ABSTRAK
Pluralitas Komunitas kota Palembang tersegregasi secara ekologis berdasarkan kelompok
etnis-suku, kelas sosial dan segregasi silang. Segregasi etnis-suku berada dikota lama,
terutama di DAS Musi, baik seberang ulu maupun ilir. Segregasi etnis-suku juga berkaitan
dengan pekerjaan atau usaha dimana masing-masing kelompok ini mempunyai jenis
pekerjaan atau usaha yang spesifik. Segregasi kelas sosial terdiri dari kelas atas,
menengah dan bawah. Menengah bawah berada di Pusat kota, pinggiran kota dan
terutama di DAS Musi, termasuk rumah-rumah rakit. Sedangkan menengah atas di sekitar
pusat perdagagan dan perkantoran kawasan yang baru dibuka, perumahan elit, termasuk
perumahan perusahaan besar. Pola segregasi silang atau berimpitan (kelas dan etnis)
berlaku antara Cina keturunan yang kaya non muslim dengan Palembang asli yang
muslim dan miskin. Terdapat kecenderungan perubahan pola segregasi dari etnis-suku
kekelas sosial, atau dari laut (DAS) ke daratan.
Kata Kunci : Segregasi ekologis, kelompok etnis-suku, kelas sosial, menengah atas,
menengah bawah, invansi, suksesi.
1
Artikel ini diangkat dari Hasil Penelitian yang semula berjudul segregasi ekologis dan keserasian sosial
antar berbagai kelompok etnis di Kota Palembang tahun tahun 2000. Kepada sponsor yaitu Proyek
Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan Dasar, Dirjen Dikti Depdiknas diucapkan terima kasih.
Kepada Ir. Setyo Nugroho, M.Arch., dan Dra. Retna Mahriani, M.Si. yang turut membantu dan memberi
saran dalam penelitian ini diucapkan banyak terima kasih.
2
DR. M. Ridhah Taqwa adalah Ketua Program Magister Sosiologi Fisip Unsri, dan Sekjen Asosiasi Prodi
Sosiologi Indonesia (APSSI).
polarisasi berdasarkan kelompok etnis atau kelas sosial. Polaritas seperti itu selanjutnya
dapat membentuk proses sosial dan dinamika masyarakat, baik yang sifatnya asosiati
maupun yang dis-asosiatif. Yang asosiatif dapat bekerja sama sedangkan yang dis-asosiatif
berupa kompetisi atau konflik sosial. Jika dalam proses ekonomi sosial tersebut melahirkan
kesenjangan sosial yang makin melebar maka potensi konflik pun akan semakin besar. Dan
dengan potensi konflik yang akan menjadi benih munculnya kerusuhan dalam kota. Karena
itulah maka setiap terjadi kerusuhan yang menjadi sasaran kerusuhan dan penjarahan
adalah pusat-pusat kota, khususnya lokasi pusat perdagangan dan pemukiman elit.3
Meskipun kerusuhan juga terkait dengan topik penelitian, namun Artikel ini tidak
bermaksud untuk melacak latar belakang dan para pelaku kerusuhan dan penjarahan.
Tetapi lebih mengarah pada segregasi kelompok etnis dan kelas sosial ekonomi masyarakat
kota, yang sering dianggap cikal bakal munculnya kecemburuan sosial dan kemudian
Komunitas masyarakat kota Palembang yang sangat plural, baik dari segi sosial,
budaya dan ekonomi juga memungkinkan muncul pola segregasi sosial. Ada suku Jawa,
Sunda, Batak, Padang-Minang, Bugis, Melayu dan suku-suku yang berada di Sumatera
Selatan sendiri. Karena itu, menarik diteliti lebih lanjut bagaimana sebenarnya pola
segregasi ekologis Komunitas masyarakat di Kota Palembang, baik dari segi kelompok
etnis maupun kelas sosialnya? Bagaimana sebenarnya kecenderungan pola segregasi itu,
baik kelompok etnis maupun kelas sosial? Apakah segregasi itu juga terkait dengan
pekerjaan dan agama, serta apakah terdapat pola segregasi yang saling berimpitan (silang)?
3
Hal yang sama terdi pada peristiwa kerusuhan dan Penjarahan di Ibukota Palembang, dimana pusat
perbelanjaan milik keturunan Cina menjadi sasaran utama perusuh.
etnis, suku, agama, pekerjaan dan tingkat sosial ekonomi (proses segregasi). Gejala ini
muncul selain karena faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik, juga fakor budaya dan atau
kepercayaan.
