Anda di halaman 1dari 24

BAB 5

MANUSIA, KERAGAMAN DAN


KESETARAAN
DISUSUN OLEH
BRYAN JACKY WILLSON SAHERTIAN
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah melaksanakan pembelajaran ini, mahasiswa diharapkan mampu:
• Menjelaskan hakikat keragaman dan kesetaraan dalam diri manusia.
• Menganalisis kemajemukan yang terdapat di masyarakat.
• Mengidemtifikasi kemajemukan dan kesetaraan dalam diri bangsa Indonesia.
• Memberi Contoh problema yang muncul dari adanya keragaman dan kesetaraan
serta solusinya.
MATERI PEMBELAJARAN
• Hakikat keragaman dan kesetaraan manusia.
• Kemajemukan dalam dinamika sosial budaya.
• Kemajemukan dan kesetaraan sebagai kekayaan sosial
budaya bangsa.
• Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusi dalam
kehidupan.
KATA KUNCI
Keragaman, kesetaraan, kesederajatan, kemajemukan
A. HAKIKAT KERAGAMAN DAN
KESETARAAN MANUSIA
• Makna Keragaman Manusia
Keragaman berasal dari kata ragam. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ragam berarti (1) sikap,
tingkah laku, cara; (2) macam, jenis; (3) musik, lagu, langgam; (4) warna, corak; (5) laras (tata bahasa). Merujuk pada
arti nomor dua di atas, ragam berarti jenis, macam. Keragaman menunjukkan adanya banyak macam, banyak
jenis.

Keragaman manusia bukan berarti manusia itu bermacam-macam atau berjenis-jenis seperti binatang dan
tumbuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan tetaplah berjenis satu. Keragaman manusia dimaksudkan bahwa
setiap manusia memiliki perbedaan. Perbedaan itu ada karena manusia ada Setiap kelompok persekutuan hidup
manusia juga beragam. Selainmakhluk individu, manusia juga makhluk sosial yang membentuk kelompok
persekutuan hidupomi, status sosial, jenis kelamin, daerah tempat tinggal, dan lain-lain. Keragaman manusia baik
dalam tingkat individu maupun di tingkat masyarakat merupakan realitas atau kenyataan yang mesti kita hadapi
dan alami. Keragaman individu maupun sosial merupakan inti dari kedudukan manusia, baik sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial. Kita sebagai individu akan berbeda dengan seseorang sebagai individu lainnya.
Demikian pula kita sebagai bagian dari suatu masyarakat memiliki perbedaan dengan masyarakat lainnya.
2. Makna Kesetaraan Manusia
Kesetaraan berasal dari kata setara atau sederajat. Jadi, kesetaraan juga dapat disebut
kesederajatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sederajat artinya sama
tingkatan (kedudukan, pangkat). Dengan demikian, kesetaraan atau kesederajatan
menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi
atau tidak lebih rendah antara satu sama lain.

Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan memiliki


tingkat atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan yang sama itu
bersumber dari pandangan bahwa semua manusia tanpa dibedakan diciptakan dengan
kedudukan yang sama, yaitu sebagaimakhluk mulia dan tinggi derajatnya dibandingkan
makhluk lain. Di hadapan Tuhan, semua manusia sama derajat, kedudukan, atau
tingkatannya. Yang membedakan nantinya adalah tingkat ketakwaan manusia tersebut
terhadap Tuhan. Persamaan kedudukan atau tingkatan manusia ini berimplikasi pada
adanya pengakuan akan kesetaraan atau kesederajatan manusia. Berkaitan dengan
dua konsep di atas, maka dalam kesejahteraan diperlukan adanya kesetaraan atau
kesederajatan. Artinya, meskipun individu maupun masyarakat beragam dan berbeda-
beda, tetapi mereka memiliki dan diakui akan kedudukan, hak-hak dan kewajiban yang
sama sebagai sesama baik dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Terlebih
lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jaminan akan kedudukan, hak, dan
kewajiban yang sama dari berbagai macam masyarakat di dalamnya sangat diperlukan.
B. KEMAJEMUKAN DALAM DINAMIKA
SOSIAL BUDAYA
Keragaman yang terdapat dalam kehidupan sosial manusia melahirkan masyarakat majemuk. Majemuk artinya
banyak ragam, beraneka ragam, berjenis-jonis. Konsep masyarakat majemuk (plural society) pertama kali
diperkenalkan oleh Furnivall tahun 1948 yang mengatakan bahwa ciri utama masyarakatnya adalah berkehidupan
secara berkelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi terpisah oleh kehidupan sosial dan tergabung dalam
suatu satuan politik.

