Menurut ilmuan ini, berdasarkan konfigurasi dan komunitas etnik dibedakan menjadi
4 kategori yaitu:
Indonesia merupakan negara yang kaya, baik dalam bentuk kekayaan sumber daya alam atau
kekayaan sumber daya sosial. Walaupun negara Indonesia mempunyai tingkat kemajemukan
yang tinggi namun tetap kokoh sebagai suatu kesatuan, karena didasarkan pada semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Namun demikian, tidak berarti pada masyarakat Indonesia tidak terjadi
gejolak-gejolak yang mengarah kepada pepecahan dalam segala bidang kehidupan.
Kebhinekaan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari dua cara yaitu.
Ringkasan artikel
Masyarakat multikultural dikemukakan oleh beberapa ahli
a. Menurut Furnival
b. Menurut Pierre L. Van den Berghe
c. Menurut Dr. Nasikun
Indonesia merupakan negara yang kaya, baik dalam bentuk kekayaan sumber daya alam atau
kekayaan sumber daya sosial. Walaupun negara Indonesia mempunyai tingkat kemajemukan
yang tinggi namun tetap kokoh sebagai suatu kesatuan, karena didasarkan pada semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Namun demikian, tidak berarti pada masyarakat Indonesia tidak terjadi
gejolak-gejolak yang mengarah kepada pepecahan dalam segala bidang kehidupan.
Kebhinekaan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari dua cara yaitu.
Komentar :
Artikel yang di buat cukup menarik, tapi sayangnya artikel ini masi terdapat singkatan
misalnya dengan menjadi dgn
Artikel II
Masyarakat multicultural :
Merupakan suatu masyarakat yang terdiri atas banyak struktur kebudayaan.Hal
tersebut disebabkan karena banyaknya suku bangsa yang memilik struktur budaya sendiri
yang berbeda dengan budaya suku bangsa yang lainnya.
Ringkasan artikel
1. J.S. Furnivall.
2. Clifford Geertz
3. J.Nasikun
Komentar :
Artikel ini baik tetapi bagian bawahnya membuat pembaca malas membacanya karena
tulisannya berantakan dan membuat mata sakit
Artikel III
Membangun Nilai-Nilai Kebhineka Tungglikaan melalui pendidikan
multikultural di sekolah
Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk, beragam sosial, etnis, budaya, agama, aspirasi
politik dan lain sebagainya, sehingga bangsa Indonesia sering disebut sebagai bangsa
multikultural. Pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan
mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebhine-katunggalikaan yang dapat menjadi
"integrating force" yang dapat mengikat seluruh keragaman etnis, budaya, dan agama”.
Perbedaan budaya, agama, aspirasi politik, kepentingan, visi dan misi, keyakinan, dan tradisi
merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal yang kadang-kadang juga
menjadi perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Maka dapat dikatakan bahwa berbagai
kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di wilayah Negara Kesatauan Republik
Indonesia, merupakan akibat dari rendahnya kesadaran dan wawasan multikulturalime.
Saat ini kita mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan
sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai multikulturalis. Melalui
pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Indonesia akan berhasil membentuk
bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat kebhinekatunggalikaan.
Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui
sistem pendidikan pada suatu masyarakat.
1. Pendahuluan
Mengawali tulisan ini sebuah pertanyaan yang sering diajukan orang patut kembali
saya kemukakan di sini, yaitu motivasi apa yang mendorong berbagai suku bangsa,
agama, bahasa menyatakan dirinya bersatu dan memilih yang dinamakan Indonesia?
Menjawab pertanyaan tersebut menurut saya, ialah ikatan kukuh (indisoluble and
permanent nation) diantara berbagai suku, agama, bahasa, karena kita mempunyai
semangat kebersamaan, semangat persatuan dan tekat yang sama untuk membentuk
negara kesatuan yang dinamakan Indonesia. Selain itu, pada awal mula menyatunya
berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama menjadi satu nasion yang dinamakan
Indonesia, karena kita menghadapi musuh yang sama (common enemy) yakni
penjajah.
Untuk mendukung argument di atas saya mencoba mengutip pendapat Max Weber3
mengatakan Each nation has its own of moral phylosopy conforming to is character,
artinya setiap bangsa mempunyai falsafah moral masing-masing yang sesuai ciri-ciri
khusus bangsa itu. Selanjutnya ia mengakatan “karena nilai-nilai moral yang kita
miliki, sebenarnya adalah nilai-nilai yang diakui bersama oleh kelompok tempat kita
berada” (human concience that we must integrally realize is nothing else than the
collective concience of the group which we are the part).
Jiwa kehidupan sosial suatu masyarakat bersumber dari dua hal yakni adanya
pembagian fungsi diantara sesama anggotanya dan adanya kesamaan pandangan
tentang nilai-nilai moral. Pandangan tentang nilai-nilai moral itu akan berkembang
sesuai dengan perkembangan kemajemukan dalam masyarakat itu sendiri. Ada yang
berubah, ada juga yang dipertahankan. Jika unsur kesamaan hilang dari seseorang,
maka ia dilihat sebagai bukan orang kita atau ia berbeda dari kita. Jika kehilangan
kesamaan itu terjadi pada sisi yang dianggap sebagai fundamental, maka dapat
merusak kelangsungan hidup itu sendiri. “ It is impossible for offense againts the
most fundamental collective sentiments to be tolarable with out the disintegration”.