Tipologi Segregasi
Pola Segregasi ekologis yang dimaksudkan dalam penelitian ini hanya segregasi
kelompok etnis tidak hanya antar etnis dan keturunan Tionghoa dengan yang lainnya,
tetapi juga komunitas keturunan India, Arab serta suku bangsa di Indonesia seperti Jawa,
lokasi pemukiman dan pemilikan serta usaha. Pola segregasi ketiga, kelas berimpitan
dengan etnis. Jika pola segregasi etnis sudah berimpitan dengan kelas sosial, seperti
antar latar belakang antara agama dan etnis tetapi juga antar kelas sosial. Hasil Penelitian
Dieter dibeberapa Kota di Asia Tenggara membuktikan hal itu. Terjadi perubahan antara
pola segregasi ras ke kelas sosial, dimana orang-orang yang kaya dengan berbeda ras
Proses segregasi sosial dapat dikaitkan dengan teori kesenjangan dengan psiko-
kultural. Pertama, teori kesenjangan sosial ekonomi yang menjelaskan adanya kesenjangan
antara berbagai kelompok masyarakat sebagai hasil pembangunan. Ada segelintir orang
yang menikmati pembangunan dan mayoritas orang yang tidak menikmatinya. Umumnya
yang menikmati adalah komunitas Cina atau non-muslim, sedangkan mayoritas yang
belum menikmati adalah pribumi dan muslim. Berarti antara kesenjangan ekonomi yang
berimpitan dengan perbedaan etnis dan religi, yang berkaitan dengan teori kedua.
seseorang berdasarkan latar belakang sukunya, agamanya, atau keturunannya. Hal ini
terhadap dimana dan dengan siapa seseorang itu harus hidup bersama.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang menggunakan pendekatan komperative Study merupakan penelitian
berbagai kelompok etnis dan atau kelas sosial dengan yang lain. Metode deskriptif yang
digunakan dengan pertimbangan lokasi dan populasi yang sangat luas (Wilayah Kota
dari instansi pemerintah. Sedangkan data primer diperoleh dari tokoh masyarakat, baik
yang pernah menduduki jabatan politik maupun masyarakat umum. Para tokoh masyarakat
melalui jalan darat tetapi juga melalui sungai, karena banyak pemukiman penduduk di
Daerah Aliran Sungai (DAS), baik sungai Musi, Keramasan, Ogan dan lain-lain. Data yang
ada selanjutnya di analisis dan di interpretasi secara kualitatif dengan metode Verstehen
Panjang sejak Zaman Kedatuan Kerajaan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang. Dengan
posisinya itulah perkembangan Kota Palembang mengalami pasang surut dari tahun ke
tahun bahkan dari abad ke abad. Pada masa Kerajaan Sriwijaya Palembang terkenal
sebagai kota maritim terkenal di nusantara. Demikian pula pada zaman Kesultanan
Kota Palembang juga di kenal sebagai kota air, karena posisinya yang dibelah oleh
sungai terbesar dan terpanjang di Indonesia yaitu sungai Musi. Selain itu masih dalam
wilayah kota dimana terdapat ratusan (108) sungai besar dan kecil yang bermuara di sungai
Musi, seperti Sungai Ogan, Komering dan Kramasan. Tidak mengherankan kalau sebagian
besar wilayah ini berupa rawa (lk. 52,33%) dan sering dilanda banjir pasang surut.
atau 37 % untuk perdagangan, perkantoran, industri, utilitas kota dan pemukiman yang
mencapai 25%. Secara garis besar kota Palembang dibagi dua yaitu seberang ulu dan
seberang ilir. Seberang ulu berada di sebelah kanan sungai musi dan ilir sebelah kirinya.
Kedua wilayah ini dihubungkan dua jembatan besar yaitu jembatan Ampera dan Musi II. 4
oleh berbagai kelompok etnis atau suku bangsa, baik yang berasal dari mancanegara,
terutama Asia (Cina daratan, India dan Timur tengah, maupun dari kepulauan Nusantara,
seperti Jawa-Sunda, Padang dan Bugis-Makassar. Demikian pula suku-suku yang ada di
Musi, Sekayu dan lain-lain. Pliralitas komunitas kota ini dengan demikian telah
menjadikan Palembang sebagai melting pot dari suku bangsa di tanah air.
suku bangsa dari Palembang, demikian juga aktifitasnya. Di Jelaskan oleh Husni Rahim
yang menyetir pendapat Storm Van’s Gravesande yang mengatakan bahwa orang Arab
datang ke Palembang sekitar tahun 1690, orang Cina sekitar tahun 1720 dan orang
Hindustan (India dan Pakistan) sekitar tahun 1800.5 Namun demikian menurutnya
pendapat itu kurang tepat dengan alasan Palembang telah dikenal sebagai kota dagang
4
Jembatan Ampera dibangun pada akhir tahun 1950-an dan Musi II pada akhir 1980-an dan baru beroperasi
pada awal tahun 1990-an. Sebelum adanya jembatan tersebut ketek menjadi alat transportasi utama untuk
menghubunglam kedua wilayah ini.
