Anda di halaman 1dari 3

Nestapa minoritas muslim Myanmar

Merdeka.com - Sial betul Yanghee Lee, Utusan Khusus PBB yang


ditugasi menyelidiki dugaan pelanggaran HAM kasus kerusuhan di
Provinsi Arakan terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya tahun
2012. Ia (23/1) dimaki-maki oleh biksu radikal Myanmar Ashin
Wirathu dengan julukan pelacur karena dianggap mengobok-obok
negaranya.

Foto Wirathu penah dijadikan sampul majalah Time edisi 1 Juli 2013
dengan judul 'The Face of Buddhist Terror yang akhirnya dilarang
beredar di Myanmar dan Sri Lanka. Dalam edisi itu disebutkan,
Wirathu menyebut Presiden AS Barack Obama "darahnya dikotori
oleh darah keturunan Muslim" dan bahwa 90% muslim di Myanmar
adalah orang jahat dan radikal. Wirathu saat ini adalah pemimpin
gerakan 969, angka yang menggambarkan sifat-sikap agung Sang
Budha.

Dalam kasus yang sedang diselidiki Yanghee Lee, kerusuhan etnis


keagamaan meletus di bagian barat Provinsi Arakan di mana ratusan
orang muslim Rohingya tewas dan lebih dari 100.000 orang terpaksa
mengungsi.

Pernyataan Wirathu merefleksikan kondisi politik dan sosiologis


Myanmar yang secara kental diwarnai rasisme dan Islamofobia yang
bersemi dan berkelindan dengan keinginan negara itu untuk menjadi
sebuah negara yang murni secara ras dan agama di mana etnis lain
menjadi korban.

Muslim Rohingya sudah lama menerima perlakuan diskriminatif dan


hanya dipandang sebagai perusuh dari Bangladesh meski
kenyataannya mereka sudah menetap di Myanmar selama berabad-
abad. Mereka juga dilucuti status kewarganegaraannya oleh junta
militer sejak 1982 dan secara sistematis dikucilkan dari masyarakat
Burma sejak itu.
Sikap diskriminatif itu dilatarbelakangi oleh sejarah pendiri
pemerintahan militer Ne Win yang menyuarakan nasionalisme
berdasarkan etnis dan agama Budha yang sebenarnya banyak
diwarnai oleh sikap xenofobia terhadap Muslim, Kristiani dan
keturunan China yang dianggap sebagai 'warga campuran' (mixed-
blood) dan 'tak asli' (impure breeds).

Di tahun 1982, Ne Win pernah berpidato bahwa 'tayoke' (Tionghoa)


dan 'kalars' (istilah rasialis setempat yang ditujukan kepada warga
berkulit gelap keturunan India atau Muslim) tidak bisa dipercayai
untuk menduduki jabatan penting di Burma termasuk di birokrasi dan
militer.

Pandangan ini nampaknya terus berlangsung sehingga kerusuhan


yang sedang diselidiki Yanghee Lee bisa meletus. Sebabnya karena
penguasa militer dianggap membiarkan atau memberikan dukungan
pasif kepada para pendeta dan warga Budha radikal yang menyerang
kaum minoritas muslim yang merupakan 5% dari 60 juta warga
Myanmar. Oleh karenanya kasus itu tidak tepat jika disebut konflik
sektarian karena ia hanya menekankan pada peran warga dan
mengesampingkan sikap aparat keamanan.

Siapa mau membela Muslim Rohingya? Aung San Suukyi, penerima


penghargaan Nobel Perdamaian dikecam keras mengenai isu ini atas
dua hal. Yaitu sikap diamnya atas kekerasan terhadap Muslim di
negaranya dan pandangannya yang membagi tanggung jawab moral
baik kepada warga Budha maupun muslim.

ASEAN nampaknya belum bisa. Di KTT ASEAN awal tahun 2014 di


Nyaipyidaw, Myanmar, isu muslim Rohingya tidak dibahas sama
sekali. Ini menjadi tantangan berat ASEAN dalam mewujudkan
komitmen mereka dalam perlindungan HAM. Piagam ASEAN sendiri
menyatakan tekad ASEAN untuk memajukan dan melindungi hak
asasi manusia dan kebebasan dasar warganya. Tapi apa mau dikata.

Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga gagal. Keinginannya untuk


membuka kantor di Yangon guna menyalurkan bantuan kepada
Muslim Rohingya pada Oktober 2012 telah ditolak oleh Presiden
Thein Sein, mantan jenderal yang mencitrakan diri sebagai pemimpin
reformis.

Untungnya Indonesia cukup aktif bersuara dan berperan. Menlu


Marty Natalegawa ketika itu (Juli 2013) cukup tegas meminta
Pemerintah Myanmar memberikan status hukum pada warga Muslim
Rohingya dan perlu mengambil langkah untuk mengakhiri kekerasan
komunal itu. Indonesia juga banyak menampung pengungsi
Rohingya.

Tak lama setelah dilantik, Wamenlu AM Fachir (8/12/2014)


meresmikan empat sekolah bantuan Pemerintah Indonesia di Rakhine
yang menghabiskan dana USD 1 juta, untuk menunjukkan bahwa
Indonesia secara aktif mendorong rekonsiliasi konflik wilayah
Rakhine melalui pendekatan kemanusiaan.

Nampaknya dunia masih perlu dibangunkan dari tidur nyamannya


karena masih ada warga lainnya yang menderita hanya karena etnis
dan agamanya.

Anda mungkin juga menyukai