OLEH :
1. Azzahra Nabila Ramadhani (07)
2. Diva Firlana Cahyani (16)
Sejarah konflik Rohingya bermula dari Arakan Utara yang terdiri dari kota-kota Maungdaw
dan Buthidaung. Sejak akhir abad ke-18, kedua wilayah ini dilanda berbagai kerusuhan dan arus
pengungsi. Ribuan warga Rohingnya mengungsi ke tempat yang sekarang disebut Bangladesh
dalam empat periode, yaitu akhir tahun 1700 an dan awal tahun 1800 an, tahun 1940 an, tahun
1978, dan terakhir tahun 1991 dan 1992, dikutip dari Human Right Watch.
Meledaknya arus pengungsi disebabkan oleh perseteruan terkait etnis dan agama karena dipicu
oleh perjuangan konflik yang lebih luas. Selama Inggris menguasai Burma yang saat ini disebut
Myanmar selama lebih dari 100 tahun (1824-1928), terjadi migrasi besar-besaran ke negara
tersebut dari India dan Bangladesh. Migrasi pengungsi rohingya ini mendapat respon negatif dari
penduduk asli Myanmar.
Setelah Myanmar berhasil mendapat kemerdekaan, migrasi yang terjadi pada masa pemerintahan
Inggris dinilai ilegal, sehingga mereka menolak kewarganegaraan Rohingya. Tidak lama setelah
mencapai kemerdekaan pada 1948, Myanmar mengesahkan undang-undang kewarganegaraan
yang menolak kewarganegaraan orang Rohingya dan membiarkan mereka tidak memiliki
kewarganegaraan. Undang-undang tersebut membagi kewarganegaraan menjadi tiga tingkatan.
Persyaratan dasarnya adalah memiliki dokumen bukti lahir di Myanmar sebelum 1948 dan fasih
dalam salah satu bahasa nasional.
Ketidakmampuan warga Rohingya untuk memenuhi persyaratan tersebut semakin menyulitkan
mereka. Selama beberapa dekade, warga Rohingya terus mengalami kekerasan, penganiayaan,
dan diskriminasi. Mereka mendapat pembatasan dalam hak belajar, bekerja, bepergian,
beragama, dan mengakses layanan kesehatan. Sejak tahun 1970-an, sejumlah tindakan keras
terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine telah memaksa ratusan ribu orang mengungsi
ke negara tetangga Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Pada 25 Agustus 2017, pasukan keamanan Myanmar memulai kampanye kekerasan sistematis
terhadap penduduk Rohingya di Negara Bagian Rakhine bagian utara, dikutip dari Save The
Children. Dalam kurun waktu dua minggu, hampir 300.000 warga Rohingya melarikan diri ke
Bangladesh karena muncul laporan mencekam terkait terbunuhnya ratusan orang, termasuk
anak-anak. Beberapa saat berikutnya, 700.000 warga Rohingya yang setengahnya adalah anak-
anak melarikan diri dari Myanmar menuju Bangladesh. Cox's Bazar, distrik di Bangladesh dekat
perbatasan Myanmar, dipenuhi dengan para pengungsi yang terpaksa tidur di lantai dan di jalan.
Kondisi pengungsi Rohingya kian memprihatinkan dengan kurangnya sumber makanan, air
bersih, dan tempat tinggal. Risiko akan eksploitasi, kekerasan, dan perdagangan manusia terus
menghantui pengungsi Rohingya. Kelompok etnis Rohingya saat ini berjumlah sekitar 1,1 juta
jiwa dan tersebar di berbagai negara Asia Tenggara. .Banyak dari mereka bahkan harus berjalan
kaki selama berhari-hari di dalam hutan dan melalui perjalanan laut berbahaya untuk mencari
tempat penampungan.