5
Seperti halnya orang Arab, pimpinan orang Cinapun diberi gelar yang disebut kapitan Cina, seperti Tan
Hong Kwee Kapitan Cina Palembang pada tahun 1836. Lihat Husni Rahim, sistem otoritas dan
Administrasi Islam : Studi tentang pejabat Agama masa Kesultanan dan kolonial di Palembang. Logos,
1998, hal.59-61.
Hindustan.
ada pula yang rendah. Seberang Ulu I, Ilir Timur I dan II merupakan 3 besar jumlah
penduduknya yang sedikit dan jarang masing-masing Ilir Barat II, Sukarami dan Sako.
Selanjutnya banyaknya penduduk dalam kota memberi peluang terjadinya pola pemukiman
penduduk yang mengarah pada terbentuknya segregasi sosial sekaligus menunjukkan citra
tersendiri bagi kota besar seperti kota Palembang yang pluralis karena dihuni oleh berbagai
kelompok sosial.
Pada tahun 1998 jumlah penduduk kota Palembang hampir mencapai 1,5 juta jiwa.
Jumlah tersebut tersebar di kecamatan seperti yang terlihat pada tabel berikut.
6
Data ini tentu sudah berbeda dengan ko ndisi kekinian. Dengan rata-rata pertumbuhan penduduk kota
Palembang sekitar 3.5 persen, maka penduduk kota palembang sekarang (tahun 2010) sudah mencapai 1,5
juta jiwa. Kawasan yang baru tumbuh cepat selama 10 tahun terakhir adalah kawasan Jaka Baring.
Pertumbuhan penduduk di kawasan ini terutama dipicu oleh pembangunan perkampungan Atlit dan stadion
megah (Gelora Sriwijaya) jelang PON Ke-14 di Sumatera Selatan tahun 2004 lalu.
Musi yang sekaligus merupakan kawasan kota lama atau yang lebih dulu berkembang
sebagai lokasi pemukiman. Karena itu lokasinya pun berada di kedua sisi sungai Musi,
baik diseberang Ulu mulai dari 1 Ulu sampai 14 Ulu, dan kawasan seberang ilir mulai dari
1 ilir 35 ilir di Tangga Buntung. Hal yang sama juga terjadi di kawasan DAS Ogan dan
Kramasan.
mengelompok berdasarkan suku atau etnis tertentu. Di kawasan Seberang Ilir terdapat
beberapa kelompok etnis atau suku seperti Palembang asli, Bugis, Arab-India, Cina
Perantauan dan Padang/Minang, serta Sekayu. Cina Keturunan pun masih tersebar di
beberapa lokasi seperti Cina di Kawasan Bukit Besar yang biasa disebut Cina Kebon dan
Cina Sekitar Jl.Rajawali atau lapangan Hatta yang lebih elitis. Orang Bugis banyak ditemui
semakin jelas dengan adanya nama lorong Bugis. Suku Palembang di kawasan Ilir
umumnya bermukim di 1-3 Ilir, 28-35 Ilir, dan dikawasan seberang Ulu berada di Daerah
Aliran Sungai (DAS) Musi dan Ogan, tepatnya 1-13 Ulu, Kelurahan Tangga Takat dan
Kuto, 8, 11-13 Ilir dan di Seberang Ulu berada di 10, 13-14 Ulu. Mereka sudah ada di
Palembang Jauh sebelum kemerdekaan, dan bahkan sebelum kesultan Palembang berdiri.7
7
Pada awal pemerintahan Belanda, menurut Sevenhoven orang Arab sekitar 500 jiwa yang umumnya
mempunyai rumah sendiri dan mengelompok dalam suatu kampung. Mereka di kenal sebagai pedagang
perantara saja. Perkampungannya dikepalai oleh seorang yang diberi gelar Pangeran Umar, seperti
Pangeran Abdul Rahman bin Hasan Al Hasbsyi. Lihat Husni Rahim, 1998:62
etnis yang menguasai sektor ekonomi, khususnya perdagangan. 8 Meskipun mereka ada
pada hampir semua konsentrasi pemukiman tetapi ada beberapa lokasi yang cukup
dominan seperti 15-17 Ilir dan Bukit Besar. Lokasi pertama merupakan pusat konsentrasi
perdagangan dan jasa di Palembang yang menyediakan berbagai macam barang, baik
tekstil, alat elektronik dan perabot rumah tangga. Hal ini relevan dengan posisi keturunan
Cina yang mendominasi perdagangan. Di Bukit Besar dan Kemang Manis, Cina
perantauan disebut Cina Kebon atau Cina Pesisir. Disebut cina kebon karena ketika baru
datang atau bermigrasi, mereka umumnya menggarap tanah dilokasi tersebut yang masih
pertanian, sebelumnya sudah banyak yang menjadi hak milik, setelah mereka berubah
status menjadi WNI. Sedangkan istilah pesisir lebih karena cina yang berada disini secara
sosial ekonomi relatif miskin dibndingkan dengan penduduk lainnya dan kemudian
bermukim dipinggiran kota Palembang sebelum kawasan itu berkembang seperti sekarang.
Setelah lahan tersebut semakin banyak yang beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman
dan pendidikan, mereka beralih profesi menjadi pedagang dan pengusaha kecil dan
menengah. Usaha mereka antara lain pembuatan tahu, empek-empek dan berbagai macam
kerupuk. Cina yang berada dikawasan ini banyak yang menetap di Pulau Bangka dan
Sementara itu Cina Perantauan yang ada di seberang Ulu, khususnya di 10 Ulu
lebih kental lagi. Selain karena mereka dianggap sebagai generasi awal yang datang ke
Palembang, juga karena di kawasan itu sudah dikenal sebagai Kampung Pencinaan. Di
8
Orang Cina di perkirakan 800 jiwa dan tinggal dirakit–rakit atas izin Sultan. Ketentuan itu karena di
takutkan merseka akanberbahaya dan kalau tinggal di rakit lebih mudah di kuasai-dikontrol. Karena tinggal
dirakit.maka hampir semua menjadi pedagang, terutama barang pecah belah dari Cina, Sutra Kasar, benang
emas dan obat-obatan. Ibid
Belanda. Selain itu juga terdapat Kelenteng Tua ditepian sungai Musi, tepatnya di 16 Ilir.
Mereka masih ada yang tinggal di Rumah rakit, seperti pada awal mereka datang di
Kelompok suku lain yang dapat diidentifikasi pemukimannya adalah orang Padang
atau Suku Minangkabau. Mereka dikenal piawai dalam usaha rumah makan, sehingga
masakan Padang atau minang sangat dikenal di Palembang, seperti halnya beberapa daerah
di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatera. Kelompok suku ini banyak ditemui
bermukim di 22-26 Ilir, khususnya di belakang mesjid agung, sekitar Rumah Susun dan
sepanjang Jl. A. Rivai, Kec. Ilir Barat I. Lokasi lain pun banyak tetapi cenderung menyebar
sesuai dengan usaha dan profesinya, termasuk di kawasan seberang Ulu. Kawasan tersebut
memang banyak terdapat rumah makan yang menyediakan makanan khas Padang/Minang.
Sementara itu dalam wilayah Palembang atau daerah uluan Kesultanan Palembang
dulu menetap sesuai dengan jalur transportasi air dan darat. Karena itu orang komering
lebih banyak ditemui di sekitar Ulu Darat atau Kertapati Kec.Seberang Ulu I. Lokasi ini
memang merupakan pintu gerbang masuk Palembang dari arah selatan dan barat
khususnya yang berasal dari komering dan ogan. Karena itu pula, sepanjang jalan KH.
Wahid Hasyim sisi sebelah kanan arah jembatan Ampera di dominasi orang komering.
Sedangkan orang Bangka banyak di temui di sekitar Bukit Besar yang juga tidak terlalu
jauh dari pelabuhan Tangga Buntung. Seperti halnya Keturunan Tionghoa/Cina juga
bentuk pemukiman yang benar-benar tersegregasi seperti Arab dan Komunitas Cina.
9
Pada awal mereka datang ke Palembang Keturunan Cina ini memang hanya diizinkan tinggal dirumah sakit
karena dikuatirkan akan mengganggu keamanan masyarakat
seperti di Sekip dan daerah Plaju. Kedatangan orang Jawa-Sunda ke Palembang lebih
banyak terkait dengan perkembangan industri dan juga program Transmigrasi. Karena itu
beberapa kawasan pengembangan industri biasanya terdapat banyak orang Jawa. Kawasan
Industri seperti Pertamina, Pabrik Pupuk atau PJKA banyak ditemui komunitas Jawa-
Sunda. Demikian pula Program Transmigrasi yang merupakan dominan dari Jawa-Sunda,
memilih hidup di Kota. Hal ini terutama anak cucunya yang sebelumnya telah
disekolahkan di Kota. Selain itu juga banyak transmigrasi yang sebelumnya gagal
menggarap lahannya, kemudian mengadu nasip bekerja sebagai buruh atau pedagang kaki
Sebenarnya keberadaan suku Jawa, khususnya dari jawa Tengah sudah cukup lama,
karena cikal bakal kesultanan Palembang juga karena adanya keturunan raja Majapahit
yaitu Ari Damar ( Aria Dillah ) yang berkuasa di Palembang, setelah Sriwijaya melemah. 10
Hal ini lebih diperkuat lagi karena Kesultanan Palembang sendiri selanjutnya diakui
sebagai perpaduan antara Melayu dan Jawa.11 Demikian pula Kerajaan Demak, Pajang dan
pekerjaan juga menunjukkan kecenderungan yang sama meskipun tidak terlalu ekstrim.
