Anda di halaman 1dari 12

Kasus Pengungsian Rohingiya Ke Indonesia: Meributkan Semua

Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah

Sosiologi Hukum
Yang Diampu Oleh Bapak Musthafa Syukur, M.Si.

Oleh:

Irvan Al-Faridi (2110300011)

UNIVERSITAS NURUL JADID


FAKULTAS AGAMA ISLAM
HUKUM KELUARGA
JANUARI 2024
A. Sejarah Dan Asal-Usul Etnis Rohingiya
Perbedaan latar belakang asal-usul etnis dan agama menjadi orang rohingiya
mengalami intoleransi mereka menjadi subjek penyiksaan sejak tahun 1962,
khususnya Ketika kebijakan “Burmanisasi” diberlakukan secara structural telah
mengeluarkan dan memmarjinalkan warga Rohingya di Arakan. Datangnya para
pengungsi Rohingya secara bergelombang di Aceh menandakan bahwa etnis ini masih
mencari tempat yang aman untuk di tinggali. Kekerasan structural yang berlangsung
selama beberapa dekade di Rakhine, Myanmar, memaksa warga Rohingya mengungsi
dan menjadi “manusia perahu”, mencari negeri aman yang mau menerima mereka di
Asia Tenggara atau negeri manapun di seluruh dunia. Tidak jaraang para manusia
perahu itu menjadi korban tenggelam di Tengah laut. Banyaak pula yang ditahan atau
diperklakukan semena-mena di negara-negara transit atau di negara-negara penerima
mereka. Hingga Desember 2023, pengungsi Rohingya di Aceh berjumlah sekitar
1.600 orang yang tersebar di Kota Sabang, Pidie, Aceh Besar, dan Lhokseumawe.
Selain di Indonesia, pengungsi Rohingya juga tersebar di Malaysia, dan Thailand.
Jika memiliki asal-usulnya, Etnis Rohingya adalah nama kelompok etnis yang
tinggal di negara bagian Arakan/Rakhine sejak abad ke-7 Masehi (788 M). Ada
beberapa versi tentang asal kata “Rohingya”. Rohingya berasal dari kata “Rohan” atau
“Rohang”, nama kuno dari “Arakan”, sehingga orang yang mendiaminya disebut
“Rohingya”. Versi lain menyebutkan bahwa istilah “Rohingya” disematkan oleh
peneliti Inggris Francis Hamilton pada abad ke-18 kepada penduduk muslim yang
tinggal di Arakan. Nenek moyang orang Rohingya bukanlah orang Bangladesh
melainkan campuran dari Arab, Turk, Persian, Afghan, Bengali, Moors, Mughal,
Pathans, Maghis, Chakmas, Belanda, Portugis dan Indo-Mongoloid. Kemunculan
pemukiman Muslim di Arakan sebagai cikal bakal kelompok Rohingya terlacak sejak
zaman Kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430–1434).
Setelah dibuang ke Bengal, Narameikhla lalu menguasai kembali Mrauk U berkat
bantuan Sultan Bengal.
Seiring dengan berkuasanya Narameikhla, masuk pula penduduk Muslim dari
Bengal kewilayah Arakan, Rakhine. Dalam perkembangannya, jumlah pemukim
Muslim dari Bengal terus bertambah, terutama ketika Inggris menguasai Rakhine.
Karena kurangnya populasi di Rakhine, Inggris memasukkan banyak orang Bengali
ke Rakhine untuk bekerja sebagai petani. Oleh karena itu, kebanyakan orang
Rohingya bekerja di sektor agraris. Arakan sendiri adalah nama kerajaan Bengal di
1
sisi timur daerah yang kini bagian dari Bangladesh yang eksis sejak abad ke-8
Masehi. Kerajaan Arakan sebelum bergabung dengan Union of Myanmar pada 1948
berturut-turut dikuasai oleh kerajaan Hindu, kerajaan Islam (pada abad ke-15 hingga
18), dan Buddhist.
