
4. Peraturan praturan lain yang untuk sementara tetap berlaku berdasarkan ketentuan
peralihan pasal 58 UUPA
Hukum Tidak Tertulis :
Ketentuan-ketentuan hukum tanah yang tidak tertulis bersumber pada Hukum
Adat tentang tanah dan yurisprudensi tentang tanah sebagai sumber hukum
pelengkapnya.
1. Hukum adat yang sudah disempurnakan dengan pasal 5 UUPA
2. Hukum kebiasaan baru termasuk yuris prudensi dan praktek administrasi
agrarian.199
Hukum tanah adat.
Semula hukum tanah adat di Indonesia hanya ditemukan hanya berdarkan
simbol-simbol. Menurut pandangan Kamppayne untuk memahami hukum adat
Indonesia, orang harus menempatkan diri dalam lingkupan Indonesia, harus melihat
hukum rakyat sebagai satu kestuan dan tidak boleh memisahkan jawa dari daerah-
daerah Jawa.200 Sementara itu hukum adat mencrminkan kultur tradisional dan aspirasi
mayoritas rakyatnya.
Hukum ini brakar dari perekonomian subsistensi serta kebijakan paternalistik,
kebijakan yang diarahkan dengan pertalian kekeluargaan.penilaian yang serupa dibuat
dari hukum yang diterima di banyak Negara terbelakang. Hampir
dimanapunhukumini telah gagal melangkah dengn cita cita modernisasi. Sistem
tradisional dari kepemilikan tanah mungkin tidak cocok dengan penggunaan tanah
yang efisien.
Karena karakternya yang sudah kuno dari hukum yang komersial yang
memungkinkan menghalangi investasi asing. Bahkan, secara lebih mendasar hukum
yang diterima tidak dipersiapkan untuk menyeimbangkan hak-hak pribadi dengan hak
masyarakat dalam kasus intervensi ekonomi yang terencana. Samentara itu di
Indonesia, hukum agrarian berlaku atas bumi,air, dan ruang angkasa ialah hukum adat
dimana sendi-sendi dari hukum tersebut berasal dari masyarakat hukum setempat.

198
Ibid
199
Efendi Perangin, SH, Hukum Agrria di Indonesia (suatu telaah dari praktisi hukum), Jakarta: 1991, Rajawali,
Hal 212
200
Supriadi, S.H, M.Hum, Hukum Agraria, Jakarta: 2015, Sinar Grafika Hal 9

Politik Agraria | 123


Dengan demikian B.F Sihombig hukum tanah adat adalah hak pemilikan dan
penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan
masa kini serta ada yang tdak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik
atau tertulis. Adapun tanah adat terdiri dari 2 jenis yaitu :
Hukum tanah adat masa lampau
Hak memilik dan menguasai sebidang tanah pada zaman penjajah belanda dan
jepang. Serta pada zaman inonesia pada tahun 1945, tanpa mempunyai bukti otentik
tertulis. Jadi hanya pengakuan, adapun cirri-ciri hukum adat masa lampau sebagai
berikut : cirri-ciri tanah adat masa lampau adalah tanah-tanah yang dmiliki dan
dikusai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan
menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah
sesuai dengan daerah,suku dan budaya hukumnya. Kemudian secara turun temurun
masih dalam daerah tersebut. Dan atau mempumyai tanda-tanda fisik berupa tanah,
sawah dan hutang, dan simbol-simbol berupa makamm,patung, rumah rumah adat dan
bahasa daearah yang ada di Indonesia.201
Hukum tanah adat masa kini.
Hukum tanah adat masa kini adalah hak memiliki dan mengasai dan sebidang
tanah pada zaman sesudah merdeka 1945 sampai sekarang. Dengan bukti otentik yang
berupa girik, petuk pajak, pipil, hak agrariche eigedom milikyasan, hak atas druwey,
pesini, grentsultan, hak usaha atas tanah bekas partikelir, fatwa ahli waris, akta
peralihan hak, dan surat dibawah tangan, bahkan ada yang memperoleh surat pajak
hasil bumi, dan hak-hak lainnya sesuai dengan derah berlakunya hukum adat
terebut.202
Adapun cirri-ciri tanah hukum adat masa kini adalah tanah yang dimiliki
seseorang atau sekelompok masyarakat adat dan masyarakat didaerah pedesaan
maupun dikawasan perkotaan, sesuai dengan daerah, suku, dan budaya hukunya
kemudian secara turun temurun telah berpindah tangan kepada orang lain, dan
mempunyai bukti kepemilikan serta secara fisik dimiliki atau dikuasai sendiri dan
dikuasai orang atau badan hukum. Secara ringkas cirri tanah hukum adat sama kini
adalah:
a. Ada masyarakat, badan hukum pemerintah atau swasta.
b. Masyrakat di daerah pedesaan atau perkotaan.
c. Terun temurun atau telah berpindah tangan atau dialihkan.
d. Mempunyai bukti pemilikan berupa girik, verponding Indonesia, petuk, ketitir,
sertifikat, fatwa warisan, penetapan pengadilan, hibah, akta peralihan, surat
dibawah tangan, dll.
e. Menguasai secara fisik, berupa masjid, kuil, gereja, candi, danau, patung, makan,
sawah, lading, hutan, rumah adat, gedung, sungai, gunung, dll.203

G.

201
Ibid,hal 10
202
Loc.Cit
203
Supriadi, S.H, M.Hum, Hukum Agraria, Jakarta: 2015, Sinar Grafika, hlml 11

Politik Agraria | 124


H. Kesatuan Hukum Agraria
Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis
maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu
hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai
hubungan hukum yang konkret, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan
dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang
merupakan satu sistem.204
Dualisme dibidang hukum agrarian yang lama dipandang sebagai warisan
colonial yang merugikan. Sifat duaisme ini tidak menjamin kepastian hukum bagi
rakyat asli, maka dualisme ini dihilangkan dalam hukum Agraria nasional.
Penghapusan aneka warna hukum dibidang agrarian ini harus diganti dengan kesatuan
hukum, yang sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu, sesuai dengan
kepentingan perekonomian. Dengan adanya aneka warna hukum ini adalah
sesuaidengan cita-cita yaitu persatuan dan kesatuan.205
Dalam pembentukan UUPA menggunakan Stufen Theorie (teori tangga) yang
dijelaskan oleh Hans Kelsen. Adapun teorinya adalah “bahwa tertib hukum atau legal
order itu merupakan a system of norm yang berbentuk seperti tangga-tangga piramida.
Pada tiap tangga terdapat kaidah (norms) dan dipuncak piramida terdapat kaidah yang
disebut kaidah dasar (grundnorm). Di bawah kaidah dasar terdapat kaidah yang
disebut undangundang dasar, dibawah undang-undang terdapat kaidah yang disebut
peraturan, dibawah peraturan ini terdapat kaidah yang disebut ketetapan.Maka dasar
berlaku dan legalitas suatu kaidah terletak pada kaidah yang ada diatasnya (Bachsan
Mustafa, 1988: 3).
Berdasarkan Teori Stufen , maka dasar berlaku dan legalitas UUPA dapat
dijelaskan bahwa: Pancasila dengan kelima silanya tercantum dalam alinea IV
pembukuan UUD 1945. Pembukaan UUD1945 merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan batang tubuh UUD 1945 atau dengan kata lain, keduanya
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Pancasila yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 itu menjiwai Batang tubuh UUD 1945, artinya sila-sila
dalam Pancasila dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal -Pasal (Batang Tubuh) UUD
1945. Jadi karena Pancasila dijabarkan lebih lanjut dalam batang tubuh UUD 1945,
ini berarti bahwa dasar berlaku dan legalitas UUD 1945 terletak pada Pancasila.206
Dalam salah satu Pasal UUD 1945 adalah Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan
bahwa: Bumi, Air dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan ini
yang dijadikan dasar dalam pembentukan UUPA, sebagaimana yang dimuat dalam
Pasal 2 ayat(1) UUPA, yaitu: Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan
hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Jadi dasar berlaku dan legalitas
UUPA terletak pada UUD 1945.
Ketentuan-ketentuan dalam UUPA yang menunjukkan bahwa UUPA didasarkan
pada Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut:

204
Sigit Sapto Nugroho, Hukum Agraria Indonesia, (Solo: Kafilah Publishing; 2017) , hlm.13
205
Supriadi, Op.Cit hlm 11
206
Sigit Sapto Nugroho, Hukum Agraria Indonesia, (Solo: Kafilah Publishing; 2017 , hlm. 44

Politik Agraria | 125


1. Dalam konsideran UUPA dibawah perkataan “berpendapat” huruf c dinyatakan
bahwa: ”hukum agraria Nasional itu harus mewujudkan penjelmaan daripada
Ketuhanan Yang Maha Esa, perikemanuasiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan
keadilan sosial, sebagai asas kerohania negara dan cita-cita bangsa yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar”
2. Penjelasan Umum Angka 1 UUPA menyebutkan bahwa:”Hukum Agraria Nasional
harus mewujudkan penjelmaan daripada Asas kerokhanian negara dan cita-cita
bangsa yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan kebangsaan, kerakyatan
dan keadilan sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan daripada
ketentuan dalam Pasal 33 UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
yang tercantum dalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
1959 dan ditegaskan didalam Pidato Presiden 17 Agustus 1960.
Negara Indonesia adalah Negara hukum, dimana salah satu ciri dari Negara
hukum adalah adanya kepastian terhadap hukum, untuk itu hukum yang mengatur
tentang bumi, air, tanah maupun ruang angkasa berseta seluk-beluknya juga harus
diatur. Ketidak pastian terhadap hukum juga memilki dampak yang buruk bagi
perkembangan hukum dinegara Indonesia.
Dengan demikian diperlukannya aturan yang mengatur tentang hal tersebut,
dengan diterbitkanya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-undang
Pokok-pokok Agraria yang bersifat nasional maka menggugurkan aturan-aturan yang
sebelumnya mengatur tentang tanah.
Hukum dan kebijakan Agraria merupakan alat untuk membawa kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat maupun masyarakat luas dalam
rangka masyarakat yang adil dan makmur, juga untuk meletakkan dasar-dasar untuk
mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam Hukum Pertanahan serta meletakkan
dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi
rakyat seluruhnya. Tujuan terbentuknya Undang-Undang pokok agraria yaitu:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusun Hukum Agraria Nasional yang merupakan
alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan
rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
Hukum Pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Adapun Tujuan Hukum Agraria Nasional sebagaimana termuat dalam
Penjelasan Umum UUPA, adalah:207
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi
negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan. Peletakan dasar kesatuan dan kesederhanaan hukum, berarti
pembinaan Hukum Agraria Nasional harus diarahkan pada terciptanya unifikasi
hukum, yaitu berlakunya satu sistem hukum. Untuk itu pembentukan Hukum
Agraria nasional didasarkan pada Hukum Adat, karena hukum adat merupakan
hukum dari sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga akan mudah dipahami
dan dilaksanakan. Hukum adat sebagai dasar dari Hukum agraria Nasional disebut
dalam Pasal 5 UUPA.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Usaha untuk memberikan kepastian hukum

207
Ibid , hlm. 40

Politik Agraria | 126


dilakukan dengan mengadakan pendaftaran tanah yang bersifat recht kadaster dan
melaksanakan konversi hak-hak atas tanah sesuai dengan ketentuan Hukum
Agraria Nasional. Mengenai pendaftaran tanah ini disebutkan dalam Pasal 19
UUPA, sedangkan mengenai konversi diatur dalam dictum kedua UUA tentang
ketentuan-ketentuan konversi.
Jika hukum pertanahan difahami sebagai suatu sistem norma, maka setiap
peraturan perundang-undangan yang paling tinggi sampai pada peraturan yang rendah
(terkait dengan peraturan sistem pendaftaran tanah) harus merupakan suatu jalinan
sistem yang tidak boleh saling bertantangan satu sama lain. Proses pembentukan
norma-norma itu dimulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah disebut
sebagai proses konkretisasi.208
Kebijkan hukum pertanahan adalah bagian dari kebijakan-kebijkan negara,
sebagai sistem norma kebijkan hukum pertanahan tidak hanya dipergunakan untuk
mengatur dan mempertahankan pola tingkah laku yang sudah ada, melainkan lebih
sekedar itu. Hukum pertanahan seharusnya juga diperlakukan sebagai sarana pengarah
dalam merealisasikan kebijakan negara dalam bidang sosial, budaya, ekonomi,
kebijkan, pertanahan dan keamanan nasional.209
Reaktualisasi nilai-nilai pancasila dalam reforma sangat diperlukan. Nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat harus dapat terintregasi dalam pembentukan atau
pembangunan hukum. Kebijakan hukum pertanahan yang diterapkan ditengah-tengah
masyrakat harus lebih menjiwai dan dijiwai oleh masyrakat itu sendiri, sehingga
hukum bukanlah sesuatu yang asing ditengah-tengah masyrakat.210

I. Sifat Nasional Formal Dan Sifat Nasional Material


Hukum Agraria Nasional yang ditetapkan pada tanggal 24 Sepember 1960 itu
dalam undang-undang No. 5 tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun No. 104). Karena
UUPA ini hanya mengatur pokok-pokoknya saja, maka peraturan pelaksanaan hukum
Agraria harus ada. UUPA itu mempunyai sifat nasional formal dan sifat nasional
material.
1. Sifat Nasional Formal
Sifat formal dari UUPA kita dapati dalam konsederan UUPA kita dapati dalam
konsederan Undang-undang itu mana didalamnya telah menyebutkan terdapat
keburukan-keburukan dan kekurangan-kekurangan didalam hukum Agraria yang
berlkau di Indonesia sebelumnya. Keburukan-keburukan itu antara lain dinyatakan
bahwa hukum Agraria kolonil itu memiliki sifat dualism dan tidak menjamin
kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan adanya kekurangan itu makahukum agraria colonial itu harus diganti
dengan hukum agrarian nasional yang dibuat oleh pembentukan undang-undang
nasional Indonesia (DPR-RI), dibuat dan disusun dalam bahasa Indonesia serta
berlaku dalam wilayah Indonesia, maka UUPA dalam hal ini mempunyai sifat
nasional formal.211
Hukum tanah yang baru itu bersifat nasional, baik mengenai segi formal
maupun material nya. Hukum tanah bersifat formal meliputi:

208
Widhi Handoko, Kebijakan Hukum Pertanahan Sebuah Refleksi Keadilan Hukum Progresif, Thafa Media,
Jogjakarta, 2014, hlm 37
209
Ibid, hlm 75
210
Op.Cit
211
Soetomo, SH, politik dan administrasi Agraria, Malang: 1986, Usaha Nasional Surabaya, hal 31

Politik Agraria | 127


a. HukumtanahnasionalharusdibuatolehpembentukUndang-undang
b. Dibuat di Indonesia
c. Disusundalam Bahasa Indonesia
d. Berlakudiseluruh Bahasa Indonesia
e. Meliputisemuatanah yang ada di wilayahnegara Indonesia212

2. Sifat Nasional Material


Mengenai sifat nasional materialnya, bahwa hukum agraria nasional Indonesia,
dalam konsideran undang-undang pokok agraria menyatakan bahwa.
a. Hukum agraria nasional harus berdasarkan hukum adat.
b. Hukum agraria nasonal harus sederhana.
c. Hukum agraria nasional harus menjamin kepaastian hukum bagi seluruh rakyaat
Indonesia.
d. Fungsi daripada bumi air kekayaan alam serta ruang angkasa harus sesuai dengan
kepentingan rakyat Indonesia.
e. Hukum Agraria NASIONAL HARUS MEWUJUDKAN PENJELASAN daripada
pancasila sebagai asas kehoranian bangsa Indonesia.
f. Hukum Agraria Nasional harus melaksanakan ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD
1945, yaitu mewajibkan bahwa Negara harus mengatur mengenai pemilikan,
penggunaan, peruntukan tanah sehigga dapat dicapai penggunaan tanah untuk
kemakmuran rakyat.'
Penegasan dasar-dasar kenasionalan ini dipandang cukup penting untuk
menegaskan sudah lahirnya baru dalam pengaturan masalah keagrariaan. Hal ini
sekaligus untuk menegaskan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan Bumi, Air, Ruang
Angkasa dan Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi hak Negara,
bangsa dan manusia Indonesia. Dasar-dasar Hukum Agraria nasional yang
dirumuskan dalam UUPA antara lain :
1. Penegasan bahwa wilayah Indonesia terdiri dari Bumi, Air, Ruang Angkasa dan
Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan kesatuan tanah air dari
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia.(Lihat Ketentuan Pasal 1
ayat (1) UUPA yang menegaskan bahwa “seluruh wilayah Indonesia adalah
kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia”). Kata “seluruh” dalam kalimat tersebut menunjukkan bahwa tidak ada
sejengkal tanah pun di Negara Indonesia yang merupakan apa yang disebut “res
nullius” atau “tanah yang tidak bertuan”.213
2. Pengakuan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional, (Lihat Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUPA).
3. Hubungan bangsa Indonesia dengan Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya bersifat abadi. (Lihat Ketentuan Pasal 1 ayat (3)
UUPA)
Dalam Penjelasan Umum ini ditegaskan bahwa Bumi, air dan ruang angkasa
dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa
sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata
menjadi hak dari para pemiliknya saja.

212
H.AliAchmadChomzah, HukumAgraria (Pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta : Prestasi Pustaka 2004, hlm
28
213
Soedjadi, 1999, Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia, Lukman Offset, Yogyakarta, hlm.138-
139

Politik Agraria | 128


Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau, tidaklah semata-
mata menjadi hak rakyat asli dari pulau-pulau, tidaklah semata-mata menjadi hak
rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan. Dengan pengertian demikian
maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia
merupakan semacam hubungan Hak Ulayat, yang diangkat pada tingkatan paling atas,
yaitu tingkatan mengenai seluruh wilayah Negara.
Pernyataan tersebut berarti bahwa dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional, hak
bangsa merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Sehingga hak-hak
penguasaan tanah yang lain (hak ulayat hak-hak individu) secara langsung ataupun
tidak bersumber pada Hak Bangsa.214

J. Undang-Undang Maupun Peraturan Yang Dicabut


Dicabutnya berbagai peraturan UUPA dan dinyatakan hukum Adat sebagai dasar
Hukum Agraria Nasional, adalah dalam rangka mewujudkan kesatuan dan
kesederhanaan hukum tersebut. Diktum pertama dari UUPA berupa pencabutan
peraturan hukum agraria lama, karena peraturan-peraturan ini dianggap tidak sesuai
dengan alam bangsa Indonesia yang sudah merdeka dan berdaulat sehingga banyak
menimbulkan berbagai persoalan.
Adapun undang-undang maupun peraturan-peraturan yang dicabut pada waktu
menetapkan UUPA ditegaskan dalam dictum UUPA, yaitu:
1. Agrarische Wet Stb. 1870 Nomor 55
Sebagai yang termuat dalam Pasal 51 I.S. Stb 1925 Nomor 447. Peraturan ini
merupakan basis hukum agraria di zaman kolonial, yang telah banyak
menimbulkan persoalan dalam hukum agraria di Indonesia sebelum UUPA.Pada
tahun 1870 lahir lah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari hukum
agrarian dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluar kan pemerintah masa itu
sebagai permulaan hukum agrarian barat. Ide awal dikelularannya Agrarische Wet
(AW) ini adalah sebagai respon terhadap keinginan perusahaan-perusahaan asing
yang bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-
hak rakyat atas tanahnya harus dijamin.215
Agrarische Wet ini merupakan undnag-undang di negeri Belanda, yang
diterbitkan pada tahun 1870, dengan diundangkan dalam S.1870-
55.Dimasukkannya ke Indonesia, dengan memasukkan Pasal 62 RR, yang pada
mulanya terdiri dari 3 ayat, dengan penambahan 5 ayat tersebut sehingga Pasal 62
RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai denganayat 8. Pada akhirnya Pasal 62 RR
ini menjadi Pasal 51 IS.
Terbentuknya Agrarische Wet merupakan upaya desakan dari para kalangan
pengusaha di negeri Belanda yang karenan keberhasilan usahanya mengalami
kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk
menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tana hutan di jawa yang
belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya kesempatan
membuka usaha di bidang perkebunan besar. Sejalan dengan semangat liberalisme
yang sedang berkembang dituntut pengantian sisten monopoli negara dan kerja
paksa dalam melaksanakan cultuur stelse, dengna sisitem persaingan bebasa dan
sistem kerja bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.
Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan
tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan
kemanusiaan dari golongan lein di negeri Belanda, yang mellihat terjadinya
214
Soedjadi, 1999, Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia, Lukman Offset, Yogyakarta, hlm 215
215
Sigit Sapto Nugroho, Hukum Agraria Indonesia, (Solo: Kafilah Publishing; 2017), hlm 39

Politik Agraria | 129


penderitaan yang sangat hebat di kalangan petani Jawa, sebagai akibat penyalah
gunaan wewenang dalam melaksanakan cuktuur stelsel oleh para pejabat yang
bersangkutan. Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya Agrarische Wet adalah untuk
membuka kmeungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha
swasta agar dapat berkembang di Hindi Belanda.
Selain itu Agrarische Wet juga bertujuan untuk :
a. Memerhatikanperusahaanswasta yang bermodalbesardenganjalan.
Memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yangberjangka waktu lama,
sampai 75 tahun. Untuk memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk
menyewakan tanah adat/rakyat.
b. Memperhatikan kepentigan rakyat asli, dengan jalan :
Memberikan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru (Agrarische
eigendom)216
2. Peraturan-peraturan tentang Domein Veklaring
Yaitu suatu sistem yang bertalian erat dengan kepentingan penjajah untuk
menguasai tanah di Indonesia, yang dalam pelaksanannya telah banyak
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik. Peraturan-peraturan ini baik
yang bersifat umum maupun khusus, yaitu:
a. Pasal 1Agrarische Besluit, Stb. 1870 Nomor 118.
b. Algemen Demoinverklaring, Stb. 1875 Nomor 119a.
c. Domeiverklaring untuk Sumatera, Stb.1874 Nomor 94f.
d. Domeinverklaring untuk Karesidenan Menado, Stb. 1877 Nomor 55.
e. Domeinverklaring untuk Residentle Zuider en Oosterrafdeling van Borneo,
Stb.1888 Nomor 58.
3. Koninklijk Besluit (keputusan Raja) tanggal 16 April 1872 Stb. 1872 Nomor
117 dan peraturan pelaksanaannya.
4. Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt)
Indonesia sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku
paada mulai berlakunya UUPA.
Dengan dicabutnya undang-undang serta peraturan-peraturan hukum agraria
colonial tercapailah kesatuan (unifkasi). Hukum agraria Inodnesia, yang sesuai
dengan kepribadian yang berlaku di Indonesia,yang sesuai dengan keperibadian dan
persatuan bangsa.217 Dengan dicabutnya undang-undang dan Peraturan-peraturan
hukum agraria kolonial tercapailah kesatuan (unifikasi) hukum agraria yang berlaku di
Indonesia, yang sesuai dengan kepribadian dan peraturan bangsa. Dengan demikian,
setelah berlakunya UUPA tidak dikenal lagi istilah tentang hak-hak atas tanah menurut
Hukum Barat, seperti hak eigendum, hak erfpacht, hak postal, dan sebagainya. Yang
dikenal sekarang adalah istilah mengenai hak-hak tanah yang terdapat dalam UUPA,
yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, dan
sebagainya.

K. Hukum Adat Yang Menjadi Dasar Hukum Nasional


Hukum adat sebagai hukum yang dianut oleh sebagian besar bangsa masyarakat
Indonesia mempunyai kedudukan yang istimewa dalam politik hukum agraria
Nasional. Pembangunan Hukum Agraria Nasional diarahkan pada berlakunya satu
sistem hukum (unifikasi hukum). Dalam rangka unifikasi hukum tersebut Hukum
216
Akbar Muzaqir, HukumAgraria, University Pasundan Bandung, 2012 hlm 6-7
217
Soetomo, SH, politik dan administrasi Agraria, Malang: 1986, Usaha Nasional Surabaya, hal 32-34

Politik Agraria | 130


Adat dijadikan dasar pembentukan Hukum Agraria Nasional. Di dalam UUPA
terdapat beberapa penyebutan Hukum Adat sebagai dasar Pembentukan Hukum
Agraria Nasional, yaitu:218
1. Konsideran dibawah perkataan “berpendapat” huruf a.
2. Penjelasan umum angka III (1).
3. Pasal 5 dan penjelasannya.
4. Penjelasan Pasal 16.
5. Pasal 56.
6. Pasal 58 (secara tidak langsung).
Hukum adat merupakan hukum rakyat asli, dengan demikian hukum agrarian
yang berdasarkan atas hukum adat akan sesuai dengan kesadaran hukum rakyat
Indonesia. Hukum adat yang mejadi dasar hukum agraria nasional yang telah disaring
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak boleh bertentangan dengan tujuan nasional dan Negara berdasarkan atas
persatuan bangsa.
2. Tidak boleh bertentagan dengan sosialisme Indonesia.
3. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tercantum dalam UUPA.
4. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan perundangan yang berlaku.219
Dalam politik pemrintah yang tertuang dalam UUPA adalah pembaruan hukum
supaya di dasarkan pada hukum adat. Tetapi yang di ambil daam hukum adat adalah
konsepsinya,asas-asasnya dan lembaga-lembaga hukumnya yang akan dijelaskan
sebagai berikut:
1. Konsepsi hukum adat tentang tanah: terdapat hubungan masyarakat dengan tanah.
2. Asas hukum adat tentang tanah: huku tidak berlaku mutlak, sealalu harus
memperhatikan kasus konkret, titik beratnya ialah mecari keadilan.
3. Lembaga-lembaga hukum adat tentang tanah: hak-hak penguasaan atas tanah yang
dikenal dalam hukum adat. Misalnya, hak ulayat, hak milik, hak gadai.220
Tetapi harus di ingat bahawa peraturan hukum adat itu berlaku bagi suatu
masyarakat yang sederhana. Maka apa yang di ambl dari hukum adat perlu
dimodernisasi. Yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman di tinggalkan. Yang
tidak ada (kurang) di ambilkan dari luar hukum adat, asal merupakan penambahan
kekayaan nasinal dan tidak bertentangan dengan konsepsi dan asas hukum adat, dan
harus sesuai pancasila. Jadi UUPA merupakan unifikasi hukum tanah berdasarkan
hukum adat yang disempurnakan.
Hukum adat tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia. Maka
hukum adat dapat dilacak secara kronologis sejak Indonesia terdiri dari kerajaan-
kerajaan, yang tersebar di seluruh nusantara. Realitas sosial budaya dikonstruksi oleh
pujangga yang satu dikonstruksi oleh pujaga yang lain, serta dikonstruksi kembali
pujangga berikutnya.221 Masa Sriwijaya, Mataran Muno, Masa Majapahit beberapa
inskripsi (prasasti) menggambarkan perkembangan hukum yang berlaku (hukum asli),
yang telah mengatur beberapa bidang, antara lain :
1. Aturan aturan keagamaan, perekonomian dan pertambangan, dimuat dalam Prasasti
Raja Sanjaya tahun 732 di Kedu, Jawa Tengah;
2. Mengatur keagamaan dan kekaryaan, dimuat dalam prasasti Raja Dewasimha
tahun 760;
218
Sigit Sapto Nugroho, Hukum Agraria Indonesia, (Solo: Kafilah Publishing; 2017), hlm 46
219
Soetomo, SH, politik dan administrasi Agraria, Malang: 1986, Usaha Nasional Surabaya, hal 34
220
Ramli Zainal. Hak Pengelolaan dalam system UUPA. Jakarta:1995.PT Rineka Cipta, hal 53
221
Dominikus Rato., Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat di Indonesia) , Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, 2011, hal 110.

Politik Agraria | 131


3. Hukum Pertanahan dan Pertanian ditemukan dalam Prasasti Raja Tulodong, di
Kediri., 784 dan prasasti tahun 919 yang memuat jabatan pemerintahan, hak raja
atas tanah, dan ganti rugi;
4. Hukum mengatur tentang peradilan perdata, dimuat dalam prasasti Bulai Rakai
Garung, 860.
5. Perintah Raja untuk menyusus aturan adat, dalam prasasti Darmawangsa tahun
991;
6. Pada masa Airlangga, adanya penetapan lambang meterai kerajaan berupa kepala
burung Garuda, pembangunan perdikan dengan hak-hak istimewanya, penetapan
pajak penghasilan yang harus dipungut pemerintah pusat;
7. Masa Majapahit, tampak dalam penataan pemerintahan dan ketatanegaraan
kerajaan Majapahit, adanya pembagian lembaga dan badan pemerintahan. Setelah
jatuhnya Majapahir, maka kerajaan Mataram sangat diwarnai oleh pengaruh Islam,
maka dikenal peradilan qisas, yang memberikan pertimbangan bagi Sultan untuk
memutus perkara.

L. Dasar Kenasionalan UUPA


Dasar kenasionalan UUPA tampak di dalam konsideran maupun dalam pasal 1
UUPA. Konsideran UUPA Menimbang:
1. Bahwa di dalam NKRI yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomia,
terutama masih bercorak agrari, bumi, air, dan ruang angkasa, sebagai karunia
Tuhan YME mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat
yang adil dan makmur.
2. Bahwa hukum agrarian yang masih berlaku sekarang ini tersusun berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi
olehnya. Hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam
menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.
3. Bahwa hukum agrarian tersebut mempunyai sifat dualism, dengan berlakunya
hukum adat disamping hukum agrarian yang didasarkan atas hukum barat.
4. Bahwa bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian
hukum. 222
Bachsan Mustafa Berpendapat:
1. Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di
atas perlu adanya hukum agrarian nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang
tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian huku bagi seluruh rakyat Indonesia
dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum Negara. 223
2. Bahwa hukum agrarian nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya
fungsi bumi, air, dan ruang angkasa. Sebagai yang dimaksud di atas dan sesuai
dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi keperluannya mmenurut
permintaan zaman dalam segala agrarian.
3. Bahwa hukum agrarian nasional itu harus mewujudkan penjilmaan dari ke Tuhanan
YME pri kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, sbagai atas
kerokhanian Negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum dalam perbukuan
UUD.
UUPA sebagai induk dari program landreform di Indonesia maka beberapa
pasal-pasal UUPA yang sangat berkaitan dengan landreform yaitu pasal 7, 10 dan 17.
Untuk mencegah hak-hak perseorangan yang melampaui batas diatur secara tegas
dalam pasal 7 yang berbunyi “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.
Ketentuan dalam pasal tersebut berhubungan dengan pasal-pasal lainnya seperti
222
Bachsan Mustafa, SH. “Hukum Agraria dalam Perspektif”. Bandung: 1988. Remadja Karya. Hal:9
223
Ibid,. Hal:9

Politik Agraria | 132


dalam pasal 10 yang menentukan bahwa setiap orang yang mempunyai suatu hak
atas tanah pertanian pada asasnya wajib mengerjakan sendiri secara aktif. Oleh
Sudargo Gautama (1980:23) dikatakan bahwa ketentuan pasal 10 ini hendak
menghalangi terwujudnya tuan-tuan tanah yang tinggal di kota-kota besar,
menunggu saja hasil tanah-tanah yang diolah dan digarap oleh orang yang berada di
bawah perintah/kuasanya.224
Selanjutnya dalam pasal 17 UUPA menunjuk kepada apa yang ditentukan
dalam pasal 7 dan 10, maka pasal 17 mengemukakan tentang batas-batas maksimum
luasnya tanah. Dengan adanya ketentuan ini dapat dihindarkan tertumpuknya tanah
pada golongan-golongan tertentu saja. Dasar hukum yang tercantum di sini sejalan
pula dengan tujuan landreform. Arman Makanu (2001:28) dikatakan bahwa pasal 17
UUPA ini juga mencerminkan ciri-ciri khas serta kebijaksanaan dalam pelaksanaan
landreform di Indoensia yaitu pemberian/pembayaran ganti rugi oleh pemerintah
kepada bekas pemilik tanah kelebihan dan tanah absentee. Oleh Boedi Harsono
(1999:353) dikatakan bahwa tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia
adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani terutamapetani
kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk
menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur
berdasarkanPancasila.
Dalam kerangka pencapaian tujuan keadilan sosial yang menjadi semangat dan
roh UUPA pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan hukum dibidang
pertanahan, antara lain UU No.56 Prp 1960 sebagai pelaksanaan pasal 17 UUPA,
UU No.2/1960 tentang Bagi Hasil, Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1961 tentang
Pendaftaran Tanah, PP No.224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Ganti Kerugian yang kesemuanya disiapkan untuk pelaksanaan programlandreform.
Keberadaan aturan-aturan tersebut tidak menjamin bahwa program landreform
dapat dilaksanakan secara maksimal, pergantian rejim pemerintahan tidak
memperlancar program ini bahkan macet dalam pelaksanaannya, sebab prinsip yang
digunakan oleh pemerintah yaitu tanah untuk sebesar-besarnya pertumbuhan
ekonomi nasional. Aparatur militer juga diposisikan untuk mendukung proses ini
dengan dasar asumsi bahwa pembangunan memerlukan stabilitas politik. Di sini
konsep tanah berfungsi sosial (pasal 6 UUPA) semakin jauh, fungsi sosial itu
dimaknakan dan dijadikan dasar legitimasi pembebasan tanah untuk kepentingan
pembangunan industri.
Fenomena yang terjadi sekarang ini menunjukkan masih terjadinya
penumpukan tanah oleh pihak tertentu, padahal pasal 7 UUPA mengatur tentang
larangan menguasai tanah melampaui batas tertentu, sebab hal ini merugikan
kepentingan umum, karena berhubung dengan terbatasnya persediaan tanah
pertanian, khususnya didaerah yang berpenduduk padat. Kelangkaan tanah
menyebabkan tanah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.225
Kemudian dalam penjelasan umum UU No.56 Prp Tahun 1960 menetapkan
bahwa untuk mempertinggi taraf hidup rakyat pada umumnya tidaklah cukup
diadakan penetapan luas maksimum dan minimum saja, tetapi harus diikutidengan
pembagian tanah-tanah yang melebihi maksimum itu. Agar supaya dapat dicapai
hasil sebagai yang diharapkan, maka usaha itu perlu disertai tindakan-tindakan
lainnya misalnya pembukuan tanah, tanah pertanian baru, industrialisasi,
transmigrasi, usaha untuk mempertinggi produktivitas, persediaan yang cukup dan
224
Boedi Harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya. Penerbit Djambatan, Jakarta.
225
Mudjiono, 1992, Hukum Agraria, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta

Politik Agraria | 133


dapat diperoleh pada waktunya dengan mudah dan murah serta tindakan-tindakan
lainnya.
Ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan tanah semakin nampak jelas
akibat dari tidak meratanya pendistribusian/pembagian tanah, hal ini dapat dilihat
dari gejala, tanah-tanah tersebut terakumulasi di tangan orang atau badan-badan
tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hery Haryadi, dosen Fakultas
Hukum Unika (Anonim, 2001) bahwa terjadi penyusutan luas lahan produktif.
Termasuk penguasaan tanah yang hanya dikuasai oleh segelintir orang.
Kekhawatiran terbesar adalah akan melambungnya harga tanah. Untuk memperkecil
aksees dari ketimpangan itu, dia menyatakan perlunya kesadaran akan aturan yang
berlaku. Penegakan hukum yang menyangkut masalah tanah sangat dipwerlukan
agarjangan sampai tanah dikuasai oleh orang atau badan tertentu saja. Bila itu terus
berlanjut nanti akan banyak lahan yang sia-sia, sebab disebuah lingkungan
perumahan tidak semua lahan tersebut digunakan. Padahal di sisi lain sekelompok
masyarakat kecil kesulitan mencari tanah untuk bercocok tanam. Kiranya cita-cita
UUPAmewujudkan tata tanah nasional yang diabdikan pada kepentingan rakyat
banyak masih jauh dari kenyataan.
Oleh sebagian kalangan UUPA dipandang tidak mampu untuk mengatasi
ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah yang terjadi sekarang.
Kebijakan pemerintah yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi telah
menempatkan tanah sebagai asset yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga tak
heran bila banyak pihak yang bermodal besar memborong tanag-tanah sebagai
penanaman modal tabungannya. Penimbunan tanah-tanah demikian tentunya akan
mengurangi daya produksi dipedesaan, karena berkurangnya kegiatan menggarap
tanah atau tanah digunakan untuk kepentingan lain yang lebih menguntungkan.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut pemerintah menempuh berbagai
kebijaksanaan, antara lain adalah dengan transmigrasi.226
Werner Roll (1981:70) menyatakan bahwa UUPA/Landreform yang
diumumkan pada tahun 1961 -demikian juga dengan tindakan transmigrasi- tidak
dapat mengatasi keadaan pincang antara pemilik tanah dan mereka yang tidak
memiliki tanah. Sehubungan dengan transimigrasi, belum tercapai target
yangditetapkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena kurangnya persiapan, dana
dan prasrana serta kurangnya kesungguhan para transmigran untuk memperjuangkan
kesejahteraan bagi dirinya dan keluarganya. Keadaan ini pada akhirnya
mengakibatkan tujuan landreform, yang menghendaki setiap petani dapat memiliki
minimun 2 Ha tanah pertanian untuk memperoleh hidup yang layak tidak terpenuhi.
Di sisi lain terhadap "absenteisme" diberikan dispensasi kepada pegawai
negeri, pejabat, militer serta yang dipersamakan dengan mereka, yang sedang
menjalankan tugas negara. Bahkan belakangan pada investor domestik di bidang
tanah pertanian yang terdiri dari oknum-oknum pejabat maupun swasta membeli
tanah pertanian meliputi puluhan sampai ratusan hektar.
Pelanggaran ketentuan baik mengenai batas minimun maupun terhadap
absenteisme semakin diperkuat dengan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, hal mana bertentangan dengan ketentuan mengenai domisili. Dalam
akta jual beli tersebut, dicantumkan pekerjaan dari si pembeli adalah petani dan
bertempat tingal di wilayah kecamatan di mana tanah itu terletak. Untuk
membenarkan identitas ini ditunjang dengan kartu penduduk yang tidak sebanarnya.
Cara lain yang ditempuh adalah dengan pemberian suatu kuasa, baik secara

226
Sudargo Gautama. 1980. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Pt Citra Aditya, Bandung.

Politik Agraria | 134


autentik maupun di bawah tangan, dimana pemilik tanah/pemberi kuasa memberikan
segala wewenang kepada pembeli/penerima kuasa untuk menjaminkan tanah
tersebut. Kenyataannya, sekalipun surat-surat tanah itu masih atas nama pemiliknya
semula, namun pada dasarnya sudah lepas dari kekuasaannya dan telah berpindah
tangan kepada tuan tanah yang baru.
Pada umumnya tuan tanah itu tidak menggarap sendiri tanahnya, akan tetapi
penjagaan dan pengolahannya diserahkan kepada orang-orang lain yang tinggal
didaerah itu. Bahkan adakalanya yang mengerjakan tanah itu adalah pemiliksemula,
yang sekarang menjadi buruh tani dari pemilik baru (tuantanah).227
Dalam seminar Rethinking Landreform in Indonesia yang diadakan BPN
bersama Land Law Initiative dan Rural Development Institute di Jakarta (Mei 2002),
Deputi Bidang Tata Laksana Pertanahan BPN, Heru Wijono menyatakan dalam
perkembangannya pelaksanaan landreform di Indonesia pun mengalami stagnasi,
tersendat-sendat, dan tidak tuntas, dimana hambatan utama pelaksanaan landreform
adalah lemahnya kemauan politik dari pemerintah orde baru yang lebih mengejar
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan ini kurang memberikan keberpihakan
pada masyarakat golongan ekonomi lemah, termasuk petani yang memang
membutuhkan tanah. Heru menyarankan kebijakan pertanahan dalam rangka
landreform perlu ditinjau ulang (Kompas Cyber, Mei 2005).
Dalam perkembangannya politik agraria orde baru tidak lagi menggunakan
konsep redistribusi, melainkan mengacu pada revolusi hijau, transmigrasi dan
modernisasi (Setiawan, Bonnie, 1997:22). Selain itu berbagai undang-undang produk
hukum orde baru yang bersifat keagrariaan tidak lagi mengaitkannya dengan UUPA
atau malah bertentangan dengan UUPA, dimana pola penguasaan sumber dayaalam
kini digeser menjadi pemilikan oleh Negara dan swasta (termasuk swastaasing).
Dalam tatanan normatif, oleh Maria S.W. Sumardjono (Sumardjono, Maria
S.W. 2001:200) dikatakan bahwa adanya kesenjangan antara amanat dan cita-cita
UUPA dengan penjabaran dalam peraturan pelaksanaannya yang mencerminkan
ketidakkonsistenan, misalnya:
1. pemberian tanah yang sangat luas kepada pengusaha di sektor perkebunan,
kehutanan dan property sehingga menimbulkan akumulasi penguasaantanah;
2. ketentuan yang mendorong pemahaman bahwa tanah itu merupakan komoditi
(nilai ekonomis semata) dan mengabaikan nilai lainnya seperti nilai religius dan
fungsi sosial atastanah;
3. ketentuan yang mendorong pengabaian terhadap hak-hak tradisional atas tanah
masyarakat adat;dan
4. peraturan yang memberi peluang terjadinya pengabaian dan kemerosotan
kesejahteraan pemegang hak atas tanah yang terkena pengambilalihan untuk
kepentinganpembangunan.
Kekurang berhasilan pelaksanaan UUPA terutama program landreform terkait
dengan kebijakan makro pembangunan pemerintah orde baru yang menempatkan
tanah hanya sebagai sarana investasi dan spekulasi, tidak lagi sebagai faktor
produksi.
Kejatuhan rezim orde baru dengan ditandai munculnya masa reformasi di
Indonesia. Pada masa ini marak dengan suasana dinamisasi politik, maraknya
gerakan massa, pertumbuhan partai-partai politik, kebebasan pers dan munculnya
kantong-kantong kritisme dimana-mana. Masa reformasi ditandai dengan masa
227
Effendi Perangin. Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Praktisi Hukum.Rajawali Pers,
Jakarta.

Politik Agraria | 135


kebebasan, dimana setiap orang berhak menuntut haknya termasuk menuntut hak
atas tanah.
Namun pergantian rezim pemerintahan ini, politik agrarian di Indonesia
terutama landreform yang memang sejak awal telah mendapat tempat yang
terpinggirkan, tidak langsung mengalami perubahan.
Pemerintah sekarang lebih memfokuskan perhatian pada perbaikan ekonomi
secepatnya akibat keterpurukan ekonomi Indonesia yang sangat dramatis diakhir era
Soeharto. Selain daripada itu, upaya perbaikan ekonomi Indonesia masih sangat
bergantung pada kaum kapitalis internasional yang dipresentasikan oleh IMF dan
World Bank. Akibat lebih jauh dari kondisi ini bagi perbaikan di sector agrarian
utamanya program landreform sangat minim, mengingat posisi strategis Indonesia
dalam keluasan dan kesuburan tanahnya menjadi asset terpenting bagi produksi
kapitalis.
Dalam konsep primitive accumulation dinyatakan dalam proses perkembangan
kapitalis ditandai dengan dua cirri transformasi yaitu (1) kekayaan alam diubah
menjadi modal dalam ekonomi produksi kapitalis, dan (2) kaum petani diubah
menjadi buruh upahan (Noer Fauzi, 2000:105). Konsep ini tampaknya akan terus
berlangsung di Indonesia apalagi Indonesia telah menyetujui perjanjian GATT dan
APEC. Kedua persetujuan dagang tersebut akan semakin menyulitkan terjadinya
perubahan politik agrarian pemerintah, karena didalamnya terdapat persetujuan
untuk penanaman modal asing yang sebebas-bebasnya. Dengan demikian kedudukan
hak rakyat dalam penguasaan asset agrarian terutama tanah akan semakin terancam.
Angin kebebasan reformasi yang menumbuhkan kesadaran bagi rakyat untuk
menuntut haknya atas tanah, sehingga tak heran muncul aksi massa diberbagai
daerah yang menuntut pemilikan tanah, baik yang dilakukan secara langsung dengan
mematok areal tanah tertentu ataupun secara tidak langsung dengan melakukan
upaya hukum, mereka juga mendapat bantuan dari Non Governmental Organizations
(NGOs). Meskipun demikian upaya-upaya reclaiming ini belum dapat dikatakan
berhasil karena, pertama, kesulitan menempuh jalur hukum sebagai akibat dari
belum adanya reformasi hukum secara menyeluruh khususnya yang menyangkut
sektor agrarian, kedua, kesulitan mencapai kesepakatan kepemilikan tanah yang
sebenar-benarnya sebagai akibat carut marutnya penetapan pemilikan tanah selama
rezim orde baru.
Dalam orientasi ke depan di masa reformasi ini, landreform masih tetap
diperlukan dalam rangka menyelenggarakan pembangunan. Kita dapat mencontoh
Negara-negara lain yang telah berhasil dalam melaksanakan program landreform
dinegaranya seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan (sekarang Korea).
Akibat yang masih dapat kita rasakan sekarang akibat dari tidak
diberlakukannya landreform adalah:
1. landreform menciptakan pasar atau daya beli. Tanpa adanya pemerataan tanah,
makatidak ada kekuatan daya beli, artinya juga tidak ada kekuatan pasar,
akibatnya produksi tidak akanberkembang.
2. petani tanpa asset tanah, sama artinya dengan petani miskin yang tidak akan
mampu untuk menciptakan tabungan. Padahal tabungan pertanian diperlukan oleh
setiap pemerintaha, guna mendanai pembangunan pertanian maupun
pengembangan sector-sektorlainnya.
3. tanpa peningkatan ekonomi petani, maka pajak pertanian akan tetapminim.
4. tanpa landreform, maka tidak akan terjadi diferensiasi yang meluas dari
pembagian kerja dipedesaan yang tumbuh karena kebutuhan pedesaan itu sendiri.
5. tanpa landreform, tidak akan terjadi investasi di dalam pertanian oleh petani
sendiri. Malahan terjadi disinvestasi karena lama kelamaan banyak petani miskin

Politik Agraria | 136


kehilangan tanah dan kemiskinanmeluas.
6. tanah akhirnya hanya menjadi obyek spekulasi, karena tidak mampu digunakan
secara produktif oleh kaum taninya melainkan dijarah oleh kelas-kelas di kota
bagi kepentingan spekulasi dan investasi non-produktif. (Setiawan, Bonnie,
1997:34).
Jadi sebagaimana disinggung di atas dengan mencermati akibat dari tidak
diberlakukannya program landre form maka disadari bahwa program landre form
masih diperlukan dalam rangka menyelenggarakan pembangunan khususnya untuk
memperbaiki tingkat hidup para petani.228
Hambatan utama dari pelaksanaan landreform adalah pola kebijakan politik
pemerintah sekarang yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi serta masih adanya
pandangan dikalangan birokrat sendiri bahwa landreform merupakan program yang
“tabu” untuk dibicarakan apalagi untuk dilaksanakan karena dianggap merupakan
produk komunis, konsep “tanah untuk petani” dianggap sebagai konsep komunis.
Bila kita membandingkan program landreform yang dilaksanakan di Negara-negara
yang berbasis komunis seperti Uni Sovyet (sekarang telah runtuh) sangat berbeda
dengan program landreform yang dilaksanakan di Indonesia atau beberapa Negara
asia lain seperti Jepang, dimana bila di Jepang dan Indonesia kepada bekas pemilik
tanah diberikan ganti kerugian maka di Uni Sovyet tanah disita tanpa pemberian
ganti kerugian. Kemudian kalau di Jepang dan Indonesia tanah-tanah yang diambil
oleh pemerintah diredistribusikan kepada para petani penggarap dengan hak milik
dengan memungut uang pemasukan, maka di Uni Sovyet tanah tidak
diredistribusikan kepada para petani penggarap dengan hak milik, tetapidiusahakan
secara kolektif atau sebagai perusahaanNegara.
Jadi landreform merupakan suatu program kebijakan politik pertanahan yang
perlu segera dituntaskan dalam pelaksanaannya, guna mengantisipasi kecenderungan
munculnya ketimpangan dalam pemilikan tanah. Yang perlu dilakukan adalah
perlunya penyesuaian ketentuan-ketentuan landreform dengan keadaan sekarang.
Sebab jumlah dan kebutuhan penduduk serta perkembangan teknologi, transportasi
dan ekonomi sosial sudah berbeda dengan keadaan pada tahun 1960-an. Luas
maksimum penguasaan tanah non-pertanian yang dimaksudkan oleh pasal 17 dan
UU No.56 Prp 1960 penetapannya diserahkan kepada pemerintah, kiranya sudah
sewaktunya mendapat perhatian danpengaturan.
Pasal 1 ayat 1 “seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah, air dari
seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa indonesia”. 229 Dalam
konsederan (sub b) bahwa hukumagraria yang lama tersusun berdasarkan tujuan dan
sendi-sendi dari pemerintahan jajahan. Untuk sebagian besar politik hukum agrarian
waktu itu terdorong oleh penguasa waktu itu. Oleh karena itu sisem hukum agraria
yang diwirisi adalah bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara. Oleh
karena itu hukum agraria itu tidak sesuai dengan kepentingan nasional, maka perlu
diadakan hukum agrarian nasional. 230
Dalam pasal 1 ayat 1 UUPA,dinyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia
adalah kesatuan tanah air dari seluruhakyat yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Dalam pasal ini dikemukakan bahwa wilayah RI harus dilihat sebagai kesatuan tanah
air. Sebagai keseuruhan maka wilayah ini adalah kekayaan nasional daripada seluruh
bangsa Indonesia. Sedangkan pasal 1 ayat 2 “ seluruh bumi,air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah RI, sebagai
228
Iman Soetiknjo,1985,PolitikAgraria Nasional, GajahMada University Press, Yogyakarta
229
Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar.,(Yogyakarta: Liberty, 1981), halaman 6.
230
Bachsan Mustafa, SH. “Hukum Agraria dalam Perspektif”. Bandung: 1988. Remadja Karya. Hal:9.

Politik Agraria | 137


karunia Tuhan adalah bumi, air, dan ruang angkasabangsa Indonesia, dan merupakan
kekayaan nasional”. UUPA pasal 1 ayat 2 ini juga diletakkan dasar kenasionalan
daripada UUPA, bumi, air, dan ruang angkasa di dalam wilayah RI yang mereka
perjuangkan oleh bangsa Indonesia. Sebagai bangsa Indonesia keseluruhan, menjadi
hak pula dari bangsa Indonesia.
Tujuan diundangkan UUPA sebagai tujuan hukum agraria nasional dimuat
dalam penjelasan umum UUPA ,yaitu :
1. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan. Dalam rangka mengadakan kesatuan hukum tersebut sudah
semestinya sistem hukum yang akan diberikan harus sesuai dengan kesadaran
hukum masyarakat.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk memeberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya. Upaya untuk mewujudkan tujuan ini adalah dengan
membuat peraturan perundang-undang yang diperintahkan oleh UUPA yang sesuai
dengan asas dan jiwa UUPA. Selain itu demngan melakukan pendaftaran tanah atas
bidang-bidang tanah yang ada diwilayah indonesia yang bersifat tanah yang
bertujuan memberiakn jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah.
3. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional,yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagian, dan keadialn bagi
negara dan rakyat, terytama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur.
Dasar kenasionalan hukum agraria yang telah dirumuskan dalam UUPA,adalah:
1. Wilayah indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya merupakan satu kesatuan tanah air dari rakyat
indonesia yang bersatu sebagai bangsa indonesia (pasal 1 UUPA).
2. Bumi air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
merupakan karunia tuhan yang maha esa kepada bangsa indonesia dan merupakan
kekayaan nasional. Untuk itu kekayaan tersebut harus dipelihara dan digunakan
untuksebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal1,2,14, dan 15 UUPA).
3. Hubungan antara bangsa indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnyabersifat abadi, sehingga tidak dapat diputuskan
oleh siapa pun (pasal 1 UUPA).
4. Hak ulayat sebagi hak masyarakat huykum adat diakui keberadaanya. Pengakutan
tersebut disertai syarat bahwa hak ulayat tersebut masih ada, tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-uandangan yang lebih
tinggi (pasal 3 UUPA).
5. Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah warga negara
indonesia tanpa dibedakan asli dan tidak asli. Badan hukum pada perinsipnya tidak
mempunyai hubungan sepenuhnya alam yang terkandung didalamnya (pasal 9,
21,dan 49 UUPA)
6. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat indonesia diberi
wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran, rakyat (pasal 2
UUPA).
7. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal
yang dimaksud pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam

Politik Agraria | 138


yang terkandung di dalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
8. Dalam pasal 2 ayat (1), ini ditentukan hubungan daripada negara dan bumi, air
serta ruang angkasa. Hubungan ini merupakan salah satu segi dari pada dasar
kenasionalan.
9. Yang dijadikan dasar dari pada ketentuan dalam ayat ini ialah pasal 33 ayat (3)
UUD 1945. Pasal ini yang menjadi dasar dan landasan yang berkenaan agraria:
“bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat:.
10. Kekuasaan dari pada negara atas bumi, air dan ruang angkasa ini harus dilihat
sebagai wewenang yang berada pada negara untuk mengadakan peraturan-
peraturan, dan tindakan-tindakan dibidang agraria.
11. “Dikuasai” dalam ayat ini tidak berarti memiliki, ini jelas seperti ditentukan dalam
pasal 2 ayat (2) sebagai berikut
a. “Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pada pasal ini memberi
wewenang untuk :231
b. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
bumi, air dan ruang angkasa.
d. Menentuakan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Hak menguasai dari pada negara “Wewenang yang bersumber pada hak
menguasai dari Negara tersebut ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-
besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan
dalam arti masyarakat dan negara hukum indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan
makmur”.232
Kekuasaan yang diberikan kepada Negara untuk mengatur segala soal-soal yang
berkenan dengan agraria harus dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan yang luhur
ini. “Negara Republik Indonesia yang makmur, bahagia, sejahtera”
Pemerintah pusat sebagai wakil Negara Republik Indonesia tidak perlu
selamanya menyelenggarakan hak menguasai yang dimaksud dalam pasa 2 ini sendiri.
“Delegasi Kekuasaan” dapat dilakukan pada badan-badan pemerintahan rendah.
Kepada daerah-daerah Swatantra dapat dilakukan pelaksanaan sesuatu ini. Juga
masyarakat-masyarakat adat dapat diserahkan kekuasaan ini oleh pemerintah
pusat.Pasal 4 ayat (1)
“Atas dasar hak mengusai darin Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
titentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang dimaksud tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang lain serta badan-badan
umum”.
Berdasarkan hak menguasai ini maka menurut apa yang ditentukan dalam pasal
2, negara dapat mengatur adanya bermacam-macam hak atas tanah. Hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial Pasal 6 UUPA: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial”
Dalam penjelasan umum (4) dasar keempat diletakkan dalam pasal 6, yaitu
bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Ini berarti, bahwa hak atas
tanah apapun yang ada pada seseoang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu
akan dipergunakan (atau tidak dapat dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal-hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
231
John Salindeho.” “Masalah Tanah dalam pembangunan”. Jakarta : 1993. Sinar Grafika Hal: 67
232
Ibid, Hal: 67

Politik Agraria | 139


Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya,
hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya
maupun bermanfaat baik bagi masyarakat dan negara. Berhubungan dengan fungsi
sosialnya, maka adalah sesuatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara
baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban
memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya
yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum
atau instasi yang mempunyai suatu hubungan dengan tanah itu (pasal 15). Dalam
melaksanakan ketentuan ini akan memperhatikan pihak yang ekonomi lemah.233
Pasal 15 UUPA:
“Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap orang, badan hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang
ekonomi lemah”
12. Hanya WNI dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan
ruang angkasa, tidak membedakan laki-laki dan perempuan.
Pasal 9 ayat (1) “Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan
yang sepenuhnya dengan buni, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan
pasal 1 dan 2”.
Pasal 9 ayat (2) “Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik lki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta
untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya”.
Dalam pasal 9 ayat (1) ini dikemukakan dasar kenasionalan dengan menentukan
bahwa hanya WNI saja yang dapat mempunyai hubungan hukum mempunyai hak-hak
penuh ini.Pasal 9 ayat (2) tidak mengadakan perbedaan sesama warga negara untuk
memperoleh hak-hak atas tanah, tidak ada pembedaan laki-laki atau wanita. Hal ini
menunjukkan bahwa perundang-undangan di Indonesia menerima adanya
persamarataan dan persamaan penghargaan antara laki-laki dan wanita. Kedua-
duannya mempunyai hak yang sama atas tanah.234
13. Hak atas tanah menurut UUPA
Pasal 16 ayat (1) “Hak atas tanah sebagai dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah:
a. Hak milik
b. Hak guna usaha
c. Hak guna bangunan
d. Hak pakai
e. Sewa
f. Hak membuka tanah
g. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai
yang disebutkan dalam pasal 53”.
Pasal 53 ayat (1) UUPA “Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang
dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) huruf h. ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang
bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya
di dalam waktu yang singkat”.
Pasal 16 ayat (2) UUPA “ Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai dimaksud
pasal 4 ayat (3) ialah:
a. Hak guna air
233
Soetomo, SH, politik dan administrasi Agraria, Malang: 1986, Usaha Nasional Surabaya Hal 40
234
John Salindeho.” “Masalah Tanah dalam pembangunan”. Jakarta : 1993. Sinar Grafika Hal: 70

Politik Agraria | 140


b. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan
c. Hak guna ruang angkasa.
14. Pencabutan Hak atas Tanah
Pasal 18 UUPA.“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,
dengan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-
undang”. Menurut pasal 18 ini, syarat pencabutan hak atas tanah ialah:
a. Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat.
b. Ganti kerugian yang layak.
c. Menurut cara yang diatur dengan undang-undang.

Politik Agraria | 141


RINGKASAN

Latar Belakang Hukum Agraria


Hukum agraria didalamnya memuat berbagai macam hak penguasaan atas
tanah. Beberapa hal penting yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) adalah penetapan tentang jenjang kepemilikan hak atas penguasaan tanah dan
serangkaian wewenang, larangan, dan kewajiban bagi pemegang hak untuk
memanfaatkan dan menggunakan tanah yang telah dimilikinya tersebut.
Sebutan agraria tidak selalu dipakai dalam arti yang sama. Dalam bahasa latin
ager berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan,
pertanian, Menurut kamus besar bahasa Indonesia, agraria berarti urusan pertanian
atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Maka sebutan agrarian atau dalam
bahasa Inggris agraria selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan uasaha
pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk
kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian
tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Hukum ini brakar dari perekonomian subsistensi serta kebijakan paternalistik. Hampir
dimanapunhukumini telah gagal melangkah dengn cita cita modernisasi. Sistem
tradisional dari kepemilikan tanah mungkin tidak cocok dengan penggunaan tanah
yang efisien.

Hak-hak perseorangan atas sebagian tanah tersebut baik langsung maupun tidak
langsung adalah bersumber dari padanya. Dalam Pasal 3 UUPA No. 5 Tahun 1960
dinyatakan dengan tegas bahwa hak ulayat masih berlaku sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan harus disesuaikan dengan kepentingan nasional,
kepentingan negara, persatuan bangsa, dan tidak bertentangan dengan undang-undang
yang lebih tinggi. Dengan demikian, hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu
masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada yang
dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari, pelaksanaan hak ulayat dibatasi sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. hukum agraria nasional yang meliputi
kesatuan hukum di bidang agraria yang bersifat nasional, hukum adat yang menjadi
hukum dasar nasional dalam penetuan undang-undang pokok agraria. Yang di
dalamnya mengatur tentang berbagai macam hal atau aspek tentang hak-hak yang ada
dalam undang-undang tersebut, beserta dengan contoh dan realitas yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat luas. Ruang lingkup dari hukum agraria itu
sendiri mencakup dari aspek hak atas tanah , hak kepemilikan tanah, hak bangunan,
hak guna air yang sesuai pasal 47 UUPA dan hak guna ruang angkasa yang sesuai
dengan pasal 48 UUPA.

Sejarah Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Sebelum diterbitkannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) No. 5


Tahun 1960, yang membuka hak atas tanah yaitu terdapat pada pasal 51 ayat 7 IS,
pada Stb 1872 No. 117 tentang Agraris Eigendom Recht yaitu memberi hak
eigendem (hak milik) pada orang Indonesia. Hal tersebut juga disamakan dengan
hak eigendom yang terdapat pada buku II BW, tetapi hak tersebut diberikan
bukan untuk orang Indonesia. Maka dengan adanya dualisme aturan yang

Politik Agraria | 142


mengatur tentang hak-hak tanah untuk menyeragamkan-nya pada tanggal 24
september 1960 diterbitkan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
pada lembar Negara No. 104/1960.

Dasar kenasionalan hukum agraria yang telah dirumuskan dalam UUPA,


adalah:
1. Wilayah indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya merupakan satu kesatuan tanah air dari
rakyat indonesia yang bersatu sebagai bangsa indonesia (pasal 1 UUPA).
2. Bumi air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
merupakan karunia tuhan yang maha esa kepada bangsa indonesia dan
merupakan kekayaan nasional. Untuk itu kekayaan tersebut harus dipelihara
dan digunakan untuksebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal1,2,14, dan 15
UUPA).
3. Hubungan antara bangsa indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnyabersifat abadi, sehingga tidak
dapat diputuskan oleh siapa pun (pasal 1 UUPA).
4. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat indonesia diberi
wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran, rakyat
(pasal 2 UUPA).
5. Hak ulayat sebagi hak masyarakat hukum adat diakui keberadaanya.
Pengakutan tersebut disertai syarat bahwa hak ulayat tersebut masih ada,
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-
uandangan yang lebih tinggi (pasal 3 UUPA).
6. Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah warga
negara indonesia tanpa dibedakan asli dan tidak asli. Badan hukum pada
perinsipnya tidak mempunyai hubungan sepenuhnya alam yang terkandung
didalamnya (pasal 9, 21,dan 49 UUPA)
7. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.
Hukum dan kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah senatiasa
diorentasikan pada kepentingan dan keuntungan mereka penjajah, yang pada
awalnya melalui politik dagang. Mereka sebagai penguasa sekaligus
merangkap sebagai pengusaha menciptakan kepentingan-kepentingan atas
segala sumber-sumber kehidupan di bumi Indonesia yang menguntungkan
mereka sendiri sesuai dengan tujuan mereka dengan mengorbankan banyak
kepentingan rakyat Indonesia.235 Hukum agraria kolonial memiki sifat
dualisme hukum, yaitu dengan berlakunya Hukum Agraria yang berdasarkan
atas hukum adat, disamping peraturan-peraturan dari dan berdasarkan atas
hukum barat.
Setelah Merdeka, Indonesia telah menentukan suatu kebijakan terhadap
penguasaan tanah di NKRI, yang tertuang dalam UUD 1945 pada pasal 33 dan yang
sangat berhubungan dengan masalah pertanahan terkhususkan lagi pada ayat (3) pasal
33 yag berbunyi “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pemerintah RI mengakui hak milik atas tanah setiap warga negaranya yang memang
mempunyai hak itu dan sepanjang hak tersebut diperolehnya tidak bertentangan
dengan huku yang berlaku.

235
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, PT Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2009, Hal 24.

Politik Agraria | 143


Dari segi yuridis, proklamasi kemerdekaan merupakan saat tidak
berlakunya hukum kolonial dan saat mulai berlakunya hukum nasional,
sedangkan dari segi politis, peroklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa
bangsa indonesia terbatas dari penjajahan bangsa asing dan memiliki kedaulatan
untuk menentukan nasibnya sendiri. Proklamasi kemerdekaan RI mempunyai 2
arti penting bagi penyusunan hukum agraria nasional, yaitu pertama, bangsa
indonesia memutuskan hubungannya dengan hukum agraria kolonial, dan kedua,
bangsa indonesia sekaligus menyusun hukum agraria nasional.
Tentang kebijakan pemerintah RI pada pasal 33 UUD 1945 sejak perebutan
kemerdekaan hingga pada saat mengisi kemerdekaan sampai tahun 1960 namun,
belum dapat dijabarkan karena sejak tanggal 17 agustus 1945-1949 indonesia di
hadapkan pertempuran melawan belanda yang hendak merebut kemerdekaan
Indonesia. Politik pertanahan setelah tahun1945 akibat keadaan Negara yang kacau
dapat dikatakan ada dalam kegoncangan karena disatu pihak Agrarische Wet 1870
masih terpaksa diberlakukan. pada tanggal 24 September 1960 UU nomor 5 th 1960
atau yang lebih dikenal dengan UUPA disahkan yang memuat tentang perturan dasar-
dasar pokok Agraria.

Pengertian Hukum Agraria Nasional

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, agraria berarti urusan pertanian atau
tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Maka sebutan agrarian atau dalam
bahasa Inggris agraria selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan uasaha
pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk
kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian
tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Pengertian Agraria meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya. Dalam pengertian yang disebutkan dalam pasal 48 UUPA bahkan
meliputi juga ruang angkasa, yaitu ruang diatas bumi dan air yang mengandung
tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.

Dalam UUPA, pengertian agraria menjadi lebih luas lagi dari pengertian dalam
teks bahasa Inggris. Pembuat undang-undang memasukan faktor sumber daya alam
dalam definisi agraria, menurut penulis hal tersebut dimaksudkan untuk membuat
landasan hukum terhadap kekayaan sumber daya alam Indonesia. Jadi bila ingin
memanfaatkannya kekayaan sumber daya alam tersebut, negara harus ikut berperan
dalam pengaturanya sesuai dengan jiwa Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Di
Indonesia sebutan agraria di lingkungan administrasi pemerintahan dipakai dalam arti
tanah, baik tanah pertanian maupun nonpertanian. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum
Agraria di lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan
perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam
melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut
merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara. tahun 1988 dibentuk Badan
Pertanahan Nasional dengan keputusan Presiden nomor 26 tahun 1988, yang sebagai

Politik Agraria | 144


Lembaga Pemerintah Non-Departemen bertugas membantu Presiden dalam mengelola
dan mengembangkan administrasi pertanahan.

Istilah agraria juga berasal dari kata akker (Bahasa belanda), agros (Bahasa
Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti perladangan,
persawahan, pertanian, agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.
Menurut Subekti dan R.Tjirtrosoediblo, agrarian adalah urusan tanah dan segala apa
yang ada di dalamnya dan di atasnya. Apa yang ada di dalam tanah misalnya batu,
kerikil, tambang, sedangkan yang ada di atas tanah bisa berupa tanaman, bangunan.
Biarpun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam
konsiderans, pasal-pasal dan penjelasannya, dapatlah disimpulkan bahwa pengertian
agraria dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat luas.
Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam pasal 48, bahkan meliputi
juga ruang angkasa. Yaitu ruang diatas bumi dan air yang mengandung: tenaga dan
unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu. Pengertian bumi
meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah) tubuh bumi dibawahnya serta yang
berada di bawah air (pasal 1 ayat 4). Dengan demikian, pengertian “tanah” meliputi
permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air,
termasuk air laut. Pengertian air meliputi baik perairan pedalaman maupun laut
wilayah Indonesia (pasal 1 ayat 5). Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974
tentang pengairan (LN 1974-65) pengertian air tidak dipakai dalam arti yang seluas
itu. Pengertiannya meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-
sumber air baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah. Tetapi tidak
meliputi air yang terdapat di laut (Pasal 1 angka 3). Kekayaan alam yang terkandung
di dalam bumi disebut bahan-bahan galian, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral,
biji-biji dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan
endapan-endapan alam (Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-
ketentuan pokok pertambangan. LN 1967-227, TLN 2831). Kekayaan alam yang
terkandung di dalam air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang berada di
dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia. (Undang0undang Nomor 9
Tahun 1985 tentang perikanan).

Pengertian Hukum Agraria Dalam UUPA

UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yiatu pertama, tidak
memberlakukan lagi atau mencabut hukum agrarian colonial, yang kedua,
membangun hukum agrarian nasional.Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya
UUPA Maka terjadi lah perubahan yang fundamental padahukum agrarian di
Idnonesia.Terutama hukum di bidang pertahanan, perubahan yang fundamental ini
mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari maupun isisnya.
Dengan pemakaian sebuah agraria dalam arti yang demikian luasnya, maka dalam
pengertian UUPA Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang
hukum. Kukum Agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang

Politik Agraria | 145


masih-masih mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu
yang termasuk pengertian agrarian

A. Faktor-Faktor Penting Dalam Pembangunan Hukum Agraria Nasional


faktor-fakror yang harus diperhatikan dalam pembangunanhukum agraria
nasional, adalah faktor formal, faktor materil,faktor ideal, faktor agraria modern, dan
faktor ideologi politik
Faktor formal
Keadaan hukum agraria diindonesia sebelum diundangkannya UUPA
merupakan keadaan peralihan, keadaan sementara waktu oleh karena peraturan-
peraturan yang sekarang berlaku ini berdasarkan pada peraturan-perturan peralihannn
yang terdapat dalan pasal 142 undang-undang dasar sementaraa (UUDS) 1950, pasal
192 konstitusi Republik indonesia serikat (KRIS) dan pasal 2 aturan peralihan UUD
1945 , yang semuanya itu bersama-sama menentukan dalam garis besarnya bahwa
peraturan-peraturan hkum yang berlaku pada zaman hindia belanda memegang
kekuasaan, masih berlaku untuk sementara.
Faktor material
Hukum agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum. Dualisme hukum ini
dapat meliputi hukum, subjek maupun objek. Menurut hukumnya, yaitu disuatu pihak
berlaku hukum agraria barat yang diatur dalam KUH perdata maupun agrarische wet,
di pihak lain berlaku hukum agraria adat yang diatur dalam hukum adat tentang tanah
masing – masing. Menurt subjeknya, hukum agraria barat berlaku bagi orang – orang
yang tunduk pada hukum barat, dipihak lain hukum agraria adat berlaku bagi orang –
orang yang tunduk pada hukum adat. Menurut objeknya, di satu pihak ada hak-hak
atas tanah yang diperuntukan bagi orang-orang yang tunduk hukum barat, di pihak
lain ada hak-hak ats tanah yang diperuntukkan bagi orang – orang yang tunduk pada
hukum adat. Adanya sifat dualisme hukum ini membawa konsekuensi, baik dari
sistem hukum maupun segi hak dan kewajiban bagi subjek hukumnya. Sifat dualisme
hukum ini menimbulkan persoalan dan kesulitan yang tidak dapat dibiarkan terus-
menerus.
Faktor ideal
Dari faktor ideal (tujuh negara),sudah tentu tujuan hukum agraria tidak cocok
dengan tujuan negara indonesia yang tercantum dalam alinea IV pembukaan UUD
dan tujuan penguasaan bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya ,
seperti yang tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Faktor agraria modern
Faktor-faktor agraria modern terletak dalam lapangan – lapangan:
a. Lapangan sosial
b. Lapangan ekonomi
c. Lapangan etika.
d. Lapangan idiil fundamental
Faktor-faktor diatas yang mendorong agar dibuat hukum agraria nasional.

Politik Agraria | 146


Faktor ideologi politik
Indonesia sebagi bangsa dan negara mempunyai keterkaitan hidup dengan
negara-negara lain. Indonesia tidak dapat mempunyai kedudukan tersendiri terlepas
dari keadaan dan hubungan dengan negara-negara lain. Dalam menyusun hukum
agraria nasional boleh mengadopsi hukum agraria lain sepanjang tidak bertentangan
dengan pancasila dan UUD 1945. UUD 1945 dijadikan faktor dasar dalam
pembangunan hukum agraria nasional.

Sumber Hukum Agrraia Nasional

Hukum agraria menurut Bachsan Mustofa adalah kaidah hukum yang tertulis
adalah hukum agraria dalam bentuk hukum undang-undang dan peraturan-peraturan
yang tertulis lainnya yang dibuat oleh negara. Sedangkan kaidah hukum yang tidak
tertulis adalah hukum agraria dalam bentuk hukum adat agraria yang dibuat oleh
masyarakat adat setempat dan yang pertumbuhan, perkembangan serta berlakunya
dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.236
Sumber hukum agraria dibagi menjadi 2 yakni hukum tertulis dan tidak tertulis.
Hukum Tertulis :
Ketentuan-ketentuan hukum tanah yang tertulis bersumber pada UUPA dan
peraturan pelaksanaannya yang secara khusus berkaitan dengan tanah sebagai sumber
hukum utamanya.
UUD 1945 Khusnya Pasal 33 Ayat 3
Perihal “dipergunakan” sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Oleh sebab itu. A.P.
perlindungan237berkomentar bahwa, sungguhpun dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3)
tidak mencantumkan dengan tegas kata-kata lain fungsi sosial , namun harus
ditafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak milik itu tidak boleh di biarkan merugikan
kepentingan masyarakat.
Menurut Notonagro “hak milik adalah fungsi sosial, akan tetapi dalam arti
bahwa itu bukannya menghilangkan sifat diri, melainkan di dalam hak miik tersendiri
sifar diri. Dan disamping itu mempunyai sifat kolektif. Jadi sebenarnya perumusan
yang cocok dengan maksud itu, hubungan dengan kekuasaan manusia terhadap tanah
mempunyai sifat perseorangan dan mempunyai sifat sosial. Jelas bahwa antara konsep
Individualitas dan Kolektivitas terlindungi tanah harus equilibirum atau bercorak dwi
tunggal.
Berbagai Undang-Undang pokok meliputi :
a. UUPA nmer 5 tahun 1940
b. UUP pertambangan (UU nomer 11 1967)
c. UU pertambangan minyak undang-undang bumi nomer 44 tahun 1960
d. UUP kehutanan nmer 5 tahun 1967
Peraturan pelaksanaaan dari Undang-undang pokok tadi serta peraturan lainnya
yang bukan peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan kareana suatu masalah. Misalnya

Sigit Sapto Nugroho, Hukum Agraria Indonesia, (Solo: Kafilah Publishing; 2017), hlm 12
236

Darwin Ginting Paradigma, Kebijakan Pembangunan Baru Hukum Agrari Nasional Dosen Sekolah Tinggi
237

Hukum Bandung

Politik Agraria | 147


UU nomer 51 tahun 1961 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak
atau kuasanya.
Peraturan praturan lain yang untuk sementara tetap berlaku berdasarkan
ketentuan peralihan pasal 58 UUPA
Hukum Tidak Tertulis :
Ketentuan-ketentuan hukum tanah yang tidak tertulis bersumber pada Hukum
Adat tentang tanah dan yurisprudensi tentang tanah sebagai sumber hukum
pelengkapnya.
1. Hukum adat yang sudah disempurnakan dengan pasal 5 UUPA
2. Hukum kebiasaan baru termasuk yuris prudensi dan praktek administrasi agrarian.
Hukum tanah adat.
Semula hukum tanah adat di Indonesia hanya ditemukan hanya berdarkan
simbol-simbol. Menurut pandangan Kamppayne untuk memahami hukum adat
Indonesia, orang harus menempatkan diri dalam lingkupan Indonesia, harus melihat
hukum rakyat sebagai satu kestuan dan tidak boleh memisahkan jawa dari daerah-
daerah Jawa. Sementara itu hukum adat mencrminkan kultur tradisional dan aspirasi
mayoritas rakyatnya.
hukum tanah adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang
hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tdak
mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis. Adapun tanah adat
terdiri dari 2 jenis yaitu :
Hukum tanah adat masa lampau
Hak memilik dan menguasai sebidang tanah pada zaman penjajah belanda dan
jepang. Serta pada zaman inonesia pada tahun 1945, tanpa mempunyai bukti otentik
tertulis. Jadi hanya pengakuan, adapun cirri-ciri hukum adat masa lampau sebagai
berikut : cirri-ciri tanah adat masa lampau adalah tanah-tanah yang dmiliki dan
dikusai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan
menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah
sesuai dengan daerah,suku dan budaya hukumnya. Kemudian secara turun temurun
masih dalam daerah tersebut. Dan atau mempumyai tanda-tanda fisik berupa tanah,
sawah dan hutang, dan simbol-simbol berupa makamm,patung, rumah rumah adat dan
bahasa daearah yang ada di Indonesia.
Hukum tanah adat masa kini.
Hukum tanah adat masa kini adalah hak memiliki dan mengasai dan sebidang
tanah pada zaman sesudah merdeka 1945 sampai sekarang. Dengan bukti otentik yang
berupa girik, petuk pajak, pipil, hak agrariche eigedom milikyasan, hak atas druwey,
pesini, grentsultan, hak usaha atas tanah bekas partikelir, fatwa ahli waris, akta
peralihan hak, dan surat dibawah tangan, bahkan ada yang memperoleh surat pajak
hasil bumi, dan hak-hak lainnya sesuai dengan derah berlakunya hukum adat terebut.
Adapun cirri-ciri tanah hukum adat masa kini adalah tanah yang dimiliki
seseorang atau sekelompok masyarakat adat dan masyarakat didaerah pedesaan
maupun dikawasan perkotaan, sesuai dengan daerah, suku, dan budaya hukunya
kemudian secara turun temurun telah berpindah tangan kepada orang lain, dan
mempunyai bukti kepemilikan serta secara fisik dimiliki atau dikuasai sendiri dan
dikuasai orang atau badan hukum.

Politik Agraria | 148


Kesatuan Hukum Agraria

Hukum dan kebijakan Agraria merupakan alat untuk membawa kemakmuran,


kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat maupun masyarakat luas dalam
rangka masyarakat yang adil dan makmur, juga untuk meletakkan dasar-dasar untuk
mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam Hukum Pertanahan serta meletakkan
dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi
rakyat seluruhnya. Tujuan terbentuknya Undang-Undang pokok agraria yaitu:
I. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusun Hukum Agraria Nasional yang
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara
dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
II. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
Hukum Pertanahan.
III. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-
hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya
Jika hukum pertanahan difahami sebagai suatu sistem norma, maka setiap
peraturan perundang-undangan yang paling tinggi sampai pada peraturan yang rendah
(terkait dengan peraturan sistem pendaftaran tanah) harus merupakan suatu jalinan
sistem yang tidak boleh saling bertantangan satu sama lain. Proses pembentukan
norma-norma itu dimulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah disebut
sebagai proses konkretisasi.
Kebijkan hukum pertanahan adalah bagian dari kebijakan-kebijkan negara,
sebagai sistem norma kebijkan hukum pertanahan tidak hanya dipergunakan untuk
mengatur dan mempertahankan pola tingkah laku yang sudah ada, melainkan lebih
sekedar itu. Hukum pertanahan seharusnya juga diperlakukan sebagai sarana pengarah
dalam merealisasikan kebijakan negara dalam bidang sosial, budaya, ekonomi,
kebijkan, pertanahan dan keamanan nasional. Reaktualisasi nilai-nilai pancasila dalam
reforma sangat diperlukan. Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat harus dapat
terintregasi dalam pembentukan atau pembangunan hukum. Kebijakan hukum
pertanahan yang diterapkan ditengah-tengah masyrakat harus lebih menjiwai dan
dijiwai oleh masyrakat itu sendiri, sehingga hukum bukanlah sesuatu yang asing
ditengah-tengah masyrakat

Sifat Nasional Formal Dan Sifat Nasional Material

Dalam Penjelasan Umum ini ditegaskan bahwa Bumi, air dan ruang angkasa
dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa
sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata
menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah
dan pulau-pulau, tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari pulau-pulau,
tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang
bersangkutan. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan
bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan Hak Ulayat,
yang diangkat pada tingkatan paling atas, yaitu tingkatan mengenai seluruh wilayah
Negara. Pernyataan tersebut berarti bahwa dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional,
hak bangsa merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Sehingga hak-hak

Politik Agraria | 149


penguasaan tanah yang lain (hak ulayat hak-hak individu) secara langsung ataupun
tidak bersumber pada Hak Bangsa.
UUPA itu mempunyai sifat nasional formal dan sifat nasional material.
Sifat Nasional Formal
Sifat formal dari UUPA kita dapati dalam konsederan UUPA kita dapati dalam
konsederan Undang-undang itu mana didalamnya telah menyebutkan terdapat
keburukan-keburukan dan kekurangan-kekurangan didalam hukum Agraria yang
berlkau di Indonesia sebelumnya. Keburukan-keburukan itu antara lain dinyatakan
bahwa hukum Agraria kolonil itu memiliki sifat dualism dan tidak menjamin
kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tanah yang baru itu bersifat
nasional, baik mengenai segi formal maupun material nya. Hukum tanah bersifat
formal meliputi:
1.Hukum tanah nasional harus dibuat oleh pembentuk Undang-undang
2. Dibuat di Indonesia
3. Disusun dalam Bahasa Indonesia
4. Berlaku diseluruh Bahasa Indonesia
5. Meliputi semuatanah yang ada di wilayah negara Indonesia

Sifat Nasional Material


Mengenai sifat nasional materialnya, bahwa hukum agraria nasional Indonesia, dalam
konsideran undang-undang pokok agraria menyatakan bahwa.
a. Hukum agraria nasional harus berdasarkan hukum adat.
b. Hukum agraria nasonal harus sederhana.
c. Hukum agraria nasional harus menjamin kepaastian hukum bagi seluruh rakyaat
Indonesia.
d. Fungsi daripada bumi air kekayaan alam serta ruang angkasa harus sesuai dengan
kepentingan rakyat Indonesia.
e. Hukum Agraria NASIONAL HARUS MEWUJUDKAN PENJELASAN daripada
pancasila sebagai asas kehoranian bangsa Indonesia.
f. Hukum Agraria Nasional harus melaksanakan ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD
1945, yaitu mewajibkan bahwa Negara harus mengatur mengenai pemilikan,
penggunaan, peruntukan tanah sehigga dapat dicapai penggunaan tanah untuk
kemakmuran rakyat.
Penegasan dasar-dasar kenasionalan ini dipandang cukup penting untuk
menegaskan sudah lahirnya baru dalam pengaturan masalah keagrariaan. Hal ini
sekaligus untuk menegaskan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan Bumi, Air, Ruang
Angkasa dan Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi hak Negara,
bangsa dan manusia Indonesia.

Undang-Undang Maupun Peraturan Yang Dicabut

Diktum pertama dari UUPA berupa pencabutan peraturan hukum agraria lama,
karena peraturan-peraturan ini dianggap tidak sesuai dengan alam bangsa Indonesia
yang sudah merdeka dan berdaulat sehingga banyak menimbulkan berbagai persoalan.
Adapun undang-undang maupun peraturan-peraturan yang dicabut pada waktu
menetapkan UUPA ditegaskan dalam dictum UUPA, yaitu:
I. Agrarische Wet Stb. 1870 Nomor 55

Politik Agraria | 150


Sebagai yang termuat dalam Pasal 51 I.S. Stb 1925 Nomor 447. Peraturan ini
merupakan basis hukum agraria di zaman kolonial, yang telah banyak menimbulkan
persoalan dalam hukum agraria di Indonesia sebelum UUPA.Pada tahun 1870 lahir
lah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari hukum agrarian dan semua
peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai permulaan
hukum agrarian barat. Ide awal dikelularannya Agrarische Wet (AW) ini adalah
sebagai respon terhadap keinginan perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam
bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat atas
tanahnya harus dijamin.
II. Peraturan-peraturan tentang Domein Veklaring yaitu suatu sistem yang bertalian
erat dengan kepentingan penjajah untuk menguasai tanah di Indonesia, yang dalam
pelaksanannya telah banyak menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik.
Peraturan-peraturan ini baik yang bersifat umum maupun khusus.
III. Koninklijk Besluit (keputusan Raja) tanggal 16 April 1872 Stb. 1872 Nomor 117
dan peraturan pelaksanaannya.
IV. Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) Indonesia sepanjang
mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku paada mulai berlakunya
UUPA
Hukum Adat Yang Menjadi Dasar Hukum Nasional

Harus di ingat bahawa peraturan hukum adat itu berlaku bagi suatu masyarakat
yang sederhana. Maka apa yang di ambl dari hukum adat perlu dimodernisasi. Yang
tidak sesuai dengan perkembangan zaman di tinggalkan. Yang tidak ada (kurang) di
ambilkan dari luar hukum adat, asal merupakan penambahan kekayaan nasinal dan
tidak bertentangan dengan konsepsi dan asas hukum adat, dan harus sesuai pancasila.
Jadi UUPA merupakan unifikasi hukum tanah berdasarkan hukum adat yang
disempurnakan.
Hukum adat tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia. Maka
hukum adat dapat dilacak secara kronologis sejak Indonesia terdiri dari kerajaan-
kerajaan, yang tersebar di seluruh nusantara. Realitas sosial budaya dikonstruksi oleh
pujangga yang satu dikonstruksi oleh pujaga yang lain, serta dikonstruksi kembali
pujangga berikutnya.238 Masa Sriwijaya, Mataran Muno, Masa Majapahit beberapa
inskripsi (prasasti) menggambarkan perkembangan hukum yang berlaku (hukum asli),
yang telah mengatur beberapa bidang, antara lain :
1. Aturan aturan keagamaan, perekonomian dan pertambangan, dimuat dalam Prasasti
Raja Sanjaya tahun 732 di Kedu, Jawa Tengah;
2. Mengatur keagamaan dan kekaryaan, dimuat dalam prasasti Raja Dewasimha
tahun 760;
3. Hukum Pertanahan dan Pertanian ditemukan dalam Prasasti Raja Tulodong, di
Kediri., 784 dan prasasti tahun 919 yang memuat jabatan pemerintahan, hak raja
atas tanah, dan ganti rugi;
4. Hukum mengatur tentang peradilan perdata, dimuat dalam prasasti Bulai Rakai
Garung, 860.

238
Dominikus Rato., Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat di Indonesia) , Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, 2011, hal 110.

Politik Agraria | 151


5. Perintah Raja untuk menyusus aturan adat, dalam prasasti Darmawangsa tahun
991;
6. Pada masa Airlangga, adanya penetapan lambang meterai kerajaan berupa kepala
burung Garuda, pembangunan perdikan dengan hak-hak istimewanya, penetapan
pajak penghasilan yang harus dipungut pemerintah pusat;
7. Masa Majapahit, tampak dalam penataan pemerintahan dan ketatanegaraan
kerajaan Majapahit, adanya pembagian lembaga dan badan pemerintahan. Setelah
jatuhnya Majapahir, maka kerajaan Mataram sangat diwarnai oleh pengaruh Islam,
maka dikenal peradilan qisas, yang memberikan pertimbangan bagi Sultan untuk
memutus perkara.
Dalam rangka unifikasi hukum tersebut Hukum Adat dijadikan dasar
pembentukan Hukum Agraria Nasional. Di dalam UUPA terdapat beberapa
penyebutan Hukum Adat sebagai dasar Pembentukan Hukum Agraria Nasional, yaitu:
1. Konsideran dibawah perkataan “berpendapat” huruf a.
2. Penjelasan umum angka III (1).
3. Pasal 5 dan penjelasannya.
4. Penjelasan Pasal 16.
5. Pasal 56.
6. Pasal 58 (secara tidak langsung).

