Anda di halaman 1dari 14

MATERI:

MASYARAKAT INDONESIA
(Bhineka Tunggal Ika)

Instruksi:
Baca baik-baik materi di bawah ini dan pahami isinya

Kompetensi: Mahasiswa memahami realitas kemajemukan masyarakat Indonesia dan


konsekuensi logisnya dalam pengelolaan berbangsa dan bernegara, memiliki sikap
positif tentang perbedaan, berpikir kritis untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial
yang sering dihadapi masyarakat Indonesia.

Indikator Pencapaian Kompetensi:


Setelah mempelajari materi bagian ini mahasiswa diharapkan dapat:
1.Menjelaskan pengertian masyarakat dan masyarakat majemuk
2.Menjelaskan karakteristik kemajemukan masyarakat Indonesia
3.Menjelaskan unsur kesamaan, aspek positif dan negatif dalam masyarakat Indonesia
4.Menjelaskan dinamika penghayatan Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan bangsa
Indonesia
5.Membandingkan penghayatan Bhineka Tunggal Ika dari masa ke masa
6.Memecahkan persoalan sosial yang timbul di dalam masyarakat yang majemuk
7.Menilai secara kritis perkembangan civil society di Indonesia
PETA KONSEP

Pendahuluan

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sangat heterogin (mungkin paling


heterogin di dunia). Heterogenitas masyarakat Indonesia mengalami proses yang panjang dan
berkembang terus sehingga semakin kompleks. Kekompleksitasan masyarakat Indonesia
diwarnai oleh berbagai permasalahan baik internal maupun eksternal sebagai akibat dari
perkembangan dunia yang semakin mengglobal. Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan
bangsa Indonesia yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Semboyan ini mengingatkan
dan menjadi bagian dari proses penyadaran bahwa Indonesia adalah negara dan bangsa yang
secara wilayah maupun kondisi manusianya sangat beragam. Keberanekaragaman disadari
memiliki potensi baik yang positif maupun yang negatif. Salah satu kekhawatiran yang ikut
melatarbelakangi lahirnya semboyan ini ialah kebhinekaan memiliki potensi yang mengarah
pada perpecahan dan konflik. Maka dari itu kebhinekaan tidak boleh dilepaskan dengan ide
ketunggalikaan yang artinya tetap satu sebagai bangsa dan negara.

Dalam kaitannya dengan pembangunan karakter, Bhinneka Tunggal Ika merupakan salah
satu hal yang penting untuk diperhitungkan. Dengan hal itu diharapkan semua pihak semakin
disadarkan bahwa kehidupan negara dan bangsa Indonesia memang perlu didukung dengan
sikap kepribadian yang menghargai pluralitas, kesediaan untuk melakukan toleransi, sikap
demokratis, menghormati perbedaan tapi juga menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan
bangsa, dan itulah sikap yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila.

A. Masyarakat dan Masyarakat Majemuk

Ada berbagai istilah tentang masyarakat seperti masyarakat informasi, masyarakat


pengetahuan, masyarakat terbayangkan, masyarakat pedesaan, masyarakat kampus dsb. Apa
sebetulnya masyarakat itu? Kata masyarakat (dalam bahasa Inggris society) yang berasal dari
kata latin socius (kawan) yang secara umum didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang
saling bergaul atau saling berinteraksi (Soemarto:2004). Menurut Kalidjernih (2010), masyarakat
ialah sekelompok orang yang memiliki kultur dan teritori (wilayah) yang sama. Dalam
masyarakat terjadi interaksi dan dalam proses interaksi menggunakan pola-pola tertentu dan
nilai-nilai yang menjadi landasannya. Linton ( 1981 ) mengatakan bahwa masyarakat adalah
kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang cukup lama, dan mereka
saling mengorganisir diri serta menganggap bahwa mereka merupakan kesatuan sosial dengan
batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.

Dari berbagai definisi yang ada tentang masyarakat dapat dikemukakan beberapa unsur
yang sama yaitu bahwa masyarakat (1) merupakan himpunan dari sejumlah manusia yang hidup
bersama (2) memiliki sejumlah norma dan nilai yang hidup dan menjadi landasan berperilaku
dalam masyarakat. Warga masyarakat diharapkan menyesuaikan tingkah lakunya dengan norma
dan nilai yang ada. Baik norma dan nilai, keduanya berfungsi mengatur kehidupan bersama agar
masyarakat itu berjalan lancar (3) adanya sense of belonging, yaitu perasaan hidup bersama,
merasa sepergaulan, merasa selingkungan sosial, dan sadar bahwa mereka merupakan kesatuan
sosial (4) setiap masyarakat memiliki kebudayaan dengan masyarakat itu sendiri sebagai wadah
kebudayaan yang didalamnya terdapat unsur pemeliharaan, pengembangan, pewarisan pada
generasi berikutnya.

