Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ISBD

HAKEKAT KERAGAMAN DAN KESETARAAN


KEMAJEMUKAN DALAM SOSIAL-BUDAYA

OLEH:
ADIT YULIANTO

(201410160311490)

DINDA FARAHLITA

(201410160311448)

FARIS SAIFUDIN ROCHAAD


IKA MAULIDATUL

(201410160311456)
(201410160311488)

TAMARA ALIFIA WARDANI

(201410150311472)

DELINA KARTIKASARI

(201410160311469)

Kelas Manajemen I Semester 1


Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Malang
Tahun 2014
5.1 HAKEKAT KERAGAMAN DAN KESETARAAN

A.DEFINISI KEBERAGAMAN DAN KESETARAAN


Definisi keragaman
Keragaman berasal dari kata ragam, dalam KBBI berarti :
1.Tingkah laku
2.Macam jenis
3.Lagu,musik,langgam
4.Warna,corak
Sedangkan keragaman sendiri berarti :
1.Perihal berjenis-jenis/beragam-ragam
2.Keadaan beragam-ragam
Ragam pula dapat didefinisikan bersatu hati, rukun sehingga keragaman
bermakna kerukunan.
Definisi Kesetaraan
Kesetaraan berasal dari kata setara atau derajat, dalam KBBI berarti :
1.Tingkatan, martabat, pangkat
2.Gelar yang diberikan untuk perguruan tinggi kepada
mahasiswa yang telah lulus
setara berarti sama tingkatnya (pangkat atau kedudukan) dan
kesetaraan bermakna kesamaan tingkatan.
B.HAKEKAT KERAGAMAN DAN KESETARAAN DI INDONESIA
Struktur masyarakat indonesia adalah majemuk (beranekaragam)
dan dinamis (dapat menyesuaikan tempat dan masa/era). Kemajemukan
dapat ditandai dengan keragaman suku bangsa agama,dan kebudayaan.
Keragaman dapat menimbulkan dua hal yang kontradiktif, disatu sisi
keragaman menjadi warna suatu bangsa dan merupakan suatu
kebanggaan. Namun di lain sisi keragaman berpotensi menimbulkan
konflik.
C.UNSUR UNSUR KERAGAMAN DALAM MASYARAKAT
1. Suku bangsa dan ras
Suku bangsa dan yang berdomisili di wilayah Indonesia dari
Sabang hingga
Merauke memiliki keragaman yang sangat
kompleks, namun ras sendiri merupakan diferensiasi berdasarkan
ciri ciri biologis/fisik yang warna kulit dan rambut, ukuran tubuh dan
lain lain.
2. Agama dan keyakinan
Agama sendiri didefinisikan sebagai ikatan da aturan yang
dipegang dan dipatuhi oleh suatu individu atau kelompok. Ikatan
berarti suatu kekuatan yang posisinya lebih tinggi dari manusia
sebagai kekuatan yang tak kasat mata. Dalam praktiknya fungsi
agama dalam masyarakat antara lain:
a.fungsi edukatif: ajaran agama mengajarkan tentang hal-hal yang

dilarang
b.fungsi penyelamat: ajaran agama dianggap sebagai penolong
dalam kehidupan dunia maupun kehidupan selanjutnya
c.fungsi social control: ajaran agama yang mengajarkan norma
sosial dan pengawasan sosial dalam bertutur kata dalam bertindak
tanduk
d.fungsi pemupuk solidaritas : ajaran agama sebagai pemersatu
keberagaman
contoh: muslim Afrika dan muslim Asia mampu berteman, dan
beribadah bersama ketika bertemu di Mekkah saat menjalankan
ibadah haji
e.fungsi transformatif: ajaran agama mampu mempengaruhi dan
mengubah suatu kaum
3.Ideologi dan politik
Ideologi merupakan istilah umum bagi sebuah ide atau gagasan
yang memiliki pengaruh kuat terhadap tingkah laku dalam situasi
tertentu karena ideologi merupakan kaitan antara tindakan dan
kepercayaaan yang mendasar.
4.Tatakrama
Yang berarti adat sopan santun dalam istilah jawa, pada hakekatnya
ialah segala tindakan, perilaku, atau adat, tegur sapa, ucapan yang
sesuai dengan kaidah atau nama tertentu
5.kesenjangan ekonomi dan sosial
Adanya keberagaman menimbulkan stratifikasi (pengelompokkan
dalam suatu tingkatan) dalam hal ekonomi yaitu berupa jenis mata
pencaharian, tingkat pendapatan dan lain-lain juga dalam hal sosial
yaitu berupa tingkatan peran suatu individu atau kelompok dalam
bermasyarakat.
D.
PENGARUH
KERAGAMAN
TERHADAP
BERAGAMA,BERMASYARAKAT,BERNEGARA,DAN
GLOBAL