Dasar Kenasionalan UUPA

UUPA sebagai induk dari program landreform di Indonesia maka beberapa


pasal-pasal UUPA yang sangat berkaitan dengan landreform yaitu pasal 7, 10 dan 17.
Untuk mencegah hak-hak perseorangan yang melampaui batas diatur secara tegas
dalam pasal 7 yang berbunyi “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.
Ketentuan dalam pasal tersebut berhubungan dengan pasal-pasal lainnya seperti dalam
pasal 10 yang menentukan bahwa setiap orang yang mempunyai suatu hak atas tanah
pertanian pada asasnya wajib mengerjakan sendiri secara aktif. Oleh Sudargo
Gautama (1980:23) dikatakan bahwa ketentuan pasal 10 ini hendak menghalangi
terwujudnya tuan-tuan tanah yang tinggal di kota-kota besar, menunggu saja hasil
tanah-tanah yang diolah dan digarap oleh orang yang berada di bawah
perintah/kuasanya.
Selanjutnya dalam pasal 17 UUPA menunjuk kepada apa yang ditentukan dalam
pasal 7 dan 10, maka pasal 17 mengemukakan tentang batas-batas maksimum luasnya
tanah. Dengan adanya ketentuan ini dapat dihindarkan tertumpuknya tanah pada
golongan-golongan tertentu saja. Dasar hukum yang tercantum di sini sejalan pula
dengan tujuan landreform. Arman Makanu (2001:28) dikatakan bahwa pasal 17 UUPA
ini juga mencerminkan ciri-ciri khas serta kebijaksanaan dalam pelaksanaan
landreform di Indoensia yaitu pemberian/pembayaran ganti rugi oleh pemerintah
kepada bekas pemilik tanah kelebihan dan tanah absentee. Oleh Boedi Harsono
(1999:353) dikatakan bahwa tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia
adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani terutamapetani
kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk
menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur
berdasarkanPancasila.

Politik Agraria | 152


Dalam kerangka pencapaian tujuan keadilan sosial yang menjadi semangat dan
roh UUPA pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan hukum dibidang pertanahan,
antara lain UU No.56 Prp 1960 sebagai pelaksanaan pasal 17 UUPA, UU No.2/1960
tentang Bagi Hasil, Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1961 tentang Pendaftaran
Tanah, PP No.224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian
yang kesemuanya disiapkan untuk pelaksanaan programlandreform.Keberadaan
aturan-aturan tersebut tidak menjamin bahwa program landreform dapat dilaksanakan
secara maksimal, pergantian rejim pemerintahan tidak memperlancar program ini
bahkan macet dalam pelaksanaannya, sebab prinsip yang digunakan oleh pemerintah
yaitu tanah untuk sebesar-besarnya pertumbuhan ekonomi nasional. Aparatur militer
juga diposisikan untuk mendukung proses ini dengan dasar asumsi bahwa
pembangunan memerlukan stabilitas politik. Di sini konsep tanah berfungsi sosial
(pasal 6 UUPA) semakin jauh, fungsi sosial itu dimaknakan dan dijadikan dasar
legitimasi pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan industri.
Fenomena yang terjadi sekarang ini menunjukkan masih terjadinya penumpukan
tanah oleh pihak tertentu, padahal pasal 7 UUPA mengatur tentang larangan
menguasai tanah melampaui batas tertentu, sebab hal ini merugikan kepentingan
umum, karena berhubung dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya
didaerah yang berpenduduk padat. Kelangkaan tanah menyebabkan tanah memiliki
nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Dasar kenasionalan UUPA tampak di dalam konsideran maupun dalam pasal 1
UUPA. Konsideran UUPA Menimbang:
1. Bahwa di dalam NKRI yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomia,
terutama masih bercorak agrari, bumi, air, dan ruang angkasa, sebagai karunia
Tuhan YME mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat
yang adil dan makmur.
2. Bahwa hukum agrarian yang masih berlaku sekarang ini tersusun berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi
olehnya. Hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam
menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.
3. Bahwa hukum agrarian tersebut mempunyai sifat dualism, dengan berlakunya
hukum adat disamping hukum agrarian yang didasarkan atas hukum barat.
4. Bahwa bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian

Politik Agraria | 153


DAFTAR PUSTAKA

A. Hamid S. 1990. Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan


Negara (Disertasi), Jakarta, Fakultas Pascasarjana UI

Chomzah, Ali Achmad. 2004. HukumAgraria (Pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta :


Prestasi Pustaka

Darwin Ginting Paradigma, Kebijakan Pembangunan Baru Hukum Agrari Nasional Dosen
Sekolah Tinggi Hukum Bandung

Effendi Perangin. Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Praktisi Hukum.
Jakarta: Rajawali Pers

Handoko, Widhi. 2014. Kebijakan Hukum Pertanahan Sebuah Refleksi Keadilan Hukum
Progresif, Jogjakarta: Thafa Media

Harsono, Boedi 1999. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Djambatan

Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan

Hutagalung, Arie S. 2005. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta:
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia

Iman Soetiknjo,1985,PolitikAgraria Nasional, GajahMada University Press, Yogyakarta

Kalo, Syafruddin. 2006. Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah
Di Indonesia : Suatu Pemikiran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam
Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Kamus Besar Bahasa Indonesia .1994. Jakarta: Balai Pustaka

Kartasapoetra, G. dkk, 1991. Hukum Tanah UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tana,
Jakarta:, Jakarta: Rineka Cipta

Mudjiono, 1992, Hukum Agraria, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta

Mustafa, Bachsan. 1988S Hukum Agraria dalam Perspektif”. Bandung: Remadja Karya.

Politik Agraria | 154


Muzaqir, Akbar. 2012. HukumAgraria, University Pasundan Bandung Perangin, Efendi.
1991. Hukum Agrria di Indonesia (suatu telaah dari praktisi hukum), Jakarta:,
Rajawali

Lubis, Mhd yamin dan abd Rahim lubis, 2008. hukum pendaftaran tanah, Bandung: Mandar
Maju

Nugroho, Sigit Sapto. 2017. Hukum Agraria Indonesia, Solo: Kafilah Publishing

Notonagoro, 1984 Hukum dan Pembangunan Agrana di lndonesia, Jakarta: Aksara

Perangin, Efendi. 1991Hukum Agrria di Indonesia (suatu telaah dari praktisi hukum),
Jakarta: Rajawali

Rahardjo, Satjipto. 2003. Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta : Kompas

Rato, Dominikus, 2011. Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat di
Indonesia) , Yogyakarta: Laksbang Pressindo

Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, LN No.104 Tahun 1960 TLN No. 2043 , Pasal
48.

Salindeho. John. 1993 .“Masalah Tanah dalam pembangunan”. Jakarta : Sinar Grafika

Santoso, Urip. 2009. Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, PT Fajar Interpratama Offset,
Jakarta

Santoso, Urip. 2015 Hukum Agraria; Kajian Komprehensif. Jakarta: Prenadamedia Group

Soekanto, Soerjono. 1981. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Jakarta :
Kurniaesa Wignjodipoero, Soerojo, 1984. Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat.
Jakarta: Gunung Agung

Soetomo, 1986. Politik dan Administrasi Agraria, Malang: Usaha Nasional Surabaya

Soedjadi, 1999, Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia, Lukman Offset,
Yogyakarta

Politik Agraria | 155


Sumardjono, Maria SW. 1997. “kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam
pendaftaran tanah,” makalah, seminar nasional kebijakan baru pendaftaran tanah dan
pajak-pajak yang terkait: suatu proses sosialisasi dan tantangannya, Yogyakarta:
fakultas hukum Universitas Gajah Mada dan badan pertahanan nasional

Supriadi. 2015. Hukum Agraria, Jakarta:, Sinar Grafika

Tjirtrosoediblo, Subektidan R. 1983. KamusHukum, Jakarta : PradnyaParamita

Zainal, Ramli 1995.Hak Pengelolaan dalam system UUPA. Jakarta: PT Rineka Cipta

Politik Agraria | 156


Pendaftaran Tanah Menurut Hukum
Agraria Nasional dan Hak Atas
Tanah Menurut UUPA

Nama Kelompok :
Fuafatul Riza Nuriya (I71218049)
Evan Faros Salfata (I71218048)
Gilang Ramawardana (I71218050)

Politik Agraria | 157


BAB IV
Pendaftaran Tanah Menurut Hukum Agraria Nasional dan Hak Atas Tanah
Menurut UUPA
A. Latar Belakang
Kondisi kehidupan masyarakat terus berkembang sesuai dengan dinamika
pembangunan dan tuntutan zaman. Akibatnya, aktifitas kehidupan masyarakat yang
berhubungan dengan tanah semakin hari semakin bertambah dan bahkan semakin
kompleks.239 Bila kompleksitas itu tidak diikuti dengan upaya penertiban maka kelak
masyarakat akan membebani dirinya dengan permasalahan pertanahan yang semakin
rumit. Kondisi masyarakat juga hingga saat ini masih sangat tergantung pada
kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha yang sebagian besar bersifat agraris sehingga
tanah merupakan tumpuan harapan bagi masyarakat agar dapat melangsungkan asas
dan tata kehidupan. Salah satu upaya untuk menjaga agar permasalahan tersebut tidak
semakin menjadi beban bagi kehidupan masyarakat oleh Negara dilakukan
pendaftaran tanah untuk pertama kali.
Tanah adalah permukaam bumi yang paling atas, hubungan manusia dengan
tanah sangat erat sekali, dijadikan sebagai tempat tinggal dan tempat mencari nafkah
bagi manusia. Setiap manusia memerlukan tanah untuk kehidupan sehari²hari, bahkan
pada saat matipun manusia masih memerlukan tanah. Keberadaan tanah bertambah
lama dirasakan seolah²olah menjadi sedikit, menjadi sempit dengan berjalannya
waktu bertambahnya manusia memenuhi bumi ini. Dalam kehidupan manusia,
keberadaan tanah tidak terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu sendiri, sebab
tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan melanjutkan
kehidupannya (Adrian Sutedi, 2009:31). Selain itu tanah adalah benda yang bersifat
ekonomis (Jhon Salindiho, 1987:7). Tanahlah yang merupakan modal yang terutama,
dan untuk bagian terbesar dari Indonesia, tanahlah yang merupakan modal satu-
satunya (R. van Dijk, tt:54). Benda yang paling penting adalah tanah. Seorang
manusia tidak dapat hidup tanpa tanah (Projodikoro, 1986:7). Tanah adalah
permukaan bumi yang disebut tanah (Chairuddin. K. Nasution , 1985:20).
Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis²habisnya karena mempunyai arti
yang amat penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja
sebagai tempat berdiam juga tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada akhirnya
manusia terkubur (A.P. Parlindungan, 1990:1) Pasal 2 ayat (1) Peraturan Dasar
Pokok²Pokok Agraria Tahun 1960 No. 5, L.N Republik Indonesia No. 104. Tambahan
L.N No. 2034 (untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat dengan UUPA No.
5 Tahun 1960) yang isinys: Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945 dan hal²hal sebagai dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

B. Pengertian Pendaftran Tanah Menurut Hukum Agraria Nasional


Dalam lima tahun terakhir pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan
dibidang pertanahan. Kebijakan tersebut pada umumnya rincian lebih lanjut dari
239
Harris Yonatan Parmahan Sibuea, “Arti Penting Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali”, NEGARA HUKUM:
Vol. 2, No. 2, November 2011, Hlm.228

Politik Agraria | 158


ketentauan-ketentuan UUPA yang mengatur secara pokok-pokoknya saja, diperlukan
untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar hukum pertahanan nasional guna memenuhi
kebutuhan masyarakat dan pembangunan. Salah satu kebijakan pemerintah dibidang
pertanahan yaitu dibentuknya suatu peraturan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (untuk salnjutnya dalam
tulisan ini akan disingkat dengan PP. No. 24 Tahun 1997). 240
Landasan yuridis pengaturan tentang pelaksanaan pendaftaran tanah di
Indonesia diatur dalam Pasal 19 UUPA No. 5 Tahun 1960 telah ditetapkan sebagai
dasar pendaftaran tanah disebutkan:
1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan - ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: a. Pengukuran,
perpetaan dan pembukuan tanah ; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah
dan peralihan hak-hak tersebut ; c. Pemberian surat-surat tanda bukti
hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara
dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta
kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri
Agraria. Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang
bersangkutan dengan pendaftaran termaksut dalam ayat (1) di atas,
dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari
pembayaran biaya-biaya tersebut.
Adapun dasar hukum pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia adalah Pasal
19 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya
disebut UUPA). Sebagai pelaksanaan dari UUPA dalam hal ketentuan pendaftaran
tanah adalah melalui Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah (selanjutnya disebut PP No. 10 Tahun 1961) yang kemudian diganti dengan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya
disebut PP No. 24 Tahun 1997) yang ditetapkan pada tanggal 8 Juli 1997 dan mulai
diberlakukan pada tanggal 8 Oktober 1997. Pengaturan lebih rinci dan lengkap
tentang ketentuan pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 diatur dalam Peraturan Menteri
Agraria / Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya
disebut PMA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997).
C. Asas dan Tujuan Pendaftaran Tanah Menurut Hukum Agraria di Indonesia
Asas-asas pendaftaran tanah terdapat dalam PP Nomor 24 tahun 1997 Pasal 2
menyebutkan “Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka.” Urip Santoso menjelaskan asas-asas pendaftaran
tanah di dalam Pasal 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 tersebut diatas yaitu: 241
1) Asas sederhana Asas ini dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya
maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.

240
Nurhayati. A, “Fungsi Pendaftaran Tanah Terhadap Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA TAHUN 1960”, Jurnal
Warta Edisi : 60 April 2019.
241
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Cetakan Kedua, (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2011), hlm.17-18.

Politik Agraria | 159


2) Asas aman Asas ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran
tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat
memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu
sendiri.
3) Asas terjangkau Asas ini dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang
memerlukan, khususnya dengan memerhatikan kebutuhan dan kemampuan
golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka
penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang
memerlukan.
4) Asas mutakhir Asas ini dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang
tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu diikuti
kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di
kemudian hari. Asas ini menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara
terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di
Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.
5) Asas terbuka Asas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui atau
memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis yang benar
setiap saat di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Kegiatan pendaftaran tanah memiliki tujuan sebagaimana disampaikan dalam
UUPA Pasal 19 ayat (1) yakni "Untuk menjamin kepastian hukum oleh
Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah." Sebagai
peraturan pelaksana dari UUPA sejalan pernyataan tersebut tujuan pendaftaran
tanah di dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 3 dijabarkan lebih luas yaitu :
a) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak
lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar, untuk
terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Menurut A.P. Parlindungan jika dikaitkan dengan tujuan pendaftaran tanah
sebagaimana disebutkan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 maka dapat
memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA, karena :
1. Dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya
diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
2. Dengan Informasi pertanahan yang tersedia di Kantor Pertanahan maka
pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan Negara yang
menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi
peruntukan tanah dan kepemilikannya.
3. Dengan administrasi pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan
pertanahan yang terencana.
Tujuan pendaftaran tanah merupakan sarana penting mewujudkan kepastian
hukum, penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat modern
merupakan tugas Negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah bagi kepentingan

Politik Agraria | 160


rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang
pertanahan.242

D. Pendaftaran Tanah dan Pelaksanaanya


Dalam Pasal 1 diberikan rumusan mengenai pengertian pendaftaran tanah.
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara
terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengelolahan,
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-
bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-
hak tertentu yang membebaninya.
Menurut Urip Santoso (2012:300), pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pertama
Kali (Konversi Hak Milik Atas Tanah Adat) adalah suatu bentuk kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat untuk memperoleh jaminan kepastian hukum, juga
merupakan bentuk kesadaran hukum para responden. Para responden mendaftarkan
hak atas tanahnya dibantu oleh PPAT karena prosesnya pendaftaran tanah untuk
pertama kali (konversi) cukup panjang.243
Pelaksanaan pedaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pendaftaran untuk pertama
kali adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah
yang belum didaftar berdasarkan PP 10/1961 ini. Pendaftaran tanah untuk pertama
kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah
secara sporadic.
Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaram
tanah yang belum didaftar dalam wilayah au bagian wilayah suatu desa/ kelurahan.
Pendaftaran tanah secara sistematik diselenggarakan atas prakarsa pemerintah
berdasarkan pada suatu rencana kerja panjang dan tahunan serta dilaksanakan di
wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Dalam
hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara
sistematik, pendaftarannya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik.
Pendaftaran tanah secara sporadic adalah kegiatan pendaftaran tanah ntuk pertama
kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian
wilayah suatu desa/keluarahan secar individual atau missal. Pendaftaran tanah secara
sporadic dilaksanakan atas pemerintahan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang
berhak atas obyek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya.
Pendaftaran tanah secara sistematik diutamakan, karena melalui cara ini akan
dipercepat perolehan data mengenai bidang-bidang tanah yang akan didaftar daripada
melalui pendaftaran tanah secara sporadic. Tetapi karena prakarsanya datang dari
pemerintah, diperlukan waktu untuk memenuhi dana, tenaga, dan peralatan yang
diperlukan. Maka pelaksanaannya harus didasarkan pada suatu rencana kerja yang
meliputi jangka waktu agak panjang dan rencana pelaksanaan tahunan yang

242
Boedi Harsono, op.cit, hlm. 72.
243
Benedicta Putri Dumatubun,”Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pertama Kali (Konversi Hak Milik Atas
Tanah Adat) Dalam Rangka Memberikan Jaminan Kepastian Hukum di Kabupaten Merauke.
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.2004 hlm 4

Politik Agraria | 161


berkelanjutan melalui uji kelayakan itu untuk pertama kali diselenggarakan di daerah
Depok, Bekasi dan Karawang di Jawa Barat.

E. Obyek Pendaftaran Tanah


Dalam kenyataannya terkait masalah kepastian hukum kepemilikan tanah
masih jauh dari harapan yang diinginkan oleh pihak dunia usaha, karena konflik
pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta berlangsung
dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu ada dimana-mana.
Sengketa dan konfil pertanahan adalah bentuk permasalahan yang sifatnya kompleks
dan multidimensi. Dengan demikian hal ini dapat mempengaruhi iklim dunia usaha
di Indonesia, karena tanah merupakan salah satu sumber modal dalam melakukan
kegiatan ekonomi.
Prosedural pendaftaran tanah merupakan hal yang sangat penting, hal ini
disebabkan karena faktor ini merupakan pendukung pelaksanaan pembangunan yang
berkelanjutan dan pembangunan yang dilaksanakan merupakan upaya sadar yang
dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai kehidupan lebih baik. Proses
pembangunan dewasa ini akan senantiasa bersentuhan dengan lingkungan dalam hal
ini adalah penggunaan tanah itu sendiri, yang dapat memunculkan permasalahan-
permasalahan yang sifatnya sangat kompleks, seperti halnya dalam prosedural
pendaftaran tanah, sebagai suatu jaminan kepastian hukum, terhadap tanah yang
dimiliki masyarakat dari negara (melalui Badan Pertanahan Nasional).244
Obyek pendaftaran tanah menurut Pasal 9 meliputi:
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
guna bangunan, dan Hak pakai
b. Tanah hak pengelolaan
c. Tanah wakaf
d. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
e. Hak Tanggungan
f. Tanah Negara
Hak guna Bangunan dan Hak Pakai ada yang diberikan oleh negara.245 Tetapi
dimungkinkan juga diberikan oleh pemegang Hak Milik atas tanah. Tetapi selama
belum ada pengaturan mengenai tatacara pembebanannya dan disediakan formulir
akta pemberiannya untuk sementara belum aka nada Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai yang diberikan oleh pemegang Hak Milik atas tanah. Maka yang kini
merupakan obyek pendaftaran tanah baru Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang
diberikan oleh negara. Tanah negara dalam PP 24/1997 termasuk obyek yang
didaftar.246
Berbeda dengan obyek-obyek pendaftaran tanah yang lain, dalam hal tanah
negara pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan sebidang tanah yang
bersangkutan dalam daftar tanah. Untuk tanah negara tidak disediakan buku tanah
dan karenannya juga tidak diterbitkan sertifikat. Obyek pendaftaran tanah yang lain

Indra Yudha Koswara, ”Pendaftaran Tanah Sebagai Wujud Kepastian Hukum dalam Rangka
244

Menghadapi Masyarakat Ekonomu ASEAN (MEA).Jurnal HukumUniversitas Singaperbangsa


Karawang.2016 hlm 28
245
Ibid,, hal 486
246
Ibid,, hal 487

Politik Agraria | 162


didaftar dengan membukukannya dalam peta pendaftaran dan buku tanah serta
menerbitkan sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya.Dalam pasal 1 dirumuskan,
bahwa tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung olrh negara adalah tanah
yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah. Kiranya yang dimaksudkan
sebagaiobyek pendaftaran tanh bukan tanah negara dalam arti yang luas, melainkan
dalam golongan tanah negara dalam arti sempit.
F. Sistem Pendaftaran Yang Digunakan
Sistem pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak,
sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut PP
10/1961. Bukan sistem pendaftaran akta. Hal tersebut Nampak dengan adanya buku
tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan
disajikan seta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar.
Hak atas tanah, Hak pengelolaan, tanah wakaf dan Hak Milik atas satuan rumah
susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data yuridis
dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya
dicatat pula ada pada surat ukur tersebut merupakan bukti, bahwa hak yang
bersangkutan beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dala
surat ukur secara hukum telah terdftar menurut PP 24/1997 ini.Menurut Pasal 31
untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan diterbitkan sertifikat sesuai
dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar
dalam buku tanah.247

G. Penyelenggara dan Pelaksana Pendaftaran Tanah


1. Penyelenggara Pendaftaran Tanah
Sesuai ketentuan Pasal 19 UUPA pendaftaran tanah diselenggarakan oleh
Pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional. Maka dapat kita ketahui dalam
Pasal 19 UUPA yang berbunyi sebagai berikut :
a. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan - ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
 Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
 pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
 pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
c. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan
masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
d. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat
yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.248

Prof. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan), 2008,hal 477.
247

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria Presiden Republik Indonesia (Pasal 19),
248

hlm 7

Politik Agraria | 163


2. Pelaksana Pendaftaran Tanah
Pelaksana pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan,
kecuali mengenai kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada pejabat lain.
Yaitu kegiatan-kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi
wilayah kerja Kepala Kantor Pertanahan, misalnya pengukuran titik dasar teknik
dan pemetaan fotogrametri.
Dalam melaksanakan tugas tersebut Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh
pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP 24/1997 ini dan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya pembuatan akta PPAT
sementara, pembuatan akta ikrar wakaf oleh pejabat pembuat akta ikrar wakaf,
pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) oleh notaries,
pembuatan risalah lelang oleh pejabat lelang, dan ajudikasi dalam pendaftaran
tanah secara sistematik oleh panitia Ajudikasi (Pasal 6). Menurut Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang penyelenggara dan pelaksana
pendaftaran tanah adalah sebagai berikut:
1) Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5(Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan
Nasional. ) tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala
Kantor Perta-nahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh Per-aturan
Pemerintah ini atau perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan
kepada Pejabat lain.
2) Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu
oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.249
3) Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Dalam pasal 1 angka 24 disebut PPAT sebagai pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu sebagai yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, yaitu akta
pemindahan dan pembebanan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan. Pejabat
Umum adalah orang yang diangkat oleh Instansi yang berwenang, dengan
tugas melayani masyarakat umum dibidang atau kegiatan tertentu. Dalam pasal
7 ditetapkan bahwa PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Negara
Agraria/ Kepala BPN. Berikut Pasal 7 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24
Tahun 1997 yang berbunyi :
a) Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagaimana dimaksud pada
Pasal 6 diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
b) Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat
menunjuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara.
c) Peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri.250

Untuk mempermudah rakyat di daerah terpencil yang tidak ada Pejabat


Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam melakukan perbuatan hukum mengenai tanah,
249
Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Pasal 6),
hlm 5
250
Ibid (Pasal 7), hlm 5

Politik Agraria | 164


dapat ditunjuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sementara. Yang dapat ditunjuk
sementara itu adalah pejabat pemerintah yang menguasai keadaan daerah yang
bersangkutan, yaitu Kepala Desa.
Dalam penjelasan umum dikemukakan bahwa akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan data
pendaftaran tanah. Maka pokok-pokok tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
serta cara melaksanakannya diatur dalam PP ini. Adapun ketentuan umum mengenai
jabatan ini diatur dalam peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang
peraturan jabatan pejabat pembuat akta tanah (LNRI 1998-52; TLN 3746)
Kegiatandari jabatan ini yaitu membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam
melaksanakan tugas dibidang pendaftaran tanah, khususnya dalam kegiatan
pemeliharaan data pendaftaran, diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24
Tahun 1997 Pasal 37 s/d 40 (pemindahan hak), sebagai berikut:
Pasal 37
1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat
didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala
Kantor Pertanahan dapat mendaf-tar pemindahan hak atas bidang tanah hak
milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang
dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya
dianggap cukup untuk men-daftar pemindahan hak yang bersangkutan.251
Pasal 38
1) Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dihadiri oleh
para pihak yang melakukan per-buatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan
oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk
bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.
2) Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
diatur oleh Menteri.252
Pasal 39
1) Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) menolak untuk membuat akta, jika :
a. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan
rumah susun, kepadanya tidak di-sampaikan sertipikat asli hak
yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak
sesuai dengan daftar- daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau
b. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepada-nya tidak
disampaikan :
surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau
surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (2); dan
251
Ibid, hlm 20
252
Ibid, hlm 20

Politik Agraria | 165


surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang
bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk
tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Per-
tanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan
oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau
c. salah satu atau para pihak yang akan melakukan per-buatan hukum
yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk
bertindak demikian; atau
d. salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa
mutlak yang pada hakikatnya ber-isikan perbuatan hukum pemindahan
hak; atau
e. untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin
Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
f. obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa
mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau tidak dipenuhi
syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan
perundang- undangan yang bersangkutan.
2) Penolakan untuk membuat akta tersebut diberitahukan secara tertulis kepada
pihak-pihak yang bersangkutan disertai alasannya.253

Pasal 40
1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta
yang bersangkutan, Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) wajib
menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang
bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.
2) Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) wajib menyampaikan pemberitahuan
tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana di-maksud pada
ayat (1) kepada para pihak yang bersangkutan.254

Kemudian dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 44


(pembebanan hak), yang berbunyi sebagai berikut:
1) Pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun, pembebanan hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk
bangunan atas hak milik, dan pembebanan lain pada hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun yang ditentukan dengan peraturan perundang-
undangan, dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat
Pembuatan Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40
berlaku juga untuk pembuatan akta yang dimaksud pada ayat (1).255

253
Ibid, hlm 20-21
254
Ibid, hlm 21
255
Ibid, hlm 24

Politik Agraria | 166


Kemudian untuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 51
(pembagian hak bersama), berbunyi sebagai berikut:
1) Pembagian hak bersama atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun
menjadi hak masing-masing pemegang hak bersama didaftar berdasarkan akta
yang dibuat Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut
peraturan yang berlaku yang membuktikan kesepakatan antara para pemegang
hak bersama mengenai pembagian hak bersama tersebut.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40
berlaku juga untuk pembuatan akta yang dimaksud pada ayat (1). 256 Dan Pasal 62
(sanksi administrative jika dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-
ketentuan yang berlaku) dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997
sebagai berikut:
Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) yang dalam melaksanakan tugasnya
mengabaikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39
dan Pasal 40 serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat
yang ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai
pemberhentian dari jabatannya sebagai Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT),
dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak
yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabai-kannya ketentuan-ketentuan
tersebut.257
Dalam UU 4/1996 (Undang-Undang Hak Tanggungan) juga terdapat
ketentuan mengenai kedudukan dan tugas Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT)
serta pelaksanaannya. Dalam pasal 1 ayat 4 UU tersebut untuk pertama kali PPAT
ditegaskan statusnya sebagai Pejabat Umum yang diberi wewenang membuat akta-
akta yang disebutkan di atas. Dinyatakann dalam penjelasan umum angka 7 UU
tersebut, bahwa akta yang dibuat merupakan akta otentik.258
Karena kegiatan pendaftaran tanah merupakan kegiatan Tata Usaha Negara,
maka sebagai pejabat yang bertugas khusus dibidang pelaksanaan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah adalah Pejabat Tata Usaha Negara. Ketentuan pasal 6 ayat 2
bahwa dalam melaksanakan pendaftran tanah kepala kantor pertanahan dibantu oleh
Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT), menimbulkan salah pengertian pada
sementara, seakan-akan dia merupakan pembantu dalam arti bawahan Kepala Kantor
Pertanahan. Tugas Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) membantu Kepala Kantor
Pertanahan harus diartikan dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah
yang dalam pasal 6 ayat 1 ditugaskan kepada Kepala Kantor pertanahan.
Dalam melaksanakan tugasnya mendaftar hak tanggungan dan memelihara
data yuridis yang sudah terkumpul dan disajikan di kantornya, yang disebabkan
karena pembebanan dan pemindahan hak diluar lelang, kecuali dalam hal yang
khusus sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 37 ayat 2, kepala kantor pertanahan
mutlak memerlukan data yang harus disajikan dalam bentuk akta yang hanya boleh
dibuat oleh seorang Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT). Dalam memutus akan
membuat atau menolak membuat akta mengenai perbuatan hukum yang akan
dilakukan di hadapnnya, Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) mempunyai
256
Ibid, hlm 27
257
Ibid, hlm 31
258
Maria SW Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya, (Jakarta : Kompas,
2008), halaman 172.

Politik Agraria | 167


kedudukan yang mandiri, bukan sebagai pembantu pejabat lain. Kepala kantor
pertanahan, bahkan siapapun. Tidak berwenang memberikan parintah kepadanya
atau melarangnya membuat akta. Seorang Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT)
bukan hanya berhak, ia bahkan wajib menolaknya, apabila hak itu akan berakibat
melanggar ketentuan yang berlaku, karena pelaksanaan tugas Pejabat Pembuatan
Akta Tanah (PPAT) sudah ada ketentuannya dalam UU 16/1985, UU 4/1996, PP
24/1997 dan peraturan-peraturan hukum matriil yang bersangkutan.259

3. Hakikat Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah


Dari apa yang diuraikan dalam uraian-uraian di atas dapat diketahui, bahwa hakikat
jabatan Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) adalah, bahwa:
a. Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) adalah jabatan pejabat umum yang
diberi tugas dan wewenang khusus memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa pembuatan akta yang membuktikan, bahwa telah
dilakukan dihadapannya perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, hak milik
atas satuan rumah susun atau pemberian hak tanggungan atas tanah
b. Akta yang dibuatnya adalah akta otentik, yang hanya dialah yang berhak
membuatnya
c. Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat tata usaha negara,
karena tugasnya di bidang penyelenggaraan pendaftaran tanah yang
merupakan kegiatan di bidang Eksekutif/ tata usaha negara
d. Akta Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) bukan surat keputusan pejabat
tata usaha negara, karena akta adalah relass, yaitu suatu laporan tertulis dari
pembuat akta berupa pernyataan mengenai telah dilakukannya oleh pihak-pihak
tertentu suatu perbuatan hukum dihadapannya pada suatu waktu yang disebut
dalam akta yang bersangkutan
e. Yang merupakan keputusan Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT) sebagai
pejabat tata usaha negara adalah keputusan menolak atau mengabulkan
permohonan pihak-pihak yang datang kepadanya untuk dibuatkan akta
mengenai perbuatan hukum yang mereka akan lakukan dihadapannya. Memberi
keputusan menolak atau mengabulkan permohonan tersebut merupakan
kewajiban Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT). Dalam hal syaratnya
dipenuhi wajib ia mengabulkan permohonannya. Sebaliknya dalam hal ada syarat
yang tidak dipenuhi ia wajib menolaknya.260

Pasal 20 ayat (1)


“untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran
tanah diseluruh wilayah republic Indonesia menurut ketentuan yang diatur
dengan peraturan pemerintah”.261

Ayat (2)
pendaftaran tersebut (1) pasal ini meliputi:
a. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah.
259
Maria SW Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya, (Jakarta : Kompas,
2008), halamanhal. 485
260
Prof. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan), 2008, hal, 486.
261
Soetomo, SH, politik dan administrasi Agraria, Malang: 1986, Usaha Nasional Surabaya hal 43

Politik Agraria | 168


b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sbagai alat
pembuktian yang kuat.

Ayat (3)
“pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengikat keadaan Negara dan
masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Mentri Agraria”.
Pendaftaran tanah adalah perlu demi untuk kepastian hukum , dilakukan
secara sederhana dan mudah dimengerti. Pelaksanaannya tidak sekaligus
untuk seluruh wilayah R.I., tetapi secara berangsur-angsur pendaftaran
dikota-kota didahulukan, hal ini adalah sesuai dengan mendesaknya
keperluan lalu-lintas. Pelaksanaan sesuatu sekitar pendaftaran ini diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah No. 10 tahun 1961.

H. Pengertian Hak Atas Tanah Menurut Undang undang Pokok Agraria (UUPA)
Pada pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa “bumi air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara”. Negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) pasal 1 ayat 2) memberi wewenang kepada Negara.
Terbentuknya Undang-Undang Pokok Agaria melalui proses yang panjang
(Harson,1970, 94). Dengan demikian bahwa sumber hukum adat yang diakui dalam
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah nilai-nilai yang sesuai dengan tujuan
fungsi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; berupaya meningkatkan kesejahteraannya,
memerdekakan masyarakat dalam arti ekonomi maupuun politik, serta menganut
paham kebangsaan yang menolak penguasaan dan pemilik tanah di tangan segelintir
masyarakat saja; penggunaan tanah lebih ditunjukan untuk rakyat, khususnya rakyat
tani. Dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat dilihat adanya upaya untuk
mewujudkan kehendaak kemerdekaan dan mensejahterakan rakayat dan
menghapuskan praktek-praktek eksploitasi pemerintah kolonial, baik kaum kapitalis
asing maupun kaum feodal.262
Untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air
dan ruang angkasa. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum (UUPA, pasal 4

Noer Fauzi, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka
262

Pelajar, 1999) Hal 69.

Politik Agraria | 169


ayat 1). Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya,
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.263
Suatu fakta yang sulit untuk dipertanggungjawabkkan adalah tidak
berfungsinya UU No. 5 Tahun 1960, yang bisa dikenal dengan Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA), dalam menguatkan hak rakyat petani atas tanah. Kebijakan
pemerintah tersebut justru memberikan kemudahan bagi dirinya dan modal besar
untuk memperoleh tapak-tapak bagi industri mereka, walaupun harus beroprasi pada
tanah-tanah produktif yang telah digarap rakyat petani.Data yang telah diperoleh
oleh Kompas (13 Juli 1995), menyebutkan, sekitar 900.000 Ha (sembilan ratus ribu
hektar) tanah pertanian di Pulau Jawa, telah terkonversi menjadi llahan non-
pertanian, terutama industry.264

I. Macam-Macam Hak Atas Tanah


Pasal 4 Ayat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Menjelaskan bahwa atas dasar
hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain, serta badan-badan hukum. Pasal tersebut member wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumidan air serta
ruang yang ada di atasnya, sekedar keperluan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undaang-
undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Menurut Wantjik
Saleh, dengan di berikannya hak atas tanah, maka antara orang atau badan dilakukan
perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak itu terhadap tanah kepada pihak
lain.265Macam-macam hak atas tanah:

1. Hak Milik (HM) diatur pasal 20 s/d 27 Undang-Undang Pokok Agraria


(UUPA)
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuhi yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6 (berfungsi sosial).
Hak milik dapat beralih dan dialihkan ( Pasal 20 ). Dalam Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA), hak milik atas tanah diatur pada Pasal 20 sampai dengan Pasal 27
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Menurut penjelasann Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA), “terkuat-terpenuh”, pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa
hak itu merupakan yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat.
Maksud “terkuat-terpenuh” adalah untuk membedakan dengan hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai dan lain-lainnya. Juga harus mengingat pasal 6 yaitu
“semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Menurut Wantjik Saleh (2013:15), hak milik dikatakan merupakan hak yang
turun temurun karena hak milik dapat diwariskan oleh pemegang hak kepada ahli
warisnya. Hak milik sebagai hak yang terkuat berarti hak tersebut tidak mudah
hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain. Terpenuh
berarti hak milik memberikan wewenang yang paling luas dibandingkan dengan
hak-hak lainnya. Misalnya, pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada

263
Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi Dan Implementasi, (Jakarta : Kompas,
2005), hal.62
264
Ibid 7.
265
Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jogjakarta : DIVA PRESS, 2013), hlm 15

Politik Agraria | 170


orang lain. Selama tidak dibatasi oleh penguasa. Maka wewenang dari seorang
pemegang hak milik tidak terbatas. Selain bersifat turun-temurun, terkuat dan
terpenuh, hak milik juga dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.266
Pasal 20 ayat (2) berbunyi “hak milik dapat beralih dan dialihkan “. pasal 21
ayat (1) “hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Ayat (2)
“oleh pemerintah ditetapkan badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya”. Dalam ayat (1) menunjukkan adanya “asas kebangsaan”, yaitu
hak milik hanya dapat dipunyai olehwarga Negara RI. Sedangkan dalam ayat (2)
bahwa pada umumnya badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik, kecuali yang
ditetapkan oleh pemerintah dan memenuhi syarat-syarat. Menurut peraturan
pemerintah No.33 TAHUN 1963 (l.n. 1963 No. 61, Pendj. T.L.N. No.2555) pasal 1
menetapkan. Badan-badan hukum dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas
tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pasal 2,3 dan 4 peraturan
ini:267
1. Bank yang didirikan oleh Negara (disebut bank Negara).
2. Perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan brdasar atas UU No. 79 tahun
1958 (Lembaran Negara tahun 1958 No. 139).
3. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh menteri pertanian atau agrarian
setelah mendengar menteri agama.
4. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh menteri menteri pertanian atau
agrarian, setelah mendengar menteri kesejahteraan sosial.

Pasal 21 ayat (3) yang berbunyi “orang asing yang sesudah berlakunya
undang-undang ini memperoleh hak milik karena perkawinan, demikian pula
warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UU ini
kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu
satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik tidak dilepaskan, maka hak tersebut
dihapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara dengan ketentuan bahwa
hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”.
Pasal 21 ayat (4) berbunyi tentang “selama seseorang disamping
kewarganegaraan indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak
dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat
(3) pasal ini.
Sesuai Pasal 27 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hak milik dihapus bila:
a. Tanahnya jatuh kepada Negara:
1. Karena pencabutan hak berdasar pasal 18
b. Tanahnya musnah.268

2. Hak Guna Usaha (HGU) di atur pasal 28 S/d 34 Undang-Undang Pokok


Agraria (UUPA).
Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dalam jangka waktu yang ditentukan guna untuk perusahaan
pertanian, perikanan dan peternakan. Hak guna usaha di atur pada Pasal 28-34
UUPA Jo. Pasal 2-18 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun1996.Hak guna usaha
adalah hak untuk mengusahakan tanah yang di kuasai langsung oleh negara, dalam
jangka waktu sebagai mana tersebut dalam pasal 29 guna perusahaan pertanian,
perikanan atau peternakan”.

266
Ibid, hlm 18
267
Soetomo, SH, politik dan administrasi Agraria, Malang: 1986, Usaha Nasional Surabaya hal 44-46
268
Ibid, hal 46-47

Politik Agraria | 171


Ayat 3
“ hak guna usaha dapat beralih dan di alihkan kepada pihak yang lain.

Pasal 29 ayat 1269


“Hak guna usaha di berikan untuk paling lama 25 tahun”.
Ayat 2
”Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka
waktu yang di maksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini dapat di perpanjang dengan
waktu paling lama 25 tahun
Ayat 3
“Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka
waktu yang di maksud ayat 1 dan 2 pasal ini dapat di perpanjang paling lama 25
tahun.
Pasal 30 ayat 1
Yang mempunyai hak usaha adalah
a. Warga negara indonesia
b. Badan-badan hukum yang menurut hukum indonesia dan berkedudukan di
indonesia

Ayat 2
Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi
syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu 1
tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak ini kepada orang lain yang memenuhi
syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh usaha jika ia
tidak memenuhi syarat tersebut.
Ayat 3
Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak di lepaskan atau di alihkan dalam
jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, yang ketentuan-ketentuan
yang di tetapkan dengan peraturan pemerintah.
pasal 33270
hak guna usaha dapat di jadikan jaminan hutang dengan di bebani tanggungan. Pasal
34
Hak guna usaha di hapus karena :
a. Jangka waktunya berakhir
b. Di hentikan sebelum jangka waktunya berkahir karena sesuatu syarat yang
tidak di penuhi
c. Di lepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
d. Di cabut untuk kepentingan umum.
e. Di telantarkan.
f. Tanahnya musnah
g. Ketentuan dalam pasal 30 ayat 2.

Hak Guna Bangunan (HGB) di Indonesia. Ini berarti badan hukum yang
didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia tetapi tidak berkedudukan di
269
Ibid, hal 47
270
Ibid, hal 48-49

Politik Agraria | 172


Indonesia tidak mungkin memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) atau badan hukum
yang tidak didirikan menurut ketentusn hukum Indonesia, tetapi berkedudukan di
Indonesia juga tidak dapat memiliki Hak Guna Bangunan. Dalam hal inilah, maka
kedua syarat didirikan menurut ketentuan hukum indonesiadan berkedudukan di
Indonesia menjadi keharusaankumulatif. (Kartini Mulyadi & Gunawan Widjaya,
2007:192)

3. Hak Guna Bangunan (HGB) Di Atur Dalam Pasal 35 s/d49 Undang-Undang


Pokok Agraria (UUPA)

Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan di atas yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30
tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Selain itu, Hak
guna banguanan (HGB) dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain serta dapat
dijadikan jaminan dengan dibebani hak tanggungan.Selaras dengan ketentuan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatas Pasal 25 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 40 tahun 1966 tentang Hak Guna Usaha (HGB), dan Hak Pakai
Atas Tanah, menyebutkan bahwa sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan
Perpanjangannya. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) PP Nomor 40
Tahun 1996 berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan
Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama.271
Sesuai pasal 35 ayat 1 hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun
Ayat 2 berbunyi Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keperluan serta
keadaan banguan-bangunannya jangka waktu tersebut dalam ayat 1 dapat di
perpanjang dengan waktu 20 tahun.
Ayat 3 Hak guna bangunan dapat beralih dan di alihkan kepada pihak lain.
Pasal 36 ayat 1
Yang dapat mempunyai hak guna bangunan adalah
a. Warga negara indonesia
b. Badan hukum yang di dirikan menurut huku indonesia
Ayat 2
Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi
memenuhi syarat-syarat tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun
wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi
syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak lain yang memeperoleh hak guna
banguanan jika ia tidak memeperoleh syarat-syarrat tersebut. jika hak guna
banguanan yang bersangkutan tidak di lepaskan atau di alihkan dalam jangka waktu
tersebut, maka hal itu di hapus karena hukum dengan ketentuan bahwa hak-hak
pihak lain akan di pindahkan menurut ketentuan-ketentuan yang di tetapkan dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 37
Hak guna banguanan terjadi
a. Mengenai tanah yang di kuasai langsung oleh negara, karena penetapan
pemerintah.

Jurnal Hukum, Pelaksanaan Perpanjangan Hak Guna Bangunan yang Telah Habis Masa Berlakunya
271

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Hal 3.

Politik Agraria | 173


b. Mengenai tanah milik: karena perjanjian yang berbentuk otentik antara
pemilik tanah yang bersangkutan itu dengan pihak yang akan memperoleh hak
guna bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.

Pasal 38 ayat 1
Hak guna bangunan termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga
setiap peralihan dan di haspusnya hak tersebut harus di daftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang di maksud dalam pasal 19.
Ayat 2
Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai di hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut,
kecuali dalam hak itu di hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 39272
Hak guna bangunan dapat di jadikan jaminan hutang dengan di bebani hak
tanggungan.
Pasal 40
Hak guna bangunan di hapus karena :
a. Jangka waktunya berakhir
b. Di berhentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat yang
tidak dapat di penuhi.
c. Di lepas oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
d. Di cabut untuk kepentingan umum
e. Di terlantarkan
f. Tanah yang musnah
g. Ketentuan dalam pasal 36 ayat 2

4. Hak pakai diatur pasal 41 s/d 43 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)


Sesuai pasal 41 ayat 1 hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau
memungut dari hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik
orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikanya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa dan
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan –ketentuan undangan-undangan.
Ayat 2 “ hak pakai dapat diberikan “
a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan yang tertentu.
b. Dengan Cuma –Cuma dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa
apapun.273

Ayat 3
“Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-
unsur pemerasan.”
Pasal 42
Yang mempunyai hak pakai adalah
a. Warga negara indonesia
272
Ibid, hal 51
273
Ibid, hal 51-53

Politik Agraria | 174


b. Orang asing yang berkedudukan di indonesia
c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum indonesia dan berkedudukan di
indonesia
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di indonesia.

Pasal 43 ayat 1
“sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara,maka hak
pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang.”
Ayat 2
“Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal
itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan .”
Kepemilikan property oleh orang asing sebagaimana diatur secara khusus
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 mengenai pemilikan Rumah
Tempat Tinggal atau Huniam oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia.
Adapun dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah 41, Tahun 1996. Jenis Rumah yang
diperbolehkan untuk dimiliki oleh orang asing:
1. Rumah yang dibangun diatas tanah Negara;
2. Rumah yang dibangun berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak milik
atas tanah. Perjanjian tersebut harus dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
3. Satuan rumah susun yang dibangun di atas Hak Pakai atas tanah Negara.274

5. Hak Sewa untuk bangun diatur dalam pasal 44 dan 45 Undang-Undang


Pokok Agraria (UUPA )
Pasal 44 ayat 1
“Seorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak
mempergunakan tanah milik rang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.” 275
Ayat 2
“ Pembayaran uang sewa dapat dilakukan “
a. Satu kali atau pada tiap-tiapwaktu tertentu
b. Sebelum atau sesudah tanah dipergunakan

Ayat 3
“perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai
syarat-syarat yang mengandung unsur –unsur pemerasan.”
Pasal 45
Yang menjadi pemegang hak sewa adalah.
a. Warga negara indonesia
b. Orang asing yang berkedudukan di indonesia
c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum islam indonesia dan
berkedudukan di indonesia
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di indonesia.

274
Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Aspek Hukum Pengelolaan Hak Pakai atas Tanah dalam Rnagka
Pemanfaatan Lahan Secara Optimal, Edisi 1, Volume 2, Tahun 2014, hal 2-3.
275
Ibid, hal 53-54

Politik Agraria | 175


Menurut R.Subekti (1992:30), hak Sewa termasuk dalam hak atas tanah
sekunder yaitu hak atas tanah yang tidak langsung bersumber pada hak bangsa
Indonesia dan yang diberikan oleh pemilik tanah dengan cara perjanjian
pemberian hak antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang
bersangkutan. Hak tenggang waktu tertentu maupun tanpa waktu tertentu.276

6. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan diatur pada pasal 46
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa, hak
membuka tanah dan mengatur hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara
indonesia daan diatur dengan peraturan pemerintah. Hak membuka tanah adalah hak
yang dimiliki oleh warga Negara Indonesia untuk membuka lahan tanah yang diatur
berdasarkan peraturan pemerintah.

7. Hak Guna Air (HGA), pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur pada
pasal 47 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Pengaturan hak atas air diwujudkan melalui penetapan hak guna air, yaitu hak untuk
memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagi keperluaan. Hak
guna air (HGA) dengan pengertian tersebut bukan merupakan hak pemilikan atas
air.Tetapi hanya sebatas pada hak untuk memperoleh dan memakai atau
mengusahakan sejumlah air sesuai dengan alokasi yang ditetapkan oleh pemerintah
kepada pengguna air, baik untuk yang wajib memperoleh izin maupun yang tidak
wajib izin.277
Pasal 47 : Hak Guna-air, Pemeliharaan & Penangkapan Ikan
Ayat 1: Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh
warganegara indonesia dan diatur dengan peraturan pemerintah.
Ayat 2 :
Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan
sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.
Pasal 48 :
Hak Guna Ruang Angkasa

Ayat 1 :
Hak guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan atau mengalirkan air itu
keatas tanahorang lain.
Ayat 2 :
Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak sendirinya
diperoleh hak milik atas tanah itu.278

8. Hak Guna Air (HGA) serta pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 47 ayat (1) :
Hak guna air adalah ha memperoleh air untuk keperluan dan/atau mengalirkan air itu
di atas tanah orang lain
Ayat (2) :

276
R. Subekti, 1992, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung, Citra Aditya Bakti, Hal 30-31.
277
Erina Pane ,Hak Guna Air dalam Hubungan dengan Privatisasi Peengelolaan Sumberdaya Air. Hal 2.
278
Ibid, hal 54.

Politik Agraria | 176


Hak guna air serta pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dngan Peraturan
Pmerintah.279

9. Hak Guna Ruang Angkasa (HGRA) diatur pasal 48 Undang-Undang Pokok


Agraria (UUPA)
Hak guna ruaang angkasa (HGRA) diatur dengan peraturan pemerintah.Jadi jika kita
merujukmpada ketentuan pasal 48 UUPA, ruang angkasa yang dimaksutkan
bukanlah rauang angkasa yang berada diatas planet bumi.Melainkan ada batasan
yang jika disimpulkan bisa dikatakan sebagai hak atas “atmosfer”.280
Pasal 48 ayat (1) :
Hak guna ruang angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan
unsure-unsur dalam dalam ruangkasa, gina usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.
Ayat (2) :
Hak guna ruang angkasa diatur dengan Peaturan Pemerintah.

10. Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial diatur dalam paasal 49
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Pasal 49 ayat (1)
Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjan dipergunakan
untuk usaha dalam bidang keagamaandan sosial, diakui dan dilindungi. Badan
tesebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan
usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
Ayat (2) :
Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sbagai dimaksud
dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai oleh Negara dengan hak
pakai.
Ayat (3) :
Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan
Pemerintah.281Prinsip bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial
merupakan adopsi dari hukum adat. Masyarakat adat menempatkan tanah tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan individu pemegang hak, akan tetapi juga
untuk kepentingan kolektif.282
J. Hak-Hak Yang Bersifat Sementara
Hak-hak atas tanah tersebut di atas yang bersifat sementara diatur lebih lanjut
dalam Pasal 53 ayat (1), yaitu : “Hak-hak yang bersifatnya sementara sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil,
Hak Menumpang dan Hak sewa tanah Pertanian diatur untuk membatasi sifat-
sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut
diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat”.283
Hak-hak yang bersifat sementara adalah hak-hak atas tanah yang diatur pada
Pasal 53 UUPA.Hak atas tanah yang bersifat sementara ini adalah hak yang sangat

279
Ibid, hal 54
280
www.notarisdanppat.com/hak -atas-rauang-angkasa-indonesia.
281
Ibid, hal 54-55
282
Jurnal Ilmiah Hukum Refleksi Hukum Edisi April 2012. Hal43
283
Afra Fadhillah Dharma Pasambuna, “IMPLEMENTASI HAK PENGELOLAAN DAN

PEMBERIAN HAK ATAS TANAH NEGARA”, Lex et Societatis, Vol. V, No. 1,Jan-Feb,2017. Hlm.30

Politik Agraria | 177


merugikan pemilik tanah gadai dan penggarap tanah. Berikut ini adalah macam-
macam hak atas tanah yang bersifat sementara:
1. Hak gadai adalah hak gadai tanah pertanian merupakan pengertian “jual
gadai” tanah yang berasal dari hukum adat. Jual gadai adalah penyerahan
sebidang tanah oleh pemiliknya kepada pihak lain dnegan membayar uang
kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa tanah akan dikembalikan
kepada pemiliknya apabila pemilik mengembalikan juang yang diterimanya
kepeda pemegang tanah gadai. Hak gadai adalah menyerahkan tanah dengan
pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang yang
menyerahkan tanah mempunyai hak untuk meminta kembali tanahnya tersebut
dengan memberikan uang yang besarnyasama.
2. Hak usaha bagi hasil adalah hak yang asalnya sama dengan hak gadai,yaitu
berasal dari hukum adat. Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau
badan hukum untuk menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi di antara kedua belah pihak menurut
perjanian yang telah disetujui sebelumnya.284
3. Hak menumpang, artinya adalah hak yang mengizinkan seseorang ungtuk
mendirikan bangunan dan menempati tanah pekarangan orang lain, dengan
tidak membayar sejumlah uang kepada pemilik pekarangan. Hak
menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang untuk
mendirikan dan menempati rumah di atas pekarangan orang lain. Pemegang
hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu kepada yang empunya tanah,
hubungan hukum dengan tanah tersebut bersifat sangat lemah artinya sewaktu-
waktu dapat diputuskan oleh yang empunya tanah, jika yang bersangkutan
memerlukan sendiri tanah tersebut. Hak menumpang dilakukan hanya terhadap
tanah pekarangan dan tidak terhadap tanah pertanian.
4. Hak sewa atas tanah pertanian. Seperti yang telah disebutkan di atas, hak-hak
atas tanah yang bersifat sementara ini sangat merugikan bagi pemilik tanah
dan juga penggarap atau penyewa tanah. Oleh karena itu, diharapkan agar hak-
hak ini dihapuskan dari hukum pertanahan atau hukum agraria nasional. Hak
sewa tanah pertanian adalah penyerahan tanah pertanian kepada orang lain
yang memberi sejumlah uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa
setelah pihak yang member uang menguasai tanah selama waktu tertentu,
tanahnya akan dikembalikan kepada pemiliknya.

K. Sistematika Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)


Untuk memudahkan mempelajari Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) perlu tahu sistematikanya, yaitu sebagai berikut:
BAB I
PERTAMA:
Dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan pokok (pasal 1 sd 15) bab 2 hak-hak
atas tanah, air, ruang angkasa, serta pendaftaran tanah.
Bagian :
I : ketentuan-ketentuan umum (pasal 16 sd 18)
II : pendaftaran tanah (pasal 19)
III : hak milik (pasal 20 sd 27)
IV : hak guna usaha (pasal 28 sd 34)
V : hak guna bangunan (pasal 35 sd 40)
284
Ibid, hlm.32

Politik Agraria | 178


VI : hak pakai (pasal 41 sd 43)
VII : hak sewa untuk bangunan (pasal 44 sd 45
VIII : hak membuka tanah dan memungut hasil hutan (pasal 46)
IX : hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan air (pasal 47)
X : hak guna ruang angkasa (pasal 48)
XI : hak-hak tanah untuk keperluan suci, sosial (pasal 49)
XII : ketentuan lain (pasal 50 sd 51)
BAB II
Hak-Hak Atas Tanah, Air, Dan Ruang Angkasa Serta Pendaftaran Tanah
Pasal 16 sd 51
Bagian :
I : Ketentuan-ketentuan umum (Pasal 16 sd 18)
II : Pendaftaran tanah (pasal 19)
III : Hak milik (Pasal 20 sd 27)
IV : Hak guna usaha (Pasal 28 sd 34)
V : Hak Guna Bangunan (Pasal 35 sd 40)
VI : Hak Pakai (Pasal 41 sd 43)
VII : Hak sewa untuk bangunan (pasal 44 sd 45)
VIII : Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan (pasal 46)
IX : Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 47)
X : Hak guna ruang angkasa (Pasal 48)
XI : Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial (pasal 49)
XII : Ketentuan-ketentuan lain (Pasal 50 sd 51)285
BAB III
Ketentuan-ketentuan pidana pasal 52
BAB IV
Ketentuan-ketentuan peralihan pasal 53 sd 58
KEDUA
Ketentuan-ketentuan konversi pasal I sd IX
KETIGA
Perubahan susunan pemeritahan desa
KEEMPAT
Hapusnya hak-hak dan wewenang-wewenang swapraja
KELIMA
Sebutan : UUPA
Yang Dicabut :
 Peraturan-peraturan perundangan mana yang dinyatakan dicabut.
 Agrariche yang termuat dalam pasal 51 IS
 Domainverklaring dalam pasal 1 agraris besluit (S870 sd 118)
 Algemene domeinverklaring S (1875 sd 119A)
 Domeinverklaring untuk Sumatra (S1874-941)
 Domeinverklaring untuk manado (S1877-55)
 Domeinverklaring untuk Zuider en oosteraf deli van Burneo (S1888-58)
 Koninklijke besluit (S 1872-117)
Ketentuan-ketentuan dalam hukum II BW sepanjang mengenai bumi, air,
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali
hipotek.
285
UU Republik Indonesia No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Politik Agraria | 179


RINGKASAN

Latar Belakang
Dalam pembangunan jangka panjang kedua peranan tanah bagi pemenuhan
berbagai keperluan akan meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk
kegiatan usaha. Sehubungan dengan itu akan meningkat pula kebutuhan akan dukungan
berupa jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Pemberian jaminan kepastian
hukum di bidang pertanahan, pertama-tama memerlukan tersedianya perangkat hukum
yang tertulis, lengkap dan jelas, yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa
dan isi ketentuan-ketentuannya. Selain itu dalam menghadapi kasus-kasus konkret
diperlukan juga terselenggaranya pendaftaran tanah, yang memungkinkan bagi para
pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang
dikuasainya, da bagi para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon
kreditor.
Begitu pula dengan peraturan pemerintah  No. 10 tahun 1961 tentang pendaftaran
tanah, juga tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah.
Menurut A.P. Perlindungan, Pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre (Bahasa
Belanda Kadaster) Suatu istilah teknis untuk suatu Record (rekaman), Menunjukkan
kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak)  terhadap suatu bidang
tanah.  kata ini berasal dari bahasa Latin "Capistratum" yang berarti suatu register tau
capita  atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi. Dalam arti yang tegas,
cadastre adalah record pada lahan-lahan,  nilai daripada tanah dan pemegang hak nya
dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian, Cadastre merupakan alat yang
tepat memberikan uraian dan identifikasi dari uraian tersebut dan juga sebagai
continuous recording (rekaman yang berkesinambungan) Dari hak atas tanah. Menurut
Mhd, Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Dari segi istilah, ditemukan istilah
pendaftaran tanah dalam bahasa Latin disebut "Capistratum", Di Jerman dan Italia
disebut "Catastro", Di Perancis disebut "Cadastre", di Belanda dan juga di Indonesia
dengan istilah "kadastrale” atau "kadastre". Maksud dari Capistratum atau Kadaster 
Dari segi bahasa adalah  suatu registrer atau capita atau unit yang diperbuat untuk 
pajak tanah Romawi, yang berarti suatu istilah teknis untuk suatu rekaman yang
menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan atau pemegang hak suatu bidang
tanah, sedangkan Kadaster yang modern bisa terjadi atas peta yang ukuran besar dan
daftar daftar yang berkaitan. Sebutan pendaftaran tanah atau land registration 
menimbulkan kesan, seakan-akan objek utama pendaftaran atau satu-satunya objek
pendaftaran adalah tanah.  memang mengenai pengumpulan sampai penyajian data
fisik, tanah yang merupakan objek pendaftaran, yaitu untuk dipastikan letaknya, batas
batasnya, luasnya dalam peta pendaftaran dan disajikan juga dalam daftar tanah.
Upaya untuk meletakan dasar bagi pendayagunaan obyek hukum agraria yaitu
bumi, air, luar angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tahun
1960 telah diundangkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria yang merupakan induk dan dasar politik dan hukum agraria nasional.

Politik Agraria | 180


Dalam Pasal 1 diberikan rumusan mengenai pengertian pendaftaran tanah.
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara
terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengelolahan,
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk
peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang
tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak
tertentu yang membebaninya.
Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pertama Kali (Konversi Hak Milik Atas Tanah
Adat) adalah suatu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperoleh
jaminan kepastian hukum, juga merupakan bentuk kesadaran hukum para responden.
Para responden mendaftarkan hak atas tanahnya dibantu oleh PPAT karena prosesnya
pendaftaran tanah untuk pertama kali (konversi) cukup panjang.
Dalam pasal 1 dirumuskan, bahwa tanah negara atau tanah yang dikuasai
langsung olrh negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.
Kiranya yang dimaksudkan sebagaiobyek pendaftaran tanh bukan tanah negara dalam
arti yang luas, melainkan dalam golongan tanah negara dalam arti sempit.

Pengertian Pendaftaran Tanah Menurut Hukum Agraria di Indonesia


Dalam penjelasan umum dikemukakan apa yang menjadi pertimbangan, bahwa
perlu diadakan peraturan pendaftaran tanah baru. Lengkapnya adalah sebagai berikut:
Dalam pembangunan jangka panjang kedua peranan tanah bagi pemenuhan berbagai
keperluan akan meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan
usaha. Sehubungan dengan itu akan meningkat pula kebutuhan akan dukungan berupa
jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Pemberian jaminan kepastian hukum di
bidang pertanahan, pertama-tama memerlukan tersedianya perangkat hukum yang
tertulis, lengkap dan jelas, yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan
isi ketentuan-ketentuannya.
Menurut Urip Santoso (2012:286), peraturan pemerintah  No. 10 tahun 1961
tentang pendaftaran tanah, juga tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud
dengan pendaftaran tanah. Menurut A.P. Perlindungan, Pendaftaran tanah berasal dari
kata Cadastre (Bahasa Belanda Kadaster) Suatu istilah teknis untuk suatu Record
(rekaman), Menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) 
terhadap suatu bidang tanah.  kata ini berasal dari bahasa Latin "Capistratum" yang
berarti suatu register tau capita  atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi.
Dalam arti yang tegas, cadastre adalah record pada lahan-lahan,  nilai daripada tanah
dan pemegang hak nya dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian, Cadastre
merupakan alat yang tepat memberikan uraian dan identifikasi dari uraian tersebut dan
juga sebagai continuous recording (rekaman yang berkesinambungan) Dari hak atas
tanah. Menurut Mhd, Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Dari segi istilah, ditemukan
istilah pendaftaran tanah dalam bahasa Latin disebut "Capistratum", Di Jerman dan
Italia disebut "Catastro", Di Perancis disebut "Cadastre", di Belanda dan juga di
Indonesia dengan istilah "kadastrale” atau "kadastre". Maksud dari Capistratum atau
Kadaster  Dari segi bahasa adalah  suatu registrer atau capita atau unit yang diperbuat
untuk  pajak tanah Romawi, yang berarti suatu istilah teknis untuk suatu rekaman yang
menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan atau pemegang hak suatu bidang
tanah, sedangkan Kadaster yang modern bisa terjadi atas peta yang ukuran besar dan

Politik Agraria | 181


daftar daftar yang berkaitan. Sebutan pendaftaran tanah atau land registration 
menimbulkan kesan, seakan-akan objek utama pendaftaran atau satu-satunya objek
pendaftaran adalah tanah.  memang mengenai pengumpulan sampai penyajian data
fisik, tanah yang merupakan objek pendaftaran, yaitu untuk dipastikan letaknya, batas
batasnya, luasnya dalam peta pendaftaran dan disajikan juga dalam daftar tanah.286
Menurut Urip Santoso (2001:18) pendaftaran tanah merupakan persoalan yang
sangat penting dalam UUPA, karena pendaftaran tanah merupakan awal dari proses
lahirnya sebuah bukti kepemilikan hak atas tanah. Begitu pentingnya persoalan
pendaftaran tanah tersebut sehingga UUPA memerintahkan kepada pemerintah untuk
melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu dalam menghadapi kasus-kasus konkret diperlukan juga
terselenggaranya pendaftaran tanah, yang memungkinkan bagi para pemegang hak atas
tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya, da bagi
para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditor,287 untuk
memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi obyek
perbuatan hukum yang akan dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan
kebijaksanaan pertanahannya. Sehubungan dengan itu UUPA memerintahkan
diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum
sebagai yang dimaksud di atas. Pendaftaran tanah tersebut kemudian diatur lebih lanjut
dengan PP 10/1961 yang sampai kini menjadi dasar kegiatan pendaftaran tanah di
seluruh Indonesia.

Asas dan Tujuan Pendaftaran Tanah Menurut Hukum Agraria di Indonesia


Asas-Asas Pendaftaran Tanah
Berdasarkan Asas ini, setiap orang berhak mengetahui data yuridis tentang subjek
hak, Nama hak atas tanah, peralihan hak, dan pembenahan hak atas tanah yang ada di
kantor Pertanahan kabupaten atau kota, termasuk mengajukan keberatan sebelum
sertifikat diterbitkan, sertifikat pengganti, sertifikat yang hilang atau sertifikat yang
rusak, nama hak atas tanah, peralihan hak, dan pembenahan hak atas tanah yang ada di
kantor Pertanahan kabupaten atau kota, termasuk mengajukan keberatan sebelum
sertifikat diterbitkan, sertifikat pengganti, sertifikat yang hilang atau sertifikat yang
rusak.288
Menurut pasal 2 pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana,
aman terjangkau, mutakhir dan terbuka. Pengertian asas-asas tersebut dijelaskan dalam
penjelasan Pasal 2.
1. Asas sederhana.
Asas ini  di maksud dan akar ketentuan ketentuan pokok nya maupun prosedur
nya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak pihak yang berkepentingan, terutama
pada pemegang hak atas tanah.
2. Asas aman.
Asas ini dimaksudkan Untuk menunjuk kan bahwa pendaftaran tanah perlu
diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan
kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

286
Urip Santoso. Hukum Agraria. Jakarta: Kencana Prenadamedia 2012. Hlm 286
287
Bachsan Mustafa, SH. “Hukum Agraria dalam Perspektif”. Bandung: 1988.
Remadja Karya. Hal: 48.
288
Ibid.

Politik Agraria | 182


3. Asas terjangkau.
Asas ini dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak pihak yang memerlukan,
khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi
lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah
harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan.

4. Asas Mutakhir
Asas ini dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan 
kesinambungan dalam pemeliharaan  datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan
keadaan yang mutakhir. Untuk itu diikuti kewajiban mendaftar dan Pencatatan
perubahan perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas ini menuntut dipeliharanya
data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data
yang Tersimpan di kantor  pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.
5. Asas terbuka.
Asas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui atau memperoleh
keterangan mengenai data fisik dan data yuridis yang benar setiap saat di kantor
Pertanahan kabupaten atau kota.
Dalam UUPA dimuat 8 asas dari hukum agraria nasional. Asas – asas ini kerena
sebagai dasar dengan sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap
peraturan pelaksanaannya. Delapan asas tersebut, adalah sebagai berikut:
6. Asas kenasionalan
7. Asas pada tingkat tertinggi,bumi,air, dan kekayaan alam tyang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara
8. Asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa dari pada kepentingan perseorangan atau golongan.
9. Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
10. Asas hanya negara indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah.
11. Asas persamaan bagi setiap warga negara indonesia.
12. Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya
sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan.
13. Asas tata guna tanah/pengunaan tanah secara berencana.

Pendaftaran Tanah dan Pelaksanaannya


Pendaftaran tanah secara sistematik diutamakan, karena melalui cara ini akan
dipercepat perolehan data mengenai bidang-bidang tanah yang akan didaftar daripada
melalui pendaftaran tanah secara sporadic. Tetapi karena prakarsanya datang dari
pemerintah, diperlukan waktu untuk memenuhi dana, tenaga, dan peralatan yang
diperlukan. Maka pelaksanaannya harus didasarkan pada suatu rencana kerja yang
meliputi jangka waktu agak panjang dan rencana.
Sistem pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak, sebagaimana
digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut PP 10/1961. Bukan
sistem pendaftaran akta. Hal tersebut Nampak dengan adanya buku tanah sebagai
dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan seta
diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar.

Politik Agraria | 183


Hak atas tanah, Hak pengelolaan, tanah wakaf dan Hak Milik atas satuan rumah
susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data yuridis
dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat
pula ada pada surat ukur tersebut merupakan bukti, bahwa hak yang bersangkutan
beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dala surat ukur secara
hukum telah terdftar menurut PP 24/1997 ini.
Pendaftaran tanah adalah perlu demi untuk kepastian hukum , dilakukan secara
sederhana dan mudah dimengerti. Pelaksanaannya tidak sekaligus untuk seluruh
wilayah R.I., tetapi secara berangsur-angsur pendaftaran dikota-kota didahulukan, hal
ini adalah sesuai dengan mendesaknya keperluan lalu-lintas. Pelaksanaan sesuatu
sekitar pendaftaran ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah No. 10 tahun
1961.

Obyek Pendaftaran Tanah


Dalam kenyataannya terkait masalah kepastian hukum kepemilikan tanah masih
jauh dari harapan yang diinginkan oleh pihak dunia usaha, karena konflik pertanahan
merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta berlangsung dalam kurun
waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu ada dimana-mana. Sengketa dan konfil
pertanahan adalah bentuk permasalahan yang sifatnya kompleks dan multidimensi.
Dengan demikian hal ini dapat mempengaruhi iklim dunia usaha di Indonesia, karena
tanah merupakan salah satu sumber modal dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Prosedural pendaftaran tanah merupakan hal yang sangat penting, hal ini
disebabkan karena faktor ini merupakan pendukung pelaksanaan pembangunan yang
berkelanjutan dan pembangunan yang dilaksanakan merupakan upaya sadar yang
dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai kehidupan lebih baik. Proses pembangunan
dewasa ini akan senantiasa bersentuhan dengan lingkungan dalam hal ini adalah
penggunaan tanah itu sendiri, yang dapat memunculkan permasalahan-permasalahan
yang sifatnya sangat kompleks, seperti halnya dalam prosedural pendaftaran tanah,
sebagai suatu jaminan kepastian hukum, terhadap tanah yang dimiliki masyarakat dari
negara (melalui Badan Pertanahan Nasional).289
Obyek pendaftaran tanah menurut Pasal 9 meliputi:
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak guna bangunan, dan Hak pakai
b. Tanah hak pengelolaan
c. Tanah wakaf
d. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
e. Hak Tanggungan
f. Tanah Negara
Hak guna Bangunan dan Hak Pakai ada yang diberikan oleh negara.290 Tetapi
dimungkinkan juga diberikan oleh pemegang Hak Milik atas tanah. Tetapi selama
belum ada pengaturan mengenai tatacara pembebanannya dan disediakan formulir akta
pemberiannya untuk sementara belum aka nada Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
yang diberikan oleh pemegang Hak Milik atas tanah. Maka yang kini merupakan obyek

Indra Yudha Koswara, ”Pendaftaran Tanah Sebagai Wujud Kepastian Hukum dalam Rangka
289

Menghadapi Masyarakat Ekonomu ASEAN (MEA).Jurnal HukumUniversitas Singaperbangsa


Karawang.2016 hlm 28
290
Ibid,, hal 486

Politik Agraria | 184


pendaftaran tanah baru Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh negara.
Tanah negara dalam PP 24/1997 termasuk obyek yang didaftar.291
Berbeda dengan obyek-obyek pendaftaran tanah yang lain, dalam hal tanah
negara pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan sebidang tanah yang
bersangkutan dalam daftar tanah. Untuk tanah negara tidak disediakan buku tanah dan
karenannya juga tidak diterbitkan sertifikat. Obyek pendaftaran tanah yang lain didaftar
dengan membukukannya dalam peta pendaftaran dan buku tanah serta menerbitkan
sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya.Dalam pasal 1 dirumuskan, bahwa tanah
negara atau tanah yang dikuasai langsung olrh negara adalah tanah yang tidak dipunyai
dengan sesuatu hak atas tanah. Kiranya yang dimaksudkan sebagaiobyek pendaftaran
tanh bukan tanah negara dalam arti yang luas, melainkan dalam golongan tanah negara
dalam arti sempit.
Dalam Pasal 1 ayat (3) PP 24/1997 dirumuskan, bahwa tanah Negara atau tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu
hak atas tanah. Kiranya yang dimaksudkan sebagai obyek pendaftaran tanah bukan
tanah Negara dalam arti yang sangat luas, melainkan terbatas pada tanah Negara dalam
arti yang sempit.292

Sistem Pendaftaran Yang Digunakan


Sistem pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak, sebagaimana
digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut PP 10/1961. Bukan
sistem pendaftaran akta. Hal tersebut Nampak dengan adanya buku tanah sebagai
dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan seta
diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar.
Hak atas tanah, Hak pengelolaan, tanah wakaf dan Hak Milik atas satuan rumah
susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data yuridis
dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat
pula ada pada surat ukur tersebut merupakan bukti, bahwa hak yang bersangkutan
beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dala surat ukur secara
hukum telah terdftar menurut PP 24/1997 ini.Menurut Pasal 31 untuk kepentingan
pemegang hak yang bersangkutan diterbitkan sertifikat sesuai dengan data fisik yang
ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.293
Menurut Boedi Harsono sistem pendaftaran hak, sebagaimana digunakan dalam
penyelengaraan pendaftaran tanah menurut PP 10/1961. Bukan sistem pendaftaran akta.
Hal tersebut tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data
yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan seta diterbitkannya sertipikat
sebagai surat tnda bukti hak yang didaftar.294

Penyelenggara dan Pelaksana Pendaftaran Tanah


Penyelenggara Pendaftaran Tanah
Sesuai ketentuan Pasal 19 UUPA pendaftaran tanah diselenggarakan oleh
Pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional. Maka dapat kita ketahui dalam
Pasal 19 UUPA yang berbunyi sebagai berikut :

291
Ibid,, hal 487
292
FX. Sumarja, S.H, M.H. Hukum Pendaftaran Tanah, (Universitas Lampung: Lapung, 2010). Hlm. 45.
293
Prof. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan), 2008,hal 477.
294
FX. Sumarja, S.H, M.H. Hukum Pendaftaran Tanah, (Universitas Lampung: Lapung, 2010). Hlm. 45.

Politik Agraria | 185


a. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan - ketentuan yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
 Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
 Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
 Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
c. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan
masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
d. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat
yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.295
1. Pelaksana Pendaftaran Tanah
Pelaksana pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali
mengenai kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada pejabat lain. Yaitu
kegiatan-kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi wilayah kerja
Kepala Kantor Pertanahan, misalnya pengukuran titik dasar teknik dan pemetaan
fotogrametri.
Dalam melaksanakan tugas tersebut Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh
pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP 24/1997 ini dan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya pembuatan akta PPAT sementara,
pembuatan akta ikrar wakaf oleh pejabat pembuat akta ikrar wakaf, pembuatan surat
kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) oleh notaries, pembuatan risalah
lelang oleh pejabat lelang, dan ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik oleh
panitia Ajudikasi (Pasal 6). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997
tentang penyelenggara dan pelaksana pendaftaran tanah adalah sebagai berikut:
1) Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5(Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan
Nasional. ) tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor
Perta-nahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh Per-aturan
Pemerintah ini atau perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan
kepada Pejabat lain.
2) Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu
oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.296
3) Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Dalam pasal 1 angka 24 disebut PPAT sebagai pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu sebagai yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, yaitu akta
pemindahan dan pembebanan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan. Pejabat
Umum adalah orang yang diangkat oleh Instansi yang berwenang, dengan
tugas melayani masyarakat umum dibidang atau kegiatan tertentu. Dalam pasal

295
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria Presiden Republik Indonesia (Pasal 19),
hlm 7
296
Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Pasal 6),
hlm 5

Politik Agraria | 186


7 ditetapkan bahwa PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Negara
Agraria/ Kepala BPN. Berikut Pasal 7 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24
Tahun 1997 yang berbunyi :
 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat
 diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
 Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara.
 Peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.297

Pengertian Hak Atas Tanah Menurut Undang undang Pokok Agraria (UUPA)
Pendaftaran berasal dari kata Cadastre (bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah
teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan
(atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa Latin
“Capitastrum” yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk
pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens). Dalam artian Cadastre adalah record
(rekaman dari pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk
kepentingan perpajakan)298.
Pada pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa “bumi air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara”. Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak
menguasai dari Negara termaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
pasal 1 ayat 2) memberi wewenang kepada Negara.
Terbentuknya Undang-Undang Pokok Agaria melalui proses yang panjang
(Harson,1970, 94). Dengan demikian bahwa sumber hukum adat yang diakui dalam
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah nilai-nilai yang sesuai dengan tujuan
fungsi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; berupaya meningkatkan kesejahteraannya,
memerdekakan masyarakat dalam arti ekonomi maupuun politik, serta menganut
paham kebangsaan yang menolak penguasaan dan pemilik tanah di tangan segelintir
masyarakat saja; penggunaan tanah lebih ditunjukan untuk rakyat, khususnya rakyat
tani. Dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat dilihat adanya upaya untuk
mewujudkan kehendaak kemerdekaan dan mensejahterakan rakayat dan menghapuskan
praktek-praktek eksploitasi pemerintah kolonial, baik kaum kapitalis asing maupun
kaum feodal.299
Untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum (UUPA, pasal 4 ayat 1).
Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan
demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan

297
Ibid (Pasal 7), hlm 5
298
Muhammad Fauzi Rizal, Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali Secara Sporadik Pada Tanah
Yang Belum Bersertifikat di Kantor Pertanahan Kabupaten Banjarnegara, Universitas Sebelas Maret Surakarta
2007, hal. 23
299
Noer Fauzi, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1999) Hal 69.

Politik Agraria | 187


untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam
batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.300
Suatu fakta yang sulit untuk dipertanggungjawabkkan adalah tidak berfungsinya
UU No. 5 Tahun 1960, yang bisa dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA), dalam menguatkan hak rakyat petani atas tanah. Kebijakan pemerintah
tersebut justru memberikan kemudahan bagi dirinya dan modal besar untuk
memperoleh tapak-tapak bagi industri mereka, walaupun harus beroprasi pada tanah-
tanah produktif yang telah digarap rakyat petani.Data yang telah diperoleh oleh
Kompas (13 Juli 1995), menyebutkan, sekitar 900.000 Ha (sembilan ratus ribu hektar)
tanah pertanian di Pulau Jawa, telah terkonversi menjadi llahan non-pertanian, terutama
industry.301

Macam-Macam Hak Atas Tanah


Hak Guna Bangunan (HGB) diatas dalam pasal 35 s/d 49 UUPA yang mana hak
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas yang bukan miliknya sendiri. Hak
Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas
yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat
diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Selain itu, Hak guna banguanan
(HGB) dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain serta dapat dijadikan jaminan
dengan dibebani hak tanggungan.Selaras dengan ketentuan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) diatas Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1966
tentang Hak Guna Usaha (HGB), dan Hak Pakai Atas Tanah, menyebutkan bahwa
sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan Perpanjangannya. Sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) PP Nomor 40 Tahun 1996 berakhir, kepada bekas
pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang
sama.
Dengan adanya gambaran-gambaran yang telah disebutkan diatas sehingga pada
tanggal 24 September 1960 UU nomor 5 th 1960 atau yang lebih dikenal dengan UUPA
disahkan yang memuat tentang perturan dasar-dasar pokok Agraria. UUPA merupakan
pertauran dasar pokok-pokok agraria, maka demi kelancaran pelaksanannya telah
dilengkapi dengan, peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 56 tahun 1960 tentang
penetapan luas tanah, UU Nomor 2 tahun 1960 tentang UU pokok bagi hasil, peraturan
pemerintah nomor 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan
pemberian ganti rugi.
Undang-undang pokok agrarian (UUPA) mempunyai 2 sifat nasional yakni
formal nasional dan material nasional. Hak-hak yang diatur dalam UUPA yaitu hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa dan beberapa hak
lainnya yang berhubungan dengan tanah. Sumber hukum agraria dibagi menjadi 2
yakni hukum tertulis dan tidak tertulis
Hak ulayat ini mengandung aspek hukum privat, yaitu unsur kepunyaan yang
termasuk bidang hukum perdata dan aspek hukum publik yaitu tugas kewenangan
untuk mengatur penguasaan dan memimpin tanah bersama termasuk bidang hukum
administrasi negara, dimana pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri
atau bersama-sama dengan para ketua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan
dan merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dilingkungan masyarakat
hukum adat bersangkutan.
300
Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi Dan Implementasi, (Jakarta : Kompas,
2005), hal.62
301
Ibid 7.

Politik Agraria | 188


Hak-hak perseorangan atas sebagian tanah tersebut baik langsung maupun tidak
langsung adalah bersumber dari padanya. Dalam Pasal 3 UUPA No. 5 Tahun 1960
dinyatakan dengan tegas bahwa hak ulayat masih berlaku sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan harus disesuaikan dengan kepentingan nasional,
kepentingan negara, persatuan bangsa, dan tidak bertentangan dengan undang-undang
yang lebih tinggi.
Dengan demikian, hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum
adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada yang dapat diketahui dari
kegiatan sehari-hari, pelaksanaan hak ulayat dibatasi sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara. Pada pasal 33 UUD 1945 sudah dijelaskan bahwa
bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
sepangjang perjalanan sejarah umat manusia selalu merupakan sumber daya alam yang
amat penting dalam kelangsungan hidupnya. Fakta tentang adanya hubungan antara
manusia dan bumi, air dang ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, telah merangsang para ahli untuk melakukan pemikiaran tentang hal itu
sejak dulu.pemikiran itu telah beralangsung sejak zaman yunani. Pemikiran pemikiran
itu pun telah melahirkan bermacam-macam aliran didalam ilmu pengaetahuan.
pengertian “agraria’ dalam UUPA hakikatnya adalah sama degan pengertian
“ruang” dalam Undang-undang 24/1992. Dalam pasal 1 angka 1dinyatakan: “Ruag
adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai
satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan
kegiatannya serta memelihara kelangsungan hidupnya.
UUD 1945 meletakkan dasar politik agraria nasional yang dimuat dalam pasal 33
ayat 3, yaitu’’bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung untuk sebesarnya
kemakmuran rakyat’’.ketentuan ini bersifat imperatif, yaitu mengandung
pemerintakepada negara agar bumi,air,dan kekayaan alam alam yang terkandung
didalamnya, yang diletakkan dalam penguasaan negara itu dipergunakan untuk
mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat indonesia. Dengan demikian, tujuan dari
penguasaan oleh negara atas bumi,air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
adalah untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat indonesia.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah indonesia untuk menyesuaikan hukum
agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah indonesia merdeka, yaitu :
1. Mengunakan kebijaksanaan dan tafsir baru.
2. Penghapusan hak-hak kovensi.
3. Penghapusan tanah pertikelir.
4. Perubahan peraturan persewaan tanaah rakyat.
5. Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah.
6. Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan.
7. Kenaikan canon dan ciji.
8. Larangan dan penyelesayan soal pemakaian tanah tanpa izin.
9. Peraturan perjanjian bagi hasil (tanah pertanian).
10. Peralihan tugs dan wewenang
Pada Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ( RI ) dinyatakan pada tanggal
17 Agustus 1945 oleh soekarno dan Mohamad Hatta atas nama bangsa indonesia
sebagai tanda terbentuknya negara kesatuan RI sebagai suatu bangsa yang merdeka.
Dari segi yuridis, proklamasi kemerdekaan merupakan saat tidak berlakunya hukum
kolonial dan saat mulai berlakunya hukum nasional, sedangkan dari segi politis,
peroklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa bangsa indonesia terbatas dari
penjajahan bangsa asing dan memiliki kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Faktor-fakror yang harus diperhatikan dalam pembangunanhukum agraria nasional,

Politik Agraria | 189


adalah faktor formal, faktor materil,faktor ideal, faktor agraria modern, dan faktor
ideologi politik

1. Faktor formal
Keadaan hukum agraria diindonesia sebelum diundangkannya UUPA
merupakan keadaan peralihan, keadaan sementara waktu oleh karena peraturan-
peraturan yang sekarang berlaku ini berdasarkan pada peraturan-perturan peralihannn
yang terdapat dalan pasal 142 undang-undang dasar sementaraa (UUDS) 1950, pasal
192 konstitusi Republik indonesia serikat (KRIS) dan pasal 2 aturan peralihan UUD
1945 , yang semuanya itu bersama-sama menentukan dalam garis besarnya bahwa
peraturan-peraturan hkum yang berlaku pada zaman hindia belanda memegang
kekuasaan, masih berlaku untuk sementara.
2. Faktor material
Hukum agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum. Dualisme hukum ini
dapat meliputi hukum, subjek maupun objek. Menurut hukumnya, yaitu disuatu pihak
berlaku hukum agraria barat yang diatur dalam KUH perdata maupun agrarische wet,
di pihak lain berlaku hukum agraria adat yang diatur dalam hukum adat tentang tanah
masing – masing. Menurt subjeknya, hukum agraria barat berlaku bagi orang – orang
yang tunduk pada hukum barat, dipihak lain hukum agraria adat berlaku bagi orang –
orang yang tunduk pada hukum adat.
Menurut objeknya, di satu pihak ada hak-hak atas tanah yang diperuntukan bagi
orang-orang yang tunduk hukum barat, di pihak lain ada hak-hak ats tanah yang
diperuntukkan bagi orang – orang yang tunduk pada hukum adat. Adanya sifat
dualisme hukum ini membawa konsekuensi, baik dari sistem hukum maupun segi hak
dan kewajiban bagi subjek hukumnya. Sifat dualisme hukum ini menimbulkan
persoalan dan kesulitan yang tidak dapat dibiarkan terus-menerus.
3. Faktor ideal
Dari faktor ideal (tujuh negara),sudah tentu tujuan hukum agraria tidak cocok
dengan tujuan negara indonesia yang tercantum dalam alinea IV pembukaan UUD
dan tujuan penguasaan bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya ,
seperti yang tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

4. Faktor agraria modern


Faktor-faktor agraria modern terletak dalam lapangan – lapangan:
1. Lapangan sosial
2. Lapangan ekonomi
3. Lapangan etika.
4. Lapangan idiil fundamental
Faktor-faktor diatas yang mendorong agar dibuat hukum agraria nasional.
5. Faktor ideologi politik
Indonesia sebagi bangsa dan negara mempunyai keterkaitan hidup dengan
negara-negara lain. Indonesia tidak dapat mempunyai kedudukan tersendiri terlepas
dari keadaan dan hubungan dengan negara-negara lain.Dalam menyusun hukum
agraria nasional boleh mengadopsi hukum agraria lain sepanjang tidak bertentangan
dengan pancasila dan UUD 1945. UUD 1945 dijadikan faktor dasar dalam
pembangunan hukum agraria nasional. Dan tujuan UUPA Meletakkan dasar-dasar
bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk membawakan

Politik Agraria | 190


kemakmuran, kebahagian, dan keadialn bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani
dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

Hak-Hak Yang Bersifat Sementara


Hak-hak atas tanah tersebut di atas yang bersifat sementara diatur lebih lanjut
dalam Pasal 53 ayat (1), yaitu : “Hak-hak yang bersifatnya sementara sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil,
Hak Menumpang dan Hak sewa tanah Pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya
yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan
hapusnya dalam waktu yang singkat”.302
Hak-hak yang bersifat sementara adalah hak-hak atas tanah yang diatur pada
Pasal 53 UUPA.Hak atas tanah yang bersifat sementara ini adalah hak yang sangat
merugikan pemilik tanah gadai dan penggarap tanah. Berikut ini adalah macam-
macam hak atas tanah yang bersifat sementara:
5. Hak gadai adalah hak gadai tanah pertanian merupakan pengertian “jual
gadai” tanah yang berasal dari hukum adat. Jual gadai adalah penyerahan
sebidang tanah oleh pemiliknya kepada pihak lain dnegan membayar uang kepada
pemilik tanah dengan perjanjian bahwa tanah akan dikembalikan kepada
pemiliknya apabila pemilik mengembalikan juang yang diterimanya kepeda
pemegang tanah gadai. Hak gadai adalah menyerahkan tanah dengan pembayaran
sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang yang menyerahkan tanah
mempunyai hak untuk meminta kembali tanahnya tersebut dengan memberikan
uang yang besarnyasama.
6. Hak usaha bagi hasil adalah hak yang asalnya sama dengan hak gadai,yaitu
berasal dari hukum adat. Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau
badan hukum untuk menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi di antara kedua belah pihak menurut
perjanian yang telah disetujui sebelumnya.303
7. Hak menumpang, artinya adalah hak yang mengizinkan seseorang ungtuk
mendirikan bangunan dan menempati tanah pekarangan orang lain, dengan tidak
membayar sejumlah uang kepada pemilik pekarangan. Hak menumpang adalah
hak yang memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan
menempati rumah di atas pekarangan orang lain. Pemegang hak menumpang
tidak wajib membayar sesuatu kepada yang empunya tanah, hubungan hukum
dengan tanah tersebut bersifat sangat lemah artinya sewaktu-waktu dapat
diputuskan oleh yang empunya tanah, jika yang bersangkutan memerlukan sendiri
tanah tersebut. Hak menumpang dilakukan hanya terhadap tanah pekarangan dan
tidak terhadap tanah pertanian.
8. Hak sewa atas tanah pertanian. Seperti yang telah disebutkan di atas, hak-hak
atas tanah yang bersifat sementara ini sangat merugikan bagi pemilik tanah dan
juga penggarap atau penyewa tanah. Oleh karena itu, diharapkan agar hak-hak ini
dihapuskan dari hukum pertanahan atau hukum agraria nasional. Hak sewa tanah
pertanian adalah penyerahan tanah pertanian kepada orang lain yang memberi
sejumlah uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa setelah pihak yang
member uang menguasai tanah selama waktu tertentu, tanahnya akan
dikembalikan kepada pemiliknya.
302
Afra Fadhillah Dharma Pasambuna, “IMPLEMENTASI HAK PENGELOLAAN DAN

PEMBERIAN HAK ATAS TANAH NEGARA”, Lex et Societatis, Vol. V, No. 1,Jan-Feb,2017. Hlm.30
303
Ibid, hlm.32

Politik Agraria | 191


K. Sistematika Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Untuk memudahkan mempelajari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) perlu
tahu sistematikanya, yaitu sebagai berikut:
BAB I
PERTAMA:
Dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan pokok (pasal 1 sd 15) bab 2 hak-hak atas
tanah, air, ruang angkasa, serta pendaftaran tanah.
Bagian :
I : ketentuan-ketentuan umum (pasal 16 sd 18)
II : pendaftaran tanah (pasal 19)
III : hak milik (pasal 20 sd 27)
IV : hak guna usaha (pasal 28 sd 34)
V : hak guna bangunan (pasal 35 sd 40)
VI : hak pakai (pasal 41 sd 43)
VII : hak sewa untuk bangunan (pasal 44 sd 45
VIII : hak membuka tanah dan memungut hasil hutan (pasal 46)
IX : hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan air (pasal 47)
X : hak guna ruang angkasa (pasal 48)
XI : hak-hak tanah untuk keperluan suci, sosial (pasal 49)
XII : ketentuan lain (pasal 50 sd 51)
BAB II
Hak-Hak Atas Tanah, Air, Dan Ruang Angkasa Serta Pendaftaran Tanah Pasal 16 sd
51
Bagian :
I : Ketentuan-ketentuan umum (Pasal 16 sd 18)
II : Pendaftaran tanah (pasal 19)
III : Hak milik (Pasal 20 sd 27)
IV : Hak guna usaha (Pasal 28 sd 34)
V : Hak Guna Bangunan (Pasal 35 sd 40)
VI : Hak Pakai (Pasal 41 sd 43)
VII : Hak sewa untuk bangunan (pasal 44 sd 45)
VIII : Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan (pasal 46)
IX : Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 47)
X : Hak guna ruang angkasa (Pasal 48)
XI : Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial (pasal 49)
XII : Ketentuan-ketentuan lain (Pasal 50 sd 51)304
BAB III
Ketentuan-ketentuan pidana pasal 52
BAB IV
Ketentuan-ketentuan peralihan pasal 53 sd 58
KEDUA
Ketentuan-ketentuan konversi pasal I sd IX
KETIGA
Perubahan susunan pemeritahan desa
KEEMPAT
Hapusnya hak-hak dan wewenang-wewenang swapraja
304
UU Republik Indonesia No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Politik Agraria | 192


KELIMA
Sebutan : UUPA
Yang Dicabut :
 Peraturan-peraturan perundangan mana yang dinyatakan dicabut.
 Agrariche yang termuat dalam pasal 51 IS
 Domainverklaring dalam pasal 1 agraris besluit (S870 sd 118)
 Algemene domeinverklaring S (1875 sd 119A)
 Domeinverklaring untuk Sumatra (S1874-941)
 Domeinverklaring untuk manado (S1877-55)
 Domeinverklaring untuk Zuider en oosteraf deli van Burneo (S1888-58)
 Koninklijke besluit (S 1872-117)
Ketentuan-ketentuan dalam hukum II BW sepanjang mengenai bumi, air,
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali
hipotek.

Politik Agraria | 193


DAFTAR PUSTAKA

Ardiwilaga. Roestandi, 1962, Hukum Agraria indonesia, cet. Ii. Bandung : Masa Baru

Bachsan Mustafa, SH. 1998 “Hukum Agraria dalam Perspektif”. Bandung, Remadja Karya.

Bachsan Mustafa. S.H. 1988. Hukum Agraria Dalam Perspektif. Remadja Karya: Bandung.

Boedi Harsono, 1997, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-undang


Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Edisi Revisi, Cetakan Ketujuh, Djambatan,
Jakarta.

Djaren Saragih, 1996. Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito : Bandung

Efendi, Sofian dkk, 1996, Membangun Martabat Manusia. Yogyakarta:Gadja Mada


University Press

Effendi Perangin.1997, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah.Jakarta:Rajawali

Fuad, Ahmad. 2004, Dimensi Sains Al-quran: Menggali Ilmu Pengetahuan Dari Al-quran,
Solo: Tiga Serangkai

Hadikusuma. Hilman. 1990, Hukum Perjanjian Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti

Harsono. Boedi, 2003, hukum Agraria Indonesia-sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaanya. Jilid 1 : Hukum Tnaha Nasional, edisi revisi,
Djambatan, Jakarta

Huijbers, 1982. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius Anggota IKAPI.

John Salindeho.1993. Masalah Tanah Dalam Pembangunan. Sinar Grafika: Jakarta.

Jurnal hukum, (Lihat: http://www.jurnalhukum.com/sejarah-hukum-agraria/, diakses: 26


Maret 2016, pukul 14.40 Wib)

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1994. Balai Pustaka: Jakarta.

Kartasa poetra. G. 1991. Hukum Tanah Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah. Penerbit PT Rineka Putra. Jakarta.

Kartasapoetra dkk. 1991, hukum tanah, Jakarta, PT. Rieneka Cipta

M.A.W Brouwer. 1988, Alam Manusia dan Fenomenologi, Jakarta: Gramedia

Politik Agraria | 194


Maria SW Sumardjono, 2005 Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi Dan Implementasi,
Kompas : Jakarta.

Maria SW Sumardjono, 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya,
Jakarta : Kompas

Mufid sofyan anwar. 2010, ekologi manusia dalam perspektif sektor kehidupan dan ajaran
islam. Bandung, PT REMAJA ROSDAKARYA

Muljadi, Kartini, dkk.2005, Hak-Hak atas Tanah, Jakarta:Prenada Media

Muljadi. Kartini dan Widjaja Gunawan. 2004, Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kecana Prenada
Media Group.

Prent K. Adisubrata, J. Poerwadarminta. 1960. Kamus Latin Indonesia. Yayasan kanisius:


Semarang.

Prof. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan), 2008,

Purbacaraka. Purnadi dan Halim Ridwan, 1985, Sendi-sendi Hukum Agraria. Jakarta: Ghalia
Indonesia.

Santoso,Urip.2010, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group

Shihab, Quraish. 2011, Membumikan Al-quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati

Soerjono Soekanto, 2010. Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Soetomo, 1986.Politik Dan Administrasi Agraria, Surabaya: Usaha Nasional

Sotiknjo. Imam,1989. Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria dala Rangka


Menyukseskan Pelita V, Makalh Ceramah Sehari, Universitas 17 Agustus 1945,
Surabaya

Sujarwa. 1999, Manusia dan Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Supriadi. 2007, Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.

Sutanto, Rachman. 2005, Dasar-dasar Ilmu Tanah: Konsep dan Kenyataan, Yogyakarta:
Kanisius

Sutrisno, Muji. 2006, Drijarkara Filsuf Yang Mengubah Indonesia, Yogyakarta:


Galang Press

Syahrizal Darda. 2011, Kasus-kasus Hukum Perdata Indonesia, Yogyakarta: Pustaka


Grahatama

Tjondronegoro, sediono dan Gunawan Wiradi, menelusuri Pengertian Istilah “agraria”,


Jurnal Analisis Sosial, Vol. 9, No. 1, April 2004, penerbit Akatiga, Bandung, 2004, hlm.
1.

Politik Agraria | 195


Vollenhoven, C. Van. 2004, Penemuan Hukum Adat, dalam B.F Sihombing, Evolusi
Kebijakan Pertahanan dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta: Gunung Agung

Wikipedia, (Lihat: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Demografi_Indonesia, diakses : 26 Maret


2016, Pukul 16.00 Wib)

Wikipedia, (Lihat: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia, diakses : 26 Maret


2016, Pukul 15.30 Wib)

Zein. Ramli, 1995, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA. Jakarta: PT. RINEKA Cipta

Erina Pane ,Hak Guna Air dalam Hubungan dengan Privatisasi Peengelolaan Sumberdaya
Air. Hal 2

Jurnal Ilmiah Hukum Refleksi Hukum Edisi April 2012. Hal43

Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Aspek Hukum Pengelolaan Hak Pakai atas Tanah dalam
Rnagka Pemanfaatan Lahan Secara Optimal, Edisi 1, Volume 2, Tahun 2014.

Jurnal Hukum, Pelaksanaan Perpanjangan Hak Guna Bangunan yang Telah Habis Masa
Berlakunya Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Hal 3

Noer Fauzi, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999) Hal 69

R. Subekti, 1992, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung, Citra Aditya Bakti, Hal
30 31

Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah,op.cit, hlm.15

www.notarisdanppat.com/hak -atas-rauang-angkasa-indonesia

Dr. Urip Santoso. 2012. Hukum Agraria. Jakarta: Kencana Prenadamedia.

Benedicta Putri Dumatubun. 2004. ”Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pertama Kali (Konversi
Hak Milik Atas Tanah Adat) Dalam Rangka Memberikan Jaminan Kepastian
Hukum di Kabupaten Merauke”. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Indra Yudha Koswara. 2016.”Pendaftaran Tanah Sebagai Wujud Kepastian Hukum dalam
Rangka Menghadapi Masyarakat Ekonomu ASEAN (MEA)”. Jurnal
HukumUniversitas Singaperbangsa Karawang. hlm 28

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria Presiden Republik


Indonesia (Pasal 19). hlm 7

Jurnal Ilmiah Hukum .”Refleksi Hukum”.Edisi April 2012.

Afra Fadhillah Dharma Pasambuna, “IMPLEMENTASI HAK PENGELOLAAN DAN


PEMBERIAN HAK ATAS TANAH NEGARA”, Lex et Societatis, Vol. V, No. 1,Jan
Feb,2017.

Politik Agraria | 196


A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia (Berdasarkan PP.No24/1997dilengkapi
dengan Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah PP. 37 Tahun 1998), Cetakan
Pertama, (Bandung : CV.Mandar Maju, 1999)

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok


Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid I, Edisi Revisi, Cetakan Kesebelas, (Jakarta :
Djambatan, 2007), hlm.72.

Hairan, “Pendaftaran Tanah Dalam Sertipikasi Hak Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah”, Makalah disampaikan di Fakultas
HukumUniversitas Mulawarman. Kalimantan Timur, 5 Februari 2012, hlm.2.

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan Pertama, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2007), hlm.112.

Mhd.Yamin Lubis & Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, Cetakan Kedua,
(Bandung : CV.Mandar Maju, 2010)., hlm.91.

A.P.Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Cetakan Kesembilan,


(Bandung : Mandar Maju, 2002), hlm.112.

nge Dwisvimiar, “Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum”, Jurnal Dinamika
Hukum, Vol.11, Edisi No.3, (2011), hlm.506.

Sumarja, FX. Hukum Pendaftaran Tanah.Universitas Lampung: Lapung, 2010.


Nurdin. H. Poltik Hukum Pertanahan.Jurnal: Meraja Journal Vol. 1, No. 3, November 2018.
Nurmaya Safitri & dkk, Sertifikat Tanah Dalam Perspektif Kepastian Hukum, Jurnal Bauna Law
Review Vol. 1 Nomor 1, Oktober 2019.
Christiana Tri Bhudayati, Jaminan Kepastian Kepemilikan Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Dalam
Pendaftaran Tanah Menurut UUPA, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 Nomor 2 April 2018.
Muhammad Fauzi Rizal. 2007. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali Secara Sporadik
Pada Tanah Yang Belum Bersertifikat di Kantor Pertanahan Kabupaten Banjarnegara.
Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Santoso, Urip. 2012. Hukum Agraria. Jakarta: Kencana Prenadamedia.

Politik Agraria | 197


Kebijakan Dan Hukum
Administrasi Agraria
Nama Kelompok :

Asyro Dwi Kurniawan (I71218041)

Dzulkarnain Jamil (I21218100)

Saniatul Maghfiroh (I01218034)

Ummu Khoirun Nisa (I71218061)

Politik Agraria | 198


BAB V

Kebijakan Dan Hukum Administrasi Agraria

A. Latar Belakang
Secara umum Negara Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki hasil
bumi yang melimpah dan negara kepulauan yang memiliki hasil laut yang beraneka
ragam, Indonesia juga kaya akan hasil tambang sehingga apabila diolah secara efektif
dan efesien dapat menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi. Dalam konteks
pertanahan, tanah merupakan permukaan bumi yang berupa daratan tempat manusia
berdiri, bertempat tinggal, bercocok tanam dan segala jenis usaha untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya juga yang terpenting adalah tempat dimana
suatu negara berdiri untuk melindungi, mengayomi rakyatnya dan untuk mencapai
tujuan hidup yaitu kemakmuran dan kesejahteraan melalui usaha yang dilakukan oleh
pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam mengatur
warga negaranya secara hukum dan administrasi.305
Sejarah hukum agraria dan administrasi agraria di Indonesia sangatlah
panjang. Dinamika yang harus dilalui dari jaman ke jaman selalu berubah–ubah.
Dinamika tersebut dimulai dari jaman kerajaan–kerajaan. Pada jaman ini, hukum adat
sangat berlaku dalam bidang keagrariaan. Dimana kerajaan–kerajaan yang berkuasa
saat itu mempunyai undang–undang atau peraturan yang berbeda–beda dalam
mengatur masalah pertanahan. Kerajaan–kerajaan yang berkuasa di Indonesia dimulai
dari Kerajaan Kutai yang mengenal kitab undang–undang Brajanti atau Brajaniti,
kemudian Kerajaan Banjar dengan menganut kitab undang–undang Sultan Adam,
setelah itu Kerajaan Sriwijaya dengan kitab Simbur Cahaya hingga Kerajaan
Majapahit yang mengenal kitab Undang – undang Pratigundala.
Kedatangan Voc dan para penjajah Belanda serta Jepang ke Indonesia
merupakan jaman selanjutnya setelah jaman kerajaan–kerajaan. Dimana lahir hukum
barat yang melunturkan hukum adat pada jaman sebelumnya. Masalah pertanahan
seperti, hukum pertanahan, hak kepemilikan tanah, kewajiban pemilik tanah, dan
Asep Hidayat, Engkus, Hasna Afra. N, Implementasi Kebijakan Menteri Agraria dan Tata Ruang tentang
305

Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah sistematis lengkap di kota Bandung, ( Jurnal: Pembangunan Sosial,
Volume 1 Nomor 1,2018) hal. 100

Politik Agraria | 199


istilah–istilah lain dalam pertanahan seperti eigendom, erfpact, opstal dan lain–lain
semuanya diatur dalam undang-undang agraria yang merujuk pada hukum barat.
Hukum dan kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah senantiasa
diorientasikan pada kepentingan dan keuntungan mereka sebagai penjajah, yang pada
awalnya melalui politik dagang. Mereka sebagai penguasa sekaligus merangkap
sebagai pengusaha menciptakan kepentingan–kepentingan atas segala sumber–sumber
kehidupan di bumi Indonesia yang menguntungkan mereka sendiri sesuai dengan
tujuan mereka dengan mengorbankan banyak kepentingan rakyat Indonesia.
Dari segi Yuridis, saat Proklamasi Kemerdekaan tidak berlakunya hukum
kolonial dan mulai berlakunya hukum nasional, sedangkan dari segi politis,
proklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa bangsa Indonesia terbebas dari
penjajahan bangsa asing dan memiliki kedaulatan untuk menentukan nasibnya
sendiri.306 Sehingga hukum dan kebijakan, pelaksanaan, tugas pokok dan fungsi
keagrariaan serta catur tertib pertanahanpun berbeda dari hukum barat ke hukum
nasional. Sehingga dalam makalah ini akan dijelaskan tentang dinamika hukum dan
kebijakan agraria yang berlaku dari jaman kerajaan , VOC, Belanda, Jepang hingga
Indonesia nerdeka serta tugas pokok dan fungsi keagrariaan dan catur tertib
pertanahan.
Pertanahan (tanah) adalah sesuatu yang menjadi suatu kebutuhan yang pokok
dalam kehidupan manusia. Dalam menjalani kehidupannya, manusia selalu berkaitan
dengan tanah, mulai dari tanah untuk tempat tinggalnya, tempat usahanya, hingga
sampai ujung kehidupannya di dunia (kuburan/pemakaman) selalu berkaitan dengan
pertanahan. Disebabkan oleh alasan tersebut, tanah menjadi suatu hal yang sangat
berharga dan penting bagi manusia, sehingga sering menyebabkan perselisihan dan
pertikaian antar sesama manusia, bahkan antara keluarga sering menyebabkan
perpecahan karena masalah pertanahan ini. Lebih kompleks lagi, pertikaian
pertanahan ini juga bisa terjadi antara negara-negara yang saling berbatasan. Tanah
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa
tanpa tanah tidak ada kehidupan, dalam kata lain tanah memiliki arti dan fungsi yang
sangat penting bagi kehidupan manusia.307
Dalam kehidupan bernegara, perseorangan, dan masyarakat, tanah merupakan
benda yang sangat dibutuhkan. Permasalahan pertanahan saat ini bukan saja tuntutan
hak-hak atas tanah, tetapi juga menyangkut kewenangan dibidang pertanahan antara
pemerintah pusat, dan pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Kewenangan pemerintah bidang pertanahan sebagaimana diatur Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA),
sebagai kewenangan yang bersifat sentralistik. Berdasarkan kewenangan-kewenangan
yang terdapat dalam hukum tanah nasional, ternyata pembentukan hukum tanah
nasional maupun peraturan pelaksanaanya menurut sifat dan pada asasnya merupakan
kewenangan pemerintah pusat.308 Artinya bidang pertanahan, kewenangannya ada
pada pemerintah pusat, sedangkan daerah hanya menjalankan kewenangan secara
dekonsentrasi atau pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah dan secara

306
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012, hlm 31.
307
Asep hidayat, Ibid, hal.101
308
Arie Sukanti Hutagalung, Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah Dibidang Pertanahan, PT
Rajagrafindo, Jakarta, 2008, hlm. 112. Lihat juga Supriyanto, Kewenangan Bidang Pertanahan dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 No. 2 Mei 2009, hlm. 159-167.

Politik Agraria | 200


medebewind (pembantuan) adalah penugasan pemerintah pusat kepada daerah.
Kewenangan yang bersifat sentralistif ini menimbulkan kesulitan pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota dalam menangani masalah-masalah tanah secara cepat
dan tepat. Sementara perkembangan akan kebutuhan tanah semakin meningkat seiring
dengan semakin bertambahnya penduduk.309
Menurut pendapat aliran hukum alam, memang tidak tampak tegas dalam
pengertian bahwa negara tidak dapat memiliki tanah dalam pengertian memiliki
(eigendom) yang berisi kekuasaan mutlak atas tanah, namun negara dapat menguasai
tanah (tanpa harus memiliki) untuk kepentingan publik. Berlainan dengan paham
yang dianut hukum alam, Ulpianus dan Vegting sebagaimana dikutip oleh Ronald Z.
Titarelu menyatakan bahwa negara berdasarkan hubungan khusus dapat memiliki
tanah (walaupun semu sifatnya). Pemilikan tanah itu dipergunakan untuk umum (res
publica). Hubungan hukum yang terjadi dapat bersifat pemilikan ataupun
penguasaan.310
Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat yang didasarkan pada teori hukum
perjanjian masyarakat yang dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau serta M. Kaser
dan P.B.J. Wubbe. Pendapat ini menyatakan bahwa pemilik perseorangan atas tanah
diserahkan berdasarkan perjanjian masyarakat yang dijelmakan dengan hukum.
Dalam kehidupan bernegara, seluruh kekayaan yang ada dalam negara adalah milik
publik yang dikuasai oleh hukum negara. Hal ini berlaku pula terhadap setiap
hubungan hukum negara, sehingga negara mempunyai kewenangan hukum atas
kepunyaan negara.311
Tanah sebagai sumber daya alam stategis bagi bangsa memerlukan campur
tangan negara untuk mengaturnya. Jadi hubungan perorangan, keluarga, dan
masyarakat dengan tanah didasarkan atas fitrahnya sebagai makhluk Tuhan untuk
hidup secara individu maupun sosial dengan menjalankan hak (kemampuan dan
kecakapan) dan kewajiban (keharusan) secara seimbang demi keadilan, dan
kemanfaatan individu, keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, hubungan antara
negara dengan tanah ialah disamping atas dasar kedaulatan negara, juga didasarkan
atas hukum pada kedaulatan rakyat demi tercapainya keseimbangan hak dan
kewajiban yang adil bagi seluruh bangsa, mendatangkan sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Negara bukan bertindak sebagai pemilik tetapi sebagai organ penguasa yang
diberi kekuasaan (secara hukum) untuk menjamin pelaksanaan peruntukan tanah
sesuai dengan tujuannya.312

B. Pengertian Kebijakan
Kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum
tentang Kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum
tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada
seseorang untuk bergerak. Secara etimologis, kebijakan adalah terjemahan dari kata
policy. Kebijakan dapat juga berarti sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi
309
Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Hubungan Manusia dengan Tanah Berdasarkan Pancasila,
Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1992, hlm. 11.
310
Ronald Z. Titarelu, Penetapan Asas-Asas Hukum Umum dalam Penggunaan Tanah untuk Sebesar-
BesarKemakmuran Rakyat, Disertasi, Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, hlm. 105-106.
311
Ria Fitri, Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan, KANUN Jurnal Ilmu
Hukum, No. 66 Tahun 2015, hlm. 231.
312
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, cetakan ketujuh
belas, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2004, hlm. 28-29.

Politik Agraria | 201


garis pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Kebijakan
dapat berbentuk keputusan yang dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh
pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan berulang yang rutin dan
terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan.313
Definisi Kebijakan menurut Para Ahli:
1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat tahun 2014
Kebijakan berasal dari kata bijak yang artinya: 1. Selalu menggunakan akal
budinya; pandai; mahir. 2. Pandai bercakap-cakap; petah lidah. Selanjutnya
dijelaskan bahwa kebijakan diartikan sebagai 1. Kepandaian; kemahiran;
kebijaksanaan; 2. Rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak
(tentang pemerintahan, organisasi dan sebagainya); pernyataan cita-cita, tujuan,
prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha
mencapai sasaran; garis haluan. 314

2. Menurut Mustopadidjaja dalam Tahir (2014:21)


Kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya atau kegiatan pemerintah, serta
perilaku negara pada umumnya dan kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai
bentuk peraturan.315
3. Menurut Lasswell (1998:56)
Kebijakan adalah sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan
praktik-praktik yang terarah (a projevted program of goals values and practices).
4. Menurut Anderson (1987:67)
Kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu
yang mesti diikuti dan dilakukan oleh para pelakunya untuk memecahkan suatu
masalah (a purposive corse of problem or matter off concern).
5. Menurut Friedrik (1976:45)
Kebijakan adalah serangkaian tindakan yang diajukan seseorang, group,
dan pemerintah dalam lingkungan tertentu dengan mencantumkan kendala-
kendala yang dihadapi serta kesempatan yang memungkinkan pelaksanaan usulan
tersebut dalam upaya mencapai tujuan.
6. Menurut Budiarjo (1996:34)
Kebijakan adalah sekumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku
atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut.
7. Menurut Jones (1996:47)
Kebijakan adalah keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan
pengulangan (repetiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari
mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Sekalipun definisi menimbulkan
beberapa pertanyaan atau masalah untuk menilai beberapa pertanyaan atau
masalah untuk menilai berapa lama sebuah keputusan dapat bertahan atau hal
apakah yang membentuk konsistensi dan pengulangan tingkah laku yang
dimaksud serta siapa yang sebenarnya malakukan jumlah pembuat kebijakan dan

313
Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. (Jakarta: PT Bumi Aksara), hlm 33.
314
  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen PendidikanNasional, , (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, Cetakan VII,  Edisi IV 2015)
315
Tahir, Arifin, Kebijakan Publik & Transparansi Penyelenggaran Pemerintah Daerah, (Bandung: Alfabeta,
2014)hal.21

Politik Agraria | 202


pematuh kebijakan tersebut, namun demikian definisi ini telah memperkenalkan
beberapa komponen kebijakan publik.316
8. Menurut Amara Raksasa Taya (1889:33)
Kebijakan adalah suatu taktik atau strategi yang diarahkan mencapai tujuan.
9. Menurut Carl J Federick (1967:55)
Mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang
diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu
dimana terdapat hambatan - hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan -
kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukkan bahwa ide kebijakan
melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang
penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan harus
menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan
dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.317

10. Menurut Nugroho (2003: 7)


Kebijakan adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus
ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi
sangsi sesuai dengan bobot pelanggaran yang dilakukan dan dijatuhkan di depan
masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sangsi.318
11. Menurut Syafiie (2006:104)
Kebijakan (policy) hendaknyadibedakan dengan kebijaksanaan (wisdom)
karena kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan
sesuai situasi dan kondisi setempat oleh person pejabat yang berwenang. Untuk itu
Syafiie mendefinisikan kebijakan publik adalah semacam jawaban terhadap suatu
masalah karena akan merupakan upaya memecahkan, mengurangi, dan mencegah
suatu keburukan serta jadi penganjur, inovasi dan pemuka terjadinya kebaikan
dengan cara terbaik dan tindakan terarah.
12. Menurut Budi Winarno (1994:23)
Istilah kebijakan (policy term) mungkin digunakan secara luas seperti pada
“kebijakan luar negeri Indonesia”, “kebijakan ekonomi Jepang”, dan atau
mungkin juga dipakai untuk menjadi sesuatu yang lebih khusus, seperti misalnya
jika kita mengatakan kebijakan pemerintah tentang debirokartisasi dan deregulasi.
Namun baik Solihin Abdul Wahab maupun Budi Winarno sepakat bahwa istilah
kebijakan ini penggunaannya sering dipertukarkan dengan istilah lain seperti
tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar,
proposal dan grand design.319
13. Menurut Richard Rose (1778:27)
Dikutip Budi Winarnojuga menyarankan bahwa kebijakan hendaknya
dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta
konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai
keputusan yang berdiri sendiri. Pendapat kedua ahli tersebut setidaknya dapat
menjelaskan bahwa mempertukarkan istilah kebijakan dengan keputusan adalah
keliru, karena pada dasarnya kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan
dan bukan sekadar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.320
316
  Jones, Charles O, 1996, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy) Terjemahan Ricky Ismanto, (Jakarta:
P.T. Raja Grafindo Persada) hal. 47
317
Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik (Bandung: CV Alfabeta,2008)3.
318
Nugroho D, Riant, 2003, Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang, (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo) hal.7
319
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan: dari formulasi ke penyusunan model-model Implementasi
Kebijakan Publik (Jakarta: Bumi Aksara, 2015) 5.
320
William N. Dunn, Public Policy Analysis; an Introductoin (Analisis Kebijakan Publik), terjemahan
(Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya, 2003) 132.

Politik Agraria | 203


14. Menurut Irfan Islamy (1996:14)
Kebijakan harus dibedakan dengan kebijaksanaan. Policy diterjemahkan
dengan kebijakan yang berbeda artinya dengan wisdomyang artinya
kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaanmemerlukan pertimbangan-pertimbangan
lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada
didalamnya.321
15. Menurut Nurcholis (2007:263)
kebijakan sebagai keputusan suatu oragnisasi yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan
pedoman perilaku dalam hal:Pertama,  Pengambilan keputusan lebih lanjut, yang
harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksanaan
kebijakan.Kedua Penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah
ditetapkan baik dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun
dengan kelompok sasaran yang dimaksudkan.322
16. Menurut Ealau dan Prewit (dalam Suharto, 2010:7)
Kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku
yang kosisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang menaatinya
17. Titmuss (dalam Suharto, 2010:7)
Mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan
yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu”. Kebijakan menurut Titmuss
senantiasa berorientasi kepada masalah (problemoriented) dan berorientasi kepada
tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan
adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara
bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan
tertentu.
18. Menurut Aminullah, (dalam Muhammadi, 2001:371-372)
Mengatakan bahwa, “Kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk
mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya tindakan
dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.”
19. Menurut Ndraha (2003:492-499)
Mengatakan bahwa “Kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang
merupakan arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan
lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.”323
20. Menurut Michael Hill (1993:8)
“The concept policy has a particular status in the rational model as the
relatively durable element against which other premies and actions are supposed
to be tested for consistency.”
21. Menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management, (Terry,
1964:278)
adalah suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang
memberikan suatu batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan
pemimpin
Pengertian Policy atau kebijakan, Donovan dan Jackson dalam Keban
menjelaskan bahwa policy dapat dilihat secara filosofis, sebagai suatu produk, sebagai
suatu proses dan sebagai kerangka kerja. Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak
321
Hessel Nogi S. Tangkilisan,Evaluasi Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Balairung & Co, 2003), 149.
322
Nurcholis, Hanif,. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2007)Hal.263
323
Uddin dan Sobirin, “Kebijakan Publik” (CV SAH MEDIAl:Makasar,2017) Hlm.1

Politik Agraria | 204


yang dipilih untuk mengarahkan keputusan.Kebijakan senantiasa berorientasi kepada
masalah (problem-oriented) dan juga berorientasi kepada tindakan (action-oriented),
sehingga dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatuketetapan yang memuat
prinsip-prinsip untuk mengarahkancara-cara bertindak yang dibuat secara terencana
dan konsisten dalam mencapai tujuan.324
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut di atas maka dapat disimpulkan
bahwa kebijakan adalah tindakan - tindakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan
atau tidak dilakukan oleh seseorang, suatu kelompok atau pemerintah yang di
dalamnya terdapat unsur keputusan berupa upaya pemilihan diantara berbagai
alternatif yang ada guna mencapai maksud dan tujuan tertentu.
Selain definisi kebijakan yang dapat disimpulkan, adapun beberapa
karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan menurut Agustino (2012:8), yaitu :
1. Pada umumnya kebijakan perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai
maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak.
2. Kebijakan pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan
oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisahpisah. Misalnya, suatu
kebijakan tidak hanya meliputi keputusan untuk mengeluarkan peraturan tertentu
tetapi juga keputusan untuk mengeluarkan peraturan tertentu tetapi juga keputusan
berikutnya yang berhubungan dengan penerapan dan pelaksanaannya.
3. Kebijakan merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam
mengatur perdagangan, mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat,
bukan apa maksud yang dikerjakan atau yang akan dikerjakan.
4. Kebijakan dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan
melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu
permasalahan. Secara negatif, kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan
pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau tidak mengerjakan
apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan.
5. Kebijakan, paling tidak secara positif, didasarkan pada hukum dan merupakan
tindakan yang bersifat memerintah
Konsep dari kebijakandapat diartikan sebagai suatu lingkup tindakan/kegiatan
aktor dan pelaku pembuat kebijakan publik yang mempunyai maksud dan tujuan
untuk mengatasi berbagai masalah dan juga menciptakan kesempatan-kesempatan
yang ditetapkan atau disahkan oleh pemerintah dan dilaksanakan baik pemerintah
sendiri atau kelompok lain untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut.
Kebijakan publik/pemerintah merupakan keputusan politik yang
dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Kebijakan tersebut dirumuskan
oleh “otoritas” dalam sistem politik yaitu para senior, kepala tertinggi, eksekutif,
legislatif, para hakim, administrator, penasehat raja, dan sebagainya. Kebijakan adalah
prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan keputusan. Kebijakan
senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan juga berorientasi
kepada tindakan (action-oriented), sehingga dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah
suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak
yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan.325
.
C. Pengertian Administrasi Negara
Kehidupan negara modern yang cenderung berusaha memenuhi kebutuhan
rakyat, khususnya dalam masalah pelayanan kesejahteraan masyarakat, membutuhkan

324
William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), 24.
325
Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik (Bandung: CV Alfabeta,2008) 24.

Politik Agraria | 205


instrumen untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Instrumen yang digunakan oleh
negara untuk mengelola pemerintahan dalam memenuhi kebutuhan kesejahteraan
masyarakat tersebut adalah administrasi negara.
Instrumen tersebut berusaha menata segala aspek kehidupan negara melalui
birokrasi, tata kelola, penyiapan, pelaksanaan, dan pengawasan segala tindakan
pemerintah agar sistem pemerintah tersebut stabil dan terukur dengan baik.
Keterukuran dan kestabilan tersebut sangat diperlukan agar hasil yang dituju oleh
kegiatan pemerintahan dapat tercapai dengan kualitas dan kuantitas yang terukur,
sebagaimana rancangan awal pada proses perencanaan kegiatan pemerintahan itu.
Misalnya, dalam masalah perancangan layanan kependidikan, pemerintah
perlu mengatur masalah kependudukan. Untuk itu, diperlukan proses pencatatan dan
pendaftaran penduduk. Negara kemudian menentukan syarat-syarat serta prosedur
pencatatan dan pendaftaran penduduk. Hasil akhirnya akan tersedia data mengenai
jumlah penduduk negara tersebut. Agar data tersebut selalu up to date, negara
memperbaruinya melalui sensus penduduk dan menetapkan KTP harus selalu
diperpanjang kembali setelah lima tahun. Berdasarkan data tersebut, negara akan
menentukan kebutuhan layanan kependidikan, baik kuantitas maupun kualitas sarana
dan prasarana pendidikan yang harus disediakan.

Dari ilustrasi di atas, dapat dikatakan bahwa administrasi negara mempunyai


tujuan untuk membantu dan mendukung pemerintah melaksanakan kebijakan-
kebijakan yang diambil untuk menyejahterakan masyarakatnya. Hal tersebut sesuai
pendapat Leonard D. White yang menyatakan bahwa administrasi negara terdiri atas
semua kegiatan negara untuk menunaikan dan melaksanakan kebijaksanaan negara
(public administration consist … all those operations having for the purpose the
fulfillment and enfprcement of public policy)
Prayudi Atmosudirdjo melihat administrasi negara pada fungsinya yang lebih
luas lagi, yakni melaksanakan dan menyelenggarakan kehendak-kehendak (strategy,
policy) serta keputusan-keputusan pemerintah secara nyata (implementasi dan
menyelenggarakan undang-undang menurut pasal-pasalnya) sesuai dengan peraturan-
peraturan pelaksanaan yang ditetapkan. Untuk memperjelas makna administrasi
negara tersebut, Prayudi Atmosudirdjo memerincinya dalam beberapa pengertian
administrasi negara yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan pemerintah sebagai
berikut.

1. Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintahan, atau sebagai institusi


politik (kenegaraan).
2. Administrasi negara sebagai “fungsi” atau sebagai aktivitas melayani
pemerintah, yakni sebagai kegiatan “pemerintah operasional”.
3. Administrasi negara sebagai proses teknis penyelenggaraan undang-undang.

Dari pandangan di atas, sesungguhnya pengertian tentang administrasi negara


dapat dilihat dalam dua segi:
1. administrasi negara sebagai organisasi,

Politik Agraria | 206


2. administrasi yang secara khas mengejar tercapainya tujuan yang bersifat
kenegaraan (publik) artinya tujuan-tujuan yang ditetapkan undang-undang secara
dwigend recht (hukum yang memaksa).326

Hal ini memperjelas bahwa administrasi negara tidak sekadar membahas


pelaku-pelaku yang menjalankan fungsi administrasi, tetapi administrasi juga
mencakup segala cara, prosedur, dan prasyarat yang semuanya berupaya
mentransformasikan segala sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan negara itu.
Pengertian administrasi negara pada akhirnya lebih dipahami sebagai suatu sistem
yang melibatkan segenap unsur dan sifat-sifat sistem guna mencapai suatu tujuan.

D. Hukum Administrasi Negara

Pengertian dan istilah Hukum Administrasi Negara (HAN) berasal dari Negara
Belanda, yakni administratif recht atau Bestuursrecht.327 yang berarti lingkungan
kekuasaan atau administratif di luar dari legislatif dan yudisil, di Perancis disebut
Droit Administrative, di Inggris disebut Administrative Law, di Jerman
disebutVerwaltung rech’. Istilah hukum administrasi negara adalah terjemahan dari
administratief recht (Bahasa Belanda). Namun Istilah administrasi recht juga
diterjemahkan menjadi Istilah lain yaitu Hukum Tata Usaha Negara dan hukum
pemerintahan.328 Sedangkan Admistrasi Negaara merupakan kehidupan negara
modern yang cenderung berusaha memenuhi kebutuhan rakyat, khususnya dalam
masalah pelayanan kesejahteraan masyarakat, membutuhkan instrumen untuk
melaksanakan tugas-tugasnya. Instrumen yang digunakan oleh negara untuk
mengelola pemerintahan dalam memenuhi kebutuhan kesejahteraan masyarakat.
Instrumen tersebut berusaha menata segala aspek kehidupan negara melalui birokrasi,
tata kelola, penyiapan, pelaksanaan, dan pengawasan segala tindakan pemerintah agar
sistem pemerintah tersebut stabil dan terukur dengan baik. Keterukuran dan kestabilan
tersebut sangat diperlukan agar hasil yang dituju oleh kegiatan pemerintahan dapat
tercapai dengan kualitas dan kuantitas yang terukur, sebagaimana rancangan awal
pada proses perencanaan kegiatan pemerintahan itu. Dari ilustrasi di atas, dapat
dikatakan bahwa administrasi negara mempunyai tujuan untuk membantu dan
mendukung pemerintah melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diambil untuk
menyejahterakan masyarakatnya. Hal tersebut sesuai pendapat Leonard D. White
yang menyatakan bahwa administrasi negara terdiri atas semua kegiatan negara untuk
menunaikan dan melaksanakan kebijaksanaan negara (public administration consist
all those operations having for the purpose the fulfillment and enfprcement of public
policy).

Definisi Hukum Administrasi Negara menurut Para Ahli:


1. Menurut R. Abdoel Djamali (1976:98)
Hukum administrasi negara adalah peraturan hukum yang mengatur
administrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan pemerintahnya yang
menjadi sebab hingga negara itu berfungsi.
326
Philipus Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Adminsitrasi Indonesia (Jogyakarta, Gadjahmada Press, 1994),
hlm. 26.
327
Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia,(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2002, Hlm: 2-3
328
J.B Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia,(Jakerta: PT Prenhallindo, 2001) hlm 71-75.

Politik Agraria | 207


2. Menurut Kusumadi Poedjosewojo (1954:33)
Hukum administrasi negara adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur
bagaimana negara sebagai penguasa menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi
tugasnya.
3. Menurut E. Utrecht (1886:32)
Hukum administrasi negara adalah hukum yang menguji hubungan hukum
istimewa yang diadakan, akan kemungkinan para pejabat melakukan tugas mereka
yang khusus.
4. Van Apeldoom (1998:11)
Hukum administrasi negara adalah keseluruhan aturan yang harus
diperhatikan oleh para pengusaha yang diserahi tugas pemerintahan dalam
menjalankan tugasnya.

5. Menurut Djokosutono (1994:33)


Hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur tentang
hubungan-hubungan hukum antara jabatan-jabatan dalam negara dengan warga
masyarakat.329
6. Menurut Van Vollenhoven (1984:14)
Hukum Administrasi Negara adalah suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang
mengikat badan-badan yang tinggi maupun yang rendah apabila badan-badan utu
menggunakan wewenangnya yang diberikan kepadanya oleh hukum tata Negara.
7. Menurut Oppenheim (1994:78)
Mengemukakan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah suatu
gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun
rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenang yang telah diberikan
kepadanya oleh HukumTata Negara. Hukum Administrai Negara menggambarkan
negara dalam keadaan bergerak.330
8. Menurut Logemann (1945:76)
Mengetengahkan Hukum Pemerintahan/Hukum Administrasi Negara
sebagai seperangkat norma-norma yang menguji hukum istimewa yang diadakan
untuk memungkinkan para pejabat (Alat Tata Usaha Negara/Alat Administrasi
Negara) melakukan tugas mereka yang khusus. Hukum Administrasi Negara tidak
identik/sama dengan hukum yang mengatur pekerjaan administrasi negara, karena
hukum yang mengatur pekerjaan administrasi negara sudah termasuk dalam
Hukum Tata Negara.331
9. Menurut De La Bascecour Caan (1994:12)
Menyatakan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah himpunan
peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab maka negara berfungsi
(bereaksi). Dengan demikian peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-
hubungan antara warga negara dengan pemerintahannya. Hukum Administrasi
Negara terbagi atas dua bagian, yakni : Pertama, Hukum Administrasi Negara
menjadi sebab maka negara berfungsi atau bereaksi; Kedua, Hukum Administrasi
Negara mengatur hubungan antara warga negara dengan pemerintah.332
10. Menurut R. Kranenburg (1889:23)
329
http://viapurwawisesasiregar.blogspot.com/2014/03/malah-tentang-administrasi-negara.html?m=1
330
J.B Daliyo , Pengantar Hukum Indonesia , PT Prenhallindo: Jakarta, 2001, hlm 71
331
Bachan Mustafa ,Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra  Aditya Bakti: Bandung, 2001,
Hlm: 5
332
E. Utrecht , Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Ictiar Baru, 1985. Hlm: 4.

Politik Agraria | 208


Memberikan definisi Hukum Administrasi Negara dengan
membandingkannya dengan Hukum Tata Negara, meskipun hanya sekedar perlu
untuk pembagian tugas. Menurutnya Hukum Administrasi Negara adalah meliputi
hukum yang mengatur susunan dan wewenang khusus dari alat perlengkapan
badan-badan seperti kepegawaian (termasuk mengenai pensiun) peraturan wajib
militer, pengaturan mengenai pendidikan/pengajaran, peraturan mengenai jaminan
sosial, peraturan mengenai perumahan, peraturan perburuhan, peraturan jaminan
orang miskin, dan sebagainya.333
11. Menurut J.H.P. Beltefroid (2019:131)
Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan tentang cara
bagaimana alat-alat pemerintahan dan badan-badan kenegaraan dan majelis-
majelis pengadilan tata usaha hendak memenuhi tugasnya.

12. Menurut A.A.H. Strungken (2006:4)


Hukum Administarsi Negara adalah aturan-aturan yang menguasai tiap-tiap
cabang kegiatan penguasa sendiri.
13. Menurut J.P. Hooykaas (1952:4)
Hukum Administarsi Negara adalah ketentuan-ketentuan mengenai campur
tangan dan alat-alat perlengkapan Negara dalam lingkungan swasta.
14. Menurut Sir. W. Ivor Jennings (1938:78)
Hukum Administarsi Negara adalah hukum yang berhubungan dengan
Administrasi Negara, hukum ini menentukan organisasi kekuasaan dan tugas-
tugas dari pejabat-pejabat administrasi.
15. Prajudi Atmosudirdjo (1986:1)334
Hukum Administarsi Negara adalah hukum mengenai operasi dan
pengendalian dari kekuasaan-kekuasaan administrasi atau pengawasan terhadap
penguasa-penguasa administrasi.
16. Bachsan Mustofa (1984:41)
Hukum Administarsi Negara adalah sebagai gabungan jabatan-jabatan yang
dibentuk dan disusun secara bertingkat yang diserahi tugas melakukan sebagian
dari pekerjaan pemerintaha dalam arti luas yang tidak diserahkan pada badan-
badan pembuat undang-undang dan badan-badan kehakiman.335

Jadi dapat disimpulkan bahwa Hukum Administrasi Negara


1) Peraturan hukum mengenai administrasi dalam suatu negara, dimana hubungan
antar warga negara dan pemerintahannya dapat berjalan dengan baik dan aman
atau bisa di sebut juga dengan peraturan-peraturan mengenai segala hal
penyelenggaran negara yang dilakukan oleh aparatur negara guna mencapai tujuan
negara.
2) Hukum Administrasi negara adalah hukum yang mengatur dan mengikat alat
administrasi negara dalam menjalankan wewenang yang menjadi tugasnya selaku
alat administrasi negara dalam melayani warga negara harus senantiasa
memperhatikan kepentingan warga negara. Hukum Administrasi Neagra sangat
penting dan dibutuhkan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara oleh
administrasi negara. Keberadaan hukum administrasi negara berperan mengatur
wewenang, tugas dan fungsi administrasi negara, disamping itu juga berperan
untuk membatasi kekuasaan yang diselenggarakan oleh administrasi negara.
3) Hukum administrasi meliputi peraturan-peraturan yang berkenan dengan
administrasi. Administrasi berarti sama dengan pemerintahan. Sehingga HAN
333
Efendi lutfi, Pokok-pokok hukum administrasi , Bayumedia: Malang, 2004. Hlm 9
334
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia,
(Jakarta:1986)
335
Bachsan Mustofa, Sistem Hukum Indonesia,(Bandung:Remadja Karya,1984) hal.41

Politik Agraria | 209


(Hukum Administrasi Negara) disebut juga hukum tata pemerintahan. Perkataan
pemerintah dapat disamakan dengan kekuasaan aksekutif, artinya pemerintahan
merupakan bagian dari organ dan fungsi pemerintahan, yang tugas utamanya
bukankah organ dan fungsi pembuat undang-undang dan peradilan.
4) Hukum administrasi Negara adalah seperangkat peraturan yang memungkinkan
administrasi Negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga melindungi
warga terhadap sikap tindak administrasi Negara, dan melindungi administrasi
Negara itu sendiri.
Ruang Lingkup Administrasi Negara bertalian erat dengan tugas dan wewenang
lembaga negara (administrasi negara) baik di tingkat pusat maupun daerah,
perhubungan kekuasaan antar lembaga negara (administrasi negara), dan antara
lembaga negara dengan warga masyarakat (warga negara) serta memberikan jaminan
perlindungan hukum kepada keduanya, yakni kepada warga masyarakat dan
administrasi negara itu sendiri. Dalam perkembangan sekarang ini dengan
kecenderungan negara turut campur tangan dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat, maka peranan Hukum Administrasi Negara (HAN) menjadi luas dan
kompleks. Kompleksitas ini akan membuat luas dan complicated dalam menentukan
rumusan ruang lingkup HAN.
Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan ada enam ruang lingkup yang dipelajari dalam
HAN (Hukum Administrasi Negara) yaitu meliputi:
1. Hukum tentang dasar-dasar dan prinsipprinsip umum dari administrasi negara;
2. Hukum tentang organisasi negara;
3. Hukum tentang aktivitas-aktivitas dari administrasi negara, terutama yang
bersifat yuridis;
4. Hukum tentang sarana-sarana dari administrasi negara terutama mengenai
kepegawaian negara dan keuangan negara;
5. Hukum administrasi pemerintah daerah dan Wilayah, yang dibagi menjadi;
a. Hukum Administrasi Kepegawaian;
b. Hukum Administrasi Keuangan;
c. Hukum Administrasi Materiil;
d. Hukum Administrasi Perusahaan Negara.
6. Hukum tentang Peradilan Administrasi Negara.336

E. Hukum Agraria

Kata Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu
dengan bahasa lainnya. Istilah agraria berasal dari kata akker (Bahasa Belanda), agros
(Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau
sebidang tanah, agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian. Dalam
terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti (1) Urusan pertanian atau tanah
pertanian, (2) Urusan pemilikan tanah.337
Menurut Andi Hamzah (1992:14): Agraria adalah masalah tanah dan semua
yang ada di dalam dan di atasnya.Menurut Subekti dan R. Tjitosoedibio, agraria
adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya. Apa yang ada di
dalam tanah misalnya batu, kerikil, tambang, sedangkan yang ada di atas tanah dapat
berupa tanaman, bangunan.338
Selain pengertian agraria dapat dilihat dari segi terminologi bahasa
sebagaimana di atas, pengertian agraria dapat pula diketemukan dalam Undang-
336
Muhamad Rakhmat,Hukum Administrasi Negara Indonesia,(Jurnal:Repository Buku dan Jurnal,2017) hal.39
337
Efendi Lutfi, Ibid hlm 67
338
Urip Santoso, Op.Cit.

Politik Agraria | 210


Undang Pokok Agraria (UUPA).Hal ini dapat ditemukan jika membaca konsiderans
dan pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri.Oleh karena itu,
pengertian agraria dan hukum agraria mempunyai arti atau makna yang sangat
luas.Pengertian agraria meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya (Pasal 1 ayat (2).339
Menurut Soedikno Mertokusumo, Hukum Agraria merupaka keseluruhan
kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur
Agraria. Bachsan Mustofa menjabarkan kaidah hukum tertulis adalaha Hukum
Agraria dalam bentuk hukum undang-undang dan peraturan-peraturan tertulis lainnya
yang dibuat oleh Negara, sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis adalah Hukum
Agraria dalam bentuk Hukum Adat Agraria yang dibuat oleh masyarakat adat
setempat dan yang pertumbuhan, perkembangan, serta berlakunya dipertahankan oleh
masyarakat adat yang bersangkutan. Hukum agraria tidak hanya mengatur tentang
tanah saja, tetapi lingkupnya meliputi seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan hukum tanah hanya
menyangkut pengaturan tentang tanah yakni permukaan bumi. Oleh sebab itu, hukum
agraria merupakan genus dari spesies hukum tanah atau hukum agraria meliputi pula
hukum tanah dan hukum tanah merupakan bagian dari hukum agraria (Urip, 2012 :
5).340
Menurut Black Law’s Dictionary, Hukum Agraria adalah hukum yang
mengatur kepemilikan, penggunaan, dan distribusi tanah pedesaan.Agrarian laws juga
menunjuk pada perangkat peraturan hukum yyang bertujuan mengadakan pembagian
tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Pengertian agraria juga sering dikaitkan dengan corak kehidupan suatu
masyarakat atau bangsa, misalnya Indonesia sebagai negara agraris, yaitu suatu
bangsa yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari bercocok tanam (bertani) atau
kehidupan masyarakatnya bertumpu pada sektor pertanian. Agraris sebagai kata sifat
dipergunakan untuk membedakan corak kehidupan masyarakat pedesaan yang
bertumpu pada sektor pertanian dengan corak kehidupan.Hukum Agraria dalam arti
luas adalah aturan-aturan hukum di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang
Pokok Agraria yang meliputi: Hukum Pertanahan, Hukum Pengairan, Hukum
Pertambangan, Hukum Kehutanan dan Hukum Perikanan.
Definisi agrarian sama dengan agrarian laws bahkan sering digunakan untuk
menunujuk kepada seperangkat peraturan hukum yang bertujuan mengadakan
pembagian tanah yang luas dalam rangka pemerataan penguasaan dan kepemilikan
tanah. Selain dari segi terminologi pengertian agraria dapat diketemukan dalam
konsiderans dan pasal-pasal dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria).Dalam
UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) pengertian agraria meliputi bumi, air, ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.(Pasal 1 ayat 2).
Politik hukum agraria tidak lain merupakan kewenangan atau kekuasan untuk
mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan unsur-unsur agraria
yang meliputi bumi, air dan ruang angkasa (dalam batas-batas tertentu) yang tertuang
dalam kebijakan (policy) yang dalam kenyataanya tertuang di dalam kaidah-kaidah
hukum agraria. Dalam konteks Indonesia, politik hukum agraria nasional harus

Supriadi, Hukum Agraria, Cet. IV (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm:1.


339

Darwin Ginting, Politik Hukum Agraria Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Indonesia (Jurnal
340

Hukum dan Pembangunan Tahun ke-42 No.1 Januari-Maret 2012)

Politik Agraria | 211


ditujukan kepada kebahagiaan dan kemakmuran rakyat Indonesia berdasarkan
falsafah bangsa yaitu Pancasila. Kemudian, politik hukum agraria nasional tersebut
dijelmakan dalam sebuah aturan undang-undang untuk dijadikan dasar hukum bagi
pelaksanaan politik agraria tersebut, dengan konsekuensi harus dapat melenyapkan
dualisme hukum dalam pemberlakuan politik agraria, sehingga kepentingan dalam
pola kepemilikan, penguadaan dan penggunaan tanah serta kesengsaraan petani tidak
terulang kembali di masa-masa kemerdekaan ini yang sesuai dengan tujuan cita-cita
dari politik hukum agraria (Muchsin, 2010).341

Definisi Hukum Agraria menurut Para Ahli:


1. Mr. Boedi Harsono (1882:12)
Hukum Agraria adalah suatu kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai
bumi, air dalam batas tertentu juga ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terdapat di dalam bumi, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis.
2. Drs. E. Utrecht SH (1883:17)
Hukum Agraria sebagai hukum istimewa memungkinkan pejabat administrasi
bertugas mengurus permasalahan tentang agraria untuk melakukan tugas mereka.
3. Bachsan Mustafa SH (1992:99)
Hukum Agraria merupakan himpunan peraturan yang mengatur tentang
bagaimana para pejabat pemerintah menjalankan tugas mereka dibidang
keagrariaan.
4. Soedikno Mertokusumo (1993:67)
Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria. Bachsan Mustofa menjabarkan
kaidah hukum yang tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk hukum undang-
undang dan peraturan-peraturan tertulis lainnya yang dibuat oleh negara,
sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis adalah hukum agraria dalam bentuk
hukum adat agraria yang dibuat oleh masyarakat adat setempat dan pertumbuhan,
perkembangan serta berlakunya dipertahankan oleh masyarakat adat yang
bersangkutan.342
5. L.G Lemaire (1884:13)
Hukum Agraria merupakan kelompok hukum yang bulat yang meliputi
bagian hukum tata negara maupun hukum privat dan hukum administrasi negara.
6. Soebekti dan R. Tjitrosoedibio (1997:11)
Hukum Agraria (Agrarisch Recht), adalah keseluruhan dari ketentuan-
ketentuan hukum, baik Hukum Perdata maupun Hukum Tata Negara (Staatsrecht)
maupun pula Hukum Tata Usaha Negara (Administratifrecht) yang mengatur
hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum dengan bumi, air, dan
ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang-
wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut.
7. G. Kartasapoetra (19991:84)
Hukum agraria adalah hukum yang mempersoalkan masalah pertanahan atau
yang terdiri dari sekumpulan norma yang mengatur manusia dalam masalah
pertanahan agar tanah tersebut bermanfaat bagi kesejahteraan manusia.343
8. Boedi Harsono (1993:77)

341
Muchsin, dkk, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, (Bandung : PT Refika Aditama, 2010)
342
Ibid,hlm 87
343
Kartasapoetra, Ibid, hal. 84

Politik Agraria | 212


Boedi Harsono menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu
perangkat bidang hukum. Hukum Agraria merupakan satu kelompok berbagai
bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-
sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok berbagai
bidang hukum tersebut terdiri atas:
a. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti
permukaan bumi.
b. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
c. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-
bahan galian yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Pokok
Pertambangan.
d. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan
alam yang terkandung di dalam air.
e. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Usnur-unsur dalam Ruang Angkasa,
mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
9. E. Utrecht (1882:34)
Menurut E. Utrecht yang dikutip oleh Boedi Harsono, Hukum Agraria dalam
arti yang sempit sama dengan Hukum Tanah, Hukum Agraria dan Hukum Tanah
menjadi bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang menguji perhubungan-
perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat
yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka itu.
10. C.S.T. Kansil (1989:318)
Hukum agraria didefmisikan sebagai keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria." Sedangk:an "Agraria"
itu sendiri menurut Kansil, meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, bahkan dalam batas-batas yang ditentukan juga ruang angkasa.
Mungkin pendapat ini agak sedikit maju, karena sudah menyebut cakupan dari
hukum agraria yang terdiri atas bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam
yang ada didalamnya.344
Termasuk pula dalam kajian Hukum Agraria adalah Hukum Kehutanan yang
mengatur hak-hak penguasaan atas hutan (Hak Pengusahaan Hutan) dan hasil hutan
(Hak Memungut Hasil Hutan). Hukum Agraria dari segi objek kajiannya tidak hanya
membahas tentang bumi dalam arti yang sempit yaitu tanah, akan tetapi membahas
juga tentang pengairan, pertambangan, perikanan, kehutanan, serta penguasaan atas
tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.345
Dengan adanya gambaran-gambaran yang telah disebutkan diatas sehingga
pada tanggal 24 September 1960 UU Nomor 5 th 1960 atau yang lebih dikenal
dengan UUPA disahkan yang memuat tentang perturan dasar-dasar pokok Agraria.346
UUPA merupakan pertauran dasar pokok-pokok agraria, maka demi kelancaran
pelaksanannya telah dilengkapi dengan :
a. Peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 56 tahun 1960 tentang penetapan luas
tanah
b. UU Nomor 2 tahun 1960 tentang UU pokok bagi hasil.
c. Peraturan pemerintah nomor 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian
tanah dan pemberian ganti rugi.
Tujuan UUPA dapat dikemukakan sebagai berikut:

344
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 318.
345
Dr. Urip Santoso, SH., M.H., Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana, 2012, hal. 5-6
346
Efendi Perangin, SH, Hukum Agrria di Indonesia (suatu telaah dari praktisi hukum), Jakarta: 1991, Rajawali,
Hal 194

Politik Agraria | 213


a. Memberikan landasan Bagi pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan
revolusi.
b. Untuk menghilangkan dualism atas tanah yaitu yang tunduk pada hukum adat
(Indlandsbezittercht) dan yang tunduk pada hukum barat (eigendom agraria).
c. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.
d. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas taah bagi rakyat seluruhnya.
Undang-undang pokok agrarian (UUPA) mempunyai 2 sifat nasional yakni:
a. Formal nasional, karena dibuat oleh pembentuk UU indonesia, dibuat di Indonesia
dan di susun dalam bahasa indonesia.
b. Material nasional karena berisi ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan asas-asas
kepentingan nasional.

Hubungan orang dengan tanah dari satu individu ke individu yang lain dapat
beraneka ragam, keaneka ragaman orang desa dengan tanah ppertanian ini akan
menyebabkan peranan-peranan yang berlainan.
Dengan adanya UUPA maka peranan-peranan yang berlainan dapat dibimbing
kearah yang satu yatu, sosialisme Indonesia, karena itu ditentukan bahwa setiap tanah
mempunyai fungsi social. Sebagai hukum, UUPA tidak hanya mengatur hak
seseorang atas tanah yang diwenangkan sebagai miliknya.347
Hak-hak yang diatur dalam UUPA yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa dan beberapa hak lainnya yang berhubungan dengan
tanah.Pemerintah menyadari bahwa dengan pengaturan hak-hak tersebut harus
disertai dengan kemampuan para pemegang hak tersebut untuk menggunakan tanah
yang menjadi haknya dengan baik dan untuk melakukan kewajiban-kewajiban
terhadap tanahnya.Dengan keluarnya UUPA maka terjadilah perubahan besar dalam
hukum tanah di Indonesia. Sebelum keluar UUPA ada dua hukum tanah yang berlaku:
1) Hukum tanah bersumber dari hukum barat.
2) Hukum tanah bersumber dari hukum adat.

Jadi, terdapat dualisme dalam hukum tanah.Ada dua perangkat hukum tanah
yang berlaku bersamaan disatu Negara. Hukum tanah barat mengatur hubungan-
hubungan hukum (hak penguasaan) atas sebagian tanah di Indonesia ( yang disebut
tanah hak barat). Hukum tanah adat mengatur hak penguasaan atas sisa tanah diluar
tanah barat (yang disebut tanah Indonesia).Tanah-tanah barat hanya sebagian kecil,
merupakan pulau di Indonesia. Hukum tanah barat terbagi atas:
1) Hukum tanah barat administrative
2) Hukum tanah barat perdata
Sedangkan hukum tanah adat terbagi atas:
1) Hukum tanah adat administratif
2) Hukum tanah adat perdata
UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria Sebagai Hukum Agraria Nasional)
Pasal 2 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi,
air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.” Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bagi
G. Kartasapoetra dkk, Hukum Tanah UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tana, Jakarta: 1991, Rineka
347

cipta Jakarta, Hal 106

Politik Agraria | 214


pembentukan politik dan Hukum Agraria Nasional, yang berisi perintah kepada
negara agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang
diletakkan dalam penguasaan negara itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-
besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.348

F. Pengertian Hukum Adat


Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan
Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh
dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.
Peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat
memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Penegak hukum adat adalah
pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam
lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.349
Istilah hukum adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh C. Snouck
Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang
berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai adat recht (bahasa
Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social
control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan
secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat
di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia). Cornelis van Vollenhoven adalah
yang pertama mencanangkan gagasan pembagian hukum adat. Menurutnya daerah di
Nusantara menurut hukum adatdapat dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
Aceh, Gayo dan Batak, Nias dan sekitarnya, Minangkabau, Mentawai, Sumatra
Selatan, Enggano, Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan (Dayak), Sangihe-
Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar), Maluku Utara,
Maluku Ambon, Maluku Tenggara, Papua, Nusa Tenggara dan Timor, Bali dan
Lombok, Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran), Jawa Mataraman, dan Jawa Barat
(Sunda), sedangkan menurut Gerzt orang Amerika menyatakan bahwa masyarakat
Indonesia memiliki 350 budaya, 250 bahasa dan seluruh keyakinan dan Agama di
dunia ada di Indonesia.350
Adapun Pengertian Hukum Adat menurut Ter Haar, Hukum Adat adalah
seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan dengan penuh wibawa
yang dalam pelaksanaannya "diterapkan begitu saja", artinya tanpa adanya peraturan
yang dalam kelahirannya dinyatakan mengikat sama sekali.
Menurut Soekanto, Pengertian Hukum Adat ialah keseluruhan adat (yang tidak
tertulis) dan hidup di dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman
yang mempunyai akibat hukum. Hazairin mengemukakan Pengertian Hukum Adat,
Hukum Adat merupakan kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat
pengakuan umum dalam masyarakat itu yang dibuktikan dengan kepatuhannya
terhadap kaidah-kaidah tersebut.
Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan
definisi hukum adat sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku
bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi (karena

348
Ibid, hal. 46
349
Lihat Supriyady, Kedudukan Hukum Adat Dalam Lintasan Sejarah,(Jurnal: Addin Vol. 2 No. 1,2008). hlm.
221
350
Mustaghfirin, Sistem hokum Barat, Sistem Hukum Adat, dan Sistem Hukum Islam Menuju Sebagai Sistem
Hukum Nasional Sebuah Ide yang Harmoni, (Jurnal:Dinamika Hukum Vol.11 edisi Khusus,2011)Hal.92

Politik Agraria | 215


bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan
(karena adat). 351Abdulrahman , SH menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud
memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman
tersebut bukan untuk Hukum Adat pada masa kini352
Menurut Supomo, Pengertian Hukum Adat ialah hukum yang mengatur
tingkah laku individu atau manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik itu
keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang hidup di dalam masyarakat
adat karena dianut dan dipertahankannya oleh anggota-anggota masyarakat itu, juga
keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang
telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat. Mereka yang
mempunyai kewibawaan dan kekuasaan, memiliki kewenangan dalam memberi
keputusan terhadap masyarakat adat itu, yaitu dalam keputusan lurah, pembantu lurah,
wali tanah, penghulu, kepala adat dan hakim.
Suroyo Wignjodipuro mengemukakan pengertian hukum adat, Hukum Adat
merupakan suatu kompleks dari norma-norma yang bersumber pada perasaan
keadilan rakyat yang terus berkembang serta meliputi peraturan tingkah laku individu
atau manusia dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat, sebagian besar tidak
tertulis dan memiliki akibat hukum (sanksi) bagi pelanggarnya.353
Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang
kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai
sanksi (dari itu hukum), jadi mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum
Adat.354
Ciri-ciri hukum adat adalah:
a. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
b. Tidak tersusun secara sistematis.
c. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
d. Tidak teratur.
e. Keputusannya tidak memakai konsideran pertimbangan.
f. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.355
Hukum dan Hukum Adat mempunyai arti yang sama. Penambahan kata “adat”
pada hukum untuk menunjukkan hukum yang menguasai tingkah laku dan perbuatan
orang Indonesia. Batasan makna Hukum Adat yang dipersoalkan lagi oleh karena
makna Hukum Adat itu telah berkembang sesuai dengan pemahaman para sarjana itu
tergantung kepada luas dan sempitnya ruang lingkup yang diberikan kepada Hukum
Adat. Akan tetapi yang jelas, perkembangan makna Hukum Adat itu telah bergeser
dari makna semula pada saat keberadaan Hukum Adat diakui sebagai hukum oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. Pergesaran makna Hukum Adat itu tampak pada
pemakaian istilah dan unsur-unsur serta pengertian Hukum Adat yang diberikan oleh
para sarjana.356
Hukum Adat sebagai dasar pembentukan Hukum Agraria Nasional memang
menghadapi kesulitan-kesulitan tertentu. Kesulitan tersebut berkaitan dengan sifat
pluralisme Hukum Adat itu sendiri masing-masing masyarakat Hukum Adat
mempunyai Hukum Adatnya sendiri-sendiri yang tentunya terdapat perbedaan. Untuk
itu perlu dicari persamaan-persamaannya, yaitu dengan merumuskan asas-
asas/konsepsi, lembaga-lembaga hukum, dan sistem hukumnya. Hal-hal inilah yang

351
Van Vallenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1983, hal 14.
352
Abdulrahman ,SH : Hukum Adat menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press,
1984.hal..18
353
A. Suriyaman Mustari Pide,Hukum Adat (Dulu, Kini dan Akan Datang), (Jakarta:
Pelita Pustaka), hlm:33.
354
Op cit Abdulrahman, hal 18.
355
Yulia,Buku Ajar Hukum Adat,(Sulawesi:Unimal Press,2016) hal.5
356
Suci Flambonita, S.G., M.H., Pokok-Pokok Hukum Adat, Palembang: Unsri, 2010, hal. 2

Politik Agraria | 216


diambil dalam Hukum Adat untuk dijadikan dasar utama dalam pembentukan Hukum
Agraria Nasional.
Asas-asas/konsepsi, lembaga-lembaga, dan sistem Hukum Adat tersebut
dituangkan dalam pasal-pasal/ketentuan-ketentuan dalam UUPA sebagai hukum
positif. Asas-asas/konsepsi, lembaga hukum dan sistem hukum dapat dijelaskan:

1. Asas-asas/konsepsi Hukum Adat yang diambil sebagai dasar:


(a) Menurut konsepsi Hukum Adat, hubungan manusia dengan kekayaan alam
seperti tanah mempunyai sifat religiomagis, artinya kekayaan alam itu
merupakan kekayaan yang dianugerahkan oleh Tuhan pada masyarakat
Hukum Adat. Konsepsi ini kemudian dimuat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA.
(b) Di dalam lingkungan masyarakat Hukum Adat dikenal hak ulayat. Hak ulayat
merupakan hak dari masyarakat Hukum Adat yang berisi wewenang dan
kewajiban untuk menguasai, menggunakan, dan memelihara kekayaan alam
yang ada di lingkungan wilayah hak ulayat tersebut. Jadi hak ulayat bukan
untuk memiliki, tetapi hanya merupakan hak menguasai. Hak ulayat ini
kemudian dijadikan dasar dalam menentukan hubungan negara dan bumi, air,
serta ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Konsepsi ini kemudian dimuat dalam Pasal 2 UUPA.
(c) Di dalam konsepsi Hukum Adat di samping ada hak masyarakat Hukum Adat
yaitu hak ulayat, juga hak perseorangan atas tanah diakui. Masing-masing
individu diberi kesempatan untuk mempunyai hak atas tanah. Konsepsi ini
kemudian dimuat dalam Pasal 4 dan Pasal 16 UUPA. Di dalam Hukum Adat
dikenal suatu asas: “Di dalam hak individu terlekat hak masyarakat.” Hal ini
merupakan perwujudan dari sifat kemasyarakatan Indonesia. Asas ini
mengandung arti bahwa penggunaan hak individu harus memerhatikan dan
bahkan tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Konsepsi ini
kemudian dimuat dalam Pasal 6 UUPA.
(d) Dalam masyarakat Hukum Adat terdapat asas gotong royong. Setiap usaha
yang menyangkut kepentingan individu dan masyarakat selalu dilakukan
melalui gotong royong. Hal ini untuk mencegah adanya persaingan dan
pemerasan antara golongan yang mampu terhadap golongan yang tidak
mampu. Konsepsi ini kemudian dimuat dalam Pasal 12 ayat (1) UUPA.
(e) Asas lain yang terdapat dalam Hukum Adat adalah ada perbedaan antara
warga masyarakat dan warga asing dalam kaitannya dengan penguasaan,
penggunaan kekayaan alam. Warga masyarakat dapat mengolah, memetik
hasil hutan, dan bahkan mempunyai tanah. Sedangkan warga asing tidak
mempunyai hak atas tanah, mereka hanya dapat memetik hasil hutan dan itu
pun dengan syarat harus memperoleh izin dari kepala adat masyarakat yang
bersangkutan. Dalam konsepsi ada perbedaan kedudukan antara warga
masyarakat dengan warga asing dalam hubungannya dengan penguasaan
tanah. Konsepsi ini kemudian dimuat dalam Pasal 9 UUPA.
2. Lembaga-lembaga Hukum Adat.
Yang dimaksudkan dengan lembaga Hukum Adat yang diambil sebagai dasar
utama pembentukan Hukum Agraria Nasional adalah susunan macam-macam hak
atas tanah. Macam-macam hak atas tanah yang ada dalam Hukum Adat seperti
hak milik/hak yasan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak menikmati
hasil hutan. Susunan macam-macam hak atas tanah yang demikian ini kemudian
diangkat dan dijadikan dasar dalam penyusunan hak-hak atas tanah dalam Hukum
Agraria Nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA.
Namun demikian, macam-macam hak atas tanah yang ada dalam Hukum Adat
tersebut masih perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan masyarakat
Indonesia yang menuju masyarakat yang modern. Penyempurnaan tersebut adalah

Politik Agraria | 217


adanya tambahan hak baru, yaitu hak guna usaha dan hak guna bangunan. Juga
adanya keharusan pendaftaran tanah terhadap macam-macam hak atas tanah
tersebut.
3. Sistem Hukum Adat terutama mengenai sistematika hubungan-manusia
dengan tanah.
Undang-undang pokok agrarian merupakan hukum Negara. Hukum
Negara kini disebut hukum nasional. Itu tidak selamanya mencerminkan hukum
rakyat yang hidup dianut rakyat setempat di dalam kehidupan sehari-harinya.
Tidak dipahami hukum rakyat oleh rakyat yang berbagai-bagai itu terkadang
bukan pula disebabkan oleh ketidaksadarannya melainkan juga sering karena
ketidaksediaannya. Kenyataan seperti itu sesungguhnya mencerminkan pula telah
terjadinya apa yang disebut cultural gaps bahkan mungkin juga cultural conflict.
Isi kaidah yang terkandung dalam Negara dengan yang terkandung dalam hukum
Negara dengan yang tergantung dalam hukum yang di anut rakyat tidaj hanya
bersesuaian satu sama lain melainkan juga bahkan acapkali bertentangan.357
Hukum Negara yang tak bersesuaian dengan hukum rakyat, tentu saja
acapkali condong untuk tak akan dipilih rakyat, atau kasarnya terkadang malah
akan memperoleh perlawanan dari bawah. Sekalipun hukum Negara itu ditopang
oleh sanksi yang dilaksanakan secara organisasi oleh organisasi eksekutif, namun
karena pada umumnya hukum di Negara ini kurang dikenal atau dipandang
kurang menguntungkan masyarakat luas maka, hukum Negara ini condong untuk
terabaikan begitu saja.
Tatkala dalam kehidupan berbangsa dengan bersaranakan hukum nasional
itu kepentingan hukum masyarakat-masyarakat lokal justru kurang terpenuhi,
sedangkan hukum-hukum lokal yang tertulis terbukti selama ini tidak hanya
murah akan tetapi juga terasa lebih melindungi kepentingan-kepentingan
setempat, maka selama itu kesadaran yang lama itulah itulah yang akan lebih kuat
bertahan. Persoalannya yang paling mendasar adalah persoalan keyakinan dan
kesadaran hukum rakyat yang merujuk ke perangkat budaya yang berbeda dari
postulat yang diambil sebagai premise kebijakan Negara. Maka pada hakekatnnya
yang tengah dihadapi ini adalah persoalan konflik budayanya, sekalipun satu
dalam makna politik dan pemerintahannya.
Hukum nasional pada hakekatnnya adalah hukum yang kesahihan
pembentukkan dan pelaksanaannya bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan
Negara. Tatkala kehidupan berkembang ke skala-skala yang lebih luas, dari
lingkar-lingkar kehidupan komunits lokas (old societies) ke lingkar-lingkar besar
yang bersifat translokal pada tataran kehidupan berbangsa yang diorganisasi
sebagai suatu komunitas politik yang disebut Negara bangsa yang modern (new
nation state), kebutuhan akan suatu sistem hukum yang satu dan pasti (alias
positif) amatlah terasanya. Maka gerakan kea rah univikasi dan kodifikasi hukum
terlihat marak disini, seolah menjadi bagian inheren proses rasionalisasi dan
negaranisasi serta modernisasi yang amat berkesan mengingkari eksistensi apapun
yang berbau lokal dan tradisional.
Namun apapun yang disebut lokal dan tradisional itu sesugguhnya
berumur lebih tua, dan lebih mengakar dalam sejarah, daripada apa yang nasional
dan modern itu. Hukum setempat sekalipun tertulis dan tak memiliki ciri-cirinya
Soetandyo Wignjsoebroto, “HUKUM Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya” (ELSAM dan
357

HUMA:Jakarta,2002) Hlm. 306

Politik Agraria | 218


yang positif adalah sesungguhnya hukum yang lebih memiliki makna sosial dari
pada hukum yang berujud dan tegak atas wibawa kekuasaan-kekuasaan sentral
pemerintah-pemerintah nasional. Dibandingkan hukum nasional yang state law,
hukum lokal yang folk law itu memang tak mempunyai struktur-struktur yang
politik itu melainkan imperative-imperatifnya yang moral dan kultural. Maka
dalam bingkai-bingkai kesatuan, politik kenegaraan yang satu dan bersatu dalam
konteks-konteksnya yang lokal dan substansial. Di negeri-negeri yang berkultur
bhineka namun yang tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (lewat
nernagai ikrar dan pernyataan tekad) eksistensi nasionalisme politik, itu selalu
menghadapi masalah pluralism hukum-hukum lokal yang memanifestasikan
kemestian-kemestian dan kebutuhan lokal.358
Pluralitas hukum rakyat yang diakui berlaku sebagai living law
berdasarkan paham partikularisme pada zaman kolonial tidaklah mudah
diteruskan pada zaman kemerdekaan. Cita-cita nasional untuk menyatukan
Indonesia sebagai satu kesatuan politik dan pemerintahan telah cenderung untuk
mengabaikan hukum rakyat yang plural dan lokal-lokal itu diganti dengan hukum
nasional yang diunifikasikan dan tak pelak juga dikodifikasikan. Kebijakan umum
nasional ditantang untuk merealisasi cita cita memfungsikan kaidah-kaidah
sebagai kekuatan pembaru, mendorong terjadinya perubahan dari wujud
masyarakat-masyarakat lokal yang berciri agraris dan berskala lokal ke
kehidupan-kehidupan baru yang lebih berciri urban dan industrial dalam format
dan skalanya yang nasional (dan bahkan kini juga global).
Perubahan-perubahan cita-cita itu acapkali bermula dari cita-cita para
pemegang kendali kebijakan pemerintah, sedangkan kesetiaan warga masyarakat
pada umumnya (khususnya dari lapisan bawah yang kurang terdidik secara
formal) lebih berlanjut ke nilai-nilai dan keyakinan yang dikukuhi secara
konservatif selama di dalam komunitasnya, maka terjadilah tegangan yang terasa
saling memaksa antara pemerintah beserta para elit pendukungnya dengan lapis-
lapis masyarakat awam. Pengendali kebijakan Negara mencita-citakan perubahan
ke arah pola kehidupan yang baru modern, industrial dan berkesetiaan nasional
sedangkan masyarakat awam yang pada umumnya cenderung konsevatif untuk
lebih banyak menyuarakan suara ragu akan manfaat dan kebajikan perubahan itu.
Dalam suasana kehidupan yang kian terasa menuju ke suasana one world,
different but not divided dewasa ini, terjadilah suatu paradoks bahwa yang lokal
tak akan kunjung terancam mati (sebagaimana yang terkesan akan terjadi
demikian dalam suasana yang nasional dan modern (serta anti tradisi itu dalam
prakteknya), melainkan hidup kembali untuk koeksis sevafau alternative yang
dapat pula dipilih dalam kehidupan ini. Tatkala terbukti bahwa selama ini
modernisme dan dengan demikian juga hukum nasional yang konon modern itu
tak mampu memecahkan seluruh persoalan kemanusiaan, tak hanya apa yang
global (dengan semangat postmodernismenya) melainkan juga yang lokal (dengan
tema-tema premodernismenya) berani bangkit untuk menawarkan alternative
dalam kehidupan budaya, sosial politik dan hukum kepada umat manusia.

Soetandyo Wignjsoebroto, “HUKUM Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya” (ELSAM dan
358

HUMA:Jakarta,2002) Hlm. 302

Politik Agraria | 219


Bumi, Air, Ruang angkasa serta Kekayaan Alam (BARKA) yang
terkandung di dalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada
Bangsa Indonesia yang mempunyai fungsi penting untuk membangun masyarakat
yang adil dan makmur. Tanah memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, karena sebagian besar kehidupan manusia bergantung kepada
tanah.Terdapat korelasi yang erat antara manusia dengan tanah dan tidak ada
satupun manusia di dunia ini yang tidak membutuhkan tanah. Mengingat tanah
termasuk segala sesuatu yang melekat diatasnya menjadi bagian dari tanah, seperti
pohon atau tumbuhan yang melekat pada tanah tersebut. 359 Tanah tidak hanya
dipahami sebagai sumber ekonomi saja,namun bagi pihak lain memandang tanah
sebagai sesuatu yang sakral dan harus dijaga salah satu adalah masyarakat adat.
Mereka memandang tanah khususnya tanah ulayat karena merupakan peningalan
nenek moyang ataupun sebagai lambang identitas mereka. Dalam kehidupan
manusia tanah tidak akan terlepas dari segala tindaktanduk manusia itu sendiri
sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani hidup serta
kelanjutan kehidupannya.Hubungan antara manusia dengan tanah dapat diartikan
sebagai hubungan hakiki. Artinya hubungan tersebut akan terjalin secara
berkesinambungan sampai kelak manusia itu kembali kepada Sang Pencipta
dengan tempat perjalanan terakhirnya juga melalui tanah. Kebutuhan tanah baik
oleh pemerintah maupun masyarakat yang terus bertambah tanpa diikuti dengan
pertambahan luas lahan menjadi masalah yang krusial. Masalah timbul karena
adanya berbagai pemberontakan kepentingan.360
Disatu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, di sisi lain harus tetap dijaga
kelestariannya. Hal tersebutmemang sudah menjadi kewajiban manusia untuk
memelihara dan mengatur peruntukannya secara adil dan berkelanjutan demi
kelangsungan hidup umat manusia di masa mendatang.Sangat berartinya tanah
bagi kehidupan manusia dan bagi Negara di buktikan dengan di aturnya secara
konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 pasal 33 ayat (3) bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya di kuasai oleh negara dan di pergunakan sebesarbesarnya bagi
kemakmuran rakyat”. Untuk menindaklanjuti penafsiran Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 33 ayat (3) di atas, negara memberi kewenangan kepada
penyelenggara pemerintah (terutama bidang pertanahan) untuk mengundangkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria pada tanggal 24 September 1960.361 Ketentuan Pasal tersebut
kemudianmenjadi landasan filosofis terhadap pengaturan tanah di Indonesia yang
secarayuridis diatur dalamUndang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
PeraturanDasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan sebutan
Undang-UndangPokok Agraria (UUPA).Hal tersebut diperlukan guna menjadi
suatu landasan bagi setiap orang di dalam melakukan perbuatan hukum yang
berhubungan dengan pemilikan maupun penggunaan tanah agar supaya mendapat
jaminan hukum dan kepastian hak. Demi mewujudkan kepastian hukum dan

359
Yudhi Setiawan, Instrumen Hukum Campuran Dalam Konsolidasi Tanah, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2009, hlm. 161.
360
Nurus Zaman, Politik Hukum Pengadaan Tanah, Bandung, Refika Aditama, 2016, hlm. 55
361
Op. Cit. Instrumen Hukum Campuran Dalam Konsolidasi Tanah, 43.

Politik Agraria | 220


perlindungan hukum kepada wargamasyarakat, maka diperlukan pengaturan yang
tertulis, lengkap dan dilaksanakan secara konsisten sehingga mencegah terjadinya
sengketa tanah.
Di dalam sistem Hukum Adat, tanah merupakan hak milik bersama
masyarakat Hukum Adat atau yang dikenal dengan hak ulayat. Hak ini merupakan
hak yang tertinggi kedudukannya. Hak ulayat ini mengandung dua unsur, yaitu
unsur kepunyaan yang artinya semua anggota masyarakat mempunyai hak untuk
menggunakan, dan memimpin penggunaannya. Kemudian, karena semua anggota
masyarakat tidak mungkin melaksanakan pengurusan hak ulayat, maka tugas
tersebut dilimpahkan kepada kepala adat. Namun yang perlu ditekankan
pelimpahan itu hanya mengenal unsur kewenangan saja. Atas dasar kewenangan
tersebut, kepala adat berhak memberikan hak-hak atas tanah kepada perseorangan
seperti hak milik/hak yasan, hak pakai, dan sebagainya.
Sistem Hukum Adat ini diangkat sebagai sistem Hukum Agraria Nasional,
yang dimuat dalam Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 16 UUPA.362

G. Hukum Barat
Hukum Barat yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum Agraria yang
bersumber pada hukum perdata barat, khususnya yang bersumber pada Burgerlijk
wetboek (BW).Hukum Agraria ini terdapat dalam BW (bersifat ekstern), yang
memberikan pengaturan bagi sebagian keecil tanah tetapi bernilai tinggi.Hukum
Agraria ini di berlakukan atas dasar konkordansi.Misalnya tanah Hak Eigendom, Hak
Opstal, Hak Erfpach, Rechts van Gebruik.363
Selain dari hukum yang berlaku lebih dari satu yang akhirnya menimbulkan
sistem dualisme Hukum Agraria pada era kolonial, sifat dualisme ini juga meliputi:
a. Hukumnya
Pada saat yang sama berlaku macam-macam Hukum Agraria, yaitu Hukum
Agraria Barat, Hukum Agraria Adat, Hukum Agraria Swapraja, Hukum Agraria
Administratif, dan Huum Agraria Antargolongan.
b. Hak Atas Tanah.
Pada saat yang bersamaan berlaku bermacam-macam hak atas tanah yang
berbeda hukumnya, yaitu:
i. Hak Atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Barat yang di atur dalam
KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak postal, dan hak erpacht.
ii. Hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Adat daerah masing-
masing yang di sebut tanah-tanah hak adat, misalnya tanah yasan, tanah
kass desa, tanah bengkok, tanah ganjaran, tanah kuburan, tanah
penggembalaan (tanah pangonan).
iii. Hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah Swapraja, misalnya
grant sultan (semacam hak milik adat yang di beri kan oleh pemeritah
swapraja khusus bagi kaula praja, di daftar di kantor pejabat swapraja).
iv. Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah hindia-belanda,
misalnya hak agrarische eigendom (tanah milik adat yang di tunjukkan
dirinya pada Hukum Agraria Barat), landerijen bezitrecht (tanah-tanah
yang subjeknya hukum terbatas pada orang-orang dari golongan Timur
Asing Tionghoa).
c. Hak Jaminan atas Tanah.
Beberapa Hak Jaminan atas tanah pada masa berlakunya HukumAgraria
Kolonial, yaitu:364
362
Dr. Urip Santoso, SH., M.H., Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana, 2012, hal.67-70
363
Urip Santoso, op, cit. hlm. 7-8
364
Ibid

Politik Agraria | 221


i. Lembaga Hypotheek di peruntukan bagi hak-hak atas tanah yang tunduk
pada Hukum Barat, yaitu hak eigendom, hak postal, dan hak erpacht, yang
di atur dalam pasal 1162 sampai dengan pasal 1332 KUHPerdata dan
Overschrijving Ordonantie Stb. 1834 No. 27.
ii. Lembaga Creditverband di peruntukan bagi tanah-tanah yang tunduk pada
Hukum Adat. Lembaga jaminan ini merupakan ciptaan pemerintah Hindia-
belanda dalam rangka melaksanakan program pengentasan rakyat pribumi
dari kemiskinan dan belenggu utang dengan meemberikan kredit melalui
lembaga rakyat. Lembaga jaminan ini di atur dalam Stb. 1908 No. 542 dan
telah di ubah dengan Stb. 1973 No. 190.
iii. Lembaga Jonggolan di Jawa, dan Bali di sebut Makantah dan di Batak di
sebut Tahan, yang hubungan dengan utang piutang di kalangan warga
masyarakat. Pihak debitur menyerahkan tanahnya sebagai jaminan utang
kepada kreditur.Dalam lembaga ini di perjanjikan bahwa semua utang-
utangnya belum di bayar lunas, debitur tidak akan melakukan perbuatan
hukum apa pun dengan pihak lain mengenai tanah yang dijadikan jaminan
utang. 
d. Pendaftaran Tanah365
Berdasarkan Overschrijving Ordonantie Stb. 1834 No. 27, pendaftaran
tanah di lakukan oleh Kantor Pendaftaran Tanah atas tanah-tanah yang tunduk
pada hukum barat dan pendaftaran tanah ini menghasilkan tanda bukti berupa
sertifikat yang di berikan kepada pemegang haknya.Sebaliknya, untuk tanah-tanah
yang tunduk pada hukum adat tidak di lakukan pendaftaran tanah, sehingga tidak
memiliki sertifikat dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum.Hukum
Agraria Kolonial bagi bangsa Indonesia asli tidak menjamin kepastian hukum.
Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam bidang Agraria bagi rakyat
Indonesia asli disebabkan oleh dua hal yaitu:
i. Dari segi perangkat hukumnya.
Bagi orang-orang yang tunduk pada Hukum Agraria Barat perangkat
hukumnya jelas dan tertulis yaitu dapat di lihat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, sedangkan bagi Rakyat Indonesia asli yang tunduk pada
Hukum Agraria Adat perangkat hukumnya tidak secara tertulis yaitu terdapat
dalam kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat hukuma adat
yang memang di taati keberadaanya. Dengan perangkat hukum yang terulis
maka orang dapat dengan mudah menemukan pengaturan apa saja yang terseda
di dalamnya sepert contoh dapat mengetahui kemungkinan untuk menguasai
dan menggunakan tanah yang di perlukan,bagaimana cara memperolehnya,
hak-hak, kewajiban, serta larangan-larangan apa yang ada di dalamnya
menguasai tanah dengan hak-hak tertentu, sanksi apa yang di hadapinya jika di
abaikan ketentuan-ketentuan yang bersangkutan, serta hal-hal lain yang
berhubungan dengan penguasaan dan penggunaan tanah yang di
punyainya.366Dengan keadaan perangkat hukum yang tidak tertulis, maka
Hukum Agraria Adat jauh dari jaminan kepastian hukum bagi rakyat terhadap
hak-hak atas tanahnya
ii. Dari segi pendaftaran tanah.
Untuk tanah-tanah yag tunduk pada Hukum Barat, misalnya hak eigendom,
hak postal, hak erfpacht dilakukan pendaftaran tanah dengan tujuan
memberikan jaminan kepastian hukum dan menghasilkan tanda bukti yang
berupa sertipikat. Penddaftaran tanah ini dikenal degan recht cadaster atau legal
cadaster.Untuk tanah-tanah yang tuduk pada hukum adat tidak di lakukan
pendaftaran tanah, sehingga tidak mempunyai jaminan kepastian hukum.Kalau

Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Cet. V (Jakarta: Kencana, 2009), hlm:1.
365

Boedi harsono, Undang-undang Pokok Agraria Sedjarah Penyusunan: Isi dan pelakssanaannja, (Djambatan,
366

Jakarta,1971). Hlm 60.

Politik Agraria | 222


pun dilakukan pendaftaran tanah, tujuannya bukan untuk memberikan jaminan
kepastian hukum melaikan untuk menetapkan siapa yang berkewajiban
membayarkan tipikat, melainkan tanda bukti pembayaran pajak atas tanah,
misalnya Petok, Pipil, Gririk, Ketitir, Verponding Indonesia.Penddaftaran tanah
ini di kenal dengan Fiskal Cadaster.
Dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali terdapat dua metode yaitu:[6]
1.    Pendaftaran tanah secara sistematik
Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan.367
2.    Pendaftaran tanah secara sporadik
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam
wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.
Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang
berkepentingan.368
Mengingat pendaftaran tanah secara sistematik pada umumnya bersifat massal
dan besar besaran, maka untuk melaksanakannya Kepala Kantor Pertanahan369
perlu dibantu oleh Panitia yang khusus dibentuk untuk itu, sehingga dengan
demikian tugas rutin Kantor Pertanahan tidak terganggu.

Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja


dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri. Karena
pendaftaran tanah secara sistematik dilaksanakan atas prakarsa Pemerintah,
maka kegiatan tersebut didasarkan pada suatu rencana kerja yang ditetapkan
oleh Menteri. Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah
pendaftaran tanah secara sistematik, pendaftarannya dilaksanakan melalui
pendaftaran tanah secara sporadik.

Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran


Tanah, yang bisa menjadi objek pendaftaran tanah adalah :
a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai;
b. tanah hak pengelolaan;
c. tanah wakaf;
d. hak milik atas satuan rumah susun;
e. hak tanggungan;
f. tanah negara;
Pada kenyataannya ternyata didalam masyarakat masih terdapat hak
eigendom, hak opstal, hak erfpacht serta hak penduduk asli atau bumi putera yang
tunduk pada Hukum Adat yang tidak mempunyai bukti tertulis, yang dipunyai
penduduk setempat sering disebut tanah adat misalnya tanah hak ulayat, tanah milik
adat, tanah yasan, tanah gogolan dan lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 tersebut

367
Pasal 1 angka 10 PP 24/1997
368
Pasal 13 ayat (4) PP 24/1997
369
Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional (BPN) di wilayah kabupaten atau
kotamadya, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah
(Pasal 1 angka 23 PP 24/1997)

Politik Agraria | 223


diatas, maka jelas tanah-tanah yang berasal dari hak-hak barat tidak bisa didaftar. Jika
tanah-tanah ini tidak bisa didaftarkan tentukan akan merugikan para pemilik tanah,
karena mereka tentu akan kehilangan haknya. Oleh karena itu diperlukan suatu cara
agar tanah ini dapat didaftarkan, maka cara yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan konversi terhadap tanah yang bersumber dari hak barat tersebut. Dengan
adanya konversi tanah dari hak-hak barat diharapkan masyarakat tidak ada yang
dirugikan haknya karena setelah dikonversikan hak tersebut akan dapat didaftarkan.
Sebelum tahun 1960, di Indonesia berlaku dualisme hukum pertanahan. Disatu
sisi berlaku hukum-hukum tanah hak kolonial Belanda, tanah yang tunduk dan diatur
Hukum Perdata Barat yang sering disebut Tanah Barat atau Tanah Eropa misalnya
tanah hak eigendom, hak opstall, hak erfpacht dan lain-lainnya. Penguasaan tanah
dengan hak penduduk asli atau bumi putera yang tunduk pada Hukum Adat yang tidak
mempunyai bukti tertulis, yang dipunyai penduduk setempat sering disebut tanah adat
misalnya tanah hak ulayat, tanah milik adat, tanah Yasan, tanah gogolan dan lainnya.
Tanggal 24 September 1960, yang merupakan hari bersejarah karena pada
tanggal tersebut telah diundangkan dan dinyatakan berlakunya Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bagi seluruh
wilayah Indonesia. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya di sebut UUPA) terjadi perubahan
fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama di bidang
pertanahan.370Maka berakhirlah dualisme hukum tanah dan terselenggaranya unifikasi
yaitu kesatuan hukum dilapangan hukum pertanahan di Indonesia. Ketentuan ini
sekaligus mencabut Hukum Agraria yang berlaku pada zaman penjajahan antara lain
yaitu Agrarische Wet (Stb. 1870 Nomor 55), Agrarische Besluit dan Kitab Undang-
undang Hukum Perdata khususnya Buku II tentang Kebendaan, salah satunya yang
mengatur tentang masalah hak atas tanah.

Perbedaan
Hukum Adat Hukum Barat
Hukum adat adalah sistem hukum yang Hukum barat mengenal “hak kebendaan”
dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial (zaken rechten), yaitu hak atas sesuatu
di Indonesia dan negara-negara Asia barang yang berlaku terhadap setiap orang
(misalnya hak milik, hak hipotik).
lainnya seperti Jepang, India, dan
Tiongkok.
Sumbernya adalah peraturan-peraturan Hukum barat terdapat “hak perorangan”
hukum tidak tertulis yang tumbuh dan misalnya hak sewa, hak pakai.
berkembang dan dipertahankan dengan
kesadaran hukum masyarakatnya.
Peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan Konsep hukum barat bersifat tetap atau
berkembang, maka hukum adat memiliki tidak dapat berkembang (tidak fleksibel)
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Sumber : H. Mustaghfirin. 2002. Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, Dan Sistem
Hukum Islam Menuju Sebagai Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide Yang Harmoni. Semarang
: Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung Semarang. Hlm 90-92.

H. Administrasi Agraria Nasional


Administrasi Pertanahan adalah suatu usaha dan manajemen yang berkaitan
dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan

Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia jilid I Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Djambatan, Jakarta, 2007,
370

hlm. 1

Politik Agraria | 224


mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.371 Penyelenggaraan tertib administrasi memang
sangatlah diperlukan dalam bidang pertanahan. Hal ini dapat dilihat dari
penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah, yang mana pendaftaran tanah
merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.372
Tertib administrasi pertanahan dan kegiatan pendaftaran tanah, dapat dilihat
dari tujuan pendaftaran tanah itu sendiri, yaitu dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:
1) Untuk memberikan kepastian hokum dan perlindungan hokum kepada pemegang
ha katas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar
agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan.
2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar.
3) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Untuk menunjang penyelenggaraan tertib administrasi pertanahan yang
pelaksanaannya merupakan tugas, wewenang dan fungsi BPN, terdapat aturan untuk
membantu mengefisienkan, menertibkan khususnya terkait kegiatan administrasi
pertanahan, telah diterbitkan aturan-aturan yang berlaku seperti yang terdapat dalam
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.373
Hampir selama dua setengah abad, feodalisme dan kolonialisme menciptakan
massa rakyat hidup dalam kemiskinan dan ketirtindasan. Kemiskinan dan
ketertindasan itu menjadi daya dorong yang melahirkan suatu gagasan dan gerakan
(nasionalisme) kemerdekaan di indonesia untuk menyingkirkan unsur-unsur negara
kolonial hinda belanda yang terdiri dari gabungan kepentingan kaum feodal dan kaum
kapitalis asing, berikut tatanan masyarakat yang di ciptakannya. Dalam rangka ini,
kata kuncinya adalah “revolusi”, yakni suatu perubahan yang cepat dan redikal untuk
merubah secara menyuluruh masyarakat lama menuju suatu tatanan masyarakat baru
yang lebih memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. 374 Untuk itu, dengan
mengatasnamakan seluruh rakyat Indonesia, Soekarno-Hatta pada 17 agustus 1945
memporklamirkan berdirinya suatu organisasi pemerintahan baru yang bernama
Indonesia dan berbentuk kesatuan republik. Pada 18 agustus 1945, di berlakukan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar bagi negara baru ini. Pernyataan
proklamasi kemerdekaan dan pemberlakuan Undang-Undang Dasar 1945.

371
Agus Wahyudi, Modul: Konsep Dasar Administrasi dan Administrasi Pertanahan, hal 1.19
372
Miraa Novana Ardani, Jurnal: “Penyelenggaraan Tertib Administrasi Bidang Pertanahan Untuk Menunjang
Pelaksanaan Kewenangan, Tugas dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional”, Vol. 2 No.3, (Semarang:
Universitas Diponegoro, 2019) hal 483.
373
Miraa Novana Ardani, Jurnal: “Penyelenggaraan Tertib Administrasi Bidang Pertanahan Untuk Menunjang
Pelaksanaan Kewenangan, Tugas dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional”, Vol. 2 No.3, (Semarang:
Universitas Diponegoro, 2019) hal 484.
374
Noer Fauzi, Petani & Penguasa; Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), hlm. 53.

Politik Agraria | 225


Menunjukkan bahwa jalan perubahan untuk membebaskan rakyat dari penderitaan
dan penindasan oleh penjajahan adalah melalui cara merebutkan pemerintahan dan
mendirikan pemerintahan sendiri, untuk kemudian mengupayakan terselenggarannya
kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat.375
Keadaan darurat akibat suasana perebutan kekuasaan antara pemerintahaan
lama dan pemerintahaan baru menyebabkan perubahan tatanan lama dengan tatanan
masyarakat baru tidak dapat dilakukan dengan segera. Kelamahan ini di tutup dengan
undang-undang dasar 1945 pada pasal 2 aturan peralihan bahwa ;” sepanjang badan
kekuasaan dan peraturan-peraturan belum di ganti dengan yang baru masih tetap
berlaku.” Karenanya, sistem hukum pemerintahan kolonial masih tetap di guanakan
sebagai dasar-dasar perilaku masyarakat, termasuk juga undang-undang
agraria.Keadaan ini sangat tidak di sukai oleh kalangan ahli hukum jaman itu.Mereka
menuntut diadakannya suatu perubahan dan perombakan seluruh tata hukum
masyarakat kolinial dan perombakan struktur sosial ekonominya.376Kritik-kritik dan
tuntutan kalangan hukum umumnya berkisar pada, pertama, nilai-nilai hukum
pemerintahan hindia belanda tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat merdeka dan
lebih mengabdi bagi kepentingan bangsa penjajah.Kedua, berlakunya sistem lama
menciptakan dualisme hukum sehingga tidak mencerminkan kepastian hukum.Ketiga,
dasar falsafah hukum liberal-kaptalis bersumber dari kehidupan sosial barat dan tidak
sama dengan dasar falsafah masyarakat indonesia.377
Untuk itu, pemerintahan baru ini harus menyelenggarakan tata hukum baru
yakni, pertama, menciptakan suatu undang-undang baru yang menghapus nilai-nilai
yang menguntungkan kaum feodal dan kapitalis asing dan memberlakukan suatu
nilai-nilai yang lebih berdiri dari kepentingan rakyat . Kedua, bagi seluruh wilayah
indonesia hanya ada satu undang-undang agraria yang berlaku secara nasioanal.
Ketiga, rumusan nilai-nilai hukumnya berlandaskan pada kehidupan sosial bangsa
yang di gali dan di rumuskan sehingga lebih sesuai dengan rasa ke adilan dan
kesadaran hukum masyarakat, yakni hukum adat indonesia. Demi mewujudkan tugas-
tugas tersebut presiden Soekarno telah didesak terus menerus baik oleh organisasi-
organisasi massa baik maupun kalangan hukum untuk sesegera mungkin mengganti
tata hukum warisan kolonial.378
Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok- Pokok Agraria (UUPA) menyatakan hak-hak atas tanah bukan hanya
memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaanbumi
yang bersangkutan, yang disebut “tanah”, tetapi juga tubuh bumi yang ada di
bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. 379Dengan demikian, pengertian
“tanah” meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang
berada di bawah air, termasuk airlaut.380
Hukum agraria apabila dilihat dari isi aturan hukum adalah hukum yang
mengaturhal yang berkaitan dengan tanah. Ini berarti bukan saja menyangkut
375
Ibid.., hlm. 54.
376
Ibid.., hlm. 54.
377
Noer Fauzi, Petani & Penguasa; Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), hlm. 54-55.
378
Ibid.., hlm. 55
379
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hlm. 18.
380
Ibid. hlm 7

Politik Agraria | 226


pengaturan tentang hubungan hukum antara manusia dengan tanah saja tetapi juga
mengatur penyelenggaraan peruntukan, penggunaan, dan penyediaan serta
pemeliharaan.381 Setiap kegiatan badan atau pejabat negara dalam mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, dan penyediaan, serta pemeliharaan
tanah tersebut merupakan kegiatan administrasi pertanahan. Dengan demikian, maka
pengertian administrasi pertanahan dapat dinyatakan sebagai usaha dan kegiatan yang
berkaitan dengan penyelenggaran kebijaksanaan menyangkut segala sesuatu yang
berkenaan dengan tanah dan hak-hak atas tanah dengan tujuan untuk menjamian
kepastian hukum dan tertib pertanahan. Adapun lingkup kegiatan administrasi
pertanahan adalah sebagai berikut:
a. Peruntukan dan Penggunaan Tanah
Penatagunaan tanah adalah serangkaian kegiatan penataan, peruntukan,
penggunaan dan penyelesaian tanah secara berkesinambungan dan teratur berdasarkan
asas manfaat, lestari, optimal, seimbang dan serasi. Fungsi ini sejalan dengan Pasal 14
dan Pasal 15 UUPA yaitu upaya yang menghendaki agar perencanaan tanah dan
usaha-usaha pemeliharaan tanah meliputi usaha mempertahankan keutuhan tanah dan
mencegah kerusakan. Penggunaan tanah dibedakan menjadi dua jenis penggolongan,
yaitu tanah pedesaan (pertanian, peternakan) dan tanah perkotaan (pemukiman, jasa,
instansi).382
Selain itu, peruntukan dan penggunaan tanah berkenaan dengan tata guna
tanah. Rencana tata guna tanah dapat diartikan sebagai optimalisasi dari produktifitas
bumi,air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang
dilaksanakan secara terpadu dan seimbang untuk berbagai kegiatan
pembangunan,berdasarkan peta-peta kemampuan yang dikeluarkan oleh BPN yang
diatur dalam satu perencanaan tataruang sehingga dapat memberikanmanfaatbagi
rakyat banyak masa kini dan masayangakan datang. Dalam hal ini istilah
tatagunatanah lebih ditekankan pada konteks penataan ruang.383
Ketentuan yuridis yang mengatur tentang penataan ruang adalah Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penyelenggaraan Penataan
Ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan
pengawasan penataan ruang.384 Kegiatan administrasi dalam penataan ruang terutama
diterapkan pada pelaksanaan tata ruang. Tugas pelaksanaan penataan ruang meliputi
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.385
b. PenyediaanTanah
Kegiatan penyediaan tanah berkenaan dengan kebijakan pengadaan
tanah.Dasar yuridis kebijakan pengadaan tanah adalah Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. Prosedur pengadaan tanah yang berkaitanerat dengan tugas
administrasi pertanahan meliputi penetapan lokasi, persetujuan penetapan lokasi,
pengajuan permohonan untuk memulai pelaksanaan pengadaan tanah kepada panitia
pengadaan tanah, penetapan batas lokasi tanah, penerbitan surat keputusan penetapan
harga oleh panitia pengadaan tanah, pelepasan hak, permohonan hak atastanah.386
381
Ali, Faried, 1997, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Hlm 65
382
Agus Wahyudi, Modul: Konsep Dasar Administrasi dan Administrasi Pertanahan, hal 1.23
383
Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2009, hlm. 166-167.
384
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4725).
385
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4725).
386
M. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, 2011, Pencabutan Hak, Pembebasan, dan Pengadaan Tanah, Mandar
Maju, Bandung, hlm. 66-95.

Politik Agraria | 227


c. Pemeliharaan Tanah
KetentuanPasal 15 UUPA menyatakan bahwa pemeliharaan tanah, termasuk
kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan
hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu. 387Ketentuan
tersebut memberikan pengertian bahwa pemeliharaan tanah berkaitan dengan
hubungan hukum dengan tanah, dengan kata lain pemeliharaan tanah juga
menyangkut dengan pengaturan hak-hak atas tanah.
Aspek administrasi pertanahan dalam pengaturan hak-hak atas tanah adalah
mengenai pendaftaran tanah. Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor24
Tahun 1997 dinyatakan bahwa yang terkait segi administratif disebutkan adalah data
yuridis, sedangkan segi teknisadalah data fisik. Data yuridis maksudnyaadalah
keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang
didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang
membebaninya.388Bila dinyatakan sebagai status hokumbidang tanah yang terdaftar,
berarti terdapat bukti yang menunjukkan adanya hubungan hukum antara orang
dengan tanahnya.Adanya bukti hubungan hukum tersebut kemudiandiformalkan
melalui kegiatan pendaftaran tanah.389
Pendaftaran tanah dan pendaftaran hak atas tanah adalah program dan tugas
pokok dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, yaitu
untuk melaksanakan dan memberikan landasan hukum bidang pertanahan untuk
terwujudnya suatu tata kehidupan bagi masyarakat di mana tanah, disamping pungsi
social dan dapat juga berfungsi atau memberikan nilai ekonomis bagi pemilik hak atas
tanah, hal ini disebabkan karena tanah sebagai benda tidak bergerak dan nilai jaminan
bagi pemegang hak. Terhadap sebidang tanah yang telah didaftarkan oleh pemiliknya
atas suatu hak, maka Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional akan
mengeluarkan/menerbitkan surat keterangan hak yaitu Sertifikat hak atas tanah atas
nama pemiliknya. Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan Administrasi yang
dilakukan oleh pemilik terhadap tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun
pemberian dan pengakuan hak baru. Kegiatan pendaftaran tersebut memberikan suatu
kejelasan status terhadap tanah. Pendaftaran berasal dari kata “Cadastre” dalam
bahasa belanda yang merupakan istilah teknis untuk suatu rekor (rekaman) yang
menunjukan kepasa luas, nilai dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Kata
Cadatre berasal dari bahasa latin yaitu Capitastrum yang berarti suatu registen atau
capita unit yang diperbuatkan untuk pajak tanah di Romawi.390
Adapun tujuan pendaftaran tanah dan hak atas tanah adalah untuk memberi
kebenaran dan kepastian hak atas tanah tersebut baik dari segi peralihan atas tanah
atau sebagai jaminan bagi penerima hak tanggungan, dalam melakukan pendaftaran
tersebut tidak perlu mengulangi dari awal setiap adanya peralihan hak. Pendaftaran
tanah untuk penyederhaan atas alas hak yang berhubungan dengan ketelitian dan
kepastian hak tidak diragukan lagi. Kadaster merupakan merupakan alat yang tepat

387
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2043).
388
Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696).
389
M. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, 2011, Pencabutan Hak, Pembebasan, dan Pengadaan Tanah, Mandar
Maju, Bandung, hlm. 208
390
A.P. Parlindungan, Tanya Jawab Hukum Agrarian, (Bandung: CV Mandar Maju Cet.7, 1994),hal.11

Politik Agraria | 228


untuk memberikan uraian dan identifikasi dari lahan dan sebagai Continuous
Recording terhadap hak atas tanah. Pendaftaran tanah adalah kegiatan adminstrasi
kenegaraan sebagai kegiatan pemerintah untuk memberikan kepastian hak atas tanah.
Pendaftaran tanah merupakan suatu rekaman dari akta terhadap hak atas tanah dan
pendaftaran harus diterima jika bukti-bukti hak atas tanah benar dan tidak perlu
dibiarkan dan diserahkan kepada pihak lain yang berkepentingan terhadap hak yang
dimiliki.
Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematis
dan sporadis dan pendaftaran tanah ini diatur oleh Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan (kalau sekarang ATR/BPN) Nomor. 3 Tahun 1995.
Dilanjutkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016, dan Permen
ATR Nomor 18 Tahun 2016, yang bertujuan dimana penataan pertanahan nasional
yang utuh dan terpadu dan sistematik. Pendaftaran secara sistematis adalah suatu
kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua
bidang tanah di suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, baik tanah
yang dipunyai dengan suatu hak tanah maupun tanah negara.391
Kegiatan pendaftaran tanah yang memformalkan pemilikan tanah baik
berdasarkan bukti-bukti pemilikan maupun penguasaan atas tanah selain
menyangkut aspek yuridis dan aspek teknis, juga pelaksanaan pendaftaran tanah
terkait dengan tugas- tugas keadministrasian. Dengan kata lain dalam kegiatan
pendaftaran tanah terdapat tugas-tugas penatausahaan, seperti dalam hal penetapan
hak atas tanah dan pendaftaran peralihan hak tanah. Bahkan dapat dikatakan bahwa
kegiatan yang menyangkut aspek yuridis atau pengumpulan data yuridis sampai
kepada penerbitan buku tanah, sertifikat dan daftar umum lainnya serta pencatatan
perubahan di kemudian hari hampir seluruhnya menyangkut tugas-tugas
administrasi.392
Berikut ini adalah pengaturan dari kegiatan administrasi dalam hal
pendaftaran tanah yaitu sebagai berikut:393
1) Kegiatan pendaftaran tanah sebelum penerbitan sertifikat tanah berupa
penetapan hakatas tanah dalam rangka kegiatan administrasi pendaftaran
tanah tersebut dapat dirincikan lagi, yakni konversi hak atas tanah,
pengakuan dan penegasan hak atas tanah, pemberian hak atas tanah,
penolakan hak atas tanah, redistribusi tanah dan konsolidasi tanah,
perwakafan tanah.
2) Kegiatan yang bersifat administratif setelahpenerbitansertifikat tanah yang
dilakukan karena terjadinya perubahan data yuridis (subjek hak, jenis hak,
dan jangka waktu hak atas tanahnya), terdiri dari peralihan hak atas tanah,
pemindahan hak atas tanah, perpanjangan jangka waktu hak atas tanah,
pembaharuan hak atas tanah, perubahan hak atas tanah, pembatalan hak atas
tanah, pencabutan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah, perubahan
data karenaputusan dan penetapan pengadilan, perubahan data karena
perubahan nama, hapusnya hak atas tanah, penggantian sertifikat.
3) Kegiatan yang bersifat administratif setelah penerbitan sertifikat tanah yang
dilakukan karena terjadinyaperubahandata fisik atau obyek hak atas
tanahnya, terdiri dari pemecahan bidang tanah, pemisahan bidang tanah, dan
391
Bambang Sugianto,Pendaftaran Tanah Adat Untuk Kepastian Hukum di Kabupaten Kepahiang,
(Jurnal:Panorama Hukum, Vo.2, No.2,2017) hal.138
392
. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, 2011, Pencabutan Hak, Pembebasan, dan Pengadaan Tanah, Mandar
Maju, Bandung, hlm 208 - 209
393
Ibid. hlm 210 -211

Politik Agraria | 229


penggabungan bidang tanah.

Sebagai negara yang berdasar pada hukum, dalam kaitannya dengan


penerbitan sertifikat hak atas tanah, pemerintah harus dapat memberikan kepastian
hukum.Kepastian hukum dapat terwujud apabila tindakan pemerintah dilakukan
secara akuntabel.Berdasarkan konsep good governance, maka penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan harus didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang
baik.394
Hukum harus mencerminkan asas prosedural (fairness), keterbukaan sistem
(transparency), keterbukaanhasilkerja(disclausure),pertanggungan jawab publik
(accountability), dan kewajiban keterbukaan kepada masyarakat
(responsibility).Prinsip-prinsip yang tertuang dalam konsep good
governanceharussejalandengankonsepAsas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AAUPB).Good governance sebagai norma pemerintahanadalahsuatu sasaran yang
akan dituju dan diwujudkan dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik dan
AAUPB sebagai norma mengikat yang menuntun pemerintah dalam mewujudkan
good governance. Sinergitas antara good governance dengan AAUPB dapat
mencerminkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Prinsip-prisip AAUPB
tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, yaitu Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, Asas
Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas Proporsionalitas, Asas
Profesionalisme, dan AsasAkuntabilitas.395
Sehubungan dengan administrasi pertanahan, dalam pendaftaran tanah
dikenal Asas Publisitas yang menyebut semua orang boleh memperoleh informasi
mengenai tanah yang didaftar. Informasi ini menyangkut prinsip yaitu:396
(1) Transparansi, merupakan suatu keadaan dimana setiap orang berhak mengetahui
setiap proses pembuatan dan pengambilan keputusan yang dilakukan didalam
pemerintahan yang berdampak langsung maupun tidak langsung kepada
masyarakat, wajib mengikutkan dan melibatkan atau memberi kesempatan
kepada masyarakat untuk secara terbuka menyampaikan aspirasinya.
(2) Keterbukaan,adalah sikap mental membuka diri terhadaphak masyarakat
untukmemperolehinformasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan pemerintahhan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas
hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara dan keterbukaan ini mendukung
pelaksanaanpemerintahan yang transparan, yang bersedia untuk memberikan
informasi yang benar dan terbuka terhadap masukan atau permintaan
oranglain.397
Transparansi dalam pendaftaran tanah merupakan hal terpenting yang harus
dilaksanakan dalam hal pendaftaran atas tanah yang dilaksanakan oleh pihak Kantor
Pertanahan agar prosedur pengurusan dan pelayanan berjalan seperti yang
diharapkan oleh masyarakat khususnya pemohon yang akan melakukan pendaftaran
atas tanah yang meliputi proses pemeriksaan kelengkapan atas dokumen-dokumen
394
Riant Nugroho D., 2003, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo,
Jakarta, hlm.219-220.
395
Muin Fahmal, 2008, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan
yang Bersih, Kreasi Total Media, Yogyakarta, hlm. 94.
396
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, hlm. 14-16.
397
Meiji Morico, 2007, Prinsip Transparansi dalam Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan,
Tesis, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 64-67.

Politik Agraria | 230


yang diperlukan untuk suatu pendaftaran atas tanah. Dengan dilakukannya prinsip
transparansi secara berkesinambungan, maka diharapkan informasi yang berkaitan
dengan proses hingga penerbitan sertifikat dapat diakses oleh semua pihak sehingga
apabila ada informasi yang dianggap keliru segera dapat dilakukan perbaikan oleh
Kantor Pertanahan.
Terang saja bahwa masalah yang berkaitan tentang sertifikat sudah cukup
kompleks, misalnya terjadinya sertifikat ganda. Seharusnya sertifikat yang
dikeluarkan tidak mungkin adaduasebabproseshinggaterjadipenerbitansertifikat
harus menekankan asas transparansi agar terjadi cross check yang akurat dengan
masyarakat setempat atau dengan seluruh pihak yang berkepentingan. Namun
pengabaian prinsip transparansi inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya
permasalahan mengenai sertifikat ganda. Di sisi lain, sertifikat merupakan alat bukti
yang kuat untuk menunjukkan status kepemilikan/hak seseorang pada tanah
sehingga keberadaannya menjadi surat yang berharga dan sangatpenting.
Selain itu, pengutamaan prinsip responsif sebagai salah satu prinsip yang
tertuang dalam konsep good governance juga harus dilakukan.Salah satu asas
fundamental menuju cita-cita Good Governance adalah responsif, yakni
pemerintahan harus peka dan cepat tanggap terhadap persoalan-
persoalanmasyarakat.Terkaitdenganasasresponsif ini, pemerintah harus merumuskan
kebijakan- kebijakan pembangunan sosial terhadap semua kelompok sosial dalam
karakteristik kulturalnya.Dalam upaya mewujudkan asas responsif pemerintah harus
melakukan upaya-upaya strategis dalam memberikan perlakuan yang humanis pada
kelompok-kelompok masyarakat tanpa pandang bulu.Pemerintah tidak boleh bersifat
pasif melainkan harus responsif terhadap masyarakat dalam seluruh aspek, termasuk
dalam pelayanan di bidang pertanahan. Prinsip responsif menekankan bahwa setiap
institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak
yang berkepentingan. Dikhawatirkan sikap pasif pemerintah atau kurang
tanggapnya pemerintah dalam pelayanan termasuk dalam administrasi pemerintahan
akan menimbulkan pelayananpertanahanyangtidakmampumemenuhi kebutuhan
masyarakat.
Sesuai dengan asas responsif, maka setiap unsur pemerintah harus memiliki
dua etika, yakni etika individual dan sosial. Kualifikasi etika individual menuntut
pelaksanabirokrasi pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan layolitas
profesional.Adapun etika sosial menuntut mereka agar memiliki sensitivitas
terhadap berbagai kebutuhan publik.398Perwujudan good governance secara langsung
dapat kita jumpai pada pelaksanaan pelayanan publik.Ada beberapa alasan mengapa
pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan dan
penerapangood governance di Indonesia,yaitu:399
1) Pelayanan publik selama inimenjadi area di mana negara yang diwakili
pemerintah berinteraksi dengan lembaga non-pemerintah. Keberhasilan dalam
pelayanan publik akan mendorong tingginya dukungan masyarakat terhadap
kerja birokrasi.
2) Pelayanan publik adalah wilayah di mana berbagai aspek good and clean
398
Yona Ramadhani, “Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good and Clean
Governance),”https://www.academia.edu/9966363/
BAB_9_Tata_Kelola_Pemerintahan_yang_Baik_dan_Bersih_good_and_clean_governance_?auto=download,
diakses pada tanggal 5 Maret 2019 Pukul 16.10
399
Ibid.

Politik Agraria | 231


governance bisa diartikulasikan secara lebih mudah.
3) Pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance, yaitu
pemerintah, maysarakat, danmekanisme pasar.

I. Hukum Agraria di Indonesia


Upaya pemerintah indonesia untuk membentukhukum agraria nasional yang
akan mengantikan hukum agraria kolonial, yang sesuai dengan pancasila dan
UUD1945 sudah dimulai pada tahun 1948 dengan membentuk panitia yang diberi
tugas menyusun Undang-Undang Agraria. Setelah mengalami beberapa pengantian
kepanitiaan yang berlangsung selama 12 tahun sebagai suatu rangkayan proses yang
cukup panjang, maka baru pada tanggal 24 September 1960 pemerintah berhasil
membentuk hukum agraria nasional, yang dituangkan dalam Undang-Undang No.5
Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, yang lebih dikenal dengan
sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).400
Sebelum diterbitkannya UUPA No.5 Tahun 1960, yang membuka hak atas
tanah yaitu terdapat pada pasal 51 ayat 7 IS, pada Stb 1872 No.117 tentang Agraris
Eigendom Richt yaitu memberi hak eigendom (hak milik) pada orang Indonesia. Hal
tersebut juga disamakan dengan hak eigendom yang terdapat pada buku II BW, tetapi
hak tersebut diberikan bukan untuk orang Indonesia. Maka dengan adanya dualism
aturan yang mengatur tentang hak-hak tanah untuk menyeragamkannya pada tanggal
24 September 1960 diterbitkanlah UUPA No.5 Tahun 1960 pada lembar Negara No.
104/1960. UU No.5 tersebut bersifat nasionalis, yaitu diberlakukan secara nasional
dimana seluruh warga negara Indonesia menggunakan UUPA No.5 tahun 1960
tersebut. Dasar ke nasionalan hokum agrarian yang telah dirumuskan dalam UUPA
yaitu:
1. Wilayah indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya merupakan satu kesatuan tanah air dari rakyat
indonesia yang bersatu sebagai bangsa indonesia (pasal 1 UUPA).
2. Bumi air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
merupakan karunia tuhan yang maha esa kepada bangsa indonesia dan merupakan
kekayaan nasional. Untuk itu kekayaan tersebut harus dipelihara dan digunakan
untuksebesarbesarnya kemakmuran rakyat (pasal1,2,14, dan 15 UUPA).
3. Hubungan antara bangsa indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnyabersifat abadi, sehingga tidak dapat
diputuskan oleh siapa pun (pasal 1 UUPA).
4. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat indonesia diberi
wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran, rakyat (pasal 2
UUPA).
5. Hak ulayat sebagi hak masyarakat hukum adat diakui keberadaanya. Pengakutan
tersebut disertai syarat bahwa hak ulayat tersebut masih ada, tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-uandangan yang lebih
tinggi (pasal 3 UUPA).
6. Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah warga negara
indonesia tanpa dibedakan asli dan tidak asli. Badan hukum pada perinsipnya
tidak mempunyai hubungan sepenuhnya alam yang terkandung didalamnya (pasal
9, 21,dan 49 UUPA).
7. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.401
Didalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,
termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang
400
Ibid, hlm 62.
401
Asri Agustiwi, Hukum dan Kebijakan Hukum Agraria di Indonesia, (Surakarta: Universitas Surakarta) hal 2.

Politik Agraria | 232


angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting
untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan.
Dalam pada itu hukum Agraria yang berlaku sekarang ini, yang seharusnya
merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan
makmur tersebut, ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan
penghambat dari pada tercapainya cita-cita diatas. Hal itu disebabkan terutama:402
a. karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi
dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara
didalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan
revolusi nasional sekarang ini;
b. karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria
tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan
dari hukum-adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas
hukum barat, hal mana selain menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang
serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa;
c. karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian
hukum.
Sehubungan dengan itu maka perlu adanya hukum agraria baru yang nasional,
yang akan mengganti hukum yang berlaku sekarang ini, yang tidak lagi bersifat
dualisme, yang sederhana dan yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Hukum agraria yang baru itu harus memberi kemungkinan akan tercapainya
fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksudkan diatas dan harus sesuai
pula dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluannya, menurut
permintaan zaman dalam segala soal agraria. Lain dari itu hukum agraria nasional
harus mewujudkan azas dan cita-cita negara, yaitu ketuhanan yang maha esa,
perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial serta khususnya harus
merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 undang-undang dasar dan
garis-garis besar dari pada haluan negara yang tercantum didalam dasar negara
Republik Indonesia.
Maka dari itu hukum yang baru tersebut sendi-sendi dan ketentuan-ketentuan
pokoknya perlu disusun didalam bentuk undang-undang, yang akan merupakan dasar
bagi penyusunan peraturan-peraturan lainnya. Demikianlah maka pada pokoknya
tujuan Undang-undang Pokok Agraria ialah :403
a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
negara dan rakyat, terutama petani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur.
b. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.
c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Tahap-tahap dalam penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Panitia Agraria Yogya

402
Penjelasan Atas Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Rancangan Undang – Undang Pokok
Agraria. Kementrian Keuangan Republik Indonesia
403
Ibid hlm 56

Politik Agraria | 233


Panitia ini di bentuk dengan penetapan presiden No.16 tahun 1948 tanggal 21
mei 1948 berkedudukan di yogyakarta diketahui oleh Sarimin Reksodihardjo,
kepala bagian agraria kementrian dalam negeri.
2. Panitia Agraria Jakarta
Panitia agraria yogya dibubarkan dengan keputusan presiden no.36 tahun 1951
tanggal 19 maret 1951, sekaligus dibentuk panitia agraria Jakarta yang
bekedudukan di Jakarta diketuai oleh Singgih Praptodihardjo, wakil kepala bagian
agraria kementerian dalam negeri.
3. Panitia Soewahjo
Berdasarkan keputusan presiden No. 1 tahun 1956 tanggal 14 januari 1956
dibentuk panitia negara urusan agraria berkedudukan di Jakarta yang diketuai
Soewahji Soemodilogo, seketaris jendral kementrian agraria.
4. Rancangan Soenarjo
Setelah dilakukan beberapa perubahan megenai sistematika dan perumusan
beberapa pasalnya, maka rancangan panitia Soewahjo oleh menteri agraria Soenarjo
diajukan kepada dewan menteri pada tanggal 14 maret 1958. Dewan menteri dalam
sidangnya tanggal 1 April 1958 dapat menyetujui rancangan Soenarjo dan diajukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui amanat presiden Soekarno
tanggal 24 april 1958.
5. Rancangan Sadjarwo
Berdasarkan dekrit presiden tanggal 5 juli 1959 kita kembali kepada UUD
1945. Berhubungan rancangan Soenarjo yang telah diajukan kepada DPR beberapa
waktu yang lalu disusun berdasarkan UUDS 1950, maka dengan surat presiden
tanggal 23 maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali dan disesuaikan dengan
UUD 1945.404

Undang-Undang Pokok Agraria Hukum Agraria Nasional.


UUPA merupakan pelaksanaan pasal 33 ayat (3) UU 1945 sebagaimana yang
dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu atas dasar ketentuan dalam pasal 33
pasal ayat (3) undang-undang dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1,
bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan landsan konstitusional bagi
pembentukan politik dan hukum agraria nasional, yang berisi perintah kepada negara
agar bumi, air, dan kekayaan alamyang terkandung didalamnya yang diletakan dalam
penguasaan negara itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran
seluruh rakyat indonesia.UUPA mempunyai dua subtansi dari segi berlakunya, yaitu
pertama,tidak memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonoial, dan
kedua membangun hukum agraria nasional.Menurut Boedi Harsono, dengan
berlakunya UUPA, maka terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum agraria
di Indonesia, terutama hukum dibidang pertanahan.Perubahan yang fundamental ini
mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya.405
UUPA merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria karena
didalamnya memuat program yang dikenal dengan panca program agraria reform
Indonesia, yang meliputi :
a. Pembaruan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan
pemberian jaminan kepastian hukum.
b. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah.

404
Ibid, hlm 63.
405
Soeprapto, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Peraktek.(Jakarta: Universitas Indonesia perss), hlm:29.

Politik Agraria | 234


c. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
d. Perombakan pemilikkan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan
hukum yang berhubungan dengan pengusahaan tanah mewujudkan pemerataan
kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal sebagai program landreform.
e. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi,air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya serta penggunaanya secara terncana, sesuai dengan daya
dukung dan kemampuannya.
Dalam pembentukan UUPA disertai dengan pencabutan terhadap peraturan dan
keputusan yang dibuat pada masa pemerintahan hindia belanda sebagaimana yang
tersebut dalam dictum memutuskan UUPA dibawah perkataan ‘’dengan mencabut’’
adapun peraturan yang dicabut oleh UUPA yaitu:
a. Agrarishe wet stb. 1870 no.55 sebagai yang termuat dalam pasal 51 IS stb. 1925
no.447.
b. Peraturan-peraturan tentang domein verklaring baik yang bersifat umum maupun
khusus, yaitu:
1) Domein verklaring tersebut dalam pasal 1 Agrarische besluit stb.1870 No.118.
2) Algemene domein verklaring tersebut dalam stb.1875 No. 119a.
3) Domein verklaring untuk sumatera tersebut dalam pasal 1 dari stb.1874 No
94f.
4) Domein verklaring untuk karesidenan manado tersebut dalam pasal 1 dari
stb.1877 No 55.
5) Domein verklaring untuk residentie zuder en Osterafdeling van borneo
tersebut dalam pasal 1 dari stb.1888. No.58.
c. Koninklijk besluit (keputusan raja) tanggal 16 april 1872 No 29 (stb 1872 No. 29 (
stb.1872 No,117) dan peraturan pelaksanaannya.
d. Buku II KUHperdata indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung didalam nya,kecuali ketentuan-ketentuan tentang
Hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya UUPA.
Asas – asas dalam Undang-undang Pokok Agraria Dalam UUPA dimuat 8 asas
dari hukum agraria nasional. Asas – asas ini kerena sebagai dasar dengan sendirinya
harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya.
Delapan asas tersebut, adalah sebagai berikut:
a. Asas kenasionalan,
b. Asas pada tingkat tertinggi,bumi,air, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara,
c. Asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa dari pada kepentingan perseorangan atau golongan,
d. Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial,
e. Asas hanya negara indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah,
f. Asas persamaan bagi setiap warga negara indonesia,
g. Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh
pemiliknya sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan,
h. Asas tata guna tanah/pengunaan tanah secara berencana.
Tujuan Terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria:
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusun Hukum Agraria Nasional yang merupakan
alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan
rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
Hukum Pertanahan.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Jika hukum pertanahan difahami sebagai suatu
sistem norma, mka setiap peraturan perundang-undangan yng paling tinggi sampai
pada peraturan yang rendah (terkait dengan peraturan sistem pendaftran tanah)

Politik Agraria | 235


harus merupakan suatu jalinan sistem yang tidak boleh saling bertantangan satu
sama lain. Proses pembentukan normanorma itu dimulai dari yang paling tinggi
sampai yang paling rendah disebut sebagai proses konkretisasi.
d. Kebijkan hukum pertanahan adalah bagian dari kebijakan-kebijkan negara,
sebagai sistem norma kebijkan hukum pertanahan tidak hanya dipergunakan untuk
mengatur dan mempertahankan pola tingkah laku yang sudah ada, melainkan lebih
sekedar itu. Hukum pertanahan seharusnya juga diperlakukan sebagai sarana
pengarah dalam merealisasikan kebijakan negara dalam bidang sosial, budaya,
ekonomi, kebijkan, pertanahan dan keamanan nasional.
e. Reaktualisasi nilai-nilai pancasila dalam reforma sangat diperlukan. Nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat harus dapat terintregasi dalam pembentukan atau
pembangunan hukum. Kebijakan hukum pertanahan yang diterapkan
ditengahtengah masyrakat harus lebih menjiwai dan dijiwai oleh masyrakat itu
sendiri, sehingga hukum bukanlah sesuatu yang asing ditengah-tengah
masyrakat.406

RINGKASAN

406
Asri Agustiwi, Hukum dan Kebijakan Hukum Agraria di Indonesia, (Surakarta: Universitas Surakarta) hal 2.

Politik Agraria | 236


Latar Belakang

Sejarah hukum agraria dan administrasi agraria di Indonesia sangatlah


panjang. Dinamika yang harus dilalui dari jaman ke jaman selalu berubah –
ubah.Dinamika tersebut dimulai dari jaman kerajaan. Pada jaman ini, hukum adat
sangat berlaku dalam bidang keagrariaan. Dimana kerajaan – kerajaan yang
berkuasa saat itu mempunyai undang – undang atau peraturan yang berbeda – beda
dalam mengatur masalah pertanahan. Kerajaan – kerajaan yang berkuasa di
Indonesia dimulai dari Kerajaan Kutai yang mengenal kitab undang – undang
Brajanti atau Brajaniti, Kemudian Kerajaan Banjar dengan menganut kitab undang –
undang Sultan Adam, Setelah itu Kerajaan Sriwijaya denan kitab Simbur Cahaya
hingga Kerajaan Majapahit yang mengenal kitab Undang – undang Pratigundala.
Dalam kehidupan bernegara, perseorangan, dan masyarakat, tanah
merupakan benda yang sangat dibutuhkan.Permasalahan pertanahan saat ini bukan
saja tuntutan hak-hak atas tanah, tetapi juga menyangkut kewenangan dibidang
pertanahan antara pemerintah pusat, dan pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota. Kewenangan pemerintah bidang pertanahan sebagaimana diatur
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA), sebagai kewenangan yang bersifat sentralistik. Berdasarkan
kewenangan-kewenangan yang terdapat dalam hukum tanah nasional, ternyata
pembentukan hukum tanah nasional maupun peraturan pelaksanaanya menurut sifat
dan pada asasnya merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Menurut pendapat aliran hukum alam, memang tidak tampak tegas dalam
pengertian bahwa negara tidak dapat memilik tanah dalam pengertian memiliki
(eigendom) yang berisi kekuasaan mutlak atas tanah, namun negara dapat
menguasai tanah (tanpa harus memiliki) untuk kepentingan publik.Berlainan dengan
paham yang dianut hukum alam, Ulpianus dan Vegting sebagaimana dikutip oleh
Ronald Z. Titarelu menyatakan bahwa negara berdasarkan hubungan khusus dapat
memiliki tanah (walaupun semu sifatnya).Pemilikan tanah itu dipergunakan untuk
umum (res publica). Hubungan hukum yang terjadi dapat bersifat pemilikan
ataupun penguasaan.

Pengertian Kebijakan
Kebijakan berasal dari kata bijak yang artinya: 1. Selalu menggunakan akal
budinya; pandai; mahir. 2. Pandai bercakap-cakap; petah lidah. Selanjutnya
dijelaskan bahwa kebijakan diartikan sebagai 1. Kepandaian; kemahiran;
kebijaksanaan; 2. Rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak
(tentang pemerintahan, organisasi dan sebagainya); pernyataan cita-cita, tujuan,
prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha
mencapai sasaran; garis haluan.
Kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk
umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada
seseorang untuk bergerak.Secara etimologis, kebijakan adalah terjemahan dari kata
policy. Kebijakan dapat juga berarti sebagai rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Kebijakan dapat berbentuk keputusan yang dipikirkan secara matang dan hati-hati

Politik Agraria | 237


oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan berulang yang rutin
dan terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan.
Kebijakan adalah keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan
pengulangan (repetiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari
mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Sekalipun definisi menimbulkan
beberapa pertanyaan atau masalah untuk menilai beberapa pertanyaan atau masalah
untuk menilai berapa lama sebuah keputusan dapat bertahan atau hal apakah yang
membentuk konsistensi dan pengulangan tingkah laku yang dimaksud serta siapa
yang sebenarnya malakukan jumlah pembuat kebijakan dan pematuh kebijakan
tersebut, namun demikian definisi ini telah memperkenalkan beberapa komponen
kebijakan publik.
Menurut Budi Winarno, istilah kebijakan (policy term) mungkin digunakan
secara luas seperti pada “kebijakan luar negeri Indonesia” , “kebijakan ekonomi
Jepang”, dan atau mungkin juga dipakai untuk menjadi sesuatu yang lebih khusus,
seperti misalnya jika kita mengatakan kebijakan pemerintah tentang debirokartisasi
dan deregulasi. Namun baik Solihin Abdul Wahab maupun Budi Winarno sepakat
bahwa istilah kebijakan ini penggunaanya sering dipertukarkan dengan istilah lain
seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan,
standar, proposal dan grand design.
Kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya atau kegiatan pemerintah, serta
perilaku negara pada umumnya dan kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai
bentuk peraturan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang
diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu”. Kebijakan menurut Titmuss senantiasa
berorientasi kepada masalah (problemoriented) dan berorientasi kepada tindakan
(action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu
ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak
yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Berdasarkan pendapat ahli tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kebijakan adalah tindakan - tindakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan atau
tidak dilakukan oleh seseorang, suatu kelompok atau pemerintah yang di dalamnya
terdapat unsur keputusan berupa upaya pemilihan diantara berbagai alternatif yang
ada guna mencapai maksud dan tujuan tertentu.

Pengertian Administrasi Negara

Administrasi negara mempunyai tujuan untuk membantu dan mendukung


pemerintah melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diambil untuk
menyejahterakan masyarakatnya. Hal tersebut sesuai pendapat Leonard D. White
yang menyatakan bahwa administrasi negara terdiri atas semua kegiatan negara
untuk menunaikan dan melaksanakan kebijaksanaan negara (public administration
consist … all those operations having for the purpose the fulfillment and
enfprcement of public policy)

Prayudi Atmosudirdjo melihat administrasi negara pada fungsinya yang


lebih luas lagi, yakni melaksanakan dan menyelenggarakan kehendak-kehendak
(strategy, policy) serta keputusan-keputusan pemerintah secara nyata (implementasi
dan menyelenggarakan undang-undang menurut pasal-pasalnya) sesuai dengan
peraturan-peraturan pelaksanaan yang ditetapkan. Untuk memperjelas makna
administrasi negara tersebut, Prayudi Atmosudirdjo memerincinya dalam beberapa
pengertian administrasi negara yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan
pemerintah sebagai berikut.

Politik Agraria | 238


1. Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintahan, atau sebagai institusi
politik (kenegaraan).
2. Administrasi negara sebagai “fungsi” atau sebagai aktivitas melayani
pemerintah, yakni sebagai kegiatan “pemerintah operasional”.
3. Administrasi negara sebagai proses teknis penyelenggaraan undang-
undang.

Dari pandangan di atas, sesungguhnya pengertian tentang administrasi


negara dapat dilihat dalam dua segi:
1. administrasi negara sebagai organisasi,
2. administrasi yang secara khas mengejar tercapainya tujuan yang bersifat
kenegaraan (publik) artinya tujuan-tujuan yang ditetapkan undang-undang secara
dwigend recht (hukum yang memaksa).
Hal ini memperjelas bahwa administrasi negara tidak sekadar membahas
pelaku-pelaku yang menjalankan fungsi administrasi, tetapi administrasi juga
mencakup segala cara, prosedur, dan prasyarat yang semuanya berupaya
mentransformasikan segala sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan negara
itu. Pengertian administrasi negara pada akhirnya lebih dipahami sebagai suatu
sistem yang melibatkan segenap unsur dan sifat-sifat sistem guna mencapai suatu
tujuan.

Hukum Administrasi Negara

Menurut R. Abdoel Djamali, hukum administrasi negara adalah peraturan


hukum yang mengatur administrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan
pemerintahnya yang menjadi sebab hingga negara itu berfungsi. Sedangkan
Menurut Kusumadi Poedjosewojo, Hukum administrasi negara adalah keseluruhan
aturan hukum yang mengatur bagaimana negara sebagai penguasa menjalankan
usaha-usaha untuk memenuhi tugasnya.

Pengertian dan istilah Hukum Administrasi Negara (HAN) berasal dari Negara
Belanda, yakni administratif recht atau Bestuursrecht. yang berarti lingkungan
kekuasaan atau administratif di luar dari legislatif dan yudisil, di Perancis disebut
Droit Administrative, di Inggris disebut Administrative Law, di Jerman
disebutVerwaltung rech’. Istilah hukum administrasi negara adalah terjemahan dari
administratief recht (Bahasa Belanda). Namun Istilah administrasi recht juga
diterjemahkan menjadi Istilah lain yaitu Hukum Tata Usaha Negara dan hukum
pemerintahan.
Menurut R. Kranenburg memberikan definisi Hukum Administrasi Negara
dengan memperbandingkannya dengan Hukum Tata Negara, meskipun hanya
sekedar perlu untuk pembagian tugas. Menurutnya Hukum Administrasi Negara
adalah meliputi hokum yang mengatur susnan dan wewenang khusus dari alat
perlengkapan badan badan seperti kepegawaian (termasuk mengenai pensiun)
peraturan wajib militer, pengaturan mengenai pendidikan/pengajaran, peraturan
mengenai jaminan sosial, peraturan mengenai perumahan, peraturan perburuhan,
peraturan jaminan orang miskin, dan sebagainya.
Hukum Administrasi Negara adalah Peraturan hukum mengenai administrasi
dalam suatu negara, dimana hubungan antar warga negara dan pemerintahannya

Politik Agraria | 239


dapat berjalan dengan baik dan aman atau bisa di sebut juga dengan peraturan-
peraturan mengenai segala hal penyelenggaran negara yang dilakukan oleh aparatur
negara guna mencapai tujuan negara.

Hukum Agraria

Kata Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu
dengan bahasa lainnya. Istilah agraria berasal dari kata akker (Bahasa Belanda),
agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti tanah
atau sebidang tanah, agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.
Dalam terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti 1) urusan pertanian atau tanah
pertanian, 2) urusan pemilikan tanah.
Selain pengertian agraria dapat dilihat dari segi terminologi bahasa
sebagaimana di atas, pengertian agraria dapat pula diketemukan dalam Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA).Hal ini dapat diemukan jika membaca konsiderans
dan pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri.Oleh karena itu,
pengertian agraria dan hukum agraria mempunyai arti atau makna yang sangat
luas.Pengertian agraria meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya (Pasal 1 ayat (2). Sedangkan Hukum Agraria
menurut Para Ahli salah satunya Mr. Boedi HarsonoHukum Agraria adalah suatu
kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai bumi, air dalam batas tertentu juga
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terdapat di dalam bumi, baik dalam bentuk
tertulis maupun tidak tertulis.
Hukum agraria didefmisikan sebagai keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria." Sedangk:an "Agraria"
itu sendiri menurut Kansil, meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, bahkan dalam batas-batas yang ditentukan juga ruang angkasa.
Mungkin pendapat ini agak sedikit maju, karena sudah menyebut cakupan dari
hukum agraria yang terdiri atas bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang
ada didalamnya.
Menurut E. Utrecht yang dikutip oleh Boedi Harsono, Hukum Agraria dalam
arti yang sempit sama dengan Hukum Tanah, Hukum Agraria dan Hukum Tanah
menjadi bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang menguji perhubungan-
perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat
yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka itu.
Hukum agraria adalah hukum yang mempersoalkan masalah pertanahan atau
yang terdiri dari sekumpulan norma yang mengatur manusia dalam masalah
pertanahan agar tanah tersebut bermanfaat bagi kesejahteraan manusia.
Termasuk pula dalam kajian Hukum Agraria adalah Hukum Kehutanan yang
mengatur hak-hak penguasaan atas hutan (Hak Pengusahaan Hutan) dan hasil hutan
(Hak Memungut Hasil Hutan). Hukum Agraria dari segi objek kajiannya tidak
hanya membahas tentang bumi dalam arti yang sempit yaitu tanah, akan tetapi
membahas juga tentang pengairan, pertambangan, perikanan, kehutanan, serta
penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.

Pengertian Hukum Adat


Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan
Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh
dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.
Peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat
memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Penegak hukum adat adalah

Politik Agraria | 240


pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam
lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
Menurut Supomo, Pengertian Hukum Adat ialah hukum yang mengatur
tingkah laku individu atau manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik
itu keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang hidup di dalam
masyarakat adat karena dianut dan dipertahankannya oleh anggota-anggota
masyarakat itu, juga keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas
pelanggaran dan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa
adat. Mereka yang mempunyai kewibawaan dan kekuasaan, memiliki kewenangan
dalam memberi keputusan terhadap masyarakat adat itu, yaitu dalam keputusan
lurah, pembantu lurah, wali tanah, penghulu, kepala adat dan hakim.
Hukum dan Hukum Adat mempunyai arti yang sama. Penambahan kata “adat”
pada hukum untuk menunjukkan hukum yang menguasai tingkah laku dan
perbuatan orang Indonesia. Batasan makna Hukum Adat yang dipersoalkan lagi
oleh karena makna Hukum Adat itu telah berkembang sesuai dengan pemahaman
para sarjana itu tergantung kepada luas dan sempitnya ruang lingkup yang diberikan
kepada Hukum Adat. Akan tetapi yang jelas, perkembangan makna Hukum Adat itu
telah bergeser dari makna semula pada saat keberadaan Hukum Adat diakui sebagai
hukum oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pergesaran makna Hukum Adat itu
tampak pada pemakaian istilah dan unsur-unsur serta pengertian Hukum Adat yang
diberikan oleh para sarjana.

Hukum Barat
Hukum Barat yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum Agraria yang
bersumber pada hukum perdata barat, khususnya yang bersumber pada Burgerlijk
wetboek (BW).Hukum Agraria ini terdapat dalam BW (bersifat ekstern), yang
memberikan pengaturan bagi sebagian keecil tanah tetapi bernilai tinggi.Hukum
Agraria ini di berlakukan atas dasar konkordansi.Misalnya tanah Hak Eigendom,
Hak Opstal, Hak Erfpach, Rechts van Gebruik.
Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah, yang bisa menjadi objek pendaftaran tanah adalah :
a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan dan hak pakai;
b. tanah hak pengelolaan;
c. tanah wakaf;
d. hak milik atas satuan rumah susun;
e. hak tanggungan;
f. tanah negara;
Pada kenyataannya ternyata didalam masyarakat masih terdapat hak
eigendom, hak opstal, hak erfpacht serta hak penduduk asli atau bumi putera yang
tunduk pada Hukum Adat yang tidak mempunyai bukti tertulis, yang dipunyai
penduduk setempat sering disebut tanah adat misalnya tanah hak ulayat, tanah milik
adat, tanah yasan, tanah gogolan dan lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 tersebut
diatas, maka jelas tanah-tanah yang berasal dari hak-hak barat tidak bisa didaftar. Jika
tanah-tanah ini tidak bisa didaftarkan tentukan akan merugikan para pemilik tanah,
karena mereka tentu akan kehilangan haknya. Oleh karena itu diperlukan suatu cara
agar tanah ini dapat didaftarkan, maka cara yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan konversi terhadap tanah yang bersumber dari hak barat tersebut. Dengan
adanya konversi tanah dari hak-hak barat diharapkan masyarakat tidak ada yang
dirugikan haknya karena setelah dikonversikan hak tersebut akan dapat didaftarkan.
Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan
dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri. Karena pendaftaran

Politik Agraria | 241


tanah secara sistematik dilaksanakan atas prakarsa Pemerintah, maka kegiatan
tersebut didasarkan pada suatu rencana kerja yang ditetapkan oleh Menteri. Dalam hal
suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara
sistematik, pendaftarannya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik.

Administrasi Agraria Nasional

Administrasi Pertanahan adalah suatu usaha dan manajemen yang berkaitan


dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan
mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Penyelenggaraan tertib administrasi memang
sangatlah diperlukan dalam bidang pertanahan. Hal ini dapat dilihat dari
penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah, yang mana pendaftaran tanah
merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah
ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.
Tertib administrasi pertanahan dan kegiatan pendaftaran tanah, dapat dilihat
dari tujuan pendaftaran tanah itu sendiri, yaitu dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:
4) Untuk memberikan kepastian hokum dan perlindungan hokum kepada pemegang ha
katas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan.
5) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar.
6) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Untuk menunjang penyelenggaraan tertib administrasi pertanahan yang
pelaksanaannya merupakan tugas, wewenang dan fungsi BPN, terdapat aturan untuk
membantu mengefisienkan, menertibkan khususnya terkait kegiatan administrasi
pertanahan, telah diterbitkan aturan-aturan yang berlaku seperti yang terdapat dalam
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.
Hampir selama dua setengah abad, feodalisme dan kolonialisme
menciptakan massa rakyat hidup dalam kemiskinan dan ketirtindasan. Kemiskinan
dan ketertindasan itu menjadi daya dorong yang melahirkan suatu gagasan dan
gerakan (nasionalisme) kemerdekaan di indonesia untuk menyingkirkan unsur-unsur
negara kolonial hinda belanda yang terdiri dari gabungan kepentingan kaum feodal
dan kaum kapitalis asing, berikut tatanan masyarakat yang di ciptakannya. Dalam
rangka ini, kata kuncinya adalah “revolusi”, yakni suatu perubahan yang cepat dan
redikal untuk merubah secara menyuluruh masyarakat lama menuju suatu tatanan
masyarakat baru yang lebih memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk
itu, dengan mengatasnamakan seluruh rakyat Indonesia, Soekarno-Hatta pada 17
agustus 1945 memporklamirkan berdirinya suatu organisasi pemerintahan baru yang
bernama Indonesia dan berbentuk kesatuan republik. Pada 18 agustus 1945, di

Politik Agraria | 242


berlakukan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar bagi negara baru ini.
Pernyataan proklamasi kemerdekaan dan pemberlakuan Undang-Undang Dasar
1945. Menunjukkan bahwa jalan perubahan untuk membebaskan rakyat dari
penderitaan dan penindasan oleh penjajahan adalah melalui cara merebutkan
pemerintahan dan mendirikan pemerintahan sendiri, untuk kemudian
mengupayakan terselenggarannya kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat.
Keadaan darurat akibat suasana perebutan kekuasaan antara pemerintahaan
lama dan pemerintahaan baru menyebabkan perubahan tatanan lama dengan tatanan
masyarakat baru tidak dapat dilakukan dengan segera. Kelamahan ini di tutup
dengan undang-undang dasar 1945 pada pasal 2 aturan peralihan bahwa ;”
sepanjang badan kekuasaan dan peraturan-peraturan belum di ganti dengan yang
baru masih tetap berlaku.” Karenanya, sistem hukum pemerintahan kolonial masih
tetap di guanakan sebagai dasar-dasar perilaku masyarakat, termasuk juga undang-
undang agraria.Keadaan ini sangat tidak di sukai oleh kalangan ahli hukum jaman
itu.Mereka menuntut diadakannya suatu perubahan dan perombakan seluruh tata
hukum masyarakat kolinial dan perombakan struktur sosial ekonominya. Kritik-
kritik dan tuntutan kalangan hukum umumnya berkisar pada, pertama, nilai-nilai
hukum pemerintahan hindia belanda tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat
merdeka dan lebih mengabdi bagi kepentingan bangsa penjajah.Kedua, berlakunya
sistem lama menciptakan dualisme hukum sehingga tidak mencerminkan kepastian
hukum.Ketiga, dasar falsafah hukum liberal-kaptalis bersumber dari kehidupan
sosial barat dan tidak sama dengan dasar falsafah masyarakat indonesia.

Administrasi Agraria di Indonesia


Administrasi Pertanahan adalah suatu usaha dan manajemen yang berkaitan
dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan
mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Penyelenggaraan tertib administrasi memang
sangatlah diperlukan dalam bidang pertanahan. Hal ini dapat dilihat dari
penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah, yang mana pendaftaran tanah
merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah
ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.
Keadaaan yang terjadi akibat perebutan kekuasaan antar pemerintahan lama
dan baru menyebabkan perubahan tatanan masyarakat. Sepanjang badan kekuasaan
dan peraturan belum diganti dengan yang baru, maka yang lama masih berlaku,
karna sistem hukum pemerintahan kolonial masih tetap digunakan , termasuk juga
undang-undang agraria, untuk itu pemerintahan yang baru harus menyelenggarakan
tata hukum yang baru:
a. pertama, menciptakan suatu undang-undang baru yang menghapus nilai-nilai
yang menguntungkan kaum feodal dan kapitalis asing dan memberlakukan
suatu nilai-nilai yang lebih berdiri dari kepentingan rakyat
b. kedua, bagi seluruh wilayah indonesia hanya ada satu undang-undang agraria
yang berlaku secara nasional
c. Ketiga, rumusan nilai-nilai hukumnya berlandaskan pada kehidupan sosial
bangsa yang digali dan dirumuskan sehingga lebih sesuai dengan rasa keadilan
dan kesadaran hukum masyarakat, yakni hukum adat indonesia.
Politik Agraria | 243
Hukum agraria apabila dilihat dari isi aturan hukum adalah hukum yang
mengaturhal yang bertalian dengan tanah. Ini berarti bukan saja menyangkut
pengaturan tentang hubungan hukum antara manusia dengan tanah saja tetapi juga
mengatur penyelenggaraan peruntukan, penggunaan, dan penyediaan serta
pemeliharaan. Setiap kegiatan badan atau pejabat negara dalam mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, dan penyediaan, serta pemeliharaan
tanah tersebut merupakan kegiatan administrasi pertanahan. Dengan demikian,
maka pengertian administrasi pertanahan dapat dinyatakan sebagai usaha dan
kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaran kebijaksanaan menyangkut segala
sesuatu yang berkenaan dengan tanah dan hak- hak atas tanah dengan tujuan untuk
menjamian kepastian hukum dan tertib pertanahan.
Aspek administrasi pertanahan dalam pengaturan hak-hak atas tanah adalah
mengenai pendaftaran tanah. Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa yang terkait segi administratif disebutkan
adalah data yuridis, sedangkan segi teknisadalah data fisik. Data yuridis
maksudnyaadalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan
rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban
lain yang membebaninya. Bila dinyatakan sebagai status hokumbidang tanah yang
terdaftar, berarti terdapat bukti yang menunjukkan adanya hubungan hukum antara
orang dengan tanahnya. Adanya bukti hubungan hukum tersebut kemudian
diformalkan melalui kegiatan pendaftaran tanah. Administrasi pertanahan tidak lagi
beraifat parsial, apabila RUU pertanahan disahkan menjadi UU, maka pengelolahan
pertanahan tidak lagi sepihak (monopoli) dilakukan oleh kementerian ATR/BPN.

Hukum Agraria Di Indonesia


Upaya pemerintah indonesia untuk membentukhukum agraria nasional yang
akan mengantikan hukum agraria kolonial, yang sesuai dengan pancasila dan
UUD1945 sudah dimulai pada tahun 1948 dengan membentuk panitia yang diberi
tugas menyusun Undang-Undang Agraria. Setelah mengalami beberapa pengantian
kepanitiaan yang berlangsung selama 12 tahun sebagai suatu rangkayan proses yang
cukup panjang, maka baru pada tanggal 24 September 1960 pemerintah berhasil
membentuk hukum agraria nasional, yang dituangkan dalam Undang-Undang No.5
Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, yang lebih dikenal
dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Sebelum diterbitkannya UUPA No.5 Tahun 1960, yang membuka hak atas
tanah yaitu terdapat pada pasal 51 ayat 7 IS, pada Stb 1872 No.117 tentang Agraris
Eigendom Richt yaitu memberi hak eigendom (hak milik) pada orang Indonesia.
Hal tersebut juga disamakan dengan hak eigendom yang terdapat pada buku II BW,
tetapi hak tersebut diberikan bukan untuk orang Indonesia. Maka dengan adanya
dualism aturan yang mengatur tentang hak-hak tanah untuk menyeragamkannya
pada tanggal 24 September 1960 diterbitkanlah UUPA No.5 Tahun 1960 pada
lembar Negara No. 104/1960. UU No.5 tersebut bersifat nasionalis, yaitu
diberlakukan secara nasional dimana seluruh warga negara Indonesia menggunakan
UUPA No.5 tahun 1960 tersebut. Dasar ke nasionalan hokum agrarian yang telah
dirumuskan dalam UUPA yaitu:

1. Wilayah indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya merupakan satu kesatuan tanah air dari rakyat
indonesia yang bersatu sebagai bangsa indonesia (pasal 1 UUPA).

Politik Agraria | 244


2. Bumi air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
merupakan karunia tuhan yang maha esa kepada bangsa indonesia dan merupakan
kekayaan nasional. Untuk itu kekayaan tersebut harus dipelihara dan digunakan
untuksebesarbesarnya kemakmuran rakyat (pasal1,2,14, dan 15 UUPA).
3. Hubungan antara bangsa indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnyabersifat abadi, sehingga tidak dapat
diputuskan oleh siapa pun (pasal 1 UUPA).
4. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat indonesia diberi
wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran, rakyat (pasal 2
UUPA).
5. Hak ulayat sebagi hak masyarakat hukum adat diakui keberadaanya. Pengakutan
tersebut disertai syarat bahwa hak ulayat tersebut masih ada, tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-uandangan yang lebih
tinggi (pasal 3 UUPA).
6. Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah warga negara
indonesia tanpa dibedakan asli dan tidak asli. Badan hukum pada perinsipnya
tidak mempunyai hubungan sepenuhnya alam yang terkandung didalamnya (pasal
9, 21,dan 49 UUPA).
7. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.

Politik Agraria | 245


DAFTAR PUSTAKA

Ali Imron, 2012. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT BumiAksara.

Ardiwilaga. Roestandi, 1962, Hukum Agraria indonesia, cet. Ii. Bandung : Masa Baru

Arie Sukanti Hutagalung,2009, Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah Dibidang


Pertanahan, PT Rajagrafindo, Jakarta, 2008, hlm. 112. Lihat juga Supriyanto,
Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jurnal Dinamika
Hukum Vol. 9 No. 2 Mei.

Ali, Faried, 1997, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Jakarta:
Rajagrafindo Persada.

Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang


Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Boedi harsono. 1971.Undang-undang Pokok Agraria Sedjarah Penyusunan: Isi dan


pelakssanaannja,Jakarta: Djambatan.

Boedi Harsono,2004, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum


Tanah, cetakan ketujuh belas, Penerbit Djambatan, Jakarta

Budi Harsono,2007, Hukum Agraria Indonesia jilid I Hukum Tanah Nasional, Jakarta:
Djambatan, Jakarta

Bachan Mustafa ,Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra  Aditya Bakti:
Bandung, 2001

Dr. Urip Santoso, SH., M.H.,2012,Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana.

Efendi, Sofian dkk, 1996, Membangun Martabat Manusia. Yogyakarta:Gadja Mada


University Press

Effendi Perangin.1997, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah.Jakarta:Rajawali

Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik (Bandung: CV Alfabeta,2008)

E. Utrecht , Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Ictiar Baru, 1985

Fuad, Ahmad. 2004, Dimensi Sains Al-quran: Menggali Ilmu Pengetahuan Dari Al-quran,
Solo: Tiga Serangkai

Hadikusuma. Hilman. 1990, Hukum Perjanjian Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti

Politik Agraria | 246


Harsono. Boedi, 2003, hukum Agraria Indonesia-sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaanya. Jilid 1 : Hukum Tnaha Nasional, edisi revisi,
Djambatan, Jakarta

Huijbers, 1982. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius Anggota IKAPI.

Hessel Nogi S. Tangkilisan,Evaluasi Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Balairung & Co, 2003).

Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Hubungan Manusia dengan Tanah


BerdasarkanPancasila, GajahmadaUniversity Press, Yogyakarta, 1992

Jurnal hukum, (Lihat: http://www.jurnalhukum.com/sejarah-hukum-agraria/, diakses: 26


Maret 2016, pukul 14.40 Wib)

J.B Daliyo ,2001, Pengantar Hukum Indonesia , PT Prenhallindo: Jakarta.

Kartasapoetra dkk. 1991, hukum tanah, Jakarta, PT. Rieneka Cipta

Muin Fahmal, 2008, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih, Kreasi Total Media, Yogyakarta.

M. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, 2011, Pencabutan Hak, Pembebasan, dan Pengadaan
Tanah, Mandar Maju, Bandung.

M.A.W Brouwer. 1988, Alam Manusia dan Fenomenologi, Jakarta: Gramedia

Mufid sofyan anwar. 2010, ekologi manusia dalam perspektif sektor kehidupan dan ajaran
islam. Bandung, PT REMAJA ROSDAKARYA

Muljadi, Kartini, dkk.2005, Hak-Hak atas Tanah, Jakarta:Prenada Media

Muljadi.Kartini dan Widjaja Gunawan.2004, Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kecana Prenada
Media Group.

M. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, 2011, Pencabutan Hak, Pembebasan, dan Pengadaan
Tanah, Mandar Maju, Bandung.

Meiji Morico, 2007, Prinsip Transparansi dalam Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan
Kota Medan, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Purbacaraka.Purnadi dan Halim Ridwan, 1985, Sendi-sendi Hukum Agraria. Jakarta: Ghalia
Indonesia.

Penjelasan Atas Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Rancangan Undang –
Undang Pokok Agraria. Kementrian Keuangan Republik Indonesia

Politik Agraria | 247


Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor4725).

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor4725).

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043)

Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3696).

Ronald Z. Titarelu, 2004 ,Penetapan Asas-Asas Hukum Umum dalam Penggunaan Tanah
untuk Sebesar-BesarKemakmuran Rakyat, Disertasi, Pascasarjana Universitas
Airlangga, Surabaya

Ria Fitri, Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan, KANUN
Jurnal Ilmu Hukum, No. 66 Tahun 2015

Riant Nugroho D., 2003, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Elex
Media Komputindo, Jakarta.

Santoso,Urip.2010, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group

Shihab, Quraish. 2011, Membumikan Al-quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati

Soetomo, 1986.Politik Dan Administrasi Agraria, Surabaya: Usaha Nasional

Sotiknjo. Imam,1989. Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria dala Rangka


Menyukseskan Pelita V, Makalh Ceramah Sehari, Universitas 17 Agustus 1945,
Surabaya

Sujarwa. 1999, Manusia dan Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Supriadi.2007, Hukum Agraria.Jakarta: Sinar Grafika.

Supriadi. 2010.Hukum Agraria, Cet. IV ,Jakarta: Sinar Grafika.

Suriyaman Mustari Pide. 2007.Hukum Adat (Dulu, Kini dan Akan Datang), Jakarta:
Pelita Pustaka.

Sutanto, Rachman. 2005, Dasar-dasar Ilmu Tanah: Konsep dan Kenyataan, Yogyakarta:
Kanisius

Politik Agraria | 248


Sutrisno, Muji. 2006, Drijarkara Filsuf Yang Mengubah Indonesia, Yogyakarta: Galang Press

Syahrizal Darda. 2011, Kasus-kasus Hukum Perdata Indonesia, Yogyakarta: Pustaka


Grahatama

Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan: dari formulasi ke penyusunan model-model


Implementasi Kebijakan Publik (Jakarta: Bumi Aksara, 2015)

Suci Flambonita, S.G., M.H.,2010,Pokok-Pokok Hukum Adat, Palembang: Unsri.

Tjondronegoro, sediono dan Gunawan Wiradi, menelusuri Pengertian Istilah “agraria”, Jurnal
Analisis Sosial, Vol. 9, No. 1, April 2004, penerbit Akatiga, Bandung, 2004, hlm. 1.

Urip Santoso. 2009.Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Cet. V ,Jakarta: Kencana.

Urip Santoso. 2012.Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana.

Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta.

Vollenhoven, C. Van. 2004, Penemuan Hukum Adat, dalam B.F Sihombing, Evolusi
Kebijakan Pertahanan dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta: Gunung Agung

William N. Dunn, Public Policy Analysis; an Introductoin (Analisis Kebijakan Publik),


terjemahan (Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya, 2003).

William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1998).

Yona Ramadhani, “Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good and Clean
Governance),”https://www.academia.edu/9966363/BAB_9_Tata_Kelola_Pemerintahan
_yang_Baik_dan_Bersih_good_and_clean_governance_?auto=download, diakses pada
tanggal 5 Maret 2019 Pukul 16.10

Zein.Ramli, 1995, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA. Jakarta: PT. RINEKA Cipta

Zaidar,2009, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan.

H. Mustaghfirin. 2002. Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, Dan Sistem Hukum Islam
Menuju Sebagai Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide Yang Harmoni. Semarang :
Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung Semarang.

Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik Bandung: CV Alfabeta,2008

A.P. Parlindungan,1994. Tanya Jawab Hukum Agrarian, Bandung: CV Mandar Maju Cet.7.

Abdulrahman, 1984. Hukum Adat menurut Perundang-undangan Republik Indonesia,


Cendana Press.

Politik Agraria | 249


Agustiwi, Astri. Hukum dan Kebijakan Hukum Agraria di Indonesia. Surakarta: Universitas
Surakarta
Atmosudirjo, Prajudi. 1986. Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi
Negara di Indonesia, Jakarta
C.S.T.Kansil,1989.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka,
Ginting, Darwin .2012. Politik Hukum Agraria Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat di Indonesia (Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-42 No.1
Hidayat, Asep. Engkus, Hasna Afra. N, 2018. Implementasi Kebijakan Menteri Agraria dan
Tata Ruang tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah sistematis lengkap
di kota Bandung, Jurnal: Pembangunan Sosial, Volume 1 Nomor 1.
J.B Daliyo. 2001, Pengantar Hukum Indonesia,Jakerta: PT Prenhallindo.
Jones, Charles O, 1996, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy) Terjemahan Ricky
Ismanto, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen PendidikanNasional, , Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, Cetakan VII,  Edisi IV 2015
Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional (BPN) di wilayah kabupaten
atau kotamadya, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum
pendaftaran tanah (Pasal 1 angka 23 PP 24/1997)
Lihat Supriyady,2008. Kedudukan Hukum Adat Dalam Lintasan Sejarah,Jurnal: Addin Vol.
2 No. 1,2008
Muchsin, dkk, 2010. Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Bandung : PT
Refika Aditama.
Mustaghfirin,2011.Sistem hokum Barat, Sistem Hukum Adat, dan Sistem Hukum Islam
Menuju Sebagai Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide yang Harmoni,
(Jurnal:Dinamika Hukum Vol.11 edisi Khusus.
Mustofa, Bachsan .1984. Sistem Hukum Indonesia,Bandung:Remadja Karya,
Novana Ardani, Miraa. 2019. Jurnal: “Penyelenggaraan Tertib Administrasi Bidang
Pertanahan Untuk Menunjang Pelaksanaan Kewenangan, Tugas dan Fungsi Badan
Pertanahan Nasional”. Vol. 2 No.3. Semarang: Universitas Diponegoro.

Nugroho D, Riant, 2003, Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang, Jakarta: PT


Elex Media Komputindo

Nurcholis, Hanif,2007. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT.


Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nurus Zaman, Politik Hukum Pengadaan Tanah, Bandung, Refika Aditama, 2016, hlm. 55
Philipus M Hadjon,2002. Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia,(Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Rakhmat, Muhamad. 2017. Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jurnal:Repository Buku
dan Jurnal

Politik Agraria | 250


Soetandyo Wignjsoebroto, “HUKUM Paradigma, metode dan Dinamika
Masalahnya”ELSAM dan HUMA:Jakarta

Sugianto, Bambang .2017. Pendaftaran Tanah Adat Untuk Kepastian Hukum di Kabupaten
Kepahiang, Jurnal:Panorama Hukum, Vo.2, No.2.
Tahir, Arifin,2014. Kebijakan Publik & Transparansi Penyelenggaran Pemerintah
Daerah, Bandung: Alfabeta.
Uddin dan Sobirin, “Kebijakan Publik” (CV SAH MEDIAl:Makasar,2017)

Van Vallenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1983
Wahyudi, Agus. Modul: Konsep Dasar Administrasi dan Administrasi Pertanahan
Yudhi Setiawan, Instrumen Hukum Campuran Dalam Konsolidasi Tanah, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2009, hlm. 161.
Yulia,2016. Buku Ajar Hukum Adat, Sulawesi:Unimal Press,

Politik Agraria | 251


Kebijakan Dan Administrasi
Agraria
Di Indonesia
Nama Kelompok :

1. Indah Iklimah (I71218054)


2. Hafizha Faradhila Djcdy (I71218051)
3. Moh. Abbas Efendi (I71218055)

Politik Agraria | 252


BAB VI
Kebijakan Dan Administrasi Agraria Di Indonesia
A. Latar Belakang
Dalam membicarakan kehidupan petani, kita tak dapat lepas dari membicarakan
kehidupan masyarakat petani yang telah berabad-abad dicengkram oleh sistem
feodalisme, yang di maksud Feodalisme adalah suatu struktur pendelegasian
(wewenang) yang di jalankan oleh kalangan bangsawan / monarki untuk
mengendalikan suatu wilayah yang di klaimnnya melalui kerjasama oleh orang-orang
berpengaruh di suatu wilayah atau bisa di sebut juga dengan pimpinan local sebagi
mitra.407 Feodalisme adalah suatu cara membangun suatu sistem ekonomi dimana raja,
keluarganya dan para bangsawan serta penguasa daerah adalah tuan dan rakyat petani
sebagai abdi. Jadi, dalam cara berekonomi feodalisme, alat produksi seperti tanah
adalah milik raja dan para bangsawan. Bahkan rakyat juga menjadi milik raja yang
dapat dikerahkan tenaganya untuk kepentingan penguasa. Dalam hal alat produksi
tanah, rakyat yang menggarapnya hanya mempunyai hak menggunakan, tidak berhak
memiliki atau menguasai. Tanah adalah kepunyaan raja dan bangsawan.408
Pada zaman kerajaan, Pada mulanya kepemilikan tanah di Indonesia bersifat
kolektif. Pemilikan tanah oleh masyarakat awal ini yang kemudian disebut sebagai
tanah komunal. Di desa, tanah dimiliki secara komunal. Kegiatan produksi (pertanian)
dikerjakan secara gotong-royong. Bung Hatta menyebutkan corak kolektif masyarakat
desa asli di Indonesia tersebut merupakan ciri dari: Sosialisme Indonesia. Tanah
kepunyaan masyarakat dan bukan kepunyaan orang-seorang. Kepemilikan pribadi
atas tanah selalu dibatasi oleh hak ulayat/bersama. Karena sifat tanah yang berfungsi
sosial tadi maka tanah tidak diperbolehkan untuk dikomoditikan.409
Pada jaman raja-raja feodal pra-kolonial, sistem kebangsawanan, pembagian
wilayah dan birokrasi kerajaan sangat berkaitan dengan sistem pertanahan. Hal ini
bisa dimengerti karena pada hakekatnya pengertian feodalisme adalah sistem
pemerintahan  yang dalam pendistribusian kekuasaan berjalan sejajar dengan
pembagian tanah kepada para aparat birokrasi dan bangsawan. Dengan demikian
tanah merupakan hal sangat penting dalam penyelenggaraan kekuasaan.
Terdapat dua kriteria untuk menentukan kedudukan seseorang dalam stratifikasi
masyarakat kerajaan Mataram tradisional. Yang pertama bahwa status atau kedudukan
bangsawan seseorang ditentukan oleh  hubungan darah seseorang dengan pemegang
407
id.m.wikipedia.org/wiki/ilmu_politik, diakses tanggal 03 Maret 2019 13.00 WIB
408
Ibid..,Hal 15
409
http://mimbarprotes.blogspot.co.id/2013/02/tanah-neokolonialisme-dan-reforma.html (diakses 23 Maret 2019 pukul 17.08
WIB)

Politik Agraria | 253


kekuasaan yaitu raja. Yang kedua ditentukan oleh posisi atau kedudukan seseorang
dalam hierarki birokrasi kerajaan. Dengan memiliki salah satu  dari kriteria itu, maka
seseorang dianggap termasuk golongan elit dalam stratifikasi masyarakat tradisional
kerajaan mataram. Untuk kriteria yang disebutkan pertama hanya ditempati oleh para
bangsawan yaitu yang berdasarkan atas  hubungan darah.dengan pemegang atau
pemilik kekuasaan yaitu raja. Sementara untuk  yang disebutkan kedua bisa berasal
dari bangsawan atau non-bangsawan. Artinya bahwa seseorang, meskipun bukan
bangsawan, bisa diangkat dan menduduki strata tertentu dalam birokrasi kerajaan.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin dekat
hubungan darah seseorang dengan raja berarti semakin tinggi pula status
kebangsawanan seseorang. Sebaliknya makin jauh hubungan darah itu dari pemegang
kekuasaan, maka makin kurang murnilah darah kebangsawanannya, yang berarti
semakin menurun pula derajad kebangsawanannya. Pada umumnya derajad
kebangswanan itu hanya menurun kepada ahli waris raja sampai derajad keempat atau
paling jauh sampai derajat kelima.
Berdasarkan peraturan yang dibuat oleh raja Mataram yaitu Amangkurat, yang
kemudian dilengkapi oleh Paku Buwana X, terdapat lima tingkatan dalam hiererki
kebangsawanan yaitu410:
1. Para putra raja, termasuk dalam golongan gusti.
2. Para cucu raja, termasuk dalam golongan bendara
3. Para cicit raja, termasuk dalam golongan abdi sentana
4. Para canggah, termasuk golongan bendara sentana
5. Para wareng raja, termasuk dalam golongan abdi kawula warga
Sementara itu menurut Van Den Berg(2001:16) hanya terdapat empat gelar
bangsawan di luar raja. Gelar tertinggi, yaitu para putra raja, yang mempunyai gelar
Pangeran, kedua adalah para cucu raja dengan gelar Raden Mas yang lai-laki dan
Raden Ayu  untuk yang perempuan, ketiga adalah para cicit raja dengan gelar Raden
(laki-laki) dan Raden Nganten (perempuan), keempat  atau  terakhir adalah para
canggah raja dengan gelar Mas (laki-laki) dan   Mas Nganten (perempuan).411
Bersamaan dengan raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, golongan kaum
bangsawan itu menduduki starta tertinggi dalam stratifikasi, sosial masayarakat jawa
pada jaman kerajaan Mataram Islam, prinsip keturunan dalam penentu status ini
mengakibatkan sulitnya mobilitas sosial dari orang-orang yang bukan keturunan raja,
hal itu juga yang mempengaruhi kebiasaan dalam masyarakat tradisional yang
memang lebih cenderung mempertahankan status sosial yang di anggap sudah mapan
sebagai suatu keharmonisan.412
Tanah merupakan faktor pendukung utama kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat. Tanah sebagai pendukung utama kehidupan ketika dijamah kolonial
belanda dan setelh merdeka banyak diperbincangkan, entah dari sejarah filosofisnya
atau dari segi berlakunya, indonesia telah banyak menuai “asam-manis” kerasnya
kehidupan menuju kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera. Indonesia telah banyak
melewati masa-masa yang sangat keras. Seperti masa-masa diberlakukanya
Agrarische Wet pada tahun 1980, Regelings Reglement, dan Indische StaatRegeling.
Dan banhkan indonesia telah mempunyai undang-undang khusus tentang Agraria
yaitu Undang-undang pokok ahraria(UUPA), yang dimana UU itu muncul setelah
410
http://blogsafitridiana.blogspot.com/2012/05/sistem-pertanahan-zaman-kerajaan.html(Di akses pada tanggal 25 April
2016, 16:23)
411
Anoniem, Tedhakan Pranata Tuwin Serat Warna-Warni Tumrap Nagari Surakarta, Surakarta: Perpustakaan Radya Pustaka,
No. Katalogus 165,hlm. 6-16
412
james Peacock, “The Tradisional Society and Conciousness in Java: The Durkheim Perpective’’, dalam Indonesia, No. 19,
hlm.171.

Politik Agraria | 254


indonesia memperoleh kemerdekaannya. Sebagai realisasi dan keinginan pemerintah
jajahan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari hasil pertanian di
Indonesia pemerintah berusaha mempersempit kesempatan pihak-pihak pengusaha
swasta untuk memperoleh jaminan yang kuat atas tanah-tanah yang diusahainya,
seperti untuk memperoleh hak eigendom.413

B. Masa Kerajaan Kutai


Kerajaan Kutai adalah salah satu kerajaan yang tertuan di Indonesia, yang
muncul pada abad ke-5 Masehi atau ± 400 Masehi. Kerajaan ini terletak di Muara
Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diberikan
oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti Yupa yang
menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Meskipun kutai itu tak terletak dalam
sebuah jalur perdagangan internasional, akan tetapi kerajaan tersebut telah memiliki
hubungan dagang dengan india dan sudah berkembang dari sejak awal. Pada hal
tersebut kemudian, Pengaruh Hindu-Budha mulai tersebar. Salah satu yang menjadi
bukti yang menerangkan mengenai kerajaan kutai dimana Yupa diidentifikasi yang
merupakan suatu peninggalan Hindu-Buddha dan bahasa yang telah digunakan yaitu
bahasa sansekerta. Bahasa sansekerta ialah bahasa Hindu asli. Tulisan atau bentuk
dari hurufnya itu dinamakan huruf pallawa, yaitu tulisan yang digunakan pada tanah
Hindu Selatan sekitar ditahun 400 masehi. Dengan melihat adanya bentuk huruf dari
prasasti yang telah ditemukan maka para ahli menyatakan bahwa Yupa itu telah dibuat
sekitar abad kelima. Jadi bisa disimpulkan bahwa kerajaan kutai adalah kerajaan
hindu yang pertama ada di Indonesia.414
Kerajaan Kutai diperkirakan berdiri pada abad ke-5 Masehi, ini dibuktikan
dengan ditemukannya 7 buah Yupa (prasasti berupa tiang batu) yang ditulis dengan
huruf pallawa dan bahasa Sansekerta yang berasal dari India yang sudah mengenal
Hindu. Yupa mempunyai 3 fungsi utama, yaitu sebagai prasasti, tiang pengikat hewan
untuk upacara korban keagamaan, dan lambang kebesaran raja.
Dari tulisan yang tertera pada yupa nama raja Kundungga diperkirakan
merupakan nama asli Indonesia, namun penggantinya seperti Aswawarman,
Mulawarman itu menunjukan nama yang diambil dari nama India dan upacara yang
dilakukannya menujukan kegiatan upacara agama Hindu. Dari sanalah dapat kita
simpulkan bahwa kebudayaan Hindu telah masuk di Kerajaan Kutai.415
Kerajan Kutai Mulawarman (Martadipura) didirikan oleh pembesar kerajaan
Campa (Kamboja) bernama Kudungga, yang selanjutnya menurunkan Raja
Asmawarman, Raja Mulawarman, sampai 21 (dua puluh satu) generasi Kerajaan
Kutai.
1. Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)
2. Maharaja Aswawarman (anak Kundungga)
3. Maharaja Mulawarman (anak Aswawarman)
4. Maharaja Marawijaya Warman
5. Maharaja Gajayana Warman
6. Maharaja Tungga Warman
7. Maharaja Jayanaga Warman
8. Maharaja Nalasinga Warman
413
Winahyu Herwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total media dan FH UII,Yogyakarta,2009,Hlm 2
414
http://documents.tips/documents/makalah-sejarah-kerajaan-kutai-martadipura.html (10 Juni 2016)
415
http://sasyamsihd.blogspot.co.id/2012/05/kerajaan-kutai.html

Politik Agraria | 255


9. Maharaja Nala Parana Tungga
10. Maharaja Gadingga Warman Dewa
11. Maharaja Indra Warman Dewa
12. Maharaja Sangga Warman Dewa
13. Maharaja Candrawarman
14. Maharaja Sri Langka Dewa
15. Maharaja Guna Parana Dewa
16. Maharaja Wijaya Warman
17. Maharaja Sri Aji Dewa
18. Maharaja Mulia Putera
19. Maharaja Nala Pandita
20. Maharaja Indra Paruta Dewa
21. Maharaja Dharma Setia
Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli
orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara
putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini
di dasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata
itu biasanya digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat atau penduduk India
bagian Selatan.Pada salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa yang menjadi cikal
bakal dari kerajaan kutai adalah kundungga, yang diteruskan kepada Aswawarman.
Kemudian adapun pengganti dari Aswawarman yang memiliki putra sebanyak tiga
orang yaitu Mulawarman. Nampaknya, pada zaman Mulawarman disitulah kerajaan
kutai mencapai kejayaan tersebut.416
Sementara itu pada abad XIII di muara Sungai Mahakam berdiri Kerajaan
bercorak Hindu Jawa yaitu Kerajaan Kutai Kertanegara yang didirikan oleh salah
seorang pembesar dari Kerajaan Singasari yang bernama Raden Kusuma yang
kemudian bergelar Aji Batara Agung Dewa Sakti dan beristerikan Putri Karang
Melenu sehingga kemudian menurunkan putera bernama Aji Batara Agung Paduka
Nira.
Proses asimilasi (penyatuan) dua kerajaan tersebut telah dimulai pada abad XIII
dengan pelaksanaan kawin politik antara Aji Batara Agung Paduka Nira yang
mempersunting Putri Indra Perwati Dewi yaitu seorang puteri dari Guna Perana
Tungga salah satu Dinasti Raja Mulawarman (Martadipura), tetapi tidak berhasil
menyatukan kedua kerajaan tersebut. Baru pada abad XVI melalui perang besar antara
kerajaan Kutai Kertanegara pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinum Panji Ing
dengan Kerajaan Kutai Mulawarman (Martadipura) pada masa pemerintahan Raja
Darma Setia.
Dalam pertempuran tersebut Raja Darma Setia mengalami kekalahan dan gugur
di tangan Raja Kutai Kertanegara Aji Pangeran Sinum Panji, yang kemudian berhasil
menyatukan kedua kerajaan Kutai Tersebut sehingga wilayahnya menjadi sangat luas
dan nama kerajaannyapun berubah menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara Ing
Martadipura yang kemudian menurunkan Dinasti Raja-raja Kutai Kertanegara sampai
sekarang.417
Literatur sejarah menyebutkan bahwa sejak abad XIII sampai tahun 1960 yang
menjadi Raja (sultan) Daerah Swapraja (Kerajaan Kutai Kertanegara) berdasarkan
tahun pemerintahannya adalah sebagai berikut:

416
Mamat Ruhimat, dkk, Ips Terpadu kelas VII Jilid 1(Jakarta: Grafindo Media Pratama, 2006), hlm 200- 203.
417
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kutai

Politik Agraria | 256


1. 1300 - 1325 Aji Batara Agung Dewa Sakti
2. 1350 - 1370 Aji Batara Agung Paduka Nira
3. 1370 - 1420 Aji Maharaja Sultan
4. 1420 - 1475 Aji Raja Mandarsyah
5. 1475 - 1525 Aji Pangeran Tumenggung Jaya Baya (Aji Raja Puteri)
6. 1525 - 1600 Aji Raja Mahkota
7. 1600 - 1605 Aji Dilanggar
8. 1605 - 1635 Aji Pangeran Sinum Panji Mendopo
9. 1635 - 1650 Aji Pangeran Dipati Agung
10. 1650 - 1685 Aji Pageran Mejo Kesumo
11. 1685 - 1700 Aji Begi gelar Aji Ratu Agung
12. 1700 - 1730 Aji Pageran Dipati Tua
13. 1730 - 1732 Aji Pangeran Dipati Anum Panji Pendopo
14. 1732 - 1739 Sultan Aji Muhammad Idris
15. 1739 - 1782 Aji Imbut gelar Sultan Muhammad Muslihuddin
16. 1782 - 1850 Sultan Aji Muhammad Salehuddin
17. 1850 - 1899 Sultan Aji Muhammad Sulaiman
18. 1899 - 1915 Sultan Aji Alimuddin
19. 1915 - 1960 Sultan Aji Muhammad Parikesit
20. 1960 - sekarang, Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II

1. Keadaan Sosial dan budaya


Berdasarkan isi prasasti-prasasti Kutai, dapat diketahui bahwa pada abad ke
- 4 M di daerah Kutai terdapat suatu masyarakat Indonesiayang telah banyak
menerima pengaruh hindu. Masyarakat tersebut telah dapat mendirikan suatu
kerajaan yang teratur rapi menurut pola pemerintahan di India. Masyarakat
Indonesia menerima unsur-unsur dari luar dan mengembangkannya sesuai dengan
tradisi bangsa Indonesia.
kerajaan Kutai memiliki golongan masyarakat yang telah menguasai bahasa
sansekerta dan bisa menulis huruf Pallawa yaitu golongan para Brahmana.
Golongan yang lain ialah suatu golongan ksatria yang terdiri atas kerabat dari Raja
Mulawarman. Pada masyarakat kutai akan sendiri merupakan suatu golongan
penduduk yang masih erat memegang teguh suatu kepercayaan asli dari leluhur
mereka. Mulawarman kemudian menjadi penganut agama hindu syiwa dan
golongan para brahmana.418
Kehidupan budaya masyarakat Kutai sebagai berikut :
 Masyarakat Kutai adalah masyarakat yang menjaga akar tradisi budaya
nenek moyangnya.
 Masyarakat yang sangat tanggap terhadap perubahan dan kemajuan
kebudayaan.
 Menjunjung tingi semangat keagamaan dalam kehidupan kebudayaannya.
Masyarakat Kutai juga adalah masyarakat yang respon terhadap perubahan
dankemajuan budaya. Hal ini dibuktikan dengan kesediaan masyarakat Kutai
yangmenerima dan mengadaptasi budaya luar (India) ke dalam kehidupan
masyarakat. Selain dari itu masyarakat Kutai dikenal sebagai masyarakat yang
menjunjung tinggispirit keagamaan dalam kehidupan kebudayaanya. Penyebutan

418
Ibid, Hlm 54

Politik Agraria | 257


Brahmana sebagai pemimpin spiritual dan ritual keagamaan dalam yupa-prasasti
yang mereka tulis menguatkan kesimpulan itu.419
2. Keadaan ekonomi
Adapun mata pencaharian yang utama dalam masyarakat zaman kerajaan
kutai merupakan beternak sapi. Pada mata pencaharian yang lain ialah bercocok
tanam dan lewat berdagang. ini dilihat dari letakkerajaan kutai berada ditepian
sungai mahakam yang sangat subur sehingga cocok untuk pertanian.
Kehidupan ekonomi di Kerajaan Kutai dapat diketahui dari dua hal berikut ini :
Letak geografis Kerajaan Kutai berada pada jalur perdagangan antara Cina
dan India. Kerajaan Kutai menjadi tempat yang menarik untuk disinggahi para
pedagang. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kegiatan perdagangan telah
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kutai, disamping pertanian.
Keterangan tertulis pada prasasti yang mengatakan bahwa Raja
Mulawarman pernah memberikan hartanya berupa minyak dan 20.000 ekor sapi
kepada para Brahmana.
3. Keadaan Politik
Sejak muncul dan berkembangnya Pengaruh Hindu di Kaltim, terjadi
perubahan dalam tata pemerintahan, yatu dari sistem pemerintahan kepala suku
menjadi sistem pemerintahan Raja atau feodal. Raja-raja yang pernah berkuasa
pada kerajaan Kutai adalah sebagai berikut:
a) Kudungga.
Kudungga tak dianggap menjadi sebagai pendiri dari dinasti karena
menggunakan konsep keluarga raja di zaman tersebut masih terbatas di para
keluarga raja yang sudah menyerap kebudayaan india pada setiap kehidupan
dalam sehari-hari. Raja mulawaranman juga menciptakan adanya stabilitas
politik dimana pada masa pemerintahannya tersebut. Itu terlihat dari adanya
Yupa yang menyebutkan bahwa Mulawarman menjadi raja berkuasa, kuat dan
bijaksana.420
Raja ini adalah Founding Father kerajaan Kutai, ada yang unik pada
nama raja pertama ini, karena nama Kudungga merupakan nama Lokal atau
nama yang belum dipengaruhi oleh budaya Hindu. Hal ini kemudian
melahirkan persepsi para ahli bahwa pada masa kekuasaan Raja Kudungga,
pengaruh Hindu baru masuk ke Nusantara, kedudukan Kudungga pada
awalnya adalah seorang kepala suku. Dengan masuknya pengaruh Hindu, ia
megubah struktur pemerintahannya menjadi kerajaan dan mengangkat dirinya
mejadi raja, sehingga pergantian raja dilakukan secara turun temurun.

b) Aswawarman.
Ia merupakan salah dari keturunan Kudungga yang dikenal dengan
sebutan Dewa Ansuman (Dewa Matahari). Aswawarman juga dikenal sebagai
pendiri kerajaan Kutai sehingga dijuluki dengan gelar wangsakerta, yang
berarti pembentuk keluarga.421Prasasti Yupa menyatakan bahwa Raja
aswawarman merupakan raja yang cakap dan kuat. Pada masa
pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai diperluas lagi. Hal ini
dibuktikan dengan pelaksanaan upacara Asmawedha.
419
http://www.kumpulansejarah.com/2012/11/sejarah-kerajaan-kutai.html
420
https: //id.eikipedia.org/wiki/Anggana,_Kutai_Kartanegara Diakses pada 2016, Pukul 12.00 WIB
421
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Membangun Kembali Kebanggaan Budaya Kraton Kutai Kertanegara, (Kutai
Kartanegara Regency), Hlm65.

Politik Agraria | 258


Upacara-upacara ini pernah dilakukan di India pada masa pemerintahan
raja Samudragupta, ketika ingin memperluas wilayahnya. Dalam upacara itu
dilaksanakan pelepasan kuda dengan tujuan untuk menentukan batas
kekuasaan kerajaan Kutai. Dengan kata lain, sampai dimana ditemukan tapak
kaki kuda, maka sampai disitulan batas kerajaan Kutai. Pelepasan kuda-kuda
itu diikuti oleh prajurit kerajaan Kutai.
c) Mulawarman.
Mulawarman merupakan raja terbesar yang paling berpengaruh di
kerajaan Kutai sekaligus cucu Kudungga dan anak dari Aswawarman. Ia
bahkan menjadi ikon dari kerajaan tersebut. Pengaruh bahasa Sansekerta
kental terasa di pemberian nama sang raja masyhur tersebut. Hubungan tiga
generasi raja, yakni Kudungga, Aswawarman, dan Mulawarman dapat ditilik
dari sebuah prasasti yupa. 422
Raja ini adalah Putra dari raja Aswawarman, ia membawa Kerajaan
Kutai ke puncak kejayaan. Pada masa kekuasaannya Kutai mengalami masa
gemilang. Rakyat hidup tentram dan sejahtera. Dengan keadaan seperti itulah
akhirnya Raja Mulawarman mengadakan upacara korban emas yang amat
banyak.
4. Runtuhnya Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma
Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji
Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai
Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya
pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di
tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai
Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai
Kartanegara Kerajaan.
Sejak tahun 1735 kerajaan Kutai Kartanegara yang semula rajanya
bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris)
dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
Pada masa jayanya Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur sekarang) pernah
dikenal adanya suatu Undang-undang yang mengatur mengenai cara penggunaan
pengelolaan dan pemeliharaan tanah juga tentang jual beli sistem pemilikan tanah
terlantar dan tanah kehutanan. Adapun Kitab Undang-Undang yang dimaksud
diberi nama kitab Undang-Undang Brajaniti atau dikenal dengan Brajaniti.423
Hak Milik Atas Tanah Masa Kerajaan Kutai(sekitar 400 M), jauh sebelum
masuknya orang-orang Eropa di Nusantara, sebenarnya pengaturan dalam masalah
tanah sudah dikenal dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan terdahulu. Pada
masa jayanya kerajaan Kutai pernah dikenal adanya suatu ketentuan yang
mengatur tentang acara penggunaan, pengolahan, pemeliharaan, jual beli, sistem
pemilikan, tanah terlantar, dan tanah-tanah kehutanan. Adapun ketentuan-
ketentuan tersebut sebagai berikut :Pada masa kerajaan Kutai dikenal dengan
Kitab Undang-Undang Brajananti atau Brajaniti.Pada masa kerajaan Banjar
dikenal dengan Kitab Undang-Undang Sultan Adam dibuat sekitar tahun

422
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Membangun Kembali Kebanggaan Budaya Kraton Kutai Kertanegara, (Kutai
Kartanegara Regency),hal 55.
423
Soetomo, SH. Politik dan Administrasi Agraria

Politik Agraria | 259


1251.Undang-Undang Sultan Adam 1835 (sering disingkat UUSA 1835) adalah
Undang-undang yang dikeluarkan oleh Sultan Adam Al-Wastsiq Billah, raja
Banjar tahun 1825-1857, setelah baginda memerintah selama 10 tahun dari tahun
penobatannya.Sebagai seorang Sultan, dia dikenal sebagai Sultan yang keras
dalam menjalankan ibadah dan dihormati oleh rakyat. Dia pula salah seorang
sultan yang sangat memperhatikan perkembangan agama Islam. Pada masa
pemerintahan Sultan Adam Kerajaan Banjar mengalami proses perubahan dalam
tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat sebagai akibat dari masuknya
pengaruh kolonialisme Belanda dan masuknya kebudayaan asing, khususnya
agama Kristen. Untuk menggalang pengaruh budaya Barat dan memperkokoh
kesatuan kerajaan dan kesatuan serta keutuhan rakyat Banjar, Sultan
mengeluarkan Undang-Undang pada 15 hari bulan Muharam 1251 H atau tahun
1835. Setiap transaksi tanah diharuskan untuk didaftar atau setidak-tidaknya
diketahui oleh hakim dan ada suatu tanda pendaftaran tertulis yang dibuat oleh
hakim. Setiap orang menjual sawah kebun sudah lebih dari 20 tahun, kemudian
terjadi gugatan dengan alasan seperti bahwa sawah itu harta warisan yang belum
dibagi, gugatan itu tidak berlaku. Disini digariskan adanya tenggang waktu
kedaluwarsa dalam berbagai transaksi tanah yaitu selama 20 tahun, baik pemilik
asal maupun pihak ketiga tidak dapat menuntut kembali tanah yang dijualnya.
Tidak ada larangan bagi setiap golongan untuk menggarap tanah.424
5. Sistem Kepemilikan Tanah Zaman Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai (sekitar 400 M), jauh sebelum masuknya orang-orang Eropa
di Nusantara, sebenarnya pengaturan dalam masalah tanah sudah dikenal dalam
sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan terdahulu. Pada masa jayanya kerajaan
Kutai pernah dikenal adanya suatu ketentuan yang mengatur tentang acara
penggunaan, pengolahan, pemeliharaan, jual beli, sistem pemilikan, tanah
terlantar, dan tanah-tanah kehutanan. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut
sebagai berikut :425
1. Pada masa kerajaan Kutai dikenal dengan Kitab Undang-Undang Brajananti
atau Brajaniti.
2. Pada masa kerajaan Banjar dikenal dengan Kitab Undang-Undang Sultan
Adam dibuat sekitar tahun 1251.
Kesultanan Kutai Pada era pemerintahan Pangeran Sinum Panji Mendapa
(1635-1650), dimaklumatkan Kitab Panji Selaten yang hakekatnya berisi “Sultan
adalah penguasa tunggal, namun mengakui adanya hukum adat pada suku Dayak”.
Pada Pasal 4 Kitab Panji Selaten, disebutkan mengenai empat kategori adat,
yakni: adat yang memang; adat yang diadatkan; adat yang teradat; adat istiadat,
yang merupakan manifestasi bahwa Sultan merupakan pemangku sekaligus
penguasa adat.
Sedangkan pada masa Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1845-1899),
diberlakukan Kitab Undang-undang Braja Niti, yang esensinya adalah “Segala
tanah dan isinya seperti hasil hutan, perdulangan atau segala hasil dalam tanah dan
di atas tanah yang adal dalam Kesultanan Kutai, menjadi hak milik Kesultanan
Kutai Kartanegara”. Kitab Braja Niti, sekaligus mempertegas dominasi kekuasaan
Kesultanan Kutai. Kekuasaan Kesultanan Kutai pada waktu itu diyakini hingga di
424
Dede Hidayatulloh, Peran Kerajaan Banjar dalam Penulisan Naskah di Tanah Banjar, Jurnal manuskripta vol 02 no 1,
2012
425
Soetomo, Politik dan Administrasi Agraria, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986),.hlm. l 56

Politik Agraria | 260


wilayah Sendawar (sekitar Melak, Kabupaten Kutai Barat, saat ini), sedangkan
wilayah di hulu Sendawar tidak dalam wilayah “kekuasaan” Kesultanan Kutai.
Pada masa itu, Erau yang semula merupakan area domestik komunitas
Dayak, ditampilkan dengan “wajah” publik. Meski konteksnya adalah festival
internal di lingkungan Kesultanan Kutai, namun dalam pelaksanaannya
mengundang komunitas Dayak di wilayah pedalaman Mahakam. Kehadiran orang
Dayak dalam festifal itu ditandai dengan pemberian upeti sebagai simbol
pengakuan terhadap kekuasaan Kesultanan Kutai. Dan sebagai ungkapan
penerimaan, Sultan Kutai memperkenankan orang Dayak menampilkan berbagai
kesenian mereka.

C. Masa Kerajaan Banjar


Semula Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari Kerajaan Daha yang
beragama Hindu. Pada akhir abad ke-15 Kalimantan Selatan masih dibawah pimpinan
Kerajaan Daha, yang pada saat itu dipimpin oleh Pangeran Sukarama, ia mempunyai
tiga orang anak yaitu Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumenggung, dan Putri
Galuh. Peristiwa kelahiran Kerajaan Banjar bermula dari konflik yang dimulai ketika
terjadi pertentangan dalam keluarga istana.Konflik terjadi antara Pangeran Samudera
dengan pamannya Pamengaran Tumenggung, yang mana Pangeran Samudera adalah
pewaris sah Kerajaan Daha.426
Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII telah menjadi sebuah kesultanan yang
dipengaruhi oleh pedagangan. Kesultanan Banjarmasin atau terkadang disebut
“Kesultanan Banjar” yang merujuk pada nama suku Banjar, letaknya sangatlah
menguntungkan untuk aktifitas perdagangan, karena letaknya yang strategis di tepi
laut Jawa dan selat Makasar. Maka, pelabuhan Tatas, menjadi pelabuhan yang ramai
disinggahi oleh kapal dagang yang melewati jalur tersebut.427
Kesultanan Banjarmasin memiliki sumber daya alam yang cukup besar, berupa
hasilpertanian, tambang dan hutan diantaranya, lada, emas, intan, rotan, kayu, besi
dan damar.Pada abad XVIII, Sultan Hamidullah berupaya untuk engembangkan
perdagangan di Banjarmasin dengan melakukan ekspedisi militer ke daerah
pedalaman seperti ke Tanah Dusun pada tahun 1740.428
Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam terbesar di kalimantan yang dapat
mempersatukan beberapa kerajaan kecil di wilayah Kalimantan seperti Kerajaan Paser
dan Kerajaan Kutai di kalimantan Timur, Kerajaan Kotawaringin di Kalimantan
Tengah, serta Kerajaan Qodriah, Kerajaan Landak, dan Kerajaan Mempawah di
Kalimantan Barat. Kerajaan Banjar juga mempunyai sejarah cukup panjang, karena
diawali dari masa yang jauh sebelum masuknya pengaruh Islam, yaitu masa yang
ditandai dengan berdirinya Candi Laras dan Candi Agung pada masa Hindu-Budha.
Sesuai tutur Candi (Hikayat Banjar Versi II), di Kalimantan telah berdiri suatu
pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga
derah ini digabung ke dalam Hindia Belanda pada 11 Juni 1860:
1. Keraton awal disebut Kerajaan Kahuripan.
2. Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa.
3. Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha.

426
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Bandung: Al- Ma’arif, 1979), 386.
427
M. Idwar Saleh, Bandjarmasin (Bandung : K.P.P.K Blai Pendidikan Guru. 1970), hlm. 5
428
Ibid., hal 5

Politik Agraria | 261


4. Keraton III disebut Kesultanan Banjar.
5. Keraton IV disebut Kerajaan Martapura
6. Keraton V disebut Pagustian.
Kerajaan Banjar Islam merupakan salah satu kerajaan terbesar di Kalimantan.
Hingga saat ini terdapat kontropersi di kalangan ahli sejarah mengenai kapan Islam
masuk ke Kalimantan Selatan. Paling tidak ada dua aliran besar tentang ini :Pertama
kalangan yang mengatakan bahwa Islam masuk sebelum pasukan demak tiba di
Banjarmasin; Kedua, golongan yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Kalimantan
Selatan setelah Kerajaan Daha berhasil direbut oleh Pangeran Samudera bersamaan
dengan pasukan militer Kerajaan Islam Demak.
 Sejarah Berdirinya Kesultanan Banjar
Penghuni pertama Kalimantan Selatan diperkirakan terkonsentrasi di desa-desa
besar, di kawasan pantai kaki Pegunungan Meratus yang lambat laun berkembang
menjadi kota-kota bandar yang memiliki hubungan perdagangan dengan India dan
Cina. Dalam perkembangannya, konsentrasi penduduk juga terjadi di aliran Sungai
Tabalong. Pada abad ke 5 M, diperkirakan telah berdiri Kerajaan Tanjungpuri yang
berpusat di Tanjung, Tabalong. Jauh beberapa abad kemudian, orang-orang Melayu
dari Sriwijaya banyak yang datang ke kawasan ini. Mereka memperkenalkan bahasa
dan kebudayaan Melayu sambil berdagang. Selanjutnya, kemudian terjadi asimilasi
dengan penduduk setempat yang terdiri dari suku Maayan, Lawangan dan Bukit.
Maka, kemudian berkembang bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa suku-
suku daerah tempatan, yang kemudain membentuk bahasa Banjar Kalsik.
Di daerah Banjar telah berdiri Kerajaan Hindu, yaitu Negara Dipa yang berpusat
di Amuntai. Kemudian berdiri Negara Daha yang berpusat di daerah Negara sekarang.
Menurut Hikayat Banjar tersebut, Negara Dipa adalah kerajaan pertama di
Kalimantan Selatan.429Cikal bakal Raja Dipa bisa dirunut dari keturunan Aria
Mangkubumi. Ia adalah seorang saudagar kaya, tetapi buka keturunan raja. Oleh
sebab itu, berdasarkan sistem kasta dalam Hindu, ia tidak mungkin menjadi raja.
Namun, dalam praktiknya, ia memiliki kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki oleh
seorang raja. Ketika ia meninggal, penggantinya adalah Ampu Jatmia, yang kemudian
menjadi raja pertama Negara Dipa. Untuk menutupi kekurangannya yang tidak
berasal dari keturunan raja, Jatmika kemudian banyak mendirikan bangunan, seperti
candi, balairung, kraton dan arca berbentuk laki-laki dan perempuan yang
ditempatkan di candi. Segenap warga Negara Dipa diwajibkan menyembah Arca ini.
Ketika Ampu Jatmika meninggal dunai, ia berwasiat agar kedua anaknya, Ampu
Mandastana dan Lambung Mangkurat tidak menggantikannya, sebag mereka bukan
keturunan raja. Tapi kemudian, Lambung Mangkurat berhasil mencari pengganti raja,
dengan cara mengawinkan seorang putri Banjar, Putri Junjung Buih dengan Raden
Putera, seorang pangeran dari Majapahit. Setelah menjadi raja, Raden Putera
memakai gelar Pangeran Suryanata, sementara Lambung Mangkurat memangku
jabatan sebagai Mangkubumi.
Setelah Negara Dipa runtuh, muncul Negara Daha yang berpusat di Muara
Bahan. Saat itu, yang memerintah di Daha adalah Maharaja Sukarama. Ketia
Sukarama meninggal, Ia berwasiat agar cucunya Raden Samudra yang menggantikan.
Tapi, karena masih kecil, akhirnya Raden Samudra kalah bersaing dengan pamannya,
Pangeran Tumenggung yang juga berambisi menjadi raja. Atas nasehat Mangkubumi

429
Ibid

Politik Agraria | 262


Aria Tranggana dan agar terhindar dari pembunuhan, Raden Samudra kemudian
melarikan diri dari Daha, dengan cara menghilir sungai melalui Muara Bahan ke
Serapat, Balandian, dan memutuskan untuk bersembunyi di daerah Muara Barito. Di
daerah aliran Sungai Barito ini, juga terdapat beberapa desa yang dikepalai oleh para
kepala suku. Diantara desa-desa tersebut adalah, Tamban, Kuwin, Balitung dan
Banjar. Kampung Banjar merupakan perkambungan Melayu yang dibentuk oleh liam
buah sungai yakni Sungai Pandai, Sungai Sigaling, Sungai Karamat, Jagabaya dan
Sungai Pangeran (Pegeran). Semua anak Sungai Kuwin. Desa Banjar ini terletak di
tengah-tengah pemukiman Oloh Ngaju di Barito Hilir.
Orang Dayak Ngaju menyebut orang yang berbahasa Melayu dengan sebutan
Masih. Oleh karena itu, desa Banjar disebut Banjarmasih, dan pemimpinnya disebut
Patih Masih. Desa-desa di daerah Barito ini semuanya takluk di bawah Daha dengan
kewajiban membayar pajak dan upeti. Hingga suatu ketika, Patih Masih mengadakan
pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk
berunding, agar bisa keluar dari mengaruh Daha, dan menjadikan kawasan mereka
merdeka dan besar.
Keputusannya, mereka sepakat mencari Raden Samudera, cucu Maharaja
Sukarama yang kabarnya sedang bersembunyi di daerah Balandean, Serapat.
Kemudian, mereka juga sepakat memindahkan bandar perdagangan ke Banjarmasih.
Selanjutnya, di bawah pimpinan Raden Samudra, mereka memberontak melawan
kerajaan Daha. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-16 M. Pemberontakan ini amat
penting, karena telah mengakhiri eksistensi Kerajaan Daha, ytang berarti akhir dari
era Hindu. Selanjutnya, masuk ke era Islam dan berdirilah Kerajaan Banjar.
Kerajaan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin adalah kerajaan bercorak islam
yang berdiri pada Tahun 1520. Kerajaan ini dihapuskan secara sepihak oleh Belanda
pada tanggal 11 Juni 1860. Namun masyarakat Banjar tetap mengakui adanya
pemerintahan darurat yang baru berakhir pada 24 Januari 1905. Tetapi sejak tanggal
24 Juli 2010, Kesultanan Banjar bangkit kembali ditandai dengan dilantiknya Sultan
Khairul Saleh. Kerajaan Banjar terletak di provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.
Kesultanan ini pada awalnya beribukota di Banjarmasin lalu dipindahkan ke berbagai
tempat dan terakhir pindah ke Martapura. Ketika ibu kota kerajaan Banjar berada di
Martapura, Kerajaan ini disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.430
Berdasarkan mitologi dari suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan),
kerajaan pertama di Kalimantan bagian selatan merupakan Kerajaan Nan Sarunai
yang diperkirakan daerah kekuasaannya terhampar luas mulai dari daerah Tabalong
hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan mengenai
masa-masa kejayaan dari Kerajaan Nan Sarunai, sebuah kerajaan kuno yang dulunya
menyatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah mengadakan hubungan dengan
pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serbuan dari Majapahit Sehingga sebagian
rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu
peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak
di kota Amuntai.
Kemunculan Kerajaan Banjar berhubungan erat dengan melemahnya pengaruh
dari Negara Daha sebagai kerajaan yang sedang berkuasa saat itu. Maharaja
Sukarama, Raja dari Negara Daha pernah berwasiat agar penggantinya kelak adalah
430
Jurnal Sejarah Lengkap Kerajaan Banjar Beserta Silsilah Para Raja, oleh Arie wNet hal 7
.
Ibid., hal 7

Politik Agraria | 263


cucunya yang bernama Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari.
Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan,
yang merupakan saudara dari Maharaja Sukarama.
Dikisahkan dalam Hikayat Banjar, ketika raja Kerajaan Daha yaitu Raja
Sukarama merasa sudah hampir tiba ajalnya, ia berwasiat agar yang menggantikannya
nanti adalah cucunya Raden Samudera. Mengetahui keputusan ayahnya ini tentu saja
keempat puteranya tidak menyetujuinya, terlebih Pangeran Tumenggung yang sangat
berambisi terhadap kekuasaan Kerajaan Daha, setelah Pangeran Sukarama meninggal,
jabatan raja dipegang ole anak tertuanya yaituPangeran Mangkubumi. Karena pada
saat itu Pangeran Samudera masih berumur 7 tahun.431
Wasiat tersebut mengakibatkan Raden Samudera terancam keselamatannya
lantaran para putra Maharaja Sukarama juga berambisi unutk menjadi raja yaitu
Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Dibantu oleh
Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri menggunakan sampan ke muara
sungai Barito. Setelah Maharaja Sukarama wafat, Pangeran Mangkubumi menjadi
Raja Negara Daha, kemudian digantikan Pangeran Tumenggung yang juga merupakan
putra Sukarama. Raden Samudera sebagai pihak yang kalah lalu melarikan diri dan
bersembunyi di daerah muara sungai barito. Dia dilindungi oleh sekelompok orang
melayu yang berdiam di wilayah itu. Kampung orang melayu itu disebut dengan nama
kampung oloh masih yang berarti kampung orang melayu pimpinan Pati Masih.
Lambat laun kampung ini mulai berkembang menjadi kota banjarmasih karena
ramainya perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang yang menetap.
Dalam pelarian politiknya, raden Samudera melihat potensi dari Banjarmasih
dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan sebagai kekuatan potensial untuk
melawan balik kekuatan pusat, yaitu Negara Daha. Kemampuan yang dimiliki
Banjarmasih untuk melakukan perlawanan terhadap Negara Daha akhirnya mendapat
pengakuan formal setelah komunitas melayu tersebut mengangkat Raden Samudera
menjadi kepala Negara. Pengangkatan ini akhirnya menjadi titik balik perjuangan
bagi Raden Samudera. Terbentuknya kekuatan politik baru di banjarmasih, yang dapat
menandingi Negara Daha ini dijadikan sebagai senjata oleh Raden Samudra untuk
mendapatkan haknya kembali sebagai Raja Negara Daha.432
Dalam sejarah pemberontakan itu, Raden Samudra meminta bantuan Kerajaan
Demak di Jawa. Dalam Hikayat Banjar disebutkan, Raden Samudra mengirim duta ke
Demak untuk mengadakan hubungan kerja sama militer. Utusan tersebut adalah Patih
Balit, seorang pembesar Kerajaan Banjar. Utusan menghadap Sultan Demak dengan
seperangkat hadiah sebagai tanda persahabatan berupa sepikul rotan, seribu buah
tudung saji, sepuluh pikul lilin, seribu bongkah damar dan sepuluh biji intan.
Pengiring duta kerajaan ini ekitar 400 orang. Demak menyambut baik utusan ini, dan
sebagai persyaratan, Demak meminta kepada utusan tersebut, agar Raja Banjar dan
semua pembesar mau memeluk agam Islam. Atas bantuan Demak, Pangeran
Samudera behasil mengalahkan Pangeran Tumenggung, penguasa Daha, sekaligus
menguasai seluruh daerah taklukan Daha.
Setelah berhasil meruntuhkan dan menguasai kerajaan Daha, maka Raden
(Pangeran) Samudera segera menunaikan janji untuk memeluk Islam. Setelah masuk
Islam, ia memakai gelar Sultan Suriansyah. Gelar lainnya adalah Panembahan atau
431
Harun Yahya, Kerajaan Islam Nusantara: Abad XVI Dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), 72.
432
Ibid., hal 8

Politik Agraria | 264


Susuhunan Batu Habang. Dialah Raja Banjar pertama yang memeluk Islam, dan sejak
itu, agam Islam berkembang pesat di Kalimantan Selatan. Pangeran Samudra (Sultan
Suriansyah) diIslamkan oleh wakul penghulu demak, Khatib Dayan pada tanggal 24
September 1526 M, hari Rabu Jam 10 pagi, bertepatan dengan 8 Zulhijjah 932 H.433
Khatib Dayan merupakan Penghulu Demak Rahmatullah, dengan tugas melakukan
proses pengislaman raja beserta pembesar kerajaan. Khatib Dayan bertugas di
Kerajaan Banjar sampa ia meninggal dunai, dan dikuburkan di Kuwin Utara.
Sultan Suriansyah telam membuka era baru di Kerajaan Banjar dengam masuk
dan berkembangnya agam Islam. Kerajaan Banjar yang dimaksud di sini adalah
kerajaan pasca masuknya agama Islam. Sementara era Negara Dipa dan Daha
merupakan era tersendiri yang melatarbelakangi kemunculan Kerajaan Banjar.
Diperkirakan, Suriansyah meninggal dunia sekitar tahun 1550 M. Seiring masuknya
kolonial kulit putih Eropa, Kerajaan Banjar kemudian dihapuskan oleh Belanda pada
11 Juni 1860.
Dalam perjalannya, Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan
ancaman baik eksternal maupun internal, terutama masa-masa setelah datangnya
bangsa kolonial. Pusat kerajaan Banjar atau keraton Banjar harus berpindah-pindah
dari stua tempat ketempat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Tetapi tak satupun sisa-
sisa tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi
sekarang. Keraton pertama yang disebutkan berada di wilayah Kuin, dan keraton
kedua yang berlokasi di Kayutangi atau Teluk Selong, Martapura, tidak ada
seorangpun yang dapat menjelaskannya. Kenyataannya yang sekarang dapat ditemui
di Kuin saat ini hanyalah lokasi Makam Sultan Suriansyah dan para tokoh yang
sejaman seperti khatib Dayan, serta maka keluarga Sultan Suriansyah sendiri.Tidak
atau belum diktemukan serta diketahui dimana lokas Keraton Banjar dan bagaimana
bentuk arsitekturnya hingga saat ini merupakan pertanyaan penelitian atau recearch
questions yang menarik untuk dicarikan jawabannya. Sehubungan dengan hal itulah
penelitian ini dilakukan, dengan melakukan kerja kolaborasi antara sejarah, arkeologi
dan arsitektur, maka diharapkan dapat mengak tabi yang selama ini belum ada yang
mengangkat dan membicarakannya.
Masuk dan berkembangnya Islam berlangsung sebelum Kesultanan Banjar
berdiri. Hal ini dikarenakan wilayah cikal bakal Kesultanan Banjar berdiri. Hal ini
dikarenakan wilayah cikal bakal Kesultanan Banjar yang strategis, yaitu jalur
perdagangan dan pelayaran. Melalui pelabuhan dan transaksi perdagangan yang ada
Islam di dakwahkan oleh pedagang-pedagang muslim kepada rakyat.
Masuknya Islam berlangsung dengan damai dikawasan ini melalui tangan
pedangang dan para ulama. Dalam salah satu makalah Pra Seminar Sejarah Kalsel
(1973) disebutkan, Sunan Giri juga pernah singgah di Pelabuhan Banjar. Sunan Giri
melakukan transaksi pedagang dengan warga sekitar dan bahkan memberikan secara
gratis barang-barang kepada penduduk yang fakir.
Disamping itu juga terdapat keterangan mengenai salah seorang pe-muka
Kerajaan Daha, yakni Raden Sekar Sungsang yang menimba ilmu kepada Sunan Giri.
Melalui jalur ini Pengeran Samudra mengenai Islam dan kelak mengadakan hubungan
dengan Kesultanan Demak. Pangeran Samudra sendiri kemudain masuk Islam dan
mengganti namanya menjadi sultan Suriansyah. Sekaligus berdiri pada haru Rabu 24
433
Poesponegoro dan Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia III Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan
Islam di Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2008.

Politik Agraria | 265


September 1526. Tempat pemerintahan dipusatkan di rumah Patih Masih, daerah
perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan jagabaya
dengan Sungai Kuyin sebagai induk. Pada tempat ini pula dibangun sebuah Masjid
yang berdiri hingga sekarang, dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.
Dalam perjalanannya, Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan
ancaman baik dari eksternal maupun internal, terutama masa-masa setelah datangnya
bangsa kolonial. Pusat kerajaan atau Keraton Banjar harus berpindah-pindah dari satu
tempat ke tampat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Tetapi tak satupun sisa-sisa
tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi sekarang.
Kerator pertama yang disebutkan berada di wilayah Kuin, dan keraton kedua yang
berlokasi di Kayutangi atau Teluk Selong, Martapura, tidak ada seorangpun yang
dapat menjelaskannya. Kenyataan yang sekarang dapat ditemu di Kuin saat ini
hanyalah lokasi Makan Sultan Suriansyah dan para tokoh sejaman seperti khatib
Dayan, serta makam keluarga Sultan Suriansyah sendiri.
Masa Kerajaan Banjar (di Kalimantan Selatan) pernah dikenal Kitab Undang-
Undang yang mengatur masalah pertanahan yaitu “Kitab Undang-Undang Sultan
Adam” isinya juga mengatur masalah-masalah pertanahan yang kurang lebih isinya
sama dengan Brajaniti di Kutai.
1. Sistem Kepemilikan Tanah Zaman Kerajaan Banjar
Banjar berarti kelompok. Nama banjar ini di pakai untuk membedakan
orang Melayu dari orang Jawa yang berjasa terhadab sultan Suriansyah. Asal kata
Banjarmasin berasal dari kata Banjarmasih yang telah mengalami perubahan.
Perubahan ini terjadi disebabkan oleh dua kemungkinan. Yang pertama karena
lidah asing (belanda) yang menyebutnya Banjarmassingh, kemudian menjadi
Banjarmasin. Kedua, pedagang-pedagang jawa dengan layarnya pada musim
kemarau, di saat sungai Barito dan Martapura airnya menjadi asin, maka di sebut
Banjarmasin.434
Sekitar abad XII, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Negara Dipa.
Kerajaan ini dibangun oleh Empu Jatmika. Ia datang ke pulau Hujung Tanah
(Kalimantan) dengan rombongannya dengan memakai kapal Prabajaksa, dalam
rangka memenuhi wasiat almarhum ayahnya, Mangkubumi. Dia disuruh
meninggalkan negeri Keling, dan mencari tempat tinggal baru yang tanahnya
panas dan berbau harum. Kemudian ia mendirikan sebuah Candi Agung dan Empu
Jatmika menyebut dirinya Maharaja di Candi.
Empu Jatmika memerintahkan Tumenggung Tatah Jiwa dan Arya Megatsari
menaklukkan orang-orang Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Petap,
batang Alai, dan Amandit serta Labuhan Amas dan orang-orang Bukit. Dengan
penaklukkan tersebut, maka Negara Dipa semakin kuat dan wilayahnya bertambah
luas. Sari Kabarungan sebagai raja ketiga dalam kerajaan Negara Dipa
memindahkan pusat kerajaan ke sebelah selatan. Pusat kerajaan baru ini di kenal
dengan sebutan Negara Daha. Pada saat itu pula bandar Daha di pindahkan ke
Muara Rampiu, kemudian ke Muara Bahan dan terakhir ke Banjarmasin.
Masuknya Islam di Kalimantan Selatan sebenarnya sudah ada sebelum
Sultan Suriansyah memerintah. Hal ini berdasarkan cerita bahwa Sunan Giri
pernah berlayar ke Pulau Kalimantan dengan membawa barang dagangannya.
Sesampainya di pelabuhan Banjar, penduduk yang miskin diberinya barang
434
M.Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII (Jogjakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 71.

Politik Agraria | 266


dengan cuma-cuma. Hal ini jelas menunjukkan adanya hubungan dagang dengan
jawa dan Banjar, terutama Gresik, Tuban, dan Ampel.435
Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah adalah Sultan Banjarmasin kedua
yang berkedudukan di Banjarmasin kemudian memindahkan ibukota kerajaan ke
Martapura. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1612 M. Sebelum Sultan Tahlillah
(1700-1745 M) berkuasa, tidak ada peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah
Kerajaan Banjar. Baru setelah Sultan Tahlillah berkuasa berkali-kali kerajaan
Banjar mengalami ketegangan politik yang di sebabkan adanya perebut.436
Potensi Sumber daya alam yang dimiliki Kesultanan Banjarmasin cukup
besar hal ini dapat dibuktikan dengan adanya lapisan Tanahnya yang banyak
mengandung bahan tambang antara lain intan dan emas. Hasil – hasil pertaniannya
adalah lada, sayur – sayur yang terdapat di daerah tanah laut, Negara, Tabalog,
dan Alai. Bertani dan berkebun merupakan salah satu cara masyarakat
Banjarmasin memanfaatkan sumber daya alamnya. Antara lain dengan
membudidayakan berbagai jenis tanaman, baiak yang untuk memnuhi keutuhan
dalam negeri maupun untuk dijual ke luar kesultanan.437
Selain bertani penduduk Banjarmasin juga memanfaatkan hasil
hutannya.Karena luasnya areal hutan di Kalimantan Selatan adalah 2.013.600 ha,
mengakibatkan penduduk memanfaatkan hasil hutan ini.Selain dari bertani,
berkebun, dan penambangan, usaha perdagangan telah dilakukan oleh penduduk
Banjarmasin.438
Usaha perdagangan besar dan enengah telah dilakukan oleh para
bangsawan tinggi, pembesar – pembesar kerajaan dan kelas saudagar, di samping
itu tentu juga saudagar – saudagar asing.439Kelompok saudagar melakkukan usaha
perdagangan luar negeri, baik mengekspor barang – barang hasil produksi rakyat
maupun mengimpor barang – barang kebutuhan rakyat.440
omoditi yang satu ini menjadi primadona dalam perdagangan internasional,
selain berfungsi sebagai bandar perdagangan, penduduk di Banjarmasin juga
banyak yang berstatus sebagai pedagang. Mereka juga melakukan perdagangan
sampai ke Pulau Jawa, tepatnya ke pelabuhan Banten. Lewat perdagangan
tersebut, informasi tentang bandar perdagangan di Banjarmasin terdengar sampai
ke telinga orang Belanda. Kontak awal antara pedagang Banjar dengan Belanda
terjadi sekitar tahun 1596 M, ketika orang Banjar berdagang ke Banten. Dari
sinilah Belanda tahu bahwa di Banjarmasinterdapat komoditi lada hitam yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi di pasaran internasional.441

D. MASA KERAJAAN SRIWIYAJA


Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun
kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia
Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh
435
http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2013/10/28/sistem-politik-dan-pemerintahan-kerajaan-banjar/ (Di akses pada tanggal
25 April 2016, 16:45)
436
http://id.wikipedia.org/wiki/kerajaan_banjar (Di akses pada tanggal 25 April 2016, 17:03)
437
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia : Kajian Sosial Ekonomi (Yogyakarta : Penerbit
Aditya), 1991, hal 15.
438
Ibid hal 12
439
Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan (Banjarmasin : Fajar, 1953) hal 89 – 90.
440
Ibid.
441
Suriansyah Ideham, Urang Banjar dan Kebudayaannya (Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah
Provinsi Kalimantan Selatan dan Putaka Benua, 2007), 20.

Politik Agraria | 267


3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi
pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa
memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap
diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya
diperintah oleh datu setempat.442
Raja kota ini dikenal dengan gelar maharaja (raja besar). Konon luasnya (luas
wilayah tempat kota ini berdiri sebagai ibukota) mencapai 900 parasang (persegi).
Maharaja juga memerintah sejumlah besar pulau yang tersebar hingga sejauh 1.000
parasang atau lebih. Di antara pulau-pulau tersebut terdapat pulau bernama Sribuza
yang konon luasnya mencapai 400 parasang dan pulau bernama Rami yang konon
luasnya mencapai 800 parasang. Di Pulau Rami terdapat perkebunan kayu brasil,
kapur barus, dan minyak-minyak lainnya. Maharaja juga menguasai tanah maritim
Kalah yang terletak pada pertengahan Cina dan Arab.443
Nama pertama yang memiliki acuan Palembang adalah kata Kien-Kiang yang
muncul pada sekitar tahun 1400, ketika seorang pemimpin Cina yang telah
melanglang di lautan selama bertahun-tahun merebut kekuasaan atas kota tersebut,
setelah kejatuhan Sriwijaya. Nama lain Palembang, sebagai bentuk transkripsi dari
Po-lin- pang, baru muncul pada abad ke-13 dalam kronik Chu-fan-chi dan sejarah
Ming, seperti disinggung dalam tulisan Ying-yang-sheng-lan tahun 1419 Masehi
dengan ejaan chiu–chiang atau Po-lin-pang. Nama-nama inilah yang kemudian
berkembang menjadi kata Palembang, selain tentunya kata-kata lain berdasar mitos
dan legenda setempat, seperti me-limbang. Berdasar catatan I-tsing dalam tulisan ini,
nama lama ibukota Sriwijaya tentunya merujuk dari kata Fo-shih.Nama ini berasal
dari aliran sungai di daerah tersebut yang sekarang menjadi Musi atau diartikan
sebagai Sungai Wijaya. Keyakinan inilah yang memperkuat bukti bahwa ibukota
Sriwijaya adalah Palembang.444
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing.
Dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah
kepemimpinan Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan suci
siddhayatra untuk “mengalap berkah”, dan memimpin 20.000 tentara dan 312 orang
di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan menuju Jambi dan
Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis
dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi
ortografi India untuk menulis prasasti ini. Pada abad ke-7 ini, orang Tionghoa
mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian
kemaharajaan Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau
Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka
dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa
442
E.S.Hardiati,“ Sejarah Nasional Indonesia Jilid II: Zaman Kuno. Edisi Pemuktahiran. Jakarta: Balai
Pustaka.2010. Hal: 51-52
443
Anthony Reid, “Wittnesses to Sumatra: A Travellers Anthology. New York: Oxford”, University Press .
1995. Hal :77
444
Dedi Irwanto Muhammad Santun, “Simbol Kejayaan Ibukota Sriwijaya dalam Tiga Prasasti Sriwijaya di
Palembang” Jurnal: Mozaik Volume 13, Nomor 2, tahun 2013. Hlm: 138

Politik Agraria | 268


telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak
berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara
di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat
serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah
Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan
maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat
Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan
Sriwijaya mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara.
Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan
Kamboja. Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai
mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut,
Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di
Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah
kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja
Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan
Sriwijaya pada abad yang sama.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan
Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula
wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Pada abad ini
pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Pada masa
berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka,
juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Setelah Dharmasetu, Samaratungga
menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti
Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer,
tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa
kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada
tahun 825.
Pengaturan sistem pertanahan pada masa kerajaan Sriwijaya (693-1400)
dikenal dengan nama kitab undang-undang Simbur Cahaya yang merupakan
peninggalan kitab undang-undang jaman raja-raja Sriwijaya. Prinsip pemilikan hak
atas tanah, raja dianggap sebagai pemilik, sedangkan rakyat sebagai pemakai
(penggarap) yang harus membayar upeti kepada raja sebagai pemilik.
Kitab Simbur Cahaya merupakan kitab undang-undang hukum adat, yang
merupakan perpaduan antara hukum adat yang berkembang secara lisan di pedalaman
Sumatera Selatan, dengan ajaran Islam. Kitab ini diyakini sebagai bentuk undang-
undang tertulis berlandaskan syariat Islam, yang pertama kali diterapkan bagi
masyarakat Di Nusantara.
Kitab Simbur Cahaya, ditulis oleh Ratu Sinuhun yang merupakan isteri
penguasa Palembang, Pangeran Sido Ing Kenayan (1630—1642 M). Kitab ini terdiri
atas 5 bab, yang membentuk pranata hukum dan kelembagaan adat di Sumatra
Selatan, khususnya terkait persamaan gender perempuan dan laki-laki.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika Palembang berhasil dikuasai Kolonial
Belanda. Sistem kelembagaan adat masih dilaksanakan seperti sediakala, yaitu dengan

Politik Agraria | 269


mengacu kepada Undang Undang Simbur Cahaya, dengan beberapa penghapusan dan
penambahan aturan yang dibuat resident.
Berdasarkan informasi dari penerbit “Typ. Industreele Mlj. Palembang, 1922”,
Undang Undang Simbur Cahaya terdiri dari 5 bagian, yaitu:
- Adat Bujang Gadis dan Kawin (Verloving, Huwelijh, Echtscheiding)
- Adat Perhukuman (Strafwetten)
- Adat Marga (Marga Verordeningen)
- Aturan Kaum (Gaestelijke Verordeningen)
- Aturan Dusun dan Berladang (Doesoen en Landbow Verordeningen)

1. Sistem Kepemilikan Tanah Zaman Kerajaan Sriwijaya


Munculnya kerajaan Melayu tua di Sumatera -Sriwijaya- yang telah dipandang
sebagai suatu kerajaan yang memiliki kekayaan dan rakyatnya hidup sejahtera dari
perdagangan hasil bumi Sumatera dan kemegahan Sriwijaya telah mampu
membangun sistem politik yang mapan, pertahanan darat dan laut yang kuat,
sehingga kerajaan Sriwijaya telah menjadi suatu khazanah dalam sejarah dunia
Melayu di Asia Tenggara. Sistem pemerintahannya ditata mengikut acuan Melayu
yang berasaskan keterbukaan dengan dunia luar dan memompa semangat rakyatnya
untuk bekerja keras dan selalu peka terhadap setiap kemungkinan-kemungkinan
adanya anasir luar yang mengancam keselamatan Sumatera. Itulah sebabnya para
sejarawan telah menyifatkan bahwa sistem yang digunakan sebagai suatu model
pemerintahan yang modern pada waktu itu. Kita tidak dapat membayangkan betapa
masyhurnya kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Untuk menggambarkannya, izinkan
saya meminjam ucapan Wang Gungwu: “Pada tahun 775, kerajaan ini telah menjadi
begitu masyhur sehingga hanya raja-raja yang dipertuan dari Sriwijaya, raja tertinggi
di antara semua raja di permukaan bumi”1). Wang Gungwu, “The Nanhai trade: A
study of early history of Chinese trade in South China Sea”, 1958, (Halaman): 135.
Pengaturan sistem pertanahan pada masa kerajaan Sriwijaya (693-1400)
dikenal dengan nama kitab undang-undang Simbur Cahaya yang merupakan
peninggalan kitab undang-undang jaman raja-raja Sriwijaya. Prinsip pemilikan hak
atas tanah, raja dianggap sebagai pemilik, sedangkan rakyat sebagai pemakai
(penggarap) yang harus membayar upeti kepada raja sebagai pemilik.445
Kerajaan (Kesultanan) Sriwijaya Palembang terletak di tepi sungai Musi.
Ibukota Kesultanan adalah Kota Palembang yang terletak di kaki bukit Siguntang.
Sungai Musi membelah kota Palembang menjadi dua bagian yaitu bagian I lir dan
bagian Ulu. Sungai Musi bermuara di Sunsang. Sunsang juga merupakan muara dari
anak sungai Musi yang berjumlah 9 buah. Kesultanan Palembang sebelah utara
berbatasan dengan Jambi. Sebelah barat dengan Bengkulu, sebelah selatan dengan
Lampung dan sebelah Timur dengan Laut Jawa. Sepanjang pantai Timur daerah ini
terdiri dari rawa dan hutan lebat. Bagian barat terdiri dari bukit barisan yang
membujur di Pulau Sumatera. Daerah kesultanan Palembang umumnya beriklim
tropis (panas).446
Curah hujan di daerah ini cukup tinggi, daerahnya subur. Tanaman untuk
ekspor juga dihasilkan daerah kesultanan Palembang.Tanaman itu adalah : lada, kopi,
cengkeh, dan tumbuhan. Di daerah pedalaman juga dihasilkan buah-buahan dan
445
Soetomo, Politik dan Administrasi..., hlm.56.
446
Mardanas Safwan, op.cit., hlm. 30.

Politik Agraria | 270


sayur-sayuran. Di daerah pedalaman bertani disebut dengan berladang. Sistem
perladangan dinamai “Ume”. Sebagian besar daerah pedalaman hidup bertani.
Penduduk kota Palembang hidup dari pelayaran dan perdagangan.
Kesultanan Palembang ialah wilayah daerah Keresidenan Palembang pada
zaman Belanda. Lebih tepat lagi kalau dikatakan Keresidenan Palembang ini
adalah daerah hukum Palembang. Dilihat dari sudut geografi, maka daerah itu
merupakan suatu wilayah tersendiri. Sebelah selatan berbatasan dengan Lampung
merupakan daerah yang berawa dan berhutan lebat, sedangkan dari Bengkulu
terdapat Bukit Barisan yang membentang di pulau Sumatera. Sungai-sungai di
daerah Palembang dapat dilayari dan bertemu pada suatu titik yaitu ibukota
Palembang. Hal ini merupakan persyaratan untuk mendirikan suatu pusat
kekuasaan yang kuat.447

2. Faktor Penyebab Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya


Kemunduran dan keruntuhan Kerajaan Sriwijaya disebabkan oleh beberapa hal
berikut:
1. Serangan Raja Dharmawangsa pada tahun 990 M, ketika itu yang berkuasa di
Sriwijaya ialah Sri Sudamani Warmadewa. Walaupun serangan ini tidak berhasil,
tetapi telah melemahkan Sriwijaya.
2. Serangan dari Kerajaan Colamandala yang diperintahkan oleh Raja
Rajendracoladewa pada tahun 1023 dan 1030. Serangan ini ditujukan ke
semenanjung Malaka dan berhasil menawan raja Sriwijaya. Serangan ketiga
dilakukan pada tahun 1068 M dilakukan olehWirarajendra,
cucu Rajendracoladewa.
3. Pengiriman ekspedisi Pamalayu atas perintah Raja Kertanegara, 1275-1292, yang
diterima dengan baik oleh Raja Melayu (Jambi), Mauliwarmadewa, semakin
melemahkan kedudukan Sriwijaya.
4. Muncul dan berkembangnya kerajaan Islam Samudra Pasai yang mengambil alih
posisi Sriwijaya.
5. Serangan Kerajaan Majapahit dipimpin Adityawarman atas perintah Mahapatih
Gajah Mada pada tahun 1377 yang mengakibatkan Sriwijaya menjadi taklukan
Majapahit. Pendudukan yang dilakukan Kerajaan Majapahit atas seluruh wilayah
Sriwijaya pada tahun 1377. Pendudukan tersebut dalam upaya mewujudkan
kesatuan Nusantara.
6. Letak Kota Palembang semakin jauh dari laut. Akibat pengendapan lumpur yang
dibawa oleh Sungai Musi dan sungai lainya, akhirnya Kota Palembang semakin
jauh dari laut.
7. Berkurangnya kapal dagang yang singgah. Akibat semakin jauhnya Kota
Palembang dari laut menyebabkab daerah tersebut tidak strategis lagi. Kapal-kapal
dagang lebih memilih singgah di tempat lain. Hal tersebut menyebabkan kegiatan
perdagangan berkunrang dan pendapatan kerajaan dari pajak menurun.
8. Banyak daerah yang melepaskan diri dari Sriwijaya. Akibat semakin melemahnya
perekonomian Kerajaan Sriwijaya maka penguasa kerajaan tidak mampu lagi
mengontrol daerah kekuasaanya. Daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang telah
melepaskan diri adalah Jawa Tengah dan Melayu.

E. Masa Kerajaan Majapahit


1. Sejarah Berdirinya Majapahit.448

.
Ibid. hlm 32.
447
R.M.Husin Nato Dirajo, op.cit., hlm 7
448
Ibid,...

Politik Agraria | 271


Pada saat terjadi serangan Jayakatwang, Raden Wijaya bertugas menghadang
bagian utara, ternyata serangan yang lebih besar justru dilancarkan dari selatan.
Maka ketika Raden Wijaya kembali ke Istana, ia melihat Istana Kerajaan Singasari
hampir habis dilalap api dan mendengar Kertanegara telah terbunuh bersama
pembesar-pembesar lainnya. Akhirnya ia melarikan diri bersama sisa-sisa
tentaranya yang masih setia dan dibantu penduduk desa Kugagu. Setelah merasa
aman ia pergi ke Madura meminta perlindungan dari Aryawiraraja. Berkat
bantuannya ia berhasil menduduki tahta, dengan menghadiahkan daerah tarik
kepada Raden Wijaya sebagai daerah kekuasaannya. Ketika tentara Mongol datang
ke Jawa dengan dipimpin Shih-Pi, Ike-Mise, dan Kau Hsing dengan tujuan
menghukum Kertanegara, maka Raden Wijaya memanfaatkan situasi itu untuk
bekerja sama menyerang Jayakatwang. Setelah Jayakatwang terbunuh, tentara
Mongol berpesta pora merayakan kemenanganya. Kesempatan itu pula
dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk berbalik melawan tentara Mongol,
sehingga tentara Mongol terusir dari Jawa dan pulang ke negrinya. Maka tahun
1293 Raden Wijaya naik tahta dan bergelar Sri Kertajasa Jayawardhana.449
Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran
Kertarajasa. Berlokasi semula di Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi
Museum Nasional Republik Indonesia. Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari
telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai
Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama
Meng Chi ke Singhasari yang menuntut Uperi. Kertanagara, penguasa kerajaan
Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan
utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kubilai Khan
marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293. Ketika itu,
Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara.
Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden
Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja
mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya
menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang. Jawaban dari surat diatas
disambut dengan senang hati. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia
membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang
namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika
pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur
melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya
berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang
kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing.
Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin
muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi
di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit
adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika
tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan
dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah.
Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi
memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil.
449
Ibid,..

Politik Agraria | 272


Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra
Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut
disebutkan dalam Pararaton. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih
Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang
tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun
setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara,
dan lalu dihukum mati. Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala
Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun
pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia,Oodrico da Pordenone
mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh
oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya
menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana
dan menjadi Bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana untuk
menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada
sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah
Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan
membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan
Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara.
Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia
diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.
Hal yang menarik dari sistem ini adalah konsep menempatkan keluarga raja
(saudara namun punya potensi pengganggu tahta) dalam tatanan herarki kerajaan
dan pembagian kekuasaan serta wilayah, namun mereka ditempatkan di ibukota
sehingga pemantauannya lebih maksimal. Berdasarkan temuan artefak di situs
Trowulan dapat sedikit direkonstruksi bagaimana kehidupan para pembesar ini dan
para orang kaya yang terlihat dari struktur rumahnya, benda-benda yang ditemukan
dan lokasinya yang dekat dengan bagian yang diduga sebagai keraton450

2. Kejayaan Majapahit
Bidadari Majapahit yang anggun, arca cetakan emasapsara (bidadari surgawi)
gaya khas Majapahit menggambarkan dengan sempurna zaman kerajaan Majapahit
sebagai "zaman keemasan" nusantara. Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara,
memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit
mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di
bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak
wilayah. Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan
Majapahit meliputi Sumatra, Semenajung Malaya, Kalimantan Sulawesi,
kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) sebagian
kepulauan Filipina. Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak
kejayaan Kemaharajaan Majapahit.451
Majapahit sebagai sebuah kerajaan besar memperlihatkan sistem birokrasi
sebagai hasil evoluasi panjang dari kerajaan- kerajaan pendahulunya452. Sebagai
kerajaan yang telah memperlihatkan kehidupan kompleks tentunya membutuhkan
450
Reid. “Sejarah Modern Awal Asia Tenggara”. Jakarta: LP3ES 2004. Hal: 98
451
Ibid

Politik Agraria | 273


sistem birokrasi yang rapi, mengurusi banyak bidang, berjenjang dan memikirkan
sistem karir. Sistem yang berlaku dalam masa ini tentunya telah mulai muncul
dari masa-masa sebelumnya yang kemudian berkembang seiring tuntutan jaman
dan sebagian diadopsi masa se- sudahnya. Birokrasi yang muncul tentunya dapat
dilihat lapisannya sebagai birokrasi pusat dan birokrasi daerah meskipun porsi
pemberitaan daerah tidak sebanyak tentang jenjang yang ada di pusat.453
Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-
daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat
Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin
berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa,
Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-
dutanya ke Tiongkok. Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer,
Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan.
Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat
mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai Permaisurinya.
Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357
rombongan raja Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit
mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi
Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk
di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara
Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani
memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya
dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan
secara kejam.
Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk
redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.
Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang
disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan. Kisah
ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam
Nagarakretagama. Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365
menyebutkan budaya Keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita
rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang
rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa
yang membentang dari Sumatra ke Papiua, mencakup Semenanjung Malaya dan
Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah
legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh
kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah
itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan
pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan
atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi
keras.Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit
melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.

452
Rahardjo. “ Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno”.
Jakarta: Komunitas Bambu 2002, hal:71
453
D. Lombard, “Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris Jilid 3”.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama ,2000. Hal: 33

Politik Agraria | 274


Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai
pulau dan kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit
nampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di
kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam
mulai memasuki kawasan ini.

3. Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit
berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389,
Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris
Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya
sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra
dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta. Perang saudara
yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara
Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi
Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung.
Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah
taklukannya di seberang. Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana,
serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Chaeng
Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu
1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan
komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa,
seperti di Semarang, Demak, Tubah dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki
pijakan di pantai utara Jawa Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426,
dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426
sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga
putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan
oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah
Kertawijaya wafat, Bhere Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan
memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD.
Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta.
Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada
1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran
Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat
dirinya sebagai raja Majapahit. Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan
para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan
awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada
saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu
Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara. Di bagian barat
kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung
kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai
menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara
itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara,
satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sebuah tampilan
model kapal Majapahit di Museum Negara Malaysia, Kuala Lumpur Malaysia
Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman
di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus memerintah di sana hingga

Politik Agraria | 275


digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya
mengalahkan Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu
kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan
gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit telah melemah
akibat konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di
pantai utara Jawa. Waktu berakhirnya
Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400
saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan
berakhirnya suatu pemerintahan) hingga tahun 1527. Dalam tradisi Jawa ada
sebuah Kronogram atau candasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi.
Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai
0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna
hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan
oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11
Majapahit, oleh Girindrawardhana. prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku
bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi dan memindahkan ibu kota ke Daha
(Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha dengan Kesultanan Demak,
karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi.
Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527. Sejumlah besar abdi
istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali.
Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman
dari Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan
Kertabhumi. Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun
1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa
kerajaan Majapahit. Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi
Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad
Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja
Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta)
mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan
penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara
tahun 1518 dan 1521 M.
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi
kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan
Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal
kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di
Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya
masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat
Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan
Bromo dan Semeru.454

4. Kebudayaan Majapahit
Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting
di ibu kota Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan. "Dari semua
bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah" [Dalam
lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai
454

Politik Agraria | 276


pemandangan dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan
bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga,
menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya". 455
Nagara kertagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun,
dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang
rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan
Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit
datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara
sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan
sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung
dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-
wilayah456taklukan di kepulauan
Nusantara yang menikmati otonomi luas. Ibu kota Majapahit di Trowulan
merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang
diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja
Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan
Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung
tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi
istana muslim saat itu. Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa
sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya. Candi-candi
Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah
tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata.
Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi
Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto. Beberapa elemen
arsitektur berasal dari masa Majapahit, antara lain gerbang terbelah Candi Bentar,
gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berdasar struktur bata.
Gaya bangunan seperti ini masih dapat ditemukan dalam arsitektur Jawa dan Bali.
Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya
berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada. Raja pulau
ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan
bagian dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh
emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini; akan
tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya. Catatan yang
berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari
catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya:
"Perjalanan Pendeta Odorico da Poedenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di
Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan.
Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia
berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus
hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar
hingga mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali
ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sultra
menuju Eropa pada 1330. Di buku ini ia menyebut kunjungannya 457 di Jawa tanpa
menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa
455
Ibid...
456
R.M. Husin Nato Dirajo, op.cit., hlm 7
457
R.M.Husin Nato Dirajo, op.cit., hlm 7

Politik Agraria | 277


menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak
cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan
istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan
perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa,
tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di
sini tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun
1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.
Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatera, lalu
mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat lewat
Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sultra menuju Eropa pada 1330. Di buku ini
ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat
yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan
juga di pulau ini terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-
rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat mewah dan
mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol
beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir
kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di sini tak lain adalah Majapahit yang
dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan
Jayanegara.

5. Struktur Pemerintahan
Arca dewi Parwati sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanottunggadewi,
ratu Majapahit ibunda Hayam Wuruk. Majapahit memiliki struktur pemerintahan
dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan
tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama
perkembangan sejarahnya. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia
memegang otoritas politik tertinggi.
 Aparat birokrasi
Dalam penataan birokrasi, ada dua mekanisme yang dilakukan untuk
mengukuhkan pengendalian kekuasaan, yakni penataan struktur jabatan dan
mencari dukungan di tingkat desa. Pada masa Majapahit, muncul tokoh
individual yang mewakili dewan para rama. Sebuah prasasti dari periode ini
menyebutkan bahwa dewan “para rama” dengan buyut sebagai yang utama
(mpu ramarama walandit, akadi buyut). Keterangan ini secara jelas
menyebutkan buyut sebagai tokoh pimpinan di antara para rama, yakni seorang
pemimpin semacam lurah pada masa kini yang sebelumnya tidak dikenal.
Hubungan antara pemerintah desa dan pusat tidak lagi bersifat kemitraan, tetapi
lebih merupakan hubungan antara atasan dan bawahan. Administrasi desa telah
berubah menjadi bagian terbawah dari hierarki kerajaan. Selain penataan
struktur jabatan, upaya penataan birokrasi juga dilakukan melalui pencarian
dukungan di wilayah desa. Salah satunya dilakukan melalui pemberian hak-hak
khusus (wnang) kepada para pemegang atau kepala sima. Disebut khusus,
karena biasanya, hak-hak tersebut merupakan simbol-simbol status yang hanya
dimiliki oleh raja atau elite di lingkungan keraton.458

458
Yusak Farchan dan Firdaus Syam, “Tafsir Kekuasaan Menurut Gajah Mada”, JURNAL POLITIK VOL. 11 No. 01. 2015,
1595

Politik Agraria | 278


Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan
pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan
tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya,
antara lain yaitu:
1. Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
2. Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan
pemerintahan
3. Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
4. Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang
terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini
dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut
melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam
dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang
disebut Bhattara Saptaprabhu.
 Pembagian wilayah
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan
Singhasari, terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian
tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhattara
yang bergelar Bhre atau "Bhatara i". Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan
kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka
adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan
upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka
pimpin. Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12
wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja.
Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal
sebagai berikut:
1. Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja
2. Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre
(pangeran atau bangsawan)
3. Watek: dikelola oleh wiyasa,
4. Kuwu: dikelola oleh lurah,
5. Wanua: dikelola oleh thani,
6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.
Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat
pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri juga
termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep
teritorial yang lebih besar pun terbentuk:459
1. Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit
atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki
era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan
wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan
pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan
semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang
merupakan kerabat dekat raja.
2. Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara
langsung dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti
459
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, LkiS Yogyakarta,
2007

Politik Agraria | 279


tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau
raja pribumi, yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah
dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan
birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan
perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun
mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah
Mancanegara termasuk di dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya,
Madura Bali dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan
Palembang di Sumatra.
3. Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa,
tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti
tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup luas dan kebebasan
internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan
birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun
yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan
menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan
koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan dan
Semenanjung Malaya.
Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan
Majapahit. Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang
didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar negeri:
1. Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti "mitra dengan tatanan
(aturan) yang sama". Hal itu menunjukkan negara independen luar negeri
yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam
kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing
adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari
(Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari
(kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan
Yawana (Annam).
2. Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan
asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam
kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri
dengan kedua bangsa ini.
Masa jayanya Kerajaan Majapahit, peraturan perundang-undangan
mengenai hak memakai tanah diatur dengan suatu Undang-Undang yaitu Kitab
Undang-Undang “Pratigundala”.
Kerajaan Majapahit (1293-1525) merupakan suatu kerajaan yang
menguasai seluruh nusantara dan memiliki ketentuan yang paling lengkap
tentang pengaturan kehidupan masyarakat. Tanah dalam kehidupan rakyat
majapahit memegang peranan penting karena itu dibuat undang-undang tentang
hak memakai tanah yang disebut Pratigundala. Pratigundala didapati dalam
negarakertagama pupuh 88/3 baris 4 hal 37. Undang-undang tersebut disusun
dengan latar belakang bahwa kerajaan Majapahit merupakan suatu kerajaan
yang rakyatnya sebagian besar hidup dari hasil-hasil pertanian. Dalam kitab
undang-undang yang disebut agama, terdapat lima pasal diantara 271 pasalnya
yang mengatur masalah tanah. Tanah menurut undang-undang agama dalam
kerajaan Majapahit adalah milik raja. Rakyat hanya mempunyai hak untuk
menggarap dan memungut hasilnya tetapi tidak memiliki tanah tersebut, hak
milik atas tanah tetap ada pada raja.

Politik Agraria | 280


6. Sistem Kepemilikan Tanah Zaman Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit (1293-1525) merupakan suatu kerajaan yang menguasai
seluruh nusantara dan memiliki ketentuan yang paling lengkap tentang pengaturan
kehidupan masyarakat. Tanah dalam kehidupan rakyat majapahit memegang
peranan penting karena itu dibuat undang-undang tentang hak memakai tanah yang
disebut Pratigundala. Pratigundala didapati dalam negarakertagama pupuh 88/3
baris 4 hal 37. Undang-undang tersebut disusun dengan latar belakang bahwa
kerajaan Majapahit merupakan suatu kerajaan yang rakyatnya sebagian besar hidup
dari hasil-hasil pertanian.460 Dalam kitab undang-undang yang disebut agama,
terdapat lima pasal diantara 271 pasalnya yang mengatur masalah tanah. Tanah
menurut undang-undang agama dalam kerajaan Majapahit adalah milik raja.
Rakyat hanya mempunyai hak untuk menggarap dan memungut hasilnya tetapi
tidak memiliki tanah tersebut, hak milik atas tanah tetap ada pada raja.

F. Zaman VOC (1602 - 1870)


Masuknya penjajah Belanda dengan sistem perkebunan barunya berciri
usaha pertanian besar dan kompleks, padat modal, teknologi modern dan ber-
orientasi komersil, membutuhkan jumlah tenaga kerja yang relatif banyak. Melalui
VOC-nya sebagai suatu sindikat dagang, pemerintah Belanda menerapkan sistem
monopoli dan pungutan paksa. Meningkatnya permintaan akan bahan rempah-
rempah di pasar internasional menyebabkan kolonial Belanda mengadakan
perluasan kebun dan tidak hanya sebatas rempah-rempah, tetapi juga kopi di
Priyangan dan perkebunan tebu di Jawa Tengah serta Jawa Timur.461
VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) didirikan sebagai badan
perdagangan dengan maksud untuk menghindari / mencegah persaingan antar
pedagang Belanda, mendapat monopoli di Asia Selatan, membeli murah dan
menjual mahal rempah – rempah sehingga memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya. Peran penting VOC dalam aktivitas per-dagangan, sangat penting karena
melalui peran itulah juga menjadi dasar penetapan berbagai kebijakan politik dalam
bidang agraria.462 Melalui VOC-nya sebagai suatu sindikat dagang, pemerintah
Belanda menerapkan sistem monopoli dan pungutan paksa. Meningkatnya
permintaan akan bahan rempah-rempah di pasar internasional menyebabkan
kolonial Belanda mengadakan perluasan kebun dan rempah-rempah.
Peranan orang-orang Eropa di Hindia Belanda (Indonesia) menjadi sangat
penting. Bahkan keterlibatan dan inter- vensi lebih jauh dalam aktivitas per-
ekonomian (perdagangan), semakin nyata tatkala sindikat perdagangan bernama
VOC mendukungnya. Mengetahui peran penting VOC dalam aktivitas per-
dagangan, sangat penting karena melalui peran itulah juga menjadi dasar
penetapan berbagai kebijakan politik dalam bidang agraria.463

460
Ibid.., hlm. 56.
Mubyarto, dkk. “ Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan”. Yogyakarta: Aditya Media.
461

1992. Hal: 56
462
Ahmadin, “Masalah Agraria di Indonesia Masa Kolonial”, ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007, 58

Politik Agraria | 281


Perletakan dasar mengenai administrasi pertanahan pertama menurut sistem
hukum barat di Indonesia sudah dimulai pada sekitar abad ke 16 yakni pada jaman
VOC. Pada waktu itu telah diatur tentang persoalan–persoalan yang timbul
sehubungan dengan pemberian hak atas tanah oleh VOC khususnya kepada orang–
orang Belanda. Lembaga yang mengenai hal tersebut diberi nama dewan
Heemsradem, dengan tugasnya sebagai berikut :
1. Mengusahakan tersedianya peta–peta dari semua peta yang terletak di bawah
kekuasaannya.
2. Membentuk dan memelihara daftar–daftar tanah sesuai dengan keadaannya
sebenarnya.
3. Pemberian hemmsradem keunis sebagai pemberitahuan kepada dewan Schopen
tentang peralihan hak atas tanah.
VOC mengadakan hukum secara barat di daerah – daerah yang dikuasainya,
dalam hal ini memedulikan hak – hak tanah ynag dipegang oleh rakyat dan raja – raja
Indonesia. Hukum adat sebagai hukum yang memiliki corak dan sistem sendiri tidak
dipersoalkan oleh VOC bahkan membiarkan rakyat Indonesia hidup menurut adat
kebiasaannya.
Beberapa kebijakan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia
yang diteteapkan oleh VOC, antara lain :
1. Contingenten, yaitu pajak atas hasil tanah pertanian yang diserahkan kepada
penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil
pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeserpun.
2. Verplichte Leveranten, yaitu suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh
kompeni dengan para raja tentang kewajiban menyerahkan seluruh hasil panen
dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak.
Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar – benar tidak bisa berbuat apa – apa.
Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
3. Roerendiensten, kebijakan yang dikenal dengan nama rodi, yang dibebankan
kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.464

1. Konflik-konflik struktural
Dari gambaran sejarah panjang hubungan agraris tampak bahwa konflik
agraria merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan dalam hubungan agraris
dalam sistem apapun. Begitu pula kehadiran VOC di Indonesia sangat
mempengaruhi bentuk konflik. Konflik yang terjadi di masa it lebih berhubungan
dengan persoalan perebutan komoditas perdagangan yang kemudian berhasil
dimonopoli VOC. Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh raja-raja lokal muncul
karena mereka sangat dirugikan oleh sistem monopoli perdagangan. Dari seluruh
perlawanan rakyat yang pernah ada, VOC selalu berhasil meredam perlawanan itu.
Secara politis, VOC berhasil menguasai raja dan meluaskan pengaruhnya. Dengan
dikuasainya raja-raja, otomatis VOC menguasai tanah-tanah yang selama ini
berada di penguasaan kerajaan.

463
Ahmadin, “Masalah Agraria di Indonesia Masa Kolonial”, Jurnal : Attoriolog, volume 4 Nomor 1, 2007.
Hlm: 60

464
Departemen Penerangan dan Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negri, Pertanahan Dalam Era Pembangunan
Indonesia, Direktorat Publikasi Ditjen, Ppg Departmen Penerangan dan Ditjen Agraria Departmen Dalam Negri, Jakarta,
1982, Hlm 21 Dikutip Dalam Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012, Hlm 19

Politik Agraria | 282


Peraturan-peraturan tentang penguasaan tanah feodal lambat laun hilang dan
digantikan dengan peraturan kolonial. Rakyat yang semula menyewa tanah kepada
raja, kemudian diharuskan menyewa kepada kolonial sebagai penguasa tanah yang
baru. Dapat dikatakan bahwa kehadiran kekuasaan VOC dan campur tangannya
dalam mengatur permerintahan pada masa itu, menjadi sebab munculnya
persoalan-persoalan politik agraria. Demikian pula mada masa sewa tanah dan
tanam paksa. Pada mas ini konflik banyak muncul dalam kaitan dengan pola
hubungan produksi komoditas ekspor, seperti lada, nila, dan gula. Konflik tersebut
muncul ketika rakyat yang diharuskan menanam komoditas eksport kehilangan
sebagian besar waktunya dan kehilangan kesempatan untuk menanam komoditas
subsistem untuk kepentingan keluarganya.465Teori kepemilikan tanah ‘de facto-de
jure’, atau anggapa nyata hukum . Teori kepemilian tanah ini oleh Herman
Soesangobeng, diciptakan untuk menggantikan dua teori kepemilikan tanah yang
hingga kini masih digunakan di Indonesia. Kedua teori itu adalah teori hukum
perdata belanda ‘Nederlandsch Burgerlijk Wetboek’ (NBW), yang melalui azas
konkordansi, diterapkan di Hindia Belanda dengan sebutan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan disingkat KUHPIndonesia (KUHPIn). Teori kepemilikan tanah
NBW?KUHPInd itu mengenal konsephukum hak milik mutalak pribadi (privaat
eigendom) dan Negeri atau negara sebagai pemegang hak milik mutlak tertinggi.
Akan tetapi untuk menegakkan hak kepemilikan eigendom tertinggi, negara
Belanda atas seluruh tanah di pulau jawa, terdapat kesulitan hukum untuk
ditegakkan di luar bekas tanah taklukan Jakarta milik VOC.
Jadi setelah bubarnya VOC dan pengakuan daerah-daerah di luar Jakarta
tidak dilakukan melalui perang penaklukan dan menyebabkan negara Belanda
tidak bisa secara otomatis mangaku atau mengklaim tanah-tanah diluar jakarta
adala miliknya.
Untuk menatasi kesulitan hukum bagi pemilik tanah negara Belanda itu,
perlemen di Negeri belanda memberlakuakan hukum agraria 1870. Tetapi tidak
langsung memuat ketentuan tentang hak kepemilikan tanah oleh negara belanda di
daerah jajahan pulau jawa. Karena isinya UU Agraria 1870 tidak boleh memat
norma ang bertentangan dengan norma dasar Hukum pertahanan dan keagrariaan
NBW?KUHPInd yang sudah diberlakukan dalam seluruh wilayah kekuasaan VOC
sejak 1621. Maka untuk memperoleh perolehan sewa tanah bagi hubungan
keagrariaan dengan hak erfpacht hanya berlaku selama maksimal 20 tahun.
Ketentuan hukum persewaan tanah NBW?KUHPInd inilah yang digunakan Van
Den Bosch pada 1830 untuk mengembangkan usaha perkebunan kopi oleh Negara
belanda dan dikenal sebagai tanam paksa di Pulau Jawa.466
Tuntutan seperti inilah yang kemudian menjadi isi dari Undang- Undang
Agraria (Agrarishe Wet) Tahun 1870, dengan berusaha melindungi hak- hak
rakyat. Namun demikian, realitas justeru sebaliknya membawa pada kerugian
masyarakat yang ditandai oleh penyalahgunaan lahan. Berdasarkan catatan
Geertz bahwa banyak di antara tanah-tanah subur yang seharusnya ditanami padi,
justru digunakan untuk perkebunan tebu yang pada gilirannya tidak menghasilkan
produksi secara optimal. Proses peningkatan tanpa meng- alami kemajuan pada
465
Endang Suhendar dan Yohana Budi Utami, Petani dan Konflik Agraria (Bandung:Yayasan akatiga, 1998), hlm. 61.
466
Nia Kurniati, dkk.,Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum Tentang Pengelolaan Tanah Negara Untuk Kesejahteraan
Rakyat,(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012) hal 5.

Politik Agraria | 283


masa pemerintahan Belanda inilah yang oleh Geertz dinamakan sebagai “Involusi
Pertanian” dan Boeke menamakannya sebagai “Ekonomi Statis”.467

2. Masa Berlakunya Hukum Agrarian


a. Hukum Agraria Kolonial
Hukum agraria ini berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku
sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24september 1960.
b. Hukum Agraria Nasional
Hukum agraria ini berlaku setelah diundangkannya UUPA, yaitu tanggal
24september 1960.
3. Ciri-Ciri Hukum Agraria Colonial
Clifford Geertz dalam bukunya “Involusi Pertanian” (1963), membagi
pandangan mengenai pemilikan tanah menjadi dua bagian. Wilayah Jawa dan
Madura yang disebutnya sebagai “Indonesia dalam”, beranggapan bahwa tanah
adalah hak milik dan alat produksi, dan demi tanah setiap orang bersedia
mempertaruhnya nyawa untuk memper-tahankan tanah tersebut. Di sisi lain, beliau
istilahkan dengan “Indonesia luar” (di luar Jawa dan Madura) yakni kolonial
beranggapan bahwa kepemilikan tanah tidak jelas dan ditentukan oleh jenis
tanaman tertentu. Dalam pengertian bahwa tanah adalah milik umum, sehingga
siapa yang mengolah (menanami) itulah pemiliknya.468
Herman Willem Daendels (1808-1811) menetapkan ber-bagai kebijakan
sebagai berikut: (1) meletakkan dasar pemerintahan dengan sistem barat, (2) pusat
pemerintahan di Batavia, (3) di pulau Jawa dibentuk 9 keresidenan, (4)membentuk
pengadilan keliling, (5) Kesultanan Banten dan Cirebon dijadikan daerah
Gubernemen. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Thomas Stamford Rafles yang
menjabat selaku Gubernur Jenderal di Jawa dan sekitarnya pun menetapkan
kebijakan berbeda yakni: (1) membagi Jawa menjadi 18 keresidenan, (2) para
bupati dijadikan pegawai negeri dan gaji ditetapkan oleh pemerintah kolonial, (3)
melarang pungutan paksa. Berbagai kebijakan pemerintah kolonial tersebut,
rupanya mengalami kegagalan dan tidak mencapai target yang diharapkan.
Penyebab kegagalan tersebut disebabkan oleh terbatasnya pegawai yang cakap,
perekonomian desa yang belum memungkinkan untuk sistem penyewa-han berupa
uang, dan masih banyaknya kepemilikan tanah didasarkan pada ketentuan hukum
adat.469
Ciri-ciri terdapat pada hukum agraria kolonialdimuat dalam konsideran bab
“menimbang”hurufb,c,dan d UUPA dan penjelasan umum angka 1UUPA, yaitu:
a. Hukum yang berlaku sekarang ini sebagian tersusunberdasarkan tujuan dan
sendi-sendi daripemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhiolehnya,
hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara didalam
menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.
b. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualism dengan berlakunya hukum
adat, disamping hukum agraria yang didasarkan hukum barat.
c. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian
hukum

467
Ahmadin, “Masalah Agraria di Indonesia Masa Kolonial”, ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007, . Hal 69
468
Ahmadin, “Masalah Agraria di Indonesia Masa Kolonial”, ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007, 60
469
Ibid,.

Politik Agraria | 284


Hukum agraria sebelum merdeka disusun berdasarkan tujuandan sendi-sendi
pemerintah kolonial Belanda.
a. Pada masa terbentuknya VOC (1602-1799) VOC didirikan sebagai badan
perdagangandengan maksud untuk menghindari/mencegah persaingan
antara pedagang Belanda, mendapatkan monopoli di Asia Selatan, membeli
murah dan menjual mahal hasil rempah-rempah sehingga memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya.
b. Kebijakan politik pertanian sangat menindas rakyat Indonesia yang di
tetapkan oleh VOC.
1. Contingenten
Pajak atas hasil tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa
kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil
pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeserpun.
2. Verplicthe leverante
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan kompeni dengan para raja
tentang kewajiban menyerahkan hasil panen dengan pembayaranya
yang harganya juga sudah ditetapkan sepihak.
3. Roerendiensten
Kebijakan ini dikenal dengan kerja rodi yang dibebankan kepada
rakyat Indonesia yang tidak mempunyai pekerjaan.
4. Masa pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-
1811)
Kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Gubernur Herman Willem
Daendles adalah menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-
orang cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah-tanah yang
dijual itu dikenal dengan sebutan tanah patikelir
5. Masa pemerintahan Gubernur Thomas Stamford raffles (1811-1816
Kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Thomas stamford raffles
adalah Landrent atau pajak tanah.
a) Kekuasaan tanah telah berpindah dari tanah milik raja ( daerah
swapraja di Jawa) kepada pemerintah Inggris.
b) Akibat hukumnya adalah hak pemilikan atas tanah tersebut
beralih kepada raja Inggris.
c) Tanah yang dikuasai bukan miliknya, melainkan milik raja
Inggris.
d) Rakyat wajib membayar pajak tanah kepada raja Inggris.

4. Ketentuan Yang Berkaitan Dengan Landrent


a. Landrent tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah tetapi
ditugaskankepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan untuk
menetapkan jumlah sewayang wajib dibayar oleh tiap petani.
b. Kepala desa diberi kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada
pemilikantanah oleh para petani.
c. Praktek landrent menjukirbalikkan hukum yang mengatur pemilikan tanah
rakyat sebagai akibat besarnya kekuasaan kepala desa.

