Anda di halaman 1dari 8

TUGAS PAPER

“DISKRIMINASI MYANMAR TERHADAP KOMUNITAS MUSLIM


ROHINGYA”

Anggota Kelompok:

Randi Daniel Siregar (1901113344)

Junaedi Tambunan (1901112194)

Mata Kuliah : Etnisitas Negara Bangsa B

Jurusan : Hubungan Internasional

Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik

UNIVERSITAS RIAU

2021 / 2022
PENDAHULUAN
Tindakan diskriminasi memang merupakan sebuah tindakan yang sangat tidak terpuji
dan merupakan tindakan yang sangat memalukan untuk dilakukan. Tindakan-tindakan
diskriminasi sudah banyak terjadi di seluruh dunia, seperti contohnya tindakan diskriminasi
terhadap kaum kulit hitam di Eropa, dan juga salah satu contohnya yaitu tindakan
diskriminasi yang dilakukan oleh negara Myanmar terhadap komunitas muslim Rohingya.
Tindakan diskriminasi kerap kali terjadi karena adanya kaum minoritas dan kaum
mayoritas. Seperti halnya dalam kasus tindakan diskriminasi terhadap komunitas muslim
Rohingya di Myanmar. Komunitas muslim Rohingya diperkirakan mencapai satu juta jiwa di
Myanmar. Sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis dari Negara Bagian Rakhine,
komunitas muslim Rohingya tidak diakui sebagai warga negara oleh Pemerintah Myanmar
karena tidak memiliki dokumen hukum sehingga tidak memiliki kewarganegaraan atau bisa
disebut juga dengan “stateless”. Komunitas muslim Rohingya mendapatkan perlakuan
diskriminasi yang sangat luar biasa dari pemerintah Myanmar, mereka menjadi korban
kekerasan berskala besar pada tahun 2012 dan 2015 di Negara Bagian Rakhine dan juga
komunitas muslim Rohingya dipaksa masuk ke kamp-kamp IDP atau ke negara-negara
tetangga seperti Indonesia, Malaysia, Thailand di mana mereka tinggal dalam kondisi yang
sangat memprihatinkan.
Dan pada tahun 2016, Badan Pengungsi PBB atau UNHCR memperkirakan bahwa
lebih dari 168.000 muslim Rohingya telah melarikan diri dari negara Myanmar pada tahun
2012, dan sejak kekerasan kembali meletus pada Agustus 2017, ratusan ribu telah
menyeberangi perbatasan ke negara Bangladesh. Komunitas muslim Rohingya tidak hanya
melarikan diri ke negara Bangladesh, mereka juga telah melarikan diri ke negara-negara Asia
Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Terutamanya negara Indonesia, dan
Malaysia sebagai tujuan dari negara-negara mayoritas Muslim, dimana komunitas muslim
Rohingya akan merasa aman jika melarikan diri ke negara seperti Indonesia dan Malaysia.
Tidak hanya sampai disitu saja, perlakuan diskriminasi dan bahkan krisis Hak Asasi
Manusia yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap komunitas muslim Rohingya masih
ada lagi. Komunitas muslim Rohingya memiliki akses yang sangat terbatas untuk tingkat
pemenuhan kebutuhan dasar dan peluang pekerjaan yang layak karena adanya perbatasan
gerakan yang ketat. Komunitas muslim Rohingya juga tidak memiliki kewarganegaraan yang
resmi, karena hak kewarganegaraan mereka ditolak oleh pemerintah Myanmar sehingga
membuat komunitas muslim Rohingya menjadi salah satu populasi penduduk tanpa negara
yang terbesar di dunia.
Hal-hal tersebut semakin mendorong komunitas muslim Rohingya untuk melarikan
diri dari negara Myanmar. Dan setelah insiden kekerasan di Rakhine utara pada bulan
Agustus 2017, lebih dari 655.500 orang Rohingya telah melarikan diri dengan melintasi
perbatasan ke Bangladesh, dan sekitar 87.000 orang Rohingya telah melarikan diri setelah
insiden pada bulan Oktober 2016.
PEMBAHASAN
Negara bagian Rakhine di Myanmar Barat secara historis merupakan rumah bagi
komunitas Muslim, yang kebanyakan mengidentifikasikan diri sebagai Rohingya. Selama
beberapa dekade komunitas muslim Rohingya telah mengalami diskriminasi hukum dan
sosial. Undang-undang Kewarganegaraan 1982 telah melucuti identitas komunitas muslim
Rohingya dari kewarganegaraan mereka dan bahkan hak untuk mengidentifikasi diri sebagai
bagian dari nation state di Myanmar. Kebebasan komunitas muslim Rohingya juga sangat
terbatas, mereka dilarang bepergian tanpa adanya izin, dilarang bekerja di luar desa, dan
mereka juga tidak dapat menikah tanpa izin, oleh sebab itu mereka sangat kesulitan dengan
minimnya kebebasan yang mereka dapatkan sehingga mereka sulit mendapatkan pekerjaan
yang layak, perawatan medis dan juga pendidikan.
Komunitas muslim Rohingya belum diakui sebagai warga negara Myanmar sejak
tahun 1962 ketika peraturan militer baru mengambil alih negara tersebut. Pemerintah
Myanmar yang didukung militer beranggapan bahwa komunitas muslim Rohingya bukanlah
merupakan warga negara asli Myanmar, melainkan pemerintah Myanmar menganggap
komunitas muslim Rohingya merupakan pendatang baru dari Bangladesh dan negara-negara
Asia Selatan lainnya. Sebelum tahun 1962, Rohingya adalah pemegang kartu identitas
penduduk yang dikeluarkan pemerintah dan kartu ransum yang diterbitkan Inggris yang
menegaskan bahwa kewarganegaraan mereka sebagai warga negara Burma. Kemudian
pemerintah melalui junta militer berdalih memeriksa kartu identitas komunitas muslim
Rohingya, tetapi bukannya memeriksa kartu identitas, pemerintah pada saat itu mengambil
secara paksa kartu identitas tersebut sehingga secara tidak langsung komunitas muslim
Rohingya kehilangan identitas kewarganegaraannya. Pada Februari 1978, junta militer
Myanmar meluncurkan program berskala besar bernama “Operasi Raja Naga”. Operasi
tersebut bertujuan untuk menghabisi gerilyawan Mujahid di wilayah yang memperjuangkan
berdirinya sebuah negara Islam di negara bagian Rakhine Utara. Operasi Raja Naga
melakukan pembunuhan massal dan pengusiran terhadap kaum Rohingya dari tanah mereka
sendiri. Terdapat puluhan ribu orang Rohingya terbunuh dan lebih dari 200.000 orang
terpaksa memilih hijrah ke negara Bangladesh.
Kurang dari tiga tahun setelah repatriasi atau deportasi, implementasi Undang-
Undang Kewarganegaraan 1982 secara efektif menolak kewarganegaraan bagi komunitas
muslim Rohingya, yang menyebabkan mereka tidak memiliki kewarganegaraan resmi yang
notabene mencapai satu juta orang. Keputusan pemerintah Myanmar untuk memberlakukan
Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 didasarkan pada pembenaran historis bahwa
pemegang kewarganegaraan terbatas pada kelompok-kelompok yang secara permanen masuk
dalam kategori penduduk sebelum tahun 1823, tahun sebelum Perang Ango Burma yang
ditandai awal penjajahan Inggris. Setiap orang harus memberikan bukti bahwa leluhurnya
tinggal di sana sebelum tahun 1823 untuk mendapat legitimasi sebagai pemegang hak
kewarganegaraan yang memenuhi syarat. Undang-Undang Kewarganegaraan mencakup tiga
kategori warga negara yaitu kewarganegaraan, persekutuan warga, dan kewarganegaraan
yang di naturalisasi.
Dan akibat dari Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 tersebut, komunitas muslim
Rohingya jadi tidak memiliki kewarganegaraan secara resmi. Tanpa dokumen
kewarganegaraan yang resmi, mereka dilarang bepergian di dalam dan di luar negeri.
Komunitas muslim Rohingya juga tidak dapat melakukan sebuah perjalanan ke luar negeri.
Penganiayaan yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap komunitas muslim Rohingya
juga terjadi dalam banyak hal, misalnya seperti penyitaan lahan pertanian yang sudah
dikelola oleh komunitas Rohingya, pemindahan paksa dari rumah mereka sendiri, pendirian
pemukiman Buddha baru di tanah-tanah Muslim yang kosong, dan pembongkaran serta
pembakaran Masjid, rumah-rumah dan desa-desa Muslim, dan juga sekolah-sekolah agama
Islam. Tidak sampai disitu saja, para penguasa militer di Myanmar juga memprovokasi
kalangan umat Buddha agar timbulnya kebencian mereka terhadap komunitas muslim
Rohingya. Oleh karena itu, banyak kekeraan antar kelompok yang terjadi antara keduanya di
ibukota Sittwe (Akyab). Hal tersebut menyebabkan terjadinya gelombang migrasi dalam
skala besar sebagaimana pada tahun 2007, diperkirakan terdapat 200.000 orang Rohingya
yang berhijrah dan tinggal di Arab Saudi dan sekitar 25.000 orang di Uni Emirat Arab
(UEA). Dan pada tahun 2009, terjadi peningkatan sebanyak 500.000 orang Rohingya yang
bermigrasi di Arab Saudi, 200.000 orang Rohingya di Pakistan, dan 50.000 orang lainnya di
Uni Emirat Arab (UEA). Pada tahun 2010, terdapat 150 rumah milik komunitas muslim
Rohingya terbakar dan pada Juni 2012, kekerasan komunal antara umat Buddha Rakhine
dengan Rohingya yang menyebabkan operasi besar-besaran yang mengakibatkan penahanan
keduanya. Kemudian pada bulan Oktober 2012, pasukan keamanan menghancurkan rumah-
rumah para kelompok Rohingya yang menyebabkan banyak korban. Akibat dari penyerangan
yang dilakukan oleh pasukan militer tersebut, banyak orang-orang Rohingya dipaksa
bermigrasi ke Bangladesh sebagai tujuan terdekat, dan yang lainnya melarikan diri ke
Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Pakistan, dan ke Timur Tengah.
Karena kejadian-kejadian tersebut, komunitas muslim Rohingya dipaksa melakukan
perjalanan panjang dan juga berbahaya. Sebab, mereka menyeberangi hutan dan berlayar ke
Laut Andaman untuk mencapai negara-negara tetangga. Faktor pendorong untuk migrasi
yang tidak beraturan ini adalah karena adanya ancaman penganiayaan, baik oleh mayoritas
Buddha dan juga oleh pemerintah Myanmar. Sedangkan faktor lain yang juga merupakan
faktor penariknya adalah adanya potensi untuk menemukan lingkungan yang lebih kondusif
dan juga peluang kerja yang lebih baik di negara lain, seperti Malaysia dan Thailand. Namun,
yang tiba di tujuan yang mereka inginkan jumlahnya hanyalah sedikit, sebagian besar
terdampar, atau bahkan ada yang tenggelam di laut. Pada tahun 2015, sekitar dua ribu orang
Rohingya terdampar di Laut Andaman dekat perbatasan negara Indonesia. Sedangkan
kelompok yang lebih besar berlayar menuju negara Malaysia dan Thailand. Pada awalnya,
pemerintah Indonesia, Malaysia, dan juga Thailand menolak komunitas muslim Rohingya
untuk masuk ke wilayah mereka. Akan tetapi, setelah mendapatkan tekanan dari komunitas
nasional dan bahkan komunitas internasional, mereka akhirnya setuju untuk menyambut
kedatangan pengungsi Rohingya tersebut. Keputusan ini dibuat melalui pertemuan tiga pihak
di Malaysia. Ketiga pihak yang terlibat di dalam pertemuan tersebut yakni negara Indonesia,
Malaysia, dan Thailand. Pertemuan dari ketiga negara tersebut menghasilkan suatu kebijakan
dan juga solusi sementara dimana krisis pengungsi Rohingya dapat diselesaikan dalam jangka
waktu satu tahun. Selama krisis, beberapa mitra ASEAN tidak menunjukkan banyak
dukungan. Australia justru mendapatkan tuduhan membayar penyelundup manusia untuk
mengirim komunitas muslim Rohingya kembali ke perairan Indonesia. Sementara itu,
pemerintah Myanmar juga masih belum mengubah sikap politik dan hukumnya yang tidak
mengupayakan penyelesaian dari krisis Rohingya tersebut. Seperti yang dilaporkan media,
pemerintah Myanmar masih saja menyangkal masalah-masalah tersebut.
Negara Indonesia yang notabene negara dengan mayoritas muslim menjadi salah satu
negara yang menjadi destinasi bagi komunitas muslim Rohingya dengan pertimbangan
keselamatan dan keamanan bagi mereka. Komunitas muslim Rohingya lalu menyebar ke
beberapa wilayah di negara Indonesia seperti Aceh, Medan, Batam, Tanjung Pinang Riau dan
Kupang NTT. Dari beberapa wilayah negara Indonesia tersebut, Aceh merupakan wilayah
utama kedatangan komunitas muslim Rohingya di Indonesia, itu karena Aceh merupakan
wilayah yang paling dekat dengan Myanmar, Malaysia dan Thailand secara geografis.
Berdasarkan data dari Kantor Wilayah Kemenhukham Aceh dan Komnas HAM Aceh
beberapa daerah yang menjadi basis kedatangan dari komunitas muslim Rohingya di Aceh
antara lain Pulau Sabang, Louksemawe, dan Idi Rayeuk, Aceh Timur. Data Komnas HAM
