Anda di halaman 1dari 16

DAMPAK PELANGGARAN HAM SELAMA

KERUSUHAN 1998 BAGI HUBUNGAN


INTERNASIONAL INDONESIA
Tugas Makalah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional
Dosen Pengampu:
Ratnawati, S.Sos, M.Si

Oleh:
1. Nayyara Azzuhra Harahap (151230035)
2. Navista Riski Ramandanti (151230038)
3. Devindra Ghiffary (151230044)
4. Devon Johanda (151230059)

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLTIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
“VETERAN” YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salah satu topik bahasan yang paling sering
dibahas di tingkat internasional. HAM pertama kali dikemukakan oleh John Locke dari
Eropa pada abad ke-17 sebagai sebuah ide tentang hak alamiah yang dimiliki setiap
manusia dalam keberadaan mereka seperti hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak
kepemilikan menjadi pilar-pilar utama dalam konsepnya (Zubaidi et al., 2015).
Perkembangan HAM sendiri dilatarbelakangi oleh peristiwa-peristiwa besar dalam
sejarah, seperti contohnya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis yang keduanya
memperjuangkan hak-hak kehidupan, kebebasan, kesamaan, dan hak-hak manusia
lainnya. Dalam kasus Revolusi Perancis, beberapa hak-hak ini dijadikan sebuah
semboyan yaitu Liberte, Egalite, dan Fraternite yang diartikan sebagai Kemerdekaan,
Persamaan, dan Persaudaraan(Day, 2021).

Pada abad ke-20 konsep HAM dikembangkan kembali oleh Presiden ke-32
Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt menjadi The Four Freedoms (President Franklin
Roosevelt’s Annual Message (Four Freedoms) to Congress (1941) | National Archives, 2022),
yakni:

a. Freedom of Religion (Kebebasan Beragama)


b. Freedom of Speech (Kebebasan berbicara dan berpendapat)
c. Freedom from Want (Kebebasan dari kemelaratan)
d. Freedom from Fear (Kebebasan dari ketakutan)

Di negara Indonesia perkembangan HAM pertama dapat dilihat dari pergerakan


organisasi Budi Utomo pada tahun 1908 yang dalam masa aktifnya memperjuangkan
dan menyuarakan kebebasan intelektual untuk berpikir dan berpendapat. Dari Budi
Utomo inilah nilai-nilai tentang demokrasi bagi rakyat untuk ikut serta dalam
pemerintahan menjadi sebuah kenyataan. Selain Budi Utomo, di tahun 1908 ini juga
muncul Perhimpunan Indonesia yaitu sebuah himpunan mahasiswa-mahasiwa
Indonesia yang sempat menuntut ilmu di Belanda dan menjadi para pejuang HAM bagi
rakyat Indonesia di tingkat internasional dengan memperjuangkan hak kemerdekaan
dan penentuan nasib sendiri bagi negara Indonesia. Selain kedua organisasi ini terdapat
pula Sarekat Islam yang memperjuangkan prinsip HAM sebagai bentuk dari nilai-nilai
Islam, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memperjuangkan hak sosial, dan Indische
Partij atau Partai Nasional Indonesia yang memperjuangkan hak kemerdekaan dan
kebebasan Indonesia dari penjajahan (Adryamarthanino & Ningsih, 2021). Dari
kemunculan organisasi-organisasi inilah, rakyat Indonesia dapat mengenali hak-hak
kemanusiaan mereka yang harus dipertahankan.

Seiring berjalannya pemerintahan Indonesia, tidaklah terhindarkan dari


terjadinya bentuk-bentuk penyelewengan dan pelanggaran dari HAM yang berlaku.
Salah satu era yang mencerminkan masalah ini dengan paling terang adalah pada era
Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden ke-2 Republik Indonesia yaitu Soeharto.
Dalam masa kepemimpinannya, Soeharto membawa banyak kemajuan bagi bangsa
mulai dari swasembada pangan, pendidikan 12 tahun, program Keluarga Berencana
(KB), dan lain sebagainya. Tetapi dalam proses kepemerintahan ini ditemukan berbagai
contoh penyimpangan terhadap HAM rakyat Indonesia mulai dari kasus Penembakan
Misterius (Petrus), penculikan dan penghilangan rakyat yang dicurigai negara,
pembatasan hak pers, dan lain sebagainya (Adam, 2004).

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan sebuah rumusan masalah
sebagai berikut:

1. Apa itu HAM dalam konteks Hubungan Internasional?


2. Apa dampak dari pelanggaran HAM di peristiwa Kerusuhan 1998 bagi hubungan
internasional Indonesia?

Kerangka Pemikiran
Dalam membahas HAM di konteks hubungan internasional dan memberikan
sebuah penjelasan yang jelas terhadap kesimpulan dari dampak kerusuhan 1998
terhadap hubungan internasional negara Indonesia maka diperlakukan sebuah
pandangan sosial yaitu liberalisme sebagai dasaran eksplanasi ini. Liberalisme adalah
sebuah paham yang menitikberatkan pada kebebasan individu semaksimal mungkin
dalam segala aspek kehidupannya. Dalam hubungan internasional liberalisme
beranggapan bahwa hubungan internasional dapat bersifat kooperatif daripada
konfliktual (Jackson & Sorensen 1999, 139).

Dalam perspektif liberalisme, hak asasi manusia (HAM) dianggap sebagai nilai
yang mendasar dan universal. Pelanggaran HAM pada kerusuhan 1998 di Indonesia
sangat mengkhawatirkan dalam konteks liberalisme. Pada dasarnya, pandangan
liberalisme menekankan pentingnya hak individu, kebebasan sipil, dan keadilan dalam
masyarakat.

Dalam kerusuhan 1998 di Indonesia, terjadi pelanggaran HAM yang


melibatkan kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, dan penindasan terhadap individu.
Dalam perspektif liberalisme, tindakan ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip
hak asasi manusia. Liberalisme menekankan perlunya perlindungan hukum dan
perlakuan yang adil bagi setiap individu tanpa memandang ras, agama, atau latar
belakang sosial ekonomi.

Selain itu, liberalisme juga menyoroti pentingnya partisipasi politik dan


kebebasan berpendapat. Dalam konteks kerusuhan 1998, banyak orang Indonesia
merasa terkekang dalam mengemukakan pendapat mereka karena ketakutan akan
represi dan kekerasan. Ini juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip
liberalisme, yang menghargai kebebasan berbicara dan berpendapat.

Dalam kesimpulannya, kerusuhan 1998 di Indonesia mencerminkan


serangkaian pelanggaran HAM yang signifikan dari sudut pandang liberalisme.
Kebebasan individu, perlindungan hukum, dan keadilan adalah nilai-nilai sentral dalam
pandangan liberalisme, dan pelanggaran-pelanggaran tersebut menunjukkan betapa
pentingnya untuk memastikan keberlangsungan dan perlindungan hak asasi manusia
dalam masyarakat yang diatur oleh prinsip-prinsip liberal.