Tidak mengherankan apabila kelompok suku diatas dapat diidentifikasi berdasarkan jenis
10
Dalam sejarah tutur Palembang di kisahkan bahwa kerajaan Sriwijaya melemah dan di kalahkan
Majapahit, maka daerah Palembang dalam kekuasaan Majapahit dan Adipati yang berkuasa di Palembang
bernama Ario Damar yang dikenal masyarakat Palembang dengan nama Ariodillah. Ia adalah putera Raja
Majapahit Prabu Brawijaya Sri Kertawijaya. Lihat Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam : Studi
tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Logos, Jakarta, 1998 : hal 41.
11
Lihat Hanafiah Melayu-Jawa : Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Rajawali / Grafindo, Jakkarta, 1995.
itu di Palembang tersebar rumah makan khas Padang atau Minang. Selain itu mereka
banyak yanng berprofesi sebagai pedagang tekstil, khususnya busana muslim, baik di Pasar
besar maupun kalangan. Orang Padang juga banyak yang bekerja disektor birokrasi
pemerintahan dalam bidang pendidikan, baik negeri maupun yang dikelola oleh swasta
atau organisasi sosial keagamaan seperti perguruan Muhammadiyah. Hal ini terkait dengan
tradisi keilmuan di Minangkabau atau Sumatera Barat pada umumnya yang sudah
berkembang denga pesat, sehingga daerah tersebut dikenal banyak melahirkan pemikir
keagamaan, islam. Tidak mengherankan kalau banyak aktifis organisasi sosial keagamaan
Suku Bugis Makassar juga menekuni pekerjaan ynag relatif spesifik. Selain mereka
berdagang juga banyak yang menjadi pengusaha kayu (sawmill), perikanan dan kebun
kelapa. Yang terakhir sudah identik dengan suku Bugis-Makassar sebagai pengusaha
kelapa hingga kepasar-pasar. Mereka tidak hanya dominan dalam jual beli tetapi juga
dalam hal pemarutan kelapa, seperti di pasar 16 ilir, Palima, Lemabang, dan Kertapati.
Pilihan pekerjaan ini terkait dengan pengusaha kelapa di daerah pesisir yang juga
kebanyakan suku Bugis Makassar. Mereka mendominasi usaha kelapa mulai dari hulu
hingga Hilir.
Usaha spesifik lain suku Bugis berupa pembuatan perahu dan kapal berskala kecil
yang biasa disebut penes (phinisi). Spesifikasi pekerjaan ini selain karena suku Bugis
Makassar dikenal terampil dalam pembuatan perahu juga di dukung oleh pengusaha kayu
di daerah Muba, seperti di DAS sungai dalan kecamatan Bayung Lencir yang berasal dari
bidang perdagangan. Karena itu tidak mengherankan apabila mereka kebanyakan tinggal
Veteran, Dempo dan Sayangan. Mereka lebih banyak menguasai jual beli yang berskala
besar (grosir) serta ekspor impor. Kecenderungan ini selain didukung oleh keterampilan
dan manajemen usaha juga sistem jaringan yang luas ke manca negara. Situasi ini juga
didukung oleh kebijakan pemerintah yang tidak memberikan kesempatan kepada warga
keturunan untuk bekerja dibidang politik pemerintahan. Selain itu warga keturunan ini pula
banyak yang berusaha di bidang makanan tradisional seperti kerupuk, empek-empek dan
makanan khas Palembang lainnya. Bahkan menurut sejarah makanan ini (empek-empek)
Meskipun orang Palembang merupakan penduduk asli tetapi mereka tidak terlalu
dominan dalam birokrasi pemerintahan. Pada umumnya mereka bekerja sebagai pedagang
dan pengusaha khususnya kerajinan seperti ukir-ukiran, songket dan kain jumputan.
