Anda di halaman 1dari 8

PELANGGARAN HAM BAGI KELOMPOK MINORITAS

STUDI KASUS : TINDAKAN DISKRIMINATIF TERHADAP ETNIS ROHINGYA

Ade Wulan Sari 1901155521


Bella Cristine 1901155246
Intan Mulya 1901113105

PENDAHULUAN

Melakukan tindakan kekerasan adalah hal yang melanggar Hak asasi manusia
(HAM). Kekerasan tidak hanya timbul dalam ruang lingkup nasional, melainkan juga ruang
lingkup internasional yang mengakibatkan banyaknya jumlah korban akibat kekerasan.
Kekerasan banyak terjadi pada beberapa etnis, yang menjadi perhatian dunia. Salah satu
penyebab terjadinya kekerasan terhadap suatu etnis adalah karena dalam kehidupan sosial,
terdapat perbedaan-perbedaan antara suatu kelompok dengan kelompok yang lainnya.
Adanya perbedaan etnis dan agama sering menjadi penyebab timbulnya permasalahan,
dikarenakan hal tersebut merupakan hal yang sensitif. Dalam suatu negara, terdapat etnis
minoritas dan mayoritas. Etnis minoritas sering mendapatkan perlakuan yang tidak baik
seperti tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh kelompok mayoritas yang ada di dalam
negara tersebut.
Tindakan diskriminatif juga terjadi di Myanmar, yang mana etnis minoritas Rohingya
menjadi korbannya. Rohingya merupakan nama sebuah etnis yang berada di Rakhine
(Arakan), Myanmar Barat, yang kedudukannya terpinggirkan oleh pemerintah junta militer.
Etnis Rohingya dianggap sebagai orang-orang yang tidak bernegara dan tidak diakui secara
penuh kewarganegaraannya oleh pemerintah Burma dan mereka tidak dianggap sebagai
penduduk tetap, melainkan dianggap sebagai penduduk sementara oleh rezim Burma dan
tidak memiliki hak kewarganegaraan penuh. Sedangkan etnis lainnya yang ada disana, diakui
sebagai warganegara oleh Rezim Burma. Pemerintah Myanmar menganggap mereka sebagai
orang asing dan mendapatkan tindakan diskriminasi dan kekejaman di negara pemerintahan
negara tersebut. Banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh
pemerintah Myanmar seperti pengusiran paksa, penangkapan sewenang-wenang,
penyitaan properti, melakukan pemerkosaan, propaganda anti-rohingya dan anti-muslim,
kerja paksa, pembatasan gerak, pembatasan lapangan kerja, larangan mempraktikkan
ajaran agama, serta tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar
berdasarkan Undang-undang Kewarganegaraan tahun 1982.1
A. PROFIL ETNIS ROHINGYA
Rohingya adalah etno-linguistik yang berhubungan dengan bahasa bangsa IndoArya
di India dan Bangladesh (yang berlawanan dengan mayoritas rakyat Myanmar yang Sino-
Tibet). Menurut penuturan warga Rohingya dan beberapa ulama, mereka berasal dari negara
bagian Rakhine. Sedangkan sejarawan lain mengklaim bahwa mereka bermigrasi ke
Myanmar dari Bengal terutama perpindahan yang berlangsung selama masa pemerintahan
Inggris di Burma, dan pada batas tertentu perpindahan itu terjadi setelah kemerdekaan Burma
pada tahun 1948 dan selama periode Perang Kemerdekaan Bangladesh pada tahun 1971.

1
Wanandi, Gita, I. Made Pasek Diantha, and I. Made Budi Arsika. "PERLAKUAN DISKRIMINASI
TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM
INTERNASIONAL."
Rohingya dan Rakhine adalah dua kelompok etnis berbeda yang menempati wilayah Arakan
yang saat ini bernama Rakhine. Bila Rakhine merupakan Etnis mayoritas beragama Budha,
maka Rohingya adalah etnis minoritas yang beragama Islam. Pemerintah Myanmar
memperkirakan total populasi di Rakhine mencapai 3,33 juta jiwa termasuk 2,2 juta jiwa
adalah umat Budha Rakhine, dan 1,8 juta lainnya adalah etnis Rohingya. Beberapa wilayah di
Rakhine yang dominan ditinggali oleh rohingya adalah kota Maungdaw, Buthidaung, dan
Rathedaung.2
Etnis Rohingya mulai mengalami intoleransi yang dikarenakan mereka Muslim dan
identitas etnis serta ciri-ciri fisik mereka berbeda dengan warga Myanmar pada umumnya,
bahkan bahasa merekapun berbeda dengan etnis-etnis Myanmar pada umumya. Pada tahun
1948 sampai 1962 etnis Rohingya sempat diakui sebagai warga negara Myanmar, bahkan ada
etnis Rohingya yang menjadi anggota Parlemen dan Menteri. Namun, pada masa
pemerintahan Jenderal Ne Win berkuasa pada tahun 1962 mulailah pengingkaran terhadap
etnis Rohingya sebagai etnis yang sah berkewarganegaraan Myanmar. Yang mana puncaknya
adalah adanya undang-undang kewarganegaraan Burma tahun 1982 yang menghapuskan
etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar yang sah.