Usman Pelly (1989) mengategorikan masyarakat majemuk di suatu kota berdasarkan dua hal, yaitu pembelahan
horizontal dan pembelahan vertikal
Secara horizontal, masyarakat majemuk, dikelompokkan berdasarkan:
1. Etnik dan ras atau asal usul keturunan.
2. Bahasa daerah.
3. Adat istiadat atau perilaku.
4. Agama.
5. Pakaian, makanan, dan budaya material lainnya.
Secara vertikal, masyarakat majemuk dikelompokkan berdasarkan:
1. Penghasilan atau ekonomi.
2. Pendidikan.
3. Pemukiman.
4. Pekerjaan.
5. Kedudukan sosial politik.

Keragaman atau kemajemukan masyarakat terjadi karena unsur-unsur, seperti ras, etnik, agama, pekerjaaan
(profesi), penghasilan, pendidikan, dan sebagainya. Pada bagian ini akan diulas tentang kemajemukan masyarakat
Indonesia karena unsur-unsur ras dan etnik.

• RAS
Kata ras berasal dari bahasa Prancis dan Itallia, yaitu razza. Pertama kali istilah ras diperkenalkan Franqois Bernier,
antropolog Prancis, untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau
karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarki manusia berdasarkan
karakteristik fisik atau biologis.

Berdasarkan karakteristik biologis, pada umumnya manusia dikelompokkan dalam berbagai ras. Manusia
dibedakan menurut bentuk wajah, rambut, tinggi badan, warna kulit, mata, hidung, dan karakteristik fisik lainnya.
Jadi, ras adalah perbedaan manusia menurut atau berdasarkan ciri fisik biologis. Ciri utama pembeda antarras
antara lain ciri alamiah rambut pada badan; warna alami rambut, kulit, dan iris
mata; bentuk lipatan penutup mata; bentuk hidung serta bibir; bentuk kepala dan muka; ukuran tinggi badan.
Misalnya, ras Melayu secara umum bercirikan kulit sawo matang, rambut ikal, bola mata hitam, dan berperawakan
badan sedang. Ras negro bercirikan kulit hitam dan berambut keriting.

Ciri-ciri yang menjadi identitas dari ras bersifat objektif atau somatik. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan
dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu kelompok tertentu yang secara
genetik memiliki kesamaan fisik, seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan
seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar.

Di dunia ini dihuni berbagai ras. Pada abad ke-19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok,
yaitu Kaukasoid, Negroid, dan Mongoloid. Sedangkan Koentjaraningrat (1990) membagi ras di dunia ini dalam 10
kelompok, yaitu Kaukasoid, Mongoloid, Negroid, Australoid, Polynesia, Melanesia, Micronesia, Ainu, Dravida, dan
Bushmen. Orang- orang yang tersebar di wilayah Indonesia termasuk dalam rumpun berbagai ras. Orang-orang
Indonesia bagian barat termasuk dalam ras Mongoloid Melayu, sedangkan orang-orang yang tinggal di Papua
termasuk ras Melanesia.

2. Etnik atau Suku Bangsa

Koentjaraningrat (1990) menyatakan suku bangsa sebagai kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang
memiliki sistem interaksi, yang ada karena kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya
serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri.
F. Baart (1988) menyatakan etnik adalah suatu kelompok masyarakat yang sebagian besar secara biologis
mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai budaya sama dan sadar akan kebersamaan
dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan menentukan
sendiri ciri kelompok yang diterima kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Bila merujuk pada pendapat F. Baart di atas, identitas kesukubangsaan antara lain dapat dilihat dari
unsur-unsur suku bangsa bawaan (etnictraits). Ciri-ciri tersebut meliputi natalitas (kelahiran) atau
hubungan darah, kesamaan bahasa, kesamaan adat istiadat, kesamaan kepercayaan (religi), kesamaan
mitologi, dan kesamaan totemisme.

Secara etnik, bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dengan jumlah etnik yang besar. Berapa
persis jumlah etnik di Indonesia sukar untuk ditentukan. Sebuah buku pintar Rangkuman Pengetahuan
Sosial Lengkap menuliskan jumlah etnik atau suku bangsa di Indonesia ada 400 buah (Sugeng HR, 2006).
Klasifikasi dari suku bangsa di Indonesia biasanya didasarkan sistem lingkaran hukum adat. Van
Vollenhoven mengemukakan adanya 19 lingkaran hukum adat di Indonesia (Koentjaraningrat, 1990).
Keanekaragaman kelompok etnik ini dengan sendirinya memunculkan keanekaragaman kebudayaan di
Indonesia. Jadi, berdasarkan klasifikasi etnik secara nasional, bangsa Indonesia adalah heterogen.
C. KEMAJEMUKAN DAN KESETARAAN SEBAGAI
KEKAYAAN SOSIAL BUDAYA BANGSA
• Kemajemukan sebagai Kekayaan Bangsa Indonesia
Sudah diakui secara umum bahwa bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Kemajemukan
bangsa terutama karena adanya kemajemukan etnik, disebut juga suku bangsa atau suko. Di samping itu,
kemajemukan dalam hal ras, agama, golongan, tingkat ekonomi, dan gender. Beragamnya etnik di Indonesia
menyebabkan banyak ragam budaya, tradisi, kepercayaan, dan pranata kebudayaan lainnya karena setiap etnis
pada dasarnya menghasilkan kebudayaan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultur artinya
memiliki banyak budaya.

Keragaman etnik di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai negara yang paling heterogen di dunia, selain India.
Jumlah etnik atau suku bangsa di Indonesia menyebar di banyak wilayah dengan memiliki ciri dan karakter
tersendiri. Menurut para ahli, jumlah etnik atau suku bangsa di Indonesia mencapai sekitar 400 suku. Hampir
setiap pulau-pulau besar di Indonesia memiliki etnik yang lebih dari satu. Bahkan, di Papua ditemukan kurang
lebih 30 suku (Sugeng H.R., 2006). Suku-suku di Papua tersebut antara lain suku Biak, Hattam, Mapia, Dani, Asmat,
Mamberamo, dan suku Sentani. Beberapa suku merupakan suku mayoritas, seperti suku Jawa di pulau Jawa dan
terdapat pula suku minoritas seperti Badui di Jawa Barat dan suku Kubu di Jambi.
Etnik atau suku merupakan identitas sosial budaya seseorang. Artinya, pengenalan seseorang dapat dikenal dari
bahasa, tradisi, budaya, kepercayaan, dan pranata yang dijalaninya yang bersumber dari etnik dari mana ia
berasal. Dengan demikian, identitas sosial budaya orang atau sekelompok orang dapat diketahui, misalnya dari
bahasa yang digunakan.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural. Plural artinya jamak, banyak ragam, atau majemuk. K
emajemukan masyarakat Indonesia adalah suatu kenyataan atau fakta yang justru kita terima sebagai kekayaan
sosial budaya bangsa.

Kesadaran akan kernajemukan bangsa tersebut sesungguhnya sudah tercermin dengan baik melalui semboyan
bangsa kita, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Bhineka artinya aneka, berbeda-beda, banyak ragam, atau beragam.
Bhineka menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, heterogen, baik dari sisi suku, ras,
agama, dan budayanya. Sedangkan Tunggal Ika menunjukkan semangat/cita-cita akan perlunya persatuan dari
keanekaragaman tersebut. Jadi, meskipun berbeda-beda, tetapi kita sebagai bangsa Indonesia tetap bersatu atau
mementingkan persatuan. Bhineka adalah kenyataan (das sein) sedang Ika adalah keinginan (das soilen).

Kemajemukan adalah karakteristik sosial budaya Indonesia. Selain kemajemukan, karakteristik Indonesia yang lain
adalah sebagai berikut (Sutarno, 2007).
• Jumlah penduduk yang besar.
Indonesia yang jumlah penduduknya sekitar 220 juta jiwa dapat menjadi potensi yang besar dalam pengadaan
tenaga yang besar.
• Wilayah yang luas.
Indonesia memiliki wilayah seluas 1.922.570 km² yang menduduki urutan 15 terbesar dunia.
• Posisi silang.
Indonesia terletak di antara dua Samudra (Samudra Hindia dan Samudra Pasifik) dan dua benua (Asia dan
Australia). Karena posisi silang ini, maka Indonesia menjadi tempat pertemuan berbagai budaya dunia. Sehingga
hal ini memunculkan varian budaya dari berbagai negara.
• Kekayaan alam dan daerah tropis.
Karena pada daerah tropis yang hanya mengenal dua musim (penghujan dan kemarau) maka mungkin saja
membuat masyarakat Indonesia memiliki budaya yang santai dan kurang berwawasan ke depan. Ada pepatah
budaya Jawa yang mengatakan ono dino ono upo (ada hari ada nasi artinya tiada hari yang membuat kita tidak
bisa makan). Indonesia memiliki kekayaan yang melimpah, namun kekayaan ini masih merupakan kekayaan yang
potensial, belum bersifat efektif.
• Jumlah pulau yang banyak.
Amerika Serikat memang memiliki wilayah yang luas, namun lebih berwujud benua (kontinen), sedangkan pulau di
Indonesia itu berjumlah lebih dari 17.000 pulau.
• Persebaran pulau.
Persebaran pulau yang dikelilingi lautan menjadikan sebagai wilayah kepulauan. Kendala geografis ini membuat
masyarakat di berbagai tempat di Indonesia ini kurang bisa mengatasi ketertinggalan dari daerah lain yang lebih
maju. Oleh karena itu, dibutuhkan wawasan atau cara pandang tersendiri bangsa ini terhadap wilayah Indonesia
yang dikenal dengan nama Wawasan Nusantara.
2. Kesetaraan Sebagai Warga Bangsa Indonesia
Pengakuan akan prinsip kesetaraan dan kesederajatan itu secara yuridis diakui dan dijamin oleh negara melalui
UUD 1945. Warga negara tanpa dilihat perbedaan ras, suku, agama, dan budayanya diperlakukan sama dan
memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan negara Indonesia mengakui adanya prinsip
persamaan kedudukan warga negara. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa
"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Dalam negara demokrasi diakui dan dijamin pelaksanaannya atas persamaan kedudukan warga negara baik
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di negara demokrasi, kedudukan dan perlakuan
yang sama dari warga negara merupakan ciri utama demokrasi yang menganut prinsip persamaan dan
kebebasan.

Persamaan di depan hukum atau equality before of law mengharuskan setiap warga negara diperlakukan sama
dan adil, tanpa pandang bulu oleh negara, terutama aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa, dan polisi,
Prinsip persamaan warga negara di depan hukum atau equality before of law adalah jaminan atas harkat dan
martabatnya sebagai manusia. Hukum bertujuan untuk menegakkan keadilan dan ketertiban, karena itu hukum
tidak membeda-bedakan orang dalam mendapatkan hak dan kewajibannya di bidang hukum.

Persamaan di bidang ekonomi adalah setiap warga negara mendapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan
kesejahteraan ekonomi.
Persamaan di bidang sosial budaya sangat luas, meliputi bidang agama, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, seni,
dan iptek. Persamaan warga negara di bidang sosial budaya berarti warga negara mempunyai kesempatan, hak,
serta pelayanan yang sama dari pemerintah dalam bidang-bidang tersebut. Persamaan sosial berarti pula
perlakuan yang sama dari negara tanpa membeda-bedakan kelas sosial, status sosial, ras, suku, dan agama dalam
mendapatkan pelayanan negara. Dengan demikian, secara yuridis maupun politik, segala warga negara memiliki
persamaan kedudukan, baik dalam bidang politik, hukum. Setelah kesempatan diberikan sama, nantinya
tergantung pada masing-masing kemampuan warga negara itu sendiri. Misalnya, semua warga negara yang
memenuhi persyaratan boleh mengajukan lamaran sebagai pegawai negeri sipil. Meskipun pada akhirnya tidak
semua lamaran bisa diterima karena tergantung dari kemampuan warga negara untuk mengikuti proses seleksi
yang diadakan. Yang terpenting adalah semua warga negara telah diberi kesempatan yang sama. Semua warga
negara memiliki kesempatan yang sama dengan tidak boleh dibedakan berdasarkan asal usul primordialnya.
Adalah sesuatu yang ganjil dan menyimpang dari prinsip kesetaraan jika ada suatu perusahaan menolak
menerima karyawan hanya karena si calon calon tersebut berasal dari suku terasing.

D. PROBLEMATIKA KERAGAMAN DAN KESETARAAN


SERTA SOLUSINYA DALAM KEHIDUPAN
1. Problema Keragamaan Serta Solusi nya Dalam Kehidupan
Keragaman masyarakat adalah suatu kenyataan sekaligus kekayaan dari bangsa. Keragaman masyarakat
Indonesia merupakan ciri khas yang membanggakan kita. Namun demikian, keragaman tidak serta-merta
menciptakan keunikan, keindahan, kebanggaan, dan hal-hal yang baik lainnya. Keragaman masyarakat memiliki
ciri khas yang suatu saat bisa berpotensi negatif bagi kehidupan bangsa itu.

Van de Berghe sebagaimana dikutip oleh Elly M. Setiadi (2006) menjelaskan bahwa masyarakat majemuk atau
masyarakat yang beragam selalu memiliki sifat-sifat dasar sebagai berikut.

• Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan yang berbeda.
• Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer.
• Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota
• masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar. d. Secara relatif, sering kali terjadi konflik di antara
kelompok yang satu dengan yang lainnya.
• Secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
• Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain.

Menyimak ciri-ciri di atas, maka keragaman masyarakat berpotensi menimbulkan segmentasi kelompok, struktur
yang terbagi-bagi, konteks yang lemah, sering terjadi konflik, integrasi yang dipaksakan, dan adanya dominasi
kelompok.
Efek-efek negatif demikian di tingkat permukaan muncul dalam bentuk gesekan-gesekan, pertentangan, dan
konflik terbuka antarkelompok masyarakat. Pertikaian antarkelompok masyarakat Indonesia sering sekali terjadi,
bahkan di era refon nasi sekarang ini. Konflik itu bisa terjadi antarkelompok agama, suku, daerah, bahkan
antargolongan politik. Beberapa contoh, misalnya konflik di Ambon tahun 1999, pertikaian di Sambas tahun 2000,
dan konflik Poso tahun 2002.

Konflik atau pertentangan sebenarnya terdiri atas dua fase, yaitu fase disharmoni dan fase disintegrasi.
Disharmoni menunjuk pada adanya perbedaan pandangan tentang tujuan, nilai, norma, dan tindakan
antarkelompok. Disintegrasi merupakan fase di mana sudah tidak dapat lagi disatukannya pandangan, nilai,
norma, dan tindakan kelompok yang menyebabkan pertentangan antarkelompok.

Salah satu hal penting dalam meningkatkan pemahaman antarbudaya dan masyarakat ini adalah sedapat
mungkin dihilangkannya penyakit- penyakit budaya. Penyakit-penyakit budaya inilah yang ditengarai bisa memicu
konflik antarkelompok masyarakat di Indonesia. Penyakit budaya tersebut adalah etnosentrisme stereotip,
prasangka, rasisme, diskriminasi dan scape goating (Sutarno, 2007).

Etnosentrisme atau sikap etnosentris diartikan sebagai suatu kecenderungan yang melihat nilai atau norma
kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu yang mutlak serta menggunakannya sebagai tolok ukur kebudayaan lain.
Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan
standar budayanya sendiri.
Stereotip adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif, hanya
karena dia berasal dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa sifat positif maupun negatif. Allan & Johnson
(1986) menegaskan bahwa stereotip adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu
yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu.

Prasangka pada mulanya merupakan pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang
tidak teruji sebelumnya. Prasangka mengarah pada pandangan yang emosional dan bersifat negatif terhadap orang
atau sekelompok orang. Jadi, prasangka merupakan salah satu hambatan atau hambatan dalam berkomunikasi
karena orang yang berprasangka sudah berpura-pura curiga dan menentang pihak lain.

Diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan
terhadap kelompok subordinasinya. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan.
Selama ada prasangka, di sana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka
diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka
diskriminasi mengarah pada tindakan.

Selain menghilangkan penyakit-penyakit budaya di atas, terdapat bentuk solusi lain yang dapat dilakukan. Elly M.
Setiadi dkk (2006) mengemukakan ada hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk memperkecil masalah yang
diakibatkan oleh pengaruh negatif dari keragaman, yaitu
1. Semangat religius.
2. Semangat nasionalisme.
3. Semangat pluralisme.
4. Semangat humanisme.
5. Dialog antarumat beragama.
6. Membangun suatu pola komunikasi untuk interaksi maupun konfigurasi hubungan antaragama, media massa,
dan harmonisasi dunia.

Keterbukaan, sikap kedewasaan, pemikiran global yang bersifat inklusif, serta kesadaran kebersamaan dalam
mengarungi sejarah, merupakan modal yang sangat menentukan bagi terwujudnya sebuah bangsa Indonesia yang
menyatu dalam keragaman, dan beragam dalam kesatuan.

2. Problem Kesetaraan serta Solusinya dalam Kehidupan

Kesetaraan atau kesederajatan bermakna adanya persamaan kedudukan manusia. Kesederajatan adalah suatu
sikap untuk mengakui adanya persamaan derajat, hak, dan kewajiban sebagai sesama manusia. Oleh karena itu,
prinsip kesetaraan atau kesederajatan mensyaratkan jaminan akan persamaan derajat, hak, dan kewajiban.
Indikator kesederajatan adalah sebagai berikut.

a.Adanya persamaan derajat dilihat dari agama, suku bangsa, ms, gender, dan golongan.

b.Adanya persamaan hak dari segi pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan yang layak.

c.Adanya persamaan kewajiban sebagai hamba Tuhan, individu, dan anggota masyarakat.
Problema yang terjadi dalam kehidupan, umumnya adalah munculnya sikap dan perilaku untuk tidak mengakui
adanya persamaan derajat, hak, dan kewajiban antarmanusia atau antarwarga. Perilaku yang membeda- bedakan
orang disebut diskriminasi.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, diskriminasi sudah merupakan tindakan bukan sekadar sikap. Diskriminasi
merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok
subordinasinya. Diskriminasi adalah setiap tindakan yang melakukan pembedaan terhadap seseorang atau
sekelompok orang berdasarkan ras, agama, suku, kelompok, golongan, status sosial, kelas sosial, jenis kelamin,
kondisi fisik tubuh, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik, batas negara, serta kebangsaan seseorang
(Elly M. Setiadi dkk, 2006). Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa diskriminasi
adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok. golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, yang berakibat pada pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Diskriminasi bertolak belakang dengan prinsip kesetaraan, bahkan menjadi problema utama terwujudnya
kesetaraan dan kesederajatan umat manusia. Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai
penderitaan, kemiskinan, dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas
dasar etnik, ras, warna kulit. budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosial lainnya. Perilaku
tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal
(dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara, atau sebaliknya) maupun horizontal (antarwarga negara
sendiri).
Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat
vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara, atau sebaliknya) maupun horizontal (antarwarga
negara sendiri).

Program Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 memasukkan program penghapusan
diskriminasi dalam berbagai bentuk sebagai program pembangunan bangsa. Berkaitan dengan ini, arah kebijakan
yang diambil adalah sebagai berikut.

• Meningkatkan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi termasuk ketidakadilan gender bahwa setiap
warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum tanpa terkecuali.
• Menerapkan hukum dengan adil melalui perbaikan sistem hukum yang profesional, bersih, dan berwibawa.

Penghapusan diskriminasi dilakukan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang antidiskriminitif


serta pengimplementasiannya di lapangan. Contohnya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Ratifikasi atas Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(International Com vention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW). Contoh lain
adalah dengan diberlakukannya Undang- Undang Nomor 29 Tahun 1999 yang merupakan ratifikasi atas Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Pada tataran operasional, upaya mewujudkan persamaan di depan hukum dan penghapusan diskriminasi rasial
antara lain ditandai dengan penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) melalui
Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 dan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999. Di samping itu, ditetapkannya
Imlek sebagai hari libur nasional menunjukkan perkembangan upaya penghapusan diskriminasi rasial telah
berada pada arah yang tepat.

Rumah tangga juga merupakan wilayah potensial terjadinya perilaku diskriminatif. Untuk mencegah terjadinya
perilaku diskriminatif dalam rumah tangga, antara lain telah ditetapkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT). Kedua undang-undang tersebut telah mengategorikan kekerasan terhadap anak dan
kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu tindak pidana, karena itu layak untuk diberikan sanksi pidana.
Kriminalisasi perilaku diskriminatif di dalam rumah tangga merupakan langkah maju untuk menghapuskan praktik
diskriminasi dalam masyarakat.
- SENDIRI TANPA KEKASIH
CUKUP SEKIAN DAN
TERIMAKASIH -

Anda mungkin juga menyukai