juga mencatat sebanyak 193 orang Rohingya berada di Sabang, 55 orang di Louksemawe dan
173 orang di Idi Rayeuk, Aceh Timur. Sedangkan komunitas muslim Rohingya di Medan
sebanyak 45 orang, di Tanjung Pinang Riau tercatat sebanyak 73 orang Rohingya.
Kedatangan dari komunitas muslim Rohingya ke wilayah negara Indonesia dapat
dilihat dari beberapa hal. Yang pertama, komunitas muslim Rohingya datang ke Indonesia
setelah terlebih dahulu tinggal dan menetap di negara Malaysia dalam waktu yang cukup
lama dan juga mereka berharap mendapatkan pekerjaan yang layak dan juga pendidikan yang
layak bagi anak-anak mereka. Namun, setelah beberapa tahun mereka di negara Malaysia,
mereka tidak mendapatkan pekerjaan dan juga pendidikan yang layak untuk anak-anak
mereka disana. Hal tersebut menjadi sebuah dorongan bagi mereka untuk berhijrah ke negara
tetangga Malaysia, yaitu negara Indonesia. Komunitas muslim Rohingya bahkan dapat
menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) dengan cara sebagian menikah dengan penduduk
setempat. Dan hal yang membuat kedatangan komunitas muslim Rohingya ke Indonesia yaitu
mereka terdampar di Indonesia dengan menggunakan perahu tradisional dengan tujuan utama
ke Malaysia dan Australia. Hal selanjutnya yang membuat komunitas muslim Rohingya
datang ke wilayah negara Indonesia yaitu mereka bermigrasi di Indonesia karena dibohongi
oleh agen penyalur pekerjaan yang menjanjikan mereka akan bekerja di Australia. Agen
penyalur pekerjaan menjanjikan mereka sebuah pekerjaan yang layak di negara Australia,
tetapi itu semua hanyalah kebohongan dari penyalur pekerjaan, komunitas muslim Rohingya
malah dikirimkan ke Malaysia, dan juga ada sebagian yang terdampar di perbatasan negara
Indonesia.
Data dari hasil assesment Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia
(PAHAM) Indonesia pada bulan Juli 2015 menunjukkan bahwa mayoritas pengungsi dari
Rohingya yang datang ke Indonesia hanya sendirian saja sebanyak 62%, sedangkan 20,2%
menyatakan datang bersama anak, sebanyak 7,8% menyatakan datang bersama pasangan
(suami atau istri), sebanyak 7,4% datang dengan saudara (kakak atau adik), dan sisanya
sebanyak 1,9% datang bersama orang tua (ayah atau ibu). Dan data dari PAHAM Indonesia
(2015) juga menunjukkan fakta bahwa kebanyakan pengungsi Rohingya tidak memiliki
dokumen resmi apapun, hanya 9% pengungsi yang memiliki dokumen resmi dari UNHCR,
dan sisanya sebanyak 2% memiliki dokumen jenis lainnya. Para pengungsi dari Rohingya
juga tidak hanya ingin tinggal saja di negara Indonesia, melainkan mereka ada yang ingin
menjadi bagian dari warga negara Indonesia (WNI). Tercatat data dari hasil assesment Pusat
Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM) Indonesia 2015 sebanyak
73% pengungsi Rohingya berniat untuk menjadi warga negara Indonesia (WNI), sedangkan
sisanya sebanyak 25% menolak menjadi warga negara Indonesia, dan ada juga pengungsi
Rohingya yang ingin tetap menjadi warga negara Myanmar sebanyak 2%.
Di negara Myanmar, mereka menganggap antara identitas Rohingya dan agama Islam
merupakan hal yang sama. Meskipun sejarah panjang adanya bukti keberadaan Rohingya di
Arakan, namun mereka tetap tidak mendapatkan apresiasi dan toleransi sebagaimana
mestinya karena dalih agama dan etnis dari mereka. Istilah Rohingya sendiri berasal dari kata
“Rohang” yang merupakan nama lama untuk Rakhine State. Rohingya secara definitif berarti
Muslim dari Negara Rakhine. Mayoritas orang di Myanmar dan juga pemerintah Myanmar
mengklaim bahwa komunitas muslim Rohingya bukanlah berasal dari Myanmar, melainkan
mereka menganggap Rohingya merupakan pendatang yang datang dari Bangladesh sehingga
istilah Rohingya menjadi perdebatan panjang yang tak kunjung usai. Istilah tersebut tidak
diakui oleh pemerintah Myanmar atau mayoritas elit politik di Myanmar, mereka malah