B. PENYEBAB TINDAKAN DISKRIMINATIF DI ROHINGYA


Awal mula terjadinya hal tersebut pada tahun 1948 yaitu ketika adanya pemisahan
etnis yang dilakukan oleh Inggris. Pemisahan yang dilakukan di wilayah Rakhine
memisahkan etnis Budha Myanmar dan Muslim Rohingya, hal ini disebabkan adanya
anggapan bahwa etnis Rohingya bukanlah bagian dari Myanmar. Pemerintah menghapus
akses kebebasan mereka terhadap bidang kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan penyitaan
seluruh properti yang mereka miliki termasuk kartu identitas.3 Pemerintah Myanmar sampai
saat ini masih menganggap bahwa etnis Rohingya adalah imigran illegal di Myanmar, mereka
pindah dari Bangladesh ke Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948.
Sejak kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948, Etnis Rohingya terus menerus menjadi etnis
yang tertindas dan tidak diakui sebagai bagian dari 136 etnis yang diakui oleh Myanmar.
Pemerintah tidak mengakui etnis Rohingya sebagai etnis tetap di Myanmar karena
menganggap kelompok Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang sudah ada di
Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948. Hal itu ditegaskan kembali oleh
Presiden Myanmar, Thein Sein, dalam Al Jazeera, 29 Juli 2012 bahwa Myanmar tak mungkin
memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap imigran gelap dan
pelintas batas dari Bangladesh itu.
Pada tahun 1962 ketika Jendral Ne Win melakukan Kudeta hingga Ne Win menjadi
Presiden, sistem politik Myanmar langsung berubah menjadi lebih otoriter. Etnis rohingya
dianggap rezim Ne Win sebagai sebuah ancaman sehingga dilancarkanlah sebuah operasi
untuk menumpas pergerakan separatis dan mengontrol penduduk Rohingya pada tahun 1978
dan mengakibatkan hijrahnya etnis Rohingya ke Bangladesh. Pada masa rezim Ne Win
hingga tahun 2000, etnis Rohingya mengalami keadaan diskriminasi yang sangat berat.
Kebijakan Burmanisasi dilakukan melalui marginalisasi orang-orang Muslim Rohingya.
Munculnya kebijakan ini pada tahun 1982 yang disebut Burma Citizenship Law (BCL), yaitu
Rohingya tidak mendapat kewarganegaraan, hak atas tanah, dan pendidikan serta pekerjaan

2
Hartati, Anna Yulia. "Studi Eksistensi Etnis Rohingya di Tengah Tekanan Pemerintah
Myanmar." Jurnal Hubungan Internasional 2, no. 1 (2013): 7-17.
3
http://scholar.unand.ac.id/48268/2/BAB%20I%20eric.pdf , diakses pada tanggal 30 Oktober 2021
yang layak dan cukup. Pada masa rezim militer mulai era Ne Win berkuasa hingga tahun
2000, etnis Rohingya mengalami situasi yang berat, hingga puncaknya konflik mengalami
eskalasi pada tahun 2012, di mana pemberitaan media internasional mulai membuka fakta-
fakta terjadinya konflik yang ada di Rohingya. Adanya kasus ini kemudian memancing etnis
Rakhine yang kemudian berujung pada lingkaran konflik yang tidak terhenti. Pada Juli 2012,
konflik ini memuncak dengan adanya pembakaran besar-besaran terhadap perumahan yang
dihuni oleh etnis Rohingya serta penyerangan yang dilakukan oleh kedua etnis.4
Banyak faktor yang menjadi pemicu awal meledaknya konflik di Provinsi Rakhine
terhadap etnis Rohingya. Tidak hanya pemerintahan yang otoriter atau kejam dalam
memimpin rakyatnya, tetapi konflik yang terjadi juga terletak pada penggolongan etnis. Akar
yang menjadi awal konflik ini terjadi ialah adanya kecemburuan sosial terhadap etnis
Rohingya yang dalam beberapa dasawarsa terus meningkat. Meskipun sebagai etnis
minoritas, tetapi etnis Rohingya mampu terlibat dan bekerja dalam pemerintahan Myanmar.
Hal ini menyebabkan kecurigaan dan kecemburuan pada etnis mayoritas Rakhine. Bagi
mereka keberadaan etnis Rohingya dianggap dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu dan
mengurangi hak lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan, Rakhine yang menjadi
pusat kehidupan etnis Muslim. Kemudian pada tahun 1962 Undang-Undang
Kewarganegaraan Burma tahun 1982 telah meniadakan Rohingya sebagai etnis di Myanmar.
Selanjutnya peniadaan ini adalah menghilangkan dan membatasi etnis Rohingya dalam hal
yaitu: hak untuk bebas bergerak dan berpindak tempat, hak untuk menikah dan memiliki
keturunan, hak atas Pendidikan, hak untuk berusaha dan berdagang, hak untuk bebas
berkeyakinan dan beribadah, dan 1 The Largest group in the state are the Rakhine Buddhists,
who make up about 60 percent of the 3.2 million total population. Muslim communities,
including the Rohingya, are about 30 percent, and the remaining 10 percent consist of Chin
(who are Buddhist, Christian, or animist) and a number of other small minorities, including
the Kaman (also Muslim), Mro, Khami, Dainet and Marmagyi. Dikutip dalam “Myanmar:
The Politics of Rakhine State”, International Crisis Group. hak untuk bebas dari penyiksaan
dan kekerasan.5
Memuncaknya konflik pada tahun 2012 membuat etnis Rohingya harus kehilangan
keluarga, tempat tinggal bahkan harus mengungsi. Setelah itu tahuntahun berikutnya konflik
itu tak kunjung reda. Justru semakin terjadi pembunuhan, pembakaran rumah -rumah dan
tempat belajar hingga meningkatnya jumlah pengungsi di beberapa negara. Jumlah korban
yang terus meningkat maka, konflik etnis yang terjadi di Myanmar termasuk dalam kejahatan
genosida. Di mana, ada tindakan untuk memusnahkan etnis rohingya dari Myanmar dengan
cara membunuh, membantai hingga tidak mengakui etnis Rohingya.
C. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap Rohingya

Konflik etnis yang terjadi pada minoritas Rohingya sudah terjadi cukup lama. Hal ini
mengakibatkan terjadinya banyak pelanggaran HAM terhadap etnis yang mendiami negara
Myanmar ini. Beberapa bentuk dari pelanggaran itu ialah seperti pembunuhan, pembakaran
rumah, dan tidak diakui etnis Rohingya sebagai salah satu bagian dari Negara Myanmar.
Sebagaimana kita ketahui, HAM merupakan hak yang melekat kuat dan tidak bisa dipisahkan
dari kehidupan manusia. HAM mengalami perkembangan pada tiga generasi. Generasi

4
Siba, M. Angela Merici, and Anggi Nurul Qomari’ah. "PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM KONFLIK ROHINGYA HUMAN RIGHT VIOLATIONS ON ROHINGYA CONFLICT." Journal
of Islamic World and Politics 2, no. 2 (2018): 367-385.
5
Ibid,.
pertama berkaitan dengan hak sipil dan politik yang berdasarkan pada prinsip kebebasan
individu. Generasi kedua berkaitan dengan hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang lebih
ditujukan kepada manusia dalam hubungannya dengan kelompok masyarakat lain. Generasi
ketiga adalah hak-hak asasi manusia, yang menjadi hak bangsa-bangsa dan memperoleh
dasarnya dalam solidaritas bangsabangsa, seperti hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib
sendiri, hak untuk perdamaian, untuk kemajuan, untuk lingkungan yang layak untuk hidup,
dan lain-lain.6

Namun pada kenyataanya etnis Rohingya masih belum mendapatkan hak-hak mereka
sebagai warga negara. Etnis ini malah mendapatkan perlakuan-perlakuan yang sangat
timpang dari pemerintah Myanmar yang membatasi hak-hak mereka termasuk hak untuk
hidup. Pemerintah Myanmar sendiri bahkan melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap
etnis Rohingya ini seperti adanya tindakan pemerkosaan, pembunuhan serta pembakaran
rumah- rumah etnis Rohingya. Tindakan-tindakan diksriminasi lainnya yang dilakukan pada
etnis Rohingya terus bertambah hingga pada pencabutan kewarganegaraan mereka. Akhirnya,
etnis Rohingya menjadi warga stateless. Etnis Rohingya menjadi statelles karena adanya
diskriminasi serta pencabutan terhadap status kewarganegaraan. Myanmar menghapus
Rohingya dari delapan etnis utama yaitu Burmans, Kachin, Karen, Karenni, Chin, Mon,
Arakan, Shan, dan dari 135 kelompok etnis lainnya.

Dalam Rome Statute of The International Criminal Court 1998 (Statuta Roma Tahun
1998) dijelaskan mengenai definisi dari pelanggaran HAM. Bentuk-bentuk pelanggaran
HAM yang terdapat dalam Statuta Roma berupa kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.7 Tindakan kekerasan atau diskriminasi
yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar dibuktikan oleh dibentuknya kebijakan
Burmanisasi terhadap warga negara Myanmar. Diketahui bahwa kebijakan Burmanisasi
memiliki arti bahwa Myanmar hanya akan mengakui adanya agama Budha di negaranya.
Namun pada kenyataannya, bukan hanya agama Budha saja yang berdiam dan menetap di
negara ini melainkan ada juga agama lain termasuk Islam (etnis Rohingya). Diskriminasi
etnis ini juga tampak begitu jelas dari dicabutnya tokoh yang terlibat dalam politik
pemerintahan yang memiliki etnis Rohingya hingga pemberlakuan hukum bahwa etnis
Rohingya maksimal hanya mempunyai dua anak. Penghapusan semua sekolah-sekolah Islam
yang selama ini sudah berjalan juga merupakan sebagian dari tindakan pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya. Kebijakan ini
mengakibatkan terjadinya perlakuan diskriminatif serta dicabutnya status kewarganegaraan
bagi etnis Rohingya. Akibatnya, etnis ini mencari kenyamanan dengan mengungsi ke
beberapa wilayah seperti Malaysia, Indonesia dan Bangladesh. Tentunya etnis Rohingya
berhak mendapatkan perlindungan hak asasinya.

Perlakuan yang tidak tepat terhadap Rohingya terjadi pada masa pemerintahan Ne
Win pada tahun 1962. Pada 2012, warga etnis Rakhine menyerang sebuah bus, dan

6
Baehr, Pieter, dkk, 2001. Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia. Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta
7
Susanti, Aviantina DKK, Penyelesaian Kasus pelanggaran HAM Berat Terhadap Etnis Rohingya di Myanmar
Berdasarkan Hukum Internasional. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
menewaskan 10 Muslim yang diduga warga etnis Rohingya. Tuduhan itu ialah bahwa tiga
warga muslim Rohingya memperkosa dan membunuh seorang wanita dari kelompok etnis
Rakhine. Puluhan ribu rumah dibakar dan ratusan orang ditangkap secara paksa ketika kabar
masalah tersebut mulai menyebar ke kelompok etnis Rohingya. Kekerasan terhadap
Rohingya berlangsung lama dan sudah pati mempengaruhi psikologi, terutama pada anak-
anak mereka. Anak akan merasa tidak nyaman dan kesulitan melakukan berbagai tindakan.
Orang tua juga anak-anak, akan kesulitan melakukan atau mencari pekerjaan yang sesuai
dengan kebutuhan mereka sehari-hari. Hal ini karena pemerintah Myanmar mengatur dan
melarang akses pencarian pekerjaan dan penghidupan mereka. Karena itu, mereka merasa
tidak aman dan tidak nyaman di tempat mereka berada dan pada akhirnya mengakibatkan
mereka untuk memutuskan meninggalkan negara asalnya yaitu Myanmar. Namun begitu,
tetap saja saja ada beberapa warga dari etnis Rohingya memilih untuk menetap di Rakhine
meskipun situasinya sering terancam dan tidak dikenali. Ada alasan mengapa beberapa
Rohingya masih tinggal di Rakhine. Karena mereka merasa bahwa Rakhine adalah kampung
halaman mereka dan sudah lama tinggal di sana. Bahkan beberapa warga terlibat dan
berpartisipasi dalam dunia politik Myanmar. Beberapa dari mereka juga sulit untuk
dijangkau, sehingga sulit untuk dievakuasi ke daerah lain.

D. Respons ASEAN dan Dunia Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam
Konflik Rohingya

Konflik pelangaran HAM terhadap etnis Rohingya ini mulai terungkap ke dunia
internasional ketika media internasional mulai membuka fakta-fakta tentang adanya konflik
Rohingya pada bulan Juli 2012 di mana pemberitaan. Pada saat itu, konflik ini memuncak
dengan adanya pembakaran besar-besaran terhadap perumahan yang dihuni oleh etnis
Muslim Rohingya. Melihat kondisi yang terjadi. Awalnya, konflik ini terkuak di Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) terlebih dahulu hingga tiba pada saat di mana Uni Eropa mengecam
kekerasan yang terjadi pada konflik tersebut, namun hanya sekedar mengecam dan tidak
menyalahkan pemerintah Myanmar. Lembaga lain seperti Amnesty Internasional dan
Organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) dunia menilai bahwa pemerintah Myanmar telah
melakukan diskriminasi secara sistematis terhadap etnis Rohingya dan menyebabkan
penderitaan yang tak kunjung usai.8

Myanmar merupakan wilayah yang masuk ke dalam regional Asia Tenggara. Adanya
organisasi Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) menjadi sebuah sarana bagi
berkumpulnya 10 negara yang tergabung menjadi anggota ASEAN. Dalam permasalahan
Rohingya yang terjadi di Myanmar, negara-negara anggota ASEAN tentunya tidak tinggal
diam. Bantuan demi bantuan kemanusiaan yang disalurkan kepada pengungsi Rohingya. Hal
ini telah membuka mata dunia untuk ikut serta dalam membantu krisis kemanusiaan di
Rohingya, Myanmar. Namun, dalam menghadapi konflik Rohingya harus berhati- hati, hal
ini dikarenakan ASEAN menganut prinsip nonintervensi yaitu prinsip untuk memastikan

8
Triono, 2014. Peran ASEAN Dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingya. Jurnal TAPIs Vol.10 No.2 Juli-
Desember
bahwa masalah tiap-tiap negara harus diurus masing-masing tanpa adanya campur tangan
dari pihak luar. Terlepas dari hal tersebut, nyatanya ASEAN sudah cukup berkontribusi
dalam membantu etnis Rohingya. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh ASEAN sebagai
organisasi internasional antara lain berperan dalam mengelola konflik dan sejumlah kepala
Negara ASEAN sepakat untuk menekan agar konfik bisa terselesaikan dan mengakhiri
konflik antara etnis Budha dan Muslim.

KESIMPULAN

Etnis minoritas sering mendapatkan perlakuan yang tidak baik seperti tindakan
diskriminatif yang dilakukan oleh kelompok mayoritas yang ada didalam suatu negara. Di
Myanmar, ada sekelompok etnis yang mendapatkan tindak diskriminasi, sekelompok tersebut
merupakan etnis Rohingya. Etnis Rohingya dianggap sebagai orang-orang yang tidak
memiliki kewarganegaraan dan tidak diakui secara penuh kewarganegaraannya oleh
pemerintah Burma dan mereka tidak dianggap sebagai penduduk tetap, melainkan dianggap
sebagai penduduk sementara oleh rezim Burma, etnis Rohingya juga tidak memiliki hak
kewarganegaraan penuh. Pemerintah Myanmar menganggap mereka sebagai orang asing
sehingga mereka mendapatkan tindakan diskriminasi dan kekejaman di negara tersebut.

Rohingya merupakan kelompok etnis yang berada di Rakine, Myanmar. Rohingya


dan Rakhine adalah dua kelompok etnis berbeda yang menempati wilayah Arakan yang saat
ini bernama Rakhine.

Etnis Rohingya mengalami intoleransi karena perbedaan mereka dengan masyarakat


lainnya, Etnis Rohingya beragama Muslim serta identitas etnis dan ciri-ciri fisik mereka
berbeda dengan warga Myanmar pada umumnya, bahkan bahasa merekapun berbeda dengan
etnis-etnis Myanmar pada umumya.

Akar yang menjadi awal konflik ini terjadi ialah adanya kecemburuan sosial terhadap
etnis Rohingya yang dalam beberapa dasawarsa terus meningkat. Meskipun sebagai etnis
minoritas tetapi etnis Rohingya mampu terlibat dan bekerja dalam pemerintahan Myanmar.
Hal tersebut menimbulkan kecburuan pada etnis mayoritas Rakhine. Bagi mereka keberadaan
etnis Rohingya dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu dan mengurangi hak lahan dan
ekonomi, khususnya di wilayah Arakan, Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis
Muslim. Hingga kemudiam pemerintah membuat undang-undang kewarganegaraan burma
yang menghapus Rohingya dari etnis di Myanmar.

Peniadaan tersebut menghilangkan dan membatasi hak-hak etnis Rohingya dalam


beberapa hal yaitu: hak untuk bebas bergerak dan berpindah tempat, hak untuk menikah dan
memiliki keturunan, hak atas Pendidikan, hak untuk berusaha dan berdagang, hak untuk
bebas berkeyakinan dan beribadah, dan hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan.
Konflik yang terjadi pada etnis Rohingya terus berlanjut hingga jumlah korban terus
meningkat, sehingga konflik etnis yang terjadi di Myanmar ini termasuk dalam kejahatan
genosida. Konflik tersebut mengakibatkan terjadinya banyak pelanggaran HAM terhadap
etnis yang mendiami negara Myanmar ini. Beberapa bentuk dari pelanggaran tersebut ialah
seperti pembunuhan, pembakaran rumah, dan tidak diakui etnis Rohingya sebagai salah satu
bagian dari Negara Myanmar.

Etnis Rohingya mendapatkan perlakuan-perlakuan yang sangat timpang dari


pemerintah Myanmar yang membatasi hak-hak mereka termasuk hak untuk hidup.
Pemerintah Myanmar sendiri bahkan melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap etnis
Rohingya ini seperti adanya tindakan pemerkosaan, pembunuhan serta pembakaran rumah-
rumah etnis Rohingya.. Tindakan-tindakan diksriminasi lainnya yang dilakukan pada etnis
Rohingya terus bertambah hingga pada pencabutan kewarganegaraan mereka.

Diskriminasi etnis ini juga tampak begitu jelas dari dicabutnya tokoh yang terlibat
dalam politik pemerintahan seperti menteri, sekertaris parlemen, dan sebagian di posisi
pemerintahan lainnya yang memiliki etnis Rohingya hingga pemberlakuan hukum bahwa
etnis Rohingya maksimal hanya mempunyai dua anak. Selain itu, Penghapusan semua
sekolah-sekolah Islam yang selama ini sudah berjalan juga merupakan sebagian dari tindakan
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya.
Pemerintah Myanmar mengatur dan melarang akses pencarian pekerjaan dan penghidupan
kepada etnis rohingya.

Karena itu, etnis Rohingya merasa tidak aman dan tidak nyaman di tempat mereka
berada dan pada akhirnya mengakibatkan mereka untuk memutuskan meninggalkan negara
asalnya yaitu Myanmar. Dalam permasalahan Rohingya yang terjadi di Myanmar, negara-
negara anggota ASEAN tentunya tidak tinggal diam, negara anggota ASEAN turut
membantu dalam konflik tersebut., bantuan kemanusiaan dilakukan pada pengungsi rohingya.

Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh ASEAN sebagai organisasi internasional antara lain
berperan dalam mengelola konflik dan sejumlah kepala Negara ASEAN sepakat untuk
menekan agar konfik bisa terselesaikan dan mengakhiri konflik antara etnis Budha dan
Muslim.
DAFTAR PUSTAKA

Baehr, Pieter, dkk, 2001. Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Hartati, Anna Yulia. "Studi Eksistensi Etnis Rohingya di Tengah Tekanan Pemerintah
Myanmar." Jurnal Hubungan Internasional 2, no. 1 (2013): 7-17.
http://scholar.unand.ac.id/48268/2/BAB%20I%20eric.pdf
https://eprints.umm.ac.id/40458/3/BAB%202.pdf
https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58723/Alfi%20Revolusi.pdf?sequen
ce=1&isAllowed=y
Saputra, Vidya Tama. "Diskriminasi Etnis Rohingya Oleh Pemerintah Myanmar."
Siba, M. Angela Merici, and Anggi Nurul Qomari’ah. "PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM KONFLIK ROHINGYA HUMAN RIGHT VIOLATIONS ON ROHINGYA
CONFLICT." Journal of Islamic World and Politics 2, no. 2 (2018): 367-385.

Susanti, Aviantina DKK, Penyelesaian Kasus pelanggaran HAM Berat Terhadap Etnis
Rohingya di Myanmar Berdasarkan Hukum Internasional. Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya.
Triono, 2014. Peran ASEAN Dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingya. Jurnal TAPIs
Vol.10 No.2 Juli-Desember.
Wanandi, Gita, I. Made Pasek Diantha, and I. Made Budi Arsika. "PERLAKUAN
DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM
PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL."

Anda mungkin juga menyukai