Anda di halaman 1dari 38

Artikel I

Pengertian Masyarakat Multikultural

a. Pengertian Masyarakat Multikultural Menurut Furnival


Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas 2 atau lebih
komunitas (kelompok) yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta
memiliki struktur kelembagaan yang berbeda antara yang satu sama lainnya.

Menurut ilmuan ini, berdasarkan konfigurasi dan komunitas etnik dibedakan menjadi
4 kategori yaitu:

1) Masyarakat majemuk dgn kompetisi seimbang adalah masyarakat majemuk yang


tersusun oleh sejumlah komunitas/ etnik yang memiliki kekuatan kompetitif tidak
yang kurang lebih seimbang.
2) Masyarakat majemuk dgn mayoritas dominan adalah masyarakat majemuk yang
tersusun oleh sejumlah komunitas etnik dgn kekuatan kompetitif lebih besar dari
pada kelompok yang lainnya. dgn kata lain bahwa suatu kelompok etnis mayoritas
mendominasi kompetisi politik atau ekonomi sehingga posisi kelompok-kelompok
yang lain menjadi lebih kecil.
3) Masyarakat mejemuk dgn minoritas dominant adalah suatu masyarakat di mana
satu kelompok etnik minoritas memilili keunggulan kompetitif yang luas sehingga
mendominasi kehidupan politik atau ekonomi masyarakat.
4) Masyarakat majemuk dgn fragmentasi adalah masyarakat yang terdiri dari
sejumlah kelompok etnik, namun semuanya dalam jumlah yang kecil sehingga
tidak ada satu kelompok pun yang memiliki posisi politik atau ekonomi yang
dominant terhadap yang lainnya.

b. Pengertian Masyarakat Multikultural Menurut Pierre L. Van den Berghe


Beliau secara khusus tidak mendefinisikan mengenai masyarakat multikultural namun
hanya mengungkapkan tentang karakteristik yang menjadi sifat-sifat masyarakat
multikultural yaitu sebagai berikut.

 Terjadi segmentasi ke dalam kelompok sub budaya yang saling berbeda.


 Memiliki struktur yang terbagi ke dalam lembaga non komplementer.
 Kurang mengembangkan konsensus di antara anggota terhadap nilai yang bersifat
dasar.
 Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling tergantung secara
ekonomi.
 Adanya dominasi politik suatu kelompok atas kelompok lain.

c. Pengertian Masyarakat Multikultural Menurut Dr. Nasikun


Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang menganut berbagai sistem nilai
yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah
sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas
terhadap masyarakat sebagai suatu keselutuhan, kurang memiliki homogenitas
kebudayaan, atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar utk saling memahami satu
sama lain.
Masyarakat Indonesia yang Multikultural

Indonesia merupakan negara yang kaya, baik dalam bentuk kekayaan sumber daya alam atau
kekayaan sumber daya sosial. Walaupun negara Indonesia mempunyai tingkat kemajemukan
yang tinggi namun tetap kokoh sebagai suatu kesatuan, karena didasarkan pada semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Namun demikian, tidak berarti pada masyarakat Indonesia tidak terjadi
gejolak-gejolak yang mengarah kepada pepecahan dalam segala bidang kehidupan.
Kebhinekaan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari dua cara yaitu.

a. Secara Horizontal (Diferensiasi)

1). Perbedaan Fisik atau ras


Penduduk Indonesia jika didasarkan pada perbedaan fisik atau rasnya, maka dapat di
kelompokkan menjadi:

 Golongan orang Mongoloid. Bertempat tinggal di sebagian besar kepulauan


Indonesia, khususnya di kepulauan Sunda besar (kawasan Indonesia Barat), dgn ciri-
ciri rambut ikal dan lurus, muka agak bulat, kulit putih hingga sawo matang.
 Golongan orang Papua Melanosoid. Merupakan golongan penduduk yang bermukim
di pulau Papua, Kei dan Aru. Mereka mempunyai cirri fisik seperti rambut keriting,
bibir tebal, dan berkulit hitam.
 Golongan Vedoid, antara lain orang-orang Kubu, Sakai, Mentawai, Enggano,dan
Tomura dgn ciri-ciri fisik bertubuh relative kecil, kulit sawo matang,dan rambut
berombak.

2). Perbedaan suku bangsa


Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan suku bangsa, ada sekitar 300an suku
bangsa dgn jumlah setiap sukunya beragam, mulai dari beberapa ratus orang saja hingga
puluhan juta orang. Suku yang mempunyai populasi terbanyak antara lain suku Jawa,
Sunda, Dayak, Batak, Minang, Melayu, Aceh, Manado, dan Makasar. Selain itu, terdapat
pula suku bangsa yang jumlah penduduknya hanya sedikit, misalnya suku Nias, Kubu,
Mentawai,Asmat dan suku lainnya.

3). Perbedaan agama


Kepercayaan aninisme dan dinanisme adalah kepercayaan yang paling tua dan
berkembang sejak zaman prasejarah, sebelum bangsa Indonesia mengenal tulisan.
Agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia dari daratan India sekitar pada abad ke 5
SM, bukti-bukti tertulisnya ditemukan di kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) dan
kerajaan Tarumanegara (Bogor). Agama Islam datang dari Arab Saudi melalui India
Selatan di abad ke-7. Agama Islam menjadi agama terbesar dan dianut oleh sebagian
besar penduduk Indonesia. Orang Eropa datang ke Indonesia pada awal abad ke-19 dgn
membawa agama Nasrani yang kemudian hari juga banyak dianut oleh penduduk
Indonesia.

4). Perbedaan jenis kelamin


Perbedaan jenis kelamin adalah sesuatu yang sangat alami. Perbedaan seperti ini tidak
menunjukkan adanya tingkatan atau perbedaan kedudukan dalam sistem sosial.
Anggapan superior bagi laki-laki dan inferior bagi perempuan adalah tidak benar.
Masing-masing mempunyai peran dan tanggung jawab yang saling membutuhkan dan
melengkapi.

b. Secara Vertikal (Stratifikasi)


Perbedaan vertikal yaitu perbedaan individu atau kelompok dalam tingkatan-tingkatan
secara hierarki, atau perbedaan dalam kelas-kelas yang berbeda tingkatan dalam suatu
sistem sosial. Perbedaan secara vertikal ini dikenal dgn nama stratifikasi. Keanekaragaman
dalam tingkat atau kelas sosial ini disebabkan oleh adanya sifat yang menghargai atau
menjunjung tinggi sesuatu baik berkenaan dgn barang-barang kebutuhan, kekuasaan
dalam masyarakat, keturunan, dan pendidikan tertentu yang dapat dicapai seseorang.

Ringkasan artikel
Masyarakat multikultural dikemukakan oleh beberapa ahli

a. Menurut Furnival
b. Menurut Pierre L. Van den Berghe
c. Menurut Dr. Nasikun

Masyarakat Indonesia yang Multikultural

Indonesia merupakan negara yang kaya, baik dalam bentuk kekayaan sumber daya alam atau
kekayaan sumber daya sosial. Walaupun negara Indonesia mempunyai tingkat kemajemukan
yang tinggi namun tetap kokoh sebagai suatu kesatuan, karena didasarkan pada semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Namun demikian, tidak berarti pada masyarakat Indonesia tidak terjadi
gejolak-gejolak yang mengarah kepada pepecahan dalam segala bidang kehidupan.
Kebhinekaan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari dua cara yaitu.

1. Secara Horizontal (Diferensiasi)


a) Perbedaan Fisik atau ras
b) 2). Perbedaan suku bangsa
c) 3). Perbedaan agama
d) Perbedaan jenis kelamin

2. Secara Vertikal (Stratifikasi)


Perbedaan vertikal yaitu perbedaan individu atau kelompok dalam tingkatan-tingkatan
secara hierarki, atau perbedaan dalam kelas-kelas yang berbeda tingkatan dalam suatu
sistem sosial. Perbedaan secara vertikal ini dikenal dgn nama stratifikasi.

Komentar :
Artikel yang di buat cukup menarik, tapi sayangnya artikel ini masi terdapat singkatan
misalnya dengan menjadi dgn
Artikel II

Masyarakat multicultural :
Merupakan suatu masyarakat yang terdiri atas banyak struktur kebudayaan.Hal
tersebut disebabkan karena banyaknya suku bangsa yang memilik struktur budaya sendiri
yang berbeda dengan budaya suku bangsa yang lainnya.

Pendapat dari beberapa ahli tentang pengertian masyarakat multicultural :

1. J.S. Furnivall menyatakan bahwa masyarakat majemuk adalah suatumasyarakat yang


terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri- sendiri,tanpa ada pembauran
satu sama lain di dalam satu kesatuan politik.
2. Clifford Geertz menyatakan bawah masyarakat majemuk merupakanmasyarakat yang
terbagi ke dalam subsistem2 yang lebih kurang berdiri danmasing2 subsistem terikat
oleh ikatan2 primordial.
3. J.Nasikun menyatakan bahwa suatu masyarakat bersifat majemuk sejauhmasyarakat
tersebut secara struktural memiliki subkebudayaan2 yg bersifat deverseyang di tandai
oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati olehseluruh anggota
masyarakat dan juga sistem nilai dari kesatuan2 sosial, serta seringmunculnya
konflik2 sosial.

Ciri-ciri masyarakat multicultural :


a) mempunyai struktur budaya lebih dari satu
b) nilai2 dasar yang merupakan kesepakatan bersama sulit berkembang.
c) sering terjadi konflik2 sosial yang berbau SARA.
d) struktur sosialnya lebih bersifat nonkomplementer.
e) proses integrasi yg terjadi berlangsung secara lambat.
f) sering terjadi dominasi ekonomi, politik, dan sosial budaya.

Faktor2 penyebab timbulnya Masyarakat Multikultural :


- Keadaan geografis.
- Pengaruh kebudayaan asing.
- Kondisi iklim yang berbeda.

Masyarakat Majemuk dan Masyarakat Multikultural


Dalam m a s ya r a k a t majemuk manapun, mereka ya n g
t e r g o l o n g sebagai minoritas selalu didiskriminasi. Ada yang
didiskriminasis e c a r a legal dan formal, seperti yang terjadi di
n e g a r a A f r i k a Selatan sebelum direformasi atau pada jaman penjaajhan Belandadan
penjaajhan Jepang di Indonesia. Dan, ada yang didiskriminasis e c a r a s o s i a l d a n b u d a ya
dalam bentuk kebijakan pemerintah n a s i o n a l dan pemerintah
setempat seperti yang terjadi d i Indonesia dewasa ini. Dalam
tulisan singkat ini akan ditunjukkanbahwa perjuangan hak-hak minoritas hanya
mungkin berhasil jikamasyarakat majemuk Indonesia kita perjuangkan untuk
dirubahm e n j a d i masyarakat multikultural. Karena dalam
m a s y a r a k a t multikultural itulah, hak-hak untuk berbeda diakui dan
dihargai. T u l i s a n i n i a k a n d i m u l a i d e n g a n p e n j e l a s a n m e n g e n a i
apa itum a s y a r a k a t I n d o n e s i a m a j e m u k , y a n g
s e r i n g k a l i s a l a h diidentifikasi oleh para ahli dan orang awam sebagai
masyarakatm u l t i k u l t u r a l . Uraian berikutnya adalah
mengenai d e n g a n penjelasan mengenai apa itu golongan minoritas
dalam kaitanatau p e r t e n t a n g a n n ya dengan golongan dominan, dan
disusuld e n g a n penjelasan mengenai multikulturalisme. Tulisan
a k a n d i a k h i r i d e n g a n s a r a n m e n g e n a i b a g a i m a n a m e m p e r j u a n g k a n hak-hak
minoritas di Indonesia.

Masyarakat Majemuk dan Multikultural Indonesia


M a s y a r a k a t m a j e m u k t e r b e n t u k d a r i
d i p e r s a t u k a n n y a masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem
nasional, yangb i a s a n y a dilakukan secara paksa (by force)
menjadi sebuahbangsa dalam wadah negara. Sebelum
Perang Dunia kedua,masyarakat-masyarakat negara jajahan
a d a l a h c o n t o h d a r i m a s ya r a k a t m a j e m u k . S e d a n g k a n s e t e l a h P e r a n g
Dunia k e d u a contoh-contoh dari masyarakat majemuk antara lain,
Indonesia,M a l a ys i a , Afrika Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri ya n g
m e n yo l o k d a n kritikal dari m a s ya r a k a t majemuk adalah hubungan
a n t a r a sistem nasional atau pemerintah nasional dengan masyrakat sukub a n g s a , d a n
h u b u n g a n d i a n t a r a m a s ya r a k a t s u k u b a n g s a ya n g d i p e r s a t u k a n o l e h
sistem nasional. Dalam perspektif hubngankekuatan, sistem nasional
a t a u p e m e r i n t a h a n n a s i o n a l a d a l a h yang dominan dan masyarakat -masyarakat
suku bangsa adalahm i n o r i t a s . Hubungan antara pemerintah
nasional d e n g a n masyarakat suku bangsa dalam
masyarakat jajahan s e l a l u diperantarai oleh golongan perantara,
yang posisi ini di hindia B e l a n d a d i p e g a n g o l e h g o l o n g a n C i n a ,
A r a b , d a n T i m u r A s i n g lainnya untuk kepentingan pasar. Sedangkan para sultan dan
rajaatau para bangsawan yang disukung oleh para birokrat (priyayi) d i g u n a k a n
untuk kepentingan pemerintahan dan penguasaan. A t a u d i p e r c a y a k a n
kepada para bangsawan dan priyayi untuk
kelompok-kelompok suku bangsa yang digolongkan
s e b a g a i terbelakang atau primitif.D a l a m m a s ya r a k a t majemuk dengan
d e m i k i a n a d a p e r b e d a a n - p e r b e d a a n s o s i a l , b u d a ya , d a n p o l i t i k ya n g
dikukuhkan sebagai h u k u m ataupun sebagai konvensi sosial
y a n g m e m b e d a k a n mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan
dariyang minoritas. Dalam masyarakat Hindia Belanda, pemerintahnasional atau
penjajah mempunyai kekutan iliter dan polisi yang d i b a r e n g i d e n g a n
k e k u a t a n h u k u m u n t u k m e m a k s a k a n kepentingan-
kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber dayaa l a m d a n m a n u s i a . D a l a m
struktur hubungan kekuatan yang b e r l a k u secara nasional,
d a l a l m p e n j a j a h a n h i n d i a B e l a n d a terdapat golongan yang paling dominan
yang berada pada lapisant e r a t a s , ya i t u o r a n g B e l a n d a d a n o r a n g k u l i t p u t i h ,
disusul oleho r a n g Cina, Arab, dan Timur asing l ainnya, dan
k e m u i a n y a n g t e r b a w a h a d a l a h m e r e k a ya n g t e r g o l o n g p r i b u m i . M e r e k a
y a n g tergolong pribumi digolongkan lagi menjadi yang tergolong
telahm e n g a n l p e r a d a b a n d a n m e r a k a y a n g b e l u m
m e n g e n a l peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur yang
berlakun a s i o n a l ini terdapat struktur-struktur hubungan
kekuatandominan-minoritas yang bervariasi sesuai
k o n t e k s - k o n t e k s hubungan dan kepentingan yang berlaku.D a l a m masa
pendudukan Jepang di Indonesia, p e m e r i n t a h penajajahan
Jepang yang merupakan pemerintahan milit er telahmemposisikan diri sebagai
kekuatan memaksa yang maha besar
dalam segala bidang kehidupan m a s ya r a k a t suku bangsa
yangd i j a j a h n y a .
D e n g a n k e r a k u s a n n y a y a n g l u a r b i a s a , s e l u r u h w i l a ya h
j a j a h a n J e p a n g d i I n d o n e s i a d i e k s p l o i t a s i s e c a r a h a b i s habisan baik yang
berupa sumber daya alam fisik maupun sumberd a ya m a n u s i a n ya ( i n g a t R o m u s h a ) ,
y a n g m e r u p a k a n k e l o m p o k minoritas dalam perspektif penjajahan Jepang. Warga
masyarakatHindia Belanda yang kemudian menjadi warga penjajahan
Jepangmenyadari pentingnya memerdekakan diri dari penjajahan Jepangy a n g a m a t
m e n ye n g s a r a k a n m e r e k a , e m m e r d e k a k a n d i r i p a d a tanggal 17 agustus tahun
1945, dipimpin oleh Soekarno-Hatta.Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,
yang disemangatio l e h Sumpah Pemuda tahun 1928,
sebetulnya merupakanterbentuknya sebuah bangsa
dalam sebuah negara yaitu I n d o n e s i a t a n p a a d a
u n s u r p a k s a a n . P a d a t a h u n - t a h u n penguasaan dan
pemantapan kekuasaan pemerintah nasional b a r u l a h muncul
sejumlah pemberontakan kesukubangsaan-k e yakin an
keagamaan terhadap pemerintah nasional
a t a u pemerintah pusat, seperti yang dilakukakn oleh DI/TII di
j a w a Barat, DI/TII di Sulawesi Selatan, RMS, PRRI di Sumatera Barat danS u m a t e r a
Selatan, Permesta di Sulawesi Utara, dan
berbagaip e m b e r o n t a k a n dan upaya memisahkan diri
d a r i R e p u b l i k Indonesia akhir-akhir ini sebagaimana yang terjadi di
Aceh, diRiau, dan di Papua, ya n g harus diredam secara militer.
B e g i t u juga dengan kerusuhan berdarah antar suku bangsa yang terjadidi
kabupaten Sambas, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan M a l u k u y a n g
harus diredam secara paksa. Kesemuanya i n i menunjukkan
adanya pemantapan pemersatuan negara Indonesiasecara paksa, yang disebabkan oleh
adanya pertentangan antaras i s t e m n a s i o n a l d e n g a n m a s ya r a k a t s u k u b a n g s a
dan konflik dia n t a r a m a s y a r a k a t - m a s y a r a k a t s u k u b a n g s a d a n
k e y a k i n a n keagamaan yang berbeda di Indonesia.D a l a m era
diberlakukannya otonomi daerah, siapa
y a n g sepenuhnya berhak atas sumber daya alam, fisik, dan
s o s i a l budaya, juga diberlakukan oleh pemerintahan lokal, yang dikuasaidan didominasi
administrasi dan politiknya oleh putra daerah ataum e r e k a ya n g s e c a r a s u k u b a n g s a
a d a l a h s u k u b a n g s a ya n g a s l i setempat. Ini berlaku pada tingkat provinsi
maupun pada tingkatk a b u p a t e n dan wilayah administrasinya.
Ketentuan otonomid a e r a h ini menghasilkan golongan
dominan dan g o l o n g a n minoritas yang bertingkat-tingkat sesuai dengan
kesukubangsaany a n g bersangkutan. Lalu apakah itu dinamakan
m i n o r i t a s d a n dominan?

Ringkasan artikel

Masyarakat multikultural dikemukakan oleh beberapa ahli

1. J.S. Furnivall.
2. Clifford Geertz
3. J.Nasikun

Komentar :
Artikel ini baik tetapi bagian bawahnya membuat pembaca malas membacanya karena
tulisannya berantakan dan membuat mata sakit

Artikel III
Membangun Nilai-Nilai Kebhineka Tungglikaan melalui pendidikan
multikultural di sekolah

Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk, beragam sosial, etnis, budaya, agama, aspirasi
politik dan lain sebagainya, sehingga bangsa Indonesia sering disebut sebagai bangsa
multikultural. Pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan
mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebhine-katunggalikaan yang dapat menjadi
"integrating force" yang dapat mengikat seluruh keragaman etnis, budaya, dan agama”.

Kesadaran tentang multikulturalisme sudah muncul sejak negara Republik Indonesia


terbentuk dan digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa
Indonesia. Tetapi, bagi bangsa Indonesia masa kini konsep multikulturalisme menjadi sebuah
konsep baru dan asing. Karena kesadaran multikulturalisme yang dibentuk oleh pendiri
bangsa ini tidak terwujud pada masa Orde Baru. Kesadaran tersebut dipendam atas nama
persatuan dan stabilitas negara yang kemudian muncul paham mono-kulturalisme yang
menjadi tekanan utama dan akhirnya semuanya memaksakan pola yang berkarakteristik
”penyeragaman” berbagai aspek, sistem sosial, politik dan budaya, sehingga sampai saat ini
wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah.

Perbedaan budaya, agama, aspirasi politik, kepentingan, visi dan misi, keyakinan, dan tradisi
merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal yang kadang-kadang juga
menjadi perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Maka dapat dikatakan bahwa berbagai
kekisruan etnis yang merebak dibanyak tempat di wilayah Negara Kesatauan Republik
Indonesia, merupakan akibat dari rendahnya kesadaran dan wawasan multikulturalime.

Saat ini kita mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan
sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai multikulturalis. Melalui
pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Indonesia akan berhasil membentuk
bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat kebhinekatunggalikaan.
Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui
sistem pendidikan pada suatu masyarakat.

Tekanan multikulturalisme bisa kita transfer ke dalam pembelajaran di sekolah. Maka


gagasan pembelajaran bercorak multikultural, bisa dipahami sebagai suatu proses penyadaran
terhadap adanya keanekaragaman serta kesediaan memberlakukan setiap etnis, budaya dan
agama secara egaliter. Dalam rangka itu, para siswa diberi penguatan agar bisa
mentransformasikan pengalamannya yang subjektif, ke pengalaman dengan subjektivitas
ganda (double-subjectivism). Dalam subjektivitas ganda, pengalaman masing-masing pribadi
coba didialogkan untuk bersama-sama mencari titik temu (modus vivendi).

1. Pendahuluan
Mengawali tulisan ini sebuah pertanyaan yang sering diajukan orang patut kembali
saya kemukakan di sini, yaitu motivasi apa yang mendorong berbagai suku bangsa,
agama, bahasa menyatakan dirinya bersatu dan memilih yang dinamakan Indonesia?
Menjawab pertanyaan tersebut menurut saya, ialah ikatan kukuh (indisoluble and
permanent nation) diantara berbagai suku, agama, bahasa, karena kita mempunyai
semangat kebersamaan, semangat persatuan dan tekat yang sama untuk membentuk
negara kesatuan yang dinamakan Indonesia. Selain itu, pada awal mula menyatunya
berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama menjadi satu nasion yang dinamakan
Indonesia, karena kita menghadapi musuh yang sama (common enemy) yakni
penjajah.

Untuk mendukung argument di atas saya mencoba mengutip pendapat Max Weber3
mengatakan Each nation has its own of moral phylosopy conforming to is character,
artinya setiap bangsa mempunyai falsafah moral masing-masing yang sesuai ciri-ciri
khusus bangsa itu. Selanjutnya ia mengakatan “karena nilai-nilai moral yang kita
miliki, sebenarnya adalah nilai-nilai yang diakui bersama oleh kelompok tempat kita
berada” (human concience that we must integrally realize is nothing else than the
collective concience of the group which we are the part).

Semakin majemuk masyarakat, semakin majemuk fungsi-fungsi di dalamnya,


semakin majemuk pula nilai-nilai yang disepakati untuk dijadikan tali pengikat
mereka dalam kebersamaan.

Jiwa kehidupan sosial suatu masyarakat bersumber dari dua hal yakni adanya
pembagian fungsi diantara sesama anggotanya dan adanya kesamaan pandangan
tentang nilai-nilai moral. Pandangan tentang nilai-nilai moral itu akan berkembang
sesuai dengan perkembangan kemajemukan dalam masyarakat itu sendiri. Ada yang
berubah, ada juga yang dipertahankan. Jika unsur kesamaan hilang dari seseorang,
maka ia dilihat sebagai bukan orang kita atau ia berbeda dari kita. Jika kehilangan
kesamaan itu terjadi pada sisi yang dianggap sebagai fundamental, maka dapat
merusak kelangsungan hidup itu sendiri. “ It is impossible for offense againts the
most fundamental collective sentiments to be tolarable with out the disintegration”.

Pesatnya perkembangan dalam revolusi teknologi ternyata semakin meniadakan batas


bagi masyarakat dunia—antara negara sebagai realitas dunia. Berbagai kemajuan ikut
melahirkan konflik primordial (suku, agama, ras) dalam bungkus globalisasi ideologi
dan ekonomi.

Konflik primordial terasa di berbagai daerah beberapa waktu lalu seperti konflik Poso,
Sambas dan Ambon. Semua itu sebenarnya memperlihatkan bagaimana globalisasi
ideologi yang menyungkup dunia, juga memperlihatkan adanya elemen politik di
dalamnya.

Terjadinya dislokasi posisi dan disorientasi nilai, baik bagi individu maupun
kelompok masyarakat sebenarnya memaknai bahwa dalam kehidupan kini telah
terjadi kesenjangan ideologi, akibat kebijaksanaan yang dilakukan oleh negara. Dan di
bidang politik, melahirkan marginalisasi politik yang sebenarnya mencairkan identitas
individu atau kelompok dalam masyarakat. Kebutuhan akan identitas itulah yang
melahirkan berbagai potensi isu primordialisme. Melalui pengatasnamaan
primordialisme sebagai identitas, maka militansi yang tercipta memperlihatkan
sebagai passion bagi para pendukungnya.

Pada sisi yang lain, penyeragaman yang terjadi, yang dilakukan oleh negara menolak
pluralisme serta berupaya meniadakannya, justeru memperlihatkan gambaran yang
pedih, sebagaimana yang terlihat pada sejumlah konflik horizontal di beberapa daerah
seperti di Poso, Sambas, Jakarta, Madura dan Maluku. Konflik-konflik seperti itu
memperlihatkan betapa kuatnya kesetiaan lokal atau kesetiaan terhadap ikatan-ikatan
primordial yang antara lain disebabkan oleh faktor hubungan darah, ras, daerah,
agama, dan adat istiadat, yang menurut Geertz dapat merupakan pemicu bagi
ancaman integrasi bangsa.

Konflik-konflik atau ketidakpuasan primordial timbul karena etnis-etnis tertentu


merasa tersisih oleh pembangunan sehingga hal itu dapat menimbulkan kecemburuan
seperti yang dikatakan oleh Geertz, “ In first instance primordial discontent arises
from a sence of political suffocation; in the second, from a sence of political
dismemberment”

Munculnya berbagai konflik di tanah air sebenarnya merupakan ekses langsung dari
praktek otonomi daerah. Gejala tersebut dapat dipahami karena pelaksanaan otonomi
daerah yang pertama diberlakukan di tengah-tengah krisis ekonomi yang amat parah.
Kedua, otonomi daerah diberlakukan di tengah-tengah euphoria masyarakat, yakni
semangat dan rasa percaya diri yang tinggi bahwa masyarakat yang seringkali bersifat
kekerasan dan melewati batas-batas kewajaran.
Seperti yang dikatakan oleh Myron Weiner8, masalah hampir semua negara
berkembang adalah bagaimana “menghapus” kesetiaan-kesetiaan lokal menuju
kepada ikatan yang tidak sempit untuk menciptakan integrasi bangsa dan membentuk
integrasi nasional. Memang nampaknya agak rumit bagi negara-negara yang beragam
seperti Indonesia ini untuk menciptakan integrasi yang mantap. Masalahnya adalah
bahwa sentimen-sentimen primordial tidak dapat dihapus. Dalam hal ini yang dapat
dilakukan adalah bagaimana mewadahi kesetiaan-kesetian lokal tersebut dalam
kerangka negara nasional. Weiner selanjutnya mengatakan bahwa, salah satu cara
menciptakan integrasi nasional adalah, The establishment of national loyalties
eliminating subordinate cultures—the policy of “ unity in diversity” politically
characterized by “ethnic arithmetic”. Kemudian selanjutnya Weiner mengatakan “…
It remains to be seen whether the ideal of unity and diversity . that is political unity
and cultural diversity can be the foundation for modern states. Perhaps the most
promising prospects are those in which no single ethnic groups dominates…”.

Seperti yang dikatakan oleh Myron Weiner8, masalah hampir semua negara
berkembang adalah bagaimana “menghapus” kesetiaan-kesetiaan lokal menuju
kepada ikatan yang tidak sempit untuk menciptakan integrasi bangsa dan membentuk
integrasi nasional. Memang nampaknya agak rumit bagi negara-negara yang beragam
seperti Indonesia ini untuk menciptakan integrasi yang mantap. Masalahnya adalah
bahwa sentimen-sentimen primordial tidak dapat dihapus. Dalam hal ini yang dapat
dilakukan adalah bagaimana mewadahi kesetiaan-kesetian lokal tersebut dalam
kerangka negara nasional. Weiner selanjutnya mengatakan bahwa, salah satu cara
menciptakan integrasi nasional adalah, The establishment of national loyalties
eliminating subordinate cultures—the policy of “ unity in diversity” politically
characterized by “ethnic arithmetic”. Kemudian selanjutnya Weiner mengatakan “…
It remains to be seen whether the ideal of unity and diversity . that is political unity
and cultural diversity can be the foundation for modern states. Perhaps the most
promising prospects are those in which no single ethnic groups dominates…”.

Apa yang diutarakan oleh Geertz dan Weiner tampak mengena bagi Indonesia.
Contoh-contoh kasus konflik horizontal di Indonesia adalah merupakan munculnya
kesetiaan dan identitas lokal yang menjadi pemicu dari ketegangan-ketegangan
politik maupun sosial. Nampaknya ketegangan-ketegangan itu ditimbulkan karena
sentimen primordial sesudah kita memberlakukan desentralisasi melalui Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999

Kekerasan antarkelompok, antaragama yang meledak secara sporadis di akhir tahun


1990-an sampai awal tahun 2000-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan
betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam negara-bangsa, betapa
kentalnya prasangka antara kelompok, antaragama dan betapa rendahnya saling
pengertian antarkelompok. Sehingga Colombijn11 menyebut Indonesia sebagai a
violent country. Menurutnya, orang-orang Indonesia telah mengalami tingkat
kekerasan yang mengerikan.

Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam
menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul di tanah
air12. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-
perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras, agama merupakan sumber
utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.
Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama, dan identitas
yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk
mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materiil maupun non-materiil.
Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan
dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam" misalnya,
diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan
politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap
orang mau mengalah dari preference yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan
antar kelompok identitas (agama) dapat dihindari bahkan tidak terjadi.

Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak


bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi
kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial.
Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk
saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugerah
dan perbedaan adalah berkah.

Indonesia sebagai negara multietnis memperlihatkan kecenderungan kurang


“bersehabat”, oleh karena struktur masyarakat kita yang organik, yakni hubungan
antaretnis nampaknya hanya bersifat semu. Setiap etnis sibuk dengan urusannya
sendiri-sendiri, tanpa adanya kesediaan ruang dialog untuk memecahkan kebuntuan
hubungan itu. Selain itu munculnya pula klaim kebenaran (truth claime) pada setiap
etnis tanpa memperlihatkan sifat bersehabat, mendorong munculnya konflik yang
mengarah pada perpecahan. Dalam tataran ini Max Weber13 mengatakan bahwa
orang-orang yang tidak memperlihatkan sifat persahabatan dengan orang lain, berarti
tidak mempunyai sifat-sifat solidaritas dengan orang lain yang bisa menimbulkan
semacam collective efferrescence atau keadaan yang meluap yang dialami oleh
kelompok. Sifat-sifat masyarakat yang selalu mengarah kepembentukan kelompok
eksklusif yang mengakibatkan majemuknya kepentingan itu mempunyai konsekuensi
dari munculnya konflik terbuka.

Konflik horisontal di Indonesia, bisa mungkin sangat rentan karena kelompok


kepentingan yang terdapat dalam masyarakat mempunyai kepentingan sendiri dan
ingin supaya kepentingan itu didahulukan dari pada kepentingan kelompok lainnya.
Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa kalau kita mau membuat masyarakat menjadi
lebih baik, lebih harmonis dari pada sekarang, pengetahuan atau pemahaman kita
terhadap etnis lain mutlak diperlukan. Hanya dengan pengetahuan atau pemahaman
itu kita dapat mendekati permasalahan pokok yang dihadapi bangsa kita.

Merebaknya konflik horisontal di banyak tempat di Indonesia paska otonomi daerah


merupakan bagian dari krisis multi dimensi yang dihadapi oleh negara dan bangsa
Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Konflik horizontal demikian telah
menggugah kesadaran baru di antara komponen bangsa Indonesia bahwa kebanggaan
akan kehidupan berbangsa satu di atas kebhinekaan adalah suatu yang terbayang
karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan takkan kenal
sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan
mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka.

Konflik horisontal memberi bukti bahwa kekokohan bangunan supra-struktur negara


kebangsaan sangat rapuh. Ada dua faktor penyebab kerapuhan fondasi kehidupan
berbangsa dan bernegara menurut Suparlan. Pertama, doktrin ideologis Bhineka
Tunggal Ika telah diselewengkan oleh sebuah kekuatan yang berorientasi pada
pemerintahan pusat. Akibatnya daerah-daerah kurang diberi kepercayaan untuk
mengurus dirinya sendiri.

Kedua, pembangunan yang dilakukan di atas sebuah komunitas plural lebih


memaksakan pola yang berkarakteristik penyeragaman berbagai aspek sistem sosial,
politik, dan budaya. Akibatnya, jati diri sistem lokal dikesampingkan. Ada tiga hal
yang biasa melatarbelakangi munculnya disinteraksi/konflik antara kelompok
mayoritas dan orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas, menurut
Greenstone16 yaitu: (1) prasangka historis, (2) diskriminasi dan (3) perasaan
superioritas in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang
lain (out-group).

Munculnya konflik yang benuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) pada
beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang dilakukan salah satu
penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang
konsep kearifan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang
adil kepada masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda
awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatan, yakni prasangka rasial.
Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun
kelompok ras tertentu terhadap ras lain. Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi
sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam
kebudayaan kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan perkembangan
masyarakat Indonesia ke depan sangat dipengaruhi oleh hubungan-hubungan antar
etnis.

Konsep kearifan budaya lokal, dalam konteks kehidupan dan relasi sosial di tengah
komunitas yang majemuk memiliki kekuatan (power) dalam menciptakan suasana
sosial yang kondusif. Maka dengan memahami dan mengangkat kearifan budaya lokal
dalam konteks kehidupan di tengah masyarakat yang pluralis, secara sejatinya dapat
memberikan peran bagi tertatanya hubungan sosial yang harmoni dengan semangat
saling menghargai dan menghormati.

Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia terbagi dalam berbagai


kesukuan, keagamaan, dan kedaerahan. Namun, ketika segmentasi horizontal tersebut
berubah menjadi kesadaran sejarah, sistem nilai budaya, pengelompokan sosial dan
kepentingan kelompok yang saling berbeda, maka masalahnya menjadi lain, lebih dari
sekedar untuk dapat disebut sebagai kenyataan, melainkan telah menjadi potensi
konflik. Tidak mudah mengatasi konflik horizontal, karena pada dasarnya kesukuan,
keagamaan, dan kedaerahan merupakan faktor yang bersifat tetap (fixed) dan
kefaktaan yang membatasi (faclicity).

2. Posisi Politik dan Peran Dominatif Kelompok Etnik


Secara umum, kompleksitas masyarakat mejemuk tidak hanya ditandai oleh
perbedaan-perbedaan horisontal, seperti yang lazim kita jumpai pada perbedaan suku,
ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Namun, juga terdapat perbedaan vertikal, berupa
capain yang diperoleh melalui prestasi (achievement). Indikasi perbedaan-perbedaan
tersebut tampak dalam strata sosial ekonomi, posisi politik, tingkat pendidikan,
kualitas pekerjaan, dan kondisi pemukiman.

Perbedaan horizontal diterima sebagai warisan, yang diketahui kemudian bukan faktor
dalam insiden kerusuhan sosial yang melibatkan antarsuku. Suku tertentu bukan
dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam
doktrin ajaran mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan
etnik.

Sementara itu, dari perbedaan-perbedaan vertikal, terdapat beberapa hal yang


berpotensi sebagai sumber konflik, antara lain perebutan sumberdaya, alat-alat
produksi, dan akses ekonomi lainnya. Selain itu juga benturan-benturan kepentingan
kekuasaan, politik, dan ideologi, serta perluasan batas-batas identitas sosial-budaya
dari sekelompok etnik.

Berbeda dengan perbedaan horizontal, perbedaan vertikal diasumsikan sebagai faktor


yang menentukan tercetusnya konflik sosial. Karena status sosial dan ekonomi serta
kedudukan politik signifikan dalam setiap interaksi sosial antara kelompok-kelompok
etnik. Apakah interaksi sosial tersebut akan bersifat positif atau negatif, sangat
ditentukan oleh kadar perbedaan-perbedaan vertikal di antara kelompok-kelompok
etnik. Dan bukan dari perbedaan-perbedaan horisontal, sebagaimana yang banyak
diyakini selama ini.

Semakin tinggi posisi politik dan peran dominatif suatu kelompok etnik, akan
semakin kuat menimbulkan prasangka (stereotype negative) yang menjadi sumber
ketegangan dan konflik antarkelompok etnik. Apalagi kalau mengacu konsep
dominatif yang lebih menekankan pada aspek kualitatif daripada aspek kuantitatifnya.
Di mana suatu kelompok etnik minoritas juga berpeluang memiliki peran dominatif,
jika kelompok tersebut secara substansial menguasai struktur politik atau ekonomi di
daerah (Negara) tertentu.

Sehingga dari pola interaksi sosial dalam masyarakat majemuk, jangan terpaku hanya
pada perbedaan-perbedaan horisontal yang ada. Artinya dalam menghindari atau
meminimalkan konflik hanya dengan mengatasi masalah perbedaan aspek-aspek
sosial budayanya. Seperti penyatuan kelompok-kelompok sosial yang berbeda,
dengan mengangkat pernik-pernik budaya daerah menjadi identitas nasional. Atau
gerakan pergantian nama dalam masyarakat Cina, memasyarakatkan batik sebagai
identitas nasional. Atau dengan penataran untuk menanamkan norma-norma bersama
yang mengatur tingkah-laku, bagaimana menjadi warga negara Indonesia yang baik.

Tetapi hendaknya menaruh perhatian yang lebih pada pemecahan masalah-masalah


persaingan dalam memperebutkan sumberdaya, alat-alat produksi dan akses ekonomi-
politik. Kenyataan di lapangan seperti kasus Sambas di Kalimantan Barat
menunjukkan, bahwa sebelum terjadinya perluasan daerah batas-batas wilayah sosial
ekonomi katolik dengan non-katolik semasa kolonial cukup harmonis dan
menghormati keyakinan masing-masing.

Jadi secara hipotesis dapat disimpulkan, bahwa sumber konflik sosial antara berbagai
etnik atau golongan bukan didominasi oleh perbedaan horisontal. Tetapi yang lebih
menonjol disebabkan oleh faktor perbedaan-perbedaan vertikal. Karena interaksi
dalam perbedaan vertikal antaretnik (suku) dan golongan lebih berdimensi kalah-
menang, bermuara pada munculnya kekuatan yang mendominasi dan yang
didominasi. Kemudian terjadi ketidakseimbangan, prasangka, dan ketegangan. Dan
apabila tidak segera diantisipasi, maka kondisi itu sangat rentan dimanfaatkan oleh
mereka yang tak bertanggung jawab untuk memicu konflik sosial dan kerusuhan
massal.

Landasan sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak masyarakat


majemuk (plural society) sudah saatnya dikaji kembali. Ideologi masyarakat majemuk
yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa tidak akan mungkin
mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis. Untuk mencapai tujuan
demokratisasi, ideologi harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman budaya atau
multikulturalisme.

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, terdiri atas suku-suku bangsa, yang
baik langsung maupun tidak langsung, dipaksa bersatu di bawah kekuasaan sebuah
sistem nasional. Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah
penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam komunitas-
komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi
jatidiri individu.

Ada sentimen-sentimen kesukubangsaan yang memiliki potensi pemecah-belah dan


penghancuran di antara sesama bangsa Indonesia. Antara lain karena masyarakat
majemuk menghasilkan batas-batas suku bangsa yang didasari oleh stereotip dan
prasangka, yang menghasilkan penjenjangan sosial seara primordial yang subyektif.
Konflik antaretnik dan antaragama yang terjadi, berintikan pada permasalahan
hubungan antara etnik aseli setempat dengan pendatang. Konflik-konflik itu terjadi,
karena adanya pengaktifan jatidiri etnik untuk solidaritas memperebutkan sumberdaya
yang ada.

Masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman etnik perlu dikaji dan


digeser pada pluralisme budaya (multikulturalisme), yang mencakup tidak hanya
kebudayaan etnik, tetapi juga berbagai kebudayaan lokal yang ada di Indonesia, dan
harus dibarengi kebijakan politik nasional yang meletakkan berbagai budaya itu
dalam kesetaraan derajat. Sehingga tidak ada lagi etnik yang merasa superior dan
inferior, sebab tiada jenjang sosial karena asal etnik.

Prinsip demokraksi hanya mungkin hidup dan berkembang secara mantap dalam
sebuah masyarakat sipil yang terbuka (open society), yang warganya mempunyai
toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dalam bentuk apa pun, karena adanya
kesetaraan derajat kemanusiaan yang saling menghormati, dan diatur oleh hukum
yang adil dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup
warganya.

Masyarakat terbuka adalah suatu masyarakat yang membuka diri bagi pembaharuan
dan perbaikan. Amoda20 menambahkan, harus ada suatu “built in mechanism” untuk
self-renewal and self-rejuvenation. Masyarakat terbuka itu harus berorientasi ke
depan, selalu mempertimbangkan globalisasi yang membawa serta kemajuan
teknologi, dan berpijak pada kenyataan, bahwa kiat mendiami suatu Benua Maritim
Indonesia serta aspirasi bangsa yang tertuang dalam nasionalisme baru yang
menghargai pluralitas budaya (multikultural).
3. Kebijakan Politik Identitas
Sejak reformasi 1998 pemikiran tentang demokrasi dan desentralisasi muncul ke
permukaan sebagai tanggapan balik atas kekuasaan sentralistik rezim Soeharto.
Angin segar perubahan ini di satu sisi memberikan peluang bagi terlaksananya hak-
hak politik rakyat, di sisi lain telah pula memicu menguatnya aktivitas politik yang
mengandung permainan politik identitas.

Menguatnya politik identitas ini terkait dengan upaya-upaya mulai sekadar


penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-
nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni
penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan. Dalam format keetnisan politik
identitas tercermin mulai dari upaya memasukan nilai-nilai ke dalam peraturan
daerah, memisahkan wilayah pemerintahan, keinginan mendaratkan otonomi khusus
sampai dengan munculnya gerakan sparatis. Sementara dalam konteks keagamaan
politik identitas terrefleksikan dari beragam upaya untuk memasukan nilai-nilai
keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk menggejalanya peraturan
daerah syari’ah, maupun upaya menjadikan sebuah kota identik dengan agama
tertentu.

Secara teoritis munculnya politik identitas merupakan fenomena yang disebabkan


oleh banyak faktor, antara lain adanya aspek struktural berupa disparitas ekonomi
masa lalu dan juga masih berlanjutnya kesulitan ekonomi saat ini yang telah
memberikan alasan pembenaran upaya pemisahan diri sebuah kelompok primordial,
berlindan dengan aspek keterwakilan politik dan institusional. Dalam konteks
keterwakilan politik belum meluas dan melembaganya partisipasi dan keterwakilan
politik masyarakat secara komprehensif telah memicu munculnya kebijakan politik
identitas. Sementara meluasnya kekhawatiran yang muncul akibat ketidakpastian
situasi dan adanya potensi hilangnya hak-hak previlege berubahnya tatanan
institusional pemerintahan memicu pula penguatan dan internalisasi sentimen.

Etnis merupakan konsep relasional yang berhubungan dengan identifikasi diri dan
askripsi sosial yang sulit dirubah karena mendasarkan diri pada persamaan-persamaan
yang bersifat kodrati (given), seperti warna kulit, suku, kasta, asal, dan sampai taraf
tertentu agama. Negara, baik pada masa Orde Baru maupun sekarang, sering berupaya
untuk menghilangkan etnisitas di atas. Upaya-upaya tersebut diantaranya adalah
peniadaan daerah asli, melunturkan keetnisitasan dan penghayatan keagamaan dengan
modernisasi, pengaturan agar tidak ada kejumbuan antara agama dan suku (kasus
Mandar), pemaksaan militer, imunitas aparat pelanggar HAM, dan sentralisasi
kekuasaaan dan eksploitasi SDA (sumber daya alam) yang aseli (kasus Aceh). Semua
upaya tersebut pada akhirnya justru akan memperkuat gerakan etnis (seperti gerakan
putra daerah) untuk merdeka.

Pada tahun 1999, diadakan Pemilu yang diikuti banyak partai. Dalam Pemilu itu,
parpol beridentitas agama dan etnis memperoleh suara yang kecil. Perolehan suara itu
memberi tanda penting, bahwa penggunaan identitas agama dan etnis di tingkat
Nasional, kurang mendapat dukungan dari masyarakat luas. Kondisi serupa juga
ditunjukkan pada saat Sidang MPR 2000, yang antara lain membahas tentang
amandemen UUD 1945. Pada masa itu, parpol berbasis agama (Islam),
memperjuangkan formalisasi syariat Islam di level nasional, melalui pencantuman
Piagam Jakarta dalam preambule UUD 1945. Melalui tarik ulur dengan kelompok
nasionalis, akhirnya upaya itu tidak berhasil diwujudkan.

Meski menemui kegagalan di tingkat nasional, namun keinginan ini tidak sepenuhnya
pudar. Mereka seakan menemukan ruang lagi seiring dengan hadirnya politik
desentralisasi di bawah payung hukum UU Nomor 22/1999. Situasi ini memberi
peluang baru bagi kalangan ini untuk bisa menunjukkan ekspresi identitas
(keagamaan dan etnisitas) melalui perebutan ruang-ruang di tingkat lokal salah satu
ruang yang disasar itu adalah perjuangan formalisasi agama (syariah/injili) melalui
perda. Kebanyakan peraturan daerah itu lahir di daerah-daerah yang penduduknya
memeluk agama mayoritas dan mempunyai prinsip keagamaan yang kuat. Setelah
disentralisasi sampai sekarang telah lahir sejumlah peraturan daerah bernuansa
syariah diaras provinsi, kabupaten, dan kota di beberapa daerah. Dengan demikian
kita dapat mengatakan bahwa perda syariah sebentuk “islamisasi negara ditingkat
lokal”.

Ada sejumlah alasan yang dimunculkan dalam regulasi itu, antara lain ialah (a) untuk
mengembalikan identitas (otentisitas) lokal yang dihilangkan pada masa Orde Baru,
(b) hukum positif dianggap tidak mampu mengatasi problem sosial kemasyarakatan
(dekadensi moral privat) ; (c) desakan anggota parlemen dari parpol Islam seperti PPP
dan PBB, serta dari tokoh agama (Islam); (d) memperoleh dukungan dari kalayak
publik setempat dengan basis keagamaan.

Penyusunan regulasi formalisasi agama itu cenderung dilakukan secara elitis dan
oligarkis. Dalam arti tanpa melalui proses panjang dan terbuka untuk semua
masyarakat, bahkan bagi yang beragama Islam sekalipun, kecuali representasi elit-elit
ormas dan pusat keagamaan (Islam) seperti, pesantren, MUI, NU, dan
Muhammadiyah. Politisasi agama di tingkat lokal, antara lain melalui peraturan
daerah agama (syariah) itu, di samping memanfaatkan politik desentralisasi, juga
banyak didukung oleh posisi lemahnya negara yang juga diperburuk oleh krisis
ekonomi.

Politik identitas (termasuk) dengan mempolitisasi agama dapat dipakai terus menerus
sebagai alat untuk kepentingan elit dalam berbagai ujud, seperti gagasan-gagasan
dalam jangka panjang menengah (simbol kota santri), dan juga dapat berdampak
diskriminatif terhadap posisi perempuan. Dalam bagian lain, kebijakan publik dipakai
sebagai sarana kekuasaan yang memungkinkan terjadi penguatan politik identitas di
satu pihak dan juga melemahkan di pihak lain.

Bila ditarik ke belakang, politisasi agama yang terjadi akhir–akhir ini bukanlah hal
yang baru. Tapi terkait dengan dinamika kesejarahan Indonesia, yaitu relasi antara
agama dengan negara yang belum selesai. Imajinasi sebagian pihak untuk mendirikan
negara Islam pada masa lampau (baik masa paska kemerdekan-BPUPKI tahun 1945,
sidang MPRS 1968, dan SU MPR 2000-maupun masa kerajaan) seolah hadir kembali
dengan kehadiran sejumlah peraturan daerah syariah di baberapa daerah akhir-akhir
ini.

Etnisitas semakin menguat dan memperoleh tempatnya dalam dinamika politik lokal
di Indonesia seiring dengan penerapan sistem desentralisasi pasca tumbangnya Orde
Baru tahun 1998. Dalam perkembangan di Indonesia etnisitas telah mengalami proses
pemanipulasian oleh elit dan dijadikan instrumen perjuangan politik dan budaya untuk
memperebutkan kekuasaan. Di tingkat lokal terutama pada masyarakat di mana sistem
primordial etnis masih kuat berpengaruh, identitas etnik masih menjadi daya tawar
yang menarik.

Kekuatan-kekuatan primordial di tingkat lokal telah menjelma menjadi kekuatan


politik yang terus direproduksi dan dimainkan oleh elite sehingga mampu
memengaruhi aktivitas politik di tingkat lokal. Menguatnya isu etnisitas ini dilakukan
oleh elit antara lain dengan upaya membenturkan keberadaan satu etnis yang merasa
tidak diuntungkan oleh keberadaan etnis lain sehingga mampu membangkitkan
sentimen etnis di suatu daerah. Kasus tuntutan pemekaran provinsi dan kabupaten
memberi gambaran adanya upaya penggarapan dukungan massa dengan menjadikan
etnisitas sebagai alat propaganda politik.

Mengedepankan politik etnisitas sebagai alat negosiasi politik, bagi elit ternyata
masih dianggap sebagai sarana efektif untuk merealisasikan tujuan politiknya tetapi di
sisi lain upaya itu ternyata bisa menimbulkan dampak negatif berupa lahir dan
tumbuhnya benih-benih konflik horizontal antaretnis yang justru menjadi faktor
penghambat pencapai tujuan pembangunan.

Persoalan ini muncul ke permukaan karena masalah politik etnisitas ini telah
dijadikan komoditas politik oleh elit politik terutama paska otonomi daerah yang
cenderung memaksakan diri pemekaran daerah dan bahkan dalam tataran lebih
ekstrem politik identitas dijadikan alat kampanye politik untuk memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Konsep Multikulturalisme
Kemajemukan suku merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia yang sering
dibanggakan. Banyak orang yang belum juga menyadari bahwa kemajemukan
tersebut juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu adalah sangat penting untuk menanamkan
nilai-nilai multikultural sejak awal pada anggota masyarakat Indonesia, tentunya
melalui pendidikan (pembelajaran multicultural), agar mekanisme dan nilai-nilai
substantif (dalam demokrasi) dipahami secara benar. Sebab nilai-nilai multikultural
dan nlai-nilai demokrasi memuat nilai humanisme seperti keadilan, empati,
kebersamaan, dan mampu menerima perbedaan.

Pluralisme atau kemajemukan pastilah didapati pada setiap masyarakat. Teristimewa


pada saat ini, ketika teknologi transformasi dan informasi telah mencapai kemajuan
sangat pesat, kemajemukan merupakan inevitable destiny23 di tingkat global maupun
di tingkat negara dan komunitas. Secara teknis dan teknologis kita telah mampu
tinggal bersama dalam masyarakat majemuk, namun spiritualitas kita belum
memahami arti sesungguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki
perbedaan budaya yang antara lain mencakup perbedaan agama, etnisitas, dan kelas
sosial.

Kesadaran tentang multikulturalisme sudah muncul sejak negara Republik Indonesia


terbentuk dan digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk ”mendesain
kebudayaan bangsa Indonesia. Tetapi, bagi bangsa Indonesia masa kini konsep
multikulturalisme menjadi sebuah konsep baru dan asing.

Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep


”keanekaragaman” secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri
masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman
kebudayaan dalam kesederajatan.

Konsep multikulturalisme mengulas berbagai permasalahan yang mendukung


ideologi, politik, demokrasi, keadilan, penegakan hukum, kesempatan kerja dan
usaha, hak asasi manusia, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-
prinsip etika dan moral, tingkat serta mutu produktivitas serta berbagai konsep lainnya
yang lebih relevan. Konsep ini senada dengan apa yang dikemukakan Bloom dalam
Atmadja, bahwa multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan
penilaian atas budaya seseorang dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang
budaya etnis orang lain. Artinya, meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-
kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-
kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu
dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.

Spradely (1997), menitikberatkan multikultural pada proses transaksi pengetahuan


dan pengalaman yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk menginterpretasikan
pandangan dunia mereka yang berbeda untuk menuju kearah kebutuhan kultur. Kata
multikultural menjadi pengertian yang sangat luas [multi-discursive], tergantung dari
konteks pendefinisian dan manfaat apa yang diharapkan dari pendefinisian tersebut.
Yang jelas dalam kebudayaan multikultural setiap individu mempunyai kemampuan
berinteraksi, meskipun latar belakang kultur masing-masing berbeda, karena sifat
manusia antara lain, adalah (1) akomodatif, (2) asosiatif, (3) adaptabel, (4) fleksibel,
dan (5) kemauan untuk saling berbagi. Inilah menunjukkan keragaman kultur
mengandung unsur jamak atau keragaman yang sarat dengan nilai-nilai kearifan.

Dalam konteks membangun tatanan masyarakat dan tatanan sosial yang kokoh, nilai-
nilai kearifan yang dalam hal ini kearifan sosial dan kearifan budaya dapat dijadikan
sebagai tali pengikat dalam upaya bersosialisasi dan berinteraksi antar individu
dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok.
Dengan nilai kearifan sosial dan kearifan budaya, akan berusaha mengeliminir
berbagai perselisihan dan konflik budaya yang kurang kondusif. Tatanan kehidupan
sosial masyarakat yang multikultural akan terwujud dalam perilaku yang saling
menghormati, menghargai perbedaan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan dan menjaga satu dengan lainnya dalam prinsip-prinsip perbedaan
tersebut. Untuk itu, harus berusaha untuk mengeliminir atau menghilangkan hal yang
selalu menjadi emberio atau mendasari terjadinya konflik, yaitu [1] prasangka
historis, [2] diskriminasi, dan [3] perasaan superioritas in-group feeling yang
berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain [out-group].

Apabila ketiga hal tersebut tidak mampu dieliminir individu maupun kelompok, maka
konflik dan benturan antarindividu atau kelompok yang disebabkan oleh perbedaan
kepentingan, keinginan, visi, keyakinan dan tradisi, politik, idologi, agama akan
menjadi sesuatu legal dan lumrah dalam interaksi sosial, karena keringnya nilai-nilai
kemanusiaan (humanis), keringnya niai-nilai kearifan sosial, keringnya nilai-nilai
kearifan budaya dan keringnya nilai-nilai kearifan moral dalam relasi antarsesama
manusia baik secara individu maupun kelompok. Jadi pada tahap ini, komitmen pada
nilai-nilai tersebut tidak dapat dipandang hanya berkaitan dengan eksklusivisme
personal dan sosial saja atau dengan superioritas kultural saja, tetapi lebih jauh lagi
dengan persoalan kemanusiaan (humanness), komitmen dan kohesi kemanusiaan
termasuk di dalamnya melalui toleransi, saling menghormati hak-hak personal dan
komunanikasi. Ketika manusia berhadapan dengan simbol-simbol, nilai-nilai,
doktrin-doktrin, prinsip-prinsip dan pola tingkah laku, sesungguhnya mengungkapkan
dan sekaligus mengidealisasikan komitmen kepada kemanusiaan – baik personal
mapun komunal – dan kebudayaan yang dihasilkannya. Multikulturalisme dapat pula
dipahami sebagai ”kepercayaan” kepada normalitas dan penerimaan keragaman.
Konsep multikulturaliems seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi
bagi kewarganegaraan yang berkeadaban.

Konsep multikulturalisme yang diartikan para ahli sangat beragam antara satu dengan
yang lainnya. Walaupun ada perbedaan, tapi pandangan mereka tentang
multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan terhadap dunia yang kemudian
diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas dan multikultural yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dipahami sebagai pandangan dunia
yang kemudian diwujudkan dalam politics of recognition. Parekh, 1997:183-185,
dalam Azyumardi33, membedakan lima macam bentuk multikulturalisme dan tentu
saja kelima bentuk multikulturalisme itu tidak “kedap air” [watertight], tetapi
sebaliknya dapat saja tumpang tindih satu dengan lainnya dalam segi-segi tertentu,
yaitu :

Pertama, multikulturalisme isolasionis yang mengacu kepada masyarakat di mana


berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam
interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Contoh kelompok ini, seperti
masyarakat yang ada pada sistem “millet” di Turki Usmani atau masyarakat ”Amish”
di AS. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha
mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya.

Kedua, multikulturalisme akomodatif, masyarakat plural yang memiliki kultur


dominan, membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan
kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan
menerapkan undang-undang, hukum dan ketentuan-ketentuan sensitif secara kultural,
dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan
mengembangkan kebudayaan mereka, sebaliknya kaum minoritas tidak menantang
kultur dominan. Model ”multikulturalisme akomodatif” ini dapat ditemukan di
Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain.

Ketiga, multikulturalisme otonomis, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok


kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan [equality] dengan budaya dominan
dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif
dapat diterima. Concern pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk
mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok
dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan
suatu masyarakat di mana semua kelompok dapat eksis sebagai mitra sejajar. Jenis
multikulturalisme didukung misalnya oleh kelompok Quebecois di Kanada, dan
kelompok-kelompok Muslim imigran di Eropa, yang menuntut untuk dapat
menerapkan syari`ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam, dan
sebagainya.
Keempat, multikulturalisme kritikal atau interaktif, masyarakat plural di mana
kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural
otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan
menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominan tentu
saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk
menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-
kelompok minoritas. Itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok
kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan
iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif baru
yang egaliter secara genuine. Jenis multikulturalisme, sebagai contoh, diperjuangkan
masyarakat Hitam di Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain.

Kelima, multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapuskan ”batas-batas


kultural” sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu
tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan sebaliknya, secara bebas
terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan
kehidupan kultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini yang
sebagian besar adalah intelektual diasporik dan kelompok-kelompok liberal yang
memiliki kecenderungan postmodernist dan memandang seluruh budaya sebagai
resources yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas.

5. Pendidikan (Pembelajaran ) Multikultural


Mengacu pada pandangan dan konsep yang dikemukakan sebelumnya, maka
pendidikan (pengajaran) multikultural di sekolah merupakan keniscayaan. Sebab
pendidikan (pengajaran) multikulturalisme mempunyai relevansi makna dan fungsi
yang tepat di tengah keragaman peserta didik. Konsep multikulturalisme menjadi
penting untuk dikembangkan dan diinternalisasikan dalam proses transformasi nilai-
nilai masyarakat dan bangsa yang beragam ini. Sebab prinsip-prinsip dasar
multikulturalisme mengakui dan menghargai keberagaman kelompok masyarakat
seperti etnis, ras, budaya, gender, strata sosial, agama, perbedaan kepentingan,
keinginan, visi, keyakinan, dan tradisi yang akan sangat membantu bagi terwujudnya
perubahan format perilaku sosial yang kondusif dan sangat menjanjikan di tengah
kehidupan masyarakat dan bangsa yang majemuk. Sarana terbaik dan strategis yang
digunakan untuk membangun dan mensosialisasikan konsep multikulturalisme agar
melahirkan perilaku sosial kondusif, kearifan sosial, kearifan budaya dan kearifan
moral atau akhlak adalah melalui pendidikan multikulturalisme. Sebab ada dugaan
kuat munculnya konflik antaretnis, antarsuku, antaraagama, tidak dapat tidak karena
rendahnya pendidikan masyarakat. Melalui pembelajaran multikultural setidaknya
dapat meminimalisir konflik-konflik tersebut.

Program pendidikan bagaimanakah yang relevan dengan kehidupan masyarakat dan


bangsa dengan corak masyarakat majemuk ini dengan berbagai etnis, sukubangsa dan
agama yang ada di dalamnya. Sebab masing-masing etnis, sukubangsa dan agama tadi
membawa kultur sendiri-sendiri dan keragaman ini tentu menjadikan masyarakat dan
bangsa Indonesia adalah masyarakat multikultural. Oleh karenya, pengakuan akan
keragamaan etnis, suku dan budaya penting ditumbuhkan pada peserta didik, karena
para pendiri bangsa ini sesungguhnya telah menempatkan ideologi multikultural
sebagai dasar kehidupan bernegara dan berkebangsaan yaitu ”Bhineka Tunggal Ika.

Dalam ideologi multikultural perbedaan dalam kesederajatan tentu diakui dan


diagungkan, baik secara individual atau kelompok maupun secara kebudayaan.
Sayangnya, penghargaan terhadap perbedaan dalam kesederajatan ini nyaris tidak
pernah ditumbuhkembangkan terutama selama lebih dari 32 tahun masa pemerintahan
Orde Baru. Selama kurun waktu itu, konsep pendidikan selalu seragam dan selalu
merupakan upaya atau berkarakteristik penyeragaman budaya.

Satu semangat dengan pendidikan humaniora adalah pendidikan multikulturalisme


yang belakangan ini menjadi isu utama dalam wacana pendidikan nasional. Secara
konseptual multikulturalisme berbeda dengan pluralisme. Pluralisme hanyalah sebuah
pengakuan terhadap keanekaragaman, tentang kemajemukan atau kebhinekaan,
bahwa di sana terdapat berbagai ras, suku agama atau kelompok-kelompok budaya.
Sedangkah multikulturalisme lebih sekadar pengakuan tetapi membuka ruang untuk
akses dan berekspresi bagi semua elemen keanekaragaman tersebut dengan bersumber
pada jati diri masing-masing, dan kemudian saling berkomunikasi tanpa harus saling
mematikan satu sama lain.

Multikulturalisme mengakui berbagai potensi dan legitimasi keragaman dan


perbedaan sosio-kultural tiap-tiap kelompok etnis, ras, agama dan entitas kebudayaan.
Sistem pendidikan nasional mesti sensitif terhadap masalah keberagaman tersebut,
karena posisinya sangat strategis dalam membangun watak bangsa yang tidak
sektarian, tetapi toleran, demokratis, dan humanistik. Pendidikan yang disemangati
multikulturalisme sangat penting bagi bangsa Indonesia karena apresiasi dan saling
hormat menghormati terhadap perbedaan harus dibentuk dari tingkat paling dini
dalam kehidupan anak.

Bambang K. Prihandono mengatakan dasar tujuan pendidikan multikultural adalah


perubahan sosial. Maka tiga arus transformasi menjadi keniscayaan, yaitu (1)
transformasi diri, (2) transformasi sekolah dan sistem sekolah, serta (3) transformasi
masyarakat.

Pendidikan multikultural adalah sebagai proses transformasi sekolah dan sistem


sekolah memasukan system pendidikan yang berbasis pada pedagogi siswa,
kurikulum yang bermuatan pada perspektif multicultural, penciptaan situasi kelas dan
adanya proses evaluasi terus menerus untuk perbaikan sistem pendidikan
multikultural.

Tujuan pendidikan (pembelajaran) multikultural adalah agar anak-anak dapat


menghormati keanekaragaman budaya yang ada dan mendorong mereka secara nyata
untuk dapat mengenali dan melenyapkan kecurigaan serta diskriminasi yang telah
ada. Pada intinya pendidikan multikultural mempunyai dua fokus persoalan, yaitu:

Pertama, proses pendidikan yang menghormati, mengakui dan merayakan perbedaan


di semua bidang kehidupan manusia. Pendidikan multikultural merangsang anak
terhadap kenyataan yang berkembang di masyarakat, yang berupa pandangan hidup,
kebiasaan, kebudayaan, yang semuanya telah memperkaya kehidupan manusia

Kedua, proses pendidikan yang menerapkan persamaan keseimbangan dan HAM,


menentang ketidakadilan diskriminasi dan menyuarakan nilai-nilai yang membangun
keseimbangan.
Pendidikan multikultural adalah sintesa dari pendekatan pendidikan anti-rasis dan
multi-budaya yang dipakai secara internasional pada tahun 60an hingga 90an.
Indonesia sejak awal berdirinya telah mempunyai banyak keanekaragaman budaya,
suku, bahasa dan agama. Keanekaragaman inilah yang sering diistilahkan dengan
multikultural atau interkultural. Kedua istilah ini menggambarkan situasi di mana
terdapat banyak kultur dalam sebuah negara.

Istilah multikulturalisme kadang digunakan untuk menggambarkan sebuah


masyarakat yang di dalamnya terdapat banyak kultur yang berbeda yang hidup
berdampingan tanpa ada banyak interaksi. Istilah interkulturalisme mengungkapkan
sebuah kepercayaan yang setiap orang merasa diperkaya secara pribadi dengan
berinteraksi dengan kultur lain. Setiap orang dari suku yang berlainan dapat terlibat
dan belajar dari satu sama lainnya.

Pendidikan tidak hanya merefleksikan kondisi masyarakat, tapi juga memengaruhi


perkembangannya. Misalnya, sekolah sesungguhnya mempunyai peran dalam
mengembangkan masyarakat interkultural. Akan tetapi sekolah sebenarnya bukan
satu-satunya yang terbebani dengan tanggung jawab menentang ketidakadilan budaya
ataupun menyuarakan arti penting interkulturalisme. Sekolah mempunyai kontribusi
yang penting untuk memfasilitasi perkembangan anak dalam hal penyikapan,
kecakapan, nilai-nilai dan pengetahuan interkultural. Pendidikan interkultural
seharusnya dijadikan sebagai cara untuk mengajak anak untuk berpartisipasi dalam
perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat. Bisa dikatakan, pendidikan yang hanya
didasarkan pada satu kultur, akan sulit mengembangkan anak didik ke depannya.

Pendidikan interkultural ditujukan untuk:


- Menciptakan kondisi yang kondusif bagi masyarakat majemuk
- Menumbuhkan kesadaran anak atas kultur mereka sendiri dan menyelaraskannya
dengan kenyataan bahwa ada banyak cara hidup lain selain cara hidup mereka sendiri
- Menumbuhkan respek terhadap lifestyle lain selain lifestyle mereka sendiri,
sehingga anak akan saling memahami dan menghormati
- Menumbuhkan komitmen persamaan hak dan keadilan.
- Membuat pilihan-pilihan bagi anak tentang bagaimana bertindak berkaitan dengan
isu-isu diskriminasi dan kecurigaan
- Menghargai dan menghormati kesamaan dan perbedaan
- Menjadikan anak dapat mengungkapkan kultur dan sejarah mereka sendiri.

Pendidikan interkultural adalah untuk semua anak tanpa memperdulikan kebudayaan


mereka sendiri. Karena semua anak sekarang hidup dalam suatu tatanan dunia yang
semakin beranekaragam, maka kita perlu mempersiapkan mereka. Pendidikan
interkultural adalah bagian penting dari pengalaman pendidikan setiap anak, baik
ketika anak belajar di sekolah yang berkarakter multikultural maupun mono-kultural,
bagi anak yang berasal dari kultur dominan maupun minoritas.

Pendidikan interkultural adalah untuk semua anak tanpa memperdulikan umur


mereka. Mengakui bahwa perbedaan adalah normal dan wajar dalam hidup manusia,
harus ditanamkan pada anak, berapa pun usia mereka. Sikap dan kemampuan anak
yang mungkin akan menimbulkan persoalan kelak, sebenarnya telah berkembang
ketika mereka masih kecil.
Bahasa dan perbincangan adalah komponen fundamental dari pendidikan
interkultural. Adalah penting untuk memberikan anak informasi yang akurat dan
menentang segala stereotip dan miskonsepsi. Mengembangkan kecakapan
interkultural adalah lebih efektif jika dilakukan melalui perbincangan dengan anak
tentang pemikirannya, daripada memberikan penjelasan mengenai salah dan benar.

Pendidikan interkultural terjadi secara natural melalui ‘kurikulum tersembunyi’


melalui apa yang dilihat dan diserap di mana anak tersebut tumbuh. Sementara itu,
kelihatannya mungkin dan perlu bila ide-ide interkultural dan keadaan mayarakat
yang melingkupi anak, dimasukkan dalam pengajaran kulikulum formal. Dalam
mengeksplorasi kurikulum tersembunyi yang ada di masyarakat secara alami, penting
juga untuk dicatat bahwa apa yang ditemukan di dalam masyarakat sama pentingnya
dengan apa yang tidak ada.

Pendidikan interkultural lebih berkaitan dengan kultur dan agama, daripada dengan
warna kulit atau kebiasaan. Pada contoh kasus di atas, warna kulit yang menjadi
persoalan diskriminasi. Pendidikan interkultural harus secara benar diposisikan dalam
melawan diskriminasi karena warna kulit maupun kultur dan agama maupun
kelompok minoritas.

Mengacu pada pendapat Paul Gorski, dalam Muhaemin El-Mahadi, kurang lebih ada
lima pendekatan dalam pendidikan multikultural.

Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education)


dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-
program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai
transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab
primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata
berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab
karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di
luar sekolah.

Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan-kebudayaan dengan


kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan
semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini.
Secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan
kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah
orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu
atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini
diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan
multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara
stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi
pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak
didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya


membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki
kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung
sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan
multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah
menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme
budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.

Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa


kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.

Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah)


meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran
seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi
antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu
untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini
meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal
manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural
berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih
baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah


diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan
manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan
suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh
Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan
sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara,
kubudayaan, dan agama.

Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan
bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi
kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat
sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan
membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di
dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka
yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan
istilah lain masyarakat.

Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat.
Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Masyarakat
tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan
selalu berkembang, 2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk
memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya
memenuhi kebutuhan, 3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya
bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut
dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial, 4) Setiap masyarakat bertanggung
jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang
membentuk masyarakat, 5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan
dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk
bertanggung jawab terhada tingkah lakunya.

Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat
besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian
individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan
sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses
pendidikan.

Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral
terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan
timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan
masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan
pendidikan.

Rangkuman :

1. Konflik-konflik seperti itu memperlihatkan betapa kuatnya kesetiaan lokal atau


kesetiaan terhadap ikatan-ikatan primordial yang antara lain disebabkan oleh faktor
hubungan darah, ras, daerah, agama, dan adat istiadat, yang menurut Geertz dapat
merupakan pemicu bagi ancaman integrasi bangsa.

Konflik-konflik atau ketidakpuasan primordial timbul karena etnis-etnis tertentu


merasa tersisih oleh pembangunan sehingga hal itu dapat menimbulkan kecemburuan
seperti yang dikatakan oleh Geertz, “ In first instance primordial discontent arises
from a sence of political suffocation; in the second, from a sence of political
dismemberment”

Munculnya berbagai konflik di tanah air sebenarnya merupakan ekses langsung dari
praktek otonomi daerah. Gejala tersebut dapat dipahami karena pelaksanaan otonomi
daerah yang pertama diberlakukan di tengah-tengah krisis ekonomi yang amat parah.
Kedua, otonomi daerah diberlakukan di tengah-tengah euphoria masyarakat, yakni
semangat dan rasa percaya diri yang tinggi bahwa masyarakat yang seringkali bersifat
kekerasan dan melewati batas-batas kewajaran.

Seperti yang dikatakan oleh Myron Weiner8, masalah hampir semua negara
berkembang adalah bagaimana “menghapus” kesetiaan-kesetiaan lokal menuju
kepada ikatan yang tidak sempit untuk menciptakan integrasi bangsa dan membentuk
integrasi nasional. Memang nampaknya agak rumit bagi negara-negara yang beragam
seperti Indonesia ini untuk menciptakan integrasi yang mantap. Masalahnya adalah
bahwa sentimen-sentimen primordial tidak dapat dihapus. Dalam hal ini yang dapat
dilakukan adalah bagaimana mewadahi kesetiaan-kesetian lokal tersebut dalam
kerangka negara nasional. Weiner selanjutnya mengatakan bahwa, salah satu cara
menciptakan integrasi nasional adalah, The establishment of national loyalties
eliminating subordinate cultures—the policy of “ unity in diversity” politically
characterized by “ethnic arithmetic”. Kemudian selanjutnya Weiner mengatakan “…
It remains to be seen whether the ideal of unity and diversity . that is political unity
and cultural diversity can be the foundation for modern states. Perhaps the most
promising prospects are those in which no single ethnic groups dominates…”.
Komentar :
Artikel yang di buat dengan maksud yang baik, tetapi artikel ini membosankan karena tidak
terdapat poin yang mewakili setiap tulisan, artikelnya terlalu bertele tele dalam penggunaan
bagasa

Artikel IV

Faktor yang Menyebabkan Timbulnya Masyarakat Multikultural

1. Keadaan Geografis

Keadaan geografis wilayah indonesia yang terdiri lebih dari 17 ribu pulau dan tersebar
di suatu daerah equator sepanjang kurang lebih 300 mil dari timur ke barat dan lebih dari
1000 mil utara ke selatan , merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
tercapainya multikultural suku bangsa di indonesia. Pendatang terutama di kepulauan
indonesia sekitar 20.000 tahun yang lalu. Menyusul kemudian ras melanesean negroid
pada sekitar 10.000 tahun yang lalu. Kehadiran ras-ras itu terjadi pada zaman mesolithicur.
Terakhir datang ras Malayan Mongoloid melalui 2 periode, zaman neolithikhum dan
zaman logam, sekitar tahun 2500 tahun sebelum masehi. Ras austroloid kemudian pergi ke
australia dan sisa-sisanya ada di nusa tenggara timur dan papua ras melanesian negroid
tingal di maluku dan papua. Sedangkan ras malayan mongoloid tinggal di indonesia
bagian barat. Ras-ras tersebut yang kemudian disebut bangsa indonesia dalam bentuk
keanekaragaman suku bangsa setelah melalui proses amal gamasi dan isolasi.
Kondisi geografis yang telah mengisolir penduduk yang menempati pulau dan daerah
menumbuhkan kesatuan suku bangsa yang berbeda-beda. Mereka mengembangkan mitos-
mitos tentang usul-usul keturunan dan nenek moyangnya.

2. Letak Wilayah yang Strategis.

Letak indonesia yang strategis antara samudra hindia dan pasifik sangat mempengaruhi
proses multikultural, seperti unsur kebudayaan dan agama. Kepulauan indonesia
merupakan jalur lalu lintas perdagangan antara india, cina ,dan wilayah asia tenggara.
Melalui para pedagang asing pengaruh kebudayaan dan agama masuk ke wilayah
indonesia. Daerah penyeberan kebudayaan dan agama yang tidak merata menyebabkan
terjadinya proses multikultural unsur kebudayaan dan agama. Pengaruh agama dan
kebudayaan hindhu-budha pada awal tarikh masehi hanya berkembang di wilayah
indonesia barat. Pengaruh kebudayaan china terutama hanya terjadi di daerah pantai dan
kota-kota dagang. Pengaruh kebudayaan china terutama hanya terjadi di daerah pantai dan
kota-kota dagang. Pengaruh ajaran islam berkembang pada abad ke-13, terutama di
indonesia bagian barat dan sebagian dari maluku . Pengaruh kolonial portugis dengan
agama katoliknya terjadi terutama di wilayah nusa tenggra timur. Pada abad ke-16
Belanada datang dan pada abad ke-17 mengembangkan agama kristen dan katolik di
beberapa daerah di sumatra, kalimantan, sulawesi, maluku, papua dan kota-kota besar di
jawa.

3. Kondisi Iklim yang Berbeda

Wilayah lingkungan hidup suku-suku bangsa juga memperlihatkan variasi yang


berbeda-beda. Ada komunitas yang mengandalkan pada laut sebagai sumber
kehidupannya, seperti orang laut di kepulauan riau dan orang bajo di sulawesi selatan, dan
serta asmat di irian jaya , dan lain sebagainya . Karekter multikultural di tambah lagi
dengan perbedaan-perbedaan tipe masyarakatnya terlihat pada komunaitas kosmopolitan
perkotaan ,komunitas peralihan dari pertanian ke industri dan sebagian lainya masih
mencirikan komunitas berbudaya suku bangsa (tribal comunites).
Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan
dua macam lingkungan ekologis yang berbeda di indonesia, yakni daerah prtanian sawah
(wet rice cultivation) yang banyak dijumpai di pulau jawa dan bali serta daerah pertanian
ladang (shifting cultivation) yang banyak kita jumpai di luar pulau jawa. Perbedaan
lingkungan ekologis tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan antara jawa dan luar
jawa dalam bidang kependudukan, ekonomi, sosial dan budaya. Sistem pertanian sawah di
jawa mendorong tumbuhnya suatu tertib kemasyarakatan yang mendasarkan diri pada
kekuaasan di daratan, sedangkan sistem pertanian ladang di luar jawa mendorong
tumbuhnya sistem kemasyarakatan yang mendasarkan diri pada kekuasaan di lautan
sehingga memiliki keunggulan dalam perdagangan. Apabila di jawa pernah tumbuh
kekuasaan Mataram kuno dan Majapahit yang gemilang maka di luar jawapun pernah
berkembang kerajaan melayu dan sriwijaya yang cemerlang.

4. Intregasi Nasional yang Berasal dari Kelompok Suku Bangsa yang Beraneka Ragam
Integrasi suku bangsa dalam kesatuan nasional menjadi bangsa indonesia dsalam
kesatuan wilayah negara indonesia. Paling tidak di picu oleh empat peristiwa penting,
yaitu sebagai berikut :
a) Kerajaan sriwijaya (Abad ke VII) dan majapahit (Abad ke XIII)telah mempersatukan
suku bangsa- suku bangsa indonesia dalam kesatuan politis , ekonomis ,dan sosial.
b) Kekuasaan kolonialisme belanda selama tiga setengah abad telah menyatukan suku
bangsa- suku bangsa di indonesia dalam satu kestuan nasib dan cita-cita
c) Selama periode pergerakan nasional ,para pemuda indonesia telah menolak
menonjolkan isu ke suku bangsaan dan melahirkan sumpah pemuda yang terkenal pada
tahun 1928 .Bahkan , bahasa milik suku minoritas melayu riau telah ditetapkan sebagai
bahasa nasional(bukan bahasa milik suku mayoritas jawa)
d) Proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 agustus 1945 yang mendapat dukungan
dari semua suku bangsa di indonesia yang mengalami nasib yang sama di bawah
penjajahan belanda dan jepang .

Walaupun integrasi secara nasional telah terbentuk (secara politis), tetapi dalam
kenyataanya bangsa indonesia selalu mengalami konflik-konflik secara internal
(SARA). Berdasarkan latar belakang timbulnya masyarakat multikultural di indonesia ,
maka kelompok-kelompok sosial yang tumbuh pun beranekaragam seperti kelompok
etnis (suku bangsa) agama ataupun kelompok berdasarkan stratifikasi sosialnya.

Ringkuman

Faktor yang Menyebabkan Timbulnya Masyarakat Multikultural

1. Keadaan Geografis
2. Letak Wilayah yang Strategis.
3. Kondisi Iklim yang Berbeda
4. Intregasi Nasional yang Berasal dari Kelompok Suku Bangsa yang
Beraneka Ragam

Komentar :

Artikelnya bagus, sesuai dengan apa yang dicari singkat padat dan jelas

Artikel V

Multikulturalisme vs Bhineka Tunggal Ika


Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas
budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem
arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one
that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception
of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and
practices” (Parekh, dalam wikipedia, 2012). Multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia pada
dasarnya merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan
luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut
dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut
terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Hal ini menyebabkan keberadaan
kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.

Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang
berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi
pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan
yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat, hal ini terjadi karena kebanyakan
masyarakat Indonesia belum memahami apa itu konsep multikulturalisme dan tiap sukunya memiliki
identitas diri yang sangat kuat. Hal ini menyebabkan tiap suku saling mempertahankan budayanya
sendiri dan membentuk perisai bagi suku lain sehingga kurang terbentuknya ikatan sosial antar suku
yang satu dengan suku yang lain. Sebagai contoh, orang Aceh yang tinggal di pulau Jawa kemudian
menjadi pengusaha sukses akan cenderung memilih dan menerima pegawai yang merupakan orang
Aceh walaupun ketrampilannya kurang (jauh di bawah) orang Jawa yang juga melamar pekerjaan di
perusahaan tersebut.

Fenomena tersebut terjadi karena sesama masyarakat Aceh memiliki ikatan/ hubungan emosional
yang sangat kuat serta kecenderungan untuk mempertahankan identitas yang tinggi. Hal seperti inilah
yang membuat masyarakat Indonesia mudah dipecah belah, mudah diadu domba, mudah di rusak,
karena pada diri setiap masyarakat Indonesia belum memiliki rasa identitas yang kuat sebagai
masyarakat indonesia, belum memiliki kedekatan/ikatan emosional dengan sesama masyarakat
indonesia. Mereka hanya memiliki identitas yang kuat dan ikatan emosional antar sesama suku
mereka (misal antar orang Jawa dengan orang Jawa), bukan antar suku Jawa dengan suku lainnya.
Dari fenomena ini terlihat bahwa dari berbagai macam suku yang ada di Indonesia, ternyata beberapa
masyarakat dari tiap sukunya belum dapat memahami, menerima, dan menghargai suku lainnya yang
berbeda darinya. Padahal mereka berada dalam satu nama, satu wilayah, satu bangsa, satu bahasa,
yaitu Indonesia.

Rangkuman
Dari penjelasan diatas maka dapat saya simpulkan bahwa memahami multikulturalisme itu sangatlah
penting. Selain kita dapat memahami, menerima dan menghargai keragaman budaya yang ada, kita
juga dapat memperkuat ikatan emosional antar suku dari budaya yang berbeda.

Komentar

Artikel menarik tetapi sebenarnya berwarna dan sulit di pahami

Artikel VI
Sejarah Multikulturalisme

Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi


norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19.
Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah
'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum
terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasia dalah timbulnya keinginan
untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi
perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.

Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-


speaking countries), yang dimulai di Afrika pada tahun 1999. Kebijakan ini kemudian
diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai
konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa,
terutama Inggris dan Perancis, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan
multikulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di
Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya?

Jenis Multikulturalisme == Berbagai== macam pengertian dan kecenderungan perkembangan


konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang
tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra,
2007, meringkas uraian Parekh):

1. Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat di mana berbagai kelompok


kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya
minimal satu sama lain.
2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang
membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur
kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang,
hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan
kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan
kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur
dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kutural
utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan
menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa
diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara
hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka
menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana
semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural di mana kelompok-
kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom;
tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan
perspektif-perspektif distingtif mereka.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama
sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat
kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-
percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-
masing.

Ringkasan :
monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-
bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya
kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk
menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara
itu, asimilasia dalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan
yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah
kebudayaan baru
komentar
artikel ini cukup memberikan informasi yang ingin di ketahui pembaca

Artikel VII

Model multikulturalisme:

1. Multikulturalisme isolasionis, adalah masyarakat yang berbagai kelompok kulturalnya


menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu sama lain.
2. Multikulturalisme akomodatif, adalah masyarakat yang memiliki kultur dominan yang
membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur
kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang,
hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan
kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan
kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur
dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
3. Multikulturalisme otonomis, adalah masyarakat plural yang kelompok-kelompok
kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya
dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara
kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan
cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan mereka
menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat yang
semua kelompoknya bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal/interaktif, adalah masyarakat plural yang kelompok-
kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned) dengan kehidupan kultural
otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan
menegaskan perspektif-perspektif khas mereka.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, adalah masyarakat plural yang berusaha menghapus
batas- batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap
individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat
dalam percobaan- percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan
kultural masing-masing.

Artikel VII

Pengertian Masyarakat Multikultural


Masyarakat Multikultiral adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen yang hidup dalam suatu
lingkungan yang sama tanpa ada pembauran antara yang satu dengan yang lain.
Ciri Ciri Masyarakat Multikultural

1. Adanya struktur budaya yang lebih dari satu


2. Masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok dengan ciri khas masing masing
3. Sering terjadi konflik SARA
4. Proses integrasi di daerah tersebut cenderung lambat
5. Timbunya kelompok mayoritas dan minoritas
6. Kurangnya keputusan bersama
7. Sering terjadinya proses dominasi kepada kelompok minoritas

Indonesia adalah negara yang termasuk punya masyarakat yang bisa disebut masyarakat multikultural.
Hal yang perlu kita pelajari ialah bagaimana ketika kita telah menjadi bagian dari mayoritas tetapi
tidak menindas atau mendiskriminasi terhadap kaum yang minoritas disitulah poin penting dari
pembelajaran tentang masyarakat multikultural manurut saya. Demikian adalah Ciri Ciri Masyarakat
Multikultural Lengkap

Rangkuman :
Indonesia adalah negara yang termasuk punya masyarakat yang bisa disebut masyarakat
multikultural. Hal yang perlu kita pelajari ialah bagaimana ketika kita telah menjadi bagian
dari mayoritas tetapi tidak menindas atau mendiskriminasi terhadap kaum yang minoritas
disitulah poin penting dari pembelajaran tentang masyarakat multicultural

Komentar
Artikel ini bagus, dan sangat mudah di pahami oleh para pembaca

Artikel IX

Jenis – Jenis Multikulturalisme


1. Multikulturalisme Isolasionis

Multikulturalisme isolasionis mengacu kepada masyarakat dimana berbagai kelompok

kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi satu sama

lain. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha

mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya.

Contoh :

1. Masyarakat yang ada pada sistem "millet" di Turki Usmani.

2. Masyarakat Amish di USA.

3. Masyarakat Baduy di Banten.

4. Suku Mascho Piro yang hidup di Taman Nasional Manu, tenggara Peru.

5. Suku Korowai, mereka tinggal di Papua New Guinea dan budaya mereka masih tetap

terisolasi dari peradaban modern.

2. Multikulturalisme Akomodatif

Multikulturalisme akomodatif yakni masyarakat plural yang memiliki kultur atau

budaya dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi

kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat kaum multikultural akmodatif

merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang

sensitif secara kutural dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk

mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka; sebaliknya kaum minoritas

tidak menantang kultur dominan. Tipe masyarakat multikulturalisme akomodatif ini

dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa negara eropa lainnya.

Contoh :

a) Di negara Inggris membantu integrasi para imigran dan kaum minoritas, menghilangkan berbagai

halangan terhadap keikutsertaan mereka dalam kehidupan bernegara.

b) Perancis menerapkan izin waktu bagi para umat Muslim untuk shalat dan beribadah di saat waktu kerja.
c) Banyaknya negara – negara di Eropa sudah menerapkan label “Halal” pada makanan yang mereka jual,

sehingga membantu masyarakat umat Muslim dalam memilih makanan.

d) Di negara Indonesia yang masyarakatnya mayoritas umat bergama Islam, tapi dalam membentuk

undang – undang sesuai atau tidak menganggu hak dan kewajiban dari pemeluk agama lain.

e) Di negara – negara Eropa, pemerintahnya sudah mulai menerapkan kurikulum pendidikan agama Islam

ke setiap sekolah yang membutuhkan. Serta mengizinkan pendirian sekolah – sekolah Islam.

3. Multukulturalisme Otonomis

Multukulturalisme otonomis yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompk

kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan

dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif

bisa diterima. Fokus pokok kelompok ini adalah untuk mempertahankan cara hidup

mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang

kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua

kelompok dapat eksis sebagai mitra yang sejajar.

Contoh :

a) Kaum zionis Yahudi yang menolak keberadaan kamu palestina.

b) Negara Indonesia yang kaum mayoritasnya menginginkan negara dengan tegaknya syariat

Islam.

c) Negara Belanda melarang pembangunan menara – menara masjid.

d) Di Swiss pemerintah melarang penggunaan Hijab dan Cadar bagi masyarakatnya.

e) Negara Indonesia di sebagian besar wilayahnya, masing – masing pemerintah melarang

penjualan dan bukanya rumah makan selama bulan puasa. Padahal banyak juga

masyarakat yang tidak menjalankan puasa.

4. Multikulturalisme Kritikal atau Interaktif

Multikulturalisme kritikal atau interaktif yakni masyarakat plural dimana

kelompok-kelompok kultural tidak terlalu fokus dengan kehidupan kultural otonom,


tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan

menegaskan perspektif mereka.

Contoh :

a) Nelson Mandela salah satu tokoh yang menolak politik kulit hitam / “APARTHEID” yang

membuat orang kulit hitam menjadi warga kelas bawah.

b) Gus Dur mantan presiden Indonesia yang memperjuangkan hak warga kaum Tioghoa

untuk merayakan hari raya Imlek.

c) Pendeta Martin Luther King, Jr., Ph.D. M enentang diskriminasi terhadap orang-orang

kulit hitam.

d) Hajjah Rangkayo Rasuna Said, ia memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan

wanita.

e) Prof. Dr. Nurcholish Madjid biasa dipanggil Cak Nur mendukung konsep kebebasan

dalam beragama, namun bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai

kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh

atas apa yang dipilih.

5. Multikulturalisme Kosmopolitan

Multikulturalisme kosmopolitan yakni dimana masyarakat plural berusaha

menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah

masyarakat dimana setiap individu tidak lagi terkait pada budaya tertentu, dan

sebaliknya secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan

sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Sebagian besar

pendukung multikulturalisme jenis ini ialah kelompok liberal yang memiliki

kecenderungan postmodern, memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat

mereka pilih dan ambil secara bebas.

Contoh :
a) Masyarakat yang ada di negara Amerika Serikat, sebagian besar masyarakatnya yang

terdiri berbagai macam suku bangsa sudah mulai meninggalkan budaya ke-sukuan. Justru

timbul budaya multikultural baru yaitu, : Haloween, Thanksgiving dan lain – lain.

b) Di negara Singapura yang mayoritas penduduknya dari pendatang, memunculkan budaya

oriental dalam kehidupan masyarakatnya.

c) Di negara Perancis, ada sebuah kawasan pantai dimana para pengunjungnya diperbolehkan

bebas untuk telanjang / tidak mengenakan pakaian.

d) Di negara Amerika Serikat dan Eropa sudah banyak masyarakatnya dapat tinggal satu

rumah pria dan wanita walaupun belum terikat status pernikahan yang sah.

Rangkuman
Jenis – Jenis Multikulturalisme

1) Multikulturalisme Isolasionis
2) Multikulturalisme Akomodatif
3) Multukulturalisme Otonomis
4) Multikulturalisme Kritikal atau Interaktif
5) Multikulturalisme Kosmopolitan

Komentar :
Artikel yang di buat baik dan sangat menarik

Artikel X
Faktor pendukung & penghambat indonesia yang multikultural

Faktor pendukung : Aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculya potensi-potensi
budaya baru sebagai kekuatan bangsa.

Faktor pnghambat :

a. Menganggap budaya sendiri yang paling baik. Pengakuan terhadap budaya sendiri
yang berlebihan dapat mengarah kepada kencintaan pada diri sendiri atau kelompok.

b. Pandangan yang paternalistis. Ada banyak peneliti dan pengamat budaya dari kaum
laki-laki yang masih menganut paham paternalis. Hal ini menimbulkan bias terhadap
perempuan. Hingga saai ini, masih banyak masyarakat memandang status perempuan
sebagai sesuatu yang minor dan disubordinasikan dari peran laki-laki.

c. Pandangan negatif penduduk asli terhadap orang asing yang dapat berbicara
mengenai kebudayaan penduduk asli.

Rangkuman :
Faktor pendukung : Aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculya potensi-potensi
budaya baru sebagai kekuatan bangsa.

Faktor pnghambat :

a. Menganggap budaya sendiri yang paling baik.


b. Pandangan yang paternalistis.
c. Pandangan negatif penduduk asli terhadap orang asing yang dapat berbicara
mengenai kebudayaan penduduk asli.

Komentar :
Artikel yang di buat bagus dan sangat kreatif kerena member tahu pembaca tentang faktor
pendukung dan faktor penghambat

Anda mungkin juga menyukai