Saat ini Arakan adalah negara bagian dari Union of Myanmar yang terletak di
sisi arah laut Myanmar berbatasan dengan Bangladesh. Nama Arakan berubah
menjadi “Rakhine” pada tahun 1930 dan belakangan disebut juga “Rakhaing”. Nama
“Rakhine” merujuk pada etnis Rakhine Buddhist (Moghs), sehingga istilah “Rakhine”
sejatinya tidak mewakili etnis Rohingya yang mayoritas beragama Islam. Dalam
catatan PBB, Rohingya hanya disebut sebagai penduduk Muslim yang tinggal di
Arakan, Rakhine, Myanmar. Dari sudut kebahasaan, bahasa yang diklaim sebagai
bahasa Rohingya sebenarnya termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo-Eropa,
khususnya kerabat bahasa Indo-Arya. Bahasa Rohingya dikategorikan sebagai
bahasa-bahasa Chittagonia yang dituturkan oleh masyarakat di bagian tenggara
Bangladesh. Sementara itu, kebanyakan bahasa di Myanmar tergolong rumpun Tai
Kadal, Austroasiatik, atau Sino-Tibetan. Jadi, jelas bahwa kelompok etnis Rohingya
merupakan keturunan etnis Bengali, khususnya sub-etnis Chittagonia yang tinggal di
Bangladesh tenggara. Ketika Inggris melakukan sensus penduduk pada 1911,
pemukim Muslim di Arakan sudah berjumlah 58 ribu orang. Jumlah itu terus
bertambah pada tahun 1920-an ketika Inggris menutup perbatasan India, sehingga
orang Bengali memilih masuk ke Rakhine.
 Penghapusan Kewarganegaraan
Memasuki kemerdekaan Burma (sekarang Myanmar) pada tahun 1948,
pemerintah telah menyatakan migrasi tersebut adalah ilegal dan menyatakan
bahwa Rohingya adalah keturunan Bengali serta menolak untuk mengakui
mereka sebaga etnis dan warga negara Myanmar. Warga, seperti yang
didefinisikan oleh Konstitusi 1947, adalah orang orang yang menjadi milik
suatu “ras pribumi”, memiliki nenek dari “ras pribumi adalah anak anak warga
negara, atau tinggal di Myanmar (Burma Inggris) sebelum 1942. Menurut
hukum ini, warga diharuskan untuk memperoleh Kartu Registrasi Nasional
(National Registration Card), sedangkan non-warga negara diberi Kartu
Pendaftaran Asing (Foreign Registration Card).
Setelah an Partai Program Sosialis Burma-nya (BSPP) merebut
kekuasaan ppada tahun 1962 dari tangan U Nu, Pemerintah militer mulai
2
membubarkan organisasi sosial dan politik Rohingya. Pada tahun 1974
Pemerintahan Jenderal Ne Win (1962–1988) telah melucuti kewarganegaraan
Rohingya dan selanjutnya pada tahun 1982 melalui Peraturan Kewarganeraan
Myanmar (Burma Citizenship Law 1982), Pemerintah menyatakan Rohingya
“non-national”. Berdasarkan The Pyithu Hluttaw Law No. 4 of 1982 atau
Burma Citizenship Law, 15 Oktober 1982, Myanmar saat ini mengakui tiga
kategori warga, yaitu warga negara penuh, warga negara asosiasi dan warga
negara naturalisasi.
1. Warga negara penuh adalah keturunan dari penduduk yang tinggal
di Myanmar sebelum 1823 atau lahir dari orang tua yang adalah
“warga negara” pada saat kelahiran.
2. Warga asosiasi adalah merekka yang memperoleh
kewarganegaraan melalui Union Citizenship Law 1948.
3. Warga naturalisasi mengacu kepada orang-orang yang tinggal di
Myanmar sebelum 4 Januari !948 dan mengajukan permohonan
untuk kewarganegaraan setelah 1982.
Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar 1982 tidak mengakui
Rohingya sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis yang di akui secara
hukum di Myanmar hingga saat ini. Lebih dari 125.000 Rohingya yang saat ini
masih bertahan di Rakhine utara secara efektif tanpa kewarganegaraan dan
hak-hak manusia, begitu pula Rohingya yang telah menyelamatkan diri ke
berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia. Operasi-operasi militer yang
dilakukan pemerintah dan jutaan militer telah membumi hanguskan ratusan
ribu rumah, ratusan masjid dan ribuan nyawa Rohingya. Konflik horizontal ini
sengaja dibiarkan untuk melegalisasi Tindakan pemerintah Myanmar untuk
mengusir dan memusnahkan etnis Rohingya dari bumi Arakan.
