Anda di halaman 1dari 7

BAB I.

MASYARAKAT INDONESIA
(Bhineka Tunggal Ika)
CHRISTIAN PRATAMA ELIZA PUTRA

392019502

A. Masyarakat dan masyarakat majemuk


Kata masyarakat ( dalam bahasa Inggris society ) yang berasal dari kata latin socius
(kawan) yang secara umum didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang saling bergaul atau
saling berinteraksi (Soemarto: 2004). Menurur Kalidjernih (2010), masyarakat adalah
sekumpulan orang yang memiliki kultur dan teritorih (wilayah) yang sama. Dalam masyarakat
terjadi interaksi dan proses interaksi menggunakan pola-pola tertentu dan nilai-nilai yang
menjadi landasannya. Linton (1981) masyarakat adalah kelompok manusia yang hidup dan
bekerja sama dalam waktu yang cukup lama, dan mereka saling mengorganisir diri serta
menganggap bahwa mereka merupakan kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan
dengan jelas.

Apa yang dimaksud dengan masyarakat majemuk? Istilah ini diperkenalkan oleh Furnifal
(1967) dalam Sulasmono dan Suroso (2000) yang awalnya untuk menggambarkan kenyataan
masyarakat pada jaman kolonial Belanda yang terdirir dari bermacam-macam ras dan etnik.
Definisi masyarakat majemuk me-nurutnya adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih
komunitas atau yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki kultur
kelembagaan yang berda satu sama lain, yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu
sama lain didalam kesatuan politik. Didalam masyarakat majemuk terdapat perbedaan-perbedaan
suku bangsa, bahasa, ras, kasta, agama, tradisi budaya dan adat istiadat. Smith (1998) dalam
Sulamono & Suroso (2000) mengemukakan bahwa masyarakat majemuk adalah masyarak yang
masing-masing komunitas atau kelompok yang dimaksud memiliki struktur kelembagaan yang
berbeda satu sama lain. Sedangkan Rabuhska dan Shepsle (1972) dalam Sulasmono & Suroso
(2000) mengatakan bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki keragama
kultural namun terorganisasi (dipersatukan) secara politik, yang mengatasi satuan-satuan etnik
yang ada.

Geertz (1963) dalam Sulasmono & Suroso (2000) mengemukakan pandangannya dengan
latar belakang Indonesia bahwa masyarakat majemuk terbagi atas sub-subsistem yang berdiri
sendiri dan setiap subsistem terikat oleh ikatan-ikatan yang bersifat promordial. Pierce L. Van
den Berghe dalam Sulasmono & Suroso (2000) mengemukakan karaktristik-karetistik yang
dimiliki masyarakat majemuk itu:

 Terjadinya segmentasi (pembelahan) ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang


seringkali memiliki sub kebudayan yang berbeda satu sama lain.
 Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi dalam lembaga-lembaga yang bersifat
komplimenter (bukan bersifat pelengkap).
 Kurang mengembangkan konsensus diantara anggota-anggotanya terhadap nilai-
nilai yang bersifat dasar.
 Secara relatif sering mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu
dengan yang lain.
 Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan di
bidang ekonomi, dan
 Adanya nominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang
lain.

B. Kemajemukan (Kebhinekaan) masyarakat Indonesia

Dimasa penjajahan Belanda masyarakat Indonesia menurut Furrnival dikategorikan


menjadi tiga komunitas yaitu masyarakat Barat, masyarakat Timur Asing, masyarakat pribumi
yang masing-masing disertai dengan tertib sosialnya sendiri-sendiri. Kebhinekaan masyarakat
Indonesia mencakup hal yang fisik maupun hal non fisik. Oleh Kusumohamidjojo (2000: 16)
realitas kebhinekaan Indonesia dilukiskan dalam dua dimensi yaitu geografis dan etnografis.
Geertz (1996) dalam Hardiman (2002: 4) mengaku bahwa tingkat kemajemukan masyarakat
Indonesia sangat tinggi dan tingkat pluralitas masyarakatnya sangat kompleks. Menurutnya sulit
melukiskan anatomi Indonesia secara tepat karena bukan saja Indonesia itu multi etnis tetapi juga
menjadi medan pengaruh dari berbagai bangsa dengan peradabannya yang tinggi seperti India,
Cina, Arab, Barat, (Hinduisme, Budhisme, Konfucianisme, Islam, Kristen) dsb.

Kebhinekaan Indonesia juga diwarnai oleh adanya lapisan-lapisan kebudayaan yang


secara garis besarnya dapat dikemukakan menjadi empat lapisan yaitu:

o pertama, Pra hindu (Budaya sebelum ada pengaruh hindu (animisme,


dinamisme)) yang ditandai oleh kepercayaan asli dalam bentuk animisme dan
dinamisme.
o Kedua, zaman hindu (Budaya yang dibawa oleh agama hindu (pengaruh India di
nusantara) dengan kerajaan hindunya yang dominan) yaitu ketika hindu
berkembang pesat ditopang oleh munculnya kerajaan-kerajaan nusantara.
o Ketiga, adalah zaman islam (Budaya yang dibawah dari pengaruh Islam yang
masuk ke nusantara dan diperkuat oleh kerajaan Islam) yaitu ketika islam
berkembang dan juga dalam bentuk kerajaan-kerajaan Islam.
o Keempat, adalah pengaruh Barat (Budaya yang dibawa oleh Barat (pengaruh
Barat di nusantara) ditandai oleh berbagai macam kebudayaan Barat) yaitu
melalui penjajahan Belanda yang lama dan memerintah Hindia Belanda selama
kurang lebih 350 tahun.

Semua masyarakat majemuk menurut Sulasmono dan Suroso (2000) mempunyai tiga
kecenderungan yaitu:

 Berkembangnya konflik di dalam hubungan-hubungan antar kelompok


 Pelaku konflik melihat konflik sebagai all-out war
 Berkembangnya proses integrasi sosial melalui suatu dominasi suatu kelompok
atas kelompok lain.

Menurut Darmaputra (1987)kenyataan objektif Idonesia menunjukan kebhinekaannya


yang lebih mencolok daripada ketunggalannya. Kemajemukan Indonesia dapat dijelaskan secara
geografis, etnis, rasial, komposisi kultural, adaptasi ekonomi, struktur sosial serta sistim politik
yang ada.

Sejak lama seluruh bangsa Indonesia selalu diingatkan agar selalu hidup berdampingan
secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa, agama, ras, dan antar golongan.
Untuk itu perlu adanya cara pandang yang tepat sebagai strategi untuk kelangsungan hidup
bangsa, karena tanpa strategi maka kelangsungan hidup sebagai bangsa selalu akan diganggu
oleh potensi konflik yang bersumber dari cara pandang yang mementingkan diri sendiri. melihat
realitas yang berbeda-beda dan hidup dengan perbedaan itu maka dalam kehidupan sebagai
bangsa perlu disertai dengan semangat hidup bersama sebagai bangsa yang satu yang disertai
rasa cinta bangsa dan tanah air.

C. Kesamaan Dalam Masyarakat Indonesia (Ketunggalikaan)

Disamping kebinekaan, Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang memiliki persamaan-


persamaan sebagai unsur penting dalam rangka mempertahankan kelansungan hidup sebagai
bangsa. Kesamaan fisik merupakan salah satu yang memperkuat kondisi kemajemukan yang
dalam hal ini dapat diambil contoh misalnya kesatuan dan persatuan wilayah (tanah air) dimana
suatu bangsa hidup dan menjadikannya sebagai ruang hidupnya. Tanah air merupakan unsur
pemersatu karena suatu bangsa memiliki wilayah dan ruang hidup yang terbatas yang dapat
dibedakan dengan bangsa lain.
Mengenai kesamaan non fisik dapat diambil contoh misalnya pengalaman dijajah yang
secra psikologis mengalami penderitaan yang sama sebagai bangsa. Rasa senasib-sependeritaan
ini ternyata mampu menjadi penggerak untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan sebagai
bangsa Indonesia. Bersamaan dengan rasa senasib-sependeritaan itu timbulah kesadaran nasional
dalam bentuk semangat nasionaslisme. Menurut Ernest Renan sebagaimana juga dikemukakan
oleh Soekarno (1945) timbulnya bangsa itu disebabkan karena oleh adanya keinginan untuk
hidup bersama: “le desir d’etre ensemble”. Menurut Renan sesuatu yang menimbulkan jiwa atau
asas kerohanian itu ialah adanya kejayaan masa lampau dan keinginan untuk hidup bersama di
waktu sekarang.

Faktor lain yang mempersatukan diantaranya yaitu nilai-nilai yang sama yang hidup di
seluruh masyarakat Indonesia. Salah satu contoh ialah gotong royong yaitu nila-nilai sosial-
kemasyarakatan yang artinya bahwa hidup ini harus dihadapi dalam kebersamaan.

Selain nilai-nilai sosial kemasyarakatan, hal lain yang mempersatukan ialah bahasa.
Dalam hal ini bahasa Indonesia juga merupakan identitas suatu bangsa. Dengan bahasa Indonesia
mempunyai saran komunikasi yang efektif karena jika tidak ada bahasa nasional maka
integritasi/kesatuan bangsa yang sulit terwujud.

D. Dinamika Penghayatan Bhineka Tunggal Ika

Sejarah kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia menunjukkan intensitas naik turun
dalam hal penghayata Bhineka Tunggal Ika. Pada sisi tertentu masyarakat Indonesia memiliki
semangat persatuan yang tinggi dengan tingkat toleransi dan kerukunan yanh harmonis. Pada sisi
lain penghayatan hidup Bhineka Tunggal Ika memperlihatkan intensitasnya yang menurut yang
ditandai oleh adanya perpecahan dalam masyarakat dan konflik yang dapat menghancurka sendi-
sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa.

Secara teoritis ada dua sudut pendekatan dalam memandang masyarakat, pertama yaitu
yang memnganggap bahwa masyarakat, pada dasarnya terintegrasi di atas dasar kata sepakat
akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu oleh para anggotanya yaitu suatu general agreements
yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para
anggota masyarakat. Pendekatan ini memandang masyarakat sebagai suatu sisten yang secara
funsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Oleh karena itu sifatnya yang
demikian, maka aliran pemikiran tesebut disebut sebagai integration approach atau yang populer
disebut sebagai struktural-functional approach (pendekatan funsional struktural) atau jika
dikaitkan dengan teori seperti apa, maka sering disebut integration theories. (Nasikun, 2007)

Tokoh penting dari pendekatan funsionalisme struktural adalah Talcot Parsons yang
bersama pengikutnya telah merumuskan sebagai berikut: (Nasikun, 2007)
 Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling
berhubungan satu sama lain
 Dengan demikian hubungan penngaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut
adalah bersifat ganda dan tidak balik.
 Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara
fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equalibrium yang bersifat
dinamis: menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan
memelihara agar perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem sebagai akibatnya
hanya akan mencapai derajat yang minimal.
 Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketengangan dan penyimpangan-penyimpangan
senantiasa terjadi juga, akan tetapi didalam jangka panjang keadaan tersebut pada
akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses
intitusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang
sempurnaha tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan berproses
kearah itu.
 Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual,
melalui penyesuaian-penyesuaian, dan tidak secara revolusioner. Perubahan-perubahan
yang terjadi secara drastis pada umumnya hanya mengenai bentuk luarnya saja,
sedangkan unsur-unsur sosial yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa
mengalami perubahan.
 Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam
kemungkinan: penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut
terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra systemic change);
pertumbuhan melalui deferensial struktural dan fungsional; serta penemuan-penemuan
baru oleh anggota-anggota masyarakat.
 Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sitem sosial adalah
konsensus diantara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan
tertentu.

Kedua, adalah teori atau pendekatan konflik yang pendekatannya berbeda sama sekalli
jika dibanding dengan pendekatan funsional struktural. Pendekatan konflik berpangkal pada
anggapan dasar berikut:

 Setiap masyarakat senantiasa di dalam proses perubahan yang tidak pernah


berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang
melekat di dalam setiap masyarakat.
 Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan
perkataan lain, konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap
masyarakat.
 Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya
disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.
 Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah
orang atas sejumlah orang-orang yang lain (Nasikun, 2007).

Dua teori patut untuk diperhatikan dalam memandang masyarakat karena memang
masing-masing ada benarnya walaupun masing-masing juga memiliki kelemahan. Tetapi
kelemahan yang satu ditutup dengan kelebihan yang lain. Disatu pihak masyarakat bergerak ke
arah kesatuan/ atau terintegrasi karena terjadinya konsensus nilai dan tertib sosial yang bersifat
normatif, tetapi dilain pihak masyarakat juga ditandai oleh konflik yang sumbernya ada di dalam
masyarakat sendiri seperti adanya kontradiksi internal.

Pancasila Sebagai Paradigma

Paradigma juga bisa dipahami sebagai asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis
yang umum sehingga menjadi sumber nilai yang biasanya menjadi sumber hukum, metode serta
penerapan dalam ilmu sehingga menentukan ciri-ciri dan sifat ilmu (Kaelan, 2010: 226). Dalam
kaitannya dengan Pancasila, maka pemaknaannya yaitu sumber nilai, kerangka pikir, orientasi
dasar, sumber azas, serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan dan perubahan serta proses
dalam satu bidang tertentu termasuk bangunan, reformasi maupun pendidikan (Kaelan, 2010:
226-227).

Apabila Pancasila sebagai paradikma maka Pancasila tetap menjadi sumber acuan,
sumber nilai, pegangan untuk mencapai tujuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Secara praktis Pancasila yang berkedudukan sebagai paradigma tersebut adalah sebagai
paradigma dalam pembangunan, paradigma pengembangan IPTEK, paradigma kehidupan
politik, pembangunan di badang ekonomi, pembangunan di bidang sosial dan budaya, paradigma
pengembangan kehidupan di bidang hankam, paradigma di kehidupan beragama dan paradigma
dalam era reformasi. Pancasila menjadi paradigma karena di dalam pancasila berisi nilai-nilai
yang universal yang berakar pada hakikat manusia sehingga berlakunya umum tidak hanya
terbatas oleh ruang dan waktu. Pancasila juga sudah menjadi komitmen bangsa yaitu perjanjian
luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang dicita-citakan yaitu bangsa yang merdeka berdaulat,
bersatu adil dan makmur.

Anda mungkin juga menyukai