Anda di halaman 1dari 18

Stereotip dan Prasangka dalam Konflik

Etnis Tionghoa dan Bugis Makassar

Christiany Juditha
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika
Jl. Prof. Dr. Abdurahman Basalamah II No. 25, Makassar 90231
Email: ithajuditha@yahoo.com

Abstrak: The diversity of culture, religion, and language Indonesia often leads to ethnic conict.
Chinese and Bugis Makassar, for example, are often involved in such conict. The main causes
are the strong stereotypes and prejudices between them. Actually, there have been some efforts to
establish intercultural communication. This based on an argument that if the ethnics could establish
contact or interaction and develop a meaningful intercultural communication, it can minimize
cultural misunderstandings and reduce stereotypes, prejudices and ethnocentric among them.

Keywords: Bugis-Makassar, Chinese, intercultural communication, prejudice, stereotypes

Abstrak: Keberagaman budaya, agama dan bahasa di Indonesia seringkali menimbulkan konik.
Etnis Tionghoa dan Bugis Makassar, misalnya, sering terkait dengan konik tersebut. Penyebab
utama persoalan ini adalah stereotip dan prasangka yang kuat di antara kedua etnis. Sebenarnya,
telah ada usaha-usaha menjalin komunikasi antar budaya untuk mengatasi persoalan tersebut.
Usaha ini didasarkan pada anggapan bahwa jika kedua etnis dapat menjalin kontak atau interaksi
dengan mengembangkan komunikasi antar budaya yang bermakna, maka kesalahpahaman budaya
dapat diminimalkan sebagai upaya untuk mereduksi perilaku stereotip, prasangka, dan etnosentris.

Kata Kunci: Bugis-Makassar, komunikasi antar budaya, prasangka, stereotip, Tionghoa

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan terbesar di dunia (Yaqin, 2005, h. 3).
Indonesia yang sudah dikenal sejak dahulu. Namun keberagaman Indonesia ini
Maknanya, berbeda-beda tetapi tetap satu. bukan tanpa resiko. Perbedaan yang ada
Ragam budaya Indonesia merupakan justru sering diletakkan sebagai pemicu
kekayaan unik yang tidak dimiliki setiap masalah dan sumber konik. Konik
bangsa di dunia. Ragam ini terlihat dari agama, etnis dan antar golongan pun sering
kondisi sosio kultural dan geograsnya terjadi. Konik ini sering sulit dicari jalan
yang terdiri dari 17.000 pulau besar dan keluarnya karena masing-masing pihak
kecil, populasi penduduk lebih dari 210 juta merasa diri paling benar.
jiwa, 300 suku yang menggunakan hampir Kondisi alami kemajemukan melahir-
700 lebih bahasa yang berbeda serta agama kan corak dan pengaruh yang berbeda-
dan kepercayaan yang beragam. Fishman beda. Kemajemukan etnis pun melahirkan
pun memandang Indonesia sebagai raksasa pengelompokan-pengelompokan intraetnik
sosiolinguistik dan negara multikultur karena setiap etnik memiliki perasaan

87
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 1, Juni 2015: 87-104

superior daripada etnis lain, misalnya, orang sering mendapat perlakukan diskriminatif
Jawa merasa sebagai orang bertabiat halus, dari golongan mayoritas. Etnis ini memberi
orang Ambon merasa sebagai pekerja keras, kontribusi yang besar dalam bidang
orang Bugis Makassar merasa sebagai ekonomi. Namun, kesenjangan ekonomi
pelaut ulung, dan orang Padang merasa yang berujung timbulnya kesenjangan
sebagai pedagang ulung. Hal ini dapat sosial justru menimbulkan konik antar
melahirkan prasangka-prasangka sosial etnis. Menurut Amy Chua, profesor dari
yang muncul dari kondisi tidak saling kenal Yale University, adanya etnis minoritas
dan kekhawatiran berwujud stereotip, jarak yang mendominasi pasar bisa diramalkan
sosial, dan sikap diskriminasi terhadap akan terjadi serangan terhadap kelompok
etnik lain (Liliweri, 1994, h. 3-4). tersebut. Masalahnya ada pada market-
Pemerintah Indonesia, melalui dominant minorities, yaitu keberadaan
Menteri Luar Negeri era SBY, Marty Nata kelompok minoritas kaya raya yang
Legawa, mengklaim bahwa Indonesia diperolehnya dari pasar ekonomi (Budiman,
telah menjalankan toleransi, masuk dalam 2004, h. 45).
kategori negara moderat yang berkominten Konik antar suku tidak asing bagi
kuat menjalankan prinsip demokrasi dan kita. Konik antar etnis pribumi seperti
toleransi, menghormati hak asasi manusia Madura dan Dayak, Aceh dan Jawa, Bali
serta menjunjung tinggi kebebasan dan Sasak, maupun antar etnis pribumi dan
berpendapat dan kebebasan beragama. nonpribumi, seperti Jawa dan Tionghoa,
Namun, dalam siaran pers awal Mei 2012, serta Bugis Makassar dan Tionghoa masih
Elaine Pearson, Wakil Direktur Human kerap terjadi. Sejarah pertikaian antar etnis
Rights Watch (HWR) Asia, mendesak skala besar terjadi antara etnis Madura dan
negara-negara anggota Dewan HAM PBB Dayak di Kalimantan, yaitu tragedi Sambas
bisa menekan dan mengajukan pertanyaan dan Sampit. Ribuan jiwa meninggal, harta
keras terkait perkembangan HAM di benda habis serta puluhan ribu orang
Indonesia. Pasalnya, selama empat tahun menjadi pengungsi di negara sendiri.
terakhir kekerasan dan diskriminasi di Kerugian material dan psikis mengemuka.
Indonesia terhadap kelompok minoritas Konik antara kedua etnik tersebut muncul
yang justru semakin memburuk. Menurut karena kecemburuan sosial. Suku Dayak
catatan HRW, insiden kekerasan dan sebagai suku pribumi yang mayoritas
penyerangan yang terjadi di Indonesia tahun menduduki kelas sosial yang lebih rendah
2007 mencapai 135 kasus, tahun 2010 naik dari suku Madura sebagai pendatang.
menjadi 216 kasus, dan melonjak menjadi Konik lainnya yang juga paling
244 kasus pada tahun 2011 (Kompas, 2012, sering terjadi adalah antara warga pribumi
h. 8). dan warga nonpribumi, khususnya etnis
Etnis Tionghoa merupakan salah satu keturunan Tionghoa. Di Indonesia,
golongan minoritas di Indonesia yang orientasi multikulturalisme sebagai konsep