Konflik primordial terasa di berbagai daerah beberapa waktu lalu seperti konflik Poso,
Sambas dan Ambon. Semua itu sebenarnya memperlihatkan bagaimana globalisasi
ideologi yang menyungkup dunia, juga memperlihatkan adanya elemen politik di
dalamnya.
Terjadinya dislokasi posisi dan disorientasi nilai, baik bagi individu maupun
kelompok masyarakat sebenarnya memaknai bahwa dalam kehidupan kini telah
terjadi kesenjangan ideologi, akibat kebijaksanaan yang dilakukan oleh negara. Dan di
bidang politik, melahirkan marginalisasi politik yang sebenarnya mencairkan identitas
individu atau kelompok dalam masyarakat. Kebutuhan akan identitas itulah yang
melahirkan berbagai potensi isu primordialisme. Melalui pengatasnamaan
primordialisme sebagai identitas, maka militansi yang tercipta memperlihatkan
sebagai passion bagi para pendukungnya.
Pada sisi yang lain, penyeragaman yang terjadi, yang dilakukan oleh negara menolak
pluralisme serta berupaya meniadakannya, justeru memperlihatkan gambaran yang
pedih, sebagaimana yang terlihat pada sejumlah konflik horizontal di beberapa daerah
seperti di Poso, Sambas, Jakarta, Madura dan Maluku. Konflik-konflik seperti itu
memperlihatkan betapa kuatnya kesetiaan lokal atau kesetiaan terhadap ikatan-ikatan
primordial yang antara lain disebabkan oleh faktor hubungan darah, ras, daerah,
agama, dan adat istiadat, yang menurut Geertz dapat merupakan pemicu bagi
ancaman integrasi bangsa.
Munculnya berbagai konflik di tanah air sebenarnya merupakan ekses langsung dari
praktek otonomi daerah. Gejala tersebut dapat dipahami karena pelaksanaan otonomi
daerah yang pertama diberlakukan di tengah-tengah krisis ekonomi yang amat parah.
Kedua, otonomi daerah diberlakukan di tengah-tengah euphoria masyarakat, yakni
semangat dan rasa percaya diri yang tinggi bahwa masyarakat yang seringkali bersifat
kekerasan dan melewati batas-batas kewajaran.
Seperti yang dikatakan oleh Myron Weiner8, masalah hampir semua negara
berkembang adalah bagaimana “menghapus” kesetiaan-kesetiaan lokal menuju
kepada ikatan yang tidak sempit untuk menciptakan integrasi bangsa dan membentuk
integrasi nasional. Memang nampaknya agak rumit bagi negara-negara yang beragam
seperti Indonesia ini untuk menciptakan integrasi yang mantap. Masalahnya adalah
bahwa sentimen-sentimen primordial tidak dapat dihapus. Dalam hal ini yang dapat
dilakukan adalah bagaimana mewadahi kesetiaan-kesetian lokal tersebut dalam
kerangka negara nasional. Weiner selanjutnya mengatakan bahwa, salah satu cara
menciptakan integrasi nasional adalah, The establishment of national loyalties
eliminating subordinate cultures—the policy of “ unity in diversity” politically
characterized by “ethnic arithmetic”. Kemudian selanjutnya Weiner mengatakan “…
It remains to be seen whether the ideal of unity and diversity . that is political unity
and cultural diversity can be the foundation for modern states. Perhaps the most
promising prospects are those in which no single ethnic groups dominates…”.
Seperti yang dikatakan oleh Myron Weiner8, masalah hampir semua negara
berkembang adalah bagaimana “menghapus” kesetiaan-kesetiaan lokal menuju
kepada ikatan yang tidak sempit untuk menciptakan integrasi bangsa dan membentuk
integrasi nasional. Memang nampaknya agak rumit bagi negara-negara yang beragam
seperti Indonesia ini untuk menciptakan integrasi yang mantap. Masalahnya adalah
bahwa sentimen-sentimen primordial tidak dapat dihapus. Dalam hal ini yang dapat
dilakukan adalah bagaimana mewadahi kesetiaan-kesetian lokal tersebut dalam
kerangka negara nasional. Weiner selanjutnya mengatakan bahwa, salah satu cara
menciptakan integrasi nasional adalah, The establishment of national loyalties
eliminating subordinate cultures—the policy of “ unity in diversity” politically
characterized by “ethnic arithmetic”. Kemudian selanjutnya Weiner mengatakan “…
It remains to be seen whether the ideal of unity and diversity . that is political unity
and cultural diversity can be the foundation for modern states. Perhaps the most
promising prospects are those in which no single ethnic groups dominates…”.
Apa yang diutarakan oleh Geertz dan Weiner tampak mengena bagi Indonesia.
Contoh-contoh kasus konflik horizontal di Indonesia adalah merupakan munculnya
kesetiaan dan identitas lokal yang menjadi pemicu dari ketegangan-ketegangan
politik maupun sosial. Nampaknya ketegangan-ketegangan itu ditimbulkan karena
sentimen primordial sesudah kita memberlakukan desentralisasi melalui Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999
Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam
menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul di tanah
air12. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-
perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras, agama merupakan sumber
utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.
Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama, dan identitas
yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk
mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materiil maupun non-materiil.
Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan
dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam" misalnya,
diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan
politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap
orang mau mengalah dari preference yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan
antar kelompok identitas (agama) dapat dihindari bahkan tidak terjadi.
Munculnya konflik yang benuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) pada
beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang dilakukan salah satu
penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang
konsep kearifan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang
adil kepada masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda
awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatan, yakni prasangka rasial.
Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun
kelompok ras tertentu terhadap ras lain. Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi
sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam
kebudayaan kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan perkembangan
masyarakat Indonesia ke depan sangat dipengaruhi oleh hubungan-hubungan antar
etnis.
Konsep kearifan budaya lokal, dalam konteks kehidupan dan relasi sosial di tengah
komunitas yang majemuk memiliki kekuatan (power) dalam menciptakan suasana
sosial yang kondusif. Maka dengan memahami dan mengangkat kearifan budaya lokal
dalam konteks kehidupan di tengah masyarakat yang pluralis, secara sejatinya dapat
memberikan peran bagi tertatanya hubungan sosial yang harmoni dengan semangat
saling menghargai dan menghormati.
Perbedaan horizontal diterima sebagai warisan, yang diketahui kemudian bukan faktor
dalam insiden kerusuhan sosial yang melibatkan antarsuku. Suku tertentu bukan
dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam
doktrin ajaran mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan
etnik.
Semakin tinggi posisi politik dan peran dominatif suatu kelompok etnik, akan
semakin kuat menimbulkan prasangka (stereotype negative) yang menjadi sumber
ketegangan dan konflik antarkelompok etnik. Apalagi kalau mengacu konsep
dominatif yang lebih menekankan pada aspek kualitatif daripada aspek kuantitatifnya.
Di mana suatu kelompok etnik minoritas juga berpeluang memiliki peran dominatif,
jika kelompok tersebut secara substansial menguasai struktur politik atau ekonomi di
daerah (Negara) tertentu.
Sehingga dari pola interaksi sosial dalam masyarakat majemuk, jangan terpaku hanya
pada perbedaan-perbedaan horisontal yang ada. Artinya dalam menghindari atau
meminimalkan konflik hanya dengan mengatasi masalah perbedaan aspek-aspek
sosial budayanya. Seperti penyatuan kelompok-kelompok sosial yang berbeda,
dengan mengangkat pernik-pernik budaya daerah menjadi identitas nasional. Atau
gerakan pergantian nama dalam masyarakat Cina, memasyarakatkan batik sebagai
identitas nasional. Atau dengan penataran untuk menanamkan norma-norma bersama
yang mengatur tingkah-laku, bagaimana menjadi warga negara Indonesia yang baik.
Jadi secara hipotesis dapat disimpulkan, bahwa sumber konflik sosial antara berbagai
etnik atau golongan bukan didominasi oleh perbedaan horisontal. Tetapi yang lebih
menonjol disebabkan oleh faktor perbedaan-perbedaan vertikal. Karena interaksi
dalam perbedaan vertikal antaretnik (suku) dan golongan lebih berdimensi kalah-
menang, bermuara pada munculnya kekuatan yang mendominasi dan yang
didominasi. Kemudian terjadi ketidakseimbangan, prasangka, dan ketegangan. Dan
apabila tidak segera diantisipasi, maka kondisi itu sangat rentan dimanfaatkan oleh
mereka yang tak bertanggung jawab untuk memicu konflik sosial dan kerusuhan
massal.
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, terdiri atas suku-suku bangsa, yang
baik langsung maupun tidak langsung, dipaksa bersatu di bawah kekuasaan sebuah
sistem nasional. Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah
penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam komunitas-
komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi
jatidiri individu.
Prinsip demokraksi hanya mungkin hidup dan berkembang secara mantap dalam
sebuah masyarakat sipil yang terbuka (open society), yang warganya mempunyai
toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dalam bentuk apa pun, karena adanya
kesetaraan derajat kemanusiaan yang saling menghormati, dan diatur oleh hukum
yang adil dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup
warganya.
Masyarakat terbuka adalah suatu masyarakat yang membuka diri bagi pembaharuan
dan perbaikan. Amoda20 menambahkan, harus ada suatu “built in mechanism” untuk
self-renewal and self-rejuvenation. Masyarakat terbuka itu harus berorientasi ke
depan, selalu mempertimbangkan globalisasi yang membawa serta kemajuan
teknologi, dan berpijak pada kenyataan, bahwa kiat mendiami suatu Benua Maritim
Indonesia serta aspirasi bangsa yang tertuang dalam nasionalisme baru yang
menghargai pluralitas budaya (multikultural).
3. Kebijakan Politik Identitas
Sejak reformasi 1998 pemikiran tentang demokrasi dan desentralisasi muncul ke
permukaan sebagai tanggapan balik atas kekuasaan sentralistik rezim Soeharto.
Angin segar perubahan ini di satu sisi memberikan peluang bagi terlaksananya hak-
hak politik rakyat, di sisi lain telah pula memicu menguatnya aktivitas politik yang
mengandung permainan politik identitas.
Etnis merupakan konsep relasional yang berhubungan dengan identifikasi diri dan
askripsi sosial yang sulit dirubah karena mendasarkan diri pada persamaan-persamaan
yang bersifat kodrati (given), seperti warna kulit, suku, kasta, asal, dan sampai taraf
tertentu agama. Negara, baik pada masa Orde Baru maupun sekarang, sering berupaya
untuk menghilangkan etnisitas di atas. Upaya-upaya tersebut diantaranya adalah
peniadaan daerah asli, melunturkan keetnisitasan dan penghayatan keagamaan dengan
modernisasi, pengaturan agar tidak ada kejumbuan antara agama dan suku (kasus
Mandar), pemaksaan militer, imunitas aparat pelanggar HAM, dan sentralisasi
kekuasaaan dan eksploitasi SDA (sumber daya alam) yang aseli (kasus Aceh). Semua
upaya tersebut pada akhirnya justru akan memperkuat gerakan etnis (seperti gerakan
putra daerah) untuk merdeka.
Pada tahun 1999, diadakan Pemilu yang diikuti banyak partai. Dalam Pemilu itu,
parpol beridentitas agama dan etnis memperoleh suara yang kecil. Perolehan suara itu
memberi tanda penting, bahwa penggunaan identitas agama dan etnis di tingkat
Nasional, kurang mendapat dukungan dari masyarakat luas. Kondisi serupa juga
ditunjukkan pada saat Sidang MPR 2000, yang antara lain membahas tentang
amandemen UUD 1945. Pada masa itu, parpol berbasis agama (Islam),
memperjuangkan formalisasi syariat Islam di level nasional, melalui pencantuman
Piagam Jakarta dalam preambule UUD 1945. Melalui tarik ulur dengan kelompok
nasionalis, akhirnya upaya itu tidak berhasil diwujudkan.
Meski menemui kegagalan di tingkat nasional, namun keinginan ini tidak sepenuhnya
pudar. Mereka seakan menemukan ruang lagi seiring dengan hadirnya politik
desentralisasi di bawah payung hukum UU Nomor 22/1999. Situasi ini memberi
peluang baru bagi kalangan ini untuk bisa menunjukkan ekspresi identitas
(keagamaan dan etnisitas) melalui perebutan ruang-ruang di tingkat lokal salah satu
ruang yang disasar itu adalah perjuangan formalisasi agama (syariah/injili) melalui
perda. Kebanyakan peraturan daerah itu lahir di daerah-daerah yang penduduknya
memeluk agama mayoritas dan mempunyai prinsip keagamaan yang kuat. Setelah
disentralisasi sampai sekarang telah lahir sejumlah peraturan daerah bernuansa
syariah diaras provinsi, kabupaten, dan kota di beberapa daerah. Dengan demikian
kita dapat mengatakan bahwa perda syariah sebentuk “islamisasi negara ditingkat
lokal”.
Ada sejumlah alasan yang dimunculkan dalam regulasi itu, antara lain ialah (a) untuk
mengembalikan identitas (otentisitas) lokal yang dihilangkan pada masa Orde Baru,
(b) hukum positif dianggap tidak mampu mengatasi problem sosial kemasyarakatan
(dekadensi moral privat) ; (c) desakan anggota parlemen dari parpol Islam seperti PPP
dan PBB, serta dari tokoh agama (Islam); (d) memperoleh dukungan dari kalayak
publik setempat dengan basis keagamaan.
Penyusunan regulasi formalisasi agama itu cenderung dilakukan secara elitis dan
oligarkis. Dalam arti tanpa melalui proses panjang dan terbuka untuk semua
masyarakat, bahkan bagi yang beragama Islam sekalipun, kecuali representasi elit-elit
ormas dan pusat keagamaan (Islam) seperti, pesantren, MUI, NU, dan
Muhammadiyah. Politisasi agama di tingkat lokal, antara lain melalui peraturan
daerah agama (syariah) itu, di samping memanfaatkan politik desentralisasi, juga
banyak didukung oleh posisi lemahnya negara yang juga diperburuk oleh krisis
ekonomi.
Politik identitas (termasuk) dengan mempolitisasi agama dapat dipakai terus menerus
sebagai alat untuk kepentingan elit dalam berbagai ujud, seperti gagasan-gagasan
dalam jangka panjang menengah (simbol kota santri), dan juga dapat berdampak
diskriminatif terhadap posisi perempuan. Dalam bagian lain, kebijakan publik dipakai
sebagai sarana kekuasaan yang memungkinkan terjadi penguatan politik identitas di
satu pihak dan juga melemahkan di pihak lain.
Bila ditarik ke belakang, politisasi agama yang terjadi akhir–akhir ini bukanlah hal
yang baru. Tapi terkait dengan dinamika kesejarahan Indonesia, yaitu relasi antara
agama dengan negara yang belum selesai. Imajinasi sebagian pihak untuk mendirikan
negara Islam pada masa lampau (baik masa paska kemerdekan-BPUPKI tahun 1945,
sidang MPRS 1968, dan SU MPR 2000-maupun masa kerajaan) seolah hadir kembali
dengan kehadiran sejumlah peraturan daerah syariah di baberapa daerah akhir-akhir
ini.
Etnisitas semakin menguat dan memperoleh tempatnya dalam dinamika politik lokal
di Indonesia seiring dengan penerapan sistem desentralisasi pasca tumbangnya Orde
Baru tahun 1998. Dalam perkembangan di Indonesia etnisitas telah mengalami proses
pemanipulasian oleh elit dan dijadikan instrumen perjuangan politik dan budaya untuk
memperebutkan kekuasaan. Di tingkat lokal terutama pada masyarakat di mana sistem
primordial etnis masih kuat berpengaruh, identitas etnik masih menjadi daya tawar
yang menarik.
Mengedepankan politik etnisitas sebagai alat negosiasi politik, bagi elit ternyata
masih dianggap sebagai sarana efektif untuk merealisasikan tujuan politiknya tetapi di
sisi lain upaya itu ternyata bisa menimbulkan dampak negatif berupa lahir dan
tumbuhnya benih-benih konflik horizontal antaretnis yang justru menjadi faktor
penghambat pencapai tujuan pembangunan.
Persoalan ini muncul ke permukaan karena masalah politik etnisitas ini telah
dijadikan komoditas politik oleh elit politik terutama paska otonomi daerah yang
cenderung memaksakan diri pemekaran daerah dan bahkan dalam tataran lebih
ekstrem politik identitas dijadikan alat kampanye politik untuk memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Konsep Multikulturalisme
Kemajemukan suku merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia yang sering
dibanggakan. Banyak orang yang belum juga menyadari bahwa kemajemukan
tersebut juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu adalah sangat penting untuk menanamkan
nilai-nilai multikultural sejak awal pada anggota masyarakat Indonesia, tentunya
melalui pendidikan (pembelajaran multicultural), agar mekanisme dan nilai-nilai
substantif (dalam demokrasi) dipahami secara benar. Sebab nilai-nilai multikultural
dan nlai-nilai demokrasi memuat nilai humanisme seperti keadilan, empati,
kebersamaan, dan mampu menerima perbedaan.
Dalam konteks membangun tatanan masyarakat dan tatanan sosial yang kokoh, nilai-
nilai kearifan yang dalam hal ini kearifan sosial dan kearifan budaya dapat dijadikan
sebagai tali pengikat dalam upaya bersosialisasi dan berinteraksi antar individu
dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok.
Dengan nilai kearifan sosial dan kearifan budaya, akan berusaha mengeliminir
berbagai perselisihan dan konflik budaya yang kurang kondusif. Tatanan kehidupan
sosial masyarakat yang multikultural akan terwujud dalam perilaku yang saling
menghormati, menghargai perbedaan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan dan menjaga satu dengan lainnya dalam prinsip-prinsip perbedaan
tersebut. Untuk itu, harus berusaha untuk mengeliminir atau menghilangkan hal yang
selalu menjadi emberio atau mendasari terjadinya konflik, yaitu [1] prasangka
historis, [2] diskriminasi, dan [3] perasaan superioritas in-group feeling yang
berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain [out-group].
Apabila ketiga hal tersebut tidak mampu dieliminir individu maupun kelompok, maka
konflik dan benturan antarindividu atau kelompok yang disebabkan oleh perbedaan
kepentingan, keinginan, visi, keyakinan dan tradisi, politik, idologi, agama akan
menjadi sesuatu legal dan lumrah dalam interaksi sosial, karena keringnya nilai-nilai
kemanusiaan (humanis), keringnya niai-nilai kearifan sosial, keringnya nilai-nilai
kearifan budaya dan keringnya nilai-nilai kearifan moral dalam relasi antarsesama
manusia baik secara individu maupun kelompok. Jadi pada tahap ini, komitmen pada
nilai-nilai tersebut tidak dapat dipandang hanya berkaitan dengan eksklusivisme
personal dan sosial saja atau dengan superioritas kultural saja, tetapi lebih jauh lagi
dengan persoalan kemanusiaan (humanness), komitmen dan kohesi kemanusiaan
termasuk di dalamnya melalui toleransi, saling menghormati hak-hak personal dan
komunanikasi. Ketika manusia berhadapan dengan simbol-simbol, nilai-nilai,
doktrin-doktrin, prinsip-prinsip dan pola tingkah laku, sesungguhnya mengungkapkan
dan sekaligus mengidealisasikan komitmen kepada kemanusiaan – baik personal
mapun komunal – dan kebudayaan yang dihasilkannya. Multikulturalisme dapat pula
dipahami sebagai ”kepercayaan” kepada normalitas dan penerimaan keragaman.
Konsep multikulturaliems seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi
bagi kewarganegaraan yang berkeadaban.
Konsep multikulturalisme yang diartikan para ahli sangat beragam antara satu dengan
yang lainnya. Walaupun ada perbedaan, tapi pandangan mereka tentang
multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan terhadap dunia yang kemudian
diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas dan multikultural yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dipahami sebagai pandangan dunia
yang kemudian diwujudkan dalam politics of recognition. Parekh, 1997:183-185,
dalam Azyumardi33, membedakan lima macam bentuk multikulturalisme dan tentu
saja kelima bentuk multikulturalisme itu tidak “kedap air” [watertight], tetapi
sebaliknya dapat saja tumpang tindih satu dengan lainnya dalam segi-segi tertentu,
yaitu :
Pendidikan interkultural lebih berkaitan dengan kultur dan agama, daripada dengan
warna kulit atau kebiasaan. Pada contoh kasus di atas, warna kulit yang menjadi
persoalan diskriminasi. Pendidikan interkultural harus secara benar diposisikan dalam
melawan diskriminasi karena warna kulit maupun kultur dan agama maupun
kelompok minoritas.
Mengacu pada pendapat Paul Gorski, dalam Muhaemin El-Mahadi, kurang lebih ada
lima pendekatan dalam pendidikan multikultural.
Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan
bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi
kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat
sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan
membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di
dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka
yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan
istilah lain masyarakat.
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat.
Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Masyarakat
tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan
selalu berkembang, 2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk
memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya
memenuhi kebutuhan, 3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya
bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut
dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial, 4) Setiap masyarakat bertanggung
jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang
membentuk masyarakat, 5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan
dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk
bertanggung jawab terhada tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat
besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian
individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan
sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses
pendidikan.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral
terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan
timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan
masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan
pendidikan.
Rangkuman :
Munculnya berbagai konflik di tanah air sebenarnya merupakan ekses langsung dari
praktek otonomi daerah. Gejala tersebut dapat dipahami karena pelaksanaan otonomi
daerah yang pertama diberlakukan di tengah-tengah krisis ekonomi yang amat parah.
Kedua, otonomi daerah diberlakukan di tengah-tengah euphoria masyarakat, yakni
semangat dan rasa percaya diri yang tinggi bahwa masyarakat yang seringkali bersifat
kekerasan dan melewati batas-batas kewajaran.
Seperti yang dikatakan oleh Myron Weiner8, masalah hampir semua negara
berkembang adalah bagaimana “menghapus” kesetiaan-kesetiaan lokal menuju
kepada ikatan yang tidak sempit untuk menciptakan integrasi bangsa dan membentuk
integrasi nasional. Memang nampaknya agak rumit bagi negara-negara yang beragam
seperti Indonesia ini untuk menciptakan integrasi yang mantap. Masalahnya adalah
bahwa sentimen-sentimen primordial tidak dapat dihapus. Dalam hal ini yang dapat
dilakukan adalah bagaimana mewadahi kesetiaan-kesetian lokal tersebut dalam
kerangka negara nasional. Weiner selanjutnya mengatakan bahwa, salah satu cara
menciptakan integrasi nasional adalah, The establishment of national loyalties
eliminating subordinate cultures—the policy of “ unity in diversity” politically
characterized by “ethnic arithmetic”. Kemudian selanjutnya Weiner mengatakan “…
It remains to be seen whether the ideal of unity and diversity . that is political unity
and cultural diversity can be the foundation for modern states. Perhaps the most
promising prospects are those in which no single ethnic groups dominates…”.
Komentar :
Artikel yang di buat dengan maksud yang baik, tetapi artikel ini membosankan karena tidak
terdapat poin yang mewakili setiap tulisan, artikelnya terlalu bertele tele dalam penggunaan
bagasa
Artikel IV
1. Keadaan Geografis
Keadaan geografis wilayah indonesia yang terdiri lebih dari 17 ribu pulau dan tersebar
di suatu daerah equator sepanjang kurang lebih 300 mil dari timur ke barat dan lebih dari
1000 mil utara ke selatan , merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
tercapainya multikultural suku bangsa di indonesia. Pendatang terutama di kepulauan
indonesia sekitar 20.000 tahun yang lalu. Menyusul kemudian ras melanesean negroid
pada sekitar 10.000 tahun yang lalu. Kehadiran ras-ras itu terjadi pada zaman mesolithicur.
Terakhir datang ras Malayan Mongoloid melalui 2 periode, zaman neolithikhum dan
zaman logam, sekitar tahun 2500 tahun sebelum masehi. Ras austroloid kemudian pergi ke
australia dan sisa-sisanya ada di nusa tenggara timur dan papua ras melanesian negroid
tingal di maluku dan papua. Sedangkan ras malayan mongoloid tinggal di indonesia
bagian barat. Ras-ras tersebut yang kemudian disebut bangsa indonesia dalam bentuk
keanekaragaman suku bangsa setelah melalui proses amal gamasi dan isolasi.
Kondisi geografis yang telah mengisolir penduduk yang menempati pulau dan daerah
menumbuhkan kesatuan suku bangsa yang berbeda-beda. Mereka mengembangkan mitos-
mitos tentang usul-usul keturunan dan nenek moyangnya.
Letak indonesia yang strategis antara samudra hindia dan pasifik sangat mempengaruhi
proses multikultural, seperti unsur kebudayaan dan agama. Kepulauan indonesia
merupakan jalur lalu lintas perdagangan antara india, cina ,dan wilayah asia tenggara.
Melalui para pedagang asing pengaruh kebudayaan dan agama masuk ke wilayah
indonesia. Daerah penyeberan kebudayaan dan agama yang tidak merata menyebabkan
terjadinya proses multikultural unsur kebudayaan dan agama. Pengaruh agama dan
kebudayaan hindhu-budha pada awal tarikh masehi hanya berkembang di wilayah
indonesia barat. Pengaruh kebudayaan china terutama hanya terjadi di daerah pantai dan
kota-kota dagang. Pengaruh kebudayaan china terutama hanya terjadi di daerah pantai dan
kota-kota dagang. Pengaruh ajaran islam berkembang pada abad ke-13, terutama di
indonesia bagian barat dan sebagian dari maluku . Pengaruh kolonial portugis dengan
agama katoliknya terjadi terutama di wilayah nusa tenggra timur. Pada abad ke-16
Belanada datang dan pada abad ke-17 mengembangkan agama kristen dan katolik di
beberapa daerah di sumatra, kalimantan, sulawesi, maluku, papua dan kota-kota besar di
jawa.
4. Intregasi Nasional yang Berasal dari Kelompok Suku Bangsa yang Beraneka Ragam
Integrasi suku bangsa dalam kesatuan nasional menjadi bangsa indonesia dsalam
kesatuan wilayah negara indonesia. Paling tidak di picu oleh empat peristiwa penting,
yaitu sebagai berikut :
a) Kerajaan sriwijaya (Abad ke VII) dan majapahit (Abad ke XIII)telah mempersatukan
suku bangsa- suku bangsa indonesia dalam kesatuan politis , ekonomis ,dan sosial.
b) Kekuasaan kolonialisme belanda selama tiga setengah abad telah menyatukan suku
bangsa- suku bangsa di indonesia dalam satu kestuan nasib dan cita-cita
c) Selama periode pergerakan nasional ,para pemuda indonesia telah menolak
menonjolkan isu ke suku bangsaan dan melahirkan sumpah pemuda yang terkenal pada
tahun 1928 .Bahkan , bahasa milik suku minoritas melayu riau telah ditetapkan sebagai
bahasa nasional(bukan bahasa milik suku mayoritas jawa)
d) Proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 agustus 1945 yang mendapat dukungan
dari semua suku bangsa di indonesia yang mengalami nasib yang sama di bawah
penjajahan belanda dan jepang .
Walaupun integrasi secara nasional telah terbentuk (secara politis), tetapi dalam
kenyataanya bangsa indonesia selalu mengalami konflik-konflik secara internal
(SARA). Berdasarkan latar belakang timbulnya masyarakat multikultural di indonesia ,
maka kelompok-kelompok sosial yang tumbuh pun beranekaragam seperti kelompok
etnis (suku bangsa) agama ataupun kelompok berdasarkan stratifikasi sosialnya.
Ringkuman
1. Keadaan Geografis
2. Letak Wilayah yang Strategis.
3. Kondisi Iklim yang Berbeda
4. Intregasi Nasional yang Berasal dari Kelompok Suku Bangsa yang
Beraneka Ragam
Komentar :
Artikelnya bagus, sesuai dengan apa yang dicari singkat padat dan jelas
Artikel V
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang
berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi
pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan
yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat, hal ini terjadi karena kebanyakan
masyarakat Indonesia belum memahami apa itu konsep multikulturalisme dan tiap sukunya memiliki
identitas diri yang sangat kuat. Hal ini menyebabkan tiap suku saling mempertahankan budayanya
sendiri dan membentuk perisai bagi suku lain sehingga kurang terbentuknya ikatan sosial antar suku
yang satu dengan suku yang lain. Sebagai contoh, orang Aceh yang tinggal di pulau Jawa kemudian
menjadi pengusaha sukses akan cenderung memilih dan menerima pegawai yang merupakan orang
Aceh walaupun ketrampilannya kurang (jauh di bawah) orang Jawa yang juga melamar pekerjaan di
perusahaan tersebut.
Fenomena tersebut terjadi karena sesama masyarakat Aceh memiliki ikatan/ hubungan emosional
yang sangat kuat serta kecenderungan untuk mempertahankan identitas yang tinggi. Hal seperti inilah
yang membuat masyarakat Indonesia mudah dipecah belah, mudah diadu domba, mudah di rusak,
karena pada diri setiap masyarakat Indonesia belum memiliki rasa identitas yang kuat sebagai
masyarakat indonesia, belum memiliki kedekatan/ikatan emosional dengan sesama masyarakat
indonesia. Mereka hanya memiliki identitas yang kuat dan ikatan emosional antar sesama suku
mereka (misal antar orang Jawa dengan orang Jawa), bukan antar suku Jawa dengan suku lainnya.
Dari fenomena ini terlihat bahwa dari berbagai macam suku yang ada di Indonesia, ternyata beberapa
masyarakat dari tiap sukunya belum dapat memahami, menerima, dan menghargai suku lainnya yang
berbeda darinya. Padahal mereka berada dalam satu nama, satu wilayah, satu bangsa, satu bahasa,
yaitu Indonesia.
Rangkuman
Dari penjelasan diatas maka dapat saya simpulkan bahwa memahami multikulturalisme itu sangatlah
penting. Selain kita dapat memahami, menerima dan menghargai keragaman budaya yang ada, kita
juga dapat memperkuat ikatan emosional antar suku dari budaya yang berbeda.
Komentar
Artikel VI
Sejarah Multikulturalisme
Ringkasan :
monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-
bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya
kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk
menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara
itu, asimilasia dalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan
yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah
kebudayaan baru
komentar
artikel ini cukup memberikan informasi yang ingin di ketahui pembaca
Artikel VII
Model multikulturalisme:
Artikel VII
Indonesia adalah negara yang termasuk punya masyarakat yang bisa disebut masyarakat multikultural.
Hal yang perlu kita pelajari ialah bagaimana ketika kita telah menjadi bagian dari mayoritas tetapi
tidak menindas atau mendiskriminasi terhadap kaum yang minoritas disitulah poin penting dari
pembelajaran tentang masyarakat multikultural manurut saya. Demikian adalah Ciri Ciri Masyarakat
Multikultural Lengkap
Rangkuman :
Indonesia adalah negara yang termasuk punya masyarakat yang bisa disebut masyarakat
multikultural. Hal yang perlu kita pelajari ialah bagaimana ketika kita telah menjadi bagian
dari mayoritas tetapi tidak menindas atau mendiskriminasi terhadap kaum yang minoritas
disitulah poin penting dari pembelajaran tentang masyarakat multicultural
Komentar
Artikel ini bagus, dan sangat mudah di pahami oleh para pembaca
Artikel IX
kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi satu sama
lain. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha
Contoh :
4. Suku Mascho Piro yang hidup di Taman Nasional Manu, tenggara Peru.
5. Suku Korowai, mereka tinggal di Papua New Guinea dan budaya mereka masih tetap
2. Multikulturalisme Akomodatif
sensitif secara kutural dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk
Contoh :
a) Di negara Inggris membantu integrasi para imigran dan kaum minoritas, menghilangkan berbagai
b) Perancis menerapkan izin waktu bagi para umat Muslim untuk shalat dan beribadah di saat waktu kerja.
c) Banyaknya negara – negara di Eropa sudah menerapkan label “Halal” pada makanan yang mereka jual,
d) Di negara Indonesia yang masyarakatnya mayoritas umat bergama Islam, tapi dalam membentuk
undang – undang sesuai atau tidak menganggu hak dan kewajiban dari pemeluk agama lain.
e) Di negara – negara Eropa, pemerintahnya sudah mulai menerapkan kurikulum pendidikan agama Islam
ke setiap sekolah yang membutuhkan. Serta mengizinkan pendirian sekolah – sekolah Islam.
3. Multukulturalisme Otonomis
dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif
bisa diterima. Fokus pokok kelompok ini adalah untuk mempertahankan cara hidup
mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang
kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua
Contoh :
b) Negara Indonesia yang kaum mayoritasnya menginginkan negara dengan tegaknya syariat
Islam.
penjualan dan bukanya rumah makan selama bulan puasa. Padahal banyak juga
Contoh :
a) Nelson Mandela salah satu tokoh yang menolak politik kulit hitam / “APARTHEID” yang
b) Gus Dur mantan presiden Indonesia yang memperjuangkan hak warga kaum Tioghoa
c) Pendeta Martin Luther King, Jr., Ph.D. M enentang diskriminasi terhadap orang-orang
kulit hitam.
d) Hajjah Rangkayo Rasuna Said, ia memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan
wanita.
e) Prof. Dr. Nurcholish Madjid biasa dipanggil Cak Nur mendukung konsep kebebasan
dalam beragama, namun bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai
kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh
5. Multikulturalisme Kosmopolitan
masyarakat dimana setiap individu tidak lagi terkait pada budaya tertentu, dan
Contoh :
a) Masyarakat yang ada di negara Amerika Serikat, sebagian besar masyarakatnya yang
terdiri berbagai macam suku bangsa sudah mulai meninggalkan budaya ke-sukuan. Justru
timbul budaya multikultural baru yaitu, : Haloween, Thanksgiving dan lain – lain.
c) Di negara Perancis, ada sebuah kawasan pantai dimana para pengunjungnya diperbolehkan
d) Di negara Amerika Serikat dan Eropa sudah banyak masyarakatnya dapat tinggal satu
rumah pria dan wanita walaupun belum terikat status pernikahan yang sah.
Rangkuman
Jenis – Jenis Multikulturalisme
1) Multikulturalisme Isolasionis
2) Multikulturalisme Akomodatif
3) Multukulturalisme Otonomis
4) Multikulturalisme Kritikal atau Interaktif
5) Multikulturalisme Kosmopolitan
Komentar :
Artikel yang di buat baik dan sangat menarik
Artikel X
Faktor pendukung & penghambat indonesia yang multikultural
Faktor pendukung : Aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculya potensi-potensi
budaya baru sebagai kekuatan bangsa.
Faktor pnghambat :
a. Menganggap budaya sendiri yang paling baik. Pengakuan terhadap budaya sendiri
yang berlebihan dapat mengarah kepada kencintaan pada diri sendiri atau kelompok.
b. Pandangan yang paternalistis. Ada banyak peneliti dan pengamat budaya dari kaum
laki-laki yang masih menganut paham paternalis. Hal ini menimbulkan bias terhadap
perempuan. Hingga saai ini, masih banyak masyarakat memandang status perempuan
sebagai sesuatu yang minor dan disubordinasikan dari peran laki-laki.
c. Pandangan negatif penduduk asli terhadap orang asing yang dapat berbicara
mengenai kebudayaan penduduk asli.
Rangkuman :
Faktor pendukung : Aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculya potensi-potensi
budaya baru sebagai kekuatan bangsa.
Faktor pnghambat :
Komentar :
Artikel yang di buat bagus dan sangat kreatif kerena member tahu pembaca tentang faktor
pendukung dan faktor penghambat