Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS KASUS PELANGGARAN HAM TERHADAP MINORITAS MUSLIM

ROHINGYA DI MYANMAR OLEH MILITER ATAU PEMERINTAH MYANMAR

Disusun untuk memenuhi tugas UAS

Mata Kuliah : Ide-ide politik

Dosen Pengampu : Dra. Harmiyati, MSi.

Disusun Oleh :

Inayah Salsa Nasution

151210023

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA

2023

1
ANALISIS KASUS PELANGGARAN HAM TERHADAP MINORITAS MUSLIM

ROHINGYA DI MYANMAR OLEH MILITER ATAU PEMERINTAH

MYANMAR

A. Latar Belakang

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dasar setiap individu, yang meliputi hak untuk

hidup dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya. Hak ini merupakan

kebutuhan dasar yang harus dinikmati oleh setiap individu dan setiap kelompok dalam

masyarakat, tanpa memandang suku, agama, atau jenis kelamin. Hal ini sesuai dengan Pasal

2 Universal Declaration of Human Rights1948(UDHR). Perbedaan suku dan agama

tersebut membuat masyarakat saling menghormati. Sepanjang sejarah perkembangan hak

asasi manusia, terdapat tiga aspek keberadaan manusia yang harus dipertahankan atau

diselamatkan yaitu integritas, kebebasan dan persamaan, pencapaian ketiga aspek tersebut

menuntut penghormatan terhadap martabat setiap manusia. Namun kebebasan, integritas

dan kesetaraan seringkali sulit diwujudkan oleh negara mengingat adanya etnis minoritas

yang dianggap tidak dominan dengan ciri khas bangsa, etnis bangsa, agama atau bahasa

tertentu yang berbeda dari etnis mayoritas dalam suatubangsa. Beberapa etnis yang

minoritas menjadi kelompok yang terdiskriminasi.

Myanmar (Burma) adalah negara multi-agama, yaitu. satu negara bagian dengan orang

yang berbeda agama. Padahal secara resmi pemerintah mendefinisikan agama Buddha

sebagai agama yang dominan di negara Myanmar. Dalam sejarah, pada masa kerajaan

klasik, ada sebuah kerajaan yang disebut Kerajaan Arakan. Saat itu terjadi serangkaian

kerusuhan komunal antara beberapa orang Kelompok Buddha Rakhine dan Muslim

Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Rohingya sendiri adalah penduduk asli

2
Arakan dan karenanya sering disebut-sebut "Muslim Arakan".1 Akan tetapi, eksistensi

Rohingya ditolak di Myanmar sehingga menyebabkan mereka menjadi salah satu

kelompok etnis yang tidak memiliki negara atau dapat diungkapkan sebagai “bangsa tanpa

negara”. Pada tahun 2012, kasus ini menjadi ramai diperbincangkan dikarenakan negara

Myanmar yang lalai dalam mengurusi konflik di negaranya. Konflik antar etnis budda

terhadap etnis muslim Rohingya berlanjut pada tahun 2012, dimana dalam tragedi tersebut

terjadi serangkaian aksi kekerasan yang menyebabkan ribuan orang tewas, ratusan ribu

warga mengungsi, ribuan rumah hangus terbakar, dan tak terhitung lagi berapa kerugian

yang dialami oleh Myanmar. Selain itu, beberapa orang dari etnis Rohingya memilih untuk

pergi dari Myanmar dengan cara bermigrasi.