KEHIDUPAN
KEHIDUPAN

Pengaruh keragaman antara lain:


1.terjadi segmentasi kedalam berbagai kelompok yang seringkali
memiliki kebudayaan berbeda
2.secara relatif integrasi sosial ada dan tumbuh atas dasar tekanan
atau paksaan dan menimbulkan ketergantungan dalam bidang
tertentu
3.seringkali menimbulkan konflik antar individu, individu dengan

kelompok dan kelompok dengan kelompok


4.Adanya dominasi politik oleh suatu individu atau kelompok

Jika transparansi dan kedewasaan dalam bersikap dikesampingkan


berpotensi
menimbulkan
konflik
yang
menggoyahkan
bahkan
meruntuhkan persatuan dan kesatuan yaitu :
a.Disharmonisasi: hilangnya penyesuaian atas keragaman antara
manusia dengan manusia maupun manusia dengan lingkungannya.
b.Diskriminasi: perilaku diskriminatif terhadap etnis atau
masyarakat tertentu akan menimbulkan masalah lain berupa
kesenjangan dalam berbagai bidang yang berpotensi merugikan
banyak pihak.
c.Eksklusivisme: yaitu sifat rasialisme yang tumbuh yang berasal
atas dasar superioritas diri, dengan berbagai alasan antara lain
keyakinan bahwa secara kodrat ras/suku/bangsanya bahwa mereka
memiliki derajat lebih tinggi dari ras/suku/bangsa lain.Hal ini
berpotensi menumbuhkan secara subur suatu paham tertentu
seperti Chauvinisme
Ada beberapa hal yang dapat meminimalisir dampak negatif yang
diakibatkan oleh kesenjangan yaitu:
1.semangat religius (pendekatan individu pada Sang Pencipta)
2.semangat nasionalisme (cinta tanah air)
3.semangat pluralisme (persatuan dan kesatuan atas kemajemukan)
4.dialog antar umat beragama
5.membangun komunikasi yang transparan, terbuka dan obyektif sebagai
bentuk interaksi antar agama,media,massa dan harmonisasinya.
E.PROBLEMATIKA DISKRIMINASI
Diskriminasi dapat didefinisikan setiap tindakan yang melakukan
pembedaan terhadap suatu individu atau kelompok berdasarkan
suku,agama,ras,etnis,golongan,status,kelas sosial ekonomi,gender,kondisi
fisik,usia,orientasi seksual,ideologi dan politik serta batas negara atau
kebangsaan.
Berdasarkan pasal 281 ayat 2 UUD NKRI 1945 telah menegaskan
bahwa Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu
Juga dijelaskan dalam pasal 3 UU no.30 tahun 1999 tentang HAM