 Konflik Sektarian
Selain campur tangan negara, ada faktor lain yang melatar belakangi
terjadinya konflik sectarian di Myanmar, yaitu kecemburuan sosial. Selain
Arakan, mayoritas muslim Rohingya mendiami kota Meiktila. Kebanyakan
dari muslim Meikhtila dan muslim di Myanmar adalah pedagang atau
pebisnis. Bahkan perusahaan konstruksi dan hotel hotel besar di Myanmar
merupakan milik pengusaha muslim. Kegigihan mereka dalam perdagangan
dan bisnis memang telah menguasai sendi-sendi ekonomi di Myanmar.
3
Kedai-kedai milik mereka juga tersebar di kota Meikhtila dan Yangon. Mereka
memberikan symbol 786 pada kedai-kedainya. Simbol 786 ini merupakan
pengganti dari kalimmat Bismillah, yang dilekatkan pada papan nama kedai-
kedai mereka, yang menandakan bahwa kedai tersebut menjual makanan halal.
Namun, symbol tersebut kemudian disalah artikan lain oleh kelompok ektrimis
budha. Mereka takut Myanmar akan berubah seperti Indonesia dan Malaysia
sebagai negara muslim terbesar.
Sejak itu, tahun-tahun berikutnya mulai timbul konflik dengan
penduduk Rohingya. Untuk mengcounter perkembangan islam di Myanmar,
kelompok ekstrimis membentuk Gerakan 969 yang diketuai oleh biksu
Mandalay bernama Wirathu. Provokasi yang dilakukan oleh kelompok
ekstrimis ini menyulut amarah dan sinisme terhadap Islam di Meikhtila, di
mana kemudian terjadi peristiwa kerusuhan pada tanggal 25 Maret 2013.
Kelompok ekstrimis ini tidak lagi hanya menyerang eksistensi Rohingya di
Arakan, namun juga keseluruhan Muslim di Myanmar. Akibat kerusuhan
tersebut tercatat 400 lebih muslim Meikhtila tewas. Sisanya melarikan diri
meninggalkan Arakan ke wilayah Asia Tenggara. Sikap pemerintah yang tidak
bersedia memasukkan Rohingya sebagai bagian dari warga negara Myanmar
tersebut diyakini menjadi faktor utama berlarut-larutnya persoalan Rohingya.
Karena keberadaan mereka tak diakui, warga Rohingya kehilangan banyak
hak dasar sebagai warga negara, seperti hak mendapat atau memiliki tempat
tinggal, pekerjaan, dan kesejahteraan. Kehidupan warga Rohingya pun sangat
dibatasi. Atas kondisinya, Badan Pengungsi Dunia (UNHCR) mengategorikan
Rohingnya sebagai etnis minoritas paling teraniaya di dunia.
B. Masuknya Rohingiya Ke Indonesia
Pengungsi Rohingya kurang lebih total 185 orang terdampar di Pantai Ujong
Pie, Pidie, Aceh pada Senin (26/12/2022) petang setelah berpekan-pekan terkatung-
katung di lautan. Ini adalah rombongan kedua yang terdampar di Aceh usai 58
pengungsi Rohingya mendarat lebih dulu di Desa Ladong, Kabupaten Aceh Besar
pada Minggu (25/12) lalu Para pengungsi Rohingya yang terdampar di pantai
dilaporkan dalam kondisi sangat lemah dan dehidrasi. Mereka kemudian mendapat
pertolongan pertama di balai desa sebelum dipindahkan ke sebuah gedung sekolah
pada Senin (26/12) tengah malam.

4
Salah satu pengungsi, Rosyid mengaku rombongannya meninggalkan
Bangladesh pada akhir November lalu dan terombang-ambing di lautan. "Setidaknya
20 dari kami mati karena gelombang tinggi dan penyakit. Mayat-mayat mereka
dilempar ke laut," kata Rosyid kepada Associated Press. Chris Lewa, direktur Proyek
Arakan yang berfokus berkegiatan mendukung pengungsi Rohingya, mengonfirmasi
bahwa perahu yang terdampar di Ujong Pie adalah bagian dari 190 pengungsi
Rohingya yang terpantau oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menaiki kapal kecil
dan terkatung selama sebylan di Laut Andaman.
Meskipun demikian, perwakilan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi
(UNHCR) mengaku pihaknya belum bisa mengonfirmasi bahwa pengungsi yang
terdampar di Aceh adalah mereka yang terkatung di Laut Andaman. UNHCR tengah
membuka penyelidikan terkait kasus ini. Menurut Lewa, Selasa (27/12), para
pengungsi Rohingya di Aceh adalah bagian dari empat kelompok pengungsi yang
meninggalkan Distrik Cox's Bazar, Bangladesh pada akhir November lalu. Mereka
berlayar dari Bangladesh menggunakan perahu kecil, lalu dipindahkan ke empat kapal
yang lebih besar.
Kata Lewa, empat kapal itu kemudian mengalami nasib yang berbeda-beda.
Kelompok pengungsi yang terdampar di Aceh disebutnya sebagai kapal yang paling
terakhir mendarat. Kapal pertama diselamatkan sebuah kapal minyak Vietnam di lepas
pantai Myanmar pada 8 Desember lalu. Namun, 150 pengungsi itu dikerek ke pesisir
usai diberi makanan dan minuman oleh pelatu Vietnam. Kapal kedua yang memuat
104 pengungsi diselamatkan oleh Angkatan Laut Sri Lanka pad 18 Desember.
Menurut kapten kapal kedua yang diselamatkan Sri Lanka, kapal ketiga kemungkinan
tenggelam. Kapten kapal kedua dilaporkan mengirim pesan ke keluarganya yang
tinggal di kamp pengungsian Cox's Bazar bahwa kapal ketiga sempat mengiriminya
pesan SOS. Kapten kapal ketiga hendak mengalihkan penumpang ke kapal kedua
karena kapalnya akan tenggelam.
Akan tetapi, kapten kapal kedua menolak karena kapalnya telah penuh
sesak dan punya masalah mesin, berisiko menyebabkan semua orang tenggelam jika
menampung lebih banyak penumpang."(Kapal keempat) akhirnya mendarat di bagian
utara Aceh, Indonesia pada sore hari pada Senin (26/12)," kata Lewa. Sementara itu,
58 pengungsi yang terdampar di Ladong juga dilaporkan berasal dari Cox's Bazar,
Bangladesh. Mereka mengaku hendak berlayar ke Malaysia untuk bekerja di
perkebunan, tetapi mesin kapal rusak hingga terdampar ke Aceh.
5
Ini bukan kali pertama kabar pengungsi Rohingya terdampar di Aceh.
Pada Juni 2020 sekitar seratusan orang pengungsi Rohingya dikabarkan terombang
ambing di lautan, kemudian dibawa dari Desa Lancok, sekitar 15 km dari Kota
Lhokseumawe ke bekas kantor imigrasi untuk penampungan sementara.
Pada 26 Desember 2021, Reuters dalam laporan yang mengutip dari Badan Pengungsi
PBB (UNHCR) menyebutkan perahu yang berisi pengungsi Rohingya terlihat di
perairan Bireuen, Aceh. UNHCR dibantu pihak berwenang kemudian menyelamatkan
mereka sehari kemudian. Dan jumlah pengungsi Rohingya di aceh sekitar 1.600 orang
C. Pengusiran Pengungsi Rohingya Oleh Mahasiswa Di Aceh, Menyisakan Trauma
Dan Ketakutan- “Kami Kira Akaan Mati disini”
 Insiden Pemindahan Paksa Oleh Ratusan Mahasiswa Terhadap
Pengungsi Rohingya Di Banda Aceh Menyisakan Trauma Dan Ketakutan
Bagi Korban.
“Karena bersaudara seiman, saya tidak menyangka mereka
memperlakukan kami dengan tidak manusiawi seperti itu,” kata seorang
pengungsi Rohingya. Sementara, kelompok masyarakat sipil menyesalkan aksi
pengusiran yang disertai kekerasan dan intimidasi. Badan PBB yang
menangani pengungsi, UNHCR, menyerukan agar pihak berwenang menjamin
keselamatan para pengungsi yang kini totalnya berjumlah 1.608 orang di Aceh
Secara terpisah, Menkopol hukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah pusat
akan mengambil langkah pemindahan sementara para pengungsi Rohingya di
Aceh.
Sehari setelah pengepungan dan pemindahan paksa yang dilakukan
gerombolan mahasiswa, sekitar 137 pengungsi Rohingya akhirnya kembali
lagi ke penampungan di rubanah Gedung Balee Meuseraya Aceh (BMA), Kota
Banda Aceh. Mereka sebelumnya dipaksa dan digiring agar pindah dengan
dua truk ke kantor Kementerian Hukum dan HAM Aceh dari Gedung BMA.