BAB II

PEMBAHASAN

Apa itu HAM dalam Konteks Hubungan Internasional

Istilah Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari droits de I’homme dalam
bahasa Perancis atau human rights dalam bahasa Inggris. Berdasarkan KBBI, Hak
Asasi Manusia (HAM) diartikan sebagai hak-hak (kewenangan) dasar yang melekat
pada diri seseorang dimana tanpa hak tersebut manusia tak dapat hidup. Dalam
perkembangannya, HAM berevolusi dari teori kodrati atau natural rights yang
dikembangkan oleh John Locke, Thomas Paine, dan Jean Jacques Rousseau. Adapun
makna Hak Asasi Manusia (HAM) juga dapat ditinjau dari berbagai perspektif seperti
berdasarkan pemikiran para ahli, hukum nasional, maupun hukum internasional.
a. Hak Asasi Manusia (HAM) menurut para ahli
John Locke berpendapat bahwa hak kodrati ialah hak dasar universal bagi
semua orang yang mencakup hak atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan (life, liberty,
and property) yang telah ada sebelum pemerintah lahir. Dalam bukunya yang berjudul
“Two Treatise of Goverment”, ia menjelaskan bahwa hak ini disebut hak kodrati karena
cakupannya berhubungan langsung dengan kodrat manusia sebagai makhluk hidup. Ia
berpendapat bahwa sejatinya manusia memiliki kebebasan untuk menentukan
kelangsungan dirinya yang tidak boleh dicampuri dengan sewenang-wenang oleh
pemerintah. (Boromeus, 2021)
Prof. Dr. Notonegoro berpendapat bahwa hak adalah kekuasaan atau
kesanggupan seseorang untuk melakukan berbagai kegiatan. Oleh sebab itu, tiap-tiap
individu harus menerima, melakukan, dan memiliki hal tersebut. Hak yang diperoleh
tersebut kemudian tidak dapat dibagi ataupun dialihkan kepada individu lain.
Karenanya, setiap orang memiliki atau mendapat hak sesuai dengan bagiannya masing-
masing.
b. Hak Asasi Manusia berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
c. Hak Asasi Manusia (HAM) menurut Universal Declaratioan of Human Rights
pada 1948
Hak asasi manusia (HAM) dipandang sebagai hak mendasar yang melekat dan
dimiliki oleh setiap manusia sejak dirinya lahir dan merupakan anuegerah dari Tuhan
Yang Maha Esa. HAM dinilai bersifat universal dalam artian berlaku untuk semua
orang tanpa pengecualian.
Dari definisi-definisi mengenai hak asasi manusia di atas dapat disimpulkan
bahwa HAM adalah kewenangan atau hak yang bersifat dasar yang dimiliki setiap
manusia sebagai bentuk anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan tidak dapat dicampuri
secara sewenang-wenang oleh pemerintah ataupun diberikan kepada orang lain.
Kerusuhan 1998

Kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei Tahun 1998 merupakan hasil dari
kumpulan peristiwa politik, sosial, dan ekonomi yang terjadi pada masa Orde Baru.
Peristiwa Mei 1998 di kota Surakarta, Jakarta, serta Medan memiliki pengaruh besar
terhadap kehidupan korban pasca kerusuhan 1998 karena meninggalkan trauma
mendalam akibat hilangnya nyawa, perusakan tempat tinggal dan tempat usaha.
Tragedi kerusuhan 1998 yang terjadi selama 2 hari itu menimbulkan kerusakan dan
kerugian material yang disebakan oleh amukan massa yang terjadi secara teratur
dengan melakukan perusakan, penjarahan, hingga pembakaran di sudut-sudut kota.

Awal tahun 1998, perekonomian di Indonesia tengah terganggu. Hal ini


dipengaruhi oleh adanya krisis finansial Asia sepanjang tahun 1997 sampai tahun 1999.
Kawasan Asia mengalami krisis finansial yang mempengaruhi mata uang, bursa saham,
dan harga aset lainnya di beberapa negara asia. Indonesia adalah negara yang
mengalami krisis terparah kedua setelah Thailand. Krisis yang melanda Indonesia
disebut krisis moneter (krismon). Harga harga bahan pokok naik dan inflasi paling
parah dalam sejarah Indonesia terjadi. Krisis menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp
2.500 menjadi Rp 16.900 per dolar AS. Krisis juga membuat inflasi Indonesia melonjak
hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13,7% lebih. Dampak krisis moneter 1998
juga menimbulkan naiknya tingkat pengangguran di Indonesia. Banyak perusahaan
terpaksa melakukan PHK secara masif akibat kondisi kesulitan keuangan. Begitu
banyak orang kehilangan pekerjaan mereka yang akhirnya mengakibatkan
pengangguran massal yang memengaruhi stabilitas ekonomi dan sosial.