Pakaian tradisional ini merupakan identitas tersendiri bagi orang Palembang seperti halnya
empek-empek. Karena itu kawasan pemukiman yang dihuni oleh orang Palembang asli
umumnya terdapat banyak pengrajin songket atau jumputan dan aksesoris lainnya.12
Segregasi kelompok etnis ini juga menarik jika dikaitkan dengan agama yang
dianut. Meskipun mayoritas kelompok etnis yang dikemukakan diatas beragama Islam
tetapi yang beragama lain seperti Kristen, Hindu Budha dan kepercayaan Khong Khu Cu
yang mendewakan matahari juga cukup signifikan. Hal ini terutama dilihat dari dua sisi
pertama, jumlah penduduk menurut penganut agama dan kedua jumlah sarana ibadah yang
tersebar di seluruh kawasan kota. Penganut agama islam yang berasal dari Palembang,
12
Di kawasan 30 Ilir atau daerah Tangga Buntung di kenal sebagai sentra kerajinan tradisional. Di 20-23 Ilir
banyak pengrajin ukiran kayu untuk perabot rumah tangga khas Palembang. Sedang Orang Palembang di
Seberang ulu laut banyak membuat krupuk /Kemplang yang terbuat dari ikan.
Pelabuhan Bom Baru. Masjid yang didanai oleh saudagar atau pengusaha tersebut di namai
Al Mujahirin yang artinya orang-orang yang hijrah atau migrasi. Makna tersebut jelas di
hubungkan dengan suku Bugis Makassar yang merantau atau hijrah ke Palembang.
Demikian pula masjid Al Muttaqin di 8 ilir dan masjid Sungai Lumpur di 10 ulu yang
Kimerogan dan Ki Gede Ing Suro merupakan ciri khas bagi wong Palembang dan seputar
masjid itu dihuni dan bahkan di kelola oleh keturunan kesultanan Palembang. Orang-orang
Padang juga sangat consern terhadap sarana ibadah dimana mereka bermukim atau
berusaha. Lebih dari itu orang Padang atau Minang telah menjadi pelopor dan penggerak
Keterkaitan kelompok etnis dengan agama dan sarananya juga berlaku bagi
penganut agama selain Islam. Keturunan Cina yang banyak menganut agama Kristen dan
Budha juga tampat sarana ibadahnya mereka, berupa Gereja, Vihara serta kompleks
peribadatan bagi agama Budha, dan Kawasan Ilir Timur I dan II merupakan lokasi yang
apresiasi lembaga ekonomi dimana pasar-pasar atau pusat perbelanjaan sebagai unsur
13
Oleh karena pada mulanya mereka berdagang dan sekaligus menyebarkan agama Islam, maka keberadaan
pemukiman keeturunan Arab memang di tandai bangunan Masjid tua, dan Masjid AlMuttqin itu
merupakan wakaf dari Akhmad bin Syekh yang telah di renovasi.
14
Bahkan Aktifitas Organisasi kekerabatan orang Padang-Minang sarat dengan nuansa agama. Hal ini
berlaku bagi kekerabatan Bugis-Makassar dalam pengajian dan arisan rutin.
bagi para pemukim di lokasi tersebut.Keturunan Cina Perantauan yang banyak bergerak di
bidang perdagangan banyak bermukim di sekitar daerah tersebut. Hal yang sama juga
berlaku bagi komunitas Bugis-Makassar yang gemar melaut dan di kenal pembuat kapal
sungai-sungai besar sehingga Palembang di kenal sebagai kerajaan maritim, karena itu
lokasi pemukiman yang lebih dahulu berkembang berada di daerah aliran sungai (DAS),
seperti DAS Musi, Ogan, Kramasan dan sungai kecil lain. Kawasan ini kebanyakan berupa
pemukiman kumuh, termasuk rumah rakit yang tersebar di daerah aliran sungai Musi, baik
seberang ilir maupun ulu.Kondisi rumahnya selain sudah banyak tua juga pemukimannya
yang tidak teratur dan kotor, karena berbagai macam limbah khususnya limbah rumah
tangga ynag terlihat jelas. Kekumuhan kawasan ini di cirikan dengan bangunan rumah
yang tidak permanen, jalannya sempit dan kecil-kecil, drainase tidak lancar dan fasilitas
air minum sangat terbatas. Pada umumnya mereka mengambil air dan membuang kotoran
representasi dari kelas bawah masyarakat kota. Pada kelas yang sama ini juga banyak di
temui pusat kota dan pinggiran kota, terutama kawasan rawa-rawa seperti kramasan,
Tangga Buntung dan daerah ilir lainnya. Dengan demikian segregasi kelas bawah telah
tersegregasi lokasi pemukimannya baik pusat kota, pinggiran kota dan atau daerah rawa-
rawa.
di sekitar jalan-jalan besar atau komplek perumahan.Bahkan ada beberapa perumahan yang
sebagian besar di huni oleh kelas menengah atas saja seperti Perumahan Bukit Sejahtera
Kec. Ilir Barat I dan Kedamaian Permai Kec. Ilir Timur II. Kedua lokasi ini sebenarnya
sudah berada di luar kota, tetapi cukup strategis karena dekat dengan jalan besar/utama.