Pengungsi sebagian besar perempuan dan anak-anak, pipinya masih terlihat
basah karena air mata. “Mereka masih merasa ketakutan dan menghindar,”
kata wartawan di Aceh, Hidayatullah yang melaporkan untuk BBC News
Indonesia, Kamis (28/12).
Di antara mereka terdapat Rohimatun sedang mengelus badan anaknya
yang diselimuti kain sarung. Bocah itu terlihat pulas. Perempuan 27 tahun ini
bersedia bercerita dan mengutarakan isi hatinya. Ia mengatakan, anaknya
6
sedang demam. Kemungkinan sakitnya itu dipicu peristiwa kemarin, saat
dipindahkan paksa ke halaman Kantor Wilayah Kemenkumham Aceh. "Saat
mahasiswa datang beramai-ramai menyerbu kami, melempar semua pakaian,
tas, dan segala macam ke atas kami, padahal di dalam tas itu ada Al.-Qur’an,
ada Iqra, tapi itu dicampakkan ke atas kami… "Kami sangat ketakutan dan
kesakitan, sehingga menangis. Karena bersaudara seiman, saya tidak
menyangka mereka memperlakukan kami dengan tidak manusiawi seperti itu,
”kata orang tua tunggal yang membawa serta tiga anaknya ke Aceh.
Rohimatun menjelaskan alasannya berada di Aceh karena adanya
"ancaman yang bertubi-tubi “di Kamp Cox Bazar, Bangladesh. Di Aceh, ia
punya harapan untuk masa depan anak-anaknya yang lebih baik "sebagaimana
orang lain pada umumnya.“ Sebelumnya, ia mengungsi ke Bangladesh karena
terjadi pembantaian besar-besaran yang terjadi di kampung halaman, di
Myanmar pada 2017. "Saat pergi itu saya membawa tiga orang anak dan
terpisah dengan suami. Belakangan ketika sudah berada di Bangladesh, baru
saya tahu kalau suami saya ditembak mati saat menyelamatkan diri, tapi saya
tidak pernah melihat mayatnya,” kata Rohimatun. Pengungsi Rohingya
lainnya, yang bersedia bercerita adalah Muhammad Syakhi – di pengungsian,
ia bersama dengan istri dan dua anak.
Syakhi mengatakan terpaksa mengungsi ke Aceh karena tidak ada
jaminan keamanan di lokasi pengungsian di Bangladesh. “Setiap hari ada
penculikan, tembak menembak, tidak ada kehidupan yang luas,” katanya.
Awalnya ia pergi ke Aceh karena mendengar “masyarakatnya baik-baik”.
“Rupanya berbeda. Kami sangat ketakutan, apa yang kami bayangkan di sini
rupanya berbeda, karena itulah kami menangis,” tambah Syakhi. Ia
menambahkan, saat gerombolan mahasiswa datang untuk mengusir, "Kami
kira akan mati di sini. Jika ada kehidupan yang lebih baik di sana
[Bangladesh], untuk apa kami pergi. Kalau dikembalikan ke sana
[Bangladesh], bunuh saja kami di sini”. “Kami [laki-laki] tidak apa-apa
diperlakukan seperti itu, tapi kami sedih ketika perempuan-perempuan kami
diperlakukan dengan kejam. Tas dilempar-lempar begitu saja, tapi kami tidak
bisa melakukan apapun, makanya kami menangis,” kata Syakhi.
 Aksi Mahasiswa Yang Menuai Kecaman

7
Kelompok masyarakat sipil mengecam aksi pemindahan paksa
pengungsi Rohingya di Aceh yang dilakukan gerombolan mahasiswa, di
Gedung Balee Meuseuraya Aceh (MBA), Banda Aceh, Rabu (27/12). “Kita
menyesalkan ketika teman-teman yang mengaku dirinya sebagai mahasiswa,
melakukan intimidasi, kekerasan yang menimbulkan trauma kepada
pengungsi, terutama kelompok rentan, anak dan perempuan,” kata Ketua
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito dalam keterangan
kepada pers, Kamis (28/12). Sasmito menghargai aspirasi yang disampaikan
mahasiswa, akan tetapi semestinya dilakukan tanpa kekerasan, dan “harus
didukung dengan fakta dan data di lapangan,” katanya.
