Anda di halaman 1dari 18

Pluralisme, Integrasi dan Prasangka

Sosial

Materi Kuliah SSPI


Jurusan Pembnagunan Sosial dan Kesejahteraan
FISIPOL UGM
Karakteristik SosPol Masyarakat
Indonesia
• (budaya)  Plural/heterogen (ratusan entitas suku, tradisi
dan bahasa; ditandai oleh budaya dominan, khususnya
Jawa, Sunda; beragam kesenian, agama/kepercayaan)

• (geografi)  Tersebar tidak merata (terkonsentrasi dan


bergerak/migrasi ke di Pulau Jawa dan Bali; beragam
basis penghidupan/livelihood, seperti. sungai, pantai,
pegunungan)

• (sosial)  Relatif berstrata (terpencar dalam hirarki


status sosial yang piramidal berdasarkan tingkat
pendidikan; sebagian besar berpendidikan dasar)
Karakteristik Masyarakat Indonesia

• (ekonomi)  Agraris/semi-industrial (sebagian


besar penduduk bekerja di sektor pertanian dan
kontribusi sektor tsb pada PDB masih dominan;
beragam pekerjaan agraris, sept. bertani,
beternak, berkebun, dll)
• (politik)  Aliran (afiliasi politik masih kental
berorientasi pada asosiasi keagamaan dan
suku/kedaerahan dan relatif longgar pada basis
ideologi; misalnya: politik berbasis NU-
Muhammadiyah; islam-kristen; agamis-
nasionalis/sekuler, atau santri-abangan-priyayi)
KONSEP:
Pluralisme
• paham atau pandangan tentang keberagaman atau
kemajemukan nilai, norma dan anutan sebagai suatu
kekuatan dan basis eksistensi masyarakat, politik,
ekonomi, budaya, dll

• Pluralisme berkembang atas dasar realitas sosial, bhw


manusia bersifat multidimensional, diciptakan dengan
keunikan masing-masing dan karena itu harus ko-eksis
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya

• Masyarakat plural = masyarakat yg terdiri dari beragam


budaya, adat-istiadat, agama, etnisitas, bahasa, ras, dll
Pluralisme

• Secara teoretis, dlm masyarakat majemuk


relasi suatu kelompok sosial dgn yg lain
hanya terbatas di tempat kerja  komunikasi
yang lebih intens hanya terjadi di dalam
kelompok sejenis (in-group association)

• Dalam masyarakat plural tidak mudah


ditemukan ‘social will’ untuk mencegah
terjadinya diskriminasi dan eksploitasi oleh
suatu kelompok atas kelompok lain
Prasangka Sosial

• Prasangka sosial (PS) = penilaian subjektif atau konstruksi


sosial suatu kelompok sosial atas kelompok sosial lainnya
berdasarkan karakteristik sosial tertentu

• Konstruksi sosial = pandangan atas suatu fenomena dan


realitas sosial yang terakumulasi dari hasil pengalaman,
pengamatan dan juga pemikiran

• Semakin intens hubungan sosial antar kelompok


masyarakat, semakin mudah mereka membentuk
konstruksi sosial atas kelompok lainnya

• Karena itu PS muncul sebagai konsekuensi konstruksi


sosial suatu kelompok atas kelompok lain di dalam
menjalin relasi-relasi sosial.
Prasangka Sosial

Pluralitas dan PS merupakan fakta, karakteristik dan sejarah


perjalanan Indonesia menjadi sebuah bangsa.

 keberadaan suku-suku dgn masing-masing bahasa, adat dan


budayanya menghiasi seluruh wilayah Indonesia

 agama-agama monoteisme, bahkan aliran kepercayaan sampai


animisme telah dikenal sebelum Indonesia terbentuk menjadi
bangsa

 sesungguhnya etnisitas yg beragam merupakan kontributor


penting di dalam membangun keindonesiaan hingga sekarang ini
Agama
Suku
Ras
Gol.
• Dalam kategori sosial “keberagamaan”, khususnya pemeluk Islam di Jawa, dikenal
kelompok ‘abangan’ ‘santri’ dan ‘priyayi’. Pembagian ini merupakan konstruksi sosial thd
perbedaan karakter keberagamaan masyarakat Jawa (lihat: Geertz: Abangan, Santri, Priyayi)

•  Kelompok ‘abangan’ mengacu pd kelompok masy. yg memiliki kadar ‘religiusitas’


paling rendah daripada kelompok ‘priyayi’ dan ‘santri’. Abangan sering juga disebut sbg
Kejawen

 kelompok priyayi mengacu pada kelompok masyarakat yg terkonsentrasi pada ‘profesi’


birokrasi (pangrehpraja)yg memiliki gaya hidup berbeda daripada kelompok lainnya

 kelompok santri berkonsentrasi pada aktivitas keagamaan (Islam) dan bergumul dgn
ritual-ritual keagamaan yang menyebarkan pencerahan
Kategori ‘keberagamaan’ ini condong membentuk
stratifikasi sosial yg menempatkan kaum abangan
dalam posisi sosio-religiusitas rendah

• Pembagian ketiga kelompok sosial ini bukan


merupakan cerminan kasta, tetapi lebih condong
pada penggolongan ‘kadar keberagamaan’ yang
dilihat dari kehidupan sehari-hari
• Meskipun demikian mobilitas sosial antar-kelompok sosial
dapat terjadi, sehingga status sosial relatif mudah berubah
bagi setiap warga kelompok sosial

• Dalam perjalanannya tidak jarang terjadi benturan antar-


kelompok sosial ini akibat mengentalnya prasangka sosial

• Dalam kategori sosial “etnisitas”, dikenal kelompok


pribumi dan nonpribumi. Konstruksi sosial seperti ini
muncul pada masa prakemerdekaan, bahkan pd masa
kolonial
 penguasa kolonial membuat kategori “orang pribumi”
(inlander), orang Asia non-Eropa, dan orang Eropa dengan
masing-masing karakteristik budayanya

 kaum intelektual Indonesia pada masa prakemerdekaan


menegaskan eksistensinya sebagai pribumi dgn
mendirikan organisasi politik (Indische Partij)

 pd masa pasca kemerdekaan kategori sosial


mengerucut menjadi “pri” dan “non-pri” sbg bentuk
penegasan kelompok sosial etnik Cina dan non-Cina
 konstruksi sosial atas kedua golongan ini lebih
didasarkan pada karakteristik budaya dan ekonomi

 dalam perkembangan kontemporer muncul kategori


sosial yang lebih bernuansa politis, yakni Jawa dan Luar-
Jawa – meskipun hal ini sebenarnya diadopsi dari kategori
ekosistem (Geertz, 1976)

 kategori sosial “etnisitas” ini tidak disosialisasikan


secara formal dalam kehidupan masyarakat; namun
demikian dgn mudah mengkristal

 kategori etnisitas sangat mudah menjadi isu-isu


disintegrasi sosial dan menjadi pengalaman pahit sebagai
bangsa Indonesia pencerahan
• Kategori sosial eksis dan terus berkembang di dalam membentuk
Indonesia dan memiliki sifat “tonik” dan “toksik”

 sifat “tonik” tampak dalam bentuk mosaik kebudayaan yang


indah dan penuh warna. Cth: keragaman budaya merupakan salah
satu pengikat dan pemersatu bangsa yg terus dibelajarkan kepada
masyarakat

 sifat “toksik” tampak dalam bentuk pergesekan atau bahkan


konflik sosial yang menjurus ke disintegrasi nasional

 sesungguhnya “proses menjadi Indonesia” belum tuntas,


karena dalam perjalanannya, bangsa kita lebih banyak berjuang
untuk menekan sifat-sifat “toksik” tadi
 biaya sosial, psikologis, politik seringkali
sangat besar untuk menghambat sifat toksik dari
berbagai kelompok sosial dalam berinteraksi
dengan yang lain

 sifat “toksik” yg menciptakan disintegrasi


sosial terjadi akibat menguatnya prasangka sosial

 prasangka sosial yg kuat terjadi karena terjadi


perbedaan menyolok antar-antribut sosial,
ekonomi, politik, budaya, dan agama antar-
kelompok sosial
• Prasangka sosial meletus menjadi konflik sosial karena dipicu
oleh pengaruh kekuasaan elite politik/militer, terutama di
Jakarta

• Konflik sosial sering “dikonstruksi” oleh kelompok elite


sedemikian rupa, untuk melakukan “bargaining” dengan pihak
lain atau rezim yg berkuasa

• Konflik sosial sering dijadikan sebagai “komoditas” utk


melanggengkan kekuasaan, men-dekonstruksi kapasitas rezim
yg berkuasa dan men-destabilisasi sosial politik yg bertujuan
untuk memperkuat pengaruh dan dukungan massa
Prasangka sosial yg paling umum muncul dari sbg
masyarakat Indonesia terhadap warga etnis Cina

• Konflik sosial (antar-etnis) Cina dan Jawa di berbagai


kota-kota di Jawa pd tahun 70-an

• Konflik sosial (antar-etnis) Dayak dan Madura di berbagai


daerah di Kalimantan (2000an)

• Konflik sosial (inter-etnis) Ambon/Maluku

• Konflik sosial (inter-etnis) di Papua

• Konflik sosial (inter-etnis) di Poso


Bagaimana cara memelihara pluralisme dan
integrasi sosial?
• Pendidikan inklusif, multikultural

• Rekayasa sosial, terutama dlm pembentukan


“musuh bersama” (common enemy) dan
penguatan kepentingan bersama (common
interest)

• Politik yg berkeadilan, khususnya di dalam


pengelolaan sumberdaya bersama (perluasan dan
distribusi pekerjaan, peluang usaha, dll)
Terima Kasih
sampai sesi berikutnya

Anda mungkin juga menyukai