88
Christiany Juditha. Stereotip dan Prasangka...

ideal yang telah jelas digambarkan oleh terhadap sejumlah komoditas maupun
semboyan Bhinneka Tunggal Ika ternyata peluang. Jika kompetisi berlanjut, maka
belum mampu mengakomodasi warga masing-masing anggota akan memandang
etnis keturunan Tionghoa sebagai bagian anggota kelompok lain sebagai musuh.
integral. Jika terdapat isyarat agresi, maka perilaku
Warga keturunan Tionghoa belum agresi akan muncul.
diterima secara penuh sebagai orang Konik-konik tersebut menunjukkan
Indonesia. Sasaran kerusuhan, perusakan, bahwa interaksi antara dua etnis
penjarahan, dan pembakaran sering berbeda dan laju pembangunan bangsa
dialamatkan pada rumah-rumah, toko-toko, memperlihatkan porsi yang tidak seimbang.
dan kantor-kantor perusahaan milik etnis Fungsi komunikasi antar etnis juga tidak
keturunan Tionghoa. Dibandingkan dengan dilaksanakan dengan baik. Oleh karena
sekian etnis yang ada di kota-kota di itu, benteng pertahanan kebangsaan dalam
Indonesia, etnis keturunan Tionghoa paling bentuk identitas dan sistem nilai itu semakin
sering menjadi sasaran amuk massa warga merapuh. Hal itu berarti komunikasi makin
pribumi. Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta lama makin kehilangan kekuatan dan daya
menunjukkan bukti bagaimana harta benda rekatnya. Perbedaan berlatar belakang
warga keturunan Tionghoa menjadi sasaran multikultural yang dapat memicu konik
dalam kerusuhan tersebut. tersebut memerlukan komunikasi untuk
Konik antar etnis banyak menimbul- membentuk interaksi sosial yang sepaham
kan kerugian sik dan psikis. Faktor-faktor dan efektif sehingga tingkat saling
penyebab konik umumnya sulit dipetakan pengertian antar etnis atau antar golongan
dan sangat kompleks. Satu konik dapat tercipta.
biasanya dipicu oleh satu masalah tertentu. Stereotip, prasangka, dan diskrimisi
Namun, sebenarnya konik tersebut seringkali mengawali kebencian dan
dilatarbelakangi oleh konteks situasi dan kerusuhan rasial. Di Indonesia, hal ini
kondisi makro yang meliputi aspek sosial, tidak berlaku bagi masyarakat Tionghoa
politik, dan ekonomi. saja, namun juga etnis lain, seperti Batak,
Konik seringkali mendasari muncul- Minangkabau, Jawa, Sunda, Madura, dan
nya perilaku agresi antar kelompok. Konik Dayak. Hal ini bisa terjadi jika etnis-etnis
antar kelompok seringkali dipicu oleh tersebut menetap di suatu wilayah yang di
keadaan dari dalam dan luar kelompok, dalamnya dihuni etnis mayoritas. Ditilik
sehingga anggota kelompok diwarnai oleh dari sudut sosio-historis, bobot masing-
prasangka (Helmi & Soedardjo, 1998). masing kasus berbeda-beda.
Salah satu teori prasangka adalah realistic Pada kasus etnis Tionghoa, pandangan
conict theory (Baron & Byrne, 2004, h. stereotip tak jarang dialamatkan pada
213) yang memandang prasangka berakar keraguan eksistensial terhadap status
dari kompetisi sejumlah kelompok sosial atau posisi mereka sebagai salah satu

89
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 1, Juni 2015: 87-104

komponen bangsa. Pada titik ini, secara terjadinya konik, emosi masyarakat
ideologis, pandangan stereotip tersebut pun mudah tersulut. Faktor kesenjangan
terkait dengan kesangsian orang terhadap ekonomi antara orang keturunan Tionghoa
komitmen nasional mereka. Selanjutnya, dan pribumi juga menjadi penyebab konik.
cara pandang ini dapat mengarah pada Kesenjangan ekonomi sebagai penyebab
kecurigaan keterlibatan etnis Tionghoa kecemburuan sosial akhirnya melahirkan
dalam determinasi proses-proses politik konik laten. Faktor inilah yang masih
dan ekonomi sampai keterlibatan melekat pada masyarakat Pandhalungan
mereka di lingkaran kekuasaan negara. terutama di kecamatan Besuki. Masyarakat
Pandangan stereotip ini, baik secara sosio- Pendhalungan berasumsi bahwa orang-
historis, budaya, ekonomi, dan politik, orang keturunan Tionghoa saat ini juga
berhasil memproduksi dan mereproduksi mendominasi mereka, terutama dalam hal
mitos-mitos yang membuat substansi ekonomi.
permasalahannya semakin sulit disentuh Penelitian lain yang memiliki
(Siregar, 2013). kemiripan kasus dilakukan oleh Prihartanti,
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tauk dan Thoyibi (2009, h. 1) dengan
Rahman (2013, h. 1) juga membahas judul “Mengurai Akar Kekerasan Etnis
tentang konik etnis Tionghoa dan Jawa. pada Masyarakat Pluralis”. Penelitian
Penelitian yang berjudul “Konik dan ini bertujuan memahami faktor-faktor
Kecemburuan Sosial antara Etnis Tionghoa personal, sosial, budaya, dan politis yang
dan Masyarakat Pandhalungan di Daerah melatarbelakangi terjadinya kekerasan
Besuki Situbondo” tersebut menunjukkan antara etnis Jawa dan Tionghoa. Hasilnya
bahwa warga pribumi sering kali mengalami menunjukkan bahwa, pertama, faktor-
kecemburuan jika ada etnis pendatang yang faktor yang melatarbelakangi munculnya
lebih dominan dalam berbagai lingkup kekerasan etnis adalah faktor perbedaan
kehidupan mereka. Pluralitas masyarakat individual (etnisitas) dan situasional. Kedua,
sangat rentan terhadap konik yang jati diri etnis Jawa banyak dipengaruhi oleh
bisa mengarah pada kekerasan terhadap peristiwa sejarah. Mereka diperlakukan
kelompok minoritas. secara diskriminatif oleh penjajah Belanda
Konik etnis Tionghoa dan suku dengan memasukkannya ke dalam kategori
Pandhalungan tersebut terjadi pada tahun inlander yang mewakili warga kelas
1967 di Situbondo, Besuki, dan Panarukan. ketiga dan menjadi subordinat orang-orang
Tahun 1996, kejadian serupa terjadi lagi Belanda dan etnis Tionghoa. Kategori
hingga menyebabkan kerusuhan dan sebagai warga kelas tiga ini memengaruhi
diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. pembentukan self-concept negatif pada
Akar konik yang beragam memengaruhi etnis Jawa. Sementara itu, etnis Tionghoa
timbulnya kekerasan. Situasi politik membangun self-concept yang positif
nasional pada waktu itu ikut memicu berdasarkan ajaran-ajaran Taoisme.