telah menegaskan bahwa Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat


dan martabat yang sama dan sederajat
Dunia internasional telah mengakui bahwa diskriminasi masih
mendarah daging di berbagai belahan dunia, dan prinsip non-diskriminasi
harus melalui antar bangsa untuk dapat hidup dalam kebebasan,
keadilan, dan perdamaian.
Faktor penyebab diskriminasi ada beberapa.Diantaranya :
1. Persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang kehidupan,
terutama ekonomi
2. Adanya tekanan dan intimidasi yang biasanya dilakukan oleh kelompok
yang dominan terhadap kelompok atau golongan yang lebih lemah
3.Ketidak berdayaan golongan miskin akan intimidasi yang mereka
dapatkan membuat mereka terus terpuruk dan menjadi korban
diskriminasi.
Maka dari itu semboyan bangsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika mampu
mewakili sekaligus mengingatkan akan pentingnya sikap non-diskriminasi,
persatuan dan kesatuan yang tumbuh dikarenakan adanya perbedaan
yang menjadi bukti kesetaraan dalam kemajemukan bermasyarakat

5.2 KEMAJEMUKAN DALAM DINAMIKA SOSIAL-BUDAYA


KEMAJEMUKAN DALAM DINAMIKA SOSIAL BUDAYA
Keragaman

yang

terdapat

dalam

kehidupan

sosial

manusia

melahirkan masyarakat majemuk. Majemuk berarti banyak ragam,


beraneka,

berjenis-jenis.

Konsep

masyarakat

majemuk (plural

society)pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall tahun 1948 yang


mengatakan bahwa ciri utama masyarakatnya adalah berkehidupan

secara berkelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi terpisah oleh


kehidupan sosial dan tergabung dalam sebuah satuan politik.
Furnivall menggambarkan masyarakat hindia belanda semasa masih
berada dibawah pemeritahan sebagai masyarakat mejemuk yang khas
daerah tropis, masyarakat mejemuk yang demikian itu dia lukiskan
sebagai yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri
sendiri, tanpa ada integrasi dalam suatu suatu kesatuan atau sistem
sosial politk. Lebih konritnya masyarakat hindia belanda sebagai sistem
penuh dengan perbedaan kesukuan agama, adat dan kedaerahan,
keistimewaaannya ialah bahwa kelompok yang berkuasa secara politik
dan ekonomis memiliki ras dan agama dan masyarakat yang berbeda
dengan

kelompok

masyarakat

juga

yang

dikuasai,

terpolakan

oleh

jadi
dua

dengan

demikian

kategori

struktur

pluralitas

atau

kemajemukan yag tumpang tindih, yaitu horizontal dan vertikal, dengan


tinjauan yang bersifat kultural berberapa penulis lain memberikan
deskripsi tentang masyarakat majemuk sebagai berikut:
1. Terjadinya segmentasi kedalam bentuk kelompok kelompok yang
seringkali memiliki sub kebudayaan yag berbeda satu sama lain,
sehingga mereka kurang memiliki dasar yang sama untuk saling
memahami.
2. Kurang berkembangnya konsensius diantara kelompok kelompok
mengeai sistem nilai atau pandangan hidup sehingga para anggota
masyarakat kurang memiliki loyalitas kepada masyarakat sebagi
keseluruhan melainkan justru terikat oleh ikatan ikatan yang
bersifat asli (primodial) kedalam kelompok.
3. Seringkali terjadi konflik antar kelompok.
4. Integrasi sosial dalam batas batas tertentu

hanya

tumbuh

berdasarkan paksaan oleh suatu kelompok yang memiliki dominasi


politik atas kelompok kelompok lain (Drs.P.Soedarno, 1992).
Konsep masyarakat majemuk Furnivall di atas , dipertanyakan
validitasnya sekarang ini sebab telah terjadi perubahan fundamental
akibat pembangunan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Usman Pelly (1989) mengkategorikan masyarakat majemuk di suatu kota