Selain itu ada pula perumahan yang di sediakan oleh perusahaan besar untuk karyawan
setingkat manajer dan direksi seperti Komplek Pertamina Plaju dan Pabrik Pupuk
Sriwijaya.15 Kedua perusahaan negara ini menyerap ribuan besar karyawan yang sebagian
besar diantaranya di sediakan perumahan dinas atau rumah berukuran besar yang dapat
dimiliki dengan di angsur. Kelompok masyarakat yang tinggal di perumahan dan atau
kelas menengah atas menurut alur jalan besar alteri dan kawasan yang baru di buka dan
memang di prioritaskan sebagai kawasan pemukiman. Biasanya lokasi seperti ini jalur
jalannya sudah di persiapkan sejak awal sehingga tidak terlalu mengganggu pemukiman
terdahulu. Jadi lokasi pemukimannya sudah sebagian besar telah di intervensi oleh
kebijakan politik pemerintah kota, juga sudah tertata, dan berbagai macam fasilitas kota
sudah tersedia seperti sarana transportasi dan telekomunikasi serta air besih. Berbeda
dengan kelas bawah yang sebagian besar lokasi pemukimannya di daerah aliran sungai
atau kawasan rawa-rawa yang belum banyak tersentuh oleh kebijakan pembangunan.
Dengan kata lain pada pola pertama telah banyak tersentuh oleh kebijakan politik
15
Menurut Data BPS Palembang 1998, Jumlah Karyawan tetap Pabrik Pusri sejumlah 5.428 orang.
16
Tidak semua perusahaan mampu menyediakan perumahan yang baik/permanen bagi karyawannya. PT.
Gajah Rugu (Pengolah Karet) misalnya yang berlokasi di Jl. Gandus Musi II hanya menyediakan rumah
berupa bedengan (row house).
sendirinya yang mampu berkompetisi untuk tinggal dan memiliki rumah dilokasi itu
umumnya mereka yang berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha besar, elit birokrasi
rumah besar dan yang mewah dengan rumah yang sangat sederhana dan sederhana untuk
kelas menengah kebawah, tetapi yang terjadi rumah tersebut yang dimiliki kelas menengah
atas. Sedangkan kelas bawah masih sulit apalagi yang bekerja sebagai buruh harian atau
sebagai penarik becak. Karena itu, yang muncul kemudian komplek perumahan sebagian
besar justru menjadi pemicu tersegregasinya komunitas masyarakat kota berdasarkan kelas
sosialnya. Hanya sedikit dari kelas menengah bawah yang mampu mengambil rumah,
termasuk di kawasan rumah susun di pusat kota dan perumnas. Sebagian besar dari kelas
menengah bawah ini tinggal di kawasan yang buruk atau kumuh dan sarana dan prasarana
Kecenderungan lain berupa proses suksesi dimana kelas menenah atas baru (OKB)
lebih memilih pindah ke lokasi baru yang luas dan lingkungan yang baik, dari pada
menetap di lokasi lama. Sedangkan yang mampu menyediakan lokasi yang kondusif hanya
real estate atau lokasi baru yang rata-rata penduduknya berasal dari kelas yang sama.
Proses ini dalam sosiologi perkotaan di sebut suksesi, dimana muncul kelas baru dalam
masyarakat yang meninggalkan lokasi lama dan kemudian diisi pendatang baru dari kelas
sosial berbeda.
17
Kawasan Kampus misalnya banyak terdapat rumah mewah umumnya dihuni oleh golongan masyarakat
tersebut. Demikian pula perumahan Bukit Sejahtera, Kedamaian Permai, Kenten Permai atau yang lainnya
yang menyediakan rumah tipe besar antara tipe 70 hingga lebih 200 M 2.
menunjukkan gejala yang menarik. Ada kecenderungan dimana pada lokasi pemukiman
kelas menengah tampak pula pola segregasi kelompok etnisnya, sedangkan pada kelas
menengah atas relatif terintegrasi dan sulit di identifikasi. Antara suku Jawa-Sunda,
Komering, Musi, Palembang dan Bugis membaur dan hampir tidak dapat diidentifikasi
batas-batas sosialnya.
Tesis diatas tidak berlaku bagi komunitas Cina Perantauan, karena komunitas Cina
kelas atas dengan bawah untuk beberapa lokasi memperlihatkan pola segregasi tersendiri.18
Beberapa lokasi komplek perumahan berskala besar atau jalan besar juga menunjukkan
fenomena yang sama dimana di dominasi oleh Cina melalui usaha pertokoan. Hal ini
semakin didukung oleh strategi uasaha mereka yang menjadikan bangunan berfungsi
ganda, selain sebagai rumah tinggal sekaligus toko (ruko). Dengan demikian pola segregasi
yang muncul selain menampilkan kelompok etnis sekaligus juga kelas sosial, yaitu antara
PENUTUP
Pola Segregasi ekologis yang meliputi segregasi kelompok etnis atau suku dan
segregasi kelas sosial juga berlaku di kota Palembang, seperti halnya kota-kota besar di
Asia Tenggara. Bahkan pola segregasi ini saling berimpitan dimana etnis tertentu yang
kaya (kelas atas) berdampingan dengan suku lain yang miskin (kelas bawah).
Musi dan Ogan, baik Seberang ulu maupun seberang ilir. Kedua kawasan yang membelah
kota Palembang ini terdapat konsentrasi pemukiman kelompok etnis-suku yaitu keturunan
18
Di daerah 16 dan 17 Ilir misalnya merupakan pusat perbelanjaan di dominasi oleh komunitas Cina kelas
atas, sebaliknya kelas menengah kebawah umumnya tinggal di kelurahan Bukit Lama dan Kemang Manis.
Segregasi kelas sosial terdiri dari kelas menengah atas dan menengah kebawah.
Kelas atas pada umunya berada di pusat kota, kawasan yang baru dibuka, sekitar jalan
utama dan komplek perumahan (real estate), termasuk perumahan yang dibangun
perusahaan besar. Kelas menengah bawah, berada di pusat kota, pinggiran kota dan
terutama kawasan kumuh di DAS Musi, termasuk rumah rakit sepanjang Sungai Musi dan
Sungai Ogan.
Pola segregasi etnis-suku dan kelas sosial ini juga terkait dengan diferensiasi
pekerjaan/usaha dan agama. Kelompok suku mempunyai usaha atau pekerjaan yang lebih
spesifik. Keturunan cina selain berdagang dan pengusaha bersekala besar juga membuat
perkebunan kelapa dan pembuatan perahu (ketek). Orang Padang piawai dalam usaha
rumah makan khas Padang atau Minang, selain bekerja dibidang birokrasi dan pendidikan.
Orang Jawa-Sunda selain bekerja dibirokrasi pemerintah dan juga banyak bekerja di sektor
informal dan lebih khusus lagi pedagang keliling. Palembang asli umumnya pedangan dan
Palembang.
Dari segi agama sebagian besar dari suku-suku di Nusantara beragama islam dan
mesjid di lokasi usaha dan pemukiman, dan orang Bugis-Makasar membangun masjid
dilokasi pemukiman diperuntukan bagi nelayan-pelaut dari suku tersebut. Kemudian lokasi
pemukiman Palembang asli terdapat masjid-masjid tua yang sekaligus menjadi identitas
sejarah sejak Kesultanan Palembang. Keturunan Cina yang beragama kristen dan Budha di
Pola segregasi silang yakni segregasi etnis-suku dengan kelas sosial juga terdapat
di Palembang. Pada kasus ini tanpak keturunan Cina yang kaya (kelas atas) berdampingan
dengan etnis lain khususnya orang Palembang yang miskin (kelas bawah). Tetapi terdapat
pula segregasi Cina keturunan yang sebagian besar kelas menengah bawah.
Tidak ada lokasi pemukiman yang benar-benar bersifat ekslusif terhadap suku
tertentu sehingga segregasi kelompok etnis hanya dikonsepsikan dengan dua formulasi
atau varian. Pertama, etnis-suku tertentu lebih dominan berada dilokasi itu dibanding
dengan suku lain. Kedua, suku-etnis tertentu paling banyak dilokasi itu dibanding dengan
dilokasi lain.
Proses sosial ekologis komunitas kota mengalami perubahan atau pergeseran dari
segregasi kelompok etnis/suku kepola segregasi kelas sosial atau dengan kata lain dan
daerah aliran sungai ke daratan. Proses tersebut melalui tahap infiltrasi, invasi, dan sukresi.
DAFTAR PUSTAKA
Ever, Hans-Dieter. 1986. Sosiologi Perkotaan : Urbanisasi dan Sengketa Tanah di
Indonesia dan Malaysia. Cet. Ketiga, LP3S. Jakarta.
Geertz, Clifford. 1986. Mojokuto : Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa. Cetakan
Pertama, Pustaka Grafitipers. Jakarta.
Hanafiah, Djohan. 1995. Melayu-Jawa : Citra Budaya dan Sejarah Palembang.
Rajawali/Grafindo, Jakarta.
Ismail dan Syahminal.1999. Eksistensi WNI Keturunan Arab-India di Kotamadya
Palembang. Fisipol, Unsri. ( Tidak dipublikasikan ).
Jellinek, Lea. 1995. Seperti Roda Berputar : Perubahan Sosial sebuah Kampung di
Jakarta. Cetakan Pertama, LP3ES, Jakarta.
Mallarangeng, Rizal. Teori dan Kerusuhan di Dua Kota. Majalah Gatra, 11 Janiari 1997.