Walaupun Indonesia bukan negara yang turut meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) tentang pengungsi pada 1951, pemerintah Indonesia tetap memberikan perlindungan dan
hak-hak dasar bagi para pengungsi Rohingya selama di Indonesia. Pemerintah Indonesia hanya
memberikan tempat dan pengawasan terhadap para pengungsi, sementara kewenanangan lebih
untuk mengurus para pengungsi Rohingya di Indonesia pada dasarnya tetap dipegang oleh
UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), selaku lembaga PBB yang
bertanggungjawab mengurus pengungsi di seluruh dunia.
RATUSAN MAHASISWA USIR ROHINGNYA DI ACEH
Ratusan mahasiswa di provinsi Aceh menyerbu tempat penampungan sementara lebih dari
seratus pengungsi Rohingya, Rabu (27/12), memaksa mereka untuk meninggalkan tempat
tersebut sebagai bentuk penolakan terbaru terhadap minoritas Myanmar yang teraniaya itu. Lebih
dari 1.500 pengungsi Rohingya telah tiba di pesisir provinsi Aceh sejak pertengahan November,
yang menurut PBB merupakan gelombang pengungsi terbesar dalam delapan tahun terakhir.
Beberapa kapal mereka ditolak oleh penduduk setempat dan dalam beberapa kasus telah
diperintahkan untuk kembali ke laut.
Para mahasiswa, banyak di antara mereka mengenakan jaket dengan lambang universitas yang
berbeda, memasuki ruang serbaguna pemerintah di ibu kota Banda Aceh tempat 137 pengungsi
Rohingya menginap. Para mahasiswa tersebut meminta mereka dipindahkan ke kantor imigrasi
setempat agar mereka dapat dideportasi, menurut rekaman yang dilihat kantor berita AFP.
Para pengunjuk rasa juga terlibat perkelahian dengan polisi yang menjaga para pengungsi yang
ketakutan, namun polisi akhirnya mengizinkan para mahasiswa untuk memindahkan mereka,
menurut seorang jurnalis AFP di lokasi kejadian. Para mahasiswa membakar ban dan
menyiapkan truk untuk memindahkan para pengungsi Rohingya. Polisi membantu mereka naik
sebelum mereka dibawa ke kantor pemerintah lain di dekatnya, kata jurnalis AFP itu. Polisi
Banda Aceh tidak menanggapi permintaan komentar dari AFP. “Kami memprotes karena kami
tidak setuju dengan warga Rohingya yang terus datang ke sini,” kata Kholilullah, mahasiswa
berusia 23 tahun yang hanya bisa dipanggil dengan satu nama, kepada AFP.
Banyak masyarakat Aceh, yang mempunyai kenangan akan konflik berdarah selama puluhan
tahun, bersimpati terhadap penderitaan sesama Muslim. Namun pihak lain mengatakan
kesabaran mereka telah diuji, dengan menyatakan bahwa masyarakat Rohingya mengonsumsi
sumber daya yang langka dan kadang-kadang terlibat konflik dengan penduduk setempat.
“Dulu masyarakat Aceh menyambut baik mereka, tapi seperti yang kita tahu, ada pedagang
orang yang menyelundupkan warga Rohingya ke Aceh… Jadi, kami sebagai mahasiswa
mendukung keputusan masyarakat Aceh,” kata mahasiswa Muhammad Khalis.
Indonesia tidak ikut menandatangani konvensi pengungsi PBB dan mengatakan bahwa Indonesia
tidak dapat dipaksa untuk menerima pengungsi dari Myanmar, dan sebaliknya menyerukan
negara-negara tetangga untuk berbagi beban dan memukimkan kembali pengungsi Rohingya
yang tiba di negara mereka.
Penyebab konflik Rohingya adalah status mereka yang berbeda, hingga mereka dianggap
sebagai imigran ilegal di Myanmar. Etnis Rohingya adalah penduduk minoritas beragama
Islam di Myanmar tepatnya provinsi Arakan (sekarang Rakhine atau Rakhaing).
Penyebab konflik Rohingya adalah pemerkosaan. Ini bermula saat aparat pemerintah
melakukan penahanan tiga tersangka atas pembunuhan seorang gadis yang bekerja
sebagai tukang jahit dari etnis Rakhine.
5. Ketimpangan Sosial
Penyebab konflik Rohingya adalah adalah ketimpangan sosial lainnya. Bukan hanya
dilatarbelakangi heterogenitas etnis, penyebab konflik Rohingya juga pengaruh
ketimpangan ekonomi, agama, superioritas etnis, dan kebijakan-kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah terutama kebijakan yang mengandung unsur-unsur etnisitas.
Penyebab konflik Rohingya semakin memanas dan memuncak adalah saat konflik antar etnis
mereka diberitakan secara internasional pada bulan Juni-Agustus 2012. Pada mulanya, konflik
yang terjadi antara etnis Rohingya dan Rakhine belum banyak diketahui oleh dunia luar.
Ribuan pengungsi Rohingya yang merapat di sejumlah pantai Provinsi Aceh sejak pertengahan
November lalu kini menuai perdebatan di antara warga Indonesia. Beberapa warga Aceh
menolak menerima kedatangan pengungsi Rohingya ini lantaran disebut kerap membuat
masalah, seperti melarikan diri dari penampungan hingga mengeluh saat menerima makanan.
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia saat ini
mencapai 1.478 orang. Mereka tersebar di penampungan sementara di Aceh, Medan, hingga
Pekanbaru. Menurut Mahfud MD, tempat penampungan sementara di Pekanbaru dan Medan kini
juga sudah penuh serta kehabisan dana. Oleh sebab itu, pemerintah tengah mencari solusi untuk
mengatasi membludaknya para pengungsi Rohingya di Indonesia. Salah satunya dengan
mengembalikan mereka ke negara asal, yakni Myanmar.
Oleh karena itu, dalam konteks tersebut, penekanan pada sila kedua Pancasila mencerminkan
kekhawatiran terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan keadilan yang seharusnya ditegakkan
untuk semua individu tanpa memandang latar belakang atau keyakinan agama.
Kasus Rohingya di Indonesia menunjukkan bahwa negara ini telah memberikan respons yang
beragam terhadap krisis kemanusiaan tersebut. Penerimaan terhadap pengungsi Rohingya di
Aceh menunjukkan komitmen Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada mereka dalam
semangat kemanusiaan.
Penting untuk memperhatikan hak asasi manusia dan mencari solusi yang menghormati
keberagaman etnis dan agama serta mempromosikan perdamaian dan keadilan bagi semua pihak
terkait. Ini menunjukkan solidaritas yang besar dalam membantu mereka yang mengalami
penderitaan dan kebutuhan mendesak. Namun, kasus tersebut juga menyoroti pentingnya kerja
sama internasional untuk menangani krisis pengungsi secara holistik dan berkelanjutan.
Isu penolakan marak di media massa dan media sosial berkelindan dengan narasi negatif
terhadap keberadaan organisasi internasional, keterlibatan jaringan penyelundupan dan
perdagangan manusia, hingga opsi relokasi penampungan ke pulau terpencil. Untuk memahami
sikap kondisi sosio-kultural masyarakat lokal dalam menerima pengungsi Rohingya, sangat
penting untuk menempatkan isu penolakan tersebut dalam konteks keterbatasan masyarakat lokal
dalam memobilisasi bantuan dan mengakomodasi kebutuhan pengungsi dalam jumlah besar. Hal
ini menekankan perlunya penanganan bersama antara pemerintah pusat dan daerah.
Ketidakpastian pandangan dan langkah penanganan menimbulkan kebingungan serta
kekhawatiran di masyarakat dan pemerintah daerah ketika memberi bantuan.
Apalagi jika dikaitkan dengan momentum menjelang Pemilihan Umum 2024. Simpang-siur
informasi menjadi sangat mudah memicu sentimen negatif dan gejolak publik secara luas.
Penyebarluasan berita bohong dan ujaran kebencian sangat rentan. Padahal fakta di lapangan
menunjukkan bahwa masyarakat Aceh hingga saat ini masih konsisten dalam memberi bantuan
kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya yang ditampung sementara di Pidie ataupun yang masih
terdampar di pinggir laut.