Anda di halaman 1dari 10

Penyebab Konflik Rohingya di Myanmar, Berikut Penjelasannya

Rabu, 10 Februari 2021 18:40Reporter : Novi Fuji Astuti

Kamp Nayapara, Tempat Tinggal Pengungsi Rohingya Terbakar. ©2021


REUTERS/Mohammed Arakani
Merdeka.com - Perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan etnis dan agama merupakan masalah
yang sangat peka dan mudah menyulut konflik-konflik terbuka bahkan dapat menyebabkan intensitas
kekerasan yang tinggi, menelan banyak korban jiwa seperti halnya konflik yang terjadi di Myanmar
antara agama Islam dan Budha yang berdampak jangka panjang bagi etnis Rohingya yang beragama
Islam.
Egoisme pemerintah Myanmar yang tidak mengakui adanya etnis Rohingya di Myanmar membuat
adanya pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Rohingya. Akibat konflik tersebut, puluhan
ribu warga Rohingya terlunta-lunta mengungsi ke negara lain, termasuk Indonesia.
Di Myanmar, etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara. Mereka kesulitan memperoleh akses
kesehatan, pendidikan dan perumahan yang layak. Kekerasan pun terus terjadi seperti tak
berkesudahan. Banyak dari kita yang mungkin masih bertanya, sebenarnya apa pokok permasalahan
di Myanmar? Apakah benar konflik Rohingya murni karena masalah agama semata? ataukah ada
faktor lainnya?
Lebih jauh berikut ini informasi lengkap mengenai penyebab konflik Rohingya di Myanmar, lengkap
dengan penjelasannya telah dirangkum dari repository.unej.ac.id dan repository.usu.ac.id:

2 dari 3 halaman
Sejarah Awal Mula Konflik Rohingya
Konflik yang terjadi di Myanmar melibatkan dua etnis yakni etnis Rohingya sebagai minoritas dan
etnis Rakhine sebagai mayoritas. Konflik ini bisa dibilang tak bisa dipisahkan dari faktor sejarah.
Kata Rohingya sendiri berasal dari Rohang, yang merupakan nama lama dari negara bagian Arakan.
Sementara Arakan dulunya merupakan sebuah negara independen yang pernah dikuasai secara
bergantian oleh orang Hindu, Budha, dan Muslim.
Pengaruh Islam mulai masuk ke wilayah Arakan pada tahun 1203 M, dan pada akhir 1440 M Arakan
resmi menjadi sebuah negara muslim yang ditandai dengan Perjanjian Yandabo yang menyebabkan
Burma, Arakan dan Tenasserim dimasukkan ke wilayah British-India. Selama 350 tahun kerajaan
Muslim berdiri di Arakan dan Umat Islam hidup dengan tenang.
Namun, pada 24 September 1784 M Raja Boddaw Paya dari Burma menginvasi Arakan dan
menguasainya. Pada 1824-1826 perang Anglo-Burma pertama kali pecah. Perang ini berakhir pada 24
Februari 1426. Tahun 1935 diputuskan bahwa Burma terpisah dari British-India tepatnya mulai
tanggal 1 April 1937 melalui keputusan ini pula digabungkanlah Arakan menjadi bagian British-
Burma.
Hal ini bertentangan dengan keinginan mayoritas penduduknya yang beragama Islam dan ingin
bergabung dengan India.Hingga pada akhirnya Arakan menjadi bagian Burma yang merdeka pada
Tahun 1948.
Tak seperti etnis lain yang setidaknya diakui kewarganegaraannya oleh Myanmar, masyarakat
Rohingya dianggap sebagai penduduk sementara. Dianggap sebagai "orang asing" membuat
masyarakat Rohingya tidak diperbolehkan bekerja sebagai pengajar, perawat, abdi masyarakat atau
dalam layanan masyarakat mereka dianggap sebagai orang-orang yang tak bernegara dan tidak diakui
oleh pemerintah Myanmar.
3 dari 3 halaman
Penyebab Konflik Rohingya
Penyebab konflik di Provinsi Rakhine yang melibatkan etnis Rakhine dan Rohingya disebabkan oleh
banyak faktor di antaranya sebagai berikut:
1. Pemerkosan Ma Thida Htwe
Pemicu konflij mulai terjadi pada saat aparat pemerintah melakukan penahanan tiga tersangka atas
pembunuhan seorang gadis yang bekerja sebagai tukang jahit dari etnis Rakhine, Ma Thuda Htwe (27
tahun), putri U Hla Tin dari perkampungan Thabyechaung, Desa Kyauknimaw, Yanbe.
Gadis 27 tahun tersebut ditikam sampai mati disertai pemerkosaan oleh tiga orang dari etnis Rohingya
yakni Htet Htet (a) Rawshi bin U kyaw Thaung (Bengali/Muslim), Rawphi bin Sweyuk tamauk
(Bengali/Muslim) dan Khochi bin Akwechay (Bengali/Muslim). Aparat kepolisisan Rakhine
melakukan penahanan ketiga tersangka tersebut secara tidak transparan sehingga menekan amarah
kedua etnis.
REUTERS/Chaiwat Subprasom
2. Warga Rohingya Etnis Bengali Tidak Diakui Sebagai Penduduk Asli Myanmar
Adanya UU Kewarganegaraan tahun 1982 yang menjadikan warga Rohingya etnis Bengali tidak
diakui kewarganegaraannya membuat nasib mereka penuh dengan ketidakpastian bahkan mereka
sering mendapatkan perlakuan sadis dari junta militer Myanmar seperti penjarahan, pembakaran
hidup-hidup, pengrusakan tempat tinggal dan rumah ibadah, pemerkosaan, dan pembunuhan secara
sewenang-wenang melalui Operasi Nagamind tahun 1990.
3. Diskriminasi Budaya Oleh Pemerintah
Penduduk Myanmar tidak pernah mengakui warga Rohingya etnis Bengali sebagai etnis, mereka
menganggap sebagai “Muslim Arakan”, “Muslim Burma” atau “Bengal dari Burma” adalah nama-
nama yang disematkan kepada Rohingya sebagai bahan ejekan.
Tidak hanya pemerintah Burma yang mengintimidasi mereka, tetapi juga junta militer pun
menggembar-gemborkan gerakan anti Islam di kalangan masyarakat Buddha Rakhine dan penduduk
Burma sebagai bagian dari kampanye memusuhi Rohingya.
Sebagian masyarakat Rakhine dan Burma menolak untuk mengakui Rohingya sebagai golongan etnis,
dan mereka telah ditolak dalam keanggotaan Dewan Nasional Etnis. Etnis Rohingya merasa menjadi
golongan kelas kedua sebagai masyarakat tertindas.

Konflik Asia Tenggara: Kasus Peperangan Indocina


Fahri Abdillah Nov 12, 2018 • 6 min read
Konsep Pelajaran Kelas 12 SMA Sejarah XII

Artikel ini akan membahas bagaimana terjadinya konflik Asia Tenggara, tentang peperangan yang
melibatkan Vietnam dan Kamboja. Peperangan ini salah satunya merupakan perang saudara.
--
Ngomongin tentang Asia Tenggara, apakah yang pertama kali terlintas dibenakmu? SEA Games,
AFF, lalu apa lagi? Nah, melalui perhelatan olahraga itu, kita jadi bisa tahu negara-negara apa saja
yang masuk dalam ASEAN dan berada di wilayah Asia Tenggara. Bener nggak sih kalau kamu tuh
tahu nama-nama negara di Asia Tenggara itu ya dari ajang pertandingan sepakbola atau semacamnya?
Atau ada hal lainnya?
Perlu kamu ketahui juga nih Squad, bahwa setiap negara memiliki sejarahnya masing-masing, dan
hampir seluruhnya dilalui dengan cara berperang. Yaa semua itu dilakukan demi mempertahankan
kedaulatan negara, seperti negara kita ini.
Nah di artikel ini kita akan bahas tentang kasus-kasus peperangan yang terjadi di Asia Tenggara,
atau yang dikenal dengan perang Indocina. Perang Indocina ini bukan cuma soal perebutan wilayah
lho, melainkan tentang perang ideologi juga.