menyebut mereka sebagai “Bengali”, istilah yang menunjukkan bahwa komunitas muslim
Rohingya adalah pendatang dari Bangladesh. Istilah Rohingya juga tidak diperkenankan
secara administratif tercatat pada dokumen resmi termasuk juga kartu identitas penduduk,
daftar rumah tangga pada sensus bulan Maret 2014. Komunitas internasional berpendapat
bahwa individu harus memiliki hak untuk mengidentifikasikan dirinya, termasuk sebagai
Rohingya. Namun istilah Rohingya tersebut ditolak oleh pemerintah Myanmar sebagai
penduduk dan juga sebagai etnis nasional yang resmi, sehingga hal tersebut menyebabkan
komunitas muslim Rohingya tidak memiliki hak kewarganegaraan dan juga dokumen-
dokumen warga negara yang resmi dari Myanmar.
Hal tersebut mengakibatkan komunitas muslim Rohingya memiliki akses yang sangat
terbatas dalam berbagai hal. Alasan rasional dugaan penghapusan kewarganegaraan
Rohingya dan juga kebijakan pemerintah agar mereka menjauhkan diri dari Rakhine karena
potensi sumber daya alamnya. Namun, tidak ada para elit politik yang berani untuk mencoba
memberikan kewarganegaraan kembali kepada komunitas muslim Rohingya, sehingga
mereka tetap tidak memiliki status kewarganegaraan yang resmi sejak UU Kewarganegaraan
dilaksanakan pada tahun 1982. Rohingya dan juga Muslim dari kelompok etnis lain,
merasakan penderitaan di tangan junta militer, pemerintah, dan para agamawan radikal yang
mempengaruhi sikap terjadap umat Islam.
KESIMPULAN
Tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar dan juga para
pasukan militer nya terhadap komunitas muslim Rohingya merupakan sebuah tindakan yang
sudah sangat fatal. Komunitas muslim Rohingya mendapatkan perlakuan yang sangat tidak
adil dari pemerintah Myanmar, komunitas Rohingya tidak mendapatkan hak
kewarganegaraan dimana di dalam Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan hak
kewarganegaraan bagi individu tidak diberikan oleh pemerintah Myanmar kepada komunitas
muslim Rohingya. Dan oleh sebab itu, komunitas muslim Rohingya mendapatkan
keterbatasan akses, pekerjaan yang tidak layak, dan juga pendidikan yang tidak layak untuk
anak-anak mereka.
Oleh karena itu, komunitas muslim Rohingya memilih hijrah ke negara-negara lain
seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Mereka memilih hijrah ke negara-negara tersebut
agar mendapatkan situasai yang kondusif dan juga aman bagi mereka. Selain mendapatkan
situasi yang kondusif, komunitas muslim Rohingya ingin mendapatkan pekerjaan yang layak
di negara-negara tersebut agar bisa memenuhi kebutuhan mereka dan juga keluarga mereka.
Komunitas muslim Rohingya mengharapkan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka
yang tidak mereka dapatkan di negara nya sendiri yaitu negara Myanmar. Pada awalnya
ketiga negara tersebut menolak kedatangan dari komunitas muslim Rohingya, tetapi karena
adanya tekanan dari komunitas nasional dan bahkan komunitas internasional, ketiga negara
tersebut melakukan sebuah pertemuan, dimana hasil dari pertemuan ketiga negara tersebut
adalah mereka menerima dan menyambut kedatangan dari komunitas muslim Rohingya.
Persoalan mengenai tindakan diskriminasi terhadap komunitas muslim Rohingya
tidak kunjung usai. Hal tersebut dikarenakan pemerintah Myanmar dan juga para pasukan
militer Myanmar tetap teguh dengan pendirian mereka bahwa komunitas muslim Rohingya
bukan berasal dari negara Myanmar, melainkan pemerintah Myanmar menganggap
komunitas muslim Rohingya merupakan pendatang yang datang dari negara Bangladesh,
sehingga hal tersebut mengakibatkan komunitas muslim Rohingya tidak mendapatkan hak
kewarganegaraan dari pemerintah Myanmar dan juga memiliki akses yang sangat terbatas di
Myanmar seperti pekerjaan yang tidak layak dan juga pendidikan yang tidak layak bagi anak-
anak mereka.
SUMBER
http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/washatiya/article/download/3834/2874

Anda mungkin juga menyukai