90
Christiany Juditha. Stereotip dan Prasangka...

Ketiga, pola sikap dan perilaku antar etnis akan membuat suatu kelompok dapat
etnis banyak diwarnai oleh relasi yang dengan mudah memobilisasi massa dan
tidak mindful, sehingga rentan terhadap membentuk suatu pasukan yang memiliki
munculnya kekerasan. Keempat, budaya motivasi berperang tinggi. Bila demikian,
dan agama memang tidak secara langsung maka kekerasan akan menjadi suatu
mencetuskan kekerasan, namun budaya dan kekuatan yang sangat kejam dan tidak lagi
agama dapat berperan dalam pembentukan bisa terelakkan.
jatidiri yang berpengaruh pada self-concept
dan mewarnai pola perilaku dan relasi yang PEMBAHASAN
dapat menumbuhkan perasaan negatif dan Di s k ri mi n a s i E tn i s Ti o n g h o a di
memicu kekerasan. Makassar
Hasil beberapa penelitian tentang Etnis Tionghoa telah hidup berabad-
konik etnis Tionghoa dan Jawa yang telah abad lamanya dan menjadi bagian dari warga
dipaparkan di atas memiliki kemiripan kota Makassar. Orang-orang Tionghoa
akar permasalahan konik yaitu masalah datang ke Makasar dan sekitarnya pada masa
ekonomi dan situasional sosial. Konik Dinasti Tang, abad ke-15. Mereka datang
etnis Tionghoa dan Bugis Makassar pun dari Hokkian di daratan Tionghoa secara
memiliki latar belakang masalah yang bertahap pada masa pemerintahan kerajaan
kurang lebih sama. Etnis Tionghoa yang Gowa. Semula mereka datang hanya untuk
dikenal sebagai pendatang menguasai pasar berdagang, namun lama-kelamaan mulai
perekonomian di tanah air. Hal itu memicu bermukim di pesisir-pesisir pantai. Bahkan,
lahirnya kecemburuan sosial masyarakat dalam naskah Suré Galigo, disebutkan
setempat yang tidak jarang berujung pada bahwa Sawerigading, tokoh utama dalam
konik yang berkepanjangan. cerita tersebut, berlayar ke negeri Tiongkok
Keberadaan kelompok-kelompok untuk menjemput calon isterinya. Sejarah
fundamentalisme etnis membuat peluang juga mencatat kemajuan ekonomi etnis
terjadinya konik budaya semakin Tionghoa dibanding ketika mereka pertama
besar. Brown (1997, h. 80) mengatakan kali menjejaki kota Makassar dalam
bahwa bangkitnya nasionalisme etnis keadaan miskin pada 1676. Etnis ini pun
pada satu kelompok akan dilihat sebagai diterima dengan tangan terbuka. Amanna
ancaman bagi kelompok lainnya dan akan Gappa, salah seorang petinggi kerajaan
menciptakan perkembangan dari sentimen setempat, menikah dengan seorang putri
yang sama di tempat-tempat lainnya. Tionghoa (Pasolle, 2009). Ini berarti telah
Jika sudah seperti ini, maka pertentangan ada hubungan antara orang Bugis Makassar
antar etnis akan semakin besar. Biasanya, dengan Tionghoa beberapa abad lampau,
kelompok minoritaslah yang akan menjadi sebelum Islam masuk.
korban. Di sisi lain, paham nasionalisme Hingga kini, keberadaan masyarakat
yang didasarkan pada fundamentalisme Tionghoa telah diakui pemerintah daerah.

91
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 1, Juni 2015: 87-104

Kawasan peTionghoan seluas 44 hektar pun restoran (Makassar Doeloe Makassar Kini
dibangun pemerintah. Gapura bertuliskan Makassar Nanti, 2000, h. 151). Kehadiran
“Tionghoa Town, Gerbang Persaudaraan kawasan peTionghoan memang diharapkan
Indonesia-Tionghoa” dan berdiri kokoh dapat menjadi potensi pariwisata, tetapi
di ujung Jalan Jampea Makassar menjadi sekaligus menjadi pemicu terhambatnya
perlambang persahabatan antara warga proses pembauran atau asimilasi antara
pribumi dan warga keturunan Tionghoa. etnis Tionghoa dengan etnis Bugis
Kawasan peTionghoan di Makassar Makassar. Pemukiman yang homogen ini
diperkirakan telah ada sejak ratusan seolah membatasi ruang gerak pergaulan
tahun lalu. Namun, baru secara sah mereka, menghambat proses komunikasi,
diakui keberadaannya setelah diresmikan menjadikan mereka eksklusif dan
Wali Kota Makassar, Amiruddin Maula, teralienasi.
sebagai salah satu objek wisata kota pada Keragaman suku terkadang sulit
pertengahan Februari tahun 2003. Kawasan dipersatukan. Masing-masing cenderung
ini termasuk simbol kemapanan bagi warga bertahan dengan pandangan sempit dan
keturunan Tionghoa karena mereka terdiri egoisme kesukuan mereka yang acap kali
atas empat suku, yaitu Kanton (tukang justru menimbulkan gesekan-gesekan yang
emas), Hainan (warung kopi), Hokkian, dan berujung pada konik kekerasan hingga
Hakka/Khe (pedagang) yang menguasai kerusuhan, seperti konik antara etnis
hampir semua jenis usaha, mulai dari bisnis Tionghoa dan Bugis Makassar yang pernah
barang kelontong, grosir, hingga tempat terjadi pada tahun 1970-an. Kerusuhan
hiburan malam. Sejak lama, sebagian besar serupa juga terjadi beberapa kali pada
warga keturunan Tionghoa bermukim dekade ini, meski hanya disebabkan hal
dan mengelompok di belakang Jalan yang sepele, misalnya dalam hubungan
Jampea dan Jalan Bonerate yang menjadi jual-beli. Salah satu pihak merasa tidak
kawasan permukiman, perkantoran, dan puas dan melakukan provokasi.

Gambar 1 Gapura “Tionghoa Town, Gerbang Persaudaraan Indonesia-Tionghoa” di Makassar

92
Christiany Juditha. Stereotip dan Prasangka...

Konik tahun 1980 merupakan konik pun masih terjadi. Penganiayaan yang
terparah. Konik tersebut berawal dari diduga dilakukan seorang majikan beretnis
peristiwa pembunuhan terhadap pembantu Tionghoa berbuntut kematian salah seorang
rumah tangga pribumi yang bekerja pembantu rumah tangga asal Sinjai. Meski
di sebuah toko Tionghoa “Toko La”. tidak menimbulkan kerusuhan hebat seperti
Peristiwa ini mengakibatkan kerusuhan dan kasus-kasus sebelumnya, peristiwa ini
penggayangan etnis Tionghoa di Makassar. membuat kota Makassar menjadi tegang
Peristiwa serupa kembali terjadi pada tahun karena aksi-aksi demo memprotes kejadian
1997. Peristiwa ini dipicu pembunuhan ini. Seolah tidak ingin menjadi korban
seorang bocah perempuan pribumi berusia seperti peristiwa-peristiwa sebelumnya,
sembilan tahun yang dilakukan oleh Benny sebagian besar toko milik warga keturunan
Karre, etnis Tionghoa yang belakangan Tionghoa tutup lebih awal, termasuk di
diketahui mengidap penyakit Schizophrenia pusat penjualan emas di Jalan Somba Opu.
Paranoid, semacam penyakit gangguan Sejarah juga mencatat bahwa
jiwa. Pelaku kemudian meninggal setelah Makassar adalah kota pertama di Indonesia
dikeroyok massa yang mengamuk tidak yang menjadi lokasi pengganyangan
terkendali. Aksi anti Tionghoa ini berlanjut orang-orang keturunan Tionghoa pada 10
dan meluas tidak saja pada perusakan serta November 1965. Tindakan rasialis warga
pembakaran bangunan dan perumahan Bugis Makassar itu untuk melampiaskan
milik warga etnis Tionghoa, tetapi juga kemarahan mereka pada peristiwa G30S
pada tempat-tempat hiburan (Sudarjanto, dan terhadap poros Jakarta-Beijing yang
2010). dibangun pemerintahan Orde Lama.
Era reformasi mencatat insiden serupa. Sejak itu, kota Makassar menjadi lokasi
Pada 10 Mei 2006, seorang pembantu dari paling sering terjadi kerusuhan rasial etnis
etnis Bugis terbunuh oleh etnis Tionghoa, Tionghoa (Pasolle, 2009).
yang lagi-lagi memicu kemarahan Beberapa peristiwa yang memicu
masyarakat. Pada 1 Juli 2007, seorang kerusuhan disebabkan oleh kemarahan
dosen Universitas Negeri Makassar warga pribumi (Bugis Makassar) terhadap
dikeroyok oleh tiga orang etnis Tionghoa. pembunuhan etnis pribumi yang dilakukan
Kejadian ini menimbulkan amarah oleh etnis Tionghoa. Padahal, jika
sekelompok mahasiswa dan melakukan ditelurusi secara mendalam, kasus-kasus
sweeping serta memprovokasi masyarakat ini sebenarnya murni kriminal. Namun
untuk melakukan pengganyangan etnis kasus-kasus itu selalu dikaitkan dengan
Tionghoa di Makassar. Kasus-kasus lain isu-isu berbau SARA yang dilakukan oleh
dengan modus yang sama pun terjadi, etnis minoritas terhadap etnis mayoritas.
seperti peristiwa Jalan Latimojong dan Hal ini terkesan tidak adil, karena kasus
Jalan Sangir. serupa yang dilakukan oleh etnis Bugis
Hingga Mei 2011, peristiwa serupa Makassar terhadap etnis Tionghoa nyaris