Serangkaian peperangan yang terjadi di wilayah Indocina itu berawal dari tahun 1946 sampai tahun
1991. Kasus perang Indocina yang akan kita bahas di sini adalah kasus perang saudara yang terjadi
di Kamboja dan melibatkan Vietnam. Kamboja adalah negara jajahan Prancis yang berhasil meraih
kemerdekaannya pada 9 November 1953.
Setelah Kamboja merdeka dari Prancis nih, Kamboja dipimpin oleh Pangeran Norodom Sihanouk. Di
bawah kepemimpinannya, Kamboja kemudian menggunakan sistem pemerintahan monarki
konstitusional. Pada saat itu kaum komunis Vietnam diperbolehkan menggunakan pelabuhan yang
berada di Kamboja untuk memasok persenjataan dan makanan. Bukan cuma Vietnam, Amerika juga
diberi izin untuk mengebom tempat bersembunyinya pasukan Viet Cong  di Kamboja.
Kebijakan itu ternyata mendapak tentangan dari banyak pihak. Gimana enggak, dengan memberikan
izin kepada Vietnam dan Amerika, sama saja menjadikan Kamboja sebagai wilayah peperangan
Vietnam. Banyaknya tentangan membuat Norodom Sihanouk digulingkan dari jabatannya sebagai
raja oleh Jenderal Lon Nol pada tanggal 18 Maret 1970.
Kamboja kemudian berubah menjadi republik, dan Jenderal Lon Nol naik menjadi Presiden Republik
Khmer. Republik Khmer adalah negara sayap kanan yang mendukung Amerika Serikat (AS).
Mengetahui kabar bahwa Kamboja berubah menjadi sayap kanan AS, membuat Norodom Sohanouk
yang tersingkir ke Beijing bergabung dengan Khmer Merah. Khmer Merah adalah sebuah organisasi
kecil berpaham komunis.
Nah, Khmer Merah ini sangat menentang upaya-upaya pengeboman yang dilakukan oleh Amerika
Serikat terhadap Vietnam Utara. Penentangan yang dilakukan oleh Khmer Merah ternyata mendapat
dukungan dari masyarakat Kamboja lho. Masyarakat yang mendukung kemudian bergabung dengan
Khmer Merah. Karena dukungan yang banyak, dan karena Khmer Merah sebelumnya juga pernah
mendapat pelatihan dari militer Vietnam Utara, akhirnya Khmer Merah berhasil menggulingkan Lon
Nol. 

Khmer Merah mulai menguasai Kamboja dan Pol Pot yang merupakan pemimpin organisasi ini
sekaligus pengagum komunisme Mao (Tiongkok), mulai berkuasa dan mengubah nama Republik
Khmer menjadi Kampuchea. Khmer Merah punya slogan yang terkenal, yaitu
Masyarakat Kamboja di bawah kekuasaan Khmer Merah, diwajibkan untuk bekerja sebagai buruh
pertanian, dilarang pakai kacamata, dilarang menguasai bahasa asing, bahkan dilarang ketawa dan
menangis. Nah kalau ketahuan, siapapun akan dihukum dengan cara ditembak mati. 
Oke oke kita balik lagi ke pembahasan. Terus nih, setelah 8 tahun masa pemerintahan Khmer Merah,
Vietnam menginvasi Kamboja, dan tepat di tanggal 7 Januari 1979, pasukan Vietnam berhasil
menduduki kota Phrom Penh.
Karena invasi yang dilakukan Vietnam Selatan, menyebabkan pemerintahan Khmer Merah di bawah
pimpinan Pol Pot yang anti Vietnam Selatan pun jatuh. Pol Pot tersingkir sampai ke perbatasan
Thailand. Tapi Pol Pot tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap memberikan perlawanan dengan
melakukan perang gerilya.
Ketika itu pimpinan Khmer Merah digantikan oleh Khieu Samphar, tujuannya untuk menghilangkan
citra buruk Khmer Merah dan mendapatkan dukungan internasional. Vietnam pun kemudian
membentuk Republik Rakyat Kamboja atau People’s Republic of Kampuchea (PRK).
Kamu masih ingat Norodom Sihanouk kan? Ya, ia kemudian berkoalisi dengan dua faksi lainnya
untuk membentuk pemerintahan tandingan dari yang dibuat Vietnam yaitu PRK. Koalisi itu
disebut Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK).
Karena adanya pemerintahan tandingan, membuat Kamboja memiliki dua pemerintahan. Nah,
keduanya melakukan upaya rekonsiliasi melalui pertemuan Prancis pada tanggal 20-21 Januari 1998.
Akan tetapi upaya ini masih belum membuahkan hasil. Melihat kondisi ini, dengan heroiknya
Indonesia melalui ASEAN menawarkan mediasi untuk mengatasi konflik Kamboja. 