 Tanpa Argumentasi Yang Jelas
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna mengkelaim pihaknya
memantau jalannya aksi demonstrasi ratusan mahasiswa dari gabungan
beberapa kampus, Rabu kemarin. Dari temuannya, KontraS Aceh melaporkan
sejumlah mahasiswa yang terlibat aksi tersebut tidak memiliki argumentasi
yang memadai untuk menolak keberadaan pengungsi Rohingya. Alasan-
alasan yang diutarakan mahasiswa umumnya merujuk dari media sosial yang
memuat “ujaran kebencian dan berita bohong” terhadap Rohingya, kata
Husna. “Itu (mereka) tidak dapat menjawab dengan pasti. Dan yang
disampaikan itu seperti informasi-informasi di media sosial,” kata Husna yang
menaruh kekhawatiran insiden ini akan berulang dan meluas jika tidak
memperoleh mitigasi dari pihak berwenang. “Termasuk juga memperhatikan,
apa dampak bagi Indonesia di mata internasional, kalau terjadi serangan fisik
yang menyasar pengungsi,” tambahnya. Temuan KontraS Aceh ini
menguatkan dugaan dari Badan Pengungsi PBB, UNHCR. Dalam keterangan
resminya UNHCR mengatakan bahwa serangan terhadap pengungsi bukanlah
tindakan yang berdiri sendiri, melainkan hasil dari kampanye online yang
terkoordinasi. “Untuk menyebarkan informasi yang salah, disinformasi, dan
ujaran kebencian terhadap para pengungsi, serta usaha untuk menjelek-
jelekkan upaya Indonesia dalam menyelamatkan nyawa yang terancam di
laut,” kata UNHCR dalam keterangannya. UNHCR juga “sangat
mengkhawatirkan keselamatan para pengungsi dan menyerukan kepada pihak
penegak hukum setempat untuk segera mengambil tindakan guna memastikan
perlindungan bagi semua orang yang putus asa, dan pekerja kemanusiaan.”
8
 Tak Lagi Memiliki Kesadaran Historis
Dalam kesempatan lainnya, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional
Indonesia, Usman Hamid mengatakan “sangat menyesalkan dan mengecam
tindakan tidak manusiawi” mahasiswa di Aceh terhadap pengungsi Rohingya.
Aktivis 98 ini menilai tindakan gerombolan mahasiswa di Aceh terhadap
pengungsi Rohingnya seolah “tidak lagi memiliki kesadaran historis”.
Padahal, sejumlah aksi mahasiswa berdasarkan sejarah lebih menitikberatkan
pada “visi perdamaian, kemanusiaan, dan persaudaraan.” Hal ini termasuk
dalam gerakan mahasiswa pada reformasi 1998. “Mereka gagal paham soal
sebab musabab orang Rohingya terdampar ke Aceh, lalu bertindak bagaikan
robot-robot kosong etika,” kata usman dalam postingan akun instragramnya.
 Apa Langkah Yang Diambil Pemerintah?
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
(Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan, pemerintah akan memindahkan
sekitar 137 pengungsi Rohingya yang ditampung di Balai Meuseraya Aceh
(BMA), Kota Banda Aceh. "Hari ini saya sudah mengambil keputusan dan
tindakan agar pengungsi Rohingya itu ditempatkan di satu tempat yang aman,"
kata Mahfud MD kepada wartawan, Kamis (28/12). Ia menambahkan para
pengungsi ini akan akan dipindahkan ke dua lokasi berbeda, yaitu Gedung
Yayasan Aceh dan Gedung Palang Merah Indonesia (PMI). Mahfud juga
mengingatkan personel kepolisian agar menjaga keamanan para pengungsi,
agar peristiwa pengempungan Rabu kemarin, tidak terulang lagi.”karena ini
soal kemanusiaan," katanya. Selain itu, Mahfud memastikan, pemerintah
Indonesia akan menampung sementara para pengungsi. Nantinya,
pengurusannya tetap dikembalikan ke PBB.
 Seperti Apa Kejadian Pengepungan Dan Pemindahan Paksa?