93
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 1, Juni 2015: 87-104

tidak pernah terekspos dan dianggap keturunan Tionghoa juga muncul, seperti
sebagai kasus kriminalitas biasa. Walau etnis keturunan Tionghoa disebut sebagai
bagaimana pun, peristiwa kerusuhan golongan yang mau untung sendiri tanpa
semacam itu jelas menimbulkan ketakutan melihat halal atau haram, diskriminasi
dan trauma luar biasa bagi warga etnis pribumi terhadap etnis keturunan Tionghoa
Tionghoa di Makassar. Tidak heran jika dalam kesempatan menduduki jajaran
mereka bersikap sangat tertutup terhadap aparat desa/pemerintahan, serta nilai-nilai
orang pribumi (Bugis Makassar). dan kekuatan konik yang ditunjukkan
dengan adanya perbedaan agama dan
Mendeteksi Akar Masalah: Stereotip dan kesenjangan ekonomi di antara kedua etnis.
Prasangka Hal ini menggambarkan bahwa kasus-kasus
Hubungan warga etnis Bugis diskriminasi etnis Tionghoa yang terjadi
Makassar dan Tionghoa di Makassar di Indonesia memiliki akar masalah yang
sebenarnya harmonis. Namun jika terjadi hampir sama di semua daerah, termasuk di
suatu masalah, baik bersumber dari etnis Makassar.
Tionghoa atau tidak, warga etnis Tionghoa Faktor stereotip dan prasangka yang
selalu menjadi sasaran. Kecemburuan sangat kuat pada etnis Tionghoa dan
sosial dan hubungan harmonis yang semu Bugis Makassar menarik untuk dibahas.
menjadi masalah terpendam antara kedua Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
etnis. Lepore dan Brown (dalam Baron, Byrne &
Penelitian yang dilakukan Sanjatmiko Branscombe, 2006), stereotip berhubungan
(1999, h. 1) tentang kasus etnis keturunan dengan prasangka. Prasangka mengaktifkan
Tionghoa dan pribumi di Tangerang stereotip dan stereotip menguatkan
menyimpulkan beberapa faktor penyebab prasangka. Sebagai golongan minoritas dan
terjadinya jarak sosial antara etnis pribumi pendatang, menurut Suryadinata (2002),
dan keturunan Tionghoa. Faktor tersebut masyarakat etnis Tionghoa mempunyai
antara lain, pertama, tidak terjadi perubahan beberapa stereotip yang melekat di mata
pola kultur etnis keturunan Tionghoa ke penduduk pribumi, seperti curang, pelit,
dalam penduduk pribumi, atau masih pencuriga, jorok, rajin, dan loyal pada
kuatnya in group feeling penduduk etnis keluarganya. Tidak hanya masyarakat
keturunan Tionghoa terhadap kulturnya. pendatang yang mempunyai stereotip pada
Kedua, anggapan kultur etnis keturunan dirinya, masyarakat pribumi seperti etnis
Tionghoa lebih tinggi dari komunitas Jawa juga mempunyai stereotip tersendiri
pribumi. Ketiga, prasangka stereotip negatif seperti sopan, jujur, tradisional, dan rajin.
terhadap penduduk pribumi yang pemalas, Baron dan Byrne (2004, h. 213)
bodoh, dan tidak bisa menggunakan mendenisikan prasangka sebagai sebuah
kesempatan baik.Sebaliknya, steorotip sikap (biasanya negatif) terhadap anggota
penduduk etnis pribumi terhadap etnis kelompok tertentu, semata berdasarkan

94
Christiany Juditha. Stereotip dan Prasangka...

keanggotaan mereka dalam kelompok mereka juga segera mendatangkan rekan-


tersebut. Prasangka merupakan salah rekannya sesama etnis Tionghoa untuk
satu fenomena yang hanya bisa ditemui berbisnis di daerah itu dan mematikan
dalam kehidupan sosial. Seseorang tidak bisnis warga pribumi. Akibatnya, di banyak
mungkin berprasangka bila tidak pernah tempat, etnis Tionghoa dilarang melakukan
mengalami kontak sosial dengan individu perdagangan. Sebaliknya etnis Tionghoa
lain. Prasangka memiliki fungsi heuristik menganggap mereka lebih tinggi dari
(jalan pintas), yaitu langsung menilai komunitas pribumi dan menganggap etnis
sesuatu tanpa memprosesnya secara pribumi pemalas, bodoh, dan tidak bisa
terperinci dalam alam pikiran (kognisi) menggunakan kesempatan dengan baik.
kita. Gunanya adalah agar kita tidak Selama ini, konik etnik Tionghoa
terlalu lama membuang waktu dan energi dan Bugis Makassar sering muncul karena
untuk sesuatu yang telah terlebih dahulu adanya anggapan warga bahwa keturunan
kita ketahui dampaknya (Sarwono, 2006, Tionghoa kebal hukum, terutama pada
h. 129). Masalahnya, sering sekali orang kalangan yang mapan. Orang Tionghoa
berprasangka secara berlebihan sehingga kebanyakan menyelesaikan persoalan
orang tersebut tidak rasional lagi dan hukum dengan membayar para aparat
akhirnya membuat keputusan yang keliru. penegak hukum karena kaya dan memiliki
Stereotip merupakan generalisasi banyak uang. Interaksi warga keturunan
tentang kelompok orang yang sangat Tionghoa dengan etnik Bugis Makassar
menyederhanakan realitas, sedangkan selama ini kurang intens, terutama di area
prasangka merupakan sikap yang kaku tempat tinggal, karena masing-masing hidup
terhadap suatu kelompok yang didasarkan secara berkelompok. Warga keturunan
pada keyakinan atau prakonsepsi yang Tionghoa menutup diri dengan rumah
keliru. Prasangka juga dapat dipahami tertutup serta menjunjung dan memelihara
sebagai penilaian yang tidak didasari oleh budaya nenek moyang. Sebaliknya etnik
pengetahuan atau pengujian terhadap Bugis Makassar memendam stigma dan
informasi yang tersedia. prasangka bahwa keturunan Tionghoa egois
Stereotip dan prasangka yang dan hanya mementingkan untung rugi bila
berkembang pada etnis Tionghoa dan Bugis berhubungan dengan tetangga (Oldnabble,
Makassar cenderung ke arah penilaian yang 2010).
negatif. Etnis Bugis Makassar beranggapan Penelitian yang dilakukan oleh
bahwa dalam berbisnis etnis Tionghoa Mustamin (2006) yang berjudul
sering bermain curang dan suka menyuap “Kerawanan Kerusuhan Etnis Bugis-
pihak penguasa untuk mendapatkan konsesi Makassar dan Tionghoa di Kotamadya
ekonomi sehingga membuat mereka cepat Makassar Sulawesi Selatan” menguatkan
sukses. Lalu jika ada etnis Tionghoa datang stigma yang selama ini dipahami oleh kedua
untuk berbisnis di suatu wilayah, maka etnis tersebut. Hasil penelitian menunjukkan