5. Masa pemerintahan gubernur Johanes van den Bosch

Politik Agraria | 285


Pada tahun 1830 Gubernur Johanes van den Bosch menetapkan
kebijakanpertanahan yang dikenal dengan sistem tanam paksa atau cultur stesel
a) Para petani dipaksa menanam satu jenis tanaman tertentu yang langsung
maupun tidak langsung dibutukan oleh pasar Internasional
b) Hasil pertanian diserahkan kepada pemerintah colonial
c) Rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan
tenaganya yaitu seperlima bagi masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu
tahun.470

G. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda


Berlakunya hukum tanah pemerintahan Belanda ini berawal dari hukum yang
berlaku di Negara Belanda, kemudian dibawa ke Indonesia. Kehadiran hukum tanah
Belanda menggeser keberadaan hukum tanah adat yang telah lama ada di Nusantara.
Dalam suatu ordonansi S. 1823 No. 164 dapat diketahui bahwa pernah terdapat suatu
penyelenggaraan kadasteral yang ditugaskan pada suatu jawatan diberi nama
Kadasteral Dienst disuatu daerah tertentu yang diangkat dan diberhentikan atau dialih
tugaskan oleh Gubernur Jenderal. Tugas – tugasnya adalah sebagai berikut :
a) Mendirikan dan memelihara secara kontinu kadaster hak (eigendomskadaster)
di Indonesia.
b) Pengukuran bidang – bidang tanah serta pemetaannya dan mengeluarkan surat –
surat ukur yang diperlukan permohonan suatu hak atas tanah maupun untuk
pemecahan dan penggabungan tanah yang telah ada hak atas tanahnya.
c) Pemberian landsmeters kennis yang diperlukan dalam hal baik nama sesuai Stbl.
1824 No. 27 serta pemberian – pemberian sertifikat (surat keterangan tertulis)
yang diperlukan untuk lelang.
d) Pelayanan kepada masyarakat dalam hal memberikan keterangan lisan maupun
tertulis mengenai hak atas tanah (dengan hukum Eropa) maupun pemberian
salinan peta dan daftar – daftar yang ada pada Kadasterale Dienst.
e) Melaksanakan pekerjaan pengukuran dan pemetaan lainnya serta tugas – tugas
lain yang dibebankan oleh Pemerintah.
Atas dasar teori ini maka pemerintah kolonial dapat menyewakan tanah-
tanah kepada perusahaan onderneming dengan skala besar. Ketika masa
penjajahan, pengambilalihan lahan-lahan milik rakyat Indonesia merupakan
hal yang dilegalkan oleh hukum pertanahan Hindia Belanda sehingga tanah-
tanah adat menjadi tanah negara dan kemudian oleh pemerintah Hindia
Belanda secara leluasa diberikan kepada pengusaha perkebunan yang
membutuhkannya.

Menurut banyak kalangan praktisi dan akademisi perkebunan, Agrarische Wet


1870 merupakan cikal-bakal perusahaan perkebunan besar di Indonesia.
Sebagian besar roh dan jiwa dari Agrarische Wet 1870 ini hingga sekarang
masih hidup. Bahkan, makin tumbuh dan berkembang menyesuaikan diri
dengan perkembangan dunia yang semakin global 471.
Prof. DR. Soepomo (1966) mengemukakan 13 azas penting dan tatanan hukum yang
berlaku di Hindia belandadulu diantaranya adalah sbb472 :
1. azas Burgerlijk Wetboek (BW) dari Hindia Belanda
2. azas hukum acara perdata eropa
3. azas wet boek van straaf recht
470
http://neviaries.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-hukum-agraria-diindonesia.html (Di akses pada tanggal 16 April 2016,
21:19)
471
Zaidi.nurul, hukum-tanah-administrasi-pemerintah-hindia-belanda 2003
472
Prof, Dr, S.H. Soepomo, R, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Universitas. 1966

Politik Agraria | 286


4. azas hukum acara pidana
5. azas hukum adat materil
6. azas perdata laand raad (pengadilan negeri)
7. acara schap geracht en distrik
8. acara perdata pengadilan pribumi didaerah luar jawa dan madura
9. acara perdata pengadilan daerah swapraja
10. acara pidana laand raad
11. acara pidana laand gerecht
12. acara pidana pengadilan pribumi
13. acara pidana pengadilan swapraja
BW di Indonesia berazaskan kepada azas korkodansi dan BW belanda
mencontoh kepada code civil de prancis sedangkan BW Hindia Belanda berlaku tahun
1848 pada mulanya tidak berubah namun perkembangan hukum semenjak satu abad
menuju kearah partisipasi masyarakat dan hukum melalui yurisprudensi akhirnya
terjadi perubahan. Contoh : azas penggunaan kekuasaan sewenang-wenang (a bous of
power/ misbruik van recht) diubah menjadiemansipasi wanita di cabut.
Hukum acara perdata di Indonesia pada dasarnya sama dengan hukum acara
perdata belanda hukum acara perdata belanda meneladani code prosedur civil tetapi
kemudian hukum acara perdata mengalami beberapa kali peninjauan. Perlu kita
ketahui azas utama hukum acara perdata adalah sbb :
1. Terbuka untuk umum,semua keputusan selalu diucapkan dalam sidang terbuka
atas dasar ketentuan UU
2. Hakim harus bersifat pasif
3. semua acara hampir semuanya tertulis
4. pakai perantara atau pengacara473
Kehadiran pemerintahan Belanda ke Indonesia sangat berpengaruh besar
terhadap sistem pertanahan yang sudah ada sebelumnya. Sehingga ada dua peraturan
tentang pertanahan, yaitu peraturan adat tentang tanah yang tunduk pada hukum adat
dan peraturan barat yang tuduk pada hukum Belanda. Seperti yang dikatakan Soeomo,
Pada masa ini berlaku sistem dualisme dalam hukum pertanahan yaitu hukum barat
berlaku Agrarische wet dan bagi pribumi yaitu hukum adat. Kadasterale Dienst
tunduk pada Agrarische Wet.474
1. Agrarische Wet 1870
Setelah berkuasa di Indonesia, pemerintah Belanda memberlakukan hukum
tanah yang terdapat di Belanda, yaitu Agrarische Wet. Menurut Boedi Harsono475
Agrarische Wet adalah suatu undang-undang (dalam bahasa Belanda disebut
“wet”) yang dibuat di Negeri Belanda pada tahun 1870 dan diundangkan dalam S
1870-55 tahun 1870 sebagai tambahan ayat-ayat baru pada pasal 62 Regeling
Reglement Hindia Belanda tahun 1854. Semula Regeling Reglement terdiri dari 3
ayat, kemudian ditambah dengan 5 ayat, sehingga menjadi 8 ayat. Isinya sebagai
berikut :
(1) De Gouverneur General mag geen gronden verkoopen.
(2) In dit verbod zijn niet begrepen kleine stukken gronds, bestemd tot
uitbreiding van steden en dorpen en tot het oprichten van inrichtingen van
nijverheid.

473
Junaidi,politik agaria,hlm28
474
Soetomo, Politik dan Administrasi Agraria, Usaha Nasional, Surabaya, hlm 58.
475
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm. 33.

Politik Agraria | 287


(3) De Gouverneur General kan gronden uitgeven in huur, volgens regels bij
ordonnantie te stellen. Onder die gronden worden niet begrepen de
zoodanige door de inlanders ontgonnen, of als gemeene weide, of uit
eenigen anderen hoofde tot de dorpen of dessa’s behoorende.
(4) Volgens regels bij ordonnantie te stellen, worden gronden afgestaan in
erfpacht voor niet langer dan viifenzeventig jaren.
(5) De Gouverneur General zorgt, dat geenerlei afstand van grond inbreuk
maken op de rechten der inlansche bevolking.
(6) Over gronden door inlanders voor eigen gebruik ontgonnen, of als gemeene
weide of uit eenigen anderen hoofde tot de dorpen behoorende, wordt door
den Gouverneur General niet beschikt dan ten algemeenen nutte, op de voet
van artikel 133 en ten behoeve van de op hoog gezag ingevoerde cultures
volgens de daarop betrekkelijke verordeningen, tagen behoorlijke
schadeloosstelling.
(7) Grond door inlanders in erfelijk individueel gebruik bezeten wordt,op
aanvraag van den rechtmatigen bezitter, in dezen in eigendom afgestaan
onder de noodige beperkingen, bij ordonnantie te stellen en in den
eigendombrief uit te drukken, ten aanzien van de verplichting jegens den
lande en de gemeente en van de bevoegdheid tot verkoop aan niet-inlanders.
(8) Verhuur of ingebruikgeving van grond door inlanders aan niet-inlanders
geschiedt volgens regels bij ordonnnatie te stellen.476
Terjemahan :
(1) Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
(2) Dalam larangan diatas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang
diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-
kegiatan usaha.
(3) Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan dengan ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan
adalah tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan hutan,
kepunyaan desa.
(4) Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi, diberikan tanah
dengan hak erpacht selama waktu tidak lebih dari tujuh puluh tahun.
(5) Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang
melanggar hak-hak rakyat prbumi.
(6) Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat
asal pembukaan hutan yang digunakan untuk keperluan senidiri, demikian
juga tanah-tanah yang juga sebagai tempat penggembalaan umum atas dasar
lain merupakan kepunyaan desa, kecuali untuk kepentingan umum
berdasarkan pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman
yang diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan
yang bersangkutan, semuanya dengan pemberian ganti rugi yang layak.
(7) Tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai pribadi
yang turun temurun (hak milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah
dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-
pembatasan yang diperlukan dalam surat eigendomnya, yaitu yang
mengenai kewajibannya terhadap negara dan desa yang bersangkutan,
demikian juga yang mengenai wewenangnya untuk menjual kepada bukan
pribumi.
(8) Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non-
pribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan ordonansi.
Tujuan utama Agrarische Wet ini adalah untuk membuka kemungkinan dan
memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta untuk dapat
476
Kumpulan Engelbrecht 1960 hlm 195 dalam Buku Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm. 34.

Politik Agraria | 288


berkembang di Hindia Belanda (Indonesia). Dengan kata lain, agrarische wet ini
lahir atas dasar desakan pemodal besar swasta Belanda sejalan dengan politik
monopoli saat itu (sistem tanam paksa) pemerintah dalam bidang pertanahan
dimana pihak penguasa Belanda terbatas kemungkinannya memperoleh tanah-
tanah yang luas dan kuat haknya. Dengan lahirnya Agrarische wet ini, pengusaha
besar swasta Belanda dalam rangka memperluas usahannya di bidang perkebunan
memperoleh hak erfpacht dengan jangka waktu 75 tahun.
Dalam pasal 720 dan 721 KUHP dinyatakan bahwa erfpacht merupakan hak
kebendaan yang memberikan kewenangan yang paling luas kepada pemegang
haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain.
Pemegang hak erfpacht boleh menggunakan semua kewenangan yang terkandung
dalam eigendom atas tanah. Dengan diberikannya hak erfpacht kepada pengusaha
oleh pemerintah Belanda, menurut Statisch Jaaroverzicht, pada tahun 1940 luas
tanah yang diberikan dengan hak erfpacht adalah lebih dari 1.100.000 hektar
kepada lebih dari 2.200 pengusaha. Tanah yang disewakan kepada perusahaan
perkebunan di Jawa (termasuk tanah swapraja) seluas 15.000 hektar kepada 200
pengusaha.
Agrarische Wet berhasil memberikan dasar bagi perkembangan modal asing
Belanda dalam lapangan pertanian (perkebunan) besar, bahkan dapat memberikan
keuntungan yang besar bagi pengusaha besar Belanda. Sebaliknya, bagi rakyat
Indonesia justru menimbulkan kemiskinan, kesengsaraan dan penderitaan yang
amat menyedihkan.477

2. Agrarische Besluit
Ketentuan – ketentuan Agrarische wet pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang penting adalah apa
yang dimuat dalam Agrarische Besluit yang diundangkan dalam Stb. 1870 No.
118, yang terdiri dari tiga bab, yaitu :
1) Pasal 1 – 7 tentang hak atas tanah
2) Pasal 8 – 8b tentang pelepasan tanah
3) Pasal 19 – 20 ten478tang peraturan campuran.
Sejarah hak-hak atas tanah berdasarkan, yaitu masa klonial (sebelum
kemerdekaan) dan setelah kemerdekaan :
1. Masa klonial (sebelum kemerdekaan)
Hak-hak atas tanah yang ada pada masa klonial tentunya tunduk ipada hukum
agraria barat yang diatur dalam KUH perdata, diantara hak-hak yang diatur
tersebut antara lain:
2. Hak eigondom (hak milih)
Peraturan peraturan umum yang ditetapkan kekuasaan yang berhak
menetapkan serta tidak menganggu hak hak orang lain untuk kepentingan
umum
3. Hak erpacht (hak usaha)
Mempunyai hak untuk mengusahakan dan merasakan hasil benda itu dengan
penuh hak ini bersifat turun menurun, banyak diminta untuk keperluan
pertanian seperti di Jawa dan Madura
4. Masa setelah kemerdekaan

477
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012, hlm 19.
478
Muchsin, Hukum Agraria Indonesia dalam perspektif Sejarah,Bandung Refika Aditama,2007,hlm. 9

Politik Agraria | 289


Berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat menimbulkan berbagai
masalah antargolongan yang serba sulit jika tidak sesuai dengan cita-cita
persatuan bangsa. Hal ini pun terjadi dalam sejarah pemberlakuan hak-hak
atas tanah di Indonesia
Pasal 1 Agrarische Besluit memuat sebuah pernyataan yang sangat penting
bagi perkembangan dan pelaksanaan hukum tanah administratif Hindia Belanda.
“..... semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak
eigendomnya, adalah domein (milik) negara.” Pernyataan diatas disebut Domein
Verklaring (pernyataan kepemilikan).
Pernyataan domain tersebut dinilai kurang menghargai, bahkan memperkosa
hak–hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat. Sementara itu,
Agrarische Besluit awalnya hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Tetapi
kemudian pernyataan domain tersebut diberlakukan juga untuk daerah
pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi yang
diundangkan dalam S. 1875 – 199a.
Fungsi Domain Verklaring :
a) Sebagai landasan hukum bagi pemerintah untuk memberikan tanah dengan
hak – hak barat yang diatur dalam KUHP, Seperti erpacht, hak opstal dan
lain-lainnya. Dalam Domain Verklaring, pemberian tanah dengan hak
egeindom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik negara kepada
penerima tanah.
b) Di bidang pembuktian kepemilikan
Pada waktu itu, agrarische wet dan agrarische besluit dapat dikatakan sangat
merugikan pemilik tanah. Sebab tolok ukur yang dipakai adalah tolok ukur yang
bertumpu pada pembuktian tertulis. Sementara pada waktu itu ( zaman penjajahan
Belanda ) hampir dipastikan semua masyarakat tidak memiliki surat pembuktian
hak milik dalam bentuk sertifikat tanah, kecuali orang – orang tertentu, misalnya
kaum bangsawan yang memiliki sertifikat tanah karena kedekatannya dengan
pemerintah penjajah Belanda terebut.479
Dengan adanya Domein Verkling, kedudukan rakyat Indonesia yang
memiliki tanah berada pada pihak yang lemah karena hampir semua tanah
tersebut tidak mempunyai tanda bukti kepemilikan sertifikat, sehingga secara
yuridis formal tanah – tanah tersebut menjadi domein ( milik ) negara. Rakyat
Indonesia yang memiliki tanah dianggap sebagai penyewa atau penggarap saja
dengan membayar pajak atas tanah.
Hukum dan kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah senantiasa
diorientasikan pada kepentingan dan keuntungan mereka sebagai penjajah, yang
pada awalnya melalui politik dagang. Mereka sebagai penguasa sekaligus
merangkap sebagai pengusaha menciptakan kepentingan – kepentingan atas segala
sumber – sumber kehidupan di bumi Indonesia yang menguntungkan mereka
sendiri sesuai dengan tujuan mereka dengan mengorbankan banyak kepentingan
rakyat Indonesia.
Eigendom verponding atau tanah verponding merupakan salah satu produk
hukum pertanahan pada zaman penjajahan kolonial Belanda di Indonesia yang
menyatakan kepemilikan seseorang atas tanah.
Setelah Indonesia merdeka, pengakuan hak kepemilikan tanah kemudian
diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Menurut UU No.5 Tahun
1960, tanah verponding harus dikonversi menjadi jenis hak tanah yang sesuai.
479
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 49.

Politik Agraria | 290


UUPA memang tidak mengatur tata cara konversi hak atas tanah. Meski
demikian, setelah pemberlakuan UUPA, setiap orang wajib mengonversi hak atas
tanah verponding-nya menjadi hak milik selambat-lambatnya tanggal 24
September 1980.
Mengapa harus dikonversi? Sebab hak atas tanah verponding  berasal dari
sistem hukum perdata Barat, sedangkan UUPA ditujukan sebagai hukum agraria
nasional yang berbeda dengan hukum agraria sebelumnya. Sebenarnya konversi
harus dilakukan setelah UUPA diundang-undangkan, atau paling lama dua puluh
tahun setelahnya.
Namun, karena ketidaktahuan masyarakat atau ketidakmampuan mengurus
konversi tanah verponding menjadi sertifikat, sampai saat ini masih banyak orang
belum mengonversi hak atas tanahnya.
Padahal, langkah pembuatannya cukup mudah. Siapkan saja beberapa
dokumen seperti:

1. Alat-alat bukti tertulis (peta/surat ukur);

2. Keterangan saksi atau yang bersangkutan diakui kebenarannya oleh Panitia


Ajudikasi dan Kepala Kantor Pertanahan.

Karena rentang waktu yang panjang, tanah verponding sangat rentan


menjadi tanah sengketa. Sebab, belum ada kekuatan hukum yang mengikat
pemegang hak yang sebenarnya. Jadi, jangan heran jika ada kasus
penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama orang lain yang bukan pemilik
sah atas sebidang tanah. Oleh karenanya, membeli rumah secara KPR lebih
unggul dari sisi keamanan, lantaran bank akan bertanggung jawab langsung
terhadap legalitasnya.

Meski begitu, mengurus perubahan tanah verponding tidak sesulit yang


dibayangkan. Sebab, hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 32 PP 24/1997. Di sana
tertulis bahwa jika ada pihak yang merasa dirugikan dengan terbitnya suatu
sertifikat tanah dalam jangka waktu 5 tahun setelah penerbitan, maka mereka bisa
mengajukan tuntutan.

Jika Anda memenangkan kasus peradilan maka Anda bisa meminta Badan
Pertanahan setempat mencabut SHM yang telah diterbitkan tersebut. Kemudian
Anda bisa membuat Surat Hak Milik baru atas nama yang berwenang kepada
Pengadilan Negeri setempat atau Pengadilan Agama setempat.

Dengan status hak tanah yang jelas dan memiliki kekuatan hukum yang
kuat, maka Anda baru bisa melakukan alih kepemilikan dengan pihak ketiga,
misalnya sebagai warisan untuk anak atau dijual.480

Mengenai kedudukan tanah verponding, berdasarkan Bagian Kedua


(Ketentuan Konversi) Pasal I Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), disebutkan bahwa
hak eigendom atas tanah yang ada saat berlakunya UUPA menjadi hak milik.

480
https://www.rumah.com/panduan-properti/apa-sih-tanah-verponding-8108

Politik Agraria | 291


Ketentuan konversi tersebut berlaku selama pemilik hak eigendom atas tanah
tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UUPA.

Namun, tidak semua hak eigendom atas tanah selalu dapat dikonversikan


menjadi hak milik. Sebab, terdapat ketentuan-ketentuan lain yang mengatur
konversi hak eigendom atas tanah menjadi hak pakai, hak guna bangunan, maupun
hak guna usaha.481
Hukum agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu dengan
berlakunya hukum agraria yang berdasarkan atas hukum adat dan hukum barat.
Sifat dualisme tersebut meliputi bidang – bidang tertentu, yaitu :
1. Dasar Hukum
Pada saat yang sama berlaku macam – macam hukum agraria, yaitu hukum
agraria adat, hukum agraria barat, hukum agraria swapraja, hukum agraria
administratif dan hukum agraria antar golongan.
2. Hak atas Tanah
Pada saat yang sama berlaku macam – macam hak atas tanah yang berbeda
hukumnya, yaitu :
a) Hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria barat yang diatur
dalam KUHP, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfpacht.
b) Hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria adat daerah masing –
masing yang disebut tanah – tanah hak adat, misalnya tanah yasan,
tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ganjaran, tanah kuburan, tanah
penggembalaan (tanah pangonan).
c) Hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah swapraja, misalnya
Grant Sultan (semacam hak milik adat yang diberikan oleh pemerintah
swapraja khusus bagi kaula swapraja, disaftar di kantor pejabat
swapraja).
d) Hak – hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah Hindia –
Belanda, misalnya hak agrarische eigendom (tanah milik adat yang
ditundukkan dirinya pada hukum agraria barat), landerijen bezitrecht
(tanah – tanah yang subjek hukumnya terbatas pada orang – orang dari
golongan timur asing Tionghoa).
3. Hak Jaminan atas Tanah
Beberapa hak jaminan atas tanah pda masa berlakunya hukum agraria
kolonial, yaitu :
a) Lembaga Hypotheek diperuntukkan bagi hak – hak atas tanah yang
tunduk pada hukum barat, yaitu hak eigendom, hak opstal, dan hak
erfpacht, yang diatur dalam pasal 1162 – pasal 1332 KUHP dan
Overschrijving ordonantie Stb. 1834 No. 27.
b) Lembaga credietverband diperuntukkan bagi tanah – tanah yang tunduk
pada hukum adat. Lembaga jaminan ini merupakan ciptaan pemerintah
Hindia – Belanda dalam rangka melaksanakan program pengentasan
rakyat pribumi dari kemiskinan dan belenggu utang dengan
memberikan kredit melalui lembaga perkreditan rakyat. Lembaga
jaminan ini diatur dalam Stb. 1908 No. 542 dan telah diubah dengan
Stb. 1937 No. 190.
c) Lembaga Jonggolan di Jawa, di Bali disebut Makantah dan di Batak
disebut Tahan, dalam hubungannya dengan utang piutangdikalangan
warga masyarakat, dimana pihak dibitur menyerahkan tanahnya sebagai
jaminan utang kepada kreditur.Dalam lembaga ini diperjanjikan bahwa

481
Muchsin, Hukum Agraria Indonesia dalam perspektif Sejarah,Bandung Refika Aditama,2007,hlm. 9

Politik Agraria | 292


selama utangnya belum dibayar lunas, debitur tidak akan melakukan
perbuatan hukum apapun dengan pihak lain mengenai tanah yang
dijadikan jaminan hutang.
4. Pendaftaran Tanah
Berdasarkan Overschrijving ordonantie Stb. 1834 No. 27, pendaftaran
tanah dilakukan oleh kantor pendaftaran tanah atas tanah –tanah yang
tunduk pada hukum barat dan pendaftaran tanah ini menghasilkan tanda
bukti berupa sertifikat yang diberikan kepada pemegang haknya.482
Sebaliknya, untuk tanah – tanah yang tunduk pada hukum adat tidak
dilakukan pendaftaran tanah, sehingga tidak memiliki sertifikat dan tidak
memberikan jaminan kepastian hukum.
Sehingga sudah jelas bahwa hukum agraria kolonial bagi rakyat
Indonesia asli tidak menjamin kepastian hukum. Yang disebabkan oleh :
1. Dari segi perangkat hukumnya
Bagi orang – orang yang tunduk pada hukum barat, perangkat
hukumnya tertulis yang diatur dalam KUHP, sedangkan bagi rakyat
Indonesia asli berlaku hukum agraria adat yang perangkat hukumnya
tidak tertulis, terdapat dalam kebiasaan – kebiasaan mayarakat yang
berlaku sebagai hukum.
Dengan tersediannya perangkat hukum yang tertulis, siapapun
yang berkepentingan akan dengan mudah dapat mengetahui
kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai dan
menggunakan tanah yang diperlukan. Bagaimana cara memperolehnya,
hak – hak, kewajiban serta larangan – larangan apa yang ada dalam
menguasai tanah dengan hak – hak tertentu, sanksi apa yang
dihadapinya jika diabaikan ketentuan – ketentuan yang bersangkutan,
serta hal – hal lain yang berhubungan dengan penguasaan dan
penggunaan tanah yang dipunyainya.483
Dengan keadaan perangkat hukum yang tidak tertulis, maka
hukum agraria adat jauh dari jaminan kepastian hukum bagi rakyat
terhadap hak – hak atas tanahnya.
2. Dari Segi Pendaftaran Tanah
Untuk tanah – tanah yang tunduk pada hukum barat, misalny
hak eigendom, hak opstal, hak erfpacht dilakukan pendaftaran tanah
dengan tujuan memberikan jaminan kepastian hukum dan
menghasilkan tanda bukti yang berupa sertifikat. Pendaftaran tanah ini
dikenal dengan Rechts Cadaster atau Legal Cadaster.
Untuk tanah – tanah yang tunduk pada hukum adat tidak
dilakukan pendaftaran tanah, sehingga tidak mempunyai jaminan
kepastian hukum. Kalau pun dilakukan pendaftaran tanah, tujuannya
bukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum, melainkan untuk
menetapkan siapa yang berkewajiban membayar pajak atas tanah.
Pendaftaran tanah ini tidak menghasilkan sertifikat melainkan tanda
bukti pembayaran pajak atas tanah, misalnya petok, pipil, girik, ketitir,
verponding Indonesia. Pendaftaran tanah ini dikenal dengan Fiscaal
Cadaster.
Hak-hak atas tanah barat masih tetap berlaku setelah masa proklamasi
kemerdekaan. Setelah proklamasi kemerdekaan terdapat keinginan yang kuat untuk
segera mengakhiri berlakunya hukum pertanahan peninggalan Pemerintah Kolonial

482
Benhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Cet. I (Jakarta: Margaretha Pustaka, 2012), hlm:51.
483
Ibid... hlm 60.

Politik Agraria | 293


Belanda. Hal ini dilakukan antara lain dengan penghapusan beberapa tanah hak Barat
yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan semangat proklamasi,
yaitu:
a. Penghapusan tanah-tanah partikelir;
b. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda;
c. Tanah-tanah milik badan hukum yang ditinggal direksi;
d. Penguasaan benda-benda tetap milik perorangan warga Negara Belanda;
Bahwa dalam pelaksanaan konversi tersebut ada beberapa prinsip yang
mendasarinya yaitu:
a. Prinsip nasionalitas UUPA Pasal 9 secara jelas menyebutkan hanya warga Negara
Indonesia saja yang boleh mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi,
air dan ruang angkasa;
b. Pengakuan hak-hak tanah terdahulu;
c. Penyesuaian kepada ketentuan konversi bahwa sesuai Pasal 2 dari ketentuan
konversi maupun Surat Keputusan Menteri Agraria maupun dari edaran-edaran
yang diterbitkan maka hak-hak tanah yang pernah tunduk kepada Hukum Barat
dan Hukum Adat harus disesuaikan dengan hak-hak yang diatur oleh UUPA;
d. Status quo hak-hak tanah terdahulu bahwa dengan berlakunya UUPA dan PP 10
Tahun 1961 maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak baru atas tanah-tanah
yang akan tunduk kepada Hukum Barat;
Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Diktum
Kedua Pasal I, III dan V hak-hak atas tanah asal konversi Hak Barat akan berakhir
masa berlakunya selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980 dan setelah
tenggang waktu tersebut berakhir  menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
Untuk mengatur akibat-akibat hukum dari ketentuan tersebut dan menentukan
hubungan hukum serta penggunaan peruntukannya lebih lanjut dari tanah tersebut,
telah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok
Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak
Barat, dan sebagai tindak lanjut atas Keputusan Presiden (Kepres) tersebut telah
dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-
Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak-Hak Barat.
Bila dihubungkan dengan masalah-masalah pertanahan khususnya yang
berkaitan dengan tanah hak-hak barat misalnya eigendom vervonding yang terjadi
saat ini di masyarakat, banyak disebabkan akibat kekurang pahaman ataupun
kelalaian masyarakat itu sendiri, masyarakat merasa bahwa hak tanah yang telah
diterimanya dahulu merupakan hak milik.
Pengaturan eigendom sendiri berada di Pasal 570 Buku ke-2 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPer) telah dinyatakan dicabut oleh UUPA. Kemudian,
ketentuan Pasal 1 ayat (1) Bagian Kedua UUPA mengatur tentang konversi hak atas
tanah eigendom menjadi hak milik. Selain itu, istilah verponding dalam UU No. 72
Tahun 1958 tentang Pajak Verponding untuk tahun-tahun 1957 dan berikutnya
digunakan untuk menyebut salah satu jenis pajak yang dikenakan terhadap benda-
benda tetap (tanah).

Politik Agraria | 294


Pengertian eigendom vervonding belum dapat dikatakan sebagai hak milik
karena kata tersebut mempunyai 2 (dua) arti yang berbeda, namun dalam
penerapannya eigendom dan vervonding dibuat dengan nomor yang sama untuk
mempermudah pembayaran pajak.
Menurut buku Yami Lubis dalam bukunya berjudul “Hukum Pendaftaran
Tanah”, Halaman 218, pemberlakuan konversi terhadap hak-hak barat
(termasuk eigendom) dilakukan dengan pemberian batas jangka waktu sampai 20
tahun sejak pemberlakuan UUPA. Artinya, UUPA mensyaratkan terhadap hak atas
tanah eigendom dilakukan konversi menjadi hak milik sesuai ketentuan yang diatur di
dalam UUPA selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980.
Berdasarkan uraian di atas masyarakat harus melakukan pendaftaran ulang
hak-hak barat yang telah diterimanya itu selambat-lambatnya tanggal 24 September
1980 agar segera diterbitkan hak baru atas tanah tersebut. Setelah lewat masa waktu
yang ditentukan maka hak-hak atas tanah tersebut akan langsung dikuasai Negara.
Merujuk ketentuan Pasal 6 Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 yang
menyatakan “Hak Guna Bangunan, Hak Pakai asal konversi hak Barat yang Hak
Guna Usaha, dimiliki oleh Perusahaan milik Negara, Perusahaan Daerah serta Badan
badan Negara diberi pembaharuan hak atas tanah yang bersangkutan dengan
memperhatikan ketentuan tersebut Pasal 1”, dimana Pasal 1 menegaskan; “Tanah Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Barat, jangka
waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980,
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat
berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara”
Jika kita analisis dari ketentuan Pasal 1 di atas apabila pemegang hak Barat
adalah Perusahaan milik Negara, Perusahaan Daerah serta Badan-badan Negara juga
diwajibkan untuk mendaftarkan hak-hak barat yang dimilikinya, sama seperti
pendaftaran ulang yang dilakukan masyarakat, apabila hak tersebut tidak didaftarkan
sampai batas yang ditentukan maka hak tersebut akan langsung dikuasai Negara.
Namun, ternyata memang sampai saat ini masih ada tanah-tanah
berstatus eigendom yang belum dikonversi. Menurut Yamin Lubis, Halaman 225,
terhadap tanah yang masih berstatus eigendom tersebut masih dapat dilakukan
konversi menjadi hak milik dengan mengikuti ketentuan yang diatur dalam PP No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
H. Zaman Jepang
Kejayaan penjajah belanda lenyap setelah jepang berada di indonesia. Mereka
bertekuk lutut tanpa syarat kepada jepang. Mereka menguasai indonesia pada tahun
1942. Tujuan jepang ke indonesia ialah menjadikan indonesia sebagai sumber bahan
mentah dan tenaga manusia yang sangat besar artinya bagi kelangsungan perang
pasifik. Hal ini sesuai dengan cita-cita politik ekspansinya.
Mengenai pendidikan zaman jepang disebut “Hakko Ichiu”, yakni mengajak
bangsa indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama asia
raya. Oleh karena itu pelajar setiap hari terutama pada pagi hari harus mengucapkan
sumpah setia kepada kaisar jepang, lalu dilatih kemiliteran. Sistem persekolahan di

Politik Agraria | 295


zaman pendudukan jepang banyak perbedaannya dibandingkan dengan penjajahan
Belanda.
Jepang mengadakan perubahan di bidang pendidikan, di antaranya
menghapuskan dualisme pengajaran. Dengan begitu habislah riwayat penyusunan
pengajaran belanda yang dualistis membedakan antara pengajaran barat dan
pengajaran pribumi. Adapun susunan pengajaran menjadi, pertama, sekolah rakyat
enam tahun (termasuk sekolah pertama). Kedua, sekolah menengah tiga tahun.
Ketiga, sekolah menengah tinggi tiga tahun (SMA pada zaman Jepang).
Kebijakan politik jepang tampaknya tidak jauh dari skenario yang dibuat
Snouck Hurgronje, yaitu memisahkan Islam dari politik praktisnya. Jepang mulai
menerapkan pengawasan secara ketat terhadap organisasi-organisasi Islam, terutama
terhadap pendidikan Islam. Namun, paradok dengan yang pertama, rezim pendudukan
jepang juga membuka peluang bagi pemimpin-pemimpin Islam terlibat dalam
organisasi-organisasi politis yang diciptakannya. Dalam memobilisasi Islam
Indonesia, pemerintah jepang menciptakan hubungan yang sangat dekat dengan elit
muslim.
Dengan semboyan asia untuk bangsa asia, Jepang menguasai daerah yang
berpenduduk lebih dari 400 juta jiwa, yang antara lain menghasilkan 50% produksi
karet dan 70% produksi timah dunia, indonesia yang kaya akan sumber bahan mentah
merupakan sasaran yang perlu dibina dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk
kepentingan perang Jepang. Itulah sebabnya, jepang menyerbu indonesia, karena
tanah air indonesia merupakan sumber bahan-bahan mentah dan tenaga manusia yang
kaya raya sangat besar artinya bagi kelangsungan perang pasifik. Hal ini sesuai pula
dengan cita-cita politik ekspansinya.
Pada masa pemerintahan jepang, melalui pasal 10 osamu serei no. 4 tahun 1944,
aturan tentang kepemilikan serta penguasaan tanah lebih ditujukan bagi warga negara
jepang, bangsa asing, badan hukum jepang dan badan hukum WNI. Namun sejak
berlakunya undang-undang bala tentara pendudukan jepang tahun 1992, terjadi
penggarapan dan pendudukan terhadap tanah-tanah perkebunan serta perhutanan
untuk kepentingan jepang, sehingga kondisi ini mempersulit penggunaan serta
pemanfaatan tanah oleh penduduk pribumi. Kondisi ini berakhirpada tahun 1945,
yaitu saat jepang menyerah kepada sekutu.Sebelum UUPA diberlakukan, hukum tanah
yang berlaku di indonesia masihmerupakan hukum tanah warisan pemerintah hindia
belanda. Pada masa ini, filosofi hukum tanah yang dianut adalah: “Bumi, air dan
kekayaan alam yangterkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnyakemakmuran rakyat.” Filosofi ini masih berlaku hingga UUPA
diundangkan,yaitu pada tanggal 24 September 1960.Sesudah berlakunya UUPA,
hukum tanah nasional yang berlaku adalahhukum tanah yang mengatur jenis-
jenis hak atas tanah dalam aspek perdata dandalam aspek administrasi yang berisi
politik pertanahan nasional yang semuanya yaitu bertujuan akhir pada penciptaan
unifikasi hukum pertanahan di indonesia.UUPA sebagai hukum agraria nasional.
disaneer dari hukum adat.
Pemerintahan balatentara jepang menduduki dan menguasai bumi nusantara
kitaa untuk selama kurang lebih 3,5 tahun. Karena segala suatunya masih sangat
terpengaruh oleh semangat perang terutama di pasifik, mereka belum sempat untuk
mengubah undang-undang pertanahan sisa peninggalan belanda di nusantara kita.

Politik Agraria | 296


Walaupun demikian perlu dicacat dalam sejarah hukum pertanahan di negara
kita, bahwa pemerintahan balatentara jepang andilnya sangat besar dalam merusak
keadaan tanah di bumi nusantara kita, antara lain :
1. Mereka memaksakan agar tanah-tanah pertanian meningkatkan produksinya,
tanpa memikirkan kewajiban-kewajiban pemeliharaannya, yang hasilnya
dipergunakan untuk kepentingan perang mereka.
2. Penebangan hutan-hutan secara serampangan, sehingga menimbulkan kerusakan
pada struktur tanah.
3. Pendinamitan sungai-sungai yang diperkirakan banyak ikan didalamnya.
4. Penggalian gunung-gunung yang secara rahasia yang dijadikan terowong-
terowongan bagi penyimpanan senjata dan mesiu serta makanan tahan lama
dalam rangka persiapan melakukan peperangan dalam jangka Rakyat indonesia
pada waktu ini benar-benar kehidupannya ada di bawah garis kemiskinan,
banyak yang mati atau menderita, kelaparan, keadilan dapat dikatakan sama
sekali tidak ada.
5. Mengangkut sejumlah para petani kita untuk dijadikan romusha bagi
kepentingan perang jepang.
6. Rakyat indonesia pada waktu ini benar-benar kehidupanya ada di bawah garis
kemiskinan, banyak yang mati atau menderita, kelaperan, keadilan dapat
dikatakan sama sekali tidak ada.
Gerakan perlawanan di Indonesia yang pada zaman perjuangan kemerdekaan
dilakukan para pemimpin nasionalis Indonesia yang menolak bekerja sama dengan
pemerintah pendudukan jepang. Gerakan mereka tidak menjurus perlawanan
bersenjata, tetapi lebih bertujuan menggalang solidaritas dan memperteguh cita-cita
perjuangan. Mereka membentuk kelompok-kelompok yang saling berkomunikasi dan
bekerjasama, yang dipelopori antara lain sutan sjahrir dan amir sjarifuddin.
Pemimpin-pemimpin nasionalis indonesia seperti soekarno, mohammad hatta
dan sutan sjahrir mulanya bersikap menolak bekerja sarna dengan pemerintah
pendudukan, tetapi sikap ini kemudian berubah. Mereka bertiga memutuskan
melanjutkan perjuangan kemerdekaan indonesia melalui dua cara, "gerakan atas tanah
", yakni berjuang dalarn kerangka pemerintahan pendudukan jepang, dan "gerakan
bawah tanah", yakni gerakan secara rahasia di luar kerangka pemerintahan. Karena
itu, sejak tahun 1942, sejumlah pemimpin nasionalis di bawah pimpinan soekarno
hatta menyatakan diri bekerja sama dengan pemerintahan pendudukan jepang. Sjahrir
dengan beberapa tokoh lainnya bergerak secara tersembunyi meneruskan perjuangan
ke arah kemerdekaan. Kedua kelompok ini senantiasa mengadakan hubungan secara
rahasia, antara lain lewat tokoh johan sjaluwal dan A. halim.
Gerakan bawah tanah sutan sjahrir terbatas pada kontak-kontak pribadi dengan
sejumlah tokoh nasionalis lainnya dan golongan pemuda. Salah satu kegiatannya
adalah mendengarkan radio sekutu secara diam-diam dan menyebarluaskan informasi
di antara mereka, serta melakukan diskusi. Kelompok Sjalirir ini menyebar sampai di
luar jakarta, seperti di cirebon, garut, dan semarang. Tokoh lain dalam jaringan bawah
tanah ini adalah dr. sudarsono dari cirebon.
Amir sjarifuddin sebagai bekas tokoh organisasi gerakan rakyat indonesia
(Gerindo) yang condong ke faham kiri, bergerak lebih radikal. Dia membangun
jaringan kelompok di kalangan pemuda, akan tetapi gerakannya segera dicium
pemerintah pendudukan jepang dan ia ditangkap. Hanya karena campur tangan
sukarno hatta, ia terhindar dari hukuman mati. Tempat strategis untuk gerakan ini
adalah asrama-asrama, di antaranya yang terpenting adalah asrama angkatan baru

Politik Agraria | 297


indonesia, asrama indonesia merdeka, dan asrama fakultas kedokteran, dimana
dilakukan penempaan ideologi politik terhadap angkatan muda indonesia.
Pada tahun 1185 penasehat Oe Hirotomo menyerahkan pembentukan dua
lembaga:484
a. Shugo yaitu gubernur militer sebuah provinsi, bertugas menjaga ketertiban
diwilayahnya.
b. Jito yaitu penjaga tanah pribadi atau shoen yang mewakili kepentingan
Kamakura berupa pajak, bertugas memastikan semua pajak dibayar pada
waktunya oleh tuan tanah, dan memisahkan mana yang pajak mana yang
menjadi milik hak tanah (shiki).
Keluarga Minamoto digantikan oleh keluarga Hojo sebagai shogun. Pengaruh
Shogun dari Kamakura semakin kuat ke Kyoto seperti memilih raja dan menentukan
pejabat. Raja Go-Daigo membujuk keturunan Minamoto Yuritomo, Ahikaga Takauji
untuk bergabung dan menyerang Kamakura dan berhasil mendudukkan keluarga
Hojo. Periode Muromachi tahun 1336-1460 Go-Daigo menolak mengangkat anggota
Fujiwara sebagai Kampaku, dan menjadikan Ashikaga Takauji sebagai Shogun.
Ashikaga Takauji membelot dan memberontak kepada Go-Daigo,mendirikan markas
di Muromachi dan memindahkan pusat Bakufu dari Kamakura.
1. Kebijakan awal pemerintah jepang terhadap
indonesia mencari pengaruh masyarakat indonesia485
Dengan menyerahnya belanda hindia belanda tanpa syarat kepada jepang
pada 8 maret 1942, maka berahirlah pemerintahan hindia belanda di indonesia dan
secara resmi kekuasaan baru yang dipegang oleh jepang dimulai pada tanggal 9
maret 1942 pemerintah jepang menetapkan sebagai hari pembangunan Jawa Baru
yang memasuki sebagai anggota dari persemakmuran bersama Asia Timur Raya.
Tugas utama jepang adalah menghentikan revolusi-revolusi masyarakat pribumi
yang ditakutkan akan mengancam usaha penaklukan jepang seperti yang terjadi di
Sumatera dan Aceh meupakan salah satu gerakan revolusi untukmempertahankan
islam dan mendorong modernisasi sekolah-sekolah islam. Tetapi dengan cepatnya
penguasaan jepang terhadap indonesia pemerintahan yang dijalankan masih
bersifat pemerintahan militer.
Terdapat tiga militer yang telah dibangun jepang sebagai pangkalan terbesar
militer diantaranya adalah:
1. Pemerintah militer angkatan darat sebagai
tentara kedua puluh lima berkuasa di wilayah sumatera dengan pusa
kontrolnya berada di Bukittinggi
2. Pemerintahan militer angkatan darat keenam
belas berkuasa untuk daerah Jawa-Madura dengan pusat kontrolnya berada di
Batavia
3. Pemerintahan militer angkatan laut Armada
Selatan kedua berkuasa meliputi daerah Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku
yang pusat kontrolnya berasda di Makasar

2. Sistem Pendaftaran Tanah di Jepang


Pada masa keshogunan Kamakura(1185-1333) dan Muromachi (1333-
1568), Jepang menjalankan sistem pendaftaran tanah yang disebut Otabumi.
Dalam sistem ini, tiap provinsi diharuskan untuk menyediakan register-register
484
http://tonnydian.staff.umm.ac.id/files/2012/11/Jepang-Bagian-III.pdf (Minggu,17April 2016 , 10.43 )
485
Suhartono, kebijakan awal pemerinta jepang terhadap indonesia jakarta, 1988, hlm. 61

Politik Agraria | 298


mengenai tanah-tanah privat (shōen) dan tanah publik/umum (kokugaryō).
Ōtabumi terdiri dari dua rangkap, yang pertama diprakarsai oleh keshogunan yang
isinya tidak hanya mengenai kepemilikan lahan, ukuran lahan, dan tanah
pertanian, tetapi juga sejarah kepemilikan akan tanah tersebut dari masa ke masa.
Rangkap yang kedua dikumpulkan dan disimpan oleh pemerintah provinsi
(kokuga) dan hanya berisi mengenai bidang-bidang tanahnya. Fungsi dari
pendaftaran tanah ini adalah untuk menghitung nilai pajak yang akan dikenakan
kepada pemilik tanah.486
Sementara itu, survey pertanahan pertama di Jepang yang disebut
“Kadaster” dilaksanakan pada akhir abad ke-16. Tujuannya adalah untuk
mengetahui hasil panen beras dengan mengukur mengukur tanah pertanian dengan
standar yang sama. Survey pertanahan yang memang sesuai maknanya dengan
yang berkembang saat ini, dimulai di Jepang pada tahun 1873. Namun, hasilnya
tidak didasarkan pada jaringan titik kontrol geodetik nasional, dan tidak juga
ketepatan dimensi ataupun perbatasan. Setelah Perang Dunia Kedua, Undang-
undang Survey Tanah Nasional diberlakukan pada tahun 1951, dan dimulailah
reformasi pertanahan. Hingga kini, survey tersebut masih terus berkembang.
pemerintah Jokowi-JK mereformasi sistem agar semakin banyak tanah
bersertifikat. Sepanjang 2018, pemerintah telah membagikan sertifikat sebanyak
9,3 juta kepada masyarakat.
"Selama ini hal ini belum dapat perhatian serius dari pemerintah. Baru Pak
Jokowi yang melihat masalah ini dengan sangat serius," jelasnya.
Sertifikasi lahan yang gencar dilakukan pemerintah pun ikut mendorong
inklusi keuangan. Di mana, masyarakat tak lagi meminjam uang untuk modal ke
rentenir tanpa aturan yang tidak jelas.487
"Anda jualan bakso, tapi karena tanah tidak bersurat. Anda terpaksa pinjam
uang dari rentenir. Bunganya paling murah 10 persen per bulan, bisa lebih. Misal
pinjam Rp 5 juta, bayar bunga 1 bulan Rp 500 ribu," jelasnya.
"Begitu kita beri sertifikat, orang ini bisa pergi ke BRI, ambil KUR. Kalau
Rp 5 juta pinjamannya, bunganya sekitar Rp 40 ribu. Ini betapa bermanfaat bagi
rakyat," tandasnya.

3. Tujuan Pendaftaran Tanah


Survey Tanah Nasional telah dilaksanakan berdasarkan Undang-undang
Survey Tanah Nasional (Undang-undang No. 180 tahun 1951) dan Undang-
undang Pengukuran Khusus untuk Peningkatan Survey Tanah Nasional (Undang-
undang No. 143 tahun 1962). Survey Tanah Nasional bertujuan untuk
meningkatkan data utama terkait tanah di seluruh negeri guna pemanfaatan tanah
yang lebih efisien melalui survey yang lebih ilmiah dan komprehensif atas kondisi
terkini dari tanah nasional dan mereformasi pendaftarannya.
Survey Tanah Nasional terdiri dari survey kadaster, survey pengklasifikasian
atas tanah dan survey air. Survey kadaster merupakan salah satu Survey Tanah
Nasional yang didasarkan pada Undang-undang Survey Tanah Nasional. Terutama
dalam hal kota-kota melaksanakan survey kadaster terkait survey atas pemilik
tanah, nomor persil atas tanah, tipe tanah serta batas-batas dan luas dari persil
486
xa.yimg.com/kq/groups/30641028/.../BAB+II_SISTEM+PT_JEPANG.d.. (Di akses pada tanggal 17 April 2016, 11:43)
487
Ibid hal 56

Politik Agraria | 299


tanah. Setengah dari peta-peta yang disimpan dan digunakan di Kantor
Pendaftaran sebagai catatan terkait tanah di Jepang masih berdasarkan peta lama,
yang dibuat pada saat revisi sistem perpajakan tanah pada era Meiji (akhir abad
ke-19). Ada beberapa kasus dimana peta yang disimpan berbeda dengan bentuk
dan batas-batas yang sebenarnya, serta tidak akuratnya luas tanah yang tercatat.
Hasil dari survey kadaster diserahkan ke Kantor Pendaftaran untuk
memperbaharui buku dan peta register. Buku dan peta register terbaru akan sangat
berguna bagi kemudahan transaksi atas tanah dan administrasi yang efisien.
4. Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem pendaftaran tanah yang digunakan di Jepang adalah sistem
pendaftaran hak, dimana bukan akta yang didaftar melainkan haknya yang
diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian yang didaftar. Akta hanyalah
sumber data saja. Semua tanah di Jepang, pendaftarannya turut pada sistem ini,
kecuali untuk hutan nasional dan tanah publik. Departemen Kehutanan mengatur
secara tersendiri hutan nasional, sedangkan tanah publik biasanya tidak terdaftar
dan tercata di buku register.488
Pendaftaran hak atas tanah di Jepang sifatnya pilihan. Artinya, pemilik tanah
tidak wajib untuk mendaftarkan hak atas tanahnya. Walaupun demikian,
pendekatan yang digunakan oleh Jepang untuk sistem kadasternya adalah
pendekatan yang sistematik dimana pemilik tanah diminta untuk mendaftarkan
tanahnya pada saat penciptaan hak atas tanahnya pertama kali.
5. Konsep Kadaster
Survey Kadaster dilaksanakan oleh pemerintah daerah seperti
kotamadya/kabupaten. Unit utama yang disurvey adalah persil tanah, untuk
kemudian dicatat nama pemilik, nomor, tipe, batas-batas serta luas persil tanah.
6. Isi dari Sistem Kadaster
Komponen utama dari sistem kadaster ini adalah pemilik, nomor, batas-
batas dan luas setiap persil tanah. Data-data tersebut didaftar dan dipelihara.
Informasi tersebut pada dasarnya tertulis pada kertas, hanya sekitar 30% saja yang
baru dikomputerisasi.
7. Organisasi yang terkait dengan pelaksanaan sistem pendaftaran tanah
Departemen Kehakiman beserta jajarannya seperti Biro Hukum, Biro
Hukum Daerah dan Kantor Dinas Kehakiman di masing-masing daerah
bertanggung jawab dalam pendaftaran tanah. Sedangkan Divisi Survey Tanah
Nasional, Biro Pertanahan dan Perairan, Kementrian Pertanahan, Infrastruktur dan
Transportasi serta Divisi Survey Kadaster di tiap daerah bertanggung jawab dalam
survey kadaster.
Hampir sebagian besar survey kadaster dilaksanakan oleh swasta. Hanya
investigasi persil tanah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Ada 2 (dua)
asosiasi terkait survey kadaster yaki ALL Japan Land Survey Association dan
Japan Land Survey Association, yang menyediakan beberapa pengajar untuk
memberikan pelatihan kepada staf pemerintah daerah. Untuk melakukan survey
kadaster tidak diperlukan izin. Hanya izin “Surveyor Terdaftar” diperlukan untuk
melaksanakan survey geodetic. Ujian khusus diperlukan untuk dapat memperoleh
izin “Surveyor Terdaftar” tersebut.
488
Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah Edisi Revisi PP No. 13 Tahun 2010 : Tentang Jenis
dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan. (Bandung: CV Maju Mundur,
2005)

Politik Agraria | 300


8. Sistem Modern Hak Atas Tanah di Jepang
Jepang telah mempunyai system modern tentang hakatas tanah sejak tahun
1898, ketika Kodifikasi Hukum Perdata (Civil Code) nya mulai berlaku. Salah
satu tujuan utama dari pembuatan peraturan perundangan itu ialah:
menyeragamkan dan menyederhanakan Undang-Undang Tanah di seluruh negara
yang pernah dikuasai oleh Undang-Undang lokal yang berbeda-beda dan rumit
dalam suasana feodalisme Abad pertengahan. Sehubungan dengan itu maka
Undang-Undang membatasi jenis-jenis hak penguasaan yang akan dilindungi
sebagai hak-hak kebendaan sampai jumlah tertentu dan merumuskan isinya secara
uniform. Adapun hak-hak kebendaan atas tanah yang diakui oleh Undang-Undang
ialah sebagai berikut: 489
a. Hak Milik
Hak milik merupakan hak penguasaan seluas-luasnya atas benda oleh
personal atau subjek hukum yang diakui Undang-Undang. Hukum Jepang
menyusun konsepsi hak milik berdasarkan pengertian dominium dalam hukum
rumawi. Dengan demikian maka si pemilik mempunyai hak mutlak atas benda
atau objek, sehingga wewenang memakai dan mengasingkannya menurut
kehendaknya, dalam kontes-kontes yang ditetapkan Undang-Undang. Jenis
beban yang dapat diletakkan diatasnya dibatasi seminimal mungkin. Dan bila
ada, maka beban itu secara cermat dipisahkan atas hak milik atas benda, yang
dipandang tetap memiliki sepasi sifat dari hak yang tidak terpecah-pecah atas
benda, dan dapat memperoleh kembali kebulatan semula dengan hilangnya
beban-beban tersebut di atas. Jadi hak milik itu berdaya laku tak terbatas atau
selama-lamanya.
“Pemilik berhak menggunakan benda kepunyaannya secara bebas,
menikmati hasilnya dan mengasingkannya, dengan memperhatikan
pembatasan-pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang” (Civil Code Pasal
206). Hasil itu bisa berupa fructus naturalis atau fructus civilis, sedangkan
penguasaannya mungkin fisik, misalnya mengubah atau memusnahkannya
secara fisik, mungkin yuridis, seperti menjual atau menghipotikkannnya.
Hak milik, seperti jenis-jenis hak lainnya, ditundukkan kepada
pembatasan-pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang, dan pembatasan
itu, kususnya terhadap pemilikan tanah, bertambah dalam jumlahnya. Tetapi
Undang-Undang mengakui sebagai asas umum bahwa suatu persona atau
subyek hokum boleh menggunakan benda miliknya sesuai dengan
kehendaknya, dan arti pentingnya asumsi tersebut tidaklah berkurang dengan
adanya kenyataan bahwa jumlah pembatasan terhadap hak milik itu
bertambah, karena pembatasan tadi pada umumnya dirumuskan cukup cermat,
sedangkan tipe-tipe pemanfaatan yang diizinkan atas benda milik itu
merupakan suatu daftar terbuka. Isi hak milik atas tanah itu di batasi dengan
berbagai cara, diantaranya ;490
1. Pertama: cara bmengusahakan tanah milik dibatasi dengan ajaran umum
yang melarang penyalahgunaan hak. Jadi sekalipun pada prinsipnya
pemilikan tanah itu meluas keatas maupun ke bawah tanpa limit, namun

489
Imam Sudiyat, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah Di Berbagai Masyarakat Sedang Berkembang (Yogyakarta:
Liberty, 1982), hlm. 194.
490
Ibid., hlm. 195.

Politik Agraria | 301


hak pemilik untuk menguasainnya secara eksklusif hanya dibenarkan
sampai suatu batas luas rasional sesuai dengan kebutuhannya yang
hakiki. Misalnya ia tidak boleh mengadu atau mengeluh karena ada
pesawat udara yang terbang tinggi di atas tanahnya. Lagipula, pemilik
tanah tidak dibenarkan mengusahakan tanahnya sehingga menimbiulkan
gangguan di luar batas kewajaran bagi para tetanggannya, dengan
membuat suara gaduh atau gemuruh, asap atau uap, getaran atau
goncangan dan sebagainnya.
2. Kedua, antara pemilik tanah yang satu dengan pemilik tanah (tetangga)
yang lain terdapat pengaruh timbal balik. Setiap pemilik tanah berhak
menggunakan tanah yang berdampingan dengan cara-cara tertentu untuk
kepentingannya, sedangkan pemilik yang lain harus menenggangnya.
Jadi kalua salah seorang pemilik tanah ingin mendirikan atau
memperbaii tembok ataupun bangunan di atas atau di dekat garis batas,
ia boleh memakai tanah itu sepanjang diperlukan untuk kepentingan
pendirian atau perbaikan tembok atau bangunan tersebut. Jika sebidang
tanah dikelilingi rapat-rapat oleh tanah orang lain sehingga tidak ada
pintu atau jalan kluar ke jalan raya atau umum, maka pemilik tanah
pertama boleh melintasi tanah pemilik kedua untuk mencapai jalan raya.
Pemilik tanah tidak boleh menghambat arus air yang wajar
berdampingan: dan salah seorang pemilik tanah yang akan
mengeringkan tanahnya yang basah atau inggin membuang air yang
berlebihan boleh mengngalirkan airnya melalui tanah yang lebih rendah
ke jalan besar, bak atau selokan, tetapi tempat dan cara konstruksi
saluran atau pipanya haruslah di usahakan supaya sedapat-dapat jangan
sampai menimbulkan kerusakan pada tanah yang lebih rendah itu. Lagi
pula, para pemilik tanah tidak di benarkan mendirikan gedung,sumur,
atau kolam atau empang di dekat garis batas.
3. Ketiga: banyaklah pembatasan yang diletakkan atas pemilikan tanah
oleh hokum publik. Sebidang tanah dapat diambil secara paksa dari
pemiliknya untuk pendirian perusahaan negara yang memenuhi hajat
orang banyak, dengan konspensasi yang patut, untuk pendapatan atau
penerimaan semacam itu persyaratan dan prosedurnya yang ketat
dituangkan dalam peraturan perundangan. Terdapat sejumlah peraturan
Daerah yang membatasi cara-cara pengembangan tanah di wilayah-
wilayah tertentu. Rencana pengembangan itu harus darat di terima oleh
Kepala Pemerintah Lokal, sedangkan ukuran dan tipe gedung-gedung
yang akan dibangun atau dipelihara diatasnya diatur oleh Undang-
Undang atau Pemerintah Daerah. Dalam pada itu cara-cara menggali dan
mengusahakan bahan mineral di atas atau di bawah tanah di atur dengan
Undang-Undang kusus.
Hak milik atas tanah yang dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian
dibatasi oleh berbagai cara oleh Undang-Undang Tanah Pertanian tahun 1952,
yang ditetapkan untuk melindungi kepentingan para petani dan memperbesar
produktifitas pertanian, sedangkan untuk mencapai tujuan itu Jepang telah
melaksanakan reformasi tanah pertanian sesudah Perang Dunia II. Dengan
demikian maka tanah pertanian hanyalah dapat diasingkan dengan izin Kepala

Politik Agraria | 302


Pemerintah Daerah yang bersangkutan atauMentri Pertanian dan Kehutanan.
Setiap konversi tanah pertanian menjadi tanah pekarangan dan tujuan-tujuan
lainpun memerlukan izin para Pejabat tersebut.
b. Hak Guna Bangunan
Sebagai hak kebendaan, superficies memberikan wewenang kepada
suatu personal/seseorang untuk menempati dan menggunakan tanah milik
orang atau subjek hukum lain, dengan mempunyai bangunan atau pohon-
pohon di atasnya. Pemakaian berdasarkan hak guna bangunan itu tidak harus
terbatas pada pemanfaatan permukaan tanah saja. Superficies itu dapat berupa
hak menggunakan wilayah udara terbatas di atas atau suatu bagian di bawah
tanah, misalnya untuk membuat dan memelihara suatu trowongan.
Suatu hak memanfaatkan tanah milik orang lain untuk tujuan serupa
dengan superficies, dapat berupa sewa, yang menunjukkan perbedaan pula,
karena hak sewa itu termasuk hak personal terhadap pemilik, sedangkan
superficies adalah hak kebendaan. Mengenai akibatnya, kedua bentuk sewa
tanah itu pada pokoknya berbeda dalam dua butir: 491
1. Sebagai hak kebendaan- bila terdaftar hak guna bangunan dapat di
pertahankan terhadap personal atau pihak ke tiga , dan meskipun hak itu
tidak dapat di registrasikan kecuali kalua pemilik dan pemegang hak
guna bangunan sama sama mengajukan permohonan pendaftaran,
sipemilik tanah di wajibkan bekerja sama dengan pemegang hak guna
bangunan untuk mendaftarkan hak tersebut.
Terserah kepada pertimbangan si pemilik, apakah transaksi sewa
itu akan di daftarkan atau tidak, tetapi biasanya dia tidak mau
membantu, karena ia tidak menyukai adanya hak yang lebih kuat
(sebagai beban) di atas tanah miliknya.itulah sebabnya mengapa
kebanyakan transaksi sewa tanah itu tidak terdaftar dan tetap tidak dapat
di pertahankan terhadap personal ke tiga, seperti terhadap subyek
pembeli tanah yang telah di sewakan.
2. Tanpa persetujuan pemilik tanah, pemegang hak guna bangunan dapat
memindahkan haknya atau menyewakan kembali tanah yang
bersangkutan selama hak sewanya berlaku,sedangkan seorang penyewa
biasa tidak dapat melakukan tindakan semacam itu tanpa persetujuan
suka rela dari pemilik tanah, yang biasanya tidak di berikannya. Situasi
demikian itu tidak menyenangkan khususnya pada penyewa bangunan
beserta tambahannya, demikian pula tanah pertanian, dan peraturan
perundangan khusus telah di tetapkan untuk membebaskan para
penyewa, penghuni jenis itu dari suasana yang menyusahkan.
Suatu hak guna bangunan biasanya di ciptakan sebagai hak denga isi
tertentu bedasarkan kontrak antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak.
Hak itu biasanya diberikan dengan pembayaran sewa meskipun mungkin juga
gratis. Syarat panjang pendeknya hak itu dapat di tetapkan bedasarkan kata
sepakat para pihak yang bersangkutan, tetapi jika tidak di tentukan dengan
jelas maka atas permintaan para pihak hakim dapat menetapkan jangka waktu
berlakunya antara 20 dan 50 tahun. Akan tetapi apabila hak itu digunakan
untuk memiliki bangunan diatas tanah yang bersangkutan, maka para pihak
491
Imam Sudiyat, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah… hlm. 197.

Politik Agraria | 303


tidak boleh menetapkan masa berlakunya kurang dari 20 tahun jika
bangunannya terbuat dari kayu, dan kurang dari 30 tahun dalam hal bangunan
itu di buat dari batu atau material keras lainnya. Ketentuan-ketentuan khusus
bagi penyewa gedung-gedung beserta tambahannya, dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan istimewa kepada para penyewa yang pada
hakikatnya berada dalam posisi ekonomis yang lebih lemah dari pemilik
tanah.492
Pemegang hak guna bangunan boleh menempati dan memakai tanah
untuk tujuan yang disetujui pemilik tanah. Tetapi ia tidak boleh mengadakan
perubahan atas tanah yang akan menimbulkan kerusakan permanen pada
tanah. Pada waktu hak itu berakhir, pemegang superficies berhak mengambil
atau membawa pergi bangunan atau pohon-pohon miliknya dari tanah yang
bersangkutan. Tetapi jika pemilik tanah menyatakan akan membeli benda-
benda tersebut dengan harga pasar atau umum, maka pemegang superficies
tidak boleh menolak penjualannya.
c. Emphyteusis, Hak Guna Usaha
Emphyteusis merupakan suatu hak kebendaan untuk menggunakan tanah
milik subyek hokum lain dengan tujuan: menyelenggarakan atau
membudidayakan pertanian atau peternakan diatasnya dengan pembayaran
sewa. Hak guna usaha ini berasal dari Abad Pertengahan dan biasanya
merupakan bentuk sewa yang terkuat. Pemegang hak guna usaha dapat
menguasai tanah it uterus menerus asalkan dia membayar sewa secara kontinu
dan tidak melakukan kesalahan yang menyolok.
Kondifikasi hukum perdata modern menggolongkan emphyteusis itu ke
dalam jenis hak kebendaan yang jika terdaftar dapat dipertahankan terhadap
pihak ketiga, dan membatasi masa berlakunya sampai 50 tahun. Hal ini
dilakukan agar tidak membuat beban yang terlalu berat di atas hak pemilik
tanah yang bersangkutan. Hak guna usaha itu pada hakekatnya dihasilkan oleh
kata sepakat antara pemilik tanah dan calon penyewa. Tetapi perjanjian itu
harus diligalisirkan oleh Kepala Pemerintah Lokal. Para pihak boleh
menetapkan jangka waktu berlakunya hak itu menurut selera mereka antara 20
sampai 50 tahun. Manakala mereka tidak menetapkannya, maka Undang-
Undanglah yang menentukan batas waktu 30 tahun, kecuali jika diatur dalam
hukum kebiasaan lokal.
Dalam UUPA Hak Guna Usaha diatur dalam 7 pasal yaitu pasal 28
samapai dengan pasal 34. Hak Guna Usaha ini adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu
paling lama 25 dan 35 tahun. Jangka waktu tergantung dari sifat
perusahaannya dan dapat diperpanjang lagi sampai 25 tahun.493
d. Servitude, servitut, Numpang Karang
Servitude adalah hak seorang untuk memanfaatkan tanah orang lain
guna kepentingan tanah orang lain guna kepentingan tanah orang yang
pertama untuk tujuan yang diperinci dalam akta atau Undang-Undang yang
melahirkan hak tersebut. Servitut itu merupakan suatu hak kebendaan yang
melekat pada tanah yang dominan. Hukum Jepang tidak mengenal atau
492
Ibid., hlm. 198-199.
493
Bachsan Mustafa, Hukum Agraria Dalam Perspektif (Bandung: Remadja Karya, 1988) hlm. 40.

Politik Agraria | 304


mengakui servitut pada umumnya sebagai hak kebendaan, meskipun suatu hak
dengan isi yang sama seperti servitut dapat diciptakan sebagai hak sewa
bersifat personal, yang tidak dapat dipindahkan ke tangan orang ketiga tanpa
persetujuan pemilik tanah pengabdi, dan tidak dapat dipertahankan terhadap
orang ketiga tanpa registrasi lebih dahulu, sedangkan pendaftaran itu tidak
dapat dicapai tanpa kerjasama atau bantuan pemilik tanah.
Suatu hak numpang karang dapat diadakan misalnya sebagai hak untuk
melalui tanah pengabdi (hak jalan), hak untuk mengalirkan air dari atau
melintasi tanah pengabdi kea tau dari tanah dominan, hak melarang untuk
kepentingan tanah dominan, suatu cara mengusahakan tanah pengabdi, seperti
membangun pabrik atau toko di atasnya (sejenis perjanjian yang bersifat
membatasi). Servitut dapat dihasilkan dengan kontrak atau perjanjian atau
daluwarsa. Akan tetapi yang diperoleh dengan jalan daluwarsa hanyalah
servitut yang berjalan terus menerus dan terlihat dengan jelas.
e. Securities, Jaminan/Tanggungan
Hukum mengenal berbagai jenis hak kebendaan atas tanah sebagai
jaminan terhadap utang:494
1. Suatu hak menguasai benda milik debitor sampai utangnya terbayar,
ialah hak menahan penguasaan harta milik subyek hukum lain sampai
utangnya terbayar, dapat berupa tanahmaupun benda gerak. Hak
tanggunagan itu oleh hukum diberikan kepada kreditor sebagai jaminan
piutangnya dengan benda milik debitor yang dikuasainya. Jadi kalua
penyewa rumah telah memperbaikinya untuk kepentingan pemilik tanah,
maka penyewa dapat menahan rumah itu sampai biaya reparai tersebut
diganti oleh pemilik tanah. Hak tanggungan itu tidak memberikan
wewenang kepada pemegang hak tersebut untuk menjual benda
jaminannya, kecuali kalua kompetisi itu tegas-tegas dinyatakan dalam
kontrak.
2. Kreditor piutang tertentu yang disebutkan dalam Undang-Undang, diberi
hak mendahulu (priveligium), sehingga dengan menguasai harta debitor,
termasuk tanah dapat menikmati pemenuhan tuntutannya lebih utama
daripada kreditor lainya. Hak mendahulu itu tidak memberikan
wewenang kepada kreditor untuk memiliki harta debitor, tetapi semacam
hak jaminan dengan harta debitor. Hak ini dapat dipertahankan terhadap
subyek hukum ketiga tanpa pendaftaran (hak tersebut).
3. Pledge, suatu hak kebendaan, timbul karena penyerahan penguasaan
harta milik debitor atau subyek hukum lain, baik benda gerak maupun
benda tak gerak, kepada kreditor. Kreditor atau pemegang pledge
mempunyai hak menguasai benda yang diterimannya sebagai jaminan
bagi kewajiban atau perutangan yang menguntungkan baginnya dan
untuk memperoleh pemenuhan piutangnya lebih utama daripada kreditor
lainnya. Hak pledge atas tanah dapat dipertahankan terhadap subyek
hukum ketiga jika didaftarkan.
4. Tanah dapat dihipotikan kepada kreditor sebagai jaminan akan
terpenuhinnya kewajiban atau perutangan debitor kepadanya. Hak
hipotik itu tidak memberikan wewenang kepada pemegang surat hipotik
494
Imam Sudiyat, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah… hlm. 202.

Politik Agraria | 305


untuk memiliki tanah jaminan yang bersangkutan, sedangkan sidebitor
dengan jaminan sipemilik tanah boleh meneruskan pemanfaatan
tanahnya secara fisik atau menyediakannya sebagai jaminan untuk utang
lainnya. Kreditor pemegang hak hipotik mempunyai hak prioritas atas
pembayaran piutangnya kalua hipotik itu terdaftar. Di Jepang hipotik itu
merupakan tipe jaminanyang paling popular, dengan tanah sebagai
benda atau obyeknya.
Sedangkan Hak Tanggungan dalam buku Urip Santoso adalah satu-
satunya hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional. Menurut Pasal
51 UUPA, Hak Tanggunagn lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang.
Undang-Undang yang dimaksudkan disini adalah Undang-Undang No.4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah.495
I. Zaman Kemerdekaan
Di awal kemerdekaan, pemerintahan Soekarno – Hatta sudah memberi perhatian
pada masalah agraria. Pemerintah membentuk Panitia Agraria berdasarkan Penetapan
Presiden No. 16 Tahun 1948. Panitia Agraria ini diketuai Sarimin Reksodihardjo.
Tugasnya adalah memberi usulan dan pemikiran untuk membuat Undang-Undang
Agraria menggantikan UU Kolonial. Inilah cikal bakal lahirnya UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang sering disingkat UUPA. Lahirnya
UUPA ini melalui proses yang panjang dengan berganti Panitia Agraria. Mulai dari
Panitia Agraria Jogja (1948), kemudian Panitia Jakarta (1951), Panitia Soewahjo
(1956), Rancangan Soenario (1958), sampai dengan Rancangan Sadjarwo (1960).
Proses panjang ini tidak lepas dari persoalan negara baru yang menyesuaikan berbagai
aturan.
Di samping itu terjadi pula perdebatan filosofis dan teknis tentang arah UUPA.
Namun, semua rancangan UUPA itu sudah meletakkan dasar-dasar keberpihakan pada
rakyat dan petani. Setelah Pemilu 1955, Panitia Agraria di bawah Soewahjo
Soemodilogo berhasil menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria
Nasional yang intinya penghapusan asas domein(kolonial) diganti penguasaan oleh
negara dan asas bahwa tanah dikerjakan oleh pemiliknya. Sayangnya, Panitia
Soewahjo tidak sampai meneruskan RUU ke DPR. Baru pada masa Panitia Soenario,
tepatnya 24 April 1958, pemerintah menyampaikan RUU PA. Namun, Presiden
Soekarno ketika itu meminta adanya pengkajian yang lebih mendalam dengan
melibatkan Panitia ad hoc DPR, Universitas Gadjah Mada dan Departemen Agraria.
Dari pengkajian itu akhirnya disusunlah naskah baru RUU PA pada 1959.
Naskah ini disampaikan pada DPR GR sebagai Rancangan Sadjarwo pada 1 Agustus
1960. Pada 24 September 1960, RUU ini oleh DPR GR diundangkan sebagai UU No.
5 Tahun 1960 atau dikenal juga dengan nama Undang-Undang Landreform. Dalam
sidang Dewan Pertimbangan Agung pada 13 Januari 1960, Menteri Agraria Sadjarwo
menyatakan ada tiga pekerjaan di bidang agraria. Pertama, perubahan UU Agraria
Kolonial yang masih berdasar atas domein-beginsel dan penyusunan UU Agraria
Nasional. Kedua, Land-reform yang artinya perubahan dasar struktur pertanahan.
Ketiga, Land-use-planningatau perencanaan penggunaan tanah dalam rangka
pembangunan semata. Menurut Sadjarwo, UUPA berlandaskan Pasal 33 UUD 1945
bahwa bumi dan air dikuasai oleh negara untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.

495
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 85.

Politik Agraria | 306


Karenanegara adalah penjelmaan rakyat, maka negara mempunyai hak untuk
mengatur, membangun wilayah, untuk kepentingan rakyat dan negara agar tercapai
masyarakat yang adil dan makmur. Mengingat UUPA hanya peraturanperaturan dasar
dan mengenai hal-hal pokok, maka UU tersebut perlu dilengkapi dengan perangkat
peraturan lanjutan. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Aturan ini
secara populer dikenal sebagai Undang-Undang Landreform. Aturan ini
memerintahkan kepada pemerintah untuk mengusahakan agar setiap keluarga petani
memiliki minimal 2 hektar tanah.496
Gerakan Land-reform muncul karena tidak adanya keadilan sosial dalam
masyarakat pertanian. Tanah dikuasai oleh tuan tanah (land-lords), sementara petani
kecil dan petani tanpa tanah semakin banyak jumlahnya. Mereka menuntut tanah
diberikan kepada petani. Seperti kata Sadjarwo, tujuan land-reform adalah untuk
mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah,
dengan maksud ada pembagian hasil yang adil pula. Tidak dapat dipungkiri bahwa
UUPA, seperti kata Presiden Soekarno, adalah tonggak untuk mengikis habis sisa-sisa
imperialisme dalam lapangan pertanahan agar rakyat tani dapat membebaskan diri
dari berbagai macam penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah. Bahkan
Bung Karno menyebut, “Land-reform adalah bagian mutlak dari Revolusi kita.” Pada
26 Agustus 1963, melalui Keputusan Presiden RI No. 169 Tahun 1963, tanggal 24
September, tanggal lahirnya UUPA, ditetapkan sebagai Hari Tani.
Setelah Kemerdekaan, sebagai warisan dari Jaman Hindia Belanda, urusan
agraria tetap berada di lingkungan Departemen (Kementrian) Dalam Negeri, hal ini
berlangsung sampai dengan tahun 1955, saat dibentuknya Kementrian
Agraria.Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia adalah kementerian
yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang agraria/pertanahan dan
tata ruang dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara. Kementerian Agraria dan Tata Ruang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden.497
Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia dijabat oleh seorang
menteri yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sejak 27
Oktober 2014 Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia dipimpin oleh
Ferry Mursyidan Baldan.Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia
pertama kali dibentuk pada tahun 1955 melalui Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun
1955. Sebelum menjadi kementerian pada tahun 1955, urusan agraria diselenggarakan
oleh Departemen Dalam Negeri. Hal ini dikarenakan awalnya pemerintah pada waktu
itu menganggap bahwa urusan agraria belum merupakan urusan strategis sehingga
cukup diselenggarakan oleh suatu lembaga di bawah kementerian.
Dengan ini, berakhirnya pemerintahan kolonial telah mewariskan permasalahan
pertanahan bagi bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan rakyat merasa bebas untuk
mendapatkan kembali tanah peninggalan nenek moyangnya yang selama ini dikuasai
oleh orang Belanda.Tanah-tanah perkebunan milik Belanda yang ditinggalkan
Belanda dan menjadi terlantar kemudian diduduki olehrakyat dan dijadikan lahan
pertanian.Istilah yang dikenal pada saat itu adalah pendudukan liar oleh

496
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam
Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Citra Aditya, Bandung, 1996) hal 43
497
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kementerian_Agraria_dan_Tata_Ruang_Republik_Indonesia

Politik Agraria | 307


petani.Persoalan muncul ketika ditandatanganinya persetujuan KMB pada tahun 1949.
Pemerintah RIS memberikan pengakuan hak orang asing akan tanah, yaitu hak
konsesi dan hak erfpacht serta hak untuk mengusahakan selanjutnya. 498Pendudukan
lahan oleh petani dengan demikian memiliki hukum semu sementara pengusaha
perkebunan memiliki hukum yang sah.
Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah berkeinginan agar di satu pihak
kepentingan penguasaha perkebunan mendapat perlindungan karena sektor ini
merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang cukup penting. Di lain pihak
petani yang kehidupannya tergantung pada tanah juga harus mendapat perlindungan
hukum, antara lain dengan adanya ketentuan untuk mengakui keberadaan buruh yang
sudah bekerja pada perusahaan tersebut dan rakyat yang menduduki dan menggarap
lahan-lahan perkebunan. Mereka tidak boleh diusir secara sewenang-
wenang.Meskipun aturan hukum menempatkan kepentingan semua pihak, tetapi
dalam pelaksanaannya petani harus kecewa dengan adanya koalisi kekuatan ekonomi
pengusaha perkebunan dengan kekuatan politik penguasa lokal.
Pada saat itu pula, perlawanan petani semakin diperkuat dengan adanya
kebebasan berorganisasi, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani Indonesia
(RTI), Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia (Sarbupri), dan Persatuan Tani Nasional
Indonesia (Petani). Organisasi-organisasi tersebut juga berafiliasi dengan partai politik
sehingga perlawanan mereka semakin kuat seperti terbukti dengan terjadinya
Peristiwa Tanjung Morawa pada tanggal 16 Maret 1953 yang menyebabkan jatuhnya
kabinet Wilopo dan dibentuknya Kementrian Urusan Agraria. 499Selanjutnya
pemerintah mengeluarkan Undang-undang Darurat No 8 tahun 1954 tentang
pemakaian tanah perkebunan hak erfpacht oleh rakyat, bahwa pendudukan lahan tidak
dinyatakan sebagai melanggar hukum dan penyelesaiannya diupayakan pemerintah
melalui pemberian hak dan perundingan antara pihak yang bersengketa.
Kebijakan tanah yang bersifat populis lain pada era Orde Lama adalah
dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UU No. 5 Tahun 1960).17
Undang-undang ini mendasarkan pada hukum adat yang telah disempurnakan
sehingga segala bentuk hak-hak tanah di zaman Belanda dihapuskan dan diubah
menjadi hak-hak yang diatur oleh UUPA. UUPA menetapkan pembatasan penguasaan
tanah agar tidak merugikan kepentingan umum, melindungi hak-hak tanah
perseorangan yang diletakkan dalam dimensi fungsional, yang berarti hak atas tanah
mengacu pada kepentingan umum.
Implementasi program land reform untuk membatasi luas pemilikan tanah ini
dalam pelaksanaannya ternyata mengalami hambatan. Para tuan tanah berusaha
menghindari ketentuan-ketentuan UUPA dengan berbagai cara. Hal lain yang menarik
dari masalah tanah pada saat itu adalah digunakannya pelaksanaan land reform
sebagai strategi PKI untuk menanamkan pengaruhnya di kalangan masyarakat
pedesaan. PKI menggunakan isu land reform untuk mempolarisasikan penduduk desa
menjadi dua kelas yang bertentangan, yaitu tuan tanah “setan desa” dan petani.
500
Pada akhirnya terjadi konflik sosial antara para petani tak bertanah dengan tuan
tanah ketika PKI dengan alasan bahwa pemerintah tidak mampu melaksanakan land
reform, memaksakan pelaksanaan land reform melalui tindakan-tindakan aksi
sepihak.

498
M. Tauchid, Masalah Agraria sebagai Maslah Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia, Bagian kedua (Djakarta:
Tjacrawala, 1953), hlm.13
499
Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991). Hal 23
500
Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1993), hlm. 15.

Politik Agraria | 308


Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada 24 September
1960. Pada hari itu, rancangan Undang-Undang Pokok Agraria disetujui dan disahkan
menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Dengan berlakunya UUPA tersebut,
untuk pertama kalinya pengaturan tanah di Indonesia menggunakan produk hukum
nasional yang bersumber dari hukum adat. Dengan ini pula Agrarische Wet
dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Tahun 1960 ini menandai berakhirnya dualisme
hukum agraria di Indonesia.
Pada 1964, meIalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964,
ditetapkan tugas, susunan, dan pimpinan Departemen Agraria. Peraturan tersebut
nantinya disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1965
yang mengurai tugas Departemen Agraria serta menambahkan Direktorat
Transmigrasi dan Kehutanan ke dalam organisasi. Pada periode ini, terjadi
penggabungan antara Kantor Inspeksi Agraria-Departemen Dalam Negeri, Direktorat
Tata Bumi-Departemen Pertanian, Kantor Pendaftaran Tanah-Departemen
Kehakiman.
Pada 1965, Departemen Agraria kembali diciutkan secara kelembagaan menjadi
Direktorat Jenderal. Hanya saja, cakupannya ditambah dengan Direktorat bidang
Transmigrasi sehingga namanya menjadi Direktorat Jenderal Agraria dan
Transmigrasi, di bawah Departemen Dalam Negeri. Penciutan ini dilakukan oleh
Pemerintah Orde Baru dengan alasan efisiensi dan penyederhanaan organisasi.
Namun struktur ini tidak bertahan lama karena pada tahun yang sama terjadi
perubahan organisasi yang mendasar. Direktorat Jenderal Agraria tetap menjadi salah
satu bagian dari Departemen Dalam Negeri dan berstatus Direktorat Jenderal,
sedangkan permasalahan transmigrasi ditarik ke dalam Departemen Veteran,
Transmigrasi, dan Koperasi.
Pada 1972, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 145 Tahun 1969 dicabut
dan diganti dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1972, yang
menyebutkan penyatuan instansi Agraria di daerah. Di tingkat provinsi, dibentuk
Kantor Direktorat Agraria Provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota dibentuk
Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya.
Tahun 1988 merupakan tonggak bersejarah karena saat itu terbit Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Sejalan dengan
meningkatnya pembangunan nasional yang menjadi tema sentral proyek ekonomi –
politik Orde Baru, kebutuhan akan tanah juga makin meningkat. Persoalan yang
dihadapi Direktorat Jenderal Agraria bertambah berat dan rumit. Untuk mengatasi hal
tersebut, status Direktorat Jenderal Agraria ditingkatkan menjadi Lembaga
Pemerintah Non Departemen dengan nama Badan Pertanahan Nasional. Dengan
lahirnya Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tersebut, Badan Pertanahan
Nasional bertanggung jawab langsung kepada Presiden.Berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 96 Tahun 1993, tugas Kepala Badan Pertanahan Nasional kini
dirangkap oleh Menteri Negara Agraria. Kedua lembaga tersebut dipimpin oleh satu
orang sebagai Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dalam
pelaksanaan tugasnya, Kantor Menteri Negara Agraria berkonsentrasi merumuskan
kebijakan yang bersifat koordinasi, sedangkan Badan Pertanahan Nasional lebih
berkonsentrasi pada hal-hal yang bersifat operasional.Pada masa kepemimpinan
Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 1999, Kementerian Negara Agraria
dibubarkan melalui Keputusan Presiden Nomor 154 Tahun 1999 tentang Perubahan

Politik Agraria | 309


Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988. Kepala Badan Pertanahan Nasional
dirangkap oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Pelaksanaan pengelolaan
pertanahan sehari-harinya dilaksanakan Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang mempunyai tugas menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang untuk membantu
Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.501 Dalam melaksanakan
tugas, Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyelenggarakan fungsi: perumusan,
penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang tata ruang, infrastruktur
keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum keagrariaan/pertanahan, penataan
agraria/pertanahan, pengadaan tanah, pengendalian pemanfaatan ruang dan
penguasaan tanah, serta penanganan masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang,
dan tanah. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan
Tata Ruang pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Agraria dan Tata Ruang pengawasan atas pelaksanaan tugas di
lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang pelaksanaan bimbingan teknis dan
supervisi ataspelaksanaan urusan Kementerian Agraria dan Tata Ruang di daerah dan
pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Tahun 1955, Berdasarkan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1955 dibentuk
Kementrian Agraria yang berdiri sendiri. Tugasya sebagai berikut :
1. Mempersiapkan pembentukan perundang-undangan agraria Nasionalyang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan pasal-pasal 26, 27 ayat (1) dan pasal 38 Undang-
Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
2. Melaksanakan dan mengawasi perundang-undangan agraria pada umumnya
serta memberi pimpinan dan petunjuk-petunjuk tentang pelaksanaannya pada
khususnya.
3. Menjalankan segala usaha untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian
hak atas tanah bagi rakyat.
Dengan keputusan Presiden No. 190 Tahun 1957 ditetapkan bahwa jawatan
pendaftaran tanah semula masuk dalam lingkungan kementrian kehakiman dialihkan
dalam lingkungan tugas kementrian agraria maka tugas ditambah menjadi :
 Pengukuran, pemetaan dan pembukuan semua tanah di wilayah R.I.
 Pembukuan hak-hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak-hak tersebut.
Dengan Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1964 telah ditetapkan tugas dan
susunan pimpinan Departemen Agraria sebagai berikut:
- Menyelenggarakan Landreform dalam arti luas.
- Menyelenggarakan likwidasi hak-hak dan sisa-sisa feodal atas tanah.
- Menyelenggarakan Landuse Planing.
- Menyelenggarakan penyelesaian pembangunan hukum agraria nasional.
- Menyelenggarakan administrasi dalam arti luas.
Peraturan Menteri Agraria No.1 Tahun 1964 kemudian disempurnakan dengan
Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1965, dengan ketentuan tugas sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan Landeform dalam arti luas meliputi:
a. Penjebolan dan pembangunan kembali sistem pemilikan dan penguasaan
tanah (landeform dalam arti sempit).
b. Penjebolan serta penetapan kembali cara-caraa penggunaan tanah (Landuse).
c. Penjebolan hukum agraria kolonial serta pembangunan kembali Hukum
Agraria Nasional yang progresif refolusioner.
501
Sembiring Jimmy, Panduan Mengurus Sertifikat Tanah, Jagakarsa, Jakarta.

Politik Agraria | 310


2. Menyelenggarakan tugas-tugas agraria umum. Meliputi:
a. Pemberian hak-hak
b. Perpanjangan hak-hak
c. Pencabutan hak atas tanah
d. Menyelenggarakan administrasi dalam arti luas.
- Pengukuran dan pemetaan tanah
- Inventarisasi hak-hak atas tanah
- Pengukuran kepastian hukum hak-hak atas tanah.
- Pengawasan peralihan hak-hak aitas tanah.
Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1966, No. 64 Tahun 1966, bahwa
Departemen Agraria selanjutnya dirubah menjadi satu Direktorat Jenderal bergabung
dengan transmigrasi, sehingga disebut Direktorat Jenderal Agraria dan Transmigrasi
yang bernaung dibawah lingkungan Departemen Dalam Negeri dalam tahun itu juga
terjadi perubahan dimana Dirktorat Jenderal Agraria tetap menjadi komponen dari
Departemen Dalam Negeri (berstatus sebagai Direktoral Jenderal Agraria).
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1974 Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. 94 Tahun 1975 Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Agraria mengalami
perubahan antara lain dengan dihapuskannya Direktorat penelitian dan pengembangan
pertanahan sehingga susunannya terdiri dari:
a. Direktorat tata guna tanah
b. Direktorat Landreform
c. Direktorat pengurusan hak-hak tanah.
d. Direktorat pendaftaran tanah.
e. Sekretariat Direktorat Jenderal Agraria.
Landreform Dalam arti luas keseluruhan program agraria reform.Dalam arti
sempit meliputi perombakan mengenai pemilikan serta penguasaan tanah serta
hubungan-hubunganhukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah sedangkan
tujuan land reform adalah mempertinggi tarafhidup dan penghasilan terutama bafi
petani kecil dan petani penggarap tanah menuju masyarakat adil danmakmur dalam
pemilikan ini juga diatur penguasaan tanah tanpa batas.
1. Pasal 7 melarang pemilikan/penguasaan tanpa batas menguasai termasuk hak
gadai, sewa, usaha bagi hasildsb.
2. Pasal 17 ayat 1 dan 2 perlu diatur luas masyarakat dan minimal tanah dimiliki
dengan suatu hak oleh suatukeluarga atau badan hukum
3. pasal 17 ayat 3 tanah kelebihan batas masyarakat akan dialihkan pemerintah
dengan ganti rugi kepadarakyat yang membutuhkan dalam hal ini ada 3 hal
yang diatur :
- luas maksimal pemilikan tanah dan penguasaan tanah pertanian.
- Luas minimal pemilikan tanah pertanian dan larangan pemecah pemilikan
tanah menjadi bagian yangkecil.
- Soal gadai tanah pertanian.
UU no. 6 PRT thn 1960 dijabarkan lebih lanjut dalam :
a. Kep. Menteri agraria no. SK/978/KA/tahun 1960 tentang penegosan luas tanah
maksimalpertanian.
b. Instruktur bersama menteri dalam negeri dan otonodo dan menteri agraria tahun
1961 No. SEKRA9/1/12 tanah pertanian itu adalah :
1. Tanah perkebunan
2. tanah perikanan
3. tanah pengembalaan ternak
4. tanah belukar bekas ladang dan hutan
5. tanah semua tanah selain tanah pemukiman dan perusahaan.