Etnis Rohingya sebenarnya telah didiskriminasi sejak 1962. Selama masa jabatan

Presiden U Nay Win, ia melakukan operasi pengusiran paksa Rohingya dari Myanmar

melalui serangkaian tindakan sistematis seperti: Hukuman khusus, penangkapan

sewenang-wenang, penyitaan harta benda, pemerkosaan, propaganda anti-Rohingya dan

anti-Muslim, kerja paksa, pembatasan gerak, pembatasan kesempatan kerja, larangan

beribadah. Bahkan, pemerintahan myanmar tidak memberikan hak nya atau status

kewarganegaraan kepada mereka sehingga dampaknya adalah etnis Rohingya sangat sulit

mengakses layanan pendidikan, kesehatan, termasuk lapangan pekerjaan. Sehingga

membuat mereka terkucilkan, terabaikan, terbuang, bahkan terpinggirkan. Sebagaimana

pendapat yang di kemukakan oleh Maurice Duverger beliau menjelas bahwa “Dalam

kehidupan warga masyarakat selalu di warnai dengan adanya berbagai macam konflik dan

integrasi secara fluktuatif”. Konflik tersebut akan berubah menjadi integrasi bilamana hal

tersebut di landasi atas rasa keadilan.

1
RAMADHOAN, A. S. (2021). PENYEBAB KONFLIK ROHINGYA DI MYANMAR. 6-8.

3
B. Rumusan Masalah

Mengapa terjadi kasus pelanggaran HAM terhadap muslim Rohingya oleh militer atau

pemerintah Myanmar?

C. Kerangka Pemikiran

Rohingya ialah sebuah istilah yang merujuk ke minoritas muslim yang sebagian besar

berada di Rakhine Myanmar. Etnis merupakan perkumpulan orang yang memiliki ciri khas

dalam hal suku maupun agamanya. Akan tetapi eksistensi dari sebuah etnis seringkali

menimbulkan terjadinya konflik. Pada dasarnya setiap etnis memerlukan sebuah

pengakuan dari pihak lain sebagai tanda bahwa etnis tersebut ada dan mempunyai ciri khas

mereka sendiri. Jika sebuah etnis tidak dari sekelompok orang tidak diakui, maka akan

menimbulkan rasa tidak nyaman, rasa takut, bahkan bisa menimbulkan rasa terancam dari

sebuah etnis tersebut. Dari munculnya etnis banyak menimbulkan berbagai permasalahan

yang menyebabkan sebuah negara tidak mengakui etnis tersebut. Dalam sebuah etnis hal

yang sering mendorong konflik adalah tentang agama.

Realisme teori hubungan internasional adalah pendapat bahwa siapa pun yang memiliki

kekuatan paling besar harus benar-benar mengumpulkan kekuatan sebanyak-banyaknya

untuk menjamin keamanan negaranya. Dalam realisme, negara berinteraksi melalui

kekerasan. Realisme merupakan salah satu dari sekian banyak perspektif yang pasti

memiliki pengaruh penting dan dominan dalam kajian teori hubungan internasional. Dari

4
sudut pandang realisme, pemikiran pesimis dianggap sebagai sifat mendasar manusia yang

terus berlanjut di dunia internasional. Negara adalah aktor utama dalam realisme dan

memainkan peran paling penting, sedangkan aktor non-negara tidak diakui keberadaan dan

perannya. Dalam interaksi melalui teori kekuatan realisme, negara lemah memiliki dua

pilihan, yaitu melakukan perlawanan dengan mengembalikan keseimbangan kekuatan

dengan senjata militer, atau menyetujui keinginan negara kuat karena tidak dapat

melanjutkan dengan negara kuat.2 Realisme memiliki landasan normatif yaitu

kelangsungan hidup dan keamanan negara. Dasar yang andal dari norma ini dapat

memandu kebijakan luar negeri suatu negara. Wajar saja, berdasarkan realitas relasi

kekuasaan, semua negara harus beradaptasi untuk mengatur negaranya sendiri. Dari sudut

pandang realistis, ada empat asumsi dan ide. Yang pertama adalah keyakinan bahwa

hubungan internasional diperebutkan dan konflik internasional pada akhirnya diselesaikan

dengan perang. Keduanya membela nilai-nilai keamanan nasional. Yang ketiga adalah

pandangan pesimis tentang sifat manusia. Dan yang keempat adalah skeptisisme mendasar

bahwa ada kemajuan dalam politik internasional yang terjadi dalam politik dalam negeri.

Secara teoritis, menurut pandangan realis, hak asasi manusia memegang peranan

penting sebagai kepentingan nasional, yang harus dicapai oleh negara jika hak asasi

manusia dilanggar, jika negara memperoleh atau memenuhi hak-hak tersebut. Dalam teori

hubungan internasional realis, hak asasi manusia tidak penting untuk mempromosikan

kepentingan nasional. Realisme memiliki argumen yang dapat digambarkan sebagai skeptis

tentang hak asasi manusia karena meragukan pentingnya subjek itu, sedangkan teori

realisme menganggap bahwa tindakan anarki egois adalah kondisi sistem internasional.

Sebagai negara tempat terjadinya konflik etnis Rohingya, Myanmar beranggapan bahwa

2
Mangku, D. G. (2021 Vol. 21 No. 1). PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA KEPADA ETNIS ROHINGYA DI
MYANMAR. Perspektif Hukum, 4-10.

5
pembelaan hak asasi manusia akan diwujudkan melalui otoritarianisme, yakni melalui

kekerasan terhadap etnis Rohingya.

Tindakan Myanmar merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang mengakibatkan

banyak kematian di antara kelompok etnis Rohingya. Namun, ini merupakan perlakuan

untuk menjaga kelangsungan kedaulatan dan menghilangkan berbagai ancaman terhadap

negara. Hal ini menyebabkan negara Myanmar membela hak asasi manusia dalam bentuk

kepentingan nasional di negara tersebut. Kelompok etnis Rohingya telah tinggal di wilayah

Rakhine selama ratusan tahun. PBB mendefinisikan etnis Rohingya sebagai minoritas

berdasarkan pengamatan situasi di mana mereka dianiaya atau dianiaya di seluruh dunia.

Pemerintah Myanmar menganggap Rohingya sebagai pendatang baru dari daratan India,

dan akibatnya Myanmar tidak mengklasifikasikan Rohingya sebagai warga negara yang

memenuhi syarat. Namun, Rohingya mengakui bahwa mereka adalah bagian dari negara

Myanmar dan merasa bahwa negara menganiaya mereka.

D. Pembahasan

1. Bagaimana Tanggapan Hukum atau Dunia Internasional Mengenai Kasus

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap Konflik Etnis Rohingya

Konflik Etnis Rohingya di Myanmar baru tersebar di kanca internasional bulan Juli

2012, di mana pada saat itu mulai terkuak adanya fakta dan kebenaran tentang konflik

Rohingya, karena pada bulan Juli 2012 memuncaknya kasus tersebut dengan di bakarnya

rumah dan tempat ibadah Etnis Muslim Rohingya oleh kelompok Budha. Melihat kejadian

tersebut mendapat tanggapan dari Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa

dan mengecam atas kekerasan tersebut, tetapi PBB dan Uni Eropa hanya mengecam saja tidak

6
dengan menyalahkan pemerintah Myanmar. Pemerintah Myanmar di nilai oleh Amnesty

Internasional dan Organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) dunia, karena melakukan

diskriminasi secara sistematis kepada Etnis Muslim Rohingya yang dapat menyebabkan

penderitaan yang berkelanjutan. Myanmar dapat di kategorikan masuk dalam regional Asia

Tenggara. Dengan adanya Lembaga Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) adalah

Organisasi tempat perkumpulan 10 negara yang telah terdaftar sebagai anggota ASEAN untuk

menjalin kerja sama Internasional. Indonesia sebagai salah satu anggota Negara ASEAN tidak

tinggal diam dengan konflik Rohingya yang terjadi di Myanmar. Pemerintah Indonesia telah

memberikan bantuan kepada Etnis Muslim.3 Rohingya yang sedang mengungsi di daerah Aceh

dan membuktikan kepada dunia agar ikut serta memberikan bantuan kemanusiaan kepada Etnis

Rohingya Myanmar yang sedang merasakan krisis kemanusiaan. Akan tetapi dalam

menghadapi konflik Rohingya di Myanmar, Pemerintah Indonesia harus sedikit waspada

karena ASEAN telah memegang prinsip non Intervensi merupakan sebuah prinsip yang di

alami setiap negara harus di selesaikan sendiri tanpa adanya campur tangan dari negara lain.

ASEAN bersama sejumlah kepala Negara ASEAN sebagai organisasi Internasional akan tetap

melakukan usaha untuk menekan agar konflik Etnis Muslim Rohingya dengan Budha dapat

terselesaikan.

Kebijakan Pemerintah Myanmar dalam menerapkan Undang-Undang Keimigrasian

(1974) dan Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 jelas bertentangan dengan Kongres 1965

tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD). Dalam kasus ini, Myanmar

memberlakukan Undang-Undang Kewarganegaraan pada tahun 1982 yang bertujuan untuk

mencabut kewarganegaraan etnis Rohingya. Kebijakan ini sangat bertentangan dengan Pasal

15(1) Konvensi Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas

3
WIJAYA, M. F. (2019). PERAN PBB DALAM KASUS ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR . 4-7.

7
kewarganegaraan. Di sisi lain, Myanmar telah menjadi anggota PBB sejak tahun 1948. Akibat

hukum dari keanggotaan suatu negara di PBB adalah wajib menerima semua ketentuan Piagam

PBB 7 jika setiap negara wajib mentaati perjanjian internasional yang dibuat diratifikasi

sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta International Court of Justice (ICJ) sebagai

suatu sumber hukum internasional.4

Keputusan untuk mencabut kewarganegaraan pun jelas memicu protes intenasional

karena keputusan tersebut juga termasuk dalam pelanggaran terhadap Konvensi Hak-hak Sipil

untuk menempati suatu negara atau meninggalkan sebuah negara. Khususnya terkait Pasal 33

Ayat (1) mengenai pengusiran atau pengembalian secara paksa (refoulment) serta melanggar

konsep “International Bill of Human Rights”5, khususnya UDHR dalam Pasal 13, 14 dan 15

yang menjelaskan tentang hak seseorang untuk mendapatkan status kewarganegaraan dan

perlindungan dari penindasan. Pengungsi Rohingya yang melintasi batas negara dengan

maksud untuk mencari perlindungan ke negara lain. Oleh karena itu, menjadi kewajiban

negara lain pula untuk memberikan perlindungan internasional sesuai dalam Convention

Relating to The Status of Stateless Persons 1954. Konvensi ini menyatakan bahwa orang-

orang tanpa kewarganegaraan dapat mempertahankan hak dan kebebesan mendasar tanpa

diskriminasi.

2. Bagaimana Bentuk Perlawanan Yang Di lakukan Etnis Muslim Rohingya Terhadap

Tindakan Diskriminatif Pemerintahanya.

Awal dari bentuk pemberontakan yang harus dipenuhi ekspansionis etnis Muslim

Rohingya dimotivasi oleh ancaman atau intimidasi Kekerasan fisik oleh pemerintah Myanmar,

4
Mangku, D. G. (2021 Vol. 21 No. 1). PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA KEPADA ETNIS ROHINGYA DI
MYANMAR. Perspektif Hukum, 4-10.

5
Mangku, D. G. (2021 Vol. 21 No. 1). PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA KEPADA ETNIS ROHINGYA DI
MYANMAR. Perspektif Hukum, 4-10.