berdasarkan dua hal, yaitu pembelahan horizontal dan pembelahan
vertikal.
Secara horizontal, masyarakat majemuk, dikelompokkan berdasarkan:
1. Etnik dan ras atau asal usul keturunan.
2. Bahasa daerah.
3. Adat Istiadat atau perilaku.
4. Agama.
5. Pakaian, makanan, dan budaya material lainnya.
Secara vertical, masyarakat majemuk dikelompokkan berdasarkan:
1. Penghasilan atau ekonomi.
2. Pendidikan.
3. Pemukiman.
4. Pekerjaan.
5. Kedudukan social politik.
Dalam pandangan Thamrin Amal Thomagola, struktur mozaik sosialbudaya yang tegak di Nusantara kita ini dapat dideskripsikan dalam tiga
aspek, yaitu: struktur kesukuan, distribusi wilayah agama, dan dari aspek
tingkat pendidikan. Pertama, dari aspek struktur kesukuan, keseluruhan
struktur mozaik Nusantara ini terbelah menjadi dua bagian utama.
Keterbelahan ini kurang lebih mengikuti garis-Wallace (Wallace Line) yang
terkenal itu ke dalam dua bagian, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia
Timur. Teramati ada beberapa perbedaan pokok antara pola Indonesia

Barat dengan pola Indonesia Timur (Selanjutnya disingkat dengan PIB


untuk yang pertama, dan PIT untuk yang disebut terakhir).
Pertama, dari 656 suku diseluruh Nusantara hanya ada seperenam
(109 suku) di PIB sedangkan di PIT ada lima perenam (547 suku). Dari
jumlah yang disebut terakhir ini, tiga perlima (300-an suku) berdiam di
Papua Barat. Karena itu,dapat disimpulkan bahwa keragaman suku di PIT
jauh lebih tinggi dari keragaman suku di PIB.
Kedua, ada delapan suku, yaitu suku Aceh, Batak, Melayu, Minang,
Sunda, Jawa, Madura dan Bali, dari sembilan suku dominan di Indonesia
ada di PIB dan hanya satu berlokasi di PIT, yaitu Bugis. Sementara sukusuku dominan lainnya, yaitu: Aceh, Batak, Melayu, Minang, Sunda, Jawa,
Madura,

Bali,

dan

Bugis.

Suku-suku

tersebut

dikatakan

domain

berdasarkan tiga kriteria utama, yaitu: (1) jumlah proporsional; (2) punya
kerajaan dan masyarakat yang mapan di masa lampau; dan (3)
menyumbangkan banyak tokoh nasional dalam hampir semua bidang
kehidupan,

terutama

dalam

bidang

kebudayaan,

intelektual,

dan

kenegaraan. (Tomagola,1990).
Ketiga, setiap suku di PIB paling kurang mendiami satu provinsi
secara utuh, dan, kadang-kadang dua provinsi atau lebih seperti suku
Minang dan Jawa. Sebaliknya di PIT, dalam satu kecamatan saja dapat
ditemukan lebih dari 10 suku, dalam satu kabupaten berdiam lebih dari 20
suku, dan, besar kemungkinan dalam satu provinsi menampung lebih dari
40 suku.
Sementara dalam tinjauan Koenjaraningrat (1987: 32), suku bangsa
di Indonesia dapat juga dipetakan dari model mata pencaharian yang
dominan digelutinya, yang secara bersamaan sekaligus dipengaruhi oleh
suatu peradaban dari luar seperti zending, missi, pemerintah kolonial,
kebijakan pemerintahan RI, pengaruh kebudayaan Hindu dan agama
Islam. Antara lain dapat dikelompokan pada masyarakat berburu,
berladang, tani sawah, berkebun, pengembara dan seterusnya.
Berdasarkan tingkat perkembangan sistem teknologi, pengetahuan, polapola pengeksploitasian dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi,
serta jaringan hubungan dengan masyarakat yang lebih luas ini,