Hebatnya nih, semua pihak yang terlibat konflik sepakat dengan mediasi itu! Wah hebat ya Indonesia.
Setelah semua sepakat, diselenggarakanlah Jakarta Informal Meeting (JIM), dan dilaksanakan
sebanyak tiga kali.
Penyelenggaraan JIM didukung oleh Dewan Keamanan PBB. Kemudian, Dewan Keamanan PBB
mengusung pemerintahan transisi di Kamboja dengan membentuk United Nation Transitional
Authority in Cambodia (UNTAC).
Vietnam pun sepakat untuk mundur dari wilayah Kamboja pada pertemuan JIM ke II. Setelah
Konferensi Paris yang dilaksanakan pada Oktober 1991, empak faksi yang bertikai di Kamboja
menyepakati untuk saling berdamai pada tahun 1979. Setelah itu Buddha diangkat menjadi agama
resmi Negara Kamboja, dan pada tahun 1993, pemilu pertama yang demokratis diselenggarakan.

Penulis Aditya Jaya Iswara | Editor Aditya Jaya Iswara JAKARTA, KOMPAS.com –
Konflik Natuna memanas kembali setelah China menuntut Indonesia menyetop pengeboran
minyak dan gas alam (migas), karena mengeklaim wilayah itu miliknya. Padahal, Indonesia dengan
tegas sudah mengatakan, ujung selatan Laut China Selatan adalah zona ekonomi eksklusif milik RI di
bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan pada 2017 menamai wilayah itu Laut Natuna Utara.
Lalu bagaimana awal mula konflik terbaru di Laut Natuna Utara terjadi, dan bagaimana pendapat para
pakar? Berikut rangkumannya dari BBC Indonesia dan ABC Indonesia. Baca juga: China Protes
Pengeboran dan Latihan Militer Indonesia di Laut Natuna Utara 1. Klaim China di Laut Natuna Utara
Reuters pada Kamis (2/12/2021) melaporkan, China meminta Indonesia menghentikan pengeboran
minyak dan gas alam di wilayah maritim di Laut China Selatan, yang diklaim kedua negara milik
mereka. Masalah tersebut sudah terjadi sejak awal tahun ini tanpa jalan keluar. Hal ini disampaikan
oleh empat orang yang mengetahui masalah tersebut kepada kantor berita Reuters. Dapatkan
informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Anggota Komisi Pertahanan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Muhammad Farhan, mengatakan kepada Reuters, ia menerima pengarahan
perihal sepucuk surat dari diplomat China kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia, yang dengan
jelas meminta RI menghentikan pengeboran di rig sementara lepas pantai, karena aktivitas tersebut
dilakukan di wilayah China. "Jawaban kami sangat tegas, bahwa kami tidak akan menghentikan
pengeboran karena itu adalah hak kedaulatan kami," kata Farhan kepada Reuters. Lihat Foto Peta
wilayah sengketa di Laut China Selatan.(BBC/UNCLOS/GOOGLE MAP) Seorang juru bicara
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan, "Setiap komunikasi diplomatik antarnegara bersifat
privat dan isinya tidak dapat dibagikan." Dia menolak berkomentar lebih lanjut. Adapun Kedutaan
Besar China di Jakarta tidak menanggapi permintaan untuk memberikan komentar. Selain
Muhammad Farhan, tiga orang lainnya yang mengaku juga telah diberi pengarahan tentang masalah
tersebut membenarkan adanya surat dari China. Sebanyak dua orang di antaranya mengatakan, China
berulang kali menuntut agar Indonesia menghentikan pengeboran. Baca juga: China Klaim Natuna
Utara Miliknya, Tuntut RI Stop Pengeboran Migas 2. Sikap Indonesia soal kepemilikan Laut Natuna
Utara Indonesia mengatakan ujung selatan Laut China Selatan adalah zona ekonomi eksklusif milik
kedaulatan Republik Indonesia di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan pada 2017