Selanjutnya apa yang dimaksud dengan masyarakat majemuk? Istilah ini diperkenalkan
oleh Furnivall (1967) yang awalnya untuk menggambarkan kenyataan masyarakat pada jaman
kolonial Belanda yang terdiri dari bermacam-macam ras dan etnik. Definisi masyarakat
majemuk menurutnya adalah masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas atau yang
secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda
satu sama lain, yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain di dalam
kesatuan politik. Di dalam masyarakat majemuk terdapat perbedaan-perbedaan suku bangsa,
bahasa, ras, kasta, agama, tradisi budaya dan adat-istiadat. Smith (1998) dalam Sulasmono
(2000) mengemukakan bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang masing-masing
komunitas atau kelompok yang dimaksud memiliki struktur kelembagaan yang berbeda satu
sama lain. Sedangkan Rabuhska dan Shepsle (1972) dalam Sulasmono dan Suroso (2000)
mengatakan bahwa masyarakat masjemuk adalah masyarakat yang memiliki keragaman kultural
namun terorganisasi (dipersatukan) secara politik, yang mengatasi satuan-satuan etnik yang ada.

Geertz (1963) mengemukakan pandangannya dengan latar belakang masyarakat


Indonesia bahwa masyarakat majemuk terbagi atas sub-subsistem yang berdiri sendiri dan setiap
subsistem terikat oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial. Selanjutnya Pierce L. Van den
Berghe mengemukakan karakteristik –karakteristik yang dimiliki masyarakat majemuk yaitu: (1)
terjadinya segmentasi (pembelahan) ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali
memiliki sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain. (2) memiliki struktur sosial yang terbagi-
bagi dalam lembaga-lembaga yang bersifat komplementer (bukan bersifat pelengkap). (3) kurang
mengembangkan konsensus di antara anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat
dasar. (4) secara relatif sering mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan
yang lain. (5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan di
bidang ekonomi dan (6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok
yang lain.

B. Kemajemukan (Kebhinekaan) Masyarakat Indonesia


Di masa penjajahan Belanda masyarakat Indonesia menurut Furrnival dikategorikan
menjadi tiga komunitas yaitu masyarakat Barat, masyarakat Timur Asing, masyarakat pribumi
yang masing-masing disertai dengan tertib sosialnya sendir-sendiri. Kebhinekaan masyarakat
Indonesia mencakup hal yang fisik maupun hal yang non fisik. Oleh Kusumohamidjojo
(2000:16) realitas kebhinekaan Indonesia dilukiskan dalam dua dimensi yaitu geografis dan
etnogrfis. Geertz (1996) dalam Hardiman (2002:4) mengakui bahwa tingkat kemajemukan
masyarakat Indonesia sangat tinggi dan tingkat pluralitas masyarakatnya sangat kompleks.
Menurutnya sulit melukiskan anatomi Indonesia secara tepat karena bukan saja Indonesia itu
multi etnis tetapi juga menjadi medan pengaruh dari berbagai bangsa dengan peradabannya yang
tinggi seperti India, Cina, Arab, Barat, (Hinduisme, Budhisme, Konfucianisme, Islam, Kristen)
dsb.

Ada 17.000-an pulau besar dan kecil dan pulau-pulau itu dibatasi dan dihubungkan oleh
selat dan laut dengan luas wilayah yang tidak sama, dan dengan potensi alam yang juga tidak
sama. Bentang alam mencakup wilayah darat, laut dan udara dengan pegunungan sebagai bagian
di darat yang tak dapat dielakkan keberadaannya dengan luas 1.922.570 km persegi
(Sutarno,2007). Wilayah yang seperti itu juga mengandung potensi kekayaan alam yang
melimpah baik itu yang ada di laut, darat maupun udara. Namun demikian mengingat kondisi
wilayah yang tidak sama, maka juga menimbulkan potensi kekayaan alam yang berbeda. Dilihat
dari posisinya, Indonesia terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera
(Samudera Hindia dan Samudera Pasifik). Letak yang demikian itu memungkinkan pengaruh
asing terhadap masyarakat Indonesia mudah terjadi..