Krisis moneter membuat masyarakat gelisah, marah, dan bingung hingga


kondisi mulai tak terkendali, tak terkecuali para mahasiswa yang kemudian melakukan
aksi demonstrasi besar-besaran ke Gedung DPR/MPR salah satunya termasuk
mahasiswa perguruan Trisakti. Unjuk rasa yang berposisi di Jakarta mulai terjadi pada
tanggal 10 maret 1998 hingga 12 Mei 1998. Sayangnya, kali ini aksi mereka dihalangi
oleh Polri yang disusul dengan kedatangan militer. Beberapa mahasiswa kemudian
mencoba untuk bernegosiasi dengan pihak Polri. Akhirnya, para mahasiswa bergerak
mundur. Pergerakan ini diikuti dengan majunya aparat keamanan yang kemudian
menembakkan peluru mereka ke arah para mahasiswa dan berakhir dengan kematian 4
orang mahasiswa perguruan trisakti yang bernama Elang, Hafidin, Hendrawan, dan
Heri. Kejadian ini selalu dikenal dengan Tragedi Trisakti.

Setelah Tragedi Trisakti, kerusuhan berikutnya pun muncul dan terjadi di


beberapa titik di Indonesia yaitu, di jakarta, Medan dan Surakarta. Sasaran utama
kerusuhan ini adalah orang-orang keturunan Tionghoa beserta aset-aset yang mereka
miliki. Berdasarkan analisis latar belakang etnis Tionghoa menjadi korban pada
peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta adalah karena banyaknya pengusaha Tionghoa
yang mendominasi perekonomian di Indonesia, adanya relasi antara pengusaha
Tionghoa dengan penguasa Orde Baru yang membuat bingung masyarakat, perbedaan
status kewarganegaraan etnis Tionghoa dan sentimen anti-Tionghoa yang disebarkan
oleh beberapa oknum, serta implementasi kebijakan asimilasi terhadap etnis Tionghoa,
hingga adanya praktik korupsi pengusaha Tionghoa pada saat krisis ekonomi terjadi di
indonesia, serta pemukiman warga etnis tionghoa yang terpisah dengan masyarakat
yang membuat perbedaan kelas terlihat jelas.

Beberapa dari orang tionghoa menulis “milik pribumi” di pelataran depan toko
mereka agar tokonya tidak menjadi sasaran amukan massa. Kerusuhan terjadi di
banyak titik, penjarahan tempat tempat perbelanjaan seperti matahari di daerah jati
Negara dan Plaza Yogya di Klender berakhiur tragis dengan tiba-tiba di barikade dan
dan dibakar. Sebanyak 1000 orang yang terperangkap di dalam pun tewas terbakar
hidup-hidup. Termasuk di Glodok, Priuk, Tangerang, dan daerah Kebayoran Baru yang
menjadi pusat etnis Tionghoa di yang menjadi tempat property etnis Tionghoa dibabat
habis.

Massa tidak hanya merusak fasilitas umum dan menjarah toko-toko, tetapi juga
menyerang fisik etnis Tionghoa hingga memerkosa korban. Menurut Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF), lebih dari 50 wanita etnis Tionghoa dilecehkan hingga
diperkosa dan korban tewas dari kejadian tersebut mencapai angka 1.880 jiwa.
Sandyawan Sumardi mantan anggota TCGF mengaku sangat sulit untuk meminta
pengakuan korban yang diperkosa massal karena para korban sulit untuk memberi
keterangan dan kasusnya pun sungguh pelik untuk diungkap.

Kerusuhan pun sudah sangat tidak terkendali mengakibatkan para mahasiswa


mampu menduduki kursi MPR dan juga DPR, hingga akhirnya pada tanggal 21 Mei
1998 pidato pengunduran diri sepihak presiden ke 2 Indonesia Presiden Soeharto dari
32 tahun masa jabatannya, yang dilatar belakangi oleh ketidakstabilan dalam negeri
setelah terjadinya berbagai kerusuhan dan dugaan yang menginginkan soeharto turun
dari jabatannya. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pembangunan terus
dilakukan namun tidak terlaksana secara merata dan hanya segelintir rakyat yang dapat
menikmatinya. Hal itu diperparah dengan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme) yang merajalela serta fakta bahwa badan eksekutif menjadi penguasa
tunggal diatas lembaga lainnya sehingga tidak ada yang mampu menjadi pengawas
kekuasaan di masa itu. Sesuai dengan pasal 8 UUD 1945 Presiden Soeharto pun
digantikan oleh wakilnya yaitu Prof.B.J.Habibie yang mengambil alih kursi
kepresidenan serta melanjutkan sisa waktu jabatan kepresidenan miliknya.
Pelanggaran HAM di Kerusuhan 1998

Kerusuhan Mei 1998 merupakan peristiwa yang diakui pemerintah Indonesia


sebagai pelanggaran HAM berat. Berdasarkan data Tim Pencari Fakta Gabungan
(TGPF), lebih dari 1.000 orang menjadi korban peristiwa Mei 1998 di Jakarta.