95
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 1, Juni 2015: 87-104

bahwa kekerasan berdasarkan sentimen etnis Tionghoa mendapat perlakuan


etnis dibangun oleh kondisi struktural tertentu dari suku Bugis Makassar begitu
dengan dominasi etnis Tionghoa dalam kuat membentuk stereotip dan prasangka
bidang perdagangan yang tidak tersaingi mereka. Begitu pula sebaliknya.
oleh etnis Bugis Makassar. Sementara Stereotip dan prasangka ini pula
itu, etnis Bugis Makassar mendominasi yang memengaruhi komunikasi antar
bidang politik yang strategis bagi kebijakan budaya Tionghoa dan Bugis Makassar.
dalam bidang sosial. Ketiadaan satu media Etnis Tionghoa cenderung melakukan
yang mempertemukan etnis Tionghoa usaha penghindaran untuk berkomunikasi
dan etnis Bugis Makassar adalah realitas dengan orang yang tidak diinginkan.
yang melahirkan persepsi dan prasangka. Salah satu bentuk penghindaran tersebut
Ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan adalah pembangunan rumah tempat tinggal
yang dikeluarkan oleh pemerintah ternyata yang sangat tertutup dan seolah-olah
justru memperkuat simbol-simbol identitas tidak ingin bersentuhan langsung dengan
primordial etnis Tionghoa dan etnis Bugis dunia luar. Kebanyakan dari mereka juga
Makassar, sehingga potensi kekerasan menghindari urusan dengan pribumi,
menjadi bersifat laten. Oleh karena itu, seperti saat pengurusan surat-surat, mereka
penelitian ini merekomendasikan suatu lebih memilih menggunakan calo. Bahkan
model pencegahan konik kerusuhan anak-anak etnis Tionghoa disekolahkan di
dengan inisiatif lokal melalui pembentukan sekolah-sekolah swasta yang khusus untuk
lembaga lintas etnis. etnis tersebut. Sangat jarang atau bahkan
Hal inilah yang disebut Samovar dan hampir tidak ada anak-anak etnis Tionghoa
Porter (1985, h. 78) sebagai suatu sikap kaku yang bersekolah di sekolah-sekolah
terhadap sekelompok orang berdasarkan negeri yang banyak mendidik anak-anak
keyakinan yang salah, pemikiran sederhana pribumi. Perbedaan-perbedaan semacam
yang dilebih-lebihkan, dan secara emosional itu melahirkan pemikiran dari kedua etnis
kaku dan sulit untuk diubah. Hal ini memicu tersebut: adakah keuntungan yang bisa
penghindaran diri dari setiap kesempatan mereka peroleh jika saling berhubungan
untuk bertemu dan berkomunikasi dengan dan berkomunikasi?
orang yang tidak disukainya. Di samping Berdasarkan hasil penelitian Fatimah
itu, kondisi tersebut juga membuat (2010) yang berjudul “Aspek Stereotip dalam
perbedaan (diskriminasi) melalui tindakan- Komunikasi Multikultur di Makassar”,
tindakan aktif serta permusuhan sebagai disebutkan bahwa pola perilaku antara
bentuk manifestasi prasangka. Tidak etnis Tionghoa dan Bugis Makassar yang
dipungkiri bahwa stereotip dan prasangka berlangsung selama ini kurang harmonis
ini terbentuk berdasarkan pengalaman karena kedua etnis jarang berhubungan
interaksi dengan individu lain atau dan berkomunikasi. Bila berhubungan,
kelompok individu tertentu. Pengalaman masing-masing anggota etnis ternyata masih

96
Christiany Juditha. Stereotip dan Prasangka...

memikirkan untung-ruginya. Keuntungan masing individu, stereotip, etnosentrisme,


dapat dilihat dalam bentuk yang nampak tradisi, nilai, norma, dan sistem religi.
(barang dan tenaga) dan yang tidak tampak Kenyataan di atas menunjukkan bahwa,
(perasaan). Kerugian diperoleh juga dalam dalam berkomunikasi, setiap anggota etnis
bentuk yang sama, tetapi karena ketertutupan akan berpedoman pada norma-norma,
etnis Tionghoa untuk menyebutkan kaidah-kaidah, dan budaya etnisnya. Di
langsung kerugiannya sehingga hal itu sulit dalam masyarakat Bugis Makassar maupun
untuk diungkapkan. Hal ini menunjukkan Tionghoa jelas terdapat berbagai nilai,
bahwa etnis Tionghoa sangat tertutup dalam norma, kaidah, tradisi, serta budaya bawaan
memberikan informasi. Problem utamanya yang dijadikan pedoman berkomunikasi
adalah ketidakmampuan mempercayai oleh masing-masing etnis. Tidak menutup
atau secara serius menganggap pandangan kemungkinan hal tersebut memicu
sendiri keliru dan pendapat orang lain benar. terjadinya benturan-benturan dan gesekan-
Komunikasi berada pada posisi terpolarisasi gesekan dalam komunikasi antar budaya
dan ditandai dengan retorika ‘kami yang yang berujung pada timbulnya konik.
benar’ dan ‘mereka yang salah’. Kata
lainnya, setiap kelompok budaya cenderung Solusi Masalah: Komunikasi
etnosentrik (Gudykunst & Kim, 1992, h. Manusia selalu berkomunikasi dengan
98). manusia lain dalam kehidupan sehari-
Penjelasan di atas berhubungan erat hari, baik yang berasal dari satu kelompok
dengan model komunikasi yang dipaparkan maupun kelompok, ras, etnik, dan budaya
oleh Gudykunst dan Kim. Proses lain. Aksioma komunikasi mengatakan
penyandian dan penyandian balik pesan bahwa manusia selalu berkomunikasi
dipengaruhi oleh lter-lter konseptual dan manusia tidak dapat menghindari
yang dibagi-bagi menjadi faktor budaya, komunikasi (Liliweri, 2004, h. 5).
sosiobudaya, psikobudaya dan lingkungan DeVito (1997, h. 482) berpendapat
(Mulyana, 2005, h. 156). Dari perbedaan bahwa komunikasi antar budaya telah
budaya, ada banyak faktor yang dapat menjadi semakin penting karena meningkat-
dilihat. Salah satunya adalah kebiasaan- nya mobilitas orang di seluruh dunia, saling
kebiasaan individu yang disebabkan oleh ketergantungan ekonomi antar negara,
nilai-nilai dan tradisi yang dibawanya. kemajuan teknologi komunikasi, perubahan
Menurut Purwasito (2003, h. 224-231) pola imigrasi, dan politik membutuhkan
kebiasaan-kebiasaan individu inilah yang pemahaman atas kultur yang berbeda-
akan membentuk suatu pemikiran khusus beda. Sedangkan Liliweri (2004, h. 56)
mengenai kultur tertentu. Untuk memahami mengatakan bahwa hidup bermasyarakat
latar belakang budaya, dalam konteks memaksa manusia untuk berkomunikasi,
komunikasi, ada beberapa faktor yang baik dengan anggota kelompok maupun
perlu dipahami, yaitu pola berpikir masing- dengan manusia di luar kelompok yang