Indonesia terdiri dari berbagai ras dengan populasi lebih dari 203.456.000 juta jiwa
(Sutarno,2007:34) dengan 300 suku (Yakin, 2007:4). Ras menurut Robertson (1977) adalah
merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri warna kulit dan fisik tubuh tertentu.
Perbedaan ras tersebut juga diwarnai dan dipengaruhi oleh latarbelakang wilayah serta ditandai
sistim sosial budaya yang berbeda-beda pula. Di bidang budaya memperlihatkan beragamnya
nilai, ekspresi dan bentuk-bentuk budaya di Indonesia. Setiap suku di Indonesia memperlihatkan
orientasi nilai tentang hidup, tentang kerja, tentang waktu dan tentang alam yang terlihat melalui
ekspresi budayanya masing-masing. Ada orientasi nilai yang sama tetapi ada orientasi nilai yang
berbeda hal tersebut tergantung dan dipengaruhi oleh kemampuan masing-masing masyarakat di
dalam memaknai hidup, kerja, waktu dan alam. Tylor (1832-1917) memandang budaya sebagai
kompleksitas hal yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat- istiadat dan
kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Kebhinekaan Indonesia juga diwarnai oleh adanya lapisan-lapisan kebudayaan yang


secara garis besarnya dapat dikemukakan menjadi empat lapisan yaitu pertama, pra hindu yang
ditandai oleh kepercayaan asli dalam bentuk animisme dan dinamisme. Kedua zaman hindu yaitu
ketika hindu berkembang pesat ditopang oleh munculnya kerajaan-kerajaan nusantara. Ketiga
adalah zaman islam yaitu ketika islam berkembang dan juga dalam bentuk kerajaan-kerajaan
Islam. Keempat adalah pengaruh Barat yaitu melalui penjajahan Belanda yang lama dan
memerintah hindia Belanda selama kurang lebih 350 tahun.

Tabel. 2.1
Lapisan-Lapisan Kebudayaan Indonesia

No Lapisan Budaya Keterangan

1 Pra Hindu Budaya sebelum ada pengaruh hindu (animisme, dinamisme)

2 Budaya yang dibawa oleh agama hindu (pengaruh India di


Hindu
nusantara) dengan kerajaan hindunya yang dominan

3 Budaya yang dibawa dari pengaruh Islam yang masuk di


Islam
nusantara dan diperkuat oleh kerajaan Islam

4 Budaya yang dibawa oleh Barat (pengaruh Barat di nusantara)


Barat
ditandai oleh berbagai macam kebudayaan Barat.

Keanekaragaman kadang menimbulkan kekhawatiran terjadinya konflik, dan


kekhawatiran itu bukan tanpa karena dalam kehidupan di masyarakat ditandai oleh integrasi
yaitu proses menyatunya sekalian warga, namun juga terjadi konflik. Semua masyarakat
majemuk menurut Sulasmono dan Suroso (2000) mempunyai tiga kecenderungan yaitu (1)
berkembangnya konflik di dalam hubungan –hubungan antar kelompok (2) pelaku konflik
melihat konflik sebagai all-out war (3) berkembangnya proses inregrasi sosial melalui suatu
dominasi suatu kelompok atas kelompok lain. Secara lebih analitis Sulasmono dkk (2002)
mengemukakan bahwa kecenderungan pertama dan kedua terutama akan berkembang apabila
perbedaan-perbedaan sosial berdasarkan parameter etnik jatuh berhimpitan (coincided) dengan
parameter lain (misalnya, agama, kasta, kelas sosial), sehingga sentimen-sentimen yang
bersumber pada perbedaan-perbedaan sosial berdasarkan parameter struktur sosial yang satu
berkembang saling mengukuhkan dengan sentimen-sentimen yang bersumber pada perbedaan
sosial berdasarkan parameter yang lain. Dari sisi ini masyarakat majemuk selalu akan
dihadapkan pada persoalan antara mengelola kesatuan dan menghormati dan menghargai
kebhinekaan.