menamai wilayah itu Laut Natuna Utara. China keberatan dengan perubahan nama itu dan bersikeras
bahwa jalur air tersebut berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut China Selatan, yang
ditandai dengan "sembilan garis putus-putus" berbentuk U. Namun, batasan ini tidak memiliki dasar
hukum menurut Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada tahun 2016. "(Surat itu) sedikit
mengancam karena itu adalah upaya pertama diplomat China untuk mendorong agenda sembilan garis
putus-putus mereka terhadap hak-hak kami di bawah Hukum Laut," kata Farhan kepada Reuters.
Lihat Foto Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali menangkap sebanyak enam kapal
nelayan berbendera Vietnam di Laut Natuna Utara, Minggu (16/5/2021).
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan,
yang juga Sekretaris Jenderal KKP, Antam Novambar mengatakan, keenam kapal tersebut diketahui
melakukan penangkapan cumi secara ilegal.(dok KKP) Komisi 1 DPR yang mengurusi pertahanan
dan luar negeri, kata Farhan, mempertanyakan sikap pemerintah. "Dalam pendalaman itu
terungkaplah China pernah mengirim surat protes. Ada dua surat protes diplomatik yaitu latihan
bersama Garuda Shield dan protes keberadaan drilling (pengeboran) itu," ujar Muhammad Farhan
kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (2/12/2021). Farhan
mengaku tidak mengetahui persis tanggal dua surat itu dikirim karena nota diplomatik hanya boleh
dibuka dan dilihat oleh pihak yang memiliki kewenangan diplomatik. Akan tetapi, merujuk pada dua
peristiwa yang disinggung China, dia memperkirakan surat protes tersebut dikirim dalam rentang
antara Agustus hingga awal September. Kementerian Luar Negeri RI, sambungnya, membalas nota
diplomatik itu. "Pemerintah mengirim surat balasan yang mengatakan bahwa protes itu tidak bisa
kami terima karena kalau drilling (pengeboran) di wilayah landasan kontingen sesuai UNCLOS.
Kalau latihan, karena kita tidak punya pakta pertahanan dengan siapapun." "Karena (pemerintah)
butuh dukungan politik, maka DPR perlu menyatakan dukungan atas sikap itu." Baca juga: RI
Diminta Tak Tanggapi Protes China soal Pengeboran Minyak dan Gas di Natuna Utara 3. Konflik
Natuna saat ini Sengketa Laut China Selatan telah terjadi sejak tahun 1947. Dasar yang digunakan
China untuk mengeklaim seluruh Kawasan Laut China Selatan adalah sembilan garis putus-putus
(nine-dash line) yang meliputi sejumlah wilayah milik Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan dan
Brunei Darussalam. Dalam sengketa Laut China Selatan, Indonesia dianggap menjadi penengah dan
tidak pernah mengeklaim wilayah itu. Di beberapa kali kesempatan Menteri Luar Negeri Retno
Marsudi meminta setiap negara menghargai hukum internasional yang tercantum dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang ditetapkan pada 1982. Lihat Foto
Pemerintah Filipina mengatakan Rabu (31/3/2021) bahwa lebih dari 250 kapal China yang diyakini
beroperasi oleh milisi telah terlihat di dekat enam pulau dan terumbu karang yang diklaim Manila di
Laut Cina Selatan.(NATIONAL TASK FORCE- WEST PHILIPPINE SEA via AP) Akan tetapi, data
pergerakan kapal menunjukkan, beberapa hari setelah rig semi-submersible Noble Clyde Boudreaux
tiba di Blok Tuna di Laut Natuna untuk mengebor dua sumur appraisal pada 30 Juni, sebuah kapal
Penjaga Pantai China berada di lokasi. Tak berapa lama, kapal Penjaga Pantai Indonesia juga ikut
berada di sana. Menanggapi pertanyaan dari Reuters, Kementerian Luar Negeri China mengatakan,