kelompok-kelompok suku bangsa atau subsuku bangsa yang ada di


wilayah kedaulatan Republik Indonesia ini setidaknya dapat dibagi ke
dalam empat kategori utama, di mana satu sama lainnya memiliki tingkat
daya adaptasi yang berbeda satu sama lainnya.
Pertama, adalah kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan
sebagai tribal society. Dari segi komposisi demografi, jumlah anggota
kelompok masyarakat yang dimaksud relatif kecil. Masyarakat yang
tergolong kepada tribal society ini biasanya hidup dalam persekutuanpersekutuan hidup yang beranggotakan lebih/kurang 50 jiwa saja. Masingmasing persekutuan hidup itu tidak terintegrasi ke dalam persekutuan
(polotik) yang lebih luas. Pada umumnya bermata pencaharian berburu
dan meramu (hunting and food gathering). Berkaitan dengan sistem
pemenuhan

kebutuhan

sehari-hari

ini,

biasanya,

pola

permukiman

kelompok masyarakat ini bersifat nomadis (berpindah-pindah tempat),


meski batas-batas wilayah pengembaraannya itu tetap dapat ditentukan
secara pasti.
Sejauh

yang

dapat

diketahui,

kelompok

masyarakat

yang

dapat

dikategorikan tribal society hanyalah sebagian dari orang kubu (Suku


Anak Dalam) yang hidup di wilayah belantara jambi dan sumatera selatan.
Konon

juga

terdapat

di

beberapa

daerah

pedalaman

Irian

Jaya,

Kalimantan, dan Sulawesi (bagian Tengah).


Kedua,

kelompok

masyarakat

perladangan

berputar

(rotary

cultivation), atau lebih populer disebut kelompok masyarakat yang


mengembangkan sistem perladangan berpindah (shifting cultivation).
Karena dalam sistem teknologi pertanian yang dikembangkannya ada
unsur pekerjaan menebas dan membakar, teknik ini kerap pula disebut
sebagai slash dan burning cultivation. Karena kegiatan pertanian itu tidak
diselenggarakan secara terus-menerus pada satu bidang lahan tertentu,
maka kegiatan pertanian ini sering pula dikategorikan sebagai suatu cara
produksi pertanian ekstensif (extensive agriculture).
Kelompok masyarakat yang terdapat di dalamnya merupakan kelompok
masyarakat yang dapat bercocok tanam untuk menghasilkan bahan
makanan pokoknya (food producing) sendiri. Sebagian besar kelompok

masyarakat ini berada di luar Jawa, dengan sedikit pengecualian di


beberapa tempat tertentu saja, seperti masyarakat badui, misalnya.
Komposisi demografis kelompok masyarakat ini berjumlah lebih besar bila
dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang pertama. Bisa mencapai
angka ribuan jiwa. Meski begitu, keterikatan aanggota masyarakat yang
satu dengan yang lainnya masih menekankan pada sistem kekerabatan
(kinship system). Secara tradisional kelompok ini belum sepenuhnya
terintegrasi pada sistem sosio-ekonomi pasar yang lebih luas dan sistem
sosiopolitik yang lebih besar dan kompleks.
Ketiga, kelompok masyarakat petani (pesant society). Kelompok
masyarakat

ini

adalah

kelompok-kelompok

masyarakat

yang

mengembangkan sistem pertanian menetap (sedenter). Berbeda dengan


cara bertani pada kelompok peladang berputar terdahulu, kelompok
masyarakat

ini

mengembangkan

cara

produksi

pertanian

intensif

(intensive agriculture), yang di Indonesia dikenal sebagai sistem pertanian


lahan basah atau pertanian persawahan. Sistem ini umum dikenal oleh
kelompok masyarakat yang menghuni Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan di
daerah-daerah tertentu di pulau-pulau yang ada di gugusan sunda kecil
(terutama di Bali, NTB).Karena sistem pertanian ini mampu menhasilkan
surplus hasil yang cukup besar, kegiatan ekonomi kelompok ini telah
terintegrasi ke dalam sistem sosio-ekonomi dan sosio-politik yang lebih
besa dan lebih luas. Bahkan hingga tingkat regional dan global.
Keterikatan
bersangkutan