Politik Agraria | 311


J. Sejarah Penyusunan Undang-undang Pokok Agraria
Setelah proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pokok Agararia yang
berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu
mengucapkan pidato pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa:
“...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan
sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman,
pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk
membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan
kaum modal asing...”.502
Semangat untuk mengisi stelsel negara baru pasca kemerdekaan ini dipengaruhi
oleh dinamika dari pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi
sumbangan dalam pergerakan anti kolonialisme. Soetandyo Wignjosoebroto
menyatakan
“...yang sangat dipentingkan pada saat itu memang bukan resultat-resultat
hukum perundang-undangan yang dibuat. Dalam suasana Demokrasi Terpimpin yang
hendak lebih ditegaskan dan diungkapkan pada waktu itu adalah kerevolusineran
tekad untuk menolak pikiran-pikiran yang berasal dari negeri-negeri liberal kapitalis
yang dituduh akan meracuni jiwa bangsa...”.503
Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah
menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de
l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang
dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan
ideologis dan filosofis pembentukan Undang-Undang Pokok Agararia.
Upaya pemerintah indonesia untuk membentuk Hukum Agraria nasional yang
akan menggantikan Hukum Agraria kolonial yang sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945 sudah dimulai pada tahun 1948 dengan membentuk panitia yang diberi tugas
menyusun undang-undang Agraria. Setelah mengalami beberapa pergantian
kepanitian yang berlangsung selama 12 tahun sebagai proses yang cukup panjang.
Ini menunjukkan bahwa pembentukannya dilakukan secara serius dan hatihati.
Memang, lamanya proses itu juga disebabkan oleh situasi politik yang masih penuh
gejolak pada masa-mas awal Indonesia Merdeka. Pada tahun 1960, RUU Agraria
yang sudah disiapkan oleh Panitia keempat di bawah ketua Sunaryo (rancangan
tersebut sudah semi-final) diserahkan kepada Presiden Sukarno, namun Presiden
meminta agar RUU itu diuji dulu dengan perguruan tinggi. Maka DPR lalu
membentuk Panitia Ad Hock untuk bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada. Tim
kerjasama inilah yang disebut Panitia kelima. Hasilnya kemudian diserahkan kepada
Presiden, dan biasa disebut sebagai Rancangan Sadjarwo. Setelah disetujui oleh
Presiden, lalu dilontarkan ke DPR untuk dibahas.504
502
Pidato Pengantar Menteri Agraria dalam Sidang DPR-GR, 12 September 1960 oleh Mr. Sadjarwo. Dalam Risalah
Pembentukan UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA dan Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 585
503
Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, keterbatasan kesadaran elite terdidik (sekolahan maupun otodidak) dan manajemen
kekuasaan negara merupakan faktor terpenting dalam pasang-surut dari mobilisasi dan peran rakyat dalam perumusan
kebijakan Negara baru tersebut. Ketiadaan ahli hukum dari luar Jawa-Sumatera (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara,
apalagi Irian dan sebagainya), membuat ide-ide yang tercetus oleh ahli-ahli hukum tersebut banyak dipengaruhi oleh gagasan
“Barat” sebagaimana didapatkan di sekolah-sekolah, dan pengalaman Jawa-Sumatera. Lihat Soetandyo Wignyosoebroto,
Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali
Press, 1994, hlm. 159.
504
Gunawan Wiradi, Sejarah UUPA-1960 dan Tantangan Pelaksanaanya Selama 44 Tahun, Tulisan ringkas
sebagai bahan presentasi dalam seminar yang diselenggarakan oleh FSPI, tanggal 2 September 2004 di Gedung

Politik Agraria | 312


Maka baru pada tanggal 24 september 1960 pemerintah berhasil membentuk
hukum agraria Nasional, yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960
tentang peraturan Daerah pokok-pokok Agraria, yang dikenal dengan Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA)505
UUPA-1960 dibentuk bukan oleh Komisi DPR, bukan oleh Pansus DPR, tetapi
oleh Panitia Negara yang melibatkan berbagai pihak. Dalam sejarah RI, hanya dua
masalah yang Undang-Undangnya dibentuk oleh Panitia Negara,yaitu UU tentang
Agraria, dan UU tentang Keuangan. Ini mencerminkan betapa mendasarnya masalah
agraria itu.506
Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah
menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de
l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang
dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan
ideologis dan filosofis pembentukan Undang-Undang Pokok Agararia.
Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan
diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agararia adalah.
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan;
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Tujuan dari terbentuknya UUPA ini menurut landasan filosofi yang disebut
sebagai konsep “mono-dualis”, UUPA-1960 itu bertujuan bukan saja demi kepastian
hukum, bukan saja dengan maksud unifikasi hukum, tetapi tujuan yang hakiki adalah
mengubah susunan masyarakat, dari suatu struktur warisan stelsel feodalisme dan
kolonialisme menjadi suatu masyarakat yang adil dan sejahtera.507
Hal penting lainnya adalah bahwa Undang-Undang Pokok Agararia sebenarnya
tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan
struktur agraria saat itu. Paket peraturan perundang-undangan landreform ini telah
dimulai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
yang dikeluarkan untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil Ini bertujuan
menegakkan keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan
tanahnya sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada
penggarap yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk
menambah produksi. Demikian juga Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960
tentang redistribusi tanah pertanian.508
Namun semua itu tidaklah mudah, Beberapa hasil studi, terutama Padmo (2000)
menyebutkan bahwa terdapat hambatan dalam penentuan objek lanfreform.
Hamabatan tersebut adalah kesulitan teknis dalam mengidentifikasi kelebihan bidang

Juang 45, Jl. Menteng Raya, Jakarta.


505
URIP, SANTOSO, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah (jakarta, Kencana, 2008), hlm. 46.
506
Gunawan Wiradi, Ibid
507
Gunawan Wiradi, Ibid
508
Noer Fauzi, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 141

Politik Agraria | 313


tanah dari maksimum pemilikan/penguasaan lahan terutama di pedesaan, serta
lemahnya sistem informasi kependudukan untuk melacak tanah absentee.509
Salah satu konsepsi terpenting dalam Undang-Undang Pokok Agararia yang
kemudian mendasari berbagai peraturan lainnya adalah Hak Menguasai Negara dan
fungsi sosial hak atas tanah. Berikut ini diuraikan secara umum tentang kedua asas
terpenting ini :
1. Hak Menguasai Negara
Ini dirumuskan untuk pertama kalinya secara formal dalam Undang-Undang
Pokok Agararia 1960 dengan memberi wewenang kepada Negara untuk510:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Kewenangan HMN tersebut dipahami dalam kerangka hubungan antara
negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan
penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti di negara Barat maupun di
negara –negara komunis.Negara dalam hal ini sebagai Badan Penguasa yang
pada tingkatan tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas
serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum
berkenaan dengan tanah.Sebagai penerima kuasa, maka negara harus
mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat sebagai pemberi
kuasa.Dengan ini AP. Parlindungan menyebutnya sebagai hak rakyat pada
tingkat Negara.
Prof. Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan negara ini
harus dibatasi dua hal: pertama, oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur
oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin
oleh UUD 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan
menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran
tersebut. Seseorang yang melepas haknya harus mendapat perlindungan hukum
dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut.Kedua, pembatasan yang
bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan
dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta
karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan.
Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan
menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.
2. Fungsi Sosial Hak atas Tanah
Dianutnya prinsip fungsi sosial dalam Undang-Undang Pokok Agararia
tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok saat itu.Agar
tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang, dimasukkan
unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaannya. Sehingga dalam hak
individu ada hak kebersamaan.Negara berwenang membatasi individu maupun
badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah
509
Erizal Jama, Beberapa Permasalahan Dalam Reformasi Agraria di Indonesia, FAE. Volume 18. No. 1 dan 2
Desember 2000: 16 - 24
510
Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960

Politik Agraria | 314


peraturan landreform. Pengaturan batas pemilikan atas tanah oleh perseorangan
dilakukan sehingga pemilikan itu hanya dihubungkan dengan usaha mencari
nafkah dan penghidupan yang layak, atau hanya digunakan untuk pemukiman,
pertanian dan perindustrian rumah.511

1. Panitia Agraria Yogyakarta


Pada tahun 1948 sudah dimulai usaha kongkret untuk menyusun dasar –
dasar hukum agraria yang baru, yang akan menggantikan hukum agraria warisan
pemerintah jajahan, dengan pembentukan Panitia Agraria yang berkedudukan di
Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Panitia dibentuk dengan penetapan
Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 Nomor 16, diketuai oleh
Sarimin Reksodihardjo (Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri) dan
beranggotakn pejabat-pejabat dari berbagai kementerian dan jawatan, anggota-
anggota badan pekerja KNIP yang mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah,
ahli-ahli hukum adat dan wakil dari serikat buruh perkebunan. Panitia ini dikenal
dengan panitia Agraria Yogyakarta.
Namun Perlu dicatat bahwa sebelum dibentuknya Panitia Agraria Yogya
(1948), bahkan ketika umur RI belum ada satu tahun, pemerintah RI sudah
melakukan langkah pendahuluan, yaitu melalui UU no.13/1946 melancarkan LR
skala kecil, yaitu menghapuskan hak-hak istimewa dari “desa perdikan”,
khususnya di daerah Banyumas. Kemudian, melalui UU no.13/1948, pemerintah
menghapuskan hak-hak istimewa dari sekitar 40 perkebunan tebu (Pabrik Gula)
yang berada di wilayah 4 kerajaan Surakarta dan Jogyakarta. Melalui UU
no.1/1958, pemerintah menghapuskan status tanah-tanah partikelir.512
Panitia Jogja bertugas untuk memberikan pertimbangan kepada pemerintah
tentang soal-soal hukum pemerintahan merancangkan dasar-dasar hukum tanah
yang memuat politik agrarian, Serta merancang perubahan, pergantian, pencatutan
peraturan lama baik dari sudut legislatif baik dari sudut praktek yang menyelidiki
soal-soal hukum tanah.
Selain itu, Panitia mengusulkan asas-asas yang akan merupakan dasar dari
hukum agraria baruDilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat,
Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat,
yaitu hak milik yang dapat dibebabi hak tanggungan, Suapaya diadakan
penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan negara-negara lain, terutama
negara-negara tetangga, sebelum menetukan apakah apakah orang-orang asing
dapat pula mempunyai hak milik atas tanah,Perlunya diadakan penepan luas
minimum tanah untuk menghindarkan pauparisme diantara petani kecil dan
memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut sekalipun sederhana,  Perlunya
ada penetapan luas maksimum,  Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak
tanah, Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang
penting.513
Tahapan dalam menyusun Undang-Undang Pokok Agraria:
1. Panitia Agraria Yogya
511
Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi, Kompas, Jakarta, 2001,
hlm. 51
512
Gunawan Wiradi, Ibid
513
Ibid., hlm. 147.

Politik Agraria | 315


Panitia ini dbentuk dengan penetapan Presiden No.16 tahun 1948
tanggal 21 mei 1948, berkedudukan dijogja, diketuai oleh Sarimin
Reksodihardjo, kepala bagian Agraria Kementrian Dalam negeri, panitia ini
mengusulkan tentang asas-asas yang menjadi dasar Hukum Agraria yang baru:
a. Meniadakan asas domein dan pengakuan hak ulayat
b. Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan
yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani tanggungan.
c. Mengadakan penyelidikan terlebih dahulu di negara-negara lain,
terutama negara-negar tetangga sebeum menentukan orang asing dapat
pula mempunyai hak milik atas tanah
d. Mengadakan penetapan luas minimum tanah agar para petani kecil dapat
hidup layak
e. Mengadakan penetapan luas maksimum kepemilikan tanah dengan tidak
memandang macam tanahnya
f. Menganjurkan menrima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan oleh
panitia Agraria Yogyakarta.
g. Mengadakan pendafataran tanah hak milik dan hak-hak menumpang
yang penting.
Kemudian setelah negara RI sebagai negara Kesatuan Republik
Indonesia maka berdasarkan Kepres tertanggal 19 Maret 1951 No. 36 tahun
1951 Panitia Yogya dibubarkan kemudian dibentuk “PANITIA JAKARTA”
yang diketuai oleh “Sarimin Reksodiharjo” pada tahun 1953 yang pada saat itu
berjabat sebagai pejabat politik. Panitia ini beranggotakan pejabat-pejabat dari
berbagai kementrian, dan jawatan serta wakil-wakil dari organisasi tani. Pada
tahun 1953 Sarimin Reksodiharjo digantikan oleh Singgih Praptodiharjo,
karena Sarimin diangkat sebagai Gubernur di Nusa Tenggara.
2. Panitia Agraria Jakarta
Panitia agraria yogya dibubarkan dengan keputusan presiden No 36
tahun 1951 tanggal 19 maret 1951, kemudian dibentuk Panitia Agraria Jakarta
diketuai oleh Singgih Pratpdihardjo, wakil kepala bagian Agraria Kementrian
Dalam negeri. Panitia ini mengemukakan usulan menganai tanah untuk
pertanian rakyat kecil:514
a. Mengadakan batas minimum pemilikan tanah , yaitu 2 hektar dengan
mengadakan penijauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya
hukum adat dan hukum waris.
b. Mengadakan ketentuan batas maksimum pemilikan tanah, yaitu 25
hektar untuk satu keluarga.
c. Pertanian rakyat hanya dapat dimiliki oleh warga negara indonesia dan
todak dibedakan antar warga negara asli dan bukan asl. Badan hukum
tidak dapat mengerjakan tanah rakyat.
d. Bangunan hukum untuk pertanian rakyat adalah hak milik, hak usaha,
dan hak pakai.
3. Panitia Soewahjo
Berdasarkan keputusan presiden No 1 tahun 1956 tanggal 14 januari
1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria berkedudukan di jakarta
yang diketuai Soewahjo Soemodilogo, sekretaris Jenderal Kementrian Agraria.
514
Ibid,. hlm. 47.

Politik Agraria | 316


Setelah kemerdekaan, sebagai warisan dari jaman Hindia belanda,
urusan agraria tetap berada di lingkungan Departemen (kementrian) dalam
negeri, hal ini berlangsung sampai dengan tahun 1955, berdasarkan keputusan
presiden No 55 tahn 1955, dibentuknya kementrian agraria yang berdiri
sendiri.
Tugas kementrian agraria adalah:
1. saat dibentuknya kementrian Agraria nasional yang sesuai dengan
ketentuan-ketentuan pasal-pasal 26,27 ayat (1) dan pasal 38, undang-
undang dasar sementara tahun 1950.
2. Melaksanakan dan mengawasi perundang-undangan Agraria pada
umumnya serta memberi pimpinan dan petunjuk-petunjuk tentang
pelaksanaanya pada khususnya.
3. Menjalankan segala usaha untuk menyempurnakan kedudukan dan
kepastian hak atas tanah bagi rakyat
Dengan keputusan presiden NO. 190 tahun 1957 ditetapkan bahwa
Jwatan Pendaftaran tanah semula masuk dalam lingkungan kementrian
kehakiman dialihkan dalam lingkungan tugas kementrian Agraria , maka tugas
ditambah menjadi:
- Pengukuran, pemetaan dan pembukuan semua tanah di wilayah R.I
- Pembukuan Hak-hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak
tersebut.
2. Tugas Pimpinan Departermen Agraria.
Dengan peraturan mentri Agraria No1 tahun 1964 teah ditetapkan tugas
dan susunan impinan Departermen Agraria:515
Tugas:
1. menyelenggarakan Landreform dalam arti luas.
2. menyelenggarakan Likwidasi hak-hak dan sisa-sisa feodal atas tanah.
3. menyelenggarakan Landuse planing
4. menyelenggarakan penyelesaian, pembangunan hukum agraria
5. menyelenggarakan Administrasi dalam arti luas
Peraturan menteri Agraria no 1 tahun 1964 kemudian disempurnakan
dengan peraturan menteri agraria no 1 tahun 1965, dengan ketentuan:
1. Menyelenggarakan Landreform dakam arti luas meliputi:
a. Penjelbolan dan pembangunan kembali sitem kepemilikan dan
enguasaan tanah
b. Penjebolan serta penetapan kembali cara-cara penggunakan tanah.
c. Penjeoah hukum agraria kolonial serta pembangunan kembali
hukum Agraria Nasional yang progresif revolusioner.
d. Menyelenggarakan tugas-tugas agraria umum:
1. Pemberian hak-hak
2. Perpanjangan hak-hak
3. Pencabutan hak-hak atas tanah.
e. Menyelenggarakan Administrasi dalam arti luas:
1. Pengukuran dan oemetaan tanah
2. Intervensi hak-hak atas tanah
3. Pengukuran kepastian Hukum hak-hak atas tanah
515
Soetomo, SH, Politik dan Administrasi...hlm. 59.

Politik Agraria | 317


4. Pengawasan peralihan hak-hak atas tanah
Keputusan Presiden no 63 tahun 1966, no 64 tahun 1966, bahwa
departermen Agraria selanjutnya dirubah menjadi satu direktorat Jendral
Bergabung dengan Transmigrasi, sehingga disebut Direktorrat Jenderal Agraria
dan Transmigrasi yang bernaung dibawah lingkungan Departermen dalam negeri
dalam tahun itu juga terjadi perubahan dimana direktorat direktorat jenderal
Agraria tetap menjadi komponen dari departermen dalam negeri (berstatus
sebagai Diretorar Jenderal Agraria).
Berdasarkan keputusan presiden no 44 tahun 1974 keputusan menteri
dalam negeri no 94 tahun1975 struktur organisasi Direktorat Jenderal Agraria
mengalami erubahan antara lain dengan dihapusnya Direktori enelitian dan
pengembangan pertanahan, sehingga jadi:516
1. Direktorat Tata Guna Tanah
2. Direktorat Landreform
3. Direktorat pengurusan hak-hak tanah
4. Direktorat pendaftaran tanah
5. Sekretaris Direktorat jenderal Agraria.

RINGKASAN
Latar Belakang
Pada jaman raja-raja feodal pra-kolonial, sistem kebangsawanan,
pembagian wilayah dan birokrasi kerajaan sangat berkaitan erat dengan sistem
pertanahan. Hal ini bisa dimengerti karena pada hakekatnya pengertian
feodalisme adalah sistem pemerintahan  yang dalam pendistribusian
kekuasaan berjalan sejajar dengan pembagian tanah kepada para aparat
birokrasi dan bangsawan. Dengan demikian tanah merupakan hal sangat
penting dalam penyelenggaraan kekuasaan.
Hukum dan kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah
senatiasa diorentasikan pada kepentingan dan keuntungan mereka penjajah,
yang pada awalnya melalui politik dagang. Mereka sebagai penguasa
sekaligus merangkap sebagai pengusaha menciptakan kepentingan-
kepentingan atas segala sumber-sumber kehidupan di bumi Indonesia yang
menguntungkan mereka sendiri sesuai dengan tujuan mereka dengan
mengorbankan banyak kepentingan rakyat Indonesia.517

516
Ibid,. hlm. 60.
517
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, PT Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2009, Hal 24

Politik Agraria | 318


Hukum agraria kolonial memiki sifat dualisme hukum, yaitu dengan
berlakunya Hukum Agraria yang berdasarkan atas hukum adat, disamping
peraturan-peraturan dari dan berdasarkan atas hukum barat.
Undang-undang Pokok Agraria Hukum Agraria Nasional. UUPA
merupakan pelaksanaan pasal 33 ayat (3) UU 1945 sebagaimana yang
dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu atas dasar ketentuan dalam
pasal 33 pasal ayat (3) undang-undang dasar dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh
negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
UUPA mempunyai dua subtansi dari segi berlakunya, yaitu
pertama,tidak memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonoial,
dan kedua membangun hukum agraria nasional. Menurut boedi harsono4 ,
dengan berlakunya UUPA, maka terjadilah perubahan yang fundamental pada
hukum agraria diindonesia, terutama hukum dibidang pertanahan. Perubahan
yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang
mendasari maupun isinya.
UUPA merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria
karena didalamnya memuat program yang dikenal dengan panca program
agraria reform indonesia, yang meliputi : a. Pembaruan hukum agraria melalui
unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian
hukum. b. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas
tanah. c. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur. d.
Perombakan pemilikkan dan penguasaan ats tanah serta hubungan-hubungan
hukum yang berhubungan dengan pengusahaan tanah mewujudkan
pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal sebagai
program landreform. e. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi,air, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaanya secara
terncana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.518
Asas asas dalam Undang-undang Pokok Agraria Dalam UUPA dimuat 8
asas dari hukum agraria nasional. Asas ± asas ini kerena sebagai dasar dengan
sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan
pelaksanaannya. Delapan asas tersebut, adalah sebagai berikut a. Asas
kenasionalan, b. Asas pada tingkat tertinggi,bumi,air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, c. Asas mengutamakan
kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dari
pada kepentingan perseorangan atau golongan, d. Asas semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial, e. Asas hanya negara indonesia yang mempunyai
hak milik atas tanah, f. Asas persamaan bagi setiap warga negara indonesia, g.
Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh
pemiliknya sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan, h. Asas
tata guna tanah/pengunaan tanah secara berencana.
Tujuan Terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria 1. Meletakkan
dasar-dasar bagi penyusun Hukum Agraria Nasional yang merupakan alat
untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan
rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
518
Soeprapto, Undang-undang pokok Agraria dalam peraktek, Universitas indonesia, perss,jarkarta 1986

Politik Agraria | 319


6 2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam Hukum Pertanahan. 3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan
kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Jika
hukum pertanahan difahami sebagai suatu sistem norma, mka setiap peraturan
perundang-undangan yng paling tinggi sampai pada peraturan yang rendah
(terkait dengan peraturan sistem pendaftran tanah) harus merupakan suatu
jalinan sistem yang tidak boleh saling bertantangan satu sama lain. Proses
pembentukan normanorma itu dimulai dari yang paling tinggi sampai yang
paling rendah disebut sebagai proses konkretisasi.5 Kebijkan hukum
pertanahan adalah bagian dari kebijakan-kebijkan negara, sebagai sistem
norma kebijkan hukum pertanahan tidak hanya dipergunakan untuk mengatur
dan mempertahankan pola tingkah laku yang sudah ada, melainkan lebih
sekedar itu. Hukum pertanahan seharusnya juga diperlakukan sebagai sarana
pengarah dalam merealisasikan kebijakan negara dalam bidang sosial, budaya,
ekonomi, kebijkan, pertanahan dan keamanan nasional.6 Reaktualisasi nilai-
nilai pancasila dalam reforma sangat diperlukan. Nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat harus dapat terintregasi dalam pembentukan atau pembangunan
hukum. Kebijakan hukum pertanahan yang diterapkan ditengahtengah
masyrakat harus lebih menjiwai dan dijiwai oleh masyrakat itu sendiri,
sehingga hukum bukanlah sesuatu yang asing ditengah-tengah masyrakat.

Masa Kerajaan Kutai


Kerajaan Kutai adalah salah satu kerajaan yang tertuan di Indonesia,
yang muncul pada abad ke-5 Masehi atau ± 400 Masehi. Kerajaan ini terletak
di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama
Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya
prasasti Yupa yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Meskipun kutai
itu tak terletak dalam sebuah jalur perdagangan internasional, akan tetapi
kerajaan tersebut telah memiliki hubungan dagang dengan india dan sudah
berkembang dari sejak awal. Pada hal tersebut kemudian, Pengaruh Hindu-
Budha mulai tersebar. Salah satu yang menjadi bukti yang menerangkan
mengenai kerajaan kutai dimana Yupa diidentifikasi yang merupakan suatu
peninggalan Hindu-Buddha dan bahasa yang telah digunakan yaitu bahasa
sansekerta. Bahasa sansekerta ialah bahasa Hindu asli. Tulisan atau bentuk
dari hurufnya itu dinamakan huruf pallawa, yaitu tulisan yang digunakan pada
tanah Hindu Selatan sekitar ditahun 400 masehi. Dengan melihat adanya
bentuk huruf dari prasasti yang telah ditemukan maka para ahli menyatakan
bahwa Yupa itu telah dibuat sekitar abad kelima. Jadi bisa disimpulkan bahwa
kerajaan kutai adalah kerajaan hindu yang pertama ada di Indonesia.519
Kerajaan Kutai (sekitar 400 M), jauh sebelum masuknya orang-orang
Eropa di Nusantara, sebenarnya pengaturan dalam masalah tanah sudah
dikenal dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan terdahulu. Pada masa
jayanya kerajaan Kutai pernah dikenal adanya suatu ketentuan yang mengatur
tentang acara penggunaan, pengolahan, pemeliharaan, jual beli, sistem
pemilikan, tanah terlantar, dan tanah-tanah kehutanan. Adapun ketentuan-
ketentuan tersebut sebagai berikut:
1. Pada masa kerajaan Kutai dikenal dengan Kitab Undang-Undang
Brajananti atau Brajaniti.
519
http://documents.tips/documents/makalah-sejarah-kerajaan-kutai-martadipura.html (10 Juni 2016)

Politik Agraria | 320


2. Pada masa kerajaan Banjar dikenal dengan Kitab Undang-Undang
Sultan Adam dibuat sekitar tahun 1251.
Kesultanan Kutai Pada era pemerintahan Pangeran Sinum Panji
Mendapa (1635-1650), dimaklumatkan Kitab Panji Selaten yang hakekatnya
berisi “Sultan adalah penguasa tunggal, namun mengakui adanya hukum adat
pada suku Dayak”. Pada Pasal 4 Kitab Panji Selaten, disebutkan mengenai
empat kategori adat, yakni: adat yang memang; adat yang diadatkan; adat yang
teradat; adat istiadat, yang merupakan manifestasi bahwa Sultan merupakan
pemangku sekaligus penguasa adat. Sedangkan pada masa Sultan Aji
Muhammad Sulaiman (1845-1899), diberlakukan Kitab Undang-undang Braja
Niti, yang esensinya adalah “Segala tanah dan isinya seperti hasil hutan,
perdulangan atau segala hasil dalam tanah dan di atas tanah yang adal dalam
Kesultanan Kutai, menjadi hak milik Kesultanan Kutai Kartanegara”.

Masa Kerajaan Banjar


Semula Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari Kerajaan Daha yang
beragama Hindu. Pada akhir abad ke-15 Kalimantan Selatan masih dibawah
pimpinan Kerajaan Daha, yang pada saat itu dipimpin oleh Pangeran
Sukarama, ia mempunyai tiga orang anak yaitu Pangeran Mangkubumi,
Pangeran Tumenggung, dan Putri Galuh. Peristiwa kelahiran Kerajaan Banjar
bermula dari konflik yang dimulai ketika terjadi pertentangan dalam keluarga
istana.Konflik terjadi antara Pangeran Samudera dengan pamannya
Pamengaran Tumenggung, yang mana Pangeran Samudera adalah pewaris sah
Kerajaan Daha.
Sekitar abad XII, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Negara Dipa.
Kerajaan ini dibangun oleh Empu Jatmika. Ia datang ke pulau Hujung Tanah
(Kalimantan) dengan rombongannya dengan memakai kapal Prabajaksa,
dalam rangka memenuhi wasiat almarhum ayahnya, Mangkubumi. Dia
disuruh meninggalkan negeri Keling, dan mencari tempat tinggal baru yang
tanahnya panas dan berbau harum. Kemudian ia mendirikan sebuah Candi
Agung dan Empu Jatmika menyebut dirinya Maharaja di Candi.
Empu Jatmika memerintahkan Tumenggung Tatah Jiwa dan Arya
Megatsari menaklukkan orang-orang Batang Tabalong, Batang Balangan,
Batang Petap, batang Alai, dan Amandit serta Labuhan Amas dan orang-orang
Bukit. Dengan penaklukkan tersebut, maka Negara Dipa semakin kuat dan
wilayahnya bertambah luas. Sari Kabarungan sebagai raja ketiga dalam
kerajaan Negara Dipa memindahkan pusat kerajaan ke sebelah selatan. Pusat
kerajaan baru ini di kenal dengan sebutan Negara Daha. Pada saat itu pula
bandar Daha di pindahkan ke Muara Rampiu, kemudian ke Muara Bahan dan
terakhir ke Banjarmasin.

Masa Kerajaan Sriwijaya


Pengaturan sistem pertanahan pada masa kerajaan Sriwijaya (693-1400)
dikenal dengan nama kitab undang-undang Simbur Cahaya yang merupakan
peninggalan kitab undang-undang jaman raja-raja Sriwijaya. Prinsip pemilikan
hak atas tanah, raja dianggap sebagai pemilik, sedangkan rakyat sebagai
pemakai (penggarap) yang harus membayar upeti kepada raja sebagai pemilik.

Politik Agraria | 321


Kemunduran dan keruntuhan Kerajaan Sriwijaya disebabkan oleh
beberapa hal berikut:
1. Serangan Raja Dharmawangsa pada tahun 990 M, ketika itu yang berkuasa
di Sriwijaya ialah Sri Sudamani Warmadewa. Walaupun serangan ini tidak
berhasil, tetapi telah melemahkan Sriwijaya.
2. Serangan dari Kerajaan Colamandala yang diperintahkan oleh Raja
Rajendracoladewa pada tahun 1023 dan 1030. Serangan ini ditujukan ke
semenanjung Malaka dan berhasil menawan raja Sriwijaya. Serangan
ketiga dilakukan pada tahun 1068 M dilakukan olehWirarajendra,
cucu Rajendracoladewa.
3. Pengiriman ekspedisi Pamalayu atas perintah Raja Kertanegara, 1275-
1292, yang diterima dengan baik oleh Raja Melayu
(Jambi), Mauliwarmadewa, semakin melemahkan kedudukan Sriwijaya.
4. Muncul dan berkembangnya kerajaan Islam Samudra Pasai yang
mengambil alih posisi Sriwijaya.
5. Serangan Kerajaan Majapahit dipimpin Adityawarman atas perintah
Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1377 yang mengakibatkan Sriwijaya
menjadi taklukan Majapahit. Pendudukan yang dilakukan Kerajaan
Majapahit atas seluruh wilayah Sriwijaya pada tahun 1377. Pendudukan
tersebut dalam upaya mewujudkan kesatuan Nusantara.
6. Letak Kota Palembang semakin jauh dari laut. Akibat pengendapan lumpur
yang dibawa oleh Sungai Musi dan sungai lainya, akhirnya Kota
Palembang semakin jauh dari laut.
7. Berkurangnya kapal dagang yang singgah. Akibat semakin jauhnya Kota
Palembang dari laut menyebabkab daerah tersebut tidak strategis lagi.
Kapal-kapal dagang lebih memilih singgah di tempat lain. Hal tersebut
menyebabkan kegiatan perdagangan berkunrang dan pendapatan kerajaan
dari pajak menurun.
8. Banyak daerah yang melepaskan diri dari Sriwijaya. Akibat semakin
melemahnya perekonomian Kerajaan Sriwijaya maka penguasa kerajaan
tidak mampu lagi mengontrol daerah kekuasaanya. Daerah kekuasaan
Kerajaan Sriwijaya yang telah melepaskan diri adalah Jawa Tengah dan
Melayu.
Masa Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit (1293-1525) merupakan suatu kerajaan yang
menguasai seluruh nusantara dan memiliki ketentuan yang paling lengkap
tentang pengaturan kehidupan masyarakat. Tanah dalam kehidupan rakyat
majapahit memegang peranan penting karena itu dibuat undang-undang
tentang hak memakai tanah yang disebut Pratigundala. Pratigundala didapati
dalam negarakertagama pupuh 88/3 baris 4 hal 37. Undang-undang tersebut
disusun dengan latar belakang bahwa kerajaan Majapahit merupakan suatu
kerajaan yang rakyatnya sebagian besar hidup dari hasil-hasil pertanian. 520
Dalam kitab undang-undang yang disebut agama, terdapat lima pasal diantara
271 pasalnya yang mengatur masalah tanah. Tanah menurut undang-undang
agama dalam kerajaan Majapahit adalah milik raja. Rakyat hanya mempunyai
hak untuk menggarap dan memungut hasilnya tetapi tidak memiliki tanah
tersebut, hak milik atas tanah tetap ada pada raja.

Zaman VOC (1602 - 1870)


VOC mengadakan hukum secara barat di daerah – daerah yang
dikuasainya, dalam hal ini memedulikan hak – hak tanah ynag dipegang oleh
rakyat dan raja – raja Indonesia. Hukum adat sebagai hukum yang memiliki

520
Ibid.., hlm. 56.

Politik Agraria | 322


corak dan sistem sendiri tidak dipersoalkan oleh VOC bahkan membiarkan
rakyat Indonesia hidup menurut adat kebiasaannya.
Beberapa kebijakan politik pertanian yang sangat menindas rakyat
Indonesia yang diteteapkan oleh VOC, antara lain :
 Contingenten, yaitu pajak atas hasil tanah pertanian yang diserahkan
kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan
sebagian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar
sepeserpun.
 Verplichte Leveranten, yaitu suatu bentuk ketentuan yang diputuskan
oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban menyerahkan seluruh
hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan
secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar – benar tidak
bisa berbuat apa – apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka
hasilkan.
 Roerendiensten, kebijakan yang dikenal dengan nama rodi, yang
dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah
pertanian.

Zaman Pemerintahan Hindia Belanda


Berlakunya hukum tanah pemerintahan Belanda ini berawal dari hukum
yang berlaku di Negara Belanda, kemudian dibawa ke Indonesia. Kehadiran
hukum tanah Belanda menggeser keberadaan hukum tanah adat yang telah
lama ada di Nusantara. Dalam suatu ordonansi S. 1823 No. 164 dapat
diketahui bahwa pernah terdapat suatu penyelenggaraan kadasteral yang
ditugaskan pada suatu jawatan diberi nama Kadasteral Dienst disuatu daerah
tertentu yang diangkat dan diberhentikan atau dialih tugaskan oleh Gubernur
Jenderal. Tugas – tugasnya adalah sebagai berikut :
a. Mendirikan dan memelihara secara kontinu kadaster hak
(eigendomskadaster) di Indonesia.
b. Pengukuran bidang – bidang tanah serta pemetaannya dan mengeluarkan
surat – surat ukur yang diperlukan permohonan suatu hak atas tanah
maupun untuk pemecahan dan penggabungan tanah yang telah ada hak
atas tanahnya.
c. Pemberian landsmeters kennis yang diperlukan dalam hal baik nama
sesuai Stbl. 1824 No. 27 serta pemberian – pemberian sertifikat (surat
keterangan tertulis) yang diperlukan untuk lelang.
d. Pelayanan kepada masyarakat dalam hal memberikan keterangan lisan
maupun tertulis mengenai hak atas tanah (dengan hukum Eropa) maupun
pemberian salinan peta dan daftar – daftar yang ada pada Kadasterale
Dienst.
e. Melaksanakan pekerjaan pengukuran dan pemetaan lainnya serta tugas –
tugas lain yang dibebankan oleh Pemerintah.

Zaman Jepang
Pada masa pemerintahan jepang, melalui pasal 10 osamu serei no. 4
tahun1944, aturan tentang kepemilikan serta penguasaan tanah lebih ditujukan
bagi warga negara jepang, bangsa asing, badan hukum jepang dan badan
hukum WNI.Namun sejak berlakunya undang-undang balatentara pendudukan
jepang tahun1992, terjadi penggarapan dan pendudukan terhadap tanah-tanah
perkebunan sertaperhutanan untuk kepentingan jepang, sehingga kondisi
ini mempersulitpenggunaan serta pemanfaatan tanah oleh penduduk pribumi.

Politik Agraria | 323


Kondisi ini berakhirpada tahun 1945, yaitu saat jepang menyerah kepada
sekutu.Sebelum UUPA diberlakukan, hukum tanah yang berlaku di indonesia
masihmerupakan hukum tanah warisan pemerintah hindia belanda. Pada masa
ini, filosofi hukum tanah yang dianut adalah: “Bumi, air dan kekayaan alam
yangterkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
besarnyakemakmuran rakyat.” Filosofi ini masih berlaku hingga UUPA
diundangkan,yaitu pada tanggal 24 September 1960.Sesudah berlakunya
UUPA, hukum tanah nasional yang berlaku adalahhukum tanah yang
mengatur jenis-jenis hak atas tanah dalam aspek perdata dandalam aspek
administrasi yang berisi politik pertanahan nasional yang semuanya yaitu
bertujuan akhir pada penciptaan unifikasi hukum pertanahan di
indonesia.UUPA sebagai hukum agraria nasional. disaneer dari hukum adat.
Walaupun demikian perlu dicacat dalam sejarah hukum pertanahan di
negara kita, bahwa pemerintahan balatentara jepang andilnya sangat besar
dalam merusak keadaan tanah di bumi nusantara kita, antara lain :
1. Mereka memaksakan agar tanah-tanah pertanian meningkatkan
produksinya, tanpa memikirkan kewajiban-kewajiban pemeliharaannya,
yang hasilnya dipergunakan untuk kepentingan perang mereka.
2. Penebangan hutan-hutan secara serampangan, sehingga menimbulkan
kerusakan pada struktur tanah.
3. Pendinamitan sungai-sungai yang diperkirakan banyak ikan di
dalamnya.
4. Penggalian gunung-gunung yang secara rahasia yang dijadikan
terowong-terowongan bagi penyimpanan senjata dan mesiu serta
makanan tahan lama dalam rangka persiapan melakukan peperangan
dalam jangka lama.
5. Mengangkut sejumlah para petani kita untuk dijadikan romusha bagi
kepentingan perang jepang.
Rakyat indonesia pada waktu ini benar-benar kehidupannya ada di
bawah garis kemiskinan, banyak yang mati atau menderita, kelaparan,
keadilan dapat dikatakan sama sekali tidak ada
Sistem Pendaftaran Tanah di Jepang
Pada masa keshogunan Kamakura(1185-1333) dan Muromachi (1333-
1568), Jepang menjalankan sistem pendaftaran tanah yang disebut Otabumi.
Dalam sistem ini, tiap provinsi diharuskan untuk menyediakan register-
register mengenai tanah-tanah privat (shōen) dan tanah publik/umum
(kokugaryō). Ōtabumi terdiri dari dua rangkap, yang pertama diprakarsai oleh
keshogunan yang isinya tidak hanya mengenai kepemilikan lahan, ukuran
lahan, dan tanah pertanian, tetapi juga sejarah kepemilikan akan tanah tersebut
dari masa ke masa. Rangkap yang kedua dikumpulkan dan disimpan oleh
pemerintah provinsi (kokuga) dan hanya berisi mengenai bidang-bidang
tanahnya. Fungsi dari pendaftaran tanah ini adalah untuk menghitung nilai
pajak yang akan dikenakan kepada pemilik tanah.
Sementara itu, survey pertanahan pertama di Jepang yang disebut
“Kadaster” dilaksanakan pada akhir abad ke-16. Tujuannya adalah untuk
mengetahui hasil panen beras dengan mengukur mengukur tanah pertanian
dengan standar yang sama. Survey pertanahan yang memang sesuai maknanya
dengan yang berkembang saat ini, dimulai di Jepang pada tahun 1873. Namun,

Politik Agraria | 324


hasilnya tidak didasarkan pada jaringan titik kontrol geodetik nasional, dan
tidak juga ketepatan dimensi ataupun perbatasan. Setelah Perang Dunia
Kedua, Undang-undang Survey Tanah Nasional diberlakukan pada tahun
1951, dan dimulailah reformasi pertanahan.

Zaman Kemerdekaan
Setelah Kemerdekaan, sebagai warisan dari Jaman Hindia Belanda,
urusan agraria tetap berada di lingkungan Departemen (Kementrian) Dalam
Negeri, hal ini berlangsung sampai dengan tahun 1955, saat dibentuknya
Kementrian Agraria.Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia
adalah kementerian yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di
bidang agraria/pertanahan dan tata ruang dalam pemerintahan untuk
membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia dijabat oleh
seorang menteri yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan
Nasional. Sejak 27 Oktober 2014 Kementerian Agraria dan Tata Ruang
Republik Indonesia dipimpin oleh Ferry Mursyidan Baldan.Kementerian
Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia pertama kali dibentuk pada tahun
1955 melalui Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955.
Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada 24
September 1960. Pada hari itu, rancangan Undang-Undang Pokok Agraria
disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
Dengan berlakunya UUPA tersebut, untuk pertama kalinya pengaturan tanah
di Indonesia menggunakan produk hukum nasional yang bersumber dari
hukum adat. Dengan ini pula Agrarische Wet dinyatakan dicabut dan tidak
berlaku. Tahun 1960 ini menandai berakhirnya dualisme hukum agraria di
Indonesia.

Sejarah Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria


Upaya pemerintah indonesia untuk membentuk Hukum Agraria
nasional yang akan menggantikan Hukum Agraria kolonial yang sesuai
dengan Pancasila dan UUD 1945 sudah dimulai pada tahun 1948 dengan
membentuk panitia yang diberi tugas menyusun undang-undang Agraria.
Setelah mengalami beberapa pergantian kepanitian yang berlangsung selama
12 tahun sebagai proses yang cukup panjang.
Ini menunjukkan bahwa pembentukannya dilakukan secara serius dan
hatihati. Memang, lamanya proses itu juga disebabkan oleh situasi politik yang
masih penuh gejolak pada masa-mas awal Indonesia Merdeka. Pada tahun
1960, RUU Agraria yang sudah disiapkan oleh Panitia keempat di bawah
ketua Sunaryo (rancangan tersebut sudah semi-final) diserahkan kepada
Presiden Sukarno, namun Presiden meminta agar RUU itu diuji dulu dengan
perguruan tinggi. Maka DPR lalu membentuk Panitia Ad Hock untuk
bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada. Tim kerjasama inilah yang
disebut Panitia kelima. Hasilnya kemudian diserahkan kepada Presiden, dan
biasa disebut sebagai Rancangan Sadjarwo. Setelah disetujui oleh Presiden,
lalu dilontarkan ke DPR untuk dibahas.
Politik Agraria | 325
Tujuan dari terbentuknya UUPA ini menurut landasan filosofi yang
disebut sebagai konsep “mono-dualis”, UUPA-1960 itu bertujuan bukan saja
demi kepastian hukum, bukan saja dengan maksud unifikasi hukum, tetapi
tujuan yang hakiki adalah mengubah susunan masyarakat, dari suatu struktur
warisan stelsel feodalisme dan kolonialisme menjadi suatu masyarakat yang
adil dan sejahtera.
Negara Indonesia adalah Negara hukum, dimana salah satu ciri dari
Negara hukum adalah adanya kepastian terhadap hukum, untuk itu hukum
yang mengatur tentang bumi, air, tanah maupun ruang angkasa berseta seluk-
beluknya juga harus diatur. Ketidak pastian terhadap hukum juga memilki
dampak yang buruk bagi perkembangan hukum dinegara Indonesia. 521
Dengan demikian diperlukannya aturan yang mengatur tentang hal
tersebut, dengan diterbitkanya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Undang-undang Pokok-pokok Agraria yang bersifat nasional maka
menggugurkan aturan-aturan yang sebelumnya mengatur tentang tanah.
Hukum dan kebijakan Agraria merupakan alat untuk membawa
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat maupun
masyarakat luas dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur, juga untuk
meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
Hukum Pertanahan serta meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Sebelum diterbitkannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) No. 5
Tahun 1960, yang membuka hak atas tanah yaitu terdapat pada pasal 51 ayat 7
IS, pada Stb 1872 No. 117 tentang Agraris Eigendom Recht yaitu memberi
hak eigendem (hak milik) pada orang Indonesia. Hal tersebut juga disamakan
dengan hak eigendom yang terdapat pada buku II BW, tetapi hak tersebut
diberikan bukan untuk orang Indonesia.
Maka dengan adanya dualisme aturan yang mengatur tentang hak-hak
tanah untuk menyeragamkannya pada tanggal 24 september 1960 diterbitkan
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 pada lembar Negara No.
104/1960. Undang-undang No.5 tahun 1960 tersebut bersifat nasionalis, yaitu
diberlakukan secara nasional dimana seluruh warga negara indonesia
menggunakan Undanng-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tersebut.
Dasar kenasionalan hukum agraria yang telah dirumuskan dalam UUPA,
adalah:
1. Wilayah indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan satu kesatuan tanah
air dari rakyat indonesia yang bersatu sebagai bangsa indonesia (pasal 1
UUPA).
2. Bumi air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya merupakan karunia tuhan yang maha esa kepada bangsa indonesia
dan merupakan kekayaan nasional. Untuk itu kekayaan tersebut harus
dipelihara dan digunakan untuksebesarbesarnya kemakmuran rakyat
(pasal1,2,14, dan 15 UUPA).
3. Hubungan antara bangsa indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa,
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnyabersifat abadi, sehingga tidak
dapat diputuskan oleh siapa pun (pasal 1 UUPA).

521
Ibid, Hal 198

Politik Agraria | 326


4. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat
indonesia diberi wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya
kemakmuran, rakyat (pasal 2 UUPA).
5. Hak ulayat sebagi hak masyarakat hukum adat diakui keberadaanya.
Pengakutan tersebut disertai syarat bahwa hak ulayat tersebut masih ada, tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-
uandangan yang lebih tinggi (pasal 3 UUPA).
6. Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi,
air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah
warga negara indonesia tanpa dibedakan asli dan tidak asli. Badan hukum
pada perinsipnya tidak mempunyai hubungan sepenuhnya alam yang
terkandung didalamnya (pasal 9, 21,dan 49 UUPA)
7. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

Politik Agraria | 327


DAFTAR PUSTAKA

Benhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Cet. I (Jakarta: Margaretha Pustaka,


2012), hlm:51.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional,
Djambatan, Jakarta, 1994, hlm. 33
Departemen Penerangan dan Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negri,
Pertanahan Dalam Era Pembangunan Indonesia, Direktorat Publikasi Ditjen, Ppg
Departmen Penerangan dan Ditjen Agraria Departmen Dalam Negri, Jakarta,
1982, Hlm 21 Dikutip Dalam Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian
Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012, Hlm 19
http://id.wikepedia.org/wiki/majapahit
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kutai
http://nesaci.com/sejarah-lengkap-kerajaan-majapahit/
http://sasyamsihd.blogspot.co.id/2012/05/kerajaan-kutai.html
http://www.kumpulansejarah.com/2012/11/sejarah-kerajaan-kutai.html
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kementerian_Agraria_dan_Tata_Ruang_Republik_Indo
nesia
Kartasapoetra dkk. 1991, hukum tanah, Jakarta, PT. Rieneka Cipta
Kartasappoetra dkk, Hukum tanah jaminan UUPA bagi keberhasilan pedayagunaan
tanah, pt rineka cipta anggota ikapi, jakarta, 1985
Kumpulan Engelbrecht 1960 hlm 195 dalam Buku Boedi Harsono, Hukum Agraria
Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1994,
M.A.W Brouwer. 1988, Alam Manusia dan Fenomenologi, Jakarta: Gramedia
Mufid sofyan anwar. 2010, ekologi manusia dalam perspektif sektor kehidupan dan
ajaran islam. Bandung, PT REMAJA ROSDAKARYA
Muljadi, Kartini, dkk.2005, Hak-Hak atas Tanah, Jakarta:Prenada Media
Muljadi. Kartini dan Widjaja Gunawan. 2004, Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kecana
Prenada Media Group.
Poesponegoro dan Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia III Zaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, 2008.
Purbacaraka. Purnadi dan Halim Ridwan, 1985, Sendi-sendi Hukum Agraria. Jakarta:
Ghalia Indonesia.

Politik Agraria | 328


Santoso,Urip.2010, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media
Group
Sembiring Jimmy, Panduan Mengurus Sertifikat Tanah, Jagakarsa, Jakarta.
Shihab, Quraish. 2011, Membumikan Al-quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara
Islam di Nusantara, LkiS Yogyakarta, 2007
Soetomo, 1986.Politik Dan Administrasi Agraria, Surabaya: Usaha Nasional
Soeprapto, Undang-undang pokok Agraria dalam peraktek, Universitas indonesia,
perss,jarkarta 1986
Soetomo, Politik dan Administrasi Agraria, Usaha Nasional, Surabaya, hlm 58.
Sotiknjo. Imam,1989. Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria dala Rangka Menyukseskan
Pelita V, Makalh Ceramah Sehari, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya

Sujarwa. 1999, Manusia dan Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 49.
Supriadi. 2007, Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
Supriadi. 2010.Hukum Agraria, Cet. IV ,Jakarta: Sinar Grafika.
Suriyaman Mustari Pide. 2007.Hukum Adat (Dulu, Kini dan Akan Datang), Jakarta:
Pelita Pustaka.
Sutanto, Rachman. 2005, Dasar-dasar Ilmu Tanah: Konsep dan Kenyataan,
Yogyakarta: Kanisius
Sutrisno, Muji. 2006, Drijarkara Filsuf Yang Mengubah Indonesia, Yogyakarta: Galang
Press
Syahrizal Darda. 2011, Kasus-kasus Hukum Perdata Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Grahatama
Tjondronegoro, sediono dan Gunawan Wiradi, menelusuri Pengertian Istilah
“agraria”, Jurnal Analisis Sosial, Vol. 9, No. 1, April 2004, penerbit Akatiga,
Bandung, 2004, hlm. 1.
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012, hlm 19.
Urip Santoso. 2009.Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Cet. V ,Jakarta:
Kencana.
Urip Santoso. 2012.Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana.
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, PT Fajar Interpratama Offset,
Jakarta, 2009.

Politik Agraria | 329


Vollenhoven, C. Van. 2004, Penemuan Hukum Adat, dalam B.F Sihombing, Evolusi
Kebijakan Pertahanan dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta: Gunung Agung
Wikipedia, (Lihat: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Demografi_Indonesia, diakses : 26
Maret 2016, Pukul 16.00 Wib)
Anoniem. 2001, Tedhakan Pranata Tuwin Serat Warna-warni Tumrap Nagari Surakarta,
Surakarta: Perpustakaan Radya Pustaka
Peacock, James. The Traditional Society and Consiciousness in Java: The Durkheim
Perceptive
Saleh, M. Ridwan. 1970, Bandjarmasin, Bandung: KPPK Balai Pendidikan Guru
Arie. Jurnal Sejarah Lengkap Kerajaan Banjar Beserta Silsilah Para Raja
Kartodirjo, Sartono, dkk. 1991, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial
Ekonomi, Yogyakarta: Penerbit Aditya
Kyai Bondan, Amir Hasan. 1953, Suluh Sedjarah Kalimantan, Banjarmasin: Fajar.
Farchan, Yusak dan Syam, Firdaus. 2015, Tafsir Kekuasaan Menurut Gajah Mada
Ahmadin. 2007, Masalah Agraria di Indonesia Masa Kolonial.
Muchsin. 2007, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Bandung: Refika
Aditama
Suhartono. 1988. Kebijakan Awal Pemerintah Jepang Terhadap Indonesia.
Hasan, Djuhaendah. 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda
Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan
Horisontal. Bandung: Citra Aditya.
Tauchid, Muhammad. 1953. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan
Kemakmuran Rakjat Indonesia. Djakarta: Tjakrawala
Pelzer, Karl J. 1991. Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani.
Jakarta: Sinar Harapan.
Mamat Ruhimat, dkk, Ips Terpadu kelas VII Jilid 1(Jakarta: Grafindo Media Pratama,
2006), hlm 200- 203.
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Membangun Kembali Kebanggaan Budaya
Kraton Kutai Kertanegara, (Kutai Kartanegara Regency), Hlm65.

Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia


(Bandung: Al- Ma’arif, 1979), 386.

Harun Yahya, Kerajaan Islam Nusantara: Abad XVI Dan XVII (Yogyakarta: Kurnia
Kalam Sejahtera, 1995), 72.

Suriansyah Ideham, Urang Banjar dan Kebudayaannya (Banjarmasin: Badan


Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Putaka Benua,
2007), 20.

Politik Agraria | 330


E.S.Hardiati,“ Sejarah Nasional Indonesia Jilid II: Zaman Kuno. Edisi
Pemuktahiran. Jakarta: Balai Pustaka.2010. Hal: 51-52
Anthony Reid, “Wittnesses to Sumatra: A Travellers Anthology. New York: Oxford”,
University Press . 1995. Hal :77
Dedi Irwanto Muhammad Santun, “Simbol Kejayaan Ibukota Sriwijaya dalam Tiga
Prasasti Sriwijaya di Palembang” Jurnal: Mozaik Volume 13, Nomor 2, tahun 2013.
Hlm: 138
Reid. “Sejarah Modern Awal Asia Tenggara”. Jakarta: LP3ES 2004. Hal: 98
Rahardjo. “ Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi
Jawa Kuno”. Jakarta: Komunitas Bambu 2002, hal:71
D. Lombard, “Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris
Jilid 3”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama ,2000. Hal: 33
Ahmadin, “Masalah Agraria di Indonesia Masa Kolonial”, Jurnal : Attoriolog, volume
4 Nomor 1, 2007. Hlm: 60
Junaidi,politik agaria,hlm28
Gunawan Wiradi, Sejarah UUPA-1960 dan Tantangan Pelaksanaanya Selama 44 Tahun,
Tulisan ringkas sebagai bahan presentasi dalam seminar yang diselenggarakan oleh
FSPI, tanggal 2 September 2004 di Gedung Juang 45, Jl. Menteng Raya, Jakarta.

http://documents.tips/documents/makalah-sejarah-kerajaan-kutai-martadipura.html (10
Juni 2016)
https: //id.eikipedia.org/wiki/Anggana,_Kutai_Kartanegara Diakses pada 2016, Pukul
12.00 WIB

Politik Agraria | 331


Tugas Pokok Dan Fungsi
Agraria Di Indonesia
Nama Kelompok :
Nur Askhabul Kahfi (I01218030)
Rena Ainun Ainiyah (I71218056)
Rizza Nur Kartika (I71218057)

Politik Agraria | 332


BAB VII
TUGAS POKOK DAN FUNGSI AGRARIA DI INDONESIA
A. Latar Belakang
Tanah sebagai bagian permukaan bumi, mempunyai arti yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, baik sebagai tempat atau ruang untuk kehidupan dengan segala
kegiatannya, sebagai sumber kehidupan, bahkan sebagai suatu bangsa, tanah merupakan
unsur wilayah dalam kedaulatan negara. Oleh karena itu, tanah bagi bangsa Indonesia
mempunyai hubungan abadi dan bersifat magis religius, yang harus dijaga, dikelola, dan
dimanfaatkan dengan baik.522
Dengan demikian diperlukan penanganan dan pengaturan yang serius dan seksama.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya sehingga
bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemilik sekaligus bagi masyarakat dan
Negara. Ketentuan tersebut tidak berarti kepentingan perseorangan akan terdesak sama
sekali oleh kepentingan umum masyarakat. Kepentingan masyarakat dan kepentingan
perseorangan harus saling mengimbangi hingga tercapainya tujuan pokok, yaitu
kemakmuran, keadilan dan kebahagian bagi rakyat seluruhnya.2 Dalam arti pelaksanaan
pembangunan harus sesuai dengan substansi yang akan dituju secara terpadu berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 33 ayat(3) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa, ”Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Realisasi dari pasal ini dituangkan
dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yaitu Negara diberi wewenang untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa. Lebih lanjut dalam Pasal 14 UUPA dijelaskan bahwa untuk mencapai apa
yang menjadi cita-cita bangsa, maka Pemerintah membuat suatu Rencana Umum
mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa untuk
berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara.
Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia sama
sekali tidak bisa dipisahkan dengan tanah. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh
bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah.523 Dinamika masalah pertanahan
memiliki muatan kerumitan yang tinggi, hal ini disebabkan oleh realitas yang
menunjukkan bahwa kebutuhan manusia akan tanah senantiasa meningkat seiring dengan
laju pertumbuhan dan pembangunan di segala bidang. Di lain pihak secara kuantitas
jumlah tanah tidak bertambah luas (relatif tetap). Oleh karena itu permasalahan di bidang
pertanahan dituntut agar dapat mengelola tanah yang tersedia secara optimal, sehingga
522
Bernhard Limbong, „„Hukum Agraria Nasional‟‟ Jakarta, Margaretha Pustaka, 2012, hlm. 243.
523
Kertasapoetra, dkk., Hukum Tanah Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Bina Aksara, Jakarta,1984,
hlm. 1.

Politik Agraria | 333


secara profesional masing-masing kepentingan dapat diakomodir secara proposional
sebagai pencerminan dari citacita pembangunan nasional di segala bidang.
Tanah merupakan sarana aktifitas dalam kehidupan dan tanah juga untuk sarana
pembangunan . Kedudukan tanah yang penting ini kadang tidak diimbangi dengan usaha
untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam bidang pertanahan. Fakta
memperlihatkan bahwa keresahan di bidang pertanahan mendatangkan dampak negatif di
bidang sosial, politik dan ekonomi. Untuk itu berdasarkan TAP MPR No.IV/MPR/1978
ditentukan agar pembangunan di bidang pertanahan diarahkan untuk menata kembali
penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah.Atas dasar TAP MPR No. IV/MPR/1978,
Presiden mengeluarkan kebijaksanaan bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur
Tertib Bidang Pertanahan sebagaimana dimuat dalam Keppres No. 7 Tahun 1979,
meliputi:524
a. Tertib Hukum Pertanahan
b. Tertib Administrasi Pertanahan
c. Tertib Penggunaan Tanah
d. Tertib Pemeliharaan Tanah Dan Lingkungan Hidup
Tanah telah berkembang menjadi masalah lintas sektoral yang mempunyai dimensi
ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan, sekaligus sebagai
pengejawantahan dari kelima sila dalam Pancasila. Dalam kaitan itu Garis-Garis Besar
Haluan Negara Tahun 1993 Bab VI Sub F No. 15 menegaskan, bahwa : “Tanah dan lahan
yang mempunyai nilai ekonomi dan fungsi sosial, pemanfaatannya perlu diatur dan
dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi bagi sebesar-besar kesejahteraan
masyarakat.” Kemudian dipertegas kembali melalui garis kebijaksanaan yang dituangkan
dalam GBHN Tahun 1999 Bab IV Sub B No. 16 : “Mengembangkan kebijakan
pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil,
transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak setempat, termasuk hak ulayat
dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang”.

B. Tugas Pokok Dan Fungsi Agraria Di Indonesia


Ketentuan hukum agraria nasional sebagaimana tertuang dalam UUPA (UU No. 5
Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria) merupakan dasar bagi politik
Hukum Agraria Nasional. Oleh karena itu ketentuannya hanya berupa pokok-pokok atau
asas-asasnya saja, sedangkan kelengkapannya diserahkan kepada perkembangan dan
kebutuhan masyarakat dalam bidang keagrariaan. Hukum agraria didalamnya memuat
berbagai macam hak penguasaan atas tanah. Beberapa hal penting yang diatur dalam
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah penetapan tentang jenjang kepemilikan
hak atas penguasaan tanah dan serangkaian wewenang, larangan, dan kewajiban bagi
pemegang hak untuk memanfaatkan dan menggunakan tanah yang telah dimilikinya
tersebut. Beberapa pasal penting dalam hukum agraria yang berlandaskan
UndangUndang Pokok Agraria atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 adalah
tentang Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa
Bangunan, Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan, Hak Guna Air, Hak Guna
Ruang Angkasa, Hak Tanah untuk Keperluan Sosial.525
Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia adalah kementerian yang
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidangagraria/pertanahan dan tata ruang
dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara. Kementerian Agraria dan Tata Ruang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden.526 Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia dijabat oleh
seorang menteri yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sejak

524
Ismaya Samun, Hukum Administrasi,Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013, hlm.22-24.
525
Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftrannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Hlm 114-115.
526
Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang

Politik Agraria | 334


27 Oktober 2014 Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia dipimpin oleh
Ferry Mursyidan Baldan527
Kementerian Agraria dan Tata Ruang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang untuk membantu Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyelenggarakan fungsi:
1. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang tata ruang, infrastruktur
keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum keagrariaan/pertanahan, penataan
agraria/pertanahan, pengadaan tanah, pengendalian pemanfaatan ruang dan
penguasaan tanah, serta penanganan masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang,
dan tanah;
2. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
3. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
4. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata
Ruang;
5. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi ataspelaksanaan urusan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang di daerah; dan
6. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Badan Pertanahan Nasional (disingkat BPN) adalah lembaga pemerintah non-
kementerian di Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di
bidang Pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BPN dahulu
dikenal dengan sebutan Kantor Agraria. BPN diatur melalui Peraturan Presiden Nomor
20 Tahun 2015.
BPN (Badan Pertanahan Nasional) mempunyai tugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dalam melaksanakan tugas, BPN menyelenggarakan fungsi:
a) penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan;
b) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan;
c) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah, pendaftaran
tanah, dan pemberdayaan masyarakat;
d) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan
pengendalian kebijakan pertanahan;
e) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah;
f) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan penanganan
sengketa dan perkara pertanahan;
g) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPN;
h) pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN;
i) pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan
informasi di bidang pertanahan;
j) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan dan pelaksanaan
pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanian.528
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, BPN menyelenggarakan fungsi:
a) Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional.
b) Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran, serta sertifikasi tanah secara
menyeluruh di seluruh Indonesia.

527
CNN Indonesia : Daftar Nama Menteri Kabinet Kerja Jokowi
528
Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasiona

Politik Agraria | 335


c) Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah (land tenureship).
d) Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan
daerah-daerah konflik.
e) Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan di
seluruh Indonesia secara sistematis.
f) Membangun Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS), dan sistem
pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia.
g) Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat
h) Membangun data base pemilikan dan penguasaan tanah skala besar.
i) Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan Pertanahan
yang telah ditetapkan.
j) Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional
k) Mengembangkan dan memperbarui Politik, hukum dan Kebijakan Pertanahan.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia adalah kementerian yang
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang
dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara. Kementerian Agraria dan Tata Ruang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden.529 Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia dijabat oleh
seorang menteri yang juga menjabat sebagai KepalaBadan Pertanahan Nasional.
Sejak 27 Oktober2014 Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia
dipimpin oleh Ferry Mursyidan Baldan.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang untuk membantu Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyelenggarakan fungsi:
 Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang tata ruang, infrastruktur
keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum keagrariaan/pertanahan, penataan
agraria/pertanahan, pengadaan tanah, pengendalian pemanfaatan ruang dan
penguasaan tanah, serta penanganan masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang,
dan tanah;
 Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
 pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
 pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata
Ruang;
 pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi ataspelaksanaan urusan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang di daerah; dan
 pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Badan Pertanahan Nasional (disingkat BPN) adalah lembaga pemerintah
nonkementerian di Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan
di bidang Pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BPN
dahulu dikenal dengan sebutan Kantor Agraria. BPN diatur melalui Peraturan
Presiden Nomor 20 Tahun 2015.
BPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas, BPN
menyelenggarakan fungsi:530
529
Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang
530
Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang

Politik Agraria | 336


a) penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan;
b) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan;
c) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah, pendaftaran
tanah, dan pemberdayaan masyarakat;
d) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan
pengendalian kebijakan pertanahan;
e) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah;
f) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan penanganan
sengketa dan perkara pertanahan;
g) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPN (Badan Pertanahan Nasional) ;
h) pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN (Badan Pertanahan Nasional) ;
i) pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan
informasi di bidang pertanahan;
j) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; dan pelaksanaan
pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, BPN (Badan Pertanahan
Nasional) menyelenggarakan fungsi:

a) Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional.


b) Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran, serta sertifikasi tanah secara
menyeluruh di seluruh Indonesia.
c) Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah (land tenureship).
d) Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan
daerah-daerah konflik.
e) Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan di
seluruh Indonesia secara sistematis.
f) Membangun Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS), dan sistem
pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia.
g) Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat.
h) Membangun data base pemilikan dan penguasaan tanah skala besar.
i) Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan Pertanahan
yang telah ditetapkan.
j) Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional.
k) Mengembangkan dan memperbarui politik, hukum dan kebijakan Pertanahan.

Dalam tugas-tugas pokoknya Direktoral Jenderal Agraria menyelenggarakan fungsi-


fungsi sebagai berikut :
a) Tata Guna Tanah (Land Use);
b) Landreform;
c) Pengurusan Hak-hak Tanah;
1. Pendaftaran Tanah;
2. Administrasi531

Adapun pembidangan dan tugasnya dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut :

531
HeruKuswanto, SH.Mhum. kondisi hukum agraria fungsi pokok agraria.

Politik Agraria | 337


1. Tata Guna Tanah
Tata guna tanah merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan penataan tanah
secara maksimal, sebab konsep tata guna tanah selain mengatur mengenai persediaan,
penggunaan terhadap bumi, air, dan ruang angkasa, juga terhadap tanggung jawab
pemeliharaan tanah, termasuk di dalamnya menjaga kesuburannya.532
Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang (sekarang Undang-
undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang) menyebutkan “Perencanaan tata
ruang, struktur dan pola tata ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna Air dan
tata guna sumber daya lainnya”. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penatagunaan
tanah adalah bagian yang tak terpisahkan dari penataan ruang, atau subsistem dari
penataan ruang. Pada saat ini penatagunaan tanah merupakan unsur yang paling
dominan dalam proses penataan ruang.533
Selain itu penatagunaan tanah diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota, dan diselenggarakan sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.534 Didalam
pelaksanaannya, Kegiatan penatagunaan tanah meliputi perencanaan, pelaksanaan dan
pengendalian perlu dikoordinasikan dengan istansi-instansi terkait di pusat dan di
daerah agar penatagunaan tanah dapat diserasikan dengan rencana tata ruang.535
Fungsi ini memberikan pedoman dan pengarahan dalam rangkamening-katkan
efisiensi penggunaan tanah sesuai dengan persediaan dankemampuan tanah untuk
keperluan masyarakat. Tujuan yang hendakdicapaiadalah penggunaan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandungdi dalamnya secara efisien seimbang dan serasi agar
diperolehkemanfaatan yang optimal. Adapun kegiatan yang ditempuh adalah
melakukan survey Tata Guna Tanah, baik survey mengenai keadaanpenggunaan tanah
pada waktu sekarang maupun survey mengenai kualitasdan kemampuan tanahnya.
Ada dua macam pengertian tata guna tanah, yaitu sebagai berikut: 536 pertama
adalah tata guna tanah sebagai suatu keadaan mengenai penggunaan tanah. Yang
dimaksud dalam pengertian ini adalah bahwa penggunaan tanah yang sudah tertata,
atau dengan kata lain ada tatanannya. Dalam pengertian ini, orang mengatakan tata
guna tanah sekarang masih belum tertata rapi. Yang Kedua adalah tata guna tanah
sebagai suatu rangkaian kegiatan. Pengertian Tata guna tanah sebagai suatu rangkaian
kegiatan di sini bukan keadaanya, tetapi rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam
rangka menciptakan suatu keadaan baik. Dalam pengertian luas, tata guna tanah
dipakai dalam arti kegiatan-kegiatan dengan tujuan untuk menciptakan keadaan
penggunan tanah yang baik
Tujuan utama dari Tata Guna Tanah adalah agar tanah yang tersedia itu harus dapat
dimanfaatkan untuk dapat mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33
ayat (3) UUD 45). Maka untuk mencapai tujuan itu, kebutuhan-kebutuhan Negara,
Masyarakat dan perorangan yang memerlukan tanah harus dapat dipenuhi, padahal
jumlah tanah tidak bertambah sehingga terbatas. Maka harus diatur sedemikian rupa
supaya kebutuhan-kebutuhan itu dapat dipenuhi secara serasi dan seimbang. Kalau
kebutuhankebutuhan itu sudah terpenuhi, maka penggunaannya harus sedemikian
rupa supaya dicapai manfaat yang sebesar-besarnya dan sebaik-baiknya dan
diselenggarakan sedemikian rupa supaya tanah itu tetap bermanfaat.537

532
Supriadi, Op.Cit, hal. 261
533
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: LPHI, 2005), hal. 20
534
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penatagunaan Tanah, PP No.16 tahun 2004, Pasal 4 ayat (3) dan (4).
535
Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hal. 90
536
Hasni, Op.Cit, hal. 28.
537
Arie.S.Hutagalung, Tata Guna Tanah dan Land Reform, (Jakarta:1995), hal.81.

Politik Agraria | 338


Dalam literatur Hukum Agraria asas tata guna tanah biasanya dibedakan kelompok,
hal tersebut disebabkan oleh karena adanya perbedaan titik berat penggunaan tanah
diantara daerah perkokotaan dan daerah pedesaan, dimana penggunaan tanah di
daerah pedesaan lebih dititikberatkan pada usaha-usaha pertanian, sedangkan
penggunaan tanah di daerah perkotaan dititikberatkan pada kegiatan non pertanian
serta perbedaan ciri-ciri kehidupan masyarakat pedesaan dengan perkotaan538
Dalam tata guna tanah terdapat suatu pengelolaan yang meliputi penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah
melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu
kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil disebut dengan
penatagunaan tanah.539
2. Landreform
Membatasi penguasaan dan pemilikan tanah baik untuk keperluan Badan Hukum
atau perorangan/keluarga agar diperoleh pemerataanpendapatan dan hasil yang sama
serta adil. Adapun kegiatan-kegiatanLandreform meliputi usaha-usaha:
a) Menghapuskan sistim pemilikan dan penguasaan tanah luas
denganmenyelenggarakan batas maximum dan minimum untuk tiap keluarga.
b) Larangan pemilikan tanah pertanian secara guntai (absentee) danlarangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkanpemecahan pemilikan tanah-
tanah pertanian menjadi bagian-bagianyang terlampau kecil.
c) Memperbaiki sistim penguasaan tanah tradisionil dalam bentuk bagihasil dan gadai
tanah.
d) Menyelenggarakan redistribusi tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum tanah-
tanah yang terkena larangan absentee dan tanah-tanah negara lainnya.
e) Melaksanakan pembayaian ganti rugi kepada bekas pemilik-pemiliktanah yang
terkena ketentuan Landreform.
f) Melaksanakan usaha pengembangah dan tindak lanjut berupa pembinaan petani
Landreform.
Dasar hukum landreform
Sebagai pelaksanaan dari pasal 17 UUPA tentang batas minimum dan maksimum
ha katas tanah, pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah penganti Udang-
undang (Perpu) No 5 6 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai
berlaku tanggal 1 januari 1960. Peraturan Pemerintah (Perpu) No 56/1960 ini
kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No 56 tahun 1960 penjelasanya tentang
penetapan luas tanah pertanian540
Tujuan Landreform
Tujuan dari landreform yang di selenggarakan di indonesia adalah untuk
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani pengarap tanah, sebagai
landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Untuk mencapai tujuan
dimaksud dilakukan dengan mengadakan pembagian yang adil atas sumber kehidupan
rakyat tani yang berupa tanah dan pembagaian hasil yang adil pula, melaksanakan
prinsip tanah untuk tani, mengahiri system tuan tanh, dan perlindungan terhadap
ekonomi lemah541
538
Ibid hlm 82
539
Indonesia, PP No.16 tahun 2004, Pasal 1 ayat (1)
540
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya.
Penerbitan Djambatan, Jakarta 1999, hlm 21-22
541
Mudjiono, Hukum Agraria , Penerbit Liberty Yogyakarta 1992, hlm 18

Politik Agraria | 339


Program Landrefrom
Program landerfrom meliputi:
1. Pembatasan luas maksimum pemilikan tanah
2. Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut”absente” atau guntai
3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang
terkena larangan “absente”, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara;
4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan.
5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan:
6. Penetapan luas minimum pemilikan tanh pertanian, disertai larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-
tanah pertanian menjadi bagaian-bagaian yang terlampau kecil.542
Hambatan utama dari pelaksanaan landerform adalah pola kebijakan politik
pemerintah sekarang yang lebih megejar pertumbuhan ekonomi serta masih adanya
pandangan di kalangan birokrat sendiri bahwa landrefrom merupakan program yang
“tabu” untuk dibicarakan apalagi untuk dilaksanakan karena dianggap merupakan
produk komunis, konsep “tanah untuk petani” dianggap sebagai konsep komunis. Bila
kita bandingkan program landrefrom yang dilaksankan di negara yang berbasis
komunis seperti Uni Soviet (sekarang telah runtuh) sanagat berbeda dengan program
landerfrom yang dilaksanakan di indonesia atau beberapa negara asia seperti jepang,
dimana bila jepang dan indonesia kepada bekas pemilik tanah diberikan ganti
kerugian maka Uni Soviet tanah disita tanpa pemberian ganti rugi.543
Ciri pokok dari pada pelaksanaan Landreform di Indonesia ialah :
a. Tidak menghapus hak milik perorangan atas tanah, bahkan secara kuantitatif
menambah jumlah pemilik-pemilik tanah.
b. Adanya jaminan pembayaran ganti rugi bagi para bekas pemilik tanah-tanah
pertanian kelebihan dan absentee yang dikuasai oleh Pemerintah.
3. Pengurusan Hak-hak Tanah
Bidang tugas ini pada pokoknya bersifat pelayanan umum terhadap para anggota
masyarakat, badan-badan hukum, instansi-instansiPemerintah yang memerlukan
tanah untuk kegiatan-kegiatan usaha-usahanya, pencabutan hak dan pengawasan
terhadap pemindahan hak atastanah.
4. Pendaftaran Tanah
Pelaksanaan untuk tercapainya jaminan dan kepastian hukum hak-hak atas tanah
diselenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayahNegara, dengan mengadakan
pengukuran, pemetaan tanah sertamenyelenggarakan tata usaha pendaftaran hak-hak
serta peralihannya danpemberian surat tanda bukti hak berupa sertipikat sebagai alat
pembuktianyang kuat. Pendaftaran tanah di Indonesia dilakukan dengan sistim negatif
dengan dilakukan secara bertahap dan didasarkan pada azas.
a. Azas publisitas yakni, bahwa nama pemilik bidang tanah, status hak atas tanah,
serta adanya beban-beban di atas tanah seperti adanyahipotik, sitaan-sitaan dan
sebagainya harus terdaftar dalam daftarumum, artinya bahwa daftar data-data ini
terbuka bagi umum.
b. Azas spesialitas yakni, bahwa letak tanah, lokasinya, luasnya serta tanda-tanda
batasnya harus tampak jelas, oleh karena itu bidang tanah haruslah diukur,
542
A.P Perlindungan, Landerfrom di indonesia, suatu studi perbandingan, penerbit di Bandung, 1989, hlm 24
543
Dosen Fakultas Syariah dan HuKUM Uin Alaudin Makasar, Undang-Undang Agraria sebagai Induk Landrefrom,
Jurnal ,vol. 3 / NO 2 /desember 2014

Politik Agraria | 340


dipetakan, dihitung luasnya serta jelas macam tanda batas (situasi) bidang tanah
itu.
Kegiatan pendaftaran tanah menurut PP Nomor 24 tahun 1997, Definisi
pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (PP 24/1997) merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup
kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang meliputi;
pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas
tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat.
Kegiatan pendaftaran tanah lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997, sebagai berikut :544
a) Kegitan pendaftaran Tanah untuk pertama kali (Opzet atau initial registration).
Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk objek
tanah yang belum didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah (PP 10/1961) atau PP 24/1997. Pendaftaran tanah
untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah 545 secara sistematik dan
pendaftaran tanah secara sporadik. Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah
secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara
serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam
wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan (Pasal 1 angka 10 PP 24/1997).
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kalinya mengenai satu beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah
atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal (Pasal 1
angka 11 PP 24/1997)546
b) Kegiatan Pemeliharan Data pendaftaran Tanah (Bijhouding atau Maintenance)
Kegiatan ini adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik
dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, daftar surat
ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi
kemudian (Pasal 1 angka 12 PP 24/1997). Berdasarkan Pasal 36 PP 24/1997,
pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data
fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Perubahan fisik
terjadi kalau diadakan pemisahan, pemecahan, atau penggabungan bidang-bidang
tanah yang sudah didaftar. Perubahan data yuridis terjadi misalnya jika diadakan
pembebanan atau pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah didaftar547
c) Tujuan Pendaftaran Tanah Dalam PP No. 24 Tahun 1997 bertujuan untuk;
(i) memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar,
agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan, (ii) untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan, termasuk Pemerintah agar dapat memperoleh data yang diperlukan
dalam mengadakan perbuatan-perbuatan hokum sehubungan dengan tanah dan
rumah susun, dan (iii) untuk dapat terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Pendaftaran Tanah : Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan
Nasional, (BPN), dimana pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor
544
Peraturan Pemerintah R.I Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftran Tanah.
545
Peraturan Pemerintah R.I Nomor 40 tqhun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bnagunan dan Hak pakai atas
Tanah
546
Ryan Alfi Syahri, Perlindunagan Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah, Jurnal Ilmu Hukum, Edisi 5, Vol 2, tahun 2014.
547
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 pasal 36 Tentang Pendaftran Hak Guna Usaha.

Politik Agraria | 341


Pertanahan (Kantor Pertanahan). Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Negara Agraria.548
Azas publisitas lebih menekankan segi-segi legalitas yakni segi-segihukum atas
tanah, sedang azas spesialitas lebih-lebih menekankan segi-segi tekhnis pengukuran
dan pemetaan yakni dalam bidang ilmu geodesi.
5. Administrasi
Menurut Nurdin Usman, implementasi bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan,
atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi
suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan.549
Menurut Guntur Setiawan, implementasi atau pelaksanaan adalah perluasan
aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk
mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif.550
Sedangkan menurut Hanifah Harsono, implementasi atau pelaksanaan adalah suatu
proses untuk melaksanakan kebijakan menjadi tindakan kebijakan dari politik ke
dalam administrasi. Pengembangan kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu
program551
Tertib administrasi pertanahan adalah upaya memperlancar setiap usaha dari
masyarakat yang menyangkut tanah terutama dengan pembangunan yang memerlukan
sumber informasi bagi yang memerlukan tanah sebagai sumber daya, uang dan
modal.Menciptakan suasana pelayanan di bidang pertanahan agar lancar, tertib,
murah, cepat dan tidak berbelit-belit dengan berdasarkan pelayanan umum yang adil
dan merata552
Guna memperlancar setiap urusan yang menyangkut tanahsehingga menunjang
lancarnya pembangunan perlu peningkatan tertib administrasi pertanahan. Dalam
menanggulangi usaha-usaha meningkatkan tertib administrasi pertanahan,
diusahakan pola kebijaksanaan yang menyeluruh baik mengenai organisasi/tata kerja,
personalia, keuangan maupun prasarana demi tercapainya tertib tersebut. Dalam hal
ini ada beberapa tugas pokok dan fungsi keagrariaan antara lain :
a. Tugas pokok dan tata guna tanah
Di dalam hukum agraria ada beberapa tugas pokok dan tata guna tanah yang
sudah ditetapkan dalam hukum yakni
1. Mengamati persediaan tanah
2. Menggariskan peruntukkan tanah
3. Mengamati pola penggunaan tanah serta menyarankan usaha pemeliharaan atas
tanah
b. Konsepsi perencanaan penggunaan tanah
1. Perencanaan penggunaan tanah tidak menggariskan apa yang harus dipetakan,
tetapi dia meletakkan apa yang sudah digariskan.
2. Perencanaan penggunaan tanah tidak bisa ada kalau tidak didahului oleh jenis
perencanaan lain, misalnya perencanaan ekonomi.
3. perencanaan ekonomi tanpa adanya perencanaan tanah akan menimbulkan
“kesemrawutan”
548
Ibid.
549
Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.70
550
Guntur Setiawan, Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hlm.39.
551
Harsono Hanifah, Implementasi Kebijakan dan Politik, Mutiara Sumber Wijaya, Bandung, 2002, hlm.67.
552
1Nandang Alamsyah, Administrasi Pertanahan, Universitas Terbuka, Jakarta, 2002, hlm 114.

Politik Agraria | 342


c. Pedoman teknis penggunaan tanah
1. Asas penggunaan tanah dibedakan menjadi dua kelompok besar menurut sifat
polanya yaitu :553
Penggunaan tanah pedusunan (rural land use)
Penggunaan tanah pedusunan pertama-tama tujuan dititk beratkan kepada
produksi, karena itu penggunaan berasaskan : Lestari, Optimal, Seimbang
(L.O.S).
2. Penggunaan tanah perkotaan (urban land use)
Penggunaan tanah perkotaan pertama-tama tujuan dititk beratkan kepada
tujuan tempat tinggal, karena itu penggunaan tanah perkotaan berasaskan :
Aman, Tertib, Lancar, dan Sehat (A.T.L.A.S)
3. Kriteria Teknis
Faktor teknis yang perlu dipertimbangkan dalam usaha untuk mencarikan
tempat dari setiap jenis kegiatan meliputi sifat. Sifat fisik tanah dan
lingkungannya, serta faktor-faktor sosial ekonomi.
4. Kriteria Teknis untuk penggunaan fatwa Tata Guna Tanah
Fatwa tata guna tanah yang diberikan, baik dalam rangka pemberian hak
maupun ijin konversi pengunaan tanah, adalah berdasarkan dari segi teknis
obyektif.
5. Kriteria Teknis untuk pemberian fatwa mencakup :
a. Lokasi dan fungsi dari permukaan laut.
b. Penggunaan tanah sekitarnya, kualitas tanah yang menyangkut lereng,
drainase, kedalaman tanah dan sifat-sifat fisiknya.
c. Penggunaan tanah pada saat ini
d. Keadaan air (hidrologi)
e. Status tanah dan siapa yang menggarap sekarang
f. Akibat-akibat lingkungan daripada jenis penggunaan yang dimohon
g. Faktor-faktor sosial ekonomi lainnys.
6. Kriteria Teknis dalam proses penyusunan rencana tata guna tanah tingkat
kabupaten
Tujuan dari rencana tata guna tingkat kabupaten adalah untuk mencarikan
letak dari semua kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah. Bentuk dari
rencana ini dibukukan ke dalam 3 buah buku (4 buah buku untuk Kotamadya).
Buku A
Berisi fatwa dan penjelasan, baik fatwa-fatwa fisik sosial maupun ekonomi
dan pada kabupaten yang bersangkutan fatwa fisik iklim. Hidrologi,
penggunaan tanah dan kualitas medan.
Buku B
Berisi volume kegiatan dari setiap sektor yang juga dijabarkan ke dalam
setiap kecamatan. Baik untuk jangka waktu 5 tahun maupun untuk kegiata-
kegiatan tahunan.
Buku B ini di pecah menjadi 2 yaitu :
Buku B 1
Merupakan usulan kegiatan oleh Kecamatan/Kabupaten
Buku B 2
Berisi peta-peta yang menunjukkan letak dari kegiatan yang tercantum dalam
buku B1
7. Kriteria Teknis perencanaan pengunaan tanah yang detail

553
HeruKuswanto, SH.Mhum. kondisi hukum agraria fungsi pokok agraria.

Politik Agraria | 343


Perencanaan pengunaan tanahyang lebih detail pada soal ini meliuti daerah
transmigrasi, royek-proyek perkebunan. Sifat dari perencanaan pengunaan tanah
disini berbeda dengan rencana pengunaan tanah di tempat kabupaten.
Urutan-urutan kegiatannya adalah :
a) Penetapan yang dilakukan dalam segala segi yang sangkut pautnya tersebut
karena itu dalam penetapan tersebut pemerintah daerah memegang peranan
utama.
b) Setelah lokasi ditetapkan, kemudian di survei dengan detail dengan meliputi
pembuatan peta dasar (peta garis tinggi), peta penggunaan tanah, peta
kualitas medan dan analisa sosial ekonomi yang dari kawasan tersebut yang
unitnya dapat berupa kecamatan atau beberapa kecamatan. Semua peta ini
dibuat dengan skala yang berukuran besar sekurang-kurangnya 1 : 5000
c) Atas dasar hasil dan analisa survei detail tersebut dibuatlah kemudian desain
tata ruang atau boleh kita sebut perencanaan pengunaan tanah yang detail
dari suatu wilayah khusus.
8. Penyediaan Data Pokok Pertanahan secara Nasional
Selain penyediaan data-data yang segera diperlukan untuk kebutuhan
pemberian fatwa Tata Guna Tanah, proyek-proyek perkebunan, proyek-proyek
resettlement lainnya, kegiatan bidang Tata Guna Tanah Direktorat Jenderal
Agraria mempunyai tugas-tugas pokok untuk penyediaan data pertanahan secara
sistematis.
Untuk penyediaan data tersebut dilakukan pemetaan secara sistematis tentang
penggunaan tanah yang kualitas medan. Kemudian untuk memberikan data
untuk keperluan data bagi berbagai instansi atau pemakai data lainnya yang
mempunyai tujuan berbeda-beda, maka jenis-jenis pemetaan sistematis yang
dilakukan secara berbeda-beda pula.
Pada garis besarnya pemetaan meliputi :
a. Pemetaan penggunaan tanah pedusunan baik skala 1 : 200.000 maupun 1 :
50.000
b. Pemetaan kemampuan tanah.
c. Pemetaan penggunaan tanah kotamadya.
d. Pemetaan penggunaan tanah kabupaten.
e. Pembuatan peta kerja (peta topografi).
f. Pemetaan penggunaan tanah detail berskala 1 : 25.000 atau lebih besar.
g. Pemetaan revisi penggunaan tanah detail.
h. Pemetaan revisi penggunaan tanah kotamadya.
i. Pemetaan revisi penggunaan tanah kabupaten.
j. Pemetaan data kecamatan.
k. Pemetaan dan monitoring lokasi daerah miskin.
l. Pemetaan produktivitas tanah.554

C. Tata Tertib Pertanahan Di Indonesia


Menurut Nurdin Usman, implementasi bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau
adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu
kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan. 555 Menurut Guntur
Setiawan, implementasi atau pelaksanaan adalah perluasan aktivitas yang saling
menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta

554
Soetomo, Politik & Administrasi... hlm. 65.
555
Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.70.

Politik Agraria | 344


memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif.556 Sedangkan menurut Hanifah
Harsono, implementasi atau pelaksanaan adalah suatu proses untuk melaksanakan
kebijakan menjadi tindakan kebijakan dari politik ke dalam administrasi. Pengembangan
kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program.557
Tanah merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan. Kedudukan tanah yang
penting ini kadang tidak diimbangi dengan usaha untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang timgul dalam bidang pertanahan. Fakta memperlihatkan bahwa
keresahan di bidang pertanahan mendatangkan dampak negatif di bidang sosial, politik
dan ekonomi.
Untuk itu berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/1978 ditentukan agar pembangunan di
bidang pertanahan diarahkan untuk menata kembali penggunaan, penguasaan, dan
pemilikan tanah. Atas dasar Tap MPR No. IV/MPR/1978, Presiden mengeluarkan
kebijaksanaan bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Bidang Pertanahan
sebagaimana dimuat dalam Keppres No. 7 Tahun 1979, meliputi:558
 Tertib Hukum Pertanahan

Diarahkan pada program:


a. Meningkatkan tingkat kesadaran hukum masyarakat.
b. Melengkapi peraturan perundangan di bidang pertanahan.
c. Menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
d. Meningkatkan pengawasan dan koordinasi dalam pelaksanaan hukum agraria.
 Tertib Administrasi Pertanahan
Tertib administrasi bidang pertanahan merupakan kebijakan pokok pertanahan
dalam rangka untuk mewujudkan kelengkapan data dari setiap bidang tanah tercatat
dan diketahui dengan mudah, baik mengenai riwayat, kepemilikan, subjek haknya,
keadaan fisik serta ketertiban prosedur dalam setiap urusan yang menyangkut tanah
melali pendaftaran tanah Di bidang pertanahan, layanan administrasi pertanahan
merupakan bentuk komitmen agar pertanahan didasarkan atas data yang valid dan
akurat. Untuk mendukung tersedianya data yang valid serta akurat tersebut, harus
dibangun dan diterapkan kebijakan satu peta. Konflik pertanahan yang sering terjadi
disebabkan juga oleh pengadministrasian pertanahan yang dilakukan selama ini belum
tertib dan belum selaras. Untuk segera menuju ke arah Pemetaan Lengkap yang
berbasis tanah ternyata masih banyak kendala, yaitu diperlukan sumber dana yang
besar, terbatasnya jumlah SDM, adanya ego sektoral, cakupan wilayah yang luas, dan
peta-peta dasar belum tersedia.559
Diarahkan pada program:
1. Mempercepat proses pelayanan yang menyangkut urusan pertanahan.
2. Menyediakan peta dan data penggunaan tanah, keadaan sosial ekonomi masyarakat
sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan penggunaan tanah bagi kegiatan-
kegiatan pembangunan.Penyusunan data dan daftar pemilik tanah, tanah-tanah
kelebihan batas maksimum, tanah-tanah absente dan tanah-tanah negara.
3. Menyempurnakan daftar-daftar kegiatan baik di Kantor Agraria maupun di kantor
PPAT
4. Mengusahakan pengukuran tanah dalam rangka pensertifikatan hak atas tanah.
556
Guntur Setiawan. Implementasi Dlama Birokrasi Pembangunan. Remaja Roasdakarya. Bandung : 2004). Hlm
39.
557
Harsono Hanifah, Implementasi Kebijakan dan Politik, Mutiara Sumber Wijaya, Bandung, 2002, hlm.67.
558
Soplantila, Pola penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah secara tradisional, 1992.
559
Ana Silvian, Mira Novana Ardani, Sinden Bertapa Metode Menuju Tertib Adiminstrasi Bidang pertanahan,
Jurnal Masalah-masalh Hukum, Jilid 47 No. 3 juli 2018,hlm 282-297

Politik Agraria | 345


 Tertib Penggunaan Tanah

Diarahkan pada usaha untuk:


1. Menumbuhkan pengertian mengenai arti pentingnya penggunaan tanah secara
berencana dan sesuai dengan kemampuan tanah.
2. Menyusun rencana penggunaan tanah baik tingkat nasional maupun tingkat daerah.
3. Menyusun petunjuk-petunjuk teknis tentang peruntukan dan penggunaan tanah.
4. Melakukan survey sebagai bahan pembuatan peta penggunaan tanah, peta
kemampuan dan peta daerah-daerah kritis.
 Tertib Pemeliharaan Tanah Dan Lingkungan Hidup

Diarahkan pada usaha:


1. Menyadarkan masyarakat bahwa pemeliharaan tanah merupakan kewajiban setiap
pemegang hak atas tanah.
2. Kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau
pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban setiap orang,
badan hukum, atau isntansi yang mempunyai suatu hubungan dengan tanah.
3. Memberikan fatwa tata guna tanah dalam setiap permohonan hak atas tanah dan
perubahan penggunaan tanah.
Dengan adanya tertib administrasi pertanahan dimaksud bahwa data-data setiap
bidang tanah tercatat dan diketahui dengan mudah, baik mengenai riwayat,
kepemilikan, subjek haknya, keadaan fisik serta ketertiban prosedur dalam setiap
urusan yang menyangkut tanah.560 Adapun yang berkaitan dengan tertib administrasi
adalah :561
1. Prosedur permohonan hak tanah sampai terbit sertifikat tanda bukti.
2. Penyelesaian tanah-tanah yang terkena ketentuan peraturan landreform.
3. Biaya-biaya mahal dan pungutan-pungutan tambahan.
PP No. 24 Tahun 1997 mengenai tujuan Pendaftaran Tanah untuk terselenggaranya
tertib administrasi pertanahan sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf c, setiap bidang
tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak
atas bidang tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftarkan.
Tertib Penggunaan Tanah Diarahkan pada usaha untuk:

1. Menumbuhkan pengertian mengenai arti pentingnya penggunaan tanah secara


berencana dan sesuai dengan kemampuan tanah;
2. Menyusun rencana penggunaan tanah baik tingkat nasional maupun tingkat daerah;
3. Menyusun petunjuk-petunjuk teknis tentang peruntukan dan penggunaan tanah;
4. Melakukan survey sebagai bahan pembuatan peta penggunaan tanah, peta
kemampuan dan peta daerah-daerah kritis.

Tertib Pemeliharaan Tanah Dan Lingkungan Hidup Diarahkan pada usaha:

1. Menyadarkan masyarakat bahwa pemeliharaan tanah merupakan kewajiban setiap


pemegang hak atas tanah. Kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan
kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi
beban setiap orang, badan hukum, atau isntansi yang mempunyai suatu hubungan
dengan tanah;
560
Ainun Rohma, Pertanahan Di Indonesia, vol.2, NO.3 Tahun 2014
561
Harsono, B. (1999). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta:
Djambatan

Politik Agraria | 346


2. Memberikan fatwa tata guna tanah dalam setiap permohonan hak atas tanah dan
perubahan penggunaan tanah;
3. Melakukan analisa dampak lingkungan (AMDAL) sebelum usaha industri/pabrik
didirikan.
4. Melakukan pemantauan terhadap penggunaan tanah. Yang erat kaitannya dengan
bidang tata guna tanah adalah terting penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan
tanah.

Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria/ KBPN Nomor 5 Tahun 1995 tentang


Gerakan Nasional Tertib Pertanahan direncanakanlah suatu gerakan nasional dengan
nama Gerakan Nasional Pemasangan Tanda Batas Pemilikan Tanah, yaitu gerakan
kesadaran masyarakat untuk mensukseskan Catur Tertib Pertanahan. Pemasangan
tanda batas pemilikan tanah dilakukan oleh pemilik tanah yang berdampingan secara
bersama-sama yang tergabung dalam wadah Kelompok Mayarakat Sadar Tertib
Pertanahan (POKMASDARTIBNAS).562

D. Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan


Berdasarkan Kep. Menteri Agraria/KBPN Nomor 5 Tahun 1995 tentang Gerakan
Nasional Sadar Tertib Pertanahan dicanangkanlah suatu gerakan nasional dengan nama
Gerakan Nasional Pemasangan Tanda Batas Pemilikan Tanah, yaitu gerakan kesadaran
masyarakat untuk mensukseskan Catur Tertib Pertanahan. Pemasangan tanda batas
pemilikan tanah dilakukan oleh pemilik tanah yang berdampingan secara bersama-sama
yang tergabung dalam wadah Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan.
Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan:

a) Tujuan

Sebagai gerakan partisipasi masyarakat dalam rangka mempercepat Catur Tertib


Pertanahan serta menigkatkan pelayanan kepada masyarakat.

b) Prinsip Dasar
1. Pemasangan tanda batas tanah dilakukan oleh pemilik tanah secara bersama-sama
pemilik tanah yang berdampingan.
2. Diciptakan adanya kelompok masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat untuk
mensukseskan kegiatan ini.
3. Sasaran

Masyarakat pemilik tanah di perkotaan dan pedesaan, melalui kelompok


POKMASDARTIBNAH, dimana Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya bertindak selaku motivator maupun sebagai fasilitator
dalam kegiatan tersebut.

POKMASDARTIBNAH (Kelompok Masyarakat Sadar tertib Pertanahan Nasional)


menjadi stimulus yang dapat mendukung pencapaian tujuan pengelolaan pertanahan oleh
BPN (Badan Pertanahan Nasional) RI. Ruang lingkup kegiatan yang dilaksanakan oleh
POKMASDARTIBNAH (kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan Nasional)
antara lain:
1. Mengikuti secara aktif pelaksanaan kegiatan Reforma Agraria dan program
pertanahan lainnya;
562
SamunIsmaya, Hukum Administrasi,Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013, hlm.24-25.

Politik Agraria | 347


2. Memberikan saran terhadap penyelenggaraan kegiatan agar pelaksanaannya efektif
dan efisien untuk mencapai sasaran;
3. Membangun kebersamaan dalam memperoleh akses penguatan, pemanfaatan,
peruntukan dan penggunaan tanah, permodalan dan peningkatan produksi serta
pemasaran.
4. Meningkatkan peran dan pendayagunaan tanah. Meliputi : pemanfaatan, peruntukan
penggunaan, kelestarian lingkungan hidup, penguatan hak tanah,penanganan dan
pencegahan timbulnya konflik, sengketa dan masalahpertanahan.

Tujuan dari dibentuknya POSMASDARTIBNAH adalah untuk meningkatkan


partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Program Pembaharuan Agraria Nasional
(PPAN) dan Program Pertanahan lainnya untuk mewujudkan sasaran Catur Tertib
Pertanahan (Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib
Penggunaan Tanah, Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup).563

E. Penatagunaan Tanah Pertanian


Penatagunaan tanah merupakan salah satu upaya dalam rangka Reforma Agraria
(Agrarian Reform) atau Pembaruan Agraria, yang dapat diartikan secara sempit sebagai
Land Reform, yang dalam arti sempit berarti redistribusi tanah, sedangkan dalam arti
luas berarti pembaruan dalam struktur penguasaan, struktur produksi dan struktur
pelayanan pendukung. Sedangkan arti Agrarian Reform dalam arti luas, merupakan
upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna
mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata
bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa.564
Apabila dikaitkan dengan Land Reform, minimal harus dengan upaya redistribusi
tanah dan pengaturan bagi hasil, atau intinya adalah pemerataan tanah sebagai sumber
daya pertanian, terutama dalam pengembangan agribisnis. Oleh karena tanah merupakan
faktor produksi yang terbatas, tidak tergantikan, tidak bisa dibuat dan merupakan
pemberian alam. Oleh karena itu tidak ada alasan sama sekali bagi dibolehkannya
monopoli tanah atau pertuanan tanah. Tanpa adanya land reform akan berakibat :
1) Tidak ada kekuatan daya beli yang artinya tidak adanya kekuatan pasar, dan tanpa
kekuatan pasar produksi tidak akan berkembang karena pada dasarnya landrefrom
menciptakan pasar atau daya beli
2) Petani tanpa asset tanah, sama artinya dengan petani miskin yang tidak mampu untuk
menciptakan tabungan.
3) Tanpa peningkatan ekonomi petani, maka pajak pertanian akan tetap minim.
4) Tidak akan terjadi diferensiasi yang meluas dari pembagian kerja di pedesaan yang
tumbuh karena kebutuhan pedesaan itu sendiri.
5) Tidak akan terjadi investasi di dalam pertanian oleh petani sendiri, malahan akan
terjadi disinvestasi, karena lama kelamaan banyak petani kehilangan tanah dan
kemiskinan meluas.
6) Tanah akhirnya hanya menjadi obyek spekulasi, karena tidak mampu digunakan
secara produktif oleh petani, melainkan dijarah oleh kelas-kelas di kota bagi
kepentingan spekulasi dan investasi non produktif.565

563
Tririana Rejekiningsih. Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Pada Negara Hukum (Suatu Tinjauan Dari
Teori,yuridis dan Penerapan Di Indonesia. Jurnal Yustisia Vol. 5 No. 2 Mei-Agustus 2016. Hlm 18.
564
Salindeho, John. 1993. Masalah Tanah Dalam Pembangunan. Sinar Grafika. Jakarta.
565
Wiradi, G. 2001. Prinsip-prinsip Reforma Agraria : Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat. (Yogyakarta:
Lapera Pustaka Utama).

Politik Agraria | 348


Pentingnnya arti tanah untuk kehidupan manusia ialah karena, kehidupan manusia
sama sekali tidak bisa dipisahkan dari tanah, manusia hidup diatas tanah dan
memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan tanah.566 Penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknnya sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan
dan kebahagiaan pemilik sekaligus bagi masyarakat dan Negara. Ketentuan tersebut
bukan berarti kepentingan perseorangan akan terdesak oleh kepentingan masyarakat
umum, namun kepentingan masyarakat dan perseorangan itu harus saling mengimbangi
sehingga dapat mencapai tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan dan kebahagian bagi
rakyat selurunnya.567 Penatagunaan tanah adalah penggunaan dan pemanfaatan tanah
yang berwujud konsolidasi.568 Tanpa adanya planning, maka pemakaian tanah-tanah
pertanian terutama hanya akan berpedoman pada kepentingan masing-masing atau pada
keuntungan insidentil yang mereka harapkan dari jenis-jenis tanaman tertentu. Dengan
planning maka dapat dicapai keseimbangan yang baik antara luas tanah dengan jenis-
jenis tanaman yang penting bagi rakyat dan negara.569
Dalam planning diberikan jatah tanah menurut keperluan rakyat dan negara untuk
jenis tanaman-tanaman yang penting bagi program sandang pangan, baik bagi bahan
pangan maupun tanaman perdagangan. Usaha kearah penatagunaan tanah secara teknis
telah dilakukan tetapi belum secara menyeluruh, antara lain dalam bentuk perundang-
undangan seperti:UU No. 38 Prp Tahun 1960 mengenai luas minimum tanaman tebu
yang harus ditetapkan oleh Menteri Agraria untuk dapat menjamin produksi tebu dan
kesinambungan produktifitas pabrik gula yang harus diimbangi dengan penetapan
maksimum luas tanah di daerah sekitar perkebunan tebu/pabrik gula yang bersangkutan,
yang boleh ditanami tanaman perdagangan lain. selain itu juga telah di tetapkan dalam
UU No. 5 Tahun 1960 Tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian ( Lembaran
Negara Tahun 1960 No. 104 ).
Pasal 1 Ayat 1 : sesorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan
satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik
sendiri atau kepunyaan orang lain ataupun miliknnya sendiri bersamaan dengan
kepunyaan orang lain yang jumlah luasnnya tidak melebihi batasan maksimum sebagai
yang di tetapkan dalam ayat 2 pasal ini.
Pasal 1 Ayat 2 : dengan memeprhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktor-
faktor lainnya, maka luas maksimum yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini di tetapkan
sebagai berikut, jika tanah pertanian yang dikuasai itu merupakan sawah dan tanah-tanah
kering maka untuk menghitung luas maksimum tersebut, luas sawah dijumlah dengan
luas tanah kering sama dengan sawah ditambah 30% di daerah yang tidak padatan 20%
di daerah-daerah padat dengan ketentuan, bahwa tanah pertanian yang di kuasai
seluruhnnya tidak boleh lebih dari 20 Hk.570
UU No. 20 Tahun 1964 yang mensyaratkan penetapan jumlah sewa yang layak, dalam
arti sewa yang tidak merugikan kaum tani atas tanah-tanah yang diharuskan ditanam
(tebu).Rencana pembangunan Tahunan (Repeta) tahun 2004 di bidang pembangunan
sektor pertanian terdapat beberapa kendala, yaitu:

566
Kertasapoetra, dkk., hukum tanah jaminan uupa bagi keberhasilan pendayaguanaan tanah, (Jakarta: Bina
Aksara). Hlm 1.
567
Boedi Harsono, “Hukum Agraria Indonesia’’, Bandung, Djambatan, 2012
568
Pengertian konsolidasi tanah, atau di sebut land consolidation atau dengan istilah lain disebut land assembly
and readjustment, merupakan teknik yang digunakan untuk menata kembali penguasa pemilikan dan
penggunaan tanah. ( oto sumarwoto, “Ekologi Lingkungan Hidup, dan Pembangunan”, Djambatan Jakarta 1997.
Hlm 162).
569
Maria S.W, Kebijakan Pertanahan antara regulasi dan implementasi, Kompas Media Nusantara, Jakarta:
2001.
570
Jurnal Hukum Agraria, Hukum Agraria Di indonesia, vol 5, No 4 tahun 2013

Politik Agraria | 349


 Masalah teknis yaitu keterlambatan musim hujan.
 Tekanan dari komoditas pertanian dari luar negeri akibat dibukanya mekanisme impor
dan makin menurunya tarif bea masuk.
 Terfragmentasinya lahan pertanian yang didorong dengan laju konversi lahan
pertanian yang semakin meningkat.
Penertiban pemakaian tanah liar sudah sejak lama dilakukan yaitu:Pada tahun 1948
dengan Ordonansi Onrechtmatige Ocupatie van GrondenUU Darurat No. 8 Tahun
1954UU Darurat No. 1 Tahun 1951 yang diganti denganUU No. 51 Prp Tahun 1960
tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dari yang berhak atau kuasanya.
Kepada penguasa daerah diberi wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan
penyelesaian atas tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan, yang digunakan tanpa
izin yang berhak atau kuasanya yang sah yang ada di daerahnya antara lain dengan
perintah pengosongan, dengan memperhatikan peruntukan dan penggunaan tanah yang
bersangkutan. Dalam penjelasan UU ini disebutkan mengenai banyaknya tanah-tanah di
dalam maupun di luar kota yang dipakai orang-orang tanpa izin. Juga pemekaian tanah
secara tidak teratur di perkotaan, lebih-lebih yang melanggar norma hukum dan tata
tertib yang menghambat pembangunan yang direncanakan.

F. Penyediaan dan Penggunaan Tanah Bagi Keperluan Perusahaan


Pembangunan yang terus meningkat jelas menuntut tersedianya tanah sebagai
sarananya. Di satu pihak luas tanah yang tersedia sangat terbatas. Oleh karena itu apabila
keperluan tanah bagi perusahaan-perusahaan terutama perusahaan yang menunjang
perekonomian negara tidak diatur maka akhirnya tanah akan menjadi faktor penghambat
dalam proses pembangunan.
Atas dasar pertimbangan di atas, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan tentang
bagaimana penyediaan dan penggunaan tanah bagi keperluan perusahaan (diatur dalam
PMDN No. 5 Tahun 1974):571
 Agar tercipta suasana dan keadaan yang serasi dan menguntungkan bagi pelaksanaan
kegiatan pembangunan.
 Agar supaya pada satu pihak, kebutuhan para pengusaha dan kegiatan pembangunan
yang memerlukan tanah dapat dicukupi dengan memuaskan.
Dengan demikian penyediaan tanah untuk kepentingan perusahaan tidak hanya
didasarkan pada segi keuntungan ekonomis tetapi juga harus diperhatikan segi-segi yang
lain, yaitu: segi yuridis pengaruhnya terhadap situasi sosial politik keamaan
nasionaldidasarkan pada asas-asas pembangunan nasional.
Dalam kebijaksanaan yang diatur dalam No. 5 Tahun 1974 yang kemudian diatur
lebih lanjut dalam Keppres No. 83 Tahun 1989 ditentukan antara lain:
1. Penetapan lokasi perusahaan :
a. Sejauh mungkin dihindari pengurangan areal tanah pertanian yang subur.
b. Sedapat mungkin harus dihindari pengurangan areal pertanian yang subur.
c. Hendaknya dihindari pemindahan penduduk dari tempat kediamannya.
d. Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya
pengotoran/pencemaran lingkungan.
Point 1) ini biasanya sering diabaikan yaitu perubahan fungsi dari tanah pertanian
menjadi tanah kering untuk lokasi perusahaan. Perubahan yang demikian biasanya

571
Ibid.

Politik Agraria | 350


didasarkan pada pertimbangan:Kepentingan nasional memang menghendaki
perubahan tanah pertanian menjadi lokasi perusahaan.
Perubahan ini harus mendatangkan keuntungan ekonomis yang lebih
tinggiPerusahaan yang bersangkutan harus dapat menyerap tenaga kerja sebanyak
mungkin.Sedapat mungkin digunakan tanah-tanah yang tidak atau kurang
produktif.Hendaknya dihindari pemindahan penduduk yang tanahnya masuk dalam
lokasi proyek.Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya
pengotoran/pencemaran lingkungan.
2. Penetapan luas tanah yang diperlukan :
Ditentukan bahwa luas tanah yang diperlukan luasnya disesuaikan dengan
kebutuhan yang nyata artinya kebutuhan yang benar-benar diperlukan untuk
menyelenggarakan usahanya dan kemungkinan perluasan usahanya dikemudian hari.
Penetapan luas tanah yang diperlukan perusahaan harus dilakukan secara tepat dan
cermat, hal ini untuk menghindari akibat-akibat yang tidak baik :
a. Luas tanah yang diberikan melebihi luas yang benar-benar diperlukan. Ini
mengakibatkan ada sebagian tanah yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan dimana
hal ini bertentangan dengan asas optimal dan fungsi sosial hak atas tanah.
b. Untuk mencegah usaha-usaha yang bersifat monopoli dan spekulatif. Untuk
mencegah hal tersebut maka dikeluarkanlah beberapa peraturan:Surat Keputusan
MDN (Menteri Dalam Negeri) No. 268 tahun 1982 yang menentukan bahwa
perusahaan yang memperoleh tanah dari negara harus
memanfaatkan/menggunakan tanah tersebut dalam waktu 10 tahun sejak keluarnya
ijin pembebasan tanah.
Instruksi Mendagri No. 21 Tahun 1973 yang memerintahkan kepada Gubernur
untuk melarang perusahaan baik perseorangan maupun badan hukum untuk memiliki
dan menguasai tanah yang melampaui tanah yang melampaui batas kebutuhan usaha
sesungguhnya.
3. Macam Hak atas tanah yang dapat diberikan :572
a. Jika perusahaan itu merupakan usaha perseorangan dan pemiliknya WNI (Warga
Negara Indonesia) hak atas tanah yang diberikan ialah: hak milik, dan hak pakai.
b. Jika perusahaan itu berbentuk badan hukum hak atas tanah yang diberikan ialah:
Hak Pengelolaan, dan hak pakai.
Khusus mengenai hak pengelolaan ini perusahaan yang diberi hak mempunyai
wewenang:merencanakan peruntukan dan penggunaan tanahnya.
a. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.
b. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah kepada pihak ketiga yang memerlukan.
Misalnya PERUMNAS (Perusahaan Perumahan Nasional) dalam kegiatannya
berupa:
c. Merencanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan
perumahan.Pelaksanaan pembangunan perumahan
d. Menyerahkan rumah beserta tanahnya kepada yang berhak.
Untuk melokalisir lahan perusahaan industrian, terdapat suatu kewajiban dalam
Pasal 106 UU Perindustrian bahwa Perusahaan Industri yang akan menjalankan
Industri wajib berlokasi di Kawasan Industri. Kewajiban tersebut dikecualikan bagi
Perusahaan Industri yang berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki
Kawasan Industri, atau telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kavlingnya
telah habis. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan
572
Ibid.

Politik Agraria | 351


Industri tertanggal 3 Maret 2009 (selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 2009) pasal 1
ayat 2, Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola
oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 PP No. 24 Tahun 2009, maka pembangunan
kawasan industri bertujuan untuk:
a) mengendalikan pemanfaatan ruang;
b) meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan;
c) mempercepat pertumbuhan industri di daerah;
d) meningkatkan daya saing industri;
e) meningkatkan daya saing investasi; dan
f) memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur,
yang terkoordinasi antar sektor terkait.
Mengenai bentuk badan usaha yang dapat menjadi Perusahaan Kawasan Industri,
Pasal 15 ayat 2 PP No. 24 Tahun 2009 memberikan batasan sebagai berikut:
a) Badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah;
b) Koperasi; atau
c) Badan usaha swasta.573
Menurut PP No. 24 Tahun 2009, perusahaan kawasan industri diberi hak dan
kewajiban untuk membangun suatu kawasan industri lengkap dengan segala
infrastruktur fisik pendukungnya. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan
yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri. Pengelola
kawasan industri sesungguhnya dapat dikatakan telah turut serta melaksanakan dan
menunjang program pemerintah dalam pembangunan nasional. Dalam melakukan
usaha penyediaan kawasan industri, pengelola kawasan industri umumnya
menyediakan layanan seperti pembebasan dan pematangan tanah untuk kavling
industri.
Penyediaan tanah untuk lahan perindustrian merupakan perbuatan hukum yang
bersifat keperdataan karena prosesnya dilakukan secara langsung oleh perusahaan
kawasan industri yang bersangkutan dengan pemegang hak atas tanah, dan tidak
tergolong dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Untuk melokalisir lahan
perindustrian, terdapat suatu kewajiban dalam Pasal 106 UU Perindustrian bahwa
Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri wajib berlokasi di Kawasan
Industri. Dalam pembangunan kawasan industri terdapat beberapa persyaratan teknis
dan tahapan pelaksanaan yang harus dipenuhi. Terdiri atas tahap pengurusan izin yang
diperlukan dan tahap pelaksanaan pengadaan tanahnya, yaitu mulai permohonan
pencadangan tanah diikuti semua proses hingga tahap akhir permohonan hak atas
tanah oleh perusahaan kawasan industri. Status hak atas tanah yang dapat diberikan
kepada perusahaan kawasan industri swasta adalah tanah dengan jangka waktu paling
lama 30 tahun dan dapat diperpanjang, sedangkan khusus bagi perusahaan kawasan
industri yang dimiliki pemerintah dapat diberikan tanah dengan hak pengelolaan
dengan jangka waktu yang tidak ditentukan.574

G. Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman-Tanaman Tertentu

573
Rosalinda elsina, aspek hukum penyediaan tanah untuk lahan perindustrian,jurnal gema aktualita. (vol. 4
No. 2, 2015. Hlm 9.
574
John Salindeho. Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedua. (Jakarta : Sinar Grafika, 1988). Hlm
7.

Politik Agraria | 352


Pada rezim pemerintahan Hindia Belanda penggunaan tanah dituangkan dalam
Regeerings Reglement (RR) Tahun 1855 (Stb.1855 No.2). Dalam Regeering Reglement
tersebut mengenai pertanahan tercantum dalam Pasal 62 yang terdiri dari tiga ayat, antara
lain menggariskan bahwa Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah dan hanya dapat
menyewakan tanah berdasarkan ketentuan ordonansi. Kemudian pada Tahun 1870
diundangkan Agrarische Wet ( Stb.1870 No.55) yang terdiri dari 5 ayat yang kemudian
ditambahkan dalam Pasal 62. Kemudian Pasal 62 RR tersebut dirubah menjadi Insdiche
Staatregeling (IS) ( Stb 1925 No.479) ketentuan Pasal 62 tersebut menjadi Pasal 51,
salah satu ayatnya menyebutkan bahwa berdasarkan peraturan dalam ordonansi ini dapat
diberikan tanah dengan hak erfapacht selama waktu tidak lebih dari 75 tahun dan
Gubernur Jenderal harus menjaga agar jangan sampai ada pemberian tanah-tanah yang
melanggar hak-hak rakyat asli.
Pemberian hak erfpacht dalam jangka waktu 75 tahun yang diatur dalam Agrariiche
Wet ini, antara lain adalah untuk memberikan kemungkinan dan jaminan kepada
pemodal besar asing agar mau menanamkan modal dan berkembang di Hindia
Belanda.575 Mengenai jangka waktu 75 tahun ini menurut Boedi Harsono, jangka waktu
75 tahun tersebut cukup lama bagi para pengusaha perkebunan untuk memperoleh
keuntungan besar dari hasil perkebunannya.576 Dan dalam pandangan Sediono M.P.
Tjondronegoro, setelah domein verklaring, pemerintah jajahan memberikan peranan
lebih besar kembali kepada perusahan-perusahaan pertanian asing yang berupa
perkebunan karet, tembakau, kelapa sawit teh dan lain-lain.577
1. Untuk Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah swapraja diatur dalam Agrarisch
Besluit (stb.1870-118 pasal 9 s/d 17.
2. Untuk Luar jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja semula ada berbagai
ordonansi yang mengatur hal-hal mengenai hal – hal mengenai pemberian hak
erfpacht yang berlaku di daerah tertentu, yaitu :
 Stb.1874 untuk Sumatera
 Stb. 1877 - 55 untuk karesidenan Manado
 Stb. 1888 – 58 untuk daerah Zuider-en Oosterafdeling Borne

Kemudian pada tahun 1914 diundangkan satu ordonansi untuk semua daerah
pemerintahan langsung di luar Jawa dan dimuat dalam Stb.1914 -367 Ordonansi yang
baru ini dikenal dengan sebutan “ Erfpachtordonantieuite gewisten, semua ordonansi
yang lama ditarik kembali kecuali pasal 1 nya

3. Untuk daerah-daerah Swapraja Luar Jawa, diatur dalam Stb.1910-61 dengan sebutan
Erfpachtordonantie Zelfbesturende Landschappen Buitengewesten, berlakunya di
masing-masing Swapraja menurut penunjukan Gubernur Jenderal Sebelum adanya
ordonansi itu didaerah-daerah swapraja di luar Jawa tidak diberikan erfpacht,
melainkan dengan konsesi, disamping erfpacht, ada Persewaan sawah rakyat, kepada
perusahaan-perusahaan besar yang diatur dalam
 Grondhuurordonnatie (S.1918-88, yang berlaku di Jawa dan Madura kecuali
Surakarta dan Yogyakarta.
 Vorstenlands Groodhuur Reglement (S1918-20), yang berlaku di daerah Swapraja
dan Yogyakarta.

575
Mustopo dan Suratman, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri 2013, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).
Hlm 65-66.
576
Boedi Harsono, dalam bukunya Mustopo & Suratman, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013). Hlm 66.
577
Seidiono. M.P Tjondronegoro dalam bukunya Mustopo & Suratman, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk
Industri, 2013, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 66.

Politik Agraria | 353


Dalam praktik pelaksanaan Agrarische Wet kepentingan pengusaha dalam banyak
hal lebih didahulukan dari pada kepentingaan pribumi. Apabila dibandingkan dengan
tujuan dan rumusan pokok politik pertanahan nasional yang diatur dalam Pasal 33
ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi bahwa, “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”, disini terlihat adanya perbedaan yang hakiki.578
Dimana tujuan utama pertanahaan nasional adalah untuk mensejahteraan rakyat
Indonesia.

Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam
UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang lebih
dikenal dengan UUPA, yaitu dalam Pasal 2, khususnya Pasal 2 ayat (1) menyebutkan
bahwa “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh
Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.

Kewenangan Negera dalam Hak Menguasai oleh Negara diatur dalam ayat (2)
adalah untuk :

 Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa
 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan hukum yang mengenai bumi,air dan ruang angkasa.579

Beberapa aturan yang berkaitan dengan penyediaan tanah untuk tanaman-tanaman


tertentu ialah: UU No. 38 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah bagi tanaman-
tanaman tertentu.Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat
Intensifikasi (TRI).

Hal-hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pengadaan tanah ini:

a) Mengenai letak tanah Ditentukan di desa-desa yang termasuk dalam wilayah kerja
perusahaan yang memerlukan tanah
b) Mengenai luas tanah Harus memperhatikan kepentingan perusahaan dan
masyarakat serta kelangsungan kesuburan tanah
c) Pola tanam Agar tanah yang diperlukan bagi tanaman tertentu ditentukan secara
bergiliran.
Kemudian cara untuk memperoleh tanah dapat dilakukan dengan: Perjanjian sewa
tanah antara petani pemilik tanah atau kelompok tani dengan perusahaan yang
memerlukan tanah.Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya penetapan
uang sewa. Jumlah uang sewa minimal sama dengan hasil yang diperoleh apabila
tanah itu dikerjakan sendiri oleh pemiliknya.
Perjanjian bagi hasil tanah pertanian.Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah
besarnya imbangan pembagian hasil antara pemilik dengan perusahaan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
578
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya. (Jakarta: Jilid F. Djambatan). Hlm 38-41.
579
Sunaryo Basuki, Laporan Kompilasi Bidang Hukum Tentang Pertanahan, Pusat Perencanaan Pembangunan
Hukum Nasional BPHN Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2007 hlm. 1-2.

Politik Agraria | 354


Adapun Catur Tertib tersebut meliputi:580
 Tertib Hukum Pertanahan
 Tertib Administrasi Pertanahan
 Tertib Penggunaan Tanah
 Tertib Pemeliharaan Tanah

a. Tertib Hukum Pertanahan


Di kostatir bahwa tertib hukum pertanahan masih belum dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Dirasakan masih banyak terjadi penguasaan atau pemilikan
dan penggunaan tanah oleh orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan atau
peraturan perundang-undangan Agraria yang berlaku. Yang dimaksud dalam uraian
mengenai perundang-undangan ini adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 beserta
peraturan pelaksanaannya.
Di samping itu, bahwa masih banyak instansi-instansi Pemerintah yang menguasai
tanah tanpa dilandasi sesuatu hak atas tanah, sehingga sering timbul sengketa
mengenai penguasaan atas sebidang tanah, penguasaan tanah pertanian secara
melampaui batas yang diperbolehkan (atau absentee), jual beli tanah di luar prosedur
yang berlaku, penguasaan tanpa alas hak. Ini semua menandakan adanya penguasaan,
pemilikan dan mutasi-mutasi tanah yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan Agraria yang berlaku, sehingga hal ini mengakibatkan timbulnya
kegoncangan ekonomi di pedesaan-pedasaan.581
Sebab terjadinya adalah belum dipahaminya peraturan-peraturan perundangan
Agraria oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Kurangnya penerangan atau
penyuluhan tentang arti pentingnya hak-hak atas tanah, hak dan kewajiban anggota
masyarakat sehingga menyebabkan menurunnya disiplin Nasional terhadap
pelaksanaan hukum yang berlaku; adanya unsur-unsur kesenjangan dari sementara
oknum karena didorong oleh hasrat untuk mengadakan spekulasi dan manipulasi di
bidang pertanahan; kurang tegasnya pelaksanaan sanksi hukum terhadap pelanggar-
pelanggar. Di samping bahwa sebagian besar hak atas tanah di Indonesia belum
terdaftar. Sebagai pelaksanaan dari semua hal tersebut di atas dimaksudkan sebagai
usaha mewujudkan tertib hukum pertanahan yang sesuai dengan nafas politik hukum
yang telah dikonsepsikan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia serta terutama peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Pokok Agraria.
Usaha dalam langkah kebijaksanaan pada penataan kembali dan pengendalian
terhadap tugas keagrariaan, selalu diimbangi serta diarahkan kepada kelengkapan
penyempurnaan sarana hukum pertanahan. Hal ini sebagai landasan untuk
mewujudkan tertib hukum, dan juga akan menumbuhkan kepastian hukum sebagai
pengayoman atas penggunaan dan pemilikannya, baik untuk kepentingan
pembangunan maupun untuk kepentingan masyarakat.
Pemanfaatan tanah untuk berbagai kepentingan proyek pembangunan diadakan
pencegahan agar tanah pertanian tidak jatuh kepada orang yang tidak berhak. Di
samping untuk menghindari agar tidak terjadi penumpukan tanah di satu pihak yang
melebihi batas kemampuan usaha dan kebutuhannya.
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 21 dan 27 Tahun 1973 mengandung asas
pemerataan tanah serta perlindungan hukum bagi golongan ekonomi lemah. Dalam

580
Ibid. Hlm 66.
581
Ibid. Hlm 69.

Politik Agraria | 355


program operasional untuk tahun 1979/80 telah disusun berbagai rancangan peraturan
perundangan antara lain :
 Rancangan Undang-Undang Tata Guna Tanah;
 Rancangan Pemerintah tentang pembatasan tanah perumahan (non pertanian);
 Rancangan Keputusan Presiden tentang penetapan kembali organisasi dan tata
kerja penyelenggaraan landreform (sudah direalisir dengan Keputusan Presiden
No. 55 Tahun 1980);
 Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang perpanjangan sesuatu hak atas
tanah yang akan berakhir tahun 1980 (sudah direalisir dengan Keputusan Presiden
Nomor 32 Tahun 1979);
 Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai.
Sedang untuk tahun 1980/1981, akan disusun Rancangan Undang-Undang tentang
hak milik dan Peraturan Pemerintah pelaksanaannya dan Rancangan Undang-Undang
tentang hak tanggungan.
Upaya untuk menumbuhkan kepastian hukum pertanahan sebagai perlindungan
terhadap hak-hak atas tanah dan penggunaannya dimaksudkan agar terdapat
ketenteraman masyarakat dan mendorong gairah membangun. Tertib hukum
pertanahan yang diharapkan adalah :
1. Seluruh perangkat peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan telah
tersusun secara lengkap dan komprehensif.
2. Semua peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan telah diterapkan
pelaksanaannya secara efektif.
3. semua pihak yang menguasai dan/atau menggunakan tanah mempunyai hubungan
hukum yang sah dengan tanah yang bersangkutan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.582
b. Tertib Administrasi Pertanahan
Administrasi Pertanahan merupakan bagian dari Administrasi Negara yang
bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang pertanahan.
Penyelenggaraan administrasi ini merupakan tugas Badan Pertanahan Nasional.
Administrasi pertanahan yakni menuju kepada penerimaan kegiatan sektor publik
untuk mendukung kepemilikan, pembangunan, penggunaan, hak atas tanah, dan
pemindahan hak atas tanah. Pertanahan berasal dari kata tanah. Dalam hukum tanah
kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah di
beri batasan sesuai dengan UUPA. Di bidang pertanahan yang dimaksud dengan tanah
adalah lahan, sehingga muncul kosakata pendaftaran tanah, bukan pendaftaran
lahan.583
Dalam kaitannya dengan kegiatan keagrariaan pada umumnya pendaftaran tanah
pada khususnya, maka tertib yang pertama dan kedua merupakan posisi yang
diutamakan. Tiada ada manfaatnya suatu kegiatan tanpa tertib hukum dan tertib
administrasi pertanahan. Untuk memperlancar setiap kegiatan yang menyangkut tanah
bagi pembangunan di Indonesia perlu diadakan Tertib Administrasi Pertanahan.
Sejalan dengan perkembangan pembangunan, maka usaha untuk meningkatkan tertib
administrasi pertanahan baik tertib administrasi non tehnis maupun administrasi tehnis
agraria akan terus ditingkatkan. Tertib Administrasi bidang non tehnis keagrarian akan
ditingkatkan secara menyeluruh baik mengenai organisasi atau tata kerja, personalia,
keuangan maupun prasarana demi tercapainya tertib administrasi non tehnis dan
administrasi tehnis keagrariaan.
582
Murad, R. (1997). Administrasi Pertanahan: Pelaksanaannya dalam Praktik. (Bandung: Mandar Maju.)
583
Chomzah, Ali, Achmad. 2003. Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia). Jakarta: Prestasi Pustaka. Hal.73.

Politik Agraria | 356


Dalam bidang organisasi dan tata kerja sesuai dengan tingkat pembangunan telah
dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri N0. 133 Tahun 1978 dan Instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 sebagaimana telah dilaksanakan di daerah-
daerah di seluruh Indonesia.
Program operasional bidang tertib administrasi pertanahan dalam tahun 1979/1980
di seluruh Indonesia adalah :584
1) Tertib administrasi tata guna tanah untuk tercapainya tertib pelaksanaan tugas tata
guna tanah;
2) Tertib penyempurnaan dan perawatan serta pengusutan dokumentasi dan peta-peta
hasil pelaksanaan tugas tata guna tanah dan pemanfaatan bagi kepentingan
pembangunan maupun untuk masyarakat yang membutuhkan.
Sedangkan peningkatan bidang landreform adalah diarahkan kepada pencegahan
terlepasnya pemeliharaan dan pengusahaan tanah pertanian dari profesi. Pengumpulan
dan penyusunan data dan penyusunan kembali registrasi mengenai tanah kelebihan,
absentee, bekas swapraja, tanah negara dan tanah bekas partikelir (bekas tanah
partikelir) di seluruh Kabupaten atau Kotamadya di seluruh Indonesia, termasuk pula
pengumpulan data mengenai bekas pemilik tanah kelebihan, absentee dan tanah
partikelir. Juga pengumpulan data menyususn register bekas pemilik tanah, tanah
kelebihan, absentee maupun tanah partikelir baik yang sudah lunas maupun yang
belum lunas. Melanjutkan redistribusi dan pembayaran ganti rugi obyek-obyek yang
lengkap dan jelas datanya.
Sedangkan untuk program operasional bidang pengurusan hak-hak tanah dalam
mewujudkan tertib administrasi penguasaan dan pemilikan tanah serta
pengendaliannya adalah sebagai berikut :585
1. Meningkatkan pelaksanaan pemberian hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai dan pengelolaan melalui proyek penertiban.
2. Peningkatan pengurusan Hak-Hak Tanah yang dilaksanakan di seluruh Indonesia
(26 Propinsi) kecuali Propinsi Timor-Timur.
Untuk pelaksanaan persiapan transmigrasi (daerah pemulihan transmigrasi) pada
tahun 1979/1980 telah disiapkan dan dilaksanakan program penyelesaian hak-hak
tanah untuk transmigrasi investarisasi tanah atau bangunan milik instansi Pemerintah
dan investarisasi tanah perkebunan atau hak guna usaha.
Program operasional bidang Pendaftaran Tanah meliputi kegiatan sebagai berikut:
1. Pengukuran desa demi desa;
2. Penertiban dan pembangunan tata pendaftaran tanah;
3. Dan program pengukuran atau penataan daerah transmigrasi di seluh Indonesia.
Untuk pengukuran desa demi desa, ketentuannya adalah berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961.
c. Tertib Penggunaan Tanah
Dalam Ketetapan MPR/RI Tahun 1998 Tentang GBHN menyatakan bahwa :
Penguasaan dan penataan penggunaan tanah oleh Negara diarahkan untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, penguasaan tanah negara
sesuai dengan tujuan pemanfaatannya, perlu memperhatikan kepentingan masyarakat
luas dan tidak menimbulkan sengketa tanah. Penataan penggunaan tanah dilaksanakan

584
Ibid. Hlm 70.
585
Ibid. Hlm 71.

Politik Agraria | 357


berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah(RTRW) untuk mewujudkan kemakmuran
rakyat dengan memperhatikan antara lain hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial hak
atas tanah dan batas maksimal kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian termasuk
berbagai upaya lain untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah dan penelantaran
tanah. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu aturan hukum agar tidak menimbulkan
kerusakan dan persengketaan tanah
Dalam UUPA yang disebut ”tanah” secara yuridis adalah “permukaan bumi” (pasal
1 ayat (4) dan pasal 4 ayat(1) UUPA dan yang dimaksud “pemanfaatan tanah” adalah
“menggunakan tanah” sesuai dengan RTRW dan ketentuannya sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 4 ayat (2) UUPA, yaitu “Hak-hak atas tanah yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang pemegang hak untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada
diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan lansung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang.
Penggunaan Tanah menurut pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun
2004 Tentang Penatagunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang
merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Pada pasal 1 angka 3 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan
nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Dalam Pasal 3
dijelaskan bahwa Penatagunaan tanah bertujuan untuk: mengatur penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan
yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah;mewujudkan penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah.
a. mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan
tanah;
b. menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkan
tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan.
Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah ditetapkan bahwa agar
pemanfaatan tanah sungguh-sungguh untuk membantu usaha meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat
Indonesia, disamping untuk menjaga kelestariannya, maka perlu dilaksanakan
penataan kembali mengenai penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah.
Untuk dapat mengadakan penataan kembali dalam hal penggunaan, penguasaan
dan pemilikan tanah diperlukan adanya data pertanahan yang baik. Sedangkan
kegiatan pendataan yang terarah dan tertib dalam hal pemilikan atau penguasaan tanah
adalah upaya Pemerintah untuk mendapatkan data pokok yang akurat dalam rangka
mengadakan penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah
tersebut.586
Sebab dewasa ini di Indonesia masih banyak tanah yang belum diusahakan atau
dipergunakan sesuai dengan kemampuan dan peruntukannya sehingga bertentangan
dengan fungsi sosial dari tanah tersebut. Maka perlu ditumbuhkan pengertian akan
pentingnya arti penggunaan tanah sesuai dengan kemampuan peruntukannya.
Sehingga tercapai penggunaan tanah yang berasaskan pemanfaatan tanah secara
optimal, keseimbangan antara berbagai keperluan dan asas kelestarian dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan rakyat bersama.

586
Ibid. Hlm 72.

Politik Agraria | 358


Tertib penggunaan tanah merupakan sarana untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna tanah secara optimal. Tertib penggunaan tanah harus sejalan dengan
semangat dan jiwa dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyebutkan bahwa tanah harus dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dan disesuaikan dengan kemampuan dari tanah itu sendiri.
G.B.H.N. menentukan bahwa perlu diadakan penataan kembali penggunaan,
penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka pemanfaatan tanah bagi kesejahteraan
banyak. Tanah harus benar-benar digunakan sesuai dengan kemampuannya untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kesuburan dan
kemampuan tanah. Tertib yang diharapkan adalah suatu keadaan di mana:
a) Tanah telah digunakan secara optimal, serasi dan seimbang, sesuai dengan
potensinya, guna berbagai kegiatan kehidupan dan penghidupan yang diperlukan
untuk menunjang terwujudnya tujuan nasional.
b) Penggunaan tanah di daerah perkotaan telah dapat menciptakan suasana aman,
tertib, lancar dan sehat.
c) Tidak terdapat benturan kepentingan antarsektor dalam peruntukan penggunaan
tanah.587
d. Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup
Merupakan upaya untuk menghindarkan kerusakan tanah, memulihkan kesuburan
tanah dan menjaga kualitas sumber daya alam serta pencegahan pencemaran tanah
yang dapat menurunkan kualitas tanah dan lingkungan hidup, baik karena alam atau
tingkah laku manusia Tertib yang diharapkan adalah suatu keadaan di mana:
a. Penanganan bidang pertanahan telah dapat menunjang upaya pengelolaan
kelestarian lingkungan hidup.
b. Pemberian hak atas tanah dan pengarahan penggunaannya telah dapat menunjang
terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
c. Semua pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah telah melaksanakan
kewajiban sehubungan dengan pemeliharaan tanah tersebut.588
G.B.H.N. menetapkan bahwa kegiatan pembangunan ekonomi dalam Pelita III, di
samping memperhatikan Trilogi Pembangunan juga memperhatikan kelestarian
sumber-sumber alam dan lingkungan hidup manusia untuk generasi selanjutnya.
Dalam pasal 15 UUPA diatur bahwa pemeliharaan tanah termasuk menambah
kesuburan tanah serta mencegah kerusakannya merupakan tugas dari tiap individu
untuk mengamankannya. Selain itu juga badan hukum atau instansi yang mempunyai
hubungan hukum dengan tanah perlu memperhatikan pihak golongan masyarakat
berekonomi lemah.589
Baik pembangunan yang dilakukan di segala bidang, maupun pembangunan di
bidang pertanian dan pembangunan non pertanian. Oleh karenanya setiap orang,
badan hukum atau instansi Pemerintah bila menguasai, memiliki atau menggunakan
tanah untuk tujuan pertanian wajib menjaga kesuburan dan kelestariannya. Bagi
usaha-usaha non pertanian maka diwajibkan pula menghindari terjadinya kerusakan
tanah dan pencemaran lingkungan. Baik pembangunan industri atau non pertanian
perlu didasarkan pada rencana pembangunan daerah sehingga dapat dihindari
kemungkinan pencemaran lingkungan dan merugikan penduduk sekitarnya.

587
Sumardjono, Maria S.W. (2001). Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi & Implementasi. Jakarta: Kompas
588
Parlindungan, A.P. (1993) Komentar atas UU Penataan Ruang (UU No. 24 Tahun 1992). Bandung: Mandar
Maju.
589
Ibid. Hlm 73-74.

Politik Agraria | 359


Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 yang memberikan tugas kepada
Gubernur atau Bupati, Walikotamadya, Kepala Daerah untuk mengadakan
pengawasan pelaksanaan para pengusaha yang telah memperoleh ijin lokasi dan
pemberian hak guna bangunan atas tanah yang dikuasai.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1978 tentang fatwa tata guna tanah
yang mengharuskan adanya fatwa tata guna tanah dalam pemberian hak atas tanah
termasuk juga kegiatan-kegiatan dalam pelaksanaan Landrefor.
H. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah
Pada rezim pemerintahan Hindia Belanda penggunaan tanah dituangkan dalam
Regeerings Reglement (RR) Tahun 1855 (Stb.1855 No.2). Dalam Regeering Reglement
tersebut mengenai pertanahan tercantum dalam Pasal 62 yang terdiri dari tiga ayat, antara
lain menggariskan bahwa Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah dan hanya dapat
menyewakan tanah berdasarkan ketentuan ordonansi. Kemudian pada Tahun 1870
diundangkan Agrarische Wet ( Stb.1870 No.55) yang terdiri dari 5 ayat yang kemudian
ditambahkan dalam Pasal 62. Kemudian Pasal 62 RR tersebut dirubah menjadi Insdiche
Staatregeling (IS) ( Stb 1925 No.479) ketentuan Pasal 62 tersebut menjadi Pasal 51,
salah satu ayatnya menyebutkan bahwa berdasarkan peraturan dalam ordonansi ini dapat
diberikan tanah dengan hak erfapacht selama waktu tidak lebih dari 75 tahun dan
Gubernur Jenderal harus menjaga agar jangan sampai ada pemberian tanah-tanah yang
melanggar hak-hak rakyat asli. Pemberian hak erfpacht dalam jangka waktu 75 tahun
yang diatur dalam Agrariiche Wet ini, antara lain adalah untuk memberikan kemungkinan
dan jaminan kepada pemodal besar asing agar mau menanamkan modal dan berkembang
di Hindia Belanda21. Mengenai jangka waktu 75 tahun ini menurut Boedi Harsono,
jangka waktu 75 tahun tersebut cukup lama bagi para pengusaha perkebunan untuk
memperoleh keuntungan besar dari hasil perkebunannya.590 Dan dalam pandangan
Sediono M.P. Tjondronegoro, setelah domein verklaring, pemerintah jajahan
memberikan peranan lebih besar kembali kepada perusahan-perusahaan pertanian asing
yang berupa perkebunan karet, tembakau, kelapa sawit teh dan lain-lain.591
Penggunaan Tanah pada Tahun 1984 – 2014 (Undang-Undang Perindustrian dan
Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah), pada taraf pertama,
yaitu dalam kurun waktu 1974, pembangunan diarahkan pada pendirian sarana dan
prasaran transportasi seperti misalnya jalan dan jembatan, kemudian dalam (1974/1975-
1979/1980) selanjutnya lebih diarahkan pada mendirikan (bangunan baru, merenovasi
atau merehabilitasi) terminal atau pasar, SD Inpres dan Puskesmas, serta perumahan
pegawai negeri sipil/ABRI.
Pada tahap awal pembangunan, penggunaan tanah untuk keperluan pembangunan itu
memilih lahan yang terletak diatas tanah negara. Apabila di daerah pedesaan
pembangunan sarana dan prasarana dilakukan diatas tanah desa. Akan tetapi, setelah
persediaan tanah negara dan atau tanah desa menipis, maka mulailah pemerintah
memikirkan dan kemudian mengatur prosedur dan tata cara pengadaan atau penggunaan
tanah untuk mendirikan proyek pembangunan untuk industri, semua diatur oleh pusat
(sentralisasi).

590
Boedi Harsono, dalam bukunya Mustopo & Suratman, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, 2013,
Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 66.
591
Seidiono. M.P Tjondronegoro dalam bukunya Mustopo & Suratman, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk
Industri, 2013, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 66.

Politik Agraria | 360


Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang nomor
32 tahun 2004 disamping karena adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan RI Tahun 1945, juga memperhatikan terhadap dikeluarkannya beberapa
Ketetapan dan Keputusan MPR-RI tentang Otonomi Daerah, Prinsip otonomi daerah
yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 ini menggunakan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintahan termasuk urusan pertanahan di luar yang menjadi urusan
pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang. Daerah memiliki kewenangan
membuat kebijaksanaan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta,
prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat.
Dengan berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara
umum berisi penegakan adanya pelimpahan pelaksanaan kekuasaan negara atas tanah
tersebut, Pasal 13 ayat (1) jo Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No.32 Tahun 2004
merumuskan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun
daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat setempat dengan tetap 23 mempertimbangkan kemampuan otonomi,
potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan
pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Pasal 13 ayat
(1) dan Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa kewenangan daerah
kabupaten dan daerah kota mencakup semua kewenangan pemerintah, salah satu yang
wajib dilakukan adalah bidang pertanahan. Dengan demikian pemerintah daerah
kabuapten dan daerah kota wajib melaksanakan kewenangan untuk :
1. Mengatur mengenai persediaan, penggunaan, dan peruntukan tanah di wilayahnya
baik untuk kepentingan perseorangan, kepentingan sosial, keagamaan, kepentingan
ekonomi, pertanian, industri serta kepentingan daerah dan negara.
2. Melakukan perencanaan penggunaan tanah yang meliputi penggunaan atas ruang di
atas dan dibawah tanah sesuai dengan batas-batas peruntukannya.
3. Mengatur pola hubungan antara tanah dengan manusia warga dengan penduduk
daerah.
4. Mengatur hubungan antara manusia dengan manusia berkaitan dengan tanah di
wilayahnya termasuk mempersiapkan kelembagaan agar hubungan hukum yang
terjadi dapat terjamin pemenuhannya.
Dalam melaksanakan kewenangan tersebut pemerintah daerah dan pemerintah kota
harus memperhatikan :
1. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan tanah
berdasarkan atas taat asas.
2. Dalam pembuatan peraturan daerah sejauh mungkin melibatkan unsur-nusur legislatif
daerah menurut kewenangan yang ada.
3. Aspek keadilan sosial serta pemanfaatan yang dapat menjamin peningkatan
kesejahteraan.
4. Penghargaan secara proposional terhadap unsur-unsur kebudayaan asli daerah
berkaitan dengan nilai dan fungsi daerah.
Pemberian otonomi yang luas atas tanah kepada daerah kabupaten dan daerah kota
untuk memenuhi tuntutan reformasi serta arahan sebagaimana terumuskan dalam UUPA
dimana penguasaan tanah diseluruh wilayah tanah air ini diatur secara adil dan merata
sehingga kesejahteraan dapat dicapai. Kehadiran UU No. 32 Tahun 2004 telah
mendatangkan perubahan terutama di bidang urusan pemerintahan dengan kewenangan
yang sentralistrik. Termasuk dalam kelompok ini adalah bidang pertanahan, kewenangan
dari Hak menguasai Negara (HMN) atas 24 tanah menurut UUPA harus dilaksanakan
Politik Agraria | 361
secara sentralistrik oleh pemerintah pusat. Namun dengan UU Nomor 32 Tahun 2004
kewenangan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten atau kota sebagai
kewenangan otonomi daerah, Undang-undang tersebut memerlukan interprestasi
terhadap pelaksanaan hak menguasasi negara dengan memperhatikan maksud UUPA dan
UU No. 32 Tahun 2004 yang sudah diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014. Dalam Pasal
12 UU No. 23 Tahun 2014, menyebutkan bahwa urusan Pemerintahan wajib yang
berkaitan dengan pelayanan dasar dalam Pasal 11 ayat 1 meliputi pekerjaan umum dan
penataan ruang.592
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 PP No. 16 Tahun 2004 ditentukan mengenai
penggunaan dan pemanfaatan tanah. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan
lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam RT/RW.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung tidak boleh mengganggu fungsi
alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami.
Penggunaan tanah di kawasan budidaya tidak boleh ditelantarkan, harus dipelihara
dan dicegah kerusakannya. Pemanfaatan tanah di kawasan budidaya tidak saling
bertentangan, tidak saling mengganggu, dan memberikan peningkatan nilai tambah
terhadap penggunan tanahnya.593 Ketentuan mengenai penggunaan dan pemanfaatan
tanah ditetapkan melalui pedoman teknis penetagunaan tanah, yang menjadi syarat
menggunakan dan memanfaatkan tanah.
Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan tanah, pemegang hak atas tanah wajib
menikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan ini antara lain pedoman teknis penatagunaan tanah, persyaratan mendirikan
bangunan, persyaratan dalam analisis mengenai dampak lingkungan, persyaratan usaha,
dan ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bbidang tanah
yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk, dan atau sempadan
sungai harus memperhatikan:
 Kepentingan umum;
 Keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem,
keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.Apabila terjadi perubahan
RTRW, maka penggunaan dan pemanfaatan tanah mengikuti RTRW yang terakhir.
Pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah penggunaan tanahnya.
Peningkatan pemanfaatan tanah harus memperhatikan hak atas tanahnya serta
kepentingan masyarakat. Pemanfaatan tanah untuk kawasan lindung dapat ditingkatkan
untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
tehnologi, dan ekowisata apabila menganggu fungsi kawasan.
Kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang di atas dan di bawah tanah yang tidak
terkait dengan penguasaan tanah dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang bersangkutan. Jika kegiatan tersebut
menggangu pemanfaatan tanah harus mendapat persetujuan pemegang hak atas tanah.
Penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan RT/RW
disesuaikan melalui penyelenggaraan penatagunaan tanah.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk tanaman tertentu diatur dalam peraturan
pemerintah republik Indonesia nomor 16 tahun 2004. Tertera pada bab III ‘Pokok-Pokok
Penatagunaan Tanah’ pasal 4 sbb;594
592
Mustopo, 2013 op.cit, hlm. 38
593
Brahmana Adhie dan Hasan Basri,Reformasi pertanahan: pemberdayaan hak-hak atas tanah ditinjau dari segi
aspek hukum, sosial, politik, ekonomi, hankam, teknis, agama dan budaya, Badan Pertanahan Nasional.
( Yogyakarta: 2002)
594
Peraturan Pemerrintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004, Tentang Penatagunaan Tanah.

Politik Agraria | 362


1. Dalam rangka pemanfaatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut
juga pola pengelolaan tata guna tanah.
2. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan di
bidang pertanahan di Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya.
3. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
4. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sesuai
dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota.

Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya adalah sebagaimana dimaksud dalam


Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Kawasan Lindung
meliputi : kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya yang
mencakup kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air; kawasan
perlindungan setempat yang mencakup sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan
sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan terbuka hijau termasuk di
dalamnya hutan kota; kawasan suaka alam yang mencakup kawasan cagar alam, suaka
margasatwa; kawasan pelestarian alam yang mencakup taman nasional, taman hutan
raya, taman wisata alam; kawasan cagar budaya; kawasan rawan bencana alam yang
mencakup antara lain kawasan rawan letusan gunung api, gempa bumi, tanah longsor,
serta gelombang pasang dan banjir; kawasan lindung lainnya mencakup taman buru,
cagar biosfir, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa dan
kawasan pantai berhutan bakau.

Kawasan Budidaya meliputi : kawasan hutan produksi yang mencakup kawasan hutan
produksi terbatas, kawasan hutan produksi tetap, kawasan hutan yang dapat dikonversi;
kawasan hutan rakyat; kawasan pertanian yang mencakup kawasan pertanian lahan
basah, kawasan pertanian lahan kering, kawasan tanaman tahunan/perkebunan, kawasan
peternakan, kawasan perikanan; kawasan pertambangan yang mencakup golongan bahan
galian strategis, golongan bahan galian vital atau golongan bahan galian yang tidak
termasuk kedua golongan tersebut; kawasan peruntukan industri; kawasan pariwisata;
dan kawasan permukiman. Kawasan lindung dan Kawasan Budidaya yang terletak di
wilayah perbatasan dengan negara tetangga, penatagunaan tanahnya mempertimbangkan
aspek pertanahan dan keamanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pada Bab IV Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2004 di bab IV mengenai


‘Kebijakan Penatagunaan Tanah’diatur tanaha-tanah yang dapat digunakan untuk
keperluan tata ruang wilayah kanupaten /kota. Yakni sbb ;595

Pasal 6 :

Kebijakan penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap :

a. Bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya baik yang sudah atau belum terdaftar;
b. tanah negara;
c. tanah ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 7 :

595
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 16 tahun 2004, Tentang Penatagunaan Tanah.

Politik Agraria | 363


2. Terhadap tanah-tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, penggunaan dan
pemanfaatan tanahnya harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
3. Kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah terhadap Rencana Tata Ruang
Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan pedoman,
standar dan kriteria teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah.
4. Pedoman, standar dan kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijabarkan
lebih lanjut oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kondisi wilayah masing-
masing.
5. Penggunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah tidak dapat diperluas atau dikembangkan
penggunaannya.
6. Pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah tidak dapat ditingkatkan pemanfaatannya.

RINGKASAN

Politik Agraria | 364


Latar Belakang
Tanah merupakan sarana aktifitas dalam kehidupan dan tanah juga untuk sarana
pembangunan . Kedudukan tanah yang penting ini kadang tidak diimbangi dengan
usaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam bidang pertanahan.
Fakta memperlihatkan bahwa keresahan di bidang pertanahan mendatangkan dampak
negatif di bidang sosial, politik dan ekonomi. Untuk itu berdasarkan TAP MPR
No.IV/MPR/1978 ditentukan agar pembangunan di bidang pertanahan diarahkan
untuk menata kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah.Atas dasar TAP
MPR No. IV/MPR/1978, Presiden mengeluarkan kebijaksanaan bidang pertanahan
yang dikenal dengan Catur Tertib
Bidang Pertanahan sebagaimana dimuat dalam Keppres No. 7 Tahun 1979,
meliputi:596
a. Tertib Hukum Pertanahan
b. Tertib Administrasi Pertanahan
c. Tertib Penggunaan Tanah
d. Tertib Pemeliharaan Tanah Dan Lingkungan Hidup

Tugas pokok dan fungsi keagrariaan di Indonesia


Kementerian Agraria dan Tata Ruang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang untuk membantu Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyelenggarakan fungsi:
1. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang tata ruang, infrastruktur
keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum keagrariaan/pertanahan, penataan
agraria/pertanahan, pengadaan tanah, pengendalian pemanfaatan ruang dan
penguasaan tanah, serta penanganan masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang,
dan tanah;
2. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
3. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
4. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata
Ruang;
5. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi ataspelaksanaan urusan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang di daerah; dan
6. Pelaksanaan dukungan yang bersifat subtantif kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Badan Pertanahan Nasional (disingkat BPN) adalah lembaga pemerintah non-
kementerian di Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan
di bidang Pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BPN
dahulu dikenal dengan sebutan Kantor Agraria. BPN diatur melalui Peraturan
Presiden Nomor 20 Tahun 2015.
BPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas,
BPN menyelenggarakan fungsi:597
a) penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan;
b) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan
pemetaan;
596
Ismaya Samun, Hukum Administrasi,Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013, hlm.22-24.
597
Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang

Politik Agraria | 365


c) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah,
pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat;
d) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan
pengendalian kebijakan pertanahan;
e) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah;
f) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan penanganan
sengketa dan perkara pertanahan;
g) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPN (Badan Pertanahan
Nasional) ;
h) pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN (Badan
Pertanahan Nasional) ;
i) pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan
dan informasi di bidang pertanahan;
j) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; dan
pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan.

Tata Tertib Pertanahan Di Indonesia


Tanah merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan. Kedudukan tanah
yang penting ini kadang tidak diimbangi dengan usaha untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang timgul dalam bidang pertanahan. Fakta memperlihatkan bahwa
keresahan di bidang pertanahan mendatangkan dampak negatif di bidang sosial,
politik dan ekonomi.
Untuk itu berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/1978 ditentukan agar pembangunan
di bidang pertanahan diarahkan untuk menata kembali penggunaan, penguasaan, dan
pemilikan tanah. Atas dasar Tap MPR No. IV/MPR/1978, Presiden mengeluarkan
kebijaksanaan bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Bidang
Pertanahan sebagaimana dimuat dalam Keppres No. 7 Tahun 1979, meliputi:598
 Tertib Hukum Pertanahan

Diarahkan pada program:


a.
Meningkatkan tingkat kesadaran hukum masyarakat.
b.
Melengkapi peraturan perundangan di bidang pertanahan.
c.
Menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
d.
Meningkatkan pengawasan dan koordinasi dalam pelaksanaan
hukum agraria.
 Tertib Administrasi Pertanahan

Diarahkan pada program:


1. Mempercepat proses pelayanan yang menyangkut urusan pertanahan.
2. Menyediakan peta dan data penggunaan tanah, keadaan sosial ekonomi
masyarakat sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan penggunaan tanah
bagi kegiatan-kegiatan pembangunan.Penyusunan data dan daftar pemilik
tanah, tanah-tanah kelebihan batas maksimum, tanah-tanah absente dan tanah-
tanah negara.
3. Menyempurnakan daftar-daftar kegiatan baik di Kantor Agraria maupun di
kantor PPAT
4. Mengusahakan pengukuran tanah dalam rangka pensertifikatan hak atas tanah.
 Tertib Penggunaan Tanah

598
Soplantila, Pola penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah secara tradisional, 1992.

Politik Agraria | 366


Diarahkan pada usaha untuk:
1. Menumbuhkan pengertian mengenai arti pentingnya penggunaan tanah
secara berencana dan sesuai dengan kemampuan tanah.
2. Menyusun rencana penggunaan tanah baik tingkat nasional maupun
tingkat daerah.
3. Menyusun petunjuk-petunjuk teknis tentang peruntukan dan
penggunaan tanah.
4. Melakukan survey sebagai bahan pembuatan peta penggunaan tanah,
peta kemampuan dan peta daerah-daerah kritis.
 Tertib Pemeliharaan Tanah Dan Lingkungan Hidup

Diarahkan pada usaha:


1. Menyadarkan masyarakat bahwa pemeliharaan tanah
merupakan kewajiban setiap pemegang hak atas tanah.
2. Kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada
pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan,
melainkan menjadi beban setiap orang, badan hukum, atau
isntansi yang mempunyai suatu hubungan dengan tanah.
3. Memberikan fatwa tata guna tanah dalam setiap permohonan
hak atas tanah dan perubahan penggunaan tanah.
Dengan adanya tertib administrasi pertanahan dimaksud bahwa data-data setiap
bidang tanah tercatat dan diketahui dengan mudah, baik mengenai riwayat,
kepemilikan, subjek haknya, keadaan fisik serta ketertiban prosedur dalam setiap
urusan yang menyangkut tanah.599 Adapun yang berkaitan dengan tertib administrasi
adalah :600
1. Prosedur permohonan hak tanah sampai terbit sertifikat tanda bukti.
2. Penyelesaian tanah-tanah yang terkena ketentuan peraturan landreform.
3. Biaya-biaya mahal dan pungutan-pungutan tambahan.
PP No. 24 Tahun 1997 mengenai tujuan Pendaftaran Tanah untuk terselenggaranya
tertib administrasi pertanahan sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf c, setiap bidang
tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak
atas bidang tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftarkan.
Tertib Penggunaan Tanah Diarahkan pada usaha untuk:

1. Menumbuhkan pengertian mengenai arti pentingnya penggunaan tanah secara


berencana dan sesuai dengan kemampuan tanah;
2. Menyusun rencana penggunaan tanah baik tingkat nasional maupun tingkat daerah;
3. Menyusun petunjuk-petunjuk teknis tentang peruntukan dan penggunaan tanah;
4. Melakukan survey sebagai bahan pembuatan peta penggunaan tanah, peta
kemampuan dan peta daerah-daerah kritis.

Tertib Pemeliharaan Tanah Dan Lingkungan Hidup Diarahkan pada usaha:

1. Menyadarkan masyarakat bahwa pemeliharaan tanah merupakan kewajiban setiap


pemegang hak atas tanah. Kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada
pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban

599
Ainun Rohma, Pertanahan Di Indonesia, vol.2, NO.3 Tahun 2014
600
Harsono, B. (1999). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta:
Djambatan

Politik Agraria | 367


setiap orang, badan hukum, atau isntansi yang mempunyai suatu hubungan dengan
tanah;
2. Memberikan fatwa tata guna tanah dalam setiap permohonan hak atas tanah dan
perubahan penggunaan tanah;
3. Melakukan analisa dampak lingkungan (AMDAL) sebelum usaha industri/pabrik
didirikan.
4. Melakukan pemantauan terhadap penggunaan tanah. Yang erat kaitannya dengan
bidang tata guna tanah adalah terting penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah.

Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan


POKMASDARTIBNAH (Kelompok Masyarakat Sadar tertib Pertanahan
Nasional) menjadi stimulus yang dapat mendukung pencapaian tujuan pengelolaan
pertanahan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) RI. Ruang lingkup kegiatan yang
dilaksanakan oleh POKMASDARTIBNAH (kelompok Masyarakat Sadar Tertib
Pertanahan Nasional) antara lain:
1. Mengikuti secara aktif pelaksanaan kegiatan Reforma Agraria dan program
pertanahan lainnya;
2. Memberikan saran terhadap penyelenggaraan kegiatan agar pelaksanaannya efektif
dan efisien untuk mencapai sasaran;
3. Membangun kebersamaan dalam memperoleh akses penguatan, pemanfaatan,
peruntukan dan penggunaan tanah, permodalan dan peningkatan produksi serta
pemasaran.
4. Meningkatkan peran dan pendayagunaan tanah. Meliputi : pemanfaatan, peruntukan
penggunaan, kelestarian lingkungan hidup, penguatan hak tanah,penanganan dan
pencegahan timbulnya konflik, sengketa dan masalahpertanahan.

Penatagunaan Tanah Pertanian


Pentingnnya arti tanah untuk kehidupan manusia ialah karena, kehidupan manusia
sama sekali tidak bisa dipisahkan dari tanah, manusia hidup diatas tanah dan
memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan tanah.601 Penggunaan tanah
harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknnya sehingga bermanfaat bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan pemilik sekaligus bagi masyarakat dan Negara.
Ketentuan tersebut bukan berarti kepentingan perseorangan akan terdesak oleh
kepentingan masyarakat umum, namun kepentingan masyarakat dan perseorangan itu
harus saling mengimbangi sehingga dapat mencapai tujuan pokok yaitu kemakmuran,
keadilan dan kebahagian bagi rakyat selurunnya. 602 Penatagunaan tanah adalah
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi.603 Tanpa adanya
planning, maka pemakaian tanah-tanah pertanian terutama hanya akan berpedoman
pada kepentingan masing-masing atau pada keuntungan insidentil yang mereka
harapkan dari jenis-jenis tanaman tertentu. Dengan planning maka dapat dicapai

601
Kertasapoetra, dkk., hukum tanah jaminan uupa bagi keberhasilan pendayaguanaan tanah, (Jakarta: Bina
Aksara). Hlm 1.
602
Boedi Harsono, “Hukum Agraria Indonesia’’, Bandung, Djambatan, 2012
603
Pengertian konsolidasi tanah, atau di sebut land consolidation atau dengan istilah lain disebut land assembly
and readjustment, merupakan teknik yang digunakan untuk menata kembali penguasa pemilikan dan
penggunaan tanah. ( oto sumarwoto, “Ekologi Lingkungan Hidup, dan Pembangunan”, Djambatan Jakarta 1997.
Hlm 162).

Politik Agraria | 368


keseimbangan yang baik antara luas tanah dengan jenis-jenis tanaman yang penting
bagi rakyat dan negara.604
Dalam planning diberikan jatah tanah menurut keperluan rakyat dan negara untuk
jenis tanaman-tanaman yang penting bagi program sandang pangan, baik bagi bahan
pangan maupun tanaman perdagangan. Usaha kearah penatagunaan tanah secara
teknis telah dilakukan tetapi belum secara menyeluruh, antara lain dalam bentuk
perundang-undangan seperti:UU No. 38 Prp Tahun 1960 mengenai luas minimum
tanaman tebu yang harus ditetapkan oleh Menteri Agraria untuk dapat menjamin
produksi tebu dan kesinambungan produktifitas pabrik gula yang harus diimbangi
dengan penetapan maksimum luas tanah di daerah sekitar perkebunan tebu/pabrik
gula yang bersangkutan, yang boleh ditanami tanaman perdagangan lain. selain itu
juga telah di tetapkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang peraturan dasar pokok-
pokok agrarian ( Lembaran Negara Tahun 1960 No. 104 ).

Penyediaan Dan Penggunaan Tanah Bagi Keperluan Perusahaan


Dalam kebijaksanaan yang diatur dalam No. 5 Tahun 1974 yang kemudian diatur
lebih lanjut dalam Keppres No. 83 Tahun 1989 ditentukan antara lain:
1. Penetapan lokasi perusahaan :
a. Sejauh mungkin dihindari pengurangan areal tanah
pertanian yang subur.
b. Sedapat mungkin harus dihindari pengurangan areal
pertanian yang subur.
c. Hendaknya dihindari pemindahan penduduk dari tempat
kediamannya.
d. Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah
terjadinya pengotoran/pencemaran lingkungan.
2. Penetapan luas tanah yang diperlukan :
Ditentukan bahwa luas tanah yang diperlukan luasnya disesuaikan dengan
kebutuhan yang nyata artinya kebutuhan yang benar-benar diperlukan untuk
menyelenggarakan usahanya dan kemungkinan perluasan usahanya dikemudian hari.
Penetapan luas tanah yang diperlukan perusahaan harus dilakukan secara tepat dan
cermat, hal ini untuk menghindari akibat-akibat yang tidak baik :
a. Luas tanah yang diberikan melebihi luas yang benar-
benar diperlukan. Ini mengakibatkan ada sebagian tanah
yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan dimana hal ini
bertentangan dengan asas optimal dan fungsi sosial hak
atas tanah.
b. Untuk mencegah usaha-usaha yang bersifat monopoli
dan spekulatif. Untuk mencegah hal tersebut maka
dikeluarkanlah beberapa peraturan:Surat Keputusan
MDN (Menteri Dalam Negeri) No. 268 tahun 1982
yang menentukan bahwa perusahaan yang memperoleh
tanah dari negara harus memanfaatkan/menggunakan
tanah tersebut dalam waktu 10 tahun sejak keluarnya
ijin pembebasan tanah.
3. Macam Hak atas tanah yang dapat diberikan :605

604
Maria S.W, Kebijakan Pertanahan antara regulasi dan implementasi, Kompas Media Nusantara, Jakarta:
2001.
605
Ibid.

Politik Agraria | 369


Sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 PP No. 24 Tahun 2009, maka pembangunan
kawasan industri bertujuan untuk:
a) mengendalikan pemanfaatan ruang;
b) meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan;
c) mempercepat pertumbuhan industri di daerah;
d) meningkatkan daya saing industri;
e) meningkatkan daya saing investasi; dan
f) memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur,
yang terkoordinasi antar sektor terkait.
Mengenai bentuk badan usaha yang dapat menjadi Perusahaan Kawasan Industri,
Pasal 15 ayat 2 PP No. 24 Tahun 2009 memberikan batasan sebagai berikut:
a) Badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah;
b) Koperasi; atau
c) Badan usaha swasta.606

Penggunaan Dan Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman-Tanaman Tertentu


Perjanjian sewa tanah antara petani pemilik tanah atau kelompok tani dengan
perusahaan yang memerlukan tanah.Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah
besarnya penetapan uang sewa. Jumlah uang sewa minimal sama dengan hasil yang
diperoleh apabila tanah itu dikerjakan sendiri oleh pemiliknya.
Perjanjian bagi hasil tanah pertanian.Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah
besarnya imbangan pembagian hasil antara pemilik dengan perusahaan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
Adapun Catur Tertib tersebut meliputi:607
 Tertib Hukum Pertanahan

Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 21 dan 27 Tahun 1973 mengandung asas
pemerataan tanah serta perlindungan hukum bagi golongan ekonomi lemah. Dalam
program operasional untuk tahun 1979/80 telah disusun berbagai rancangan peraturan
perundangan antara lain :
 Rancangan Undang-Undang Tata Guna Tanah;
 Rancangan Pemerintah tentang pembatasan tanah perumahan (non pertanian);
 Rancangan Keputusan Presiden tentang penetapan kembali organisasi dan tata
kerja penyelenggaraan landreform (sudah direalisir dengan Keputusan Presiden
No. 55 Tahun 1980);
 Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang perpanjangan sesuatu hak
atas tanah yang akan berakhir tahun 1980 (sudah direalisir dengan Keputusan
Presiden Nomor 32 Tahun 1979);
 Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai.
Sedang untuk tahun 1980/1981, akan disusun Rancangan Undang-Undang tentang
hak milik dan Peraturan Pemerintah pelaksanaannya dan Rancangan Undang-Undang
tentang hak tanggungan.

606
Rosalinda elsina, aspek hukum penyediaan tanah untuk lahan perindustrian,jurnal gema aktualita. (vol. 4
No. 2, 2015. Hlm 9.
607
Ibid. Hlm 66.

Politik Agraria | 370


 Tertib Administrasi Pertanahan

Dalam bidang organisasi dan tata kerja sesuai dengan tingkat pembangunan telah
dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri N0. 133 Tahun 1978 dan Instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 sebagaimana telah dilaksanakan di daerah-
daerah di seluruh Indonesia.
Program operasional bidang tertib administrasi pertanahan dalam tahun 1979/1980
di seluruh Indonesia adalah :608
1) Tertib administrasi tata guna tanah untuk tercapainya tertib pelaksanaan tugas tata
guna tanah;
2) Tertib penyempurnaan dan perawatan serta pengusutan dokumentasi dan peta-
peta hasil pelaksanaan tugas tata guna tanah dan pemanfaatan bagi kepentingan
pembangunan maupun untuk masyarakat yang membutuhkan.
Untuk program operasional bidang pengurusan hak-hak tanah dalam mewujudkan
tertib administrasi penguasaan dan pemilikan tanah serta pengendaliannya adalah
sebagai berikut :609
1. Meningkatkan pelaksanaan pemberian hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan pengelolaan melalui
proyek penertiban.
2. Peningkatan pengurusan Hak-Hak Tanah yang dilaksanakan di
seluruh Indonesia (26 Propinsi) kecuali Propinsi Timor-Timur.

 Tertib Penggunaan Tanah

Dalam UUPA yang disebut ”tanah” secara yuridis adalah “permukaan bumi” (pasal
1 ayat (4) dan pasal 4 ayat(1) UUPA dan yang dimaksud “pemanfaatan tanah” adalah
“menggunakan tanah” sesuai dengan RTRW dan ketentuannya sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 4 ayat (2) UUPA, yaitu “Hak-hak atas tanah yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang pemegang hak untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada
diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan lansung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang.
Penggunaan Tanah menurut pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun
2004 Tentang Penatagunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang
merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Pada pasal 1 angka 3 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan
nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Dalam Pasal 3
dijelaskan bahwa Penatagunaan tanah bertujuan untuk: mengatur penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan
yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah; mewujudkan penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah; mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta
pengendalian pemanfaatan tanah; menjamin kepastian hukum untuk menguasai,
menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan

608
Ibid. Hlm 70.
609
Ibid. Hlm 71.

Politik Agraria | 371


hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah
ditetapkan.

 Tertib Pemeliharaan Tanah dan lingkungan Hidup

Merupakan upaya untuk menghindarkan kerusakan tanah, memulihkan kesuburan


tanah dan menjaga kualitas sumber daya alam serta pencegahan pencemaran tanah
yang dapat menurunkan kualitas tanah dan lingkungan hidup, baik karena alam atau
tingkah laku manusia Tertib yang diharapkan adalah suatu keadaan di mana:
a. Penanganan bidang pertanahan telah dapat menunjang
upaya pengelolaan kelestarian lingkungan hidup.
b. Pemberian hak atas tanah dan pengarahan
penggunaannya telah dapat menunjang terwujudnya
pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan.
c. Semua pihak yang mempunyai hubungan hukum
dengan tanah telah melaksanakan kewajiban
sehubungan dengan pemeliharaan tanah tersebut.610

Penggunaan Dan Pemanfaatan Tanah


Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan tanah, pemegang hak atas tanah wajib
menikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan ini antara lain pedoman teknis penatagunaan tanah, persyaratan
mendirikan bangunan, persyaratan dalam analisis mengenai dampak lingkungan,
persyaratan usaha, dan ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bidang
tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk, dan atau
sempadan sungai harus memperhatikan:
 Kepentingan umum;
 Keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan
ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan. Apabila
terjadi perubahan RT/RW, maka penggunaan dan pemanfaatan tanah mengikuti
RT/RW yang terakhir.
Kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang di atas dan di bawah tanah yang tidak
terkait dengan penguasaan tanah dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang bersangkutan. Jika kegiatan tersebut
menggangu pemanfaatan tanah harus mendapat persetujuan pemegang hak atas tanah.
Penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan RT/RW
disesuaikan melalui penyelenggaraan penatagunaan tanah.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk tanaman tertentu diatur dalam peraturan
pemerintah republik Indonesia nomor 16 tahun 2004. Tertera pada bab III ‘Pokok-
Pokok Penatagunaan Tanah’ pasal 4 sbb;611

610
Parlindungan, A.P. (1993) Komentar atas UU Penataan Ruang (UU No. 24 Tahun 1992). Bandung: Mandar
Maju.
611
Peraturan Pemerrintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004, Tentang Penatagunaan Tanah.

Politik Agraria | 372


1. Dalam rangka pemanfaatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut
juga pola pengelolaan tata guna tanah.
2. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan di
bidang pertanahan di Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya.
3. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
4. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sesuai
dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota.

Politik Agraria | 373


DAFTAR PUSTAKA

A. Suriyaman Mustari Pide, 2007.Hukum Adat (Dulu, Kini dan Akan Datang), (Jakarta:
Pelita Pustaka).
A.P Perlindungan, Landerfrom di indonesia, suatu studi perbandingan, penerbit di Bandung,
1989.
Ainun Rohma, Pertanahan Di Indonesia, vol.2, NO.3 Tahun 2014.
Ali Imron, 2007.Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. (Jakarta: PT Bumi Aksara).
Ana Silvian, Mira Novana Ardani, Sinden Bertapa Metode Menuju Tertib Adiminstrasi
Bidang pertanahan, Jurnal Masalah-masalh Hukum, Jilid 47 No. 3 juli 2018.
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: LPHI,
2005).
Arie.S.Hutagalung, Tata Guna Tanah dan Land Reform, (Jakarta:1995).
Benhard Limbong. 2012.Hukum Agraria Nasional, Cet. I, Jakarta: Margaretha Pustaka
Boedi Harsono, “Hukum Agraria Indonesia’’, Bandung, Djambatan, 2012
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid F, Djambatan, Jakarta.
Boedi Harsono, dalam bukunya Mustopo & Suratman, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk
Industri, 2013, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaanya. (Jakarta; Djambatan 1999).
Boedi harsono. 1971.Undang-undang Pokok Agraria Sedjarah Penyusunan: Isi dan
pelakssanaannja, (Jakarta: Djambatan).
Brahmana Adhie , Hasan Basri, 2002.Reformasi pertanahan: pemberdayaan hak- hak atas
tanah ditinjau dari segi aspek hukum, sosial, politik, ekonomi, hankam, teknis, agama dan
budaya, Badan Pertanahan Nasional, (Yogyakarta : Sinar Media).
Chomzah, Ali, Achmad. 2003. Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia). (Jakarta: Prestasi
Pustaka).
Departemen Penerangan dan Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negri. 2012.
Dosen Fakultas Syariah dan HuKUM Uin Alaudin Makasar, Undang-Undang Agraria sebagai
Induk Landrefrom, Jurnal ,vol. 3 / NO 2 /desember 2014.
G. Kartasappoetra dkk. 1985. Hukum tanah jaminan UUPA bagi keberhasilan pedayagunaan
tanah, 9Jakarta: pt rineka cipta anggota ikapi).

Politik Agraria | 374


Guntur Setiawan, Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan. (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004).
Guntur Setiawan, Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan. (Bandung: Remaja
Rosdakarya 2004).
H. Muchsin dan Imam Koeswahyono, “ Aspek Kebijakan Hukum Penatagunaan Tanah Dan
Penataan Ruang”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
Harsono Hanifah, Implementasi Kebijakan dan Politik, (Bandung: Mutiara Sumber Wijaya,
2002).
Harsono Hanifah, Implementasi Kebijakan dan Politik. (Bandung: Mutiara Sumber Wijaya
2002).
Harsono, B. (1999). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya. (Jakarta: Djambatan).
Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2008).
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penatagunaan Tanah, PP No.16 tahun 2004, Pasal 4
ayat (3) dan (4).
Ismaya Samun, Hukum Administrasi. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013).
John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedua (Jakarta : Sinar
Grafika, 1988).
Jurnal Hukum Agraria, Hukum Agraria Di indonesia, vol 5, No 4 tahun 2013.
Kertasapoetra, dkk., Hukum Tanah Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah,
(Jakarta: Bina Aksara, 1984).
Kertasapoetra, dkk., hukum tanah jaminan uupa bagi keberhasilan pendayaguanaan tanah,
Bina Aksara, Jakarta,1984 hlm. 1.
Kumpulan Engelbrecht. 1994. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Udang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, (Jakarta:
Djambatan).
Maria S.W, 2001.Kebijakan Pertanahan antara regulasi dan implementasi, (Jakarta: Kompas
Media Nusantara).
Mudjiono, Hukum Agraria. (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1992).
Murad, R. (1997). Administrasi Pertanahan: Pelaksanaannya dalam Praktik. (Bandung:
Mandar Maju).S
Mustopo dan Suratman, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri 2013, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013).
Nandang Alamsyah, Administrasi Pertanahan, Universitas Terbuka, Jakarta, 2002.
Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada
2002).
Politik Agraria | 375
Pengertian konsolidasi tanah, atau di sebut land consolidation atau dengan istilah lain disebut
land assembly and readjustment, merupakan teknik yang digunakan untuk menata kembali
penguasa pemilikan dan penggunaan tanah. ( oto sumarwoto, “Ekologi Lingkungan Hidup,
dan Pembangunan”, Djambatan Jakarta 1997 hlm 162 )
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 pasal 36 Tentang Pendaftran Hak Guna Usaha
Peraturan Pemerintah R.I Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftran Tanah.
Peraturan Pemerintah R.I Nomor 40 tqhun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bnagunan dan Hak pakai atas Tanah.
Peraturan Pemerrintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004, Tentang Penatagunaan
Tanah.
Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata
RuangPeraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional
Pertanahan Dalam Era Pembangunan Indonesia, Direktorat Publikasi Ditjen, Ppg Departmen
Penerangan dan Ditjen Agraria Departmen Dalam Negri, Jakarta, 1982, Dikutip Dalam
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008.Sejarah Nasional Indonesia III Zaman Pertumbuhan
dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta :Balai Pustaka.
Ryan Alfi Syahri, Perlindunagan Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah, Jurnal Ilmu Hukum,
Edisi 5, Vol 2, tahun 2014.
Salindeho, John. 1993. Masalah Tanah Dalam Pembangunan. Sinar Grafika. Jakarta.
Samun Ismaya, Hukum Administrasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013).
Seidiono. M.P Tjondronegoro dalam bukunya Mustopo & Suratman, Penggunaan Hak Atas
Tanah Untuk Industri, 2013, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).
Sembiring Jimmy, Panduan Mengurus Sertifikat Tanah, Jagakarsa, Jakarta.
Slamet Muljana. 2007.Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara- Negara
Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LkiS).
Seidiono. M.P Tjondronegoro dalam bukunya Mustopo & Suratman, Penggunaan Hak Atas
Tanah Untuk Industri, 2013, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).
Soeprapto. 2009.Undang-Undang Pokok Agraria dalam Peraktek. (Jakarta: Universitas
Indonesia perss).
Soetomo, SH. Politik dan Administrasi Agraria, (Jakarta: Perss Media).
Soplantila. .Pola penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah secara tradisional. (Jakarta:
Sinar Grafika. 1992).
Sunaryo Basuki, Laporan Kompilasi Bidang Hukum Tentang Pertanahan, Pusat Perencanaan
Pembangunan Hukum Nasional BPHN Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,
Jakarta, 2007.
Supriadi. .Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika Tahun 2009).
Politik Agraria | 376
Supriadi.. Hukum Agraria,Cet. IV. (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
Tririana Rejekiningsih. Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Pada Negara Hukum (Suatu
Tinjauan Dari Teori, Yuridis dan Penerapannya Di Indonesia). Jurnal Yustisia Vol. 5 No. 2
Mei – Agustus 2016.
Urip Santoso. 2009.Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Cet. V
(Jakarta: Kencana).
Wiradi, G. 2001. Prinsip-prinsip Reforma Agraria : Jalan Penghidupan dan Kemakmuran
Rakyat. Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta

Politik Agraria | 377


i

Anda mungkin juga menyukai