kapal Penjaga Pantai China "melakukan kegiatan patroli normal di perairan di bawah yurisdiksi
China." Kemlu China tidak menanggapi pertanyaan tentang komunikasi dengan Indonesia selama
pengeboran, dan Kementerian Pertahanan China tidak menanggapi permintaan komentar. Baca juga:
China Senggol Natuna, Berapa Cadangan Migasnya? Selama empat bulan setelahnya, kapal China
dan Indonesia saling terlihat di sekitar ladang minyak dan gas, sering kali datang dalam jarak 1 mil
laut satu sama lain, menurut analisis data identifikasi kapal dan citra satelit oleh Asia Maritime
Transparency Initiative (AMTI), proyek yang dijalankan oleh Pusat Studi Strategis dan Internasional
yang berbasis di Amerika Serikat. Data dan gambar yang ditinjau oleh AMTI dan Indonesia Ocean
Justice Initiative (IOJI), wadah pemikir independen yang berbasis di Jakarta, menunjukkan sebuah
kapal penelitian China, Haiyang Dizhi 10, tiba di daerah tersebut pada akhir Agustus dan
menghabiskan sebagian besar dari tujuh minggu berikutnya dengan bergerak lambat dalam pola yang
berdekatan dengan Blok D-Alpha. Blok D-Alpha adalah blok cadangan minyak dan gas yang juga
berada di perairan yang diperebutkan, yang menurut studi Pemerintah Indonesia bernilai 500 miliar
dollar AS (Rp 7,25 kuadriliun). Pada 25 September, kapal induk Amerika USS Ronald Reagan datang
dalam jarak 7 mil laut dari rig pengeboran Blok Tuna. Sebanyak empat kapal perang China juga
dikerahkan ke daerah itu, menurut IOJI dan nelayan setempat. Baca juga: Pemerintah Diminta Tak
Hentikan Pengeboran Minyak dan Gas di Natuna Utara meski Diprotes China 4. Kata pakar soal
konflik di Laut Natuna Lihat Foto Beijing telah membuka pangkalan militer besar di sebuah pulau
benteng yang menjadi sengketa di wilayah strategis seiring meningkatnya konflik di Laut China
Selatan.(DIGITALGLOBE EUROPEAN SPACE IMAGING via TWITTER) Pakar hukum laut
internasional dari Universitas Indonesia, Arie Afriansyah, menilai nota diplomatik tadi kian
menunjukkan sikap asertif China atas klaim teritorial Laut China Selatan di Natuna. Kendati demikian
pemerintah Indonesia, katanya, tidak perlu bersiap reaktif apalagi bernegosiasi atau mengajukan
persoalan sengketa ini ke pengadilan internasional. Langkah reaktif, kata Arie, akan dianggap bahwa
Indonesia mengakui klaim China. "Indonesia tidak perlu takut, karena Indonesia sudah berpegang
pada koridor hukum internasional yang diakui banyak negara. Jadi Indonesia sudah berada dalam
jalur yang betul berdasarkan UNLCOS," jelas Arie dikutip dari BBC Indonesia. Suara senada juga
diutarakan pengamat hubungan internasional, Aisha Kusumasomantri. Baginya jika pemerintah
Indonesia bernegosiasi dengan China justru hanya akan menaikkan eskalasi konflik. Kemudian,
meskipun China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi, tapi menurut
Aisha hal itu tidak akan membuat posisi Indonesia timpang. Ia menilai secara diplomatik Indonesia
dan China memiliki kemitraan strategis. "Dalam perdagangan, China bisa saja mengekspor bauksit
dari Afrika, tapi selama ini China pilih Indonesia karena pertimbangan Indonesia memiliki kekuatan
di ASEAN. Makanya China berusaha tetap mempertahankan hubungan ekonominya." "Indonesia pun
sadar mengakui China merupakan great power yang sedang rising dan Indonesia bisa mendapat
keuntungan ekonomi di bidang perdagangan." Arie dan Aisha lalu menyarankan, Pemerintah
Indonesia harus bersiap dengan kondisi tak terduga dalam konflik Natuna dengan mengerahkan
kekuatan keamanan laut.

Anda mungkin juga menyukai