Pemerintahan militer berusaha menangkis kemarahan rakyat dengan


mengkambinghitamkan komunitas etnis Tionghoa di Indonesia, dengan menuduh
mereka berperan dalam keruntuhan perekonomian, yang kemudian memicu kemarahan
rakyat. kerusuhan utama dipicu di Jakarta oleh penembakan oleh militer terhadap
empat demonstran mahasiswa pada tanggal 12 Mei. Selama dua hari berikutnya, lebih
dari 1000 orang dibunuh, sekitar 400 perempuan dan anak perempuan etnis Tionghoa
diperkosa, dan toko-toko serta rumah-rumah yang sebagian besar dimiliki oleh warga
Tionghoa Indonesia dijarah dan dihancurkan.

Selama kerusuhan politik yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998, terjadi
sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Demonstrasi dan kerusuhan ini
dimulai pada pertengahan tahun 1998 dan melibatkan berbagai kelompok masyarakat
yang menuntut reformasi politik dan ekonomi di Indonesia, serta mendesak Presiden
Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, untuk mengundurkan diri.

Beberapa pelanggaran HAM yang terjadi selama kerusuhan 1998 meliputi:

• Pembunuhan dan Kekerasan


• Penangkapan dan Penahanan Tanpa Prosedur Hukum yang Benar
• Penghilangan Paksa
• Penggunaan Senjata Api Terhadap Demonstran
• Pengusiran Etnis Tionghoa
• Penghancuran Properti dan Kekayaan
Peristiwa-peristiwa ini menimbulkan kecaman di tingkat nasional dan
internasional. Mereka juga menjadi salah satu faktor yang memicu reformasi politik di
Indonesia dan jatuhnya rezim otoriter Soeharto. Meskipun telah terjadi kemajuan
dalam melindungi hak asasi manusia di Indonesia sejak saat itu, peristiwa-peristiwa
tersebut tetap menjadi bagian dari sejarah hitam negara tersebut.
Dampak Pelanggaran HAM di Kerusuhan 1998 terhadap Indonesia

Politik Indonesia memasuki era baru dalam sejarah panjang demokrasi


Nusantara. Pasca kerusuhan 1998 dengan klimaksnya yakni kejatuhan Rezim Soeharto
terdapat berbagai dampak maupun perubahan dalam dan bagi kebijakan luar negeri
Indonesia. Dampak dan perubahan kebijakan yang terjadi dapat dibedakan menjadi dua
berdasarkan penyebabnya, perubahan yang disebabkan oleh faktor internal dan dampak
yang dihasilkan karena kebijakan pihak luar, atau faktor eksternal. Dalam Makalah ini
kami akan berfokus membahas dampak akibat dari kebijakan pihak luar atau faktor
eksternal.
Saat kerusuhan 1998 terjadi dimana massa menuntut pengunduran diri Presiden
Soeharto setelah bertahta selama 32 tahun, diwarnai oleh berbagai sejarah kelam
seperti yang telah disebutkan dengan baik pada bagian sebelumnya.