Video-video pengepungan dan pemindahan paksa yang dilakukan
gerombolan mahasiswa di Aceh terhadap pengungsi Rohingya beredar di
media sosial pada Rabu (27/12), dan menyita perhatian publik. Sejumlah video
menggambarkan ratusan mahasiswa lengkap dengan almamaternya
menggeruduk pengungsi Rohingya di rubanah Gedung MBA. Mereka
berteriak-teriak mengusir. Beberapa dari mereka juga menendang dan
melempar barang-barang milik pengungsi sampai bertebrangan, sementara

9
para pengungsi yang kebanyakan perempuan dan anak-anak mengangkat
tangan sambil terus menangis histeris.
Petugas keamanan yang berjaga kalah jumlah dengan mahasiswa, tapi
mereka berusaha menenangkan massa yang datang, agar tidak terlalu
mendekat dengan pengungsi. Dalam potongan video lainnya, para pengungsi
digiring ke arah truk untuk dipindahkan ke lokasi lain, yaitu kantor
Kemenkumham Aceh. Perempuan dan anak kecil terus menangis tak berhenti.
Menurut salah satu mahasiswa yang ikut berdemonstrasi, Della Masrida,
dirinya menolak keberadaan pengungsi Rohingya karena: “Banyak mereka
melakukan hal-hal yang tak masuk akal, kayak sering mogok makan, minta
tempat yang layak. Seharusnya mereka... datang saja ke sini tidak diundang,
tapi kayak merasa ini tuh negara mereka. Merasa seperti nggak patut.“
Mahasiswa lainnya yang ikut berdemo mengancam akan melakukan aksi yang
lebih besar lagi, jika tuntutan mereka: pengungsi dideportasi dari Aceh tidak
digubris pihak berwenang. "Jika etnis ini tidak mampu dideportasi ke luar
Aceh, maka saya pastikan mahasiswa akan hadir berlipat ganda dalam
melawan kebijakan pemerintah, “kata mahasiswa bernama Teuku Wariza
Arismunandar. Dalam laporan KontraS Aceh, saat ini para pengungsi
Rohingya di Aceh tersebar di sejumlah kabupaten/kota seperti Sabang, Banda
Aceh, Pidie, Bireun, dan Aceh Timur. Di sejumlah titik pengungsian,
disebutkan para pencari suaka itu mengalami kesulitan air bersih dan
makanan. "Sebaran pengungsi ini dalam kondisi tidak baik-baik saja, “kata
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna.
D. Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Terhadap Etnis Rohingya di Myanmar
Berdasarkann Hukum Internasional
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak ia lahir atau
dimulainya ia berinteraksi dengan masyarakat. Hak tersebut tidak dapat diambil oleh
siapapun bahkan negara mempunyai tanggungjawab untuk melindungi hak-hak yang
dimiliki oleh setiap individu, tidak peduli apakah ia individu yang termasuk dalam
etnis mayoritas ataupun etnis minoritas. Mengenai etnis minoritas sudah terdapat
perlindungan terhadap etnis minoritas tentang hak-hak yang dimilikinya yang
berdasarkan hukum internasional secara umum sudah diatur dalam instrument-
instrument internasional, seperti Deklarasi mengenai Hak-hak Penduduk yang
Termasuk Kelompok Minoritas Berdasarkan Kewarganegaraan, Etnis, Agama, dan
10
Bahasa 1992, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966, Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Semua Bentu Diskriminasi Rasial 1965.
Berdasarkan pada pasal 33 Piagam PBB, para pihak yang bersengketa (etnis
rohingya dan pemerintah Myanmar serta warga Myanmar) dapat menyelesaikan
permasalahan yang terjadi dengan menggunakan mediasi terlebih dahulu. Apabila
cara tersebut tidak berhasil, Dewan Keamanan PBB dapat mengajukan kasus yang
terjadi ke peradilan internasional seperti International Criminal Court yang diatur
dalam statuta roma tahun 1998.
Pemerintah Myanmar hendaknya segera menghentikan kekerasan yang terjadi
pada etnis rohingya, karena tindakan yang dilakukan telah melanggar prinsip
perdamaian dan keamanan dunia. Selain itu, Dewan Keamanan PBB diharapkan dapat
segera bertindak dengan tegas untuk menyelesaikan kasus yang terjadi terhadap etnis
rohingya, karena apabila pemerintah Myanmar dalam kasus ini tidak dapat atau tidak
mau menyelesaikan kasus yang terjadi maka Dewan Keamanan PBB dapat
mengambil alih kasus tersebut dan menyerahkannya kepada International Criminal
Court.

11

Anda mungkin juga menyukai