97
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 1, Juni 2015: 87-104

dinaunginya. Komunikasi kelompok me- perbedaan tersebut. Oleh karena itu, dalam
rupakan komunikasi di antara sejumlah perkembangan selanjutnya, komunikasi
orang. Pada kenyataannya, komunikasi antar budaya dipahami sebagai proses
kelompok bukanlah sekedar bertukar pesan simbolik yang melibatkan atribusi makna
melainkan terjadi pula proses interaksi antar antar individu dari budaya yang berbeda.
budaya dari para anggota kelompok (baik in Kata kuncinya adalah proses (Gudykunst
group maupun out group) yang berbeda latar and Kim, 1992, h. 157).
belakang kebudayaannya. Termasuk dalam Bruneaun mengatakan bahwa pihak-
pengertian konteks komunikasi kelompok pihak yang melakukan komunikasi antar
adalah operasi komunikasi antar budaya di budaya harus mempunyai keinginan yang
kalangan in group maupun antara anggota jujur dan tulus agar tercipta hubungan yang
sebuah in group dengan out group atau harmonis (Mulyana & Rachmat, 1990, h.
bahkan antara berbagai kelompok. 56). Asumsi ini memerlukan sikap yang
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika positif dari para pelaku komunikasi antar
yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu, budaya untuk menghilangkan hubungan
lebih dari ratusan etnis tersebar di berbagai superior-inferior berdasarkan keanggotaan
wilayah Indonesia dan lebih dari 350 kelompok-kelompok etnis tertentu. Saling
bahasa daerah berkembang di Indonesia, pengertian dan pemahaman di antara
menunjukkan bahwa Indonesia sangat masing-masing pihak harus tercipta karena
kaya akan beragam suku bangsa, bahasa, memperlakukan orang lain yang berbeda
agama, ras, budaya, dan adat istiadat. budaya sesuai dengan keinginannya dapat
Namun, komunikasi antar budaya di negeri mempermudah terjadinya komunikasi di
ini belum mendapatkan tempat yang cukup antara mereka.
serius sebagai suatu kajian penting. Padahal Komunikasi antar budaya merupakan
kenyataan menunjukkan bahwa kehidupan hubungan antara individu-individu yang
masyarakat dan budaya Indonesia sangatlah berbeda budaya, misalnya antar suku
heterogen. bangsa, etnik, ras, dan sosial (Samovar,
Kehidupan majemuk bangsa Indonesia Porter & Jaim, 1986, h. 25). Di dalam
ditandai dengan etnis yang berbeda-beda komunikasi antar anggota kelompok etnik,
latar belakang sosial-budayanya. Kenyataan terdapat norma-norma atau kaidah-kaidah
tersebut membuat bangsa Indonesia tidak yang terpelihara dan dipatuhi bersama oleh
mudah mewujudkan suatu integrasi dan anggota masyarakat yang bersangkutan.
menghindari konik atau bahkan perpecahan Norma-norma itu merupakan ikatan yang
(DeVito, 1997, h. 5). Komunikasi antar dihormati bersama. Oleh karena itu, dalam
budaya melibatkan perbedaan-perbedaan berperilaku, setiap anggota masyarakat akan
ras dan etnis, namun dapat juga berlangsung selalu berpedoman pada norma-norma itu.
ketika muncul perbedaan-perbedaan yang Kedua etnis yang berkonik, yaitu
mencolok tanpa harus disertai perbedaan- Tionghoa dan Bugis Makassar, memahami

98
Christiany Juditha. Stereotip dan Prasangka...

bahwa pengalaman masa lalu, di mana etnis kelompok dengan etnis yang berbeda. Sikap
Tionghoa selalu menjadi korban tindak terbuka yang dibangun melalui kontak antar
kekerasan, enggan membuka diri dan persona harus diimbangi dengan feedback
berkomunikasi untuk menjalin interaksi yang positif dan kerjasama yang baik untuk
dengan etnis pribumi (Bugis Makassar). mengurangi terbentuknya stereotip. Sebuah
Perasaan cemas, ketidakpastian, kecurigaan interaksi yang sebelumnya telah didasari
yang besar, dan pandangan negatif juga atas prasangka, jika dilakukan terus-menerus
selalu menjadi hal yang mendasari etnis akan menumbuhkan saling pengertian di
Tionghoa untuk menghindari komunikasi. antara kedua belah pihak, sehingga tindakan
Sebaliknya, etnis Bugis Makassar tetap diskriminasi dapat diminimalkan. Menurut
memiliki rasa superior dibanding etnis Barlo dan Devito, dalam Sihabuddin (2011,
Tionghoa karena mereka merasa bahwa h. 204), efektivitas komunikasi antar pribadi
etnis Tionghoa merupakan orang asing dan antar kelompok sangat ditentukan oleh
yang datang dan tinggal di wilayah mereka. faktor keterbukaan, empati, serta perasaan
Biasanya, semakin besar derajat positif yang memberikan dukungan dan
perbedaan antar budaya, maka akan semakin memelihara keseimbangan.
besar pula kemungkinan kehilangan peluang Pada praktiknya, usaha menjalin
untuk merumuskan suatu tingkat kepastian komunikasi antar budaya bukanlah persoalan
sebuah komunikasi yang efektif. Gudykunst sederhana. Namun, kesalahpahaman
dan Kim (1984, h. 67) menunjukkan budaya dapat diminimalkan jika kedua
bahwa orang-orang yang tidak dikenal etnis berinteraksi dengan mengembangkan
atau asing selalu berusaha mengurangi komunikasi antar budaya yang bermakna
tingkat ketidakpastian melalui peramalan sebagai upaya untuk mereduksi perilaku
yang tepat atas relasi antar pribadi. Usaha stereotip, prasangka, dan etnosentris.
untuk mengurangi ketidakpastian itu dapat Di samping itu, kebermaknaan dalam
dilakukan melalui beberapa tahap, antara lain komunikasi antar budaya juga akan tercapai
precontact atau tahap pembentukan kesan apabila kedua belah pihak dapat mengelola
melalui simbol verbal maupun nonverbal. kecemasan dan ketidakpastian yang
Selanjutnya, initial contact and impression, dihadapi sebagai sebab mendasar kegagalan
yakni sebuah tanggapan lanjutan atas komunikasi antar budaya. Kemampuan
kesan yang ditimbulkan atau muncul dari mengelola ketidakpastian dan kecemasan
kontak pertama tersebut. Terakhir, closure, justru akan memberikan motivasi kepada
mulai membuka diri melalui atribusi dan individu-individu dalam mengurangi
pengembangan kepribadian. kesalahpahaman budaya. Jalinan komunikasi
Stereotip dan prasangka dapat antara kedua belah pihak dengan demikian
diminimalisir apabila setiap etnis dapat akan berlangsung dengan lebih baik.
melakukan komunikasi secara terbuka Menurut Gudykunst (2002, h. 98),
melalui kontak antar persona maupun antar komunikasi efektif antara individu-

99
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 1, Juni 2015: 87-104

individu yang berbeda latar belakang kulturalisme yang merupakan tanggung


budaya bukan dipahami karena terciptanya jawab semua pihak. Pemahaman tersebut
keakraban, berbagi sikap yang sama, dapat muncul jika ditunjang dengan
atau bahkan berbicara yang jelas, tetapi sosialisasi secara terus-menerus kepada
komunikasi efektif terjadi saat kedua belah masyarakat, baik itu beretnis Tionghoa,
pihak dapat secara akurat memprediksikan Bugis Makassar, maupun etnis lain yang
dan menjelaskan perilaku masing- hidup berdampingan. Pengembangan
masing. Gudykunst menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia perlu ditopang oleh
kecemasan dan ketidakpastian tidak selalu kesadaran multikultural, yaitu kesediaan
bermakna negatif, namun jika tingkatnya untuk menerima dan menghargai perbedaan.
semakin rendah dapat memotivasi mereka Tanpa kesadaran tersebut, bangsa ini sulit
untuk berkomunikasi dengan lebih baik. membangun kemajuan di tengah masyarakat
Komunikasi yang telah berjalan baik dan yang majemuk dalam hal agama, etnis, dan
efektif dapat berperan dalam menyebarkan budaya.
keyakinan atau menghentikan penyebaran Perbedaan merupakan keniscayaan
stereotip dan prasangka, bahkan rasisme, yang mesti dan harus diterima. Fakta
antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis menunjukkan bahwa manusia memang
Makassar. makhluk unik dan khas. Keunikan dan
Penelitian yang dilakukan Idi (2009) kekhasan ini, dalam konteks bernegara,
juga menekankan pentingnya mengikis berbangsa, dan bermasyarakat, dapat
stereotip, prasangka, dan diskriminasi menimbulkan keragaman tatanan sosial
agar proses asimilasi (perpaduan dua dan kebudayaan. Keragaman ini seperti
budaya) dapat berjalan dengan baik. Hal ditunjukkan oleh Indonesia sebagai negara-
ini juga dapat menjadi jalan keluar bagi bangsa yang terdiri atas beragam etnis,
permasalahan antar etnis. Faktor lain yang agama, dan bahasa. Keragaman ini perlu
perlu diperhatikan adalah perbandingan dikelola secara serius dan sungguh-sungguh
kuantitas etnis minoritas yang harus lebih dalam suatu bentuk tatanan nilai yang dapat
kecil dibandingkan mayoritas, terdapatnya dibagi bersama. Oleh karena itu, keragaman
sejumlah kesamaan budaya antara kelompok masyarakat Indonesia merupakan tantangan
mayoritas dan minoritas serta kesanggupan yang menuntut upaya sungguh-sungguh
etnis minoritas menghilangkan identitas dalam bentuk transformasi kesadaran
mereka dan menerima etnis mayoritas. multikultural. Suatu kesadaran yang
diarahkan untuk membangun identitas
SIMPULAN nasional, integrasi nasional, dan kesadaran
Pembahasan di atas menyimpulkan menempatkan agama untuk kesatuan bangsa.
bahwa salah satu jalan keluar dari masalah Ini akan membuat kesatuan Indonesia
tersebut adalah perlunya pemahaman dapat ditegakkan sejalan dengan teks ideal
masyarakat mengenai kesadaran multi- Bhinneka Tunggal Ika.

100
Christiany Juditha. Stereotip dan Prasangka...

Salah satu keterbukaan yang masih membuat kegiatan-kegiatan yang bisa


dipertahankan untuk menjalin interaksi dihadiri seluruh lapisan masyarakat, seperti
dan komunikasi antara etnis Tionghoa perayaan Imlek dan Cap Go Meh yang
dan Bugis Makassar di Makassar antara digelar setiap tahun. Di sisi lain, Forum
lain ritual Mattemu Taung. Kegiatan ini Pembauran Kebangsaan Sulawesi Selatan
mungkin dapat menjadi salah satu cara yang juga selalu menggelar kegiatan-kegiatan
bisa dipakai oleh kedua etnis untuk tetap yang membaurkan kedua etnis, misalnya
menjalin hubungan yang harmonis. Ritual dengan menghadirkan Grup Sendratasik
yang setiap tahun diadakan bertepatan bulan yang menyanyikan lagu-lagu Bugis
Syafar penanggalan Hijriyah ini merupakan Makassar, tetapi yang beraliran musik
penghormatan dan pemujaan terhadap Tionghoa (Tionghoa Indonesia, 2010, h. 9).
leluhur. Upacara ini diselenggarakan Seiring era reformasi, kehidupan multietnik
oleh beberapa keluarga besar keturunan di Makassar, khususnya Tionghoa dan
Tionghoa di Makassar. Tujuannya untuk Bugis Makassar, semakin membaik,
memohon keselamatan bagi seluruh terutama setelah beberapa peraturan
masyarakat. Di dalam prosesinya, ritual pemerintah menganulir peraturan lama
ini memadukan tradisi Bugis dan Tionghoa yang sebelumnya membuat etnis Tionghoa
karena dahulu ada leluhur warga keturunan hidup dalam lingkup terbatas. Peraturan
Tionghoa yang menikah dengan keluarga baru tersebut, misalnya, menjadikan Imlek
kerajaan Luwu, salah satu kerajaan besar di sebagai hari besar keagamaan, pengakuan
tanah Bugis. Ini berarti etnis Tionghoa sejak Konghucu sederajat dengan agama Islam,
dahulu telah diterima dan memperoleh Kristen, Hindu, dan Budha, undang-undang
pengakuan sederajat tanpa melihat atau kewarganegaraan, kebebasan berekspresi,
mempersoalkan adanya perbedaan antara dan mengembangkan kebudayaan. Hal
etnis Bugis dan Tionghoa (Pasolle, 2009). tersebut menggambarkan bahwa semua
Pemerintah kota Makassar, bekerja etnik/suku bangsa yang menjadi warga
sama dengan paguyuban-paguyuban etnis negara Indonesia memiliki hak yang sama
Tionghoa dan Bugis Makassar, sering dalam segala hal.
menyelenggarakan berbagai forum diskusi Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul
pluralisme tentang pembauran Etnis Yasin Limpo, dalam perayaan Tahun Baru
Tionghoa di Makassar. Tujuannya untuk Imlek 2014, pernah mengatakan bahwa
membuka komunikasi dan interaksi antar jangan ada lagi tembok pemisah antara etnis
kedua etnis. Di samping itu, untuk mem- Tionghoa dengan yang bukan. Kita, sebagai
bangun kembali kepercayaan dengan anak bangsa, dapat menjaga suasana tetap
sesama warga lainnya, tokoh-tokoh warga aman dan damai sehingga ekonomi akan
Tionghoa di Makassar selalu berusaha menjadi lebih baik. Kesatuan emosional
bekerja sama dengan pemerintah dan dan persatuan semua masyarakat dapat
tokoh lintas etnis lainnya, misalnya dengan membaik dengan tidak menghadirkan

101
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 1, Juni 2015: 87-104

tembok pemisah antara warga Tionghoa sesudah terjadi konik yang mencakup
dengan etnis lainnya. pencegahan, penghentian, dan pemulihan
Hal senada juga disampaikan oleh pasca konik. Penyelesaian konik antara
Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. etnis Tionghoa dan Makassar misalnya
Ilham mengemukakan bahwa merayakan melalui mediasi yang difasilitasi oleh
Imlek menjadi pertanda semakin meng- pemerintah Makassar. Selain terdapat
akarnya kebersamaan antara semua suku kompromi-kompromi untuk mencapai
atau etnis. Menurutnya, keberadaan etnis kesepakatan bersama agar konik tidak
Tionghoa di Makassar tidak bisa dipisahkan terjadi lagi, pemerintah kota Makassar juga
dan menjadi bagian dari warga Kota menggunakan win-win solution di mana
Makassar dalam membangun kehidupan kedua belah pihak yang bertikai sama-sama
melalui kebersamaan dan persatuan yang mendapatkan keuntungan dan kedamaian.
kian erat. Masalah konik antar etnis dapat
Sementara itu, Ketua Paguyuban terselesaikan jika ada kesediaan dari
Sosial Marga Tionghoa Indonesia masing-masing etnis untuk terbuka, baik
(PSMTI) Sulawesi Selatan, Wilianto Tanta, dalam komunikasi maupun sikap terhadap
menuturkan bahwa kegiatan seperti perayaan segala hal yang baru. Hal ini penting
Imlek bukan hanya sebagai ajang silaturahmi karena melalui keterbukaan tersebut setiap
bagi warga Tionghoa, tetapi juga untuk etnis bisa memupuk kepekaan untuk saling
semua masyarakat, khususnya di Makassar. menghargai, tidak diskriminatif, serta
Perbedaan antara warga Tionghoa dengan mengikis stereotip dan prasangka yang
lainnya tidak ada lagi. Semuanya sama. Kita telah mengakar pada masing-masing etnis.
berharap, warga Tionghoa bisa bergabung Itulah salah satu cara untuk merayakan
dengan seluruh masyarakat. Tidak ada lagi multikulturisme.
sekat-sekat pemisah dengan etnis Bugis,
Makassar, Mandar, Toraja, dan lainnya. Kita DAFTAR RUJUKAN
anggap semuanya sama sebagai masyarakat Baron, R.A, & Byrne, D. (2004). Psikologi sosial.
Sulawesi Selatan (Berita Kota, 2014). Jakarta, Indonesia: Erlangga.
Indonesia, sebagai negara multikultur, Baron, R.A., Byrne, D. & Branscombe, N. R.
telah berupaya menangani berbagai konik (2006). Social psychology (11th ed.). Belmont,
CA: Pearson Education Inc.
sosial dan etnis, misalnya dengan mensahkan
Berita Kota. (2 Maret 2014). Jangan lagi ada
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2013
tembok pemisah antar etnis. <http://
tentang Penanganan Konik. Melalui
b e r i t a k o t a m a k a s s a r. c o m / A r s i p / i n d e x .
regulasi tersebut, diharapkan konik bisa php?option=com_content&view=article&i
ditangani secara baik. Penanganan konik d=20799:jangan-lagi-ada-tembok-pemisah-
merupakan serangkaian kegiatan yang antar-etnis>

