Anda di halaman 1dari 2

Myanmar merupakan negara yang kaya akan keragaman etnis, dan agama dan juga

sumber daya alam minyak yang melimpah. Etnis yang paling dominan di Myanmar adalah
Bamar, Shan, Kayin, Rakhine, Chinese, Mon, dan Kachin dan Budha sebagai agama yang
paling mendominasi di Myanmar. Etnis Rohingya merupakan salah satu etnis yang tinggal di
Myanmar yang beragama Islam, akan tetapi mereka tidak diakui sebagai warga negara
Myanmar serta mengalami diskriminasi oleh pemerintah Myanmar.
Politik dan pemerintahan Myanmar didominasi oleh mayoritas Buddhis Bamar yang
mengkampanyekan tafsir Buddhisme dan semakin mempersempit ruang bagi etnis-etnis
minoritas. Hal tersebut dapat terlihat dari kebijakan pemerintah Myanmar yang menganggap
beberapa etnis selain Bamar, Shan, Kayni, Rakhine, Chinese, Mon, dan Kachin dan Kayah
merupakan penduduk imigran gelap sebagaimana kasus pada Rohingnya yang menimpa
Kaum muslim.
Undang-undang kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 secara langsung mengatur
tentang kendali Pemerintah junta militer Myanmar dalam memberikan status
kewarganegaraan ataupun menghapus status kewarganegaraan warga negaranya dan ini
didukung dengan partai politik dan para biksu garis keras yang ingin etnis Rohingya diusir
dari Myanmar.
Pemerintah Myanmar menolak desakan internasional, maupun tekanan dari
internasional, agar ikut memikirkan solusi atas pelarian ribuan warga etnis Rohingya dan
tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah junta militer. Tekanan yang berasal
dari dalam dan luar negeri pun didapatkan dari organisasi-organisasi di dunia tidak di
tanggapi oleh pemerintah Myanmar sendiri. Negara mayoritas Buddha itu malah menyatakan
tidak akan pernah mengakui dan adanya kepentingan dan alasan apa dibalik kebijakan
diksriminatif yang tetap dijalankan oleh pemerintah Myanmar walaupun ada tekanan yang
berasal dari internasional.
Disintegrasi sosial dan Diskriminasi sosial jelas terjadi di Myanmar, contoh
beberapa kasus seperti dikarenakan beberapa perselisihan yang terjadi antar kaum minoritas
yakni muslim rohingnya dan kaum mayoritas yakni Rakhine. Kasus tersebut yakni
Pemerkosan Ma Thida Htwe Pemicu konflik mulai terjadi pada saat aparat pemerintah
melakukan penahanan tiga tersangka atas pembunuhan seorang gadis yang bekerja sebagai
tukang jahit dari etnis Rakhine, Ma Thuda Htwe (27 tahun), putri U Hla Tin dari
perkampungan Thabyechaung, Desa Kyauknimaw, Yanbe. Gadis 27 tahun tersebut ditikam
sampai mati disertai pemerkosaan oleh tiga orang dari etnis Rohingya yakni Htet Htet (a)
Rawshi bin U kyaw Thaung (Bengali/Muslim), Rawphi bin Sweyuk tamauk
(Bengali/Muslim) dan Khochi bin Akwechay (Bengali/Muslim). Aparat kepolisisan Rakhine
melakukan penahanan ketiga tersangka tersebut secara tidak transparan sehingga menekan
amarah kedua etnis. Kasus lain seperti Warga Rohingya Etnis Bengali Tidak Diakui Sebagai
Penduduk Asli Myanmar dan beberapa diskriminasi budaya oleh pemerintah Myanmar
sendiri (Astuti, 2021).
Selain itu, sifat-sifat kebijakan yang sangat etnosentrisme terlihat dari Undang-
undang kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 secara langsung mengatur tentang kendali
Pemerintah junta militer Myanmar dalam memberikan status kewarganegaraan ataupun
menghapus status kewarganegaraan warga negaranya dan ini didukung dengan partai politik
dan para biksu garis keras yang ingin etnis Rohingya diusir dari Myanmar Kuatnya kontrol
militer di Myanmar yang mengusung ideologi etnosentrisme dengan mengedepankan orang-
orang asli kelahiran dan keturunan Burma dan beragama Buddha, juga menyebabkan kondisi
komunitas Rohingya semakin termaginalkan.

Anda mungkin juga menyukai