Menurut Darmaputera (1987) kenyataan objektif Indonesia menunjukkan


kebhinekaannya yang lebih mencolok daripada ketunggalannya. Kemajemukan Indonesia dapat
dijelaskan secara geografis, etnis, rasial, komposisi kultural, adaptasi ekonomi, struktur sosial,
serta sistim politik yang ada. Kemajemukan itu menjadi bagian dari kenyataan Indonesia sejak
awal sejarahnya. Persentuhan dengan dunia luar juga telah menambah rumitnya pluralitas
struktural, yang dengan tepatnya dirumuskan sebagai struktur yang ”bercampur-baur tidak
terpadu”. Ditinjau dari eko sistemnya, dikenal polarisasi antara pulau-pulau ”luar” dan pulau-
pulau ”dalam”. Perjumpaan dengan kebudayaan India menambahkan polarisasi yaitu antara
”Negara” dan ”Desa”. Kedatangan Islam menciptakan polarisasi antara ”masyarakat pantai yang
komersial” dan ”masyarakat pedalaman yang agraris” sedang perkenalan dengan peradaban
Barat, menambah rumit-nya kemajemukan struktural yang sudah ada dengan polarisasi antara
sistim ”modern” dan sistim ”tradisional”. Sejarah Indonesia adalah sejarah ketegangan dan
konflik antara kutub-kutub tersebut (Darmaputera,1987:41).

Kondisi yang beragam semacam ini memberi ciri masyarakat Indonesia yang oleh
beberapa sarjana seperti Boeke (1953) , Mintz (1965) sebagaimana dikemukakan Darmaputra
(1987:14) disebut sebagai ”dualistis”, ”paradoksal”, ”antagonistis”. Kondisi masyarakat seperti
ini tentu menuntut pemahaman dan membutuhkan pengelolaan yang sesuai dengan cita-cita
nasional yaitu Indonesia yang berdaulat, bersatu, adil dan makmur dan tujuan nasional
melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan kesejahteraan umum
dan ikut serta dalam ketertiban dunia.

Sejak lama, seluruh bangsa Indonesia selalu diingatkan agar selalu hidup berdampingan
secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa, agama, ras, dan antar golongan.
Untuk itu perlu adanya cara pandang yang tepat sebagai strategi untuk kelangsungan hidup
bangsa karena tanpa strategi, maka kelangsungan hidup sebagai bangsa selalu akan diganggu
oleh potensi konflik yang bersumber dari cara pandang yang mementingkan diri sendiri. Melihat
realitas yang berbeda-beda dan hidup dengan perbedaan itu maka dalam kehidupan sebagai
bangsa perlu disertai dengan semangat hidup bersama sebagai bangsa yang satu yang disertai
rasa cinta bangsa dan tanah air.

Tabel.2.2
Sisi Positif dan Negatif Kebhinekaan Masyarakat Indonesia
Unsur Kebhinekaan Sisi positif Sisi negatif
1. Etnik 1. Pengikat kelompok 1. Memicu timbulnya konflik
2. Budaya masyarakat untuk antar kelompok masyarakat
3. Agama dan bersatu 2. Distabilitas keamanan,
Kepercayaan 2. Sifat kebhinekaan 3. Distabilitas sosio-ekonomi
4. Bahasa memperkuat keinginan 4. Ketidak harmonisan sosial
5. Wilayah untuk bersatu dalam (social disharmony)
6. Politik mencapai cita-cita
7. Ekonomi dsb bersama

C. Kesamaan Dalam Masyarakat Indonesia (Ketunggalikaan)

Disamping kebhinekaan, Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang memiliki


persamaan-persamaan sebagai unsur penting dalam rangka mempertahankan kelangsungan
hidup sebagai bangsa. Kesamaan fisik merupakan salah satu yang memperkuat kondisi
kemajemukan yang dalam hal ini dapat diambil contoh misalnya kesatuan dan persatuan
wilayah (tanah air) dimana suatu bangsa hidup dan menjadikannya sebagai ruang hidupnya.
Tanah air menjadi unsur pemersatu karena suatu bangsa memiliki wilayah dan ruang hidup
yang terbatas yang dapat dibedakan dengan bangsa lain. Kesatuan inilah yang sangat
diperlukan agar penghayatan hidup sebagai bangsa yang majemuk mendapatkan
penguatannya sehingga geopolitik menjadi penting dalam rangka konsep bangsa Indonesia.

Mengenai kesamaan non fisik dapat diambil contoh misalnya pengalaman dijajah yang
secara psikologis mengalami penderitaan yang sama sebagai bangsa. Rasa senasib-
sependeritaan ini ternyata mampu menjadi penggerak untuk mewujudkan kesatuan dan
persatuan sebagai bangsa Indonesia. Bersamaan dengan rasa senasib-sependeritaan itu
timbulah kesadaran nasional dalam bentuk semangat nasionalisme. Menurut Ernest Renan
sebagaimana juga dikemukakan oleh Soekarno (1945) timbulnya bangsa itu disebabkan
karena oleh adanya keinginan untuk hidup bersama: ” le desir d’etre ensemble”. Menurut
Renan sesuatu yang menimbulkan jiwa atau asas kerohanian itu ialah adanya kejayaan masa
lampau dan keinginan untuk hidup bersama di waktu sekarang. Nilai-nilai sejarah,
nasionalisme, patriotisme, heroisme di masa lalu memiliki potensi mempersatukan bangsa di
masa sekarang dan Indonesia memiliki hal itu.

Faktor lain yang mempersatukan diantaranya yaitu nilai-nilai yang sama yang hidup di
seluruh masyarakat Indonesia. Salah satu contoh ialah gotong royong yaitu nilai-nilai sosial-
kemasyarakatan yang artinya bahwa hidup ini harus dihadapi dalam kebersamaan.
Kebersamaan dalam menanggung beban, bekerjasama mencapai tujuan, kebersamaan dalam
menghadapi masalah bersama. Gotong royong dapat ditemukan dalam masyarakat Indonesia
dengan istilah yang berbeda-beda sebagaimana dalam tabel di bawah ini.

Tabel.2.3
Nilai Gotong-Royong

No Suku Istilah/Nama

1 Jawa Gugur-gunung, sambatan

2 Sulawesi Utara Mapalus

3 Dayak Handep

4 Batak Si sada ulaon

5 Bali Subak
Hanggoro dkk. (1990)

Selain nilai-nilai sosial-kemasyarakatan, hal lain yang mempersatukan ialah bahasa.


Dalam hal ini bahasa Indonesia juga merupakan unsur penting yang mempersatukan yang
juga merupakan identitas suatu bangsa. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia
mempunyai sarana komunikasi yang efektif karena jika tidak ada bahasa nasional maka
integrasi/kesatuan bangsa akan sulit terwujud. Beberapa simbul penting bagi kesatuan bangsa
dapat diciptakan, itulah sebabnya bunyi dalam Sumpah Pemuda salah satunya menyebut
tentang ”Kami putra-putri Indonesia berbahasa satu bahasa Indonesia”.

D. Dinamika Penghayatan Bhinneka Tunggal Ika


Sejarah kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia menunjukkan intensitas naik turun
dalam hal penghayatan Bhineka Tunggal Ika. Pada sisi tertentu masyarakat Indonesia
memiliki semangat persatuan yang tinggi dengan tingkat toleransi dan kerukunan yang
harmonis. Pada sisi lain penghayatan hidup Bhineka Tunggal Ika memperlihatkan
intensitasnya yang menurun yang ditandai oleh adanya perpecahan dalam masyarakat dan
konflik yang dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa.

Secara teoritis ada dua sudut pendekatan dalam memandang masyarakat, pertama
yaitu yang menganggap bahwa masyarakat, pada dasarnya terintegrasi di atas dasar kata
sepakat akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu oleh para anggotanya yaitu suatu general
agreements yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan
di antara para anggota masyarakat. Pendekatan ini memandang masyarakat sebagai suatu
sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Oleh karena
sifatnya yang demikian, maka aliran pemikiran tersebut disebut sebagai integration approach
atau yang populer disebut sebagai structural-functional approach (pendekatan fungsional
struktural) atau jika dikaitkan dengan teori seperti apa, maka sering disebut integration
theories. (Nasikun,2007)

Structural-functional approach atau integration theories jika dilacak ke belakang


sebetulnya tumbuh dari cara melihat masyarakat yang menganalogikan masyarakat dengan
organisme biologis, suatu pendekatan yang sering kali kita kenal sebagai organismic
approach. Tokoh penting dari pendekatan fungsionalisme struktural adalah Talcot Parsons
yang bersama pengikutnya telah merumuskan sebagai berikut: (Nasikun,2007) (1)
Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling
berhubungan satu sama lain (2) Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di
antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik. (3) Sekalipun integrasi
sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial
selalu cenderung bergerak ke arah equalibrium yang bersifat dinamis: menanggapi
perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem sebagai akibatnya hanya akan mencapai
derajat yang minimal. (4) Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-
penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka panjang keadaan tersebut
pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses
institusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang
sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan berproses ke arah
itu. (5) Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual,
melalui penyesuaian-penyesuaian, dan tidak secara revolusioner. Perubahan-perubahan yang
terjadi secara drastis pada umumnya hanya mengenai bentuk luarnya saja, sedangkan unsur-
unsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan.
(6) Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam
kemungkinan: penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap
perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra systemic change); pertumbuhan melalui
proses deferensial struktural dan fungsional; serta penemuan-penemuan baru oleh anggota-
anggota masyarakat. (7) Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu
sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai niali-nilai
kemasyarakatan tertentu.

Menurut Nasikun (2007) pendekatan fungsional struktural memiliki anggapan bahwa


setiap sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas atau equilibrium di
atas konsensus para anggota masyarakat akan nilai-nilai umum tertentu sehingga
menganggap disfungsi-disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan
sosial yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kemasyarakatan dalam bentuk
tumbuhnya diferensiasi sosial yang semakin kompleks.

Teori atau pendekatan yang dikembangkan oleh Parson ternyata mengahadapi


bantahan dari pihak lain seperti David Lockwood dalam Nasikun (2007) yang memberi
catatan bahwa pendekatan fungsional struktural terlalu menkankan anggapan-anggapan
dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif dari tingkah laku sosial. Sedangkan apa yang
disebut sebagai sub stratum yang mengakibatkan timbulnya perbedaan-perbedaan life
chances dan kepentingan – kepentingan yang tidak bersifat normatif, tidak memperoleh
tempat yang wajar. David Lockwood hendak menegaskan bahwa setiap situasi sosial
senantiasa mengandung di dalam dirinya dua hal, yakni tata tertib sosial yang bersifat
normatif dan sub stratum yang melahirkan konflik-konflik. Tata tertib dan konflik merupakan
dua hal yang melekat bersama-sama di dalam sistem sosial.
Kedua, adalah teori atau pendekatan konflik yang pendekatannya berbeda sama sekali
jika dibanding dengan pendekatan fungsional struktural. Pendekatan konflik berpangkal pada
anggapan dasar berikut: (1) setiap masyarakat senantiasa di dalam proses perubahan yang
tidak pernah berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang
melekat di dalam setiap masyarakat. (2) Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di
dalam dirinya, atau dengan perkataan lain, konflik adalah merupakan gejala yang melekat di
dalam setiap masyarakat. (3) Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan
sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial. (4) setiap
masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah
orang-orang yang lain (Nasikun, 2007).

Dua teori patut untuk diperhatikan dalam memandang masyarakat karena memang
masing-masing ada benarnya walaupun masing-masing juga memiliki kelemahan. Tetapi
kelemahan yang satu ditutup dengan kelebihan yang lain. Disatu pihak masyarakat bergerak
ke arah kesatuan/terintegrasi karena terjadinya konsensus nilai dan tertib sosial yang bersifat
normatif, tetapi di lain pihak masyarakat juga ditandai oleh konflik yang sumbernya ada di
dalam masyarakat sendiri seperti adanya kontradiksi internal .

Pancasila Sebagai Paradigma

Istilah ”Paradigma” bersumber dari Thomas S. Khun dalam bukunya yang


berjudul :”The Structure of Scientific Revolution\” (1970) yang secara sederhana bermakna
model atau kerangka pikir (Ali: 1996). Paradigma juga bisa dipahami sebagai asumsi-asumsi
dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum sehingga menjadi sumber nilai yang biasanya
menjadi sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu sehingga menentukan ciri-ciri
dan sifat ilmu (Kaelan, 2010: 226). Dalam kaitannya dengan Pancasila, maka pemaknaannya
yaitu sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber azas, serta arah dan tujuan dari
suatu perkembangan dan perubahan serta proses dalam satu bidang tertentu termasuk dalam
pembangunan, reformasi maupun pendidikan (Kaelan, 2010: 226-227).