8
sejak kemerdekaan negara Myanmar diproklamirkan untuk pertama kalinya kelompok etnis

Rohingya menjadi semakin tertekan dan tertindas bahkan tidak diakui beberapa warga

Myanmar. Jauh sejak tahun 1940-an jenis kejahatan yang dia saksikan adalah pembunuhan,

pemerkosaan, kemiskinan, penindasan dan diskriminasi Negara Myanmar sendiri

mengimplementasikan bentuk ancaman yang diterima minoritas yang keyakinannya berbeda

dengan mayoritas. Keyakinan Buddhis adalah kebijakan diskriminatif yang ada pemerintah

militer Burma, yang tidak mengakui mereka sebagai warga negara dan selalu kuat dalam segala

hal kepercayaan pada agama Berdasarkan informasi internasional dalam kaitannya dengan

kebrutalan yang dialami oleh komunitas etnis Rohingya antara lain:

1. Ditemukannya suatu bentuk aksi penolakan terhadap penyerahan kewarganegaraan

2. Pelarangan dalam melakukan suatu perpindahan tempat ke tempat yang lain

3. Pelarangan dalam melakukan suatu hubungan ekonomi

4. Pelarangan dalam memperoleh pendidikan secara leluasan

5. Terdapatnya aksi pembunuhan serta penahanan yang dilakukan oleh militer Myanmar

6. Aksi pelecehan seksual yang tidak berperi kemanusiaan serta pembatasan bahkan

pelarangan akan adanya aksi perkawinan.

7. Dan terjadinya berbagai macam bentuk kerusahan dengan slogan anti rohingya

Beberapa orang dari etnis Rohingya memilih untuk pergi dari Myanmar dengan cara

bermigrasi. Migrasi merupakan contoh sederhana bagaimana pergerakan manusia lintas negara

yang sangat sulit dikendalikan.

9
E. Kesimpulan

Mata dunia harus makin terbuka, melihat krisis kemanusian yang dialami Etnis

Rohingya. Ketika semua manusia bebas melenggang di bumi, bergerak kesana kemari.

Melakukan aktifitas sehari-hari untuk memenenuhi kebutuhan hidup, dan bebas bersuara

menyatakan aspirasinya tak terpenjara tak seperti narapidana. Zhaenal Fanani mengatakan

“Ketika generasi lain bebas melakukan aktifitas seperti membuat sejarah kemegahan,

menaklukan dimensi dunia dengan teknologi, dan menuangkan impian, generasi minoritas

Rohingya terisolasi dalam intoleransi : hidup bergumul tekanan, bersenandung dengan

kemiskinan, dan terpuruk dalam neurosis akibat aturan rezim Myanmar. Penyelesaian dengan

komitmen akan pemenuhan keadilan ini tentu sangat diharapkan, namun anggapan

pemerintah Myanmar yang tidak melakukan pelanggaran HAM seperti genosida secara

berencana terhadap etnis Rohingya menjadikan Pemerintah Myanmar abai dalam tuntutan

penyelesaian dan penegakan keadilan Sebagai bagian dari warga bangsa-bangsa,

Myanmar tentu memiliki kewajiban internasional yang harus dipenuhi. Negara tersebut

tidak dapat menafikkan hukum Internasional yang telah diakui, diadopsi, dan dipraktikkan

di berbagai negara. Sebagai sebuah negara berdaulat, Myanmar memang memiliki

hak untuk menyelesaikan persoalan dalam negerinya melalui mekanisme hukum yang

dimiliki. Namun, alih-alih memberikan perlindungan, Myanmar justru abai atas genosida

dan pelanggaran HAM lainnya. Myanmar terus mendapat kecaman dari dunia internasional

untuk segera menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Hingga pada akhirnya PBB

berupaya untuk melakukan intevensi kemanusiaan.

10
F. Referensi

ISWARI, F. F. (2018). TINDAK KEJAHATAN GENOSIDA PRESPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN


HUKUM ISLAM (ANALISIS TERHADAP KASUS ETNIS ROHINGYA DI RAKHINE MYANMAR) . 12-
20.

Mangku, D. G. (2021 Vol. 21 No. 1). PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA KEPADA ETNIS ROHINGYA DI
MYANMAR. Perspektif Hukum, 4-10.

RAMADHOAN, A. S. (2021). PENYEBAB KONFLIK ROHINGYA DI MYANMAR. 6-8.

WIJAYA, M. F. (2019). PERAN PBB DALAM KASUS ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR . 4-7.

11

Anda mungkin juga menyukai