Meskipun sebelum Kerusuhan 1998 terjadi, Pemerintah Indonesia telah secara


sah dan myakinkan terlibat dalam beberapa pelanggaran HAM, namun kejadian 1998
adalah kejadian unik dimana mempengaruhi berbagai sendi kehidupan Bangsa
termasuk dalam bidang hubungan luar negeri.
Hal yang mendasari terjadinya pergolakan dalam hubungan luar negeri
Indonesia dan yang membuatnya berbeda dengan peristiwa pelanggaran HAM lainnya
ialah fakta bahwa iklim demokrasi yang tumbuh di Indonesia menghilangkan sosok
pemimpin yang berkuasa penuh seperti yang pernah dilakukan oleh Soekarno dan
Soeharto. Posisi Presiden Habibie yang lemah baik dukungan rakyat maupun dukungan
politik membuat dirinya tidak bisa melakukan kebijakan seperti keinginannya.
Iklim Demokrasi yang menghalangi penguasa memiliki kekuasaan mutlak 100
persen ini membuat pergerakan Eksekutif sebagai pengambil kebijakan seakan dirantai
sehingga tidak bisa secara maksimal mengambil tindakan pencegahan maupun
penanggulangan terhadap protes internasional terkait pelanggaran HAM yang
dilakukan Indonesia. Sebelumnya dengan pengaruh dan kekuasaan penuh yang
dimiliki oleh baik Presiden Soekarno maupun Soeharto mampu meredam dampak yang
mungkin ditimbulkan akibat pelanggaran HAM yang dilakukan. Hal ini diperparah
akan kurangnya legitimasi Presiden Habibie karena pandangan buruk masyarakat yang
menilainya masih merupakan Rezim Orde Baru sehingga menyulitkan Habibie dalam
konsolidasi kekuatan. Begitu pula dalam masa dua Presiden selanjutnya, di masa
Presiden Abdurrahman Wahid yang juga singkat terjadi banyak intrik, manuver politik,
saling tikam, dan perebutan kekuasaan di kalangan elite politik sehingga sekali lagi
menjadi hambatan bagi Rezim yang berkuasa dalam konsolidasi kekuatan. Hancurnya
perekonomian 1998, Lemahnya stabilitas Politik dalam negeri, hingga gagalnya Rezim
yang berkuasa dalam menanggulangi maupun mengantisipasi dampak yang mungkin
terjadi akibat pelanggaran HAM pada tahun 1998 menjadi sekian dari alasan mengapa
seakan Pemerintah Republik Indonesia seakan tak berdaya dalam menghadapi tekanan
Internasional terkait Pelanggaran HAM selama kerusuhan 1998, lalu apa dampaknya
bagi Indonesia.
Secara singkat dampak Internasional yang diderita Indonesia akibat
pelanggaran HAM selama kerusuhan 1998 adalah :
1. Isolasi Diplomatik: Beberapa negara dan organisasi internasional mengisolasi
Indonesia secara diplomatik sebagai respons terhadap pelanggaran HAM yang
terjadi. Isolasi ini membuat sulit bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam forum
internasional dan membuat hubungan bilateral sulit berkembang.
2. Kritik Internasional: Pelanggaran HAM di Indonesia memicu kritik tajam dari
masyarakat internasional, organisasi non-pemerintah, dan negara-negara lain.
Kritik ini merusak citra Indonesia di mata dunia dan membawa dampak negatif
terhadap reputasi negara tersebut.
3. Peningkatan Tekanan untuk Reformasi: Pelanggaran HAM yang terjadi menjadi
dorongan bagi komunitas internasional untuk menekan pemerintah Indonesia agar
melakukan reformasi politik dan melindungi hak asasi manusia. Tekanan ini
menciptakan momentum untuk perubahan dalam sistem politik dan hukum
Indonesia.
4. Penghentian Bantuan Asing: Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan
beberapa negara Eropa, menghentikan atau membatasi bantuan ekonomi dan
militer kepada Indonesia sebagai bentuk protes terhadap pelanggaran HAM yang
terjadi selama kerusuhan. Bantuan-bantuan ini mencakup bantuan pembangunan,
bantuan militer, dan bantuan ekonomi lainnya.
5. Panggilan untuk Penyelidikan Internasional: Beberapa negara mendesak
pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan independen terhadap
pelanggaran HAM yang terjadi selama kerusuhan. Mereka juga mendorong
Indonesia untuk bekerja sama dengan organisasi internasional seperti PBB dalam
penyelidikan tersebut.
6. Sanksi Ekonomi dan Pembatasan Perdagangan: Beberapa negara
memberlakukan sanksi ekonomi dan pembatasan perdagangan terhadap Indonesia
sebagai respons terhadap pelanggaran HAM. Pembatasan perdagangan ini
mencakup larangan ekspor senjata dan larangan impor produk-produk tertentu dari
Indonesia.
7. Pengadilan Hak Asasi Manusia Internasional: Beberapa kelompok hak asasi
manusia dan individu memperjuangkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang
terjadi selama kerusuhan di Pengadilan Hak Asasi Manusia Internasional.
Meskipun proses ini tidak selalu menghasilkan hukuman yang tegas, namun
memberikan tekanan kepada pemerintah Indonesia dan menarik perhatian dunia
internasional terhadap situasi tersebut.
8. Bantuan Kemanusiaan dan Pemantauan Hak Asasi Manusia: Beberapa negara
dan organisasi internasional memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban
kerusuhan dan juga mengirimkan misi pemantauan hak asasi manusia untuk
memantau situasi di lapangan dan melaporkan pelanggaran HAM yang terjadi.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Liberalisme adalah suatu aliran dalam HI yang mengutamakan kebebasan dan