Masyarakat, bangsa dan negara Indonesia tumbuh kembangnya berada dalam ruang
dan waktu yang senantiasa terus mengalami dinamika, perubahan dan perkembangan. Sering
muncul istilah yang menunjukkan hal itu misalnya istilah perkembangan dan dinamika dari
masyarakat ”tradisional menuju masyarakat modern”. Contoh lagi istilah dari masyarakat
”lokal yang ditandai oleh label kedaerahan menuju masyarakat bangsa/ nasional” yang
ditandai dengan label kebangsaan dan nasionalisme serta masyarakat global yang mempunyai
ciri-ciri mendunia dan trans naional. Kemudian istilah yang hampir sama yaitu dari suku-
suku bangsa berkembang sebagai bangsa Indonesia. Satu hal lagi khususnya dalam
kehidupan ketatanegaraan yang menunjukkan perkembangan dan dinamika yaitu dari istilah
zaman orde lama ke orde baru dan reformasi.

Apabila Pancasila sebagai paradigma maka Pancasila tetap menjadi sumber acuan,
sumber nilai, pegangan untuk mencapai tujuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Secara praktis Pancasila yang berkedudukan sebagai paradigma tersebut adalah
sebagai paradigma dalam pembangunan, paradigma pengembangan IPTEK, paradigma
kehidupan politik, pembangunan di bidang ekonomi, pembangunan di bidang sosial dan
budaya, paradigma pengembangan kehidupan di bidang hankam, paradigma dalam
kehidupan beragama dan paradigma dalam era reformasi. Pancasila menjadi paradigma
karena di dalam Pancasila berisi nilai-nilai yang universal yang berakar pada hakikat manusia
sehingga berlakunya umum tidak hanya terbatas oleh ruang dan waktu. Pancasila juga sudah
menjadi komitmen bangsa yaitu perjanjian luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang
dicita-citakan yaitu bangsa yang merdeka berdaulat, bersatu adil dan makmur.

Penutup

Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika sepanjang masa
maka nilai Pancasila tidak boleh ditinggalkan karena di dalam Pancasila sendiri telah memuat
nilai-nilai yang dipersyaratkan dalam mewujudkan masyarakat Berbhineka Tunggal Ika itu.
Dengan nilai KeTuhanan Yang Maha Esa bangsa Indonesia mendapat landasan moral yang
kuat tentang pandangan bahwa setiap manusia diciptakan dengan seperangkat nilai:
kebebasan, kesamaan dan persaudaraan. Dengan nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia maka semua disadarkan bahwa keanekaragaman harus dihormati
sehingga manusia mampu mewujudkan toleransi. Dengan nilai Persatuan Indonesia maka
kesatuan mendapat pijakan yang kuat sehingga kesatuan bukan hanya bersifat sementara saja.
Peran negara dalam mewujudkan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika dapat melakukannya
dengan memberi jaminan tentang HAM dan mengembangkan demokrasi(kerakyatan yang
dipimpin hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan serta mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui penegakan hukum.

Daftar Pustaka:

Darmaputera (1987). Pancasila Identitas dan Modernitas, Gunung Mulia, Jakarta

Hanggoro, Wisnu Tri (1989). Masalah Pengembangan Kebudayaan Nasional, Semarang,


Satya Wacana
Kansil, (2011), Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Rineka Cipta, Jakarta.

Koentjaraningrat, 2000. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Gramedia.

Kalidjernih, (2010), Kamus Studi Kewarganegaraan, Bandung, Widya Aksara.

Kusumohamidjojo, B. (2000). Kebhinekaan Masyarakat Indonesia, Suatu Problematik


Filsafat Kebudayaan, Jakarta, Grasindo.
Linton ( 1981 ), Antropologi Kebudayaan, Jakarta, Gramedia

Nasikun, 2007. Sistem Sosial Indonesia, Jakarta, C.V.Rajawali.

Sutarno,2007. Pendidikan Multikultural, Jakarta, Direktorat Jenderal Penidikan Tinggi


Departemen Pendidikan Nasional
Sulasmono dkk, 2000. MengkajiUlang Dasar Negara Pancasila, Salatiga, PusatPenelitian
Dan Pengembangan Kewarganegaraan Dan Demokrasi Jurusan Studi PPKn- FKIP-
UKSW.
Toffler, A. (1981). The Third Wave, Bantam Books, Inc., New York.
Tim Dosen (2014), Pancasila: (Materi Pengayaan Matakuliah Pancasila), Salatiga, Tisara
Grafika.

Anda mungkin juga menyukai