Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI


MYANMAR

Disusun Oleh :

Nana Triharyanti (372019022)

Alliva Saudia (372019062)

Devina Aura Rienata (372019075)

Elysabet (372019050)

Pretty Priskila Natasya (372019052)

Madeline Kineta Nobelis (372019010)

Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi

Univesitas Kristen Satya Wacana

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hak asasi manusia (HAM) merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan
umat manusia. Setiap manusia yang lahir sudah melekat hak asasinya. Oleh karena itu,
hak asasi harus dipahami oleh setiap orang. Hak merupakan unsur normatif yang melekat
pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak
persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau
dengan instansi. Hak asasi manusia (HAM) adalah hak – hak manusia. Itulah hak – hak
semua manusia yang sepenuhnya setara. Kita layak dianugerahi hak – hak itu semata –
mata karena kita manusia. Hak asasi manusia (HAM) merupakan suatu seperangkat hak
yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan
anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi negara, hukum, pemerintah
dan tiap orang demi kehormatan harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia (HAM)
juga merupakan hak yang sudah melekat pada diri manusia sejak dilahirkan dan akan
tetap berlaku selamanya hingga akhir hidupnya dan tidak dapat diganggu oleh siapapun.
Hak asasi manusia (HAM) sebagai gagasan dan kerangka konseptual tidak lahir
secara tiba – tiba, namun melalui suatu proses yang cukup panjang dalam sejarah
peradaban manusia. Awal berkembangnya hak asasi manusia (HAM) dimulai ketika
penandatanganan Magna Charta (1215), oleh Raja Jhon Lacklaan, kemudian juga
penandatanganan Petition of Right pada tahun 1628 oleh Raja Charles I. Dalam hubungan
ini maka perkembangan hak asasi manusia sangat erat hubungannya dengan
perkembangan yang terjadi di dunia.
Dalam sejarah perkembangan hak asasi manusia (HAM), HAM lahir tidaklah terlepas
dari peristiwa – peristiwa ekonomi politik yang terjadi di dunia seperti di benua Eropa
dan benua Amerika yang dimana banyak sekali terjadi peristiwa – peristiwa perbudakan,
diskriminasi, pembunuhan dan pengekangan atas aktivitas politik dan ekonomi penduduk
di benua Eropa dan benua Amerika tersebut pada saat itu. Perkembangan hak asasi
manusia internasional juga mulai timbul karena peristiwa Perang Dunia I dan Perang
Dunia II dimana kejadian itu menyebabkan kesengsaraan yang luar biasa yang terjadi
terhadap penduduk – penduduk sipil yang berada di dunia pada saat itu. Ada banyak
pandangan tentang asal – usul hak asasi manusia (HAM). Asal – usulnya dapat ditelusuri
dari perkembangan – perkembangan tentang perdebatan filsafat, seperti penggunaan
konsep liberty, atau bahkan hak itu sendiri juga sering berkaitan dengan konsep – konsep
konstitusional, seperti konsep Rule of Law, pembatasan terhadap kekuasaan absolut oleh
kedaulatan atau perlemen, dll.
Tuhan telah menciptakan manusia berbeda secara bentuk fisik, bahasa, budaya dan
lain sebagainya supaya manusia dapat dengan mudah mengenali dan belajar budaya satu
sama lain. Bentuk fisik, budaya, dan bahasa dapat dikenali dengan mudah dalam
pengelompokkan etnis. Etnis merupakan sekelompok orang yang memiliki ciri khas
dalam hal suku maupun agama. Di dunia ini terdapat dua kelompok etnis, yaitu kelompok
etnis mayoritas dan kelompok etnis minoritas. Hingga saat ini definisi tentang kelompok
etnis minoritas belum dapat diterima secara universal, tetapi definisi etnis minoritas yang
sering digunakan di berbagai negara adalah kelompok individu yang tidak dominan
dengan ciri khas bangsa, suku, agama atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas
penduduk di wilayah tersebut.
Nasib etnis minoritas ini tidak selalu mendapatkan perlakuan yang baik di wilayah
negara yang di dudukinya, pelanggaran – pelanggaran hak asasi manusia sering dialami
oleh etnis minoritas ini. Bicara tentang hak asasi manusia (HAM) banyak sekali di dunia
ini pelanggaran - pelanggaran yang terjadi tentang hak asasi manusia. Contohnya konflik
tentang etnis Rohingya di Myanmar. Seiring dengan perkembangannya kejadian yang
terjadi, terdapat salah satu negara yaitu di Myanmar. Konflik etnis yang terjadi disini
merupakan konflik etnis Rohingya yang merupakan konflik yang didasari atas perlakuan
diskriminasi yang dilakukan oleh negara Myanmar karena perbedaan etnis dan agama.
Etnis Rohingya yang mayoritasnya beragama Islam berada di Myanmar yang
mayoritasnya beragama Buddha. Etnis Rohingya ini tidak diakui oleh negara Myanmar
dan tidak mendapatkan kewarganegaraannya. Konflik ini sebenarnya hanyak terjadi di
internal negara Myanmar, tetapi dampaknya sudah terbawa ke dunia internasional.
Terutama negara - negara yang berada berdekatan dengan negara Myanmar, seperti
Indonesia, Malaysia, Singapura, Bangladesh, dll.
Karena etnis Rohingya mendapatkan perlakuan diskriminasi dan tidak diakui
keberadaannya oleh pemerintahan di negara Myanmar, maka banyak sekali orang - orang
dari etnis Rohingya yang keluar melarikan diri dan mengungsi ke negara – negara
tetangganya. Contohnya ke Indonesia. Indonesia sempat menerima beberapa pengungsi
yang mengaku dari etnis Rohingya. Banyak yang mengatakan bahwa konflik ini terjadi
antara kaun etnis minoritas dan mayoritas yaitu etnis Budha dan etnis islam Rohingya.
Peristiwa ini dipicu oleh salah satu konflik pemerkosaan dan pembunuhan terhadap
seorang perempuan Budha yang diduga dilakukan oleh seorang laki – laki Muslim.
Setelah kejadian itu terjadi, peristiwa pembalasan dengan melakukan pembunuhan yang
dilakukan oleh orang - orang Myanmar terhadap 10 laki - laki Muslim etnis Rohingya.
Dari kejadian yang terjadi tersebut menimbulkan terjadinya perlawanan dan
pemberontakan hingga perlakuan tindakan kekeraaan yang terdiri dari pembunuhan,
penyiksaan, pembakaran rumah, dan pemaksaan untuk pergi meninggalkan tempat
tinggalnya yang dilakukan etnis mayoritas terhadap etnis minoritas. Konflik ini terus
tejadi sehingga membuat etnis Rohingya tidak diterima oleh negara Myanmar. Tindakan
ini menimbulkan ketidaknyamanan terhadap etnis Rohingya serta termasuk dalam
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana bentuk perlindungan hukum hak asasi manusia terhadap etnis Rohingya di
Myanmar?
1.3 Tujuan
Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan hak asasi
manusia terhadap etnis Rohingya di Myanmar dalam studi hukum internasional.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan memperluas berpikir penulis serta melatih
kemampuan dalam melakukan penulisan secara ilmiah dan merumuskannya.
2. Untuk menambah pengetahuan dalam ilmu pengetahuan dalam bidang hukum
internasional itu sendiri.
3. Diharapkan dapat dijadikan bahan referensi oleh pembaca baik dosen, mahasiswa, dan
atau masyarakat umum sebagai tambahan literatur.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori
 Prinsip Non-Intervensi
Prinsip yang menegaskan bahwa suatu negara tidak memiliki hak mencampuri urusan
dalam negeri dari negara lain.
 Responsibility to Protect (R2P)
Merupakan salah satu prinsip internasional yang diusung oleh PBB guna untuk
mencegah kejahatan kemanusiaan. Dengan kemungkinan adanya intervensi langsung
dari suatu negara jika negara lain dianggap gagal dan telah lalai melindungi warga
Negara nya dari tindakan kekerasan dan kejahatan perang.
 Teori Hak Kodrati
Semua individu dikaruniai hak yang melekat untuk hidup, bebas dan kepemilikan,
yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh negara ( John
Locke)
BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Sejarah dan Latar Belakang Perkembangan HAM


HAM merupakan sesuatu martabat yang diberikan kepada manusia bukan semata
– mata diberikan kepada nya oleh masyarakat namun merupakan sebuah karunia dari
Tuhan yang melekat dan eksistensinya tidak dibatasi atau dengan kata lain HAM ada
disetiap dimana manusia tinggal, HAM juga tidak dapat dicabut oleh siapapaun
bersifat kesetaraan yaitu manusia berkedudukan sama terkait dengan hak serta
kedudukannya. Kesetaraan mencerminkan bahwa ada perlakuan sama dalam situasi
yang sama pula dan manakala ada perseteruan yang berbeda maka ada perbedaan pula
ketika ada di dunia kemasyarakatan. Dari sini dapat kita lihat bahwa jika kesetaraan
dapat kita capai maka perlakuan diskriminatif akan cenderung berkurang atau maka
seharusnya memang tidak ada.
Sejak dahulu gejala pelaksanaan HAM mulai terlihat ketika masyarakat
memperjuangkan setiap martabat yang dimilikinya yang dirampas oleh para penguasa
yang kejam, kekuasaan yang muncul bisa membawa dampak terhadap penindasan
masyarakat serta kehilangan haknya dengan mudah oleh karena keserakahan
golongan tertentu dan seringkali keinginan raja yang harus dipenuhi dapat juga
membuat secara tidak sadar hak masyarakat terampas oleh sebab itu kesadaran akan
perjuangan kebebasan yang kemudian menjadi faktor penting yang melatarbelakangi
lahirnya gagasan HAM. . Pada saat Magna Carta (1214) di cetuskan oleh Raja John
untuk pembatasan dalam kekuasaan yang absolut oleh raja, diharapkan mampu
memiliki procedural yang menjujung tinggi hak setiap manusia serta ada rasa
menghargai satu sama lain dan tentunya ada batasan keinginan raja oleh hukum.
Seiring berjalannya waktu, kemudian munculah yang dinamakan Bill of Rights (1689)
yang menegaskan apa itu sebuah kententuan dalam perlindungan hak dan kebebasan
setiap individu, juga merupakan hasil sebuah perjuangan dari parlemen untuk
melawan pemerintahan yang sewenang-wenang sehingga adanya kebebasan dalam
hal berbicara serta berdebat meski hanya untuk anggota dari perwakilan parlemen,
pada tahun 1679 muncul sebuah pernyataan Habeas Corpus dimana pada akhirnya
yang menjadi prinsip hukum bahwa seseorang diperbolehkan ditahan atas kuasa atau
atas perintah hakim.
Pada abad ke-17 asal usul konsep HAM mulai nampak khususnya saat
kemunculan revolusi dari Amerika, Inggris, Prancis yang meledak karena dilandasi
oleh hak kodrati yang dikemukakan oleh John Locke. Dari berbagai teoritis dari
setiap revolusi masing-masing memiliki cara tersendiri yang membantu dalam proses
pembentukan lebih lagi dasar-dasar kekuatan HAM , kemudian berakhirnya perang
dunia ke dua serta terbentuknya organisasi PBB menjadi langkah awal yang
membawa pengaruh besar terhadap kemajuan HAM, dikeluarkannya piagam PBB
sebagai bentuk awal pengakuan bahwa PBB menjunjung juga eksistensi dari HAM
meskipun belum terperinci dalam rumusannya, kemudian pada 10 Desember 1948
pengesahan Deklarasi HAM mulai menjadi tonggak dari sejarah baru pengaturan
HAM yang bersifat internasional, dan merupakan dokumen penting internasional
pertama yang memuat HAM berdasarkan musyawarah internasional. Dalam isinya,
deklarasi tersebut mengemban hak-hak asasi serta wujud dari pencerminan mana kala
penindasan terjadi yang dilakukan oleh penguasa yang sewenag- wenang sehingga
perjuangan melepas kekangan tersebut dilegitimasi dalam mencapai kemerdekaan.
Berdasarkan latar belakang dari perjuang – perjuangan historis terkait HAM maka
secara tidak langsung masyarakat internasional sangat memerlukan mekanisme
internasional yang dapat secara efektif melindungi keberlangsungan adanya HAM.
3.2 Teori dan Prinsip dalam HAM

Jika dilihat dalam ilmu filsafat, maka liberisme biasanya disebut sebagai
idealisme. Kesalahpahaman kita dalam memandang idealisme sebagai sebuah
pandangan yang tidak realistis, namun ia menujukkan keyakinan-keyakinan tertentu
dalam memahami sifat-sifat dunia dan manusia. Diistilahkan sebagai idealisme karena
paham ini beranggapan bahwa suatu perdamaian abadi (perpetual peace) tidak akan
terwujud dalam waktu dekat namun angan-angan tersebut merupakan sebuah hal yang
patut diperjuangkan (Steans, 2009:97).

Liberalisme menekankan terciptanya sistem demokrasi yang dapat mewakili


setiap mayoritas individu dan adanya hak asasi manusia yang terikat oleh undang-
undang. Hal inilah yang kemudian bersatu menciptakan asumsi-asumsi dasar
liberalism, 1)Kaum liberal percaya bahwa seluruh umat manusia adalah makhluk
rasional. 2)Liberalisme berpandangan positif terhadap karakteristik manusia. Kaum
liberal berkeyakinan bahwa perubahan-perubahan positif dalam hubungan
internasional merupakan suatu hal yang sangat mungkin terjadi. 3)Kaum liberal
menilai kebebasan individu di atas segala-galanya (Steans, 2009:111). Asumsi-asumsi
inilah yang akan mengantarkan kita terhadap penjelasan mengenai kebebasan individu
dan hak asasi manusia dalam liberalisme.

Dari asumsi yang menyebutkan tentang keyakinan mengenai rasionalitas


individu/manusia, telah menggeser paham realisme yang mengatakan bahwa negara
adalah satu-satunya aktor. Yang dimaksud dengan rasionalitas individu disini adalah
individu dapat berpikir rasional dalam menentukan segala sesuatu yang baik bagi
kepentingan-kepentingan mereka yang merupakan sebuah pandangan yang sangat
kuat yang menentang bentuk-bentuk pemerintahan otoriter. Maka dapat disimpulkan
bahwa liberalisme berkeyakinan individu dapat menentukan pilihan yang baik tanpa
terikat terhadap kemauan kepala negara yang otoriter (dalam realisme). Kebebasan
individu yang dianut oleh liberal pada umumnya berdasarkan pada prinsip-prinsip
demokratis. Namun dengan adanya pemerintahan, maka negara harus tetap
melindungi kebebasan individu. Kebebasan individu ini merupakan sebuah poin kunci
dalam liberalisme.

3.3 Pelanggaran HAM dan pelanggaran berat HAM


Definisi pelanggaran yang dimaksudkan ialah ketika suatu negara lalai dalam
menjalankan tanggung jawab, sementara pelanggaran HAM merupakan suatu
kejahatan yang termasuk besar dampaknya. Biasanya yang terjadi adalah ketika para
penguasa sewenang- wenang dalam menggunakan kekuasannya untuk bertindak yang
diluar batas atau bisa juga pihak lain yang merencanakan sesuatu atas nama negara.
Pelanggaran berat HAM ialah Genosida, yaitu tindakan atas keinginan untuk
menghancurkan sebagian atau bahkan seluruh kelompok masyarakat nasional , ras,
etnis atau agama, seperti : pembunuhan terhadap suatu anggota kelompok masyarakat,
membuat sekelompok msyarakat mengalami cacat baik mental maupun secara fisik,
baik secara terencana maupun tidak membawa kelompok masyarakat kearah
kehancuran secara fisik, dan sebagainya (Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Genosida Tahun 1949). Ada bentuk lain kejahatan Genosida yang dipaparkan oleh
Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg yaitu kejahatan yang
direncanakan untuk melanggar perjanjian internasional, rencana bersama dalam
mengadakan perang secara agresi, maka kejahatan diatas disebut kejahatan melawan
perdamaian. Lalu ada kejahatan yang disebut kejahatan perang, dinamakan ini karena
ada sikap perlakuan terlalu kejam terhadap penduduk dengan cara mengasingkan
mereka atau bahkan dengan memerintah mereka untuk melakukan suatu pekerjaan
dengan segala macam paksaan, melakukan penghancuran daerah stempat masyarakat,
ada pula kejahatan yang hampir sama dengan kejahatan perang yaitu kejahatan
terhadap kemanusiaan hanya kejahatan ini lebih kepada kekejaman suatu kelompok
yang tidak manusiawi yaitu pemaksaan terhadap masyarakat untuk mengikuti
rencana mereka, melakukan pemerkosaan serta perbudakan hal-hal yang tidak
berperikemanusiaan terjadi dalam pelanggaran ini
3.4 Analisis Pelanggaran HAM dalam Kasus Etnik Rohingnya
Myanmar merupakan salah satu negara ASEAN yang memiliki berbagai macam
ras dan etnik didalamnya. Penduduknya sebagian besar merupakan keturunan etnik
Burma, Kachin, Kayin, Bamar, Shan, Kayah, Chin, dan Mon. Selain beberapa etnik
tersebut, terdapat juga kelompok muslim Rohingnya. Dari segi agama, kelompok
muslim Rohingnya merupakan sebuah kelompok minoritas, dimana sebagian besar
penduduk Myanmar mayoritas beragama Buddha.

Sebagai kelompok mayoritas, umat Buddha seringkali bertindak semena – mena


terhadap para muslim Rohingnya. Menurut mereka, orang Islam dianggap sebagai
penduduk asing yang tidak pantas menampati wilayah tersebut. Posisi umat Buddha
pun semakin diperkuat dengan adanya aturan hukum Myanmar yang hanya mengakui
tiga jenis warga negaranya, sementara muslim Rohingnya tidak dikategorikan sebagai
salah satu dari warga negara tersebut. Bara permusuhan pun semakin menjadi – jadi,
bentrokan seringkali terjadi antara muslim Rohingnya dengan penduduk setempat.
Berbagai tragedi dan aksi kekerasan kerap dilakukan terhadap muslim Rohingnya.
Pembunuhan, pemerkosaan, pembantaian, serta berbagai tindakan pelanggaran HAM
lainnya seringkali dilakukan oleh penduduk mayoritas. Pemerintah Myanmar
akhirnya menetapkan kondisi darurat militer dan mengirimkan pasukan bersenjata ke
negara bagian Rakhine dimana konflik terjadi. Namun, bukannya memperbaiki
keadaan, pasukan ini justru menembaki muslim Rohingnya karena mereka dianggap
sebagai imigran gelap dari Bangladesh. Dalam laporan Human Right Watch (HRW),
ditegaskan bahwa aparat bersenjata Myanmar terlibat dalam aksi pemerkosaan,
pembunuhan, serta penangkapan muslim Rohingnya. Pemerintah setempat secara
resmi melaporkan 78 orang tewas dalam konflik tersebut, namun HRW menduga
bahwa angka tersebut terlampau jauh di bawah angka korban yang sesungguhnya.
Permasalahan ini kemudian mendapat perhatian dari masyarakat internasional.
Organisasi – organisasi internasional yang bergerak dalam bidang kemanusiaan pun
berusaha untuk mengirimkan bantuan kepada muslim Rohingnya yang saat ini
mengalami banyak krisis. Namun, pemerintah setempat justru melarang para
organisasi kemanusiaan internasional beroperasi membantu para muslim Rohingnya
dengan alasan bahwa organisasi kemanusiaan internasional tersebut telah merusak
citra negara dengan memberikan pernyataan – pernyataan negatif terkait kondisi
buruk serta kesulitan yang dihadapi oleh muslim Rohingnya.