keadilan bagi individu atau hak asasi manusia. Hak asasi manusia (human rights)
diartikan sebagai seperangkat hak atau kewenangan yang melekat pada diri manusia
sejak dirinya lahir ke dunia yang tidak dapat dicampuri dengan sewenang-wenang dan
tidak dapat dikurangi ataupun diberikan kepada orang lain. Tugas pemerintah adalah
menjamin hak asasi manusia dengan perlindungan hukum. Namun, tragedi yang terjadi
pada tahun 1998 justru berkata sebaliknya.

Krisis moneter yang memorak-porandakan Indonesia melahirkan berbagai


kerusuhan dalam negeri yang tidak ditangani dengan benar oleh penguasa saat itu.
Pembunuhan, penjarahan, bahkan pemerkosaan terhadap masyarakat sipil Tionghoa
pun terjadi. Dan pemerintah yang seharusnya melindungi rakyatnya pun justru
menembakkan peluru yang mengakibatkan kematian empat mahasiswa Trisakti. Hal
ini pula mengakibatkan Indonesia mendapatkan sanksi global.

Isolasi diplomatik, kritik dunia internasional, meningkatnya tekanan untuk


mereformasi politik dalam negeri, pengehentian bantuan asing, panggilan penyelidikan
internasional, sanksi ekonomi dan pembatasan perdagangan, ajuan kasus HAM dalam
negeri di pengadilan HAM internasional, dan bantuan kemanusiaan serta pemantauan
HAM adalah segelintir sanksi yang diterima Indonesia atas kerusuhan 1998.
DAFTAR PUSTAKA

Adam, A. W. (2004). Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Soeharto.