dilakukan secara sistematis dan terencana, Brown, M. (1997). Causes and implications of
ethnic conict. Dalam Guibernau & Rex,
baik sebelum, saat berlangsung, maupun

102
Christiany Juditha. Stereotip dan Prasangka...

J (Eds), The ethnicity reader: Nationalism, Rosda Karya.


multiculturalism, and migration. Great Mustamin. (2006). Kerawanan kerusuhan etnis
Britain, UK: Polity Press. Bugis-Makassar dan Tionghoa di kotamadya
Budiman. (20 Maret 2004). Review buku Prof. Amy Makassar, Sulawesi Selatan. Center for
Chua. Kompas, h. 45. Religious and Cross-Cultural Studies UGM.
DeVito, J. (1997). Komunikasi antar manusia. <http://crcs.ugm.ac.id/thesis/48/Kerawanan-
Jakarta, Indonesia: Professional Books. Kerusuhan-Etnis-Bugis-Makassar-dan-
Tionghoa-di-Kotamadya-Makassar-Sulawesi-
Fatimah, J. M. (2010). Aspek stereotip dalam
Selatan.html>
komunikasi multikultur di Makassar. Jurnal
Pekommas, 13(1). Oldnabble. (2 Februari 2010). Asa pada
keterlibatan politik etnis Tionghoa. <http://
Gudykunst, W. (2002). Cross-cultural
old.nabble.com/-sastrapembebasan/Asa-
communications theories. Dalam Gudykunst,
pada-Keterlibatan-PolitikEtnis-Tionghoa-td
W. B. & Mody, B (Eds), Handbook of
15100025. html/ 2/Februari/2010>
international and intercultural communication
(2nd ed.). London, UK: Sage Publications. Pasolle. (1 Januari 2009). Merayakan
multikulturisme dengan ritual Mattemmu
Gudykunst, W. B., & Kim, Y. Y. (1984). Methods for
Taung sebuah perpaduan tradisi Bugis dan
intercultural communication. Beverly Hills,
Tionghoa di Makassar. <http://pasolle.
CA: Sage.
blogspot.com/2009/01/pasolle-2.html/
--------------. (1992). Readings on communicating
Merayakan>
with strangers. New York, NY: McGraw-Hill.
Prihartanti, N.,Tauk & Thoyibi, M. (2009). Mengurai
Helmi, A. F. & Soedardjo. (1998). Beberapa
akar kekerasan etnis pada masyarakat
perspektif perilaku agresi. <http://avin.staff.
pluralis. <http://publikasiilmiah.ums.ac.id/
ugm.ac.id/data/jurnal/perspektifagresi_avin.
bitstream/ handle/ 123456789/643/1.%20
pdf>
NANIK.pdf?sequence=1>
Idi, A. (2009). Asimilasi Tionghoa Melayu di
Purwasito, A. (2003). Komunikasi multikultur.
Bangka. Yogyakarta, Indonesia: Tiara Wacana.
Surakarta, Indonesia: Muhammadiyah
Liliweri, A. (1994). Prasangka sosial dan efektivitas University Press.
komunikasi antar etnik di Kupang. Dalam
Rahman, N. E. (2013). Konik dan kecemburuan
Liliweri, A (Ed), Perspektif pembangunan:
sosial antara etnis Tionghoa dan masyarakat
Dinamika dan tantangan pembangunan Nusa
Pandhalungan di daerah Besuki–Situbondo.
Tenggara Timur. Kupang, Indonesia: Penerbit
Prosiding The 5 th International Conference
Yayasan Citra Insan Pembaru.
on Indonesian Studies: “Ethnicity and
----------, A. (2004). Dasar-dasar komunikasi Globalization”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
antarbudaya. Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Politik, Universitas Jember, Indonesia. <http://
Pelajar. icssis.les.wordpress.com/2013/09/2013-02-
Makassar Doeloe Makassar Kini Makassar Nanti. 15.pdf.>
(2000). Makassar, Indonesia: Yayasan Losari. Samovar, L. A. & Porter, R. E. (1985). Approaching
Mulyana, D. & Rakhmat, J. (1990). Komunikasi intercultural communication. Dalam L. A.
antarbudaya: Panduan berkomunikasi bagi Samovar and R. Porter (Eds.), Intercultural
orang-orang berbeda budaya. Bandung, communication: A reader (4th ed.), Belmont,
Indonesia: Remaja Rosda Karya. CA: Wadsworth.
Mulyana, D. (2005). Ilmu komunikasi: Suatu Samovar, L. A., Porter, R. E. & Jaim, N. C. (1986).
pengantar. Bandung, Indonesia: PT. Remaja Understanding intercultural communication.

103
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 1, Juni 2015: 87-104

Belmon, CA: Wadsworth Publishing


Company.
Sanjatmiko, P. (1999). Orang keturunan Tionghoa di
Tangerang: Suatu kajian tentang faktor-faktor
yang mendorong dan menghambat asimilasi
antara penduduk golongan etnik pribumi.
Makalah Jurnal Penelitian Universitas
Indonesia, C(3), ISSN 1410-2595.
Sarwono, S. W. (2006). Psikologi prasangka.
Jakarta, Indonesia: C.V. Rajawali.
Sihabuddin, A. (2011). Komunikasi antarbudaya:
Satu perspektif multidimensi. Jakarta,
Indonesia: PT. Bumi Aksara.
Siregar, A. T. H. (12 Januari 2013). Mempertajam
perbedaan, menjalankan toleransi: Tentang
asimilasi, integrasi, dan taman budaya
Tionghoa. <http://indonesiaseutuhnya.
wordpress.com/2013/01/12/mempertajam-
perbedaan-menjalankan-toleransi/>
Sudarjanto. (5 Oktober 2010). Penyelesaian
konik antar etnis terhadap etnis Tionghoa-
Makassar. <http://direktori.umy.ac.id/
uploads/skripsi2/20050530241-Bab-I.pdf>
Suryadinata, L. (2002). Negara dan etnis tionghoa
(Kasus Indonesia). Jakarta, Indonesia: LP3ES.
Tionghoa Indonesia. (2 Februari 2010). Fajar, h. 9.
Yaqin, M. A. (2005). Pendidikan multikultural:
Cross-cultural understanding untuk demokrasi
dan keadilan. Yogyakarta, Indonesia: Pilar
Media.

104

Anda mungkin juga menyukai