Menanggapi kasus tersebut dalam paradigma hukum internasional, pemerintah


Myanmar dapat dinilai telah melakukan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia
berat. Perlakuan pemerintah setempat yang tidak bijak dalam mengangani kasus ini,
bahkan membiarkan aparat keamanan nya melakukan tindakan kekerasan dan upaya
pemusnahan kepada salah satu etnik minoritas yaitu kaum muslim Rohingnya dapat
dikategorikan kedalam aksi pelanggaran HAM berat. Seperti yang kita ketahui, dalam
Statuta Roma yang dibentuk atas Konferensi Diplomatik PBB, ada empat jenis tindak
pelanggaran serius yang dapat menjadi perhatian internasional dan dapat diangkat ke
ranah internasional, yaitu :

1. Genosida
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan
3. Kejahatan perang
4. Kejahatan agresi
Sementara tindakan yang dilakukan kepada etnik Rohingnya dapat dikategorikan
sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan serta genosida.

Dalam ranah regional, ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara


terus berupaya menyelesaikan konflik dan kasus pelanggaran HAM tersebut.
Beberapa negara mulai menekan ASEAN untuk memberikan perhatian lebih terhadap
kasus ini dan mengangkat kasus Rohingya sebagai persoalan regional. Namun
kesulitan yang dihadapi yaitu bertentangan dengan prinsip tidak adanya intervensi
negara lain terhadap kasus – kasus yang terjadi pada urusan domestik negara – negara
anggota. Sejak tahun 2009, sebenarnya ASEAN telah memiliki Lembaga ASEAN
Intergovernmental Commision on Human Rights (AICHR) serta ASEAN
Humanitarian Assistance Centre for Disaster Management, namun mandat dan
wewenang yang dimiliki oleh dua lembaga ini masih terbatas dan tidak dapat
melakukan intervensi terhadap kedaulatan negara lain, sehingga tindakan dan peran
yang dilakukan masih belum dapat dioptimalkan.

Walaupun demikian, seharusnya prinsip non intervence tidak dapat dilepas


tangankan terhadap kasus – kasus yang menciderai nilai – nilai kemanusiaan. Dalam
hal ini, konsep Responsibility to Protect seharusnya dapat berperan dalam menangani
kasus tersebut. Prinsip Responsibility to Protect memberikan wewenang terhadap
komunitas internasional untuk dapat membantu negara – negara dalam memenuhi
tugas melindungi rakyatnya dari empat jenis tindakan pelanggaran yang disebutkan
dalam Statuta Roma. Dalam pasal 6 dan 7 Statuta Roma yang melihat bahwa apa yang
dilakukan Maynmar terhadap Rohingnya adalah tindakan Genosida, hal ini dijelaskan
pada pasal 6 “perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan,
seluruhnya, atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau
keagamaan”. Terlihat bahwa Myanmar melakukan kejahatan kemanusiaan, jelas
terdapat pada penegasan pasal 7 “ Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk
sipil”. Lalu, jika negara dianggap tidak mampu dalam hal melindungi rakyatnya,
maka hal ini akan diserahkan kepada komunitas internasional untuk dapat melakukan
intervensi dalam upaya menyelamatkan masyarakat dan warga negara dari kejahatan –
kejahatan kemanusiaan.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi persoalan HAM, Indonesia pun turut
serta memberikan sumbangannya melalui relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT), selain
itu pemerintah Indonesia juga berupaya melakukan negosiasi secara diplomatik agar
pemerintah negara Myanmar bersedia untuk mengembalikan status kewarganegaraan
para muslim Rohingnya serta mampu bertanggung jawab atas keamanan dan
kesejahteraan para etnik Rohingnya tersebut. Dengan adanya prinsip Responsibility to
Protect, diharapkan negara – negara serta masyarakat internasional dapat berperan
aktif dalam menghentikan kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi terhadap etnik
Rohingnya. Upaya diplomatik dapat dilakukan untuk memberi tekanan terhadap
pemerintah Myanmar sehingga kasus ini dapat ditangani secara bijaksana oleh
pemerintah setempat.
Dalam hal ini, bentuk perlindungan hukum dalam isu hukum internasional
telah diatur dalam perjanjian-perjanjian internasional, diantaranya seperti yang telah
disebutkan diatas yaitu Statuta Roma, lalu terdapat pada Universal Declaration of
Human Rights (UDHR) menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama
tanpa di beda-beda kan dan mendapat kebebasan untuk memeluk agama yang
dipercayai nya. Jika dilihat dari hal ini terlihat jelas bahwa Myanmar melakukan
pelanggaran HAM terhadap Rohingnya.

Namun sampai saat ini, upaya-upaya yang dilakukan dunia internasional


seperti salah satu organisasi penghubung hubungan antar negara yaitu PBB terhadap
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Myanmar sulit untuk ditindak lanjutin ke
Mahkamah Internasional meskipun Myanmar sudah terbukti melakukan banyak
pelanggarsn HAM terhadap Rohingnya. Hal ini sulit di tindak lanjuti dikarenakan,
Myanmar sendiri tidak meratifikasi satupun perjanjian internasional mengenai HAM.
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hak asasi manusia sudah melekat pada diri setiap manusia sejak lahir dan
sifatnya tidak boleh diganggu oleh siapapun dan berlaku seumur hidup. Karena
didalam hak asasi manusia terdapat bentuk perlindungan yang menjamin suatu negara
untuk menghindari diskriminasi atau yang lainnya. Pelanggaran hak asasi manusia
sering terjadi akibat suatu negara lalai dalam menjalankan tanggung jawab untuk
melindungi setiap individu atau biasa yang terjadi adalah para penguasa sewenang-
wenang menggunakan kekuasaannya. Seperti kasus Rohingya yang didiskriminasi
oleh negara Myanmar dan tidak diakui keberadaannya oleh negara itu. Permasalahan
ini mendapat perhatian dari masyarakat internasional sehingga pemerintah Myanmar
mendapat kecaman bahwa mereka melakukan tindak pelanggaran HAM. Berbagai
upaya telah dilakukan oleh masyarakat internasional tetapi untuk negara yang
melakukan pelanggaran itu sendiri belum dapat ditindaklanjuti karena Myanmar tidak
meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional.
Daftar Pustaka
Siba, M. Angela Merici dan Anggi Nurul Qomari’ah. 2018. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
dalam Konflik Rohiingya Human Right Violations on Rohingya Conflict, Vol. 2 No. 2
Baderin, Mashood A. 2010. Hukum Internasional Hak Asasi Manusia & Hukum Islam.
Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Sujatmoko, Andrey. 2015. Hukum HAM dan Hukum Humaniter. Jakarta: Rajawali Pers

http://www.responsibilitytoprotect.org/R2P_basic_info_Bahasa.pdf
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-IV-15-I-P3DI-Agustus-2012-
7.pdf https:/www.un.org/en/preventgenocide/rwanda/assets/pdf/Backgrounder%20R2P
%202014.pdf

https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/10/Statuta-Roma.pdf
https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/download/16726/11023

https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/Pokok-Pokok-Hukum-Hak-Asasi-
Manusia-Internasional.pdf

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/96cf501a1391c79b52c219d79df67933.pdf

Literature Review

Siba, M. Angela Merici, dan Anggi Nurul Qomari’ah. 2018. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
dalam Konflik Rohingya Human Right Violations on Rohingya Conflict, 2(2)

1. Konflik yang terjadi antara etnis Rohingya di Myanmar disebabkan karena


diskriminasi yang dilakukan oleh etnis mayoritas Myanmar terhadap etnis
minoritas Rohingya. Konflik ini bermula karena salah satu perempuan yang
beragama Buddha mengalami peristiwa pemerkosaan dan pembunuhan yang
diduga dilakukan oleh laki – laki Muslim etnis Rohingya. Setelah kejadian itu
terjadi, etnis mayoritas melakukan pembalasan dengan melakukan
pembunuhan terhadap 10 laki – laki Muslim etnis Rohingya.

Muhamad, Simela Victor. 2012. Tragedi Kemanusiaan Rohingya. 4(15)

1. Kekerasan yang terjadi antara etnis Rakhine dengan Rohingya. Akibat dari
kejadian ini rumah – rumah Muslim Rohingya dibakar, termasuk juga masjid.
Pemerintah Myanmar menginformasikan secara resmi bahwa 78 orang tewas
dalam kerusuhan yang terjadi ini. Namun, diduga angka tersebut jauh dibawah
angka korban tewas sesungguhnya.

4.4 Plagiarsm Checker

Anda mungkin juga menyukai