Adryamarthanino, V., & Ningsih, W. L. (2021). Sejarah Perkembangan HAM di
Indonesia. Kompas.
https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/28/100000079/sejarah-
perkembangan-ham-di-indonesia
Ardila, R., Akbar, ;, & Putra, K. (2020). Journal of International Law ISSN 2721-
8031 (online) (Vol. 1, Issue 3). https://natunakab.go.id/sela
Arief, M. (2021). Re-Evaluasi Proses Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Kalabbirang Law Journal, 3(1). https://doi.org/10.35877/454ri.kalabbirang279
BPS. (2023). Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik.
https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data/0000/data/1240/sdgs_10/1
Christha Auli, R. (2020). Pengertian HAM menurut Para Ahli, Hukum Nasional dan
Internasional. HukumOnline.Com.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengertian-ham-menurut-para-ahli-
hukum-nasional-dan-internasional-lt6331716e60d8d/
Day, J. (2021). Liberté, Égalité, Fraternité: The Meaning and History of France’s
National Motto | liberties.eu. Www.Liberties.Eu.
https://www.liberties.eu/en/stories/liberte-egalite-fraternite/43532
El Muhtaj, M. (2022). A Critical Analysis of the Indonesian Human Rights Action
Plan 1998-2020. Jurnal HAM, 13(3). https://doi.org/10.30641/ham.2022.13.519-
538
Fitriani, A. I., Tarigan, R., & Putri, R. W. (2021). PENGATURAN
PERLINDUNGAN PEMBELA HAK ASASI MANUSIA MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL (Studi Kasus Penghilangan Paksa 13 Aktivis pada Tahun
1998). Esensi Hukum, 3(1). https://doi.org/10.35586/esensihukum.v3i1.59
Hanafiah, R. W. (2022). Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Nasional.
Wacana Paramarta Jurnal Ilmu Hukum, 21(2).
He, K. (2008). Indonesia’s foreign policy after Soeharto: International pressure,
democratization, and policy change. International Relations of the Asia-Pacific,
8(1), 47–72. https://doi.org/10.1093/irap/lcm021
Himawan, EM, Pohlman, A., & Louis, W. (2022). Meninjau Kembali Kerusuhan Mei
1998 di Indonesia: Warga Sipil dan Kenangannya yang Tak Terungkap. Jurnal
Urusan Asia Tenggara Saat Ini, 41 (2), 240-257.
https://doi.org/10.1177/18681034221084320
Kai, H. (2007). Indonesia’s foreign policy after Soeharto: international
pressure, democratization, and policy change. International Relations
of the Asia-Pacific, Volume 8(2008), 47 - 72.
https://ciaotest.cc.columbia.edu/journals/irap/v8i1/f_0017230_14732.p
df
Karim, M. F. (2020). The limits of global human rights promotion: Indonesia’s
ambivalent roles in the UN Human Rights Council. Contemporary Politics,
26(3). https://doi.org/10.1080/13569775.2020.1720065
Khairazi, F. (2015). Implementasi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Inovatif: Jurnal Ilmu Hukum, 8(1).
Kusnadi, S., & Pd, M. S. (n.d.). Modul Hakikat dan Sejarah Perkembangan Hak
Asasi Manusia (HAM).
Marhamah, I., Mardiyani, M., Liani, S. A., & Maulana, W. (2023). Sejarah Hak Asasi
Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 243(4).
McGregor, K., & Setiawan, K. (2019). Shifting from International to “Indonesian”
Justice Measures: Two Decades of Addressing Past Human Rights Violations.
Journal of Contemporary Asia, 49(5).
https://doi.org/10.1080/00472336.2019.1584636
Pandu. (2023). Pengertian Hak Menurut Para Ahli, Jenis, dan Contohnya.
Gramedia.Com. https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-hak-menurut-
para-ahli/
Pangaribuan, L. M. P. (2017). Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum & Pembangunan,
19(6). https://doi.org/10.21143/jhp.vol19.no6.1180
President Franklin Roosevelt’s Annual Message (Four Freedoms) to Congress (1941)
| National Archives. (2022). National-Archives.Gov.
https://www.archives.gov/milestone-documents/president-franklin-roosevelts-
annual-message-to-congress
Sabila, Y., Bustamam, K., & Badri, B. (2019). LANDASAN TEORI HAK ASASI
MANUSIA DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA. Jurnal Justisia :
Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-Undangan Dan Pranata Sosial, 3(2).
https://doi.org/10.22373/justisia.v3i2.5929
Sembilan Bintang & Partners | Perkembangan HAM di Dunia Internasional maupun
di Indonesia. (2023). Sembilan Bintang.
https://www.sembilanbintang.co.id/perkembangan-ham-di-dunia-internasional-
maupun-di-indonesia/
Sudrajat, S. A. (2022). Hak Asasi Manusia ( HAM ) sebagai Bentuk Kebijakan Politik
dalam Pelaksanaan Perlindungan. Jurnal Agama Dan Sosial-Humaniora, 1(1).
Tirtayasa, J. F. (2023). Tragedi Trisakti dan Kerusuhan 1998. Perpustakaan
Universitas Airlangga, 1–15.
Welianto, A. (2020). Perhimpunan Indonesia: Organisasi Pertama yang Pakai Istilah
Indonesia Halaman all - Kompas.com. Kompas.
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/12/200000869/perhimpunan-
indonesia-organisasi-pertama-yang-pakai-istilah-indonesia?page=all
Zubaidi, A., Mustansyir, R., & Munir, M. (2015). FILSAFAT POLITIK JOHN LOCKE
DAN RELEVANSINYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA.
Perpustakaan UGM. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/84257

Anda mungkin juga menyukai