antar-anggota
tidak

lagi

dalam
hanya

masyarakat-masyarakat

berdasarkan

sistem

yang

kekerabatan,

melainkan juga pada ikatan sosiopolitik dan sosio-ekonomi yang lebih


folmalistis,seperti organisasi dan asosiasi.
Keempat, adalah kelompok masyarakat perkotaan. Masyarakat
perkotaan adalah suatu masyarakat yang tinggal di suatu lingkungan
pemukiman tertentu, yaitu suatu lingkungan di mana para penghuninya
dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar
setempat. Biasanya barang-barang itu dihasilkan oleh penduduk yang
tinggal di daerah pedalaman (pedesaan), yang biasa disebut sebagai
daerah yang melindungi desa. Titik awal gejala kota adalah timbulnya

golongan literati (golongan intelektual, pujangga, agamawan, misalnya),


atau berbagai kelompok spesialis yang berpendidikan dan non-agraris,
sehingga pembagian kerja dalam masyarakat perkotaan ini sangat
kompleks.Dilihat dari peran sosio-ekonomi dan sosio politiknya dalam
suatu jaringan kehidupan yang lebih luas, masyarakat perkotaan ini juga
disebut sebagai kelimpok elite ekonomi dan politik. Kelompok ini pada
dasarnya mulai terbentuk sejak zaman kolonial, atau mungkin sejak awal
abad 20, ketika pemerintah kolonial Belanda mulai memperkenalkan
sistem pendidikan sekolah yang modern. Kelompok ini adalah orang-orang
yang berlatar belakang pendidikan sekolah yang lebih tinggi dibandingkan
dengan penduduk Indonesia pada umumnya yang sebagian di antaranya
kemudian masuk ke dalam sistem birokrasi pemerintahan kolonial atau
menjadi politisi pejuang kemerdekaan.
Pluralitas masyarakat mempuyai aspek

regional pula yaitu desa-

kota.Untuk mendapatkan gambaran mengenai pluralitas regional ini yaitu


bahwa masyarakat terpilah dua kedalam masyarakat desa, akan ditinjau
konsep masyarakat dualistik dari boeke. Istilah masyarkat dualistik
digunakan oleh boeke untuk menggambarkan struktur sosial ekonomi
hindia belanda dulu yang terdiri atas dua bagian, sangat berbeda corak
dan orientasinya, berada berdampingan tapi tidak saling menunjang dan
tidak saling terintegrasikan. Menurut Boeke,sektor yang satu modern,
berwatak komersial atau berkiblat ke pasar, digerakan dan dibimbing oleh
motif-motif mencari keuntungan yang maksimal, banyak bersentuhan
dengan lalu lintas perdagangan internasional, maka bersifat

canggih.

Sektor ini untuk sebagian besar dikuasai oleh kelompok masyarakat yang
berpandangan barat dan untuk sebagian besar berada didaerah-daerah
yang menjadi pusat kekuasaan pemerintah dalam prasarana untuk
kegiatan ekonomi (Drs.P.Soedarno, 1992).
Karena kemajemukan dalam dinamika social budaya inilah maka
timbul akibat.Akibat yang di timbulkan ini dapat mengarah ke hal positif
atau biasa kita sebut integritas,sebaliknya akibat buruknya kita namakan
disintegritas.Berikut penjelasan integritas dan disintegritas.

Integritas berasal dari kata sifat integer, yang berarti utuh tidak
bercacat tidak retak tidak gempil, bulat padu. Integritas sosial
adalah suatu proses dan sekaligus hasil dari proses itu, dalam mana
individu-individu atau kelompok kelompok dalam masyarakat yang semula
terkotak-kotak,

berbeda-beda

bahkan

bersaing

menjadi

bersatu

selaras,

baik

rukun

dan

atau

dalam

bertentangan

hal

kepentingan

kepentingan soal hidup mati, maupun dalam hal pandangan mengenai


berbagi

masalah

pokok

dalam

kehidupan

sosial

politik

budaya

masyarakat.Dengan demikian,maka integritas sosial adalah suatu proses


mempertahankan

kelangsungan

hidup

masyarakat

sebagai

suatu

sistem.Integritas sosial dikatakan berhasil apabila:


1. Seluruh anggota masyarakat merasa bahwa mereka saling mengisi
kebutuhan mereka, dan tidak saling merintangi atau merugikan.
2. Terdapat konsensus (kesepakatan dalam kelompok menganai norma
nnorma sosial, yang memberi arah dalam tujuan yang dicita citakan,
dan menjadi kajian bagi cara dan upaya untuk mewujudkannya.
3. Bertahannya norma norma tersebut secara relatif lama dan tidak
setiap kali berubah ubah (Drs.P.Soedarno, 1992).
Disintegrasi adalah keadaan tidak bersatu padu yang
menghilangnya keutuhan atau persatuan serta menyebabkan
perpecahan.
Disintegrasi dalam masyarakat Indonesia ditandai oleh beberapa gejala,
yang antara lain:
1. Tidak adanya persamaan pandangan (persepsi) antara anggota
masyarakat mengenai tujuan yang semula dijadikan patokan oleh
masing-masing anggota masyarakat.
2. Perilaku para warga masyarakat cenderung melawan/melanggar
nilai-nilai dan norma-norma yang telah disepakati bersama.
3. Kerap kali terjadi pertentangan antara norma-norma yang ada di
dalam masyarakat.

4. Nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat tidak lagi


difungsikan dengan baik dan maksimal sebagaimana mestinya.
5. Tidak adanya konsistensi dan komitmen bersama terhadap
pelaksanaan sanksi bagi mereka yang melanggar norma-norma
yang ada di masyarakat.
6. Kerap kali terjadinya proses-proses sosial di masyarakat yang
bersifat disosiatif, seperti persaingan tidak sehat, saling fitnah,
saling hasut, pertentangan antarindividu maupun kelompok, perang
urat syaraf, dan seterusnya.
Adapun faktor faktor yang mempengaruhi proses sosial baik menuju ke
arah integrasi atau justru ke arah disintegrasi adalah sebagai berikut:
1. Ada tidaknya kesatuan pendapat dalam hal tujuan tujua pokok yang
ingin dicapai bersama.
2. Ada tidaknya kesepakatan dalam hal penyelenggaraan kehidupa
nyata yag dianggap mencerminkan kehidupan kehidupan yang
dicita citakan
3. Ada tidaknya sistem sanksi yang ketat dan berwibawa untuk
mengarahkan sistem tindakan (action system) para individu atau
kelompok-kelompok ke arah tujuan yang disepakati.
Salah satu hal yang dapat dijadikan solusi adalah Bhineka Tunggal
Ika

yang

merupakan

ungkapan

yang

menggambarkan

masyarakat

Indonesia yang majemuk atau heterogen. Masyarakat Indonesia


terwujud sebagai hasil interaksi sosial dari banyak suku bangsa dengan
beraneka ragam latar belakang kebudayaan, agama, sejarah, dan tujuan
yang sama disebut kebudayaan nasional.
Terciptanya tunggal ika dalam masyarakat yang bhineka dapat
diwujudkan melalui integrasi kebudayaan atau integrasi nasional.
Dalam hubungan ini, pengukuhan ide tunggal ika yang dirumuskan
dalam wawasan nusantara dengan menekankan pada aspek persatuan di
segala bidang merupakan tindakan yang positif. Namun tentu saja makna
Bhineka Tunggal Ika ini harus benar-benar dipahami dan menjadi sebuah
pedoman dalam berbangsa dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA
http://ranupatjeh7.blogspot.com/2014/02/kemajemukan-dalam-dinamikasosial-dan.html
http://drsuprobo.wordpress.com/2013/01/16/kemajemukan-dalamdinamika-sosial-budaya-horizontal-dan-vertikal/
http://id.wikipedia.org/wiki/Disintegrasi
Ahmadi, D. (1991). Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Drs.P.Soedarno, M. (1992). Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai