Instruksi:
Baca baik-baik materi di bawah ini dan pahami isinya
Pendahuluan
Dalam kaitannya dengan pembangunan karakter, Bhinneka Tunggal Ika merupakan salah
satu hal yang penting untuk diperhitungkan. Dengan hal itu diharapkan semua pihak semakin
disadarkan bahwa kehidupan negara dan bangsa Indonesia memang perlu didukung dengan
sikap kepribadian yang menghargai pluralitas, kesediaan untuk melakukan toleransi, sikap
demokratis, menghormati perbedaan tapi juga menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan
bangsa, dan itulah sikap yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila.
Dari berbagai definisi yang ada tentang masyarakat dapat dikemukakan beberapa unsur
yang sama yaitu bahwa masyarakat (1) merupakan himpunan dari sejumlah manusia yang hidup
bersama (2) memiliki sejumlah norma dan nilai yang hidup dan menjadi landasan berperilaku
dalam masyarakat. Warga masyarakat diharapkan menyesuaikan tingkah lakunya dengan norma
dan nilai yang ada. Baik norma dan nilai, keduanya berfungsi mengatur kehidupan bersama agar
masyarakat itu berjalan lancar (3) adanya sense of belonging, yaitu perasaan hidup bersama,
merasa sepergaulan, merasa selingkungan sosial, dan sadar bahwa mereka merupakan kesatuan
sosial (4) setiap masyarakat memiliki kebudayaan dengan masyarakat itu sendiri sebagai wadah
kebudayaan yang didalamnya terdapat unsur pemeliharaan, pengembangan, pewarisan pada
generasi berikutnya.
Selanjutnya apa yang dimaksud dengan masyarakat majemuk? Istilah ini diperkenalkan
oleh Furnivall (1967) yang awalnya untuk menggambarkan kenyataan masyarakat pada jaman
kolonial Belanda yang terdiri dari bermacam-macam ras dan etnik. Definisi masyarakat
majemuk menurutnya adalah masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas atau yang
secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda
satu sama lain, yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain di dalam
kesatuan politik. Di dalam masyarakat majemuk terdapat perbedaan-perbedaan suku bangsa,
bahasa, ras, kasta, agama, tradisi budaya dan adat-istiadat. Smith (1998) dalam Sulasmono
(2000) mengemukakan bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang masing-masing
komunitas atau kelompok yang dimaksud memiliki struktur kelembagaan yang berbeda satu
sama lain. Sedangkan Rabuhska dan Shepsle (1972) dalam Sulasmono dan Suroso (2000)
mengatakan bahwa masyarakat masjemuk adalah masyarakat yang memiliki keragaman kultural
namun terorganisasi (dipersatukan) secara politik, yang mengatasi satuan-satuan etnik yang ada.
Ada 17.000-an pulau besar dan kecil dan pulau-pulau itu dibatasi dan dihubungkan oleh
selat dan laut dengan luas wilayah yang tidak sama, dan dengan potensi alam yang juga tidak
sama. Bentang alam mencakup wilayah darat, laut dan udara dengan pegunungan sebagai bagian
di darat yang tak dapat dielakkan keberadaannya dengan luas 1.922.570 km persegi
(Sutarno,2007). Wilayah yang seperti itu juga mengandung potensi kekayaan alam yang
melimpah baik itu yang ada di laut, darat maupun udara. Namun demikian mengingat kondisi
wilayah yang tidak sama, maka juga menimbulkan potensi kekayaan alam yang berbeda. Dilihat
dari posisinya, Indonesia terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera
(Samudera Hindia dan Samudera Pasifik). Letak yang demikian itu memungkinkan pengaruh
asing terhadap masyarakat Indonesia mudah terjadi..
Indonesia terdiri dari berbagai ras dengan populasi lebih dari 203.456.000 juta jiwa
(Sutarno,2007:34) dengan 300 suku (Yakin, 2007:4). Ras menurut Robertson (1977) adalah
merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri warna kulit dan fisik tubuh tertentu.
Perbedaan ras tersebut juga diwarnai dan dipengaruhi oleh latarbelakang wilayah serta ditandai
sistim sosial budaya yang berbeda-beda pula. Di bidang budaya memperlihatkan beragamnya
nilai, ekspresi dan bentuk-bentuk budaya di Indonesia. Setiap suku di Indonesia memperlihatkan
orientasi nilai tentang hidup, tentang kerja, tentang waktu dan tentang alam yang terlihat melalui
ekspresi budayanya masing-masing. Ada orientasi nilai yang sama tetapi ada orientasi nilai yang
berbeda hal tersebut tergantung dan dipengaruhi oleh kemampuan masing-masing masyarakat di
dalam memaknai hidup, kerja, waktu dan alam. Tylor (1832-1917) memandang budaya sebagai
kompleksitas hal yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat- istiadat dan
kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Tabel. 2.1
Lapisan-Lapisan Kebudayaan Indonesia
Kondisi yang beragam semacam ini memberi ciri masyarakat Indonesia yang oleh
beberapa sarjana seperti Boeke (1953) , Mintz (1965) sebagaimana dikemukakan Darmaputra
(1987:14) disebut sebagai ”dualistis”, ”paradoksal”, ”antagonistis”. Kondisi masyarakat seperti
ini tentu menuntut pemahaman dan membutuhkan pengelolaan yang sesuai dengan cita-cita
nasional yaitu Indonesia yang berdaulat, bersatu, adil dan makmur dan tujuan nasional
melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan kesejahteraan umum
dan ikut serta dalam ketertiban dunia.
Sejak lama, seluruh bangsa Indonesia selalu diingatkan agar selalu hidup berdampingan
secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa, agama, ras, dan antar golongan.
Untuk itu perlu adanya cara pandang yang tepat sebagai strategi untuk kelangsungan hidup
bangsa karena tanpa strategi, maka kelangsungan hidup sebagai bangsa selalu akan diganggu
oleh potensi konflik yang bersumber dari cara pandang yang mementingkan diri sendiri. Melihat
realitas yang berbeda-beda dan hidup dengan perbedaan itu maka dalam kehidupan sebagai
bangsa perlu disertai dengan semangat hidup bersama sebagai bangsa yang satu yang disertai
rasa cinta bangsa dan tanah air.
Tabel.2.2
Sisi Positif dan Negatif Kebhinekaan Masyarakat Indonesia
Unsur Kebhinekaan Sisi positif Sisi negatif
1. Etnik 1. Pengikat kelompok 1. Memicu timbulnya konflik
2. Budaya masyarakat untuk antar kelompok masyarakat
3. Agama dan bersatu 2. Distabilitas keamanan,
Kepercayaan 2. Sifat kebhinekaan 3. Distabilitas sosio-ekonomi
4. Bahasa memperkuat keinginan 4. Ketidak harmonisan sosial
5. Wilayah untuk bersatu dalam (social disharmony)
6. Politik mencapai cita-cita
7. Ekonomi dsb bersama
Mengenai kesamaan non fisik dapat diambil contoh misalnya pengalaman dijajah yang
secara psikologis mengalami penderitaan yang sama sebagai bangsa. Rasa senasib-
sependeritaan ini ternyata mampu menjadi penggerak untuk mewujudkan kesatuan dan
persatuan sebagai bangsa Indonesia. Bersamaan dengan rasa senasib-sependeritaan itu
timbulah kesadaran nasional dalam bentuk semangat nasionalisme. Menurut Ernest Renan
sebagaimana juga dikemukakan oleh Soekarno (1945) timbulnya bangsa itu disebabkan
karena oleh adanya keinginan untuk hidup bersama: ” le desir d’etre ensemble”. Menurut
Renan sesuatu yang menimbulkan jiwa atau asas kerohanian itu ialah adanya kejayaan masa
lampau dan keinginan untuk hidup bersama di waktu sekarang. Nilai-nilai sejarah,
nasionalisme, patriotisme, heroisme di masa lalu memiliki potensi mempersatukan bangsa di
masa sekarang dan Indonesia memiliki hal itu.
Faktor lain yang mempersatukan diantaranya yaitu nilai-nilai yang sama yang hidup di
seluruh masyarakat Indonesia. Salah satu contoh ialah gotong royong yaitu nilai-nilai sosial-
kemasyarakatan yang artinya bahwa hidup ini harus dihadapi dalam kebersamaan.
Kebersamaan dalam menanggung beban, bekerjasama mencapai tujuan, kebersamaan dalam
menghadapi masalah bersama. Gotong royong dapat ditemukan dalam masyarakat Indonesia
dengan istilah yang berbeda-beda sebagaimana dalam tabel di bawah ini.
Tabel.2.3
Nilai Gotong-Royong
No Suku Istilah/Nama
3 Dayak Handep
5 Bali Subak
Hanggoro dkk. (1990)
Secara teoritis ada dua sudut pendekatan dalam memandang masyarakat, pertama
yaitu yang menganggap bahwa masyarakat, pada dasarnya terintegrasi di atas dasar kata
sepakat akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu oleh para anggotanya yaitu suatu general
agreements yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan
di antara para anggota masyarakat. Pendekatan ini memandang masyarakat sebagai suatu
sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Oleh karena
sifatnya yang demikian, maka aliran pemikiran tersebut disebut sebagai integration approach
atau yang populer disebut sebagai structural-functional approach (pendekatan fungsional
struktural) atau jika dikaitkan dengan teori seperti apa, maka sering disebut integration
theories. (Nasikun,2007)
Dua teori patut untuk diperhatikan dalam memandang masyarakat karena memang
masing-masing ada benarnya walaupun masing-masing juga memiliki kelemahan. Tetapi
kelemahan yang satu ditutup dengan kelebihan yang lain. Disatu pihak masyarakat bergerak
ke arah kesatuan/terintegrasi karena terjadinya konsensus nilai dan tertib sosial yang bersifat
normatif, tetapi di lain pihak masyarakat juga ditandai oleh konflik yang sumbernya ada di
dalam masyarakat sendiri seperti adanya kontradiksi internal .
Masyarakat, bangsa dan negara Indonesia tumbuh kembangnya berada dalam ruang
dan waktu yang senantiasa terus mengalami dinamika, perubahan dan perkembangan. Sering
muncul istilah yang menunjukkan hal itu misalnya istilah perkembangan dan dinamika dari
masyarakat ”tradisional menuju masyarakat modern”. Contoh lagi istilah dari masyarakat
”lokal yang ditandai oleh label kedaerahan menuju masyarakat bangsa/ nasional” yang
ditandai dengan label kebangsaan dan nasionalisme serta masyarakat global yang mempunyai
ciri-ciri mendunia dan trans naional. Kemudian istilah yang hampir sama yaitu dari suku-
suku bangsa berkembang sebagai bangsa Indonesia. Satu hal lagi khususnya dalam
kehidupan ketatanegaraan yang menunjukkan perkembangan dan dinamika yaitu dari istilah
zaman orde lama ke orde baru dan reformasi.
Apabila Pancasila sebagai paradigma maka Pancasila tetap menjadi sumber acuan,
sumber nilai, pegangan untuk mencapai tujuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Secara praktis Pancasila yang berkedudukan sebagai paradigma tersebut adalah
sebagai paradigma dalam pembangunan, paradigma pengembangan IPTEK, paradigma
kehidupan politik, pembangunan di bidang ekonomi, pembangunan di bidang sosial dan
budaya, paradigma pengembangan kehidupan di bidang hankam, paradigma dalam
kehidupan beragama dan paradigma dalam era reformasi. Pancasila menjadi paradigma
karena di dalam Pancasila berisi nilai-nilai yang universal yang berakar pada hakikat manusia
sehingga berlakunya umum tidak hanya terbatas oleh ruang dan waktu. Pancasila juga sudah
menjadi komitmen bangsa yaitu perjanjian luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang
dicita-citakan yaitu bangsa yang merdeka berdaulat, bersatu adil dan makmur.
Penutup
Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika sepanjang masa
maka nilai Pancasila tidak boleh ditinggalkan karena di dalam Pancasila sendiri telah memuat
nilai-nilai yang dipersyaratkan dalam mewujudkan masyarakat Berbhineka Tunggal Ika itu.
Dengan nilai KeTuhanan Yang Maha Esa bangsa Indonesia mendapat landasan moral yang
kuat tentang pandangan bahwa setiap manusia diciptakan dengan seperangkat nilai:
kebebasan, kesamaan dan persaudaraan. Dengan nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia maka semua disadarkan bahwa keanekaragaman harus dihormati
sehingga manusia mampu mewujudkan toleransi. Dengan nilai Persatuan Indonesia maka
kesatuan mendapat pijakan yang kuat sehingga kesatuan bukan hanya bersifat sementara saja.
Peran negara dalam mewujudkan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika dapat melakukannya
dengan memberi jaminan tentang HAM dan mengembangkan demokrasi(kerakyatan yang
dipimpin hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan serta mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui penegakan hukum.
Daftar Pustaka: