Anda di halaman 1dari 9

JIKA HAM ADA MENGAPA MASIH BANYAK MANUSIA YANG TIDAK

TERMANUSIAKAN?

Sejak terungkapnya kekejaman yang dilakukan oleh NAZI pada perang Dunia ke-II, serta
piagam PBB, sebagai kesepakatan masyarakat internasional, tidak secara rinci meyebutkan hak-
hak yang dilindungi, maka masyarakat internasional perlu adanya Deklarasi yang menyatakan
bahwa hak-hak manusia yang bersifat universal. Pada 10 November 1948, Majelis umum PBB
mengadopsi Deklarasi kemanusiaan universal atau yang dikenal sebagai Hak Asasi Manusia
(HAM). Secara konseptual, hak asasi manusia dapat diartikan pada keyakinan bahwa hak
tersebut “dianugerahkan secara alamiah” oleh Tuhan. Hak asasi manusia adalah sebuah konsep
hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya.
Hak asasi manusia ini bersifat universal, berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapa pun.
Hak asasi manusia pada prinsipnya tidak dapat dicabut atau dibagi-bagi, saling berhubungan, dan
saling bergantung. Hak asasi manusia biasanya diembankankan kepada negara, atau dalam kata
lain, negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak
asasi manusia, termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan.
Adapun prinsip-prinsip dalam Deklarasi HAM antara lain:

1. Pengakuan terhadap martabat dasar (inherent dignity) dan hak-hak yang sama dan sejajar
(equal and inalienable rights) sebagai dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian
dunia;
2. Membangun hubungan yang baik antar bangsa;
3. Perlindungan HAM dengan rule of law;
4. Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan;
5. Kerjasama antara Negara dengan PBB untuk mencapai pengakuan universal terhadap
HAM dan kebebasan dasar.

Paradigma yang membangun konsep kemanusiaan universal yang dirumuskan dalam


HAM ini telah lama tumbuh dalam tradisi para pemikir barat yang mempertanyakan hakikat
kedirian manusia yang mengada di alam semesta. Sudah sejak dini intelektual dari tradisi Yunani
dan Romawi kuno meyakini akan adanya konsep kemanusiaan universal, dan konsep-konsep itu
dapat kita lihat dari sistem moral yang mereka pegang, hukum, politik bahkan dalam
perkembangan keilmuwan itu sendiri yang menempatkan manusia sebagai pusat realitas
[ CITATION FBu12 \l 1033 ]. Melalui perkembangan sejarah, paham ini juga mengambil peran
sentralnya dalam agama-agama dunia lalu kemudian pada zaman Renaissance seorang humanis
pertama, Francesco Petrarca, merumuskan fondasi awal tentang konsep kemanusiaan universal.
Paham ini dinilai begitu cemerlang dan dianggap sebagai salah satu prestasi terbesar umat
manusia dalam membangun sebuah narasi besar yang mengikat konstelasi sosial dalam
menghormati martabat lahiriah manusia. Dalam sisi politis, lahirnya prinsip awal HAM dapat
kita lihat pada Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta menyatakan bahwa raja
yang tadinya memiliki kekuasaan absolut, menjadi dibatasi kekuasannya dan dapat dimintai
pertangung jawabannya di muka umum.

Pada zaman modern paham ini mendapat posisi teratas dari para pemikir modern.
Diantaranya adalah John Locke (1632-1704) dalam bukunya An Essay Concering of Human
Understanding dia berspekulasi bahwa dalam keadaan alami, semua manusia memiliki hak yang
melekat, yaitu hak untuk hidup, kebebasan dan kepemilikan. Landasan filosofis ini dikemudian
hari menjadi legitimasi bagi pergerakan besar di dunia barat diantaranya adalah revolusi Amerika
(1776) dengan para tokohnya Benjamin Franklin, Thomas Jefferson dan George Washington,
serta revolusi prancis (1789) dengan semboyan Liberté, Egalite, Fraternité (kebebasan,
kesetaraan dan persaudaraan). Paham ini kemudian menjadi dalang dari berbagai gejolak di
dunia barat saat itu hingga berbagai ideologi yang menjadi oposisi berusaha membenam dalam-
dalam paham ini, tetapi kemudian narasi ini kembali muncul dengan konotasi yang berbeda
(HAM) sebagai reaksi atas tindakan irasional yang mewadahi perang Dunia pertama hingga
perang Dunia kedua.

Sejarah HAM di Indonesia

Konsep pemikiran HAM telah dikenal oleh bangsa Indonesia terutama sejak tahun 1908
ketika lahirnya organisasi pertama, Budi Utomo, yakni di tahun mulai timbulnya kesadaran akan
pentingnya pembentukan suatu negara bangsa (Nation State) melalui berbagai tulisan dalam
suatu majalah Goeroe Desa. Konsep HAM yang mengemuka adalah konsep-konsep mengenai
hak atas kemerdekaan, dalam arti hak sebagai bangsa yang bebas menentukan nasib sendiri.
(Kusniati, 2012). Perumusan HAM sendiri menjadi perdebatan ketika para pendiri bangsa saat
itu membuat rancangan UUD. Adalah Supomo yang mengemukakan bahwa HAM berasal dari
cara berpikir yang liberal dan individualistik yang menempatkan warga negara berhadapan
dengan negara, dan karena itu menurutnya paham HAM tidak sesuai dengan “ide integralistik
dari bangsa Indonesia.” Menurut Supomo manusia Indonesia menyatu dengan negaranya maka
dari itu tidak masuk akal jika mau melindungi individu dari negara. Kemudian ini menjadi
perdebatan dari para pendiri bangsa saat itu dan kemudian di era pasca kemerdekaan, masa KRIS
1949 dan UUDS 1950, di dalamnya memuat HAM secara terperinci. Hal itu disebabkan KRIS
1949 dibuat setelah lahirnya Declaration of Human Right 1948, sedangkan UUDS 1950 adalah
perubahan KRIS 1949 melalui UU federal No.7 tahun 1950.

Dengan proses yang Panjang dan dinamika politik yang beragam pada orde lama,
peristiwa besar yang mengatasnamakan ideologi mengantarkan Indonesia kembali mengalami
masa kelam kehidupan berbangsa. Peristiwa itu dikenal sebagai G30S/PKI dimana para perwira
menengah TNI Angkatan darat Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya
kudeta merebut kekuasaan. Masyarakat Indonesia dihadapkan kembali pada situasi dan keadaan
dimana HAM tidak dilindungi. Hal ini disebabkan oleh pemikiran para elite kekuasaan terhadap
HAM. Umumnya era ini ditandai oleh pemikiran HAM adalah produk barat. Pada saat yang
sama Indonesia sedang memacu pembangunan ekonomi dengan mengunakan slogan
“pembangunan” sehingga segala upaya pemajuan dan perlindungan HAM [ CITATION Pin02 \l 1033
] dianggap sebagai penghambat pembangunan. Hal ini tercermin dari berbagai produk hukum
yang dikeluarkan pada periode ini, yang pada umumnya bersifat restriktif terhadap HAM.
Hingga kemudian pada tahun 1997 Indonesia mulai menerima HAM internasional karena
membutuhkan dana untuk pembangunan dan juga desakan dari kalangan intelektual dan
akademisi yang menyatakan bahwa HAM itu bersifat universal, terlepas hal itu produk barat atau
bukan.
Dinamika di atas memperlihatkan kasus pelanggaran HAM dengan dalih ideologi
ataupun kepentingan politis kerap terjadi sekalipun HAM sendiri telah menemukan rumusannya
pada UUD 1945. Sebagaimana diuraikan pada BAB XA pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” (Juanda, 2020). Demikian pula
pada pasal 28B-J merupakan turunan dari premis utama pasal 28A yang melandasi konsep
kemanusiaan universal. Landasan ini kemudian menjadi fondasi bangunan hukum perundang-
undangan yang melindungi martabat lahiriah manusia. Akan tetapi eksekutif negara dalam
beberapa kasus masih kurang tegas dalam mengusut persoalan ini hingga tuntas. Memang
kemanusiaan universal pada akhirnya diterima di Indonesia dan menjadi landasan hukum di
Indonesia tetapi itu hanya akan menjadi omong kosong jika pada akhirnya narasi itu hanya
berada pada taraf idealistik bangsa tanpa mengkonkretkannya melalui tindakan yang tegas
melalui hukum. Kita dapat melihat dalam sejarah, bukan hanya G30S/PKI, tetapi juga kasus
penculikan, perbudakan, perampokan, penganiayaan, pemerkosaan dan penyanderaan.
Kasus-kasus besar dari pelanggaran HAM juga sekaligus menjadi bukti lemahnya hukum
dapat kita lihat seperti penculikkan aktivis pada tahun 1997-1998, dalam periode tersebut
penculikan terjadi pada 23 orang penduduk sipil. Sebagian dari mereka merupakan aktivis pro
demokrasi, dan mirisnya hanya 9 orang saja yang dikembalikkan. Kasus lain terjadi pada 7
September 2004, yaitu kasus pembunuhan Munir. Munir meninggal dengan cara yang tidak
wajar, dari pihak keluarga dari dulu sudah menuntut pemerintah membentuk tim penyelidik
khusus.TPF dan menyimpulkan bahwa kematian Munir adalah hasil kejahatan konspiratif yang
melibatkan Garuda Indonesia. Sudah lama masyarakat mengkritik pemerintah, namun
pemerintah tidak serius dalam menyelesaikan kasus pembunuhan tersebut.

Diantara kasus yang saat sering terjadi adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual
menjadi kasus HAM di Indonesia yang makin kesini makin parah, Komisi Nasional Perempuan
(Komnas) mencatat sedikitnya 55.791 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan baik di ranah
pribadi maupun publik sepanjang 2011 hingga Juni 2021. Bahkan Komnas Perempuan
menyebutkan setiap dua jam setidaknya ada tiga perempuan di Indonesia yang mengalami
kekerasan seksual. Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani pada tahun 2021 diantara
bulan Januari sampai Juni 2021 angka laporan langsung ke Komnas Perempuan bahkan
melampaui pengaduan yang diajukan di tahun 2020 yaitu telah lebih 2.500 kasus, pemerkosaan
menjadi kasus kekerasan seksual yang paling banyak terjadi.

Hukum yang mengatur tentang HAM di Indonesia pada dasarnya sudah cukup memadai,
namun dalam praktiknya penegakan HAM masih menghadapi berbagai masalah yang perlu
diidentifikasi dan dicari solusi untuk menjadikan Indonesia negara yang berkarakter hukum
membela hak asasi manusia bukan hanya ekspresi verbal atau retorika, tetapi benar-benar
menjadi jati diri negara Indonesia yang sebenarnya. Adapun Instrumen penegakan HAM
diantaranya amandemen UUD ‘45 yang kemudian memasukkan HAM dalam bab tersendiri
dengan pasal pasal yang menyebutkan HAM secara lebih detail. Selain amandemen UUD 1945
juga ditetapkannya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang
menugaskan kepada lembaga lembaga tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk
menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh
masyarakat. Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
untuk menyetujui berbagai instrumen HAM PBB, asalkan tidak bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945 serta diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 09 tentang
kebebasan untuk menyatakan pendapat di muka pada tahun 1998 Common Law dan Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 Republik Indonesia tentang Hak Asasi Manusia juga
memperkuat status kemanusiaan Komnas HAM yang telah terbentuk sebelumnya berdasarkan
keputusan presiden. Nomor 50 Tahun 1993 tentang Panitia Hak Asasi Manusia Nasional,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Republik Indonesia tentang 40 tahun Pengadilan Hak
Asasi Manusia dan hukum tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis pada tahun 2008 (3).

Mengapa Pelanggaran HAM Kerap Terjadi?

HAM di Indonesia masih menjadi permasalahan yang sangat penting, mengapa hal ini
bisa terjadi, sedangkan banyak hukum-hukum yang mengatur tentang adanya HAM. Menurut A.
Malthuf Siroj (2020) menjelaskan mengenai kewajiban dasar manusia, yaitu Wajib patuh pada
peraturan perundang-undangan, dari kewajiban pertama ini kita tahu bahwa dapat terlaksananya
ham di Indonesia dengan baik ketika semua masyarakat Indonesia patuh terhadap perundang-
undangan. Namun nyatanya masih banyak yang tidak taat terhadap perundangan-undangan,
bahkan dari pejabat pemerintah pun ada yang melakukan tindak pidana pelanggaran hukum,
contohnya adalah korupsi yang sudah menjadi problem di Indonesia. Kewajiban dasar lainnya
yaitu Menghormati hak asasi orang lain. Setiap hak asasi seseorang menimbulkan kewajiban
dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik. Namun,
apa yang terjadi jika hal tersebut tidak dilakukan, maka yang terjadi adalah sebaliknya, jika kita
ingin hak kita terpenuhi atau terpenuhi maka kita juga harus menjalankan kewajiban kita,
masalah di Indonesia adalah ketika ingin mengambil hak kita namun kita sendiri lupa untuk
menghormati hak orang lain, jadi bagaimana bisa HAM bisa terlaksana dengan baik jika dari
individu sendiri tidak menghargai atau menghormati hak orang lain. Kewajiban selanjutnya
adalah Tunduk pada pembatasan yang ditetapkan Undang Undang. Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang Undang.
Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, dimana kewajiban ini berkaitan
dengan kewajiban sebelumnya yang sudah kita bahas (3).

Selain lemahnya penegakkan hukum juga terdapat beberapa hal yang mendasar tentang
mengapa pelanggaran HAM (kekerasan) kerap terjadi, diantaranya adalah:

1. Human Nature
Para filsuf dan para pemikir telah lama memikirkan tentang keadaan alamiah manusia
dan apa yang mendasari dalam kedirian manusia. Diantaranya yang paling terkenal
adalah argumen dari seorang filsuf Prancis René Descartes (1596-1650) yang
membangun sistem pemikirannya dengan dasar asumsi bahwa manusia terlahir dengan
ide-ide bawaan, sementara argumen yang berlawanan ada pada filsuf Inggris John Locke
(1632-1704) yang menyatakan konsep tabularasa, bahwa manusia terlahir seperti kertas
putih tanpa noda. Akan tetapi dewasa ini perkembangan biologi evolusioner semakin
kompleks dalam mendeskripsikan tentang keadaan alamiah manusia, tentunya hal ini
menjadi kajian interdisiplin antara psikologi kognitif, paleoantropologi dan biologi.
Seorang Professor Psikologi Kognitif dari Harvard, Stiven Pinker dalam bukunya
mencoba menyangkal konsep tabularasa. Dengan perkembangan studi genetika dan
neurosains saat ini cukup menjelaskan mengapa pada akhirnya seseorang cenderung
melakukan kekerasan [CITATION Pin02 \p 2002 \y \l 1033 ]. Berbagai faktor-seperti
keturunan (genetika), reduksi lingkungan sekitar, serta berbagai kemungkinan-merupakan
variabel yang bermain dalam perilaku seseorang. Jadi memang memiliki kemungkinan
seorang ayah yang melalukan kekerasan sang anak pun juga mungkin mengikuti, juga
faktor lingkungan dimana seseorang tumbuh dan besar dikawasan yang rentan melakukan
hal-hal yang melanggar kemanusiaan itu sendiri.

2. Gagalnya Sistem Pendidikan


Buruknya perilaku dan berbagai fenomena yang menyangkut kedirian manusia adalah
bukti gagalnya pendidikan serta gagalnya kearifan ilmu pengetahuan mencapai kesadaran
seseorang. Ilmu diperlakukan sebagai alat, sarana untuk mencapai tujuan. Tentunya ini
reduksi yang sangat mengkhawatirkan yang implikasinya akan langsung menimbulkan
implikasi yang lain baik dari segi keilmuwan itu sendiri ataupun moral yang membentuk
sesorang. Ketika guru ataupun akademisi yang tidak melihat hal ini secara mendasar,
mereka cenderung berpandangan untuk menambah pelajaran moral. Hal ini sangatlah
tidak efektif, karena segala sesuatu yang bersifat normatif itu terlahir melalui pembiasaan
bukan dari tumpukan teori-teori. Cara pengajaran sains yang dangkal dan tidak
mengekstrak hal normatif dari metodologi adalah salah satu contohnya. Kita cenderung
dijejalkan dan dipaksa untuk mengerti suatu subjek yang bahkan kita sendiri sebenarnya
tidak tahu apa gunanya mempelajari hal itu. Sebenarnya dalam sejarah manusia dan
sejarah pemikiran kita dapat melihat bagaimana perkembangan sains dan inovasi justru
tidak terlepas dari pandangan tentang kemanusiaan itu sendiri. Manusia merupakan pusat
pengetahuan dalam memahami semesta dan dalam kepemahaman itu ia melibatkan
seluruh dirinya hingga menemukan posisinya di alam semeta. Tafsir inilah yang
kemudian membangun narasi bersama tentang pandangan dunia dan melahirkan
kebudayaan serta peradaban. Reduksi yang menjadikan ilmu sebagai alat merupakan
penyebab mengapa pada akhirnya siswa tidak dapat melihat titik akses dirinya ke dalam
ilmu pengetahuan.

Lalu Bagaimana Persoalan HAM Ini Agar Dapat Terselesaikan?

Pengusutan kasus yang tidak tuntas, konflik ras yang terus muncul, kasus pelecehan
seksual, penganiayaan dan perundungan akan terus terjadi jika hukum yang menjadi
isntrumen utama dalam menegakkan keadilan justru semakin diperlemah atau bahkan
diinterpretasikan dengan memelintir makna agar sesuai dengan kepentingan-kepentingan.
Disini pemahaman kita tentang HAM justru dibenturkan dengan berbagai situasi dilematis,
disatu sisi narasi HAM yang terbangun melalui tradisi para pemikir hingga mencapai rumusan
konkretnya dalam Declaration of Human Right PBB 1948 memberikan rasa aman tentang
konsep kemanusiaan tetapi di sisi lain ketika melihat kasus pelanggarannya kita justru
tersentak dan pemahaman itu tak ubahnya seperti mimpi utopia belaka.

Kalau kita kembali kepada situasi kondisi alamiah manusia, studi genetika dan neurosains
mendeskripsikan tentang ide-ide bawaan yang artinya ini adalah sebuah keniscayaan, terdapat
faktor lingkungan (sebuah kontingensi) tetapi juga ada faktor kemungkinan (possibility) yang
mempengaruhi kedirian seseorang. Artinya kita masih memiliki harapan. Kontingensi adalah
kondisi kebergantungan dimana itu bisa menjadi terjadi tetapi memiliki kemungkinan untuk
tidak terjadi. Nah disinilah letak faktor lingkungan. Sementara variabel yang lainnya adalah
possibility, yang didalamnya termuat pilihan yang dibuat oleh seseorang itu sendiri. Tetapi
pilihan dalam hal tertentu masih terikat dengan keniscayaan dari faktor genetika. Disini kita
dapat memperoleh insight baru secara mendasar yaitu bahwa peranan awal dalam membentuk
cara berpikir dan tingkah laku itu pada akhirnya akan mengantarkan subjek pada pemahaman
moral mereka sendiri. Peranan awal ini dapat kita temukan pada pendidikan, karena
pendidikan adalah cara awal dalam membentuk cara berpikir.

Pendidikan dengan pendekatan Humaniora tetapi tanpa meninggalkan paradigma sains


dan teknologi serta memperhatikan implikasi etis dari ilmu-ilmu. Pendekatan ini menemukan
rumusannya dalam istilah baru dalam dunia pendidikan yaitu STEAM. Science, Technology,
Engineering, Arts, and Mathematics (STEAM) merupakan sebuah paradigma yang mestinya
digunakan untuk membangun sebuah sistem dan praktek pendidikan. Dengan
mengintegrasikan cara berpikir yang diterapkan pada sub bidang STEAM tentunya dengan
metode yang konkret, akan membawa siswa pada taraf mengerti tentang posisinya, entah itu
ditengah masyarakat yang plural, hidup berbangsa, memhami norma susila atau bahkan posisi
dirinya di tengah alam semesta.

Paradigma yang membangun sains adalah metode positivistik yang mengutamakan


objektivitas. Cara belajar yang mengutamakan objektivitas akan melatih diri untuk terbiasa
melihat sebuah persoalan dengan tanpa melibatkan prasangka-prasangka. Kemudian melatih
daya inovasi dengan pengajaran berbasis teknologi dan mekanik kemudian cara berpikir seni
yang diterapkan sebagai titik akses ke berbagai sub-bidang STEAM. Cara berpikir yang
imajinatif, kebebasan berekspresi serta bentuk penghormatan martabat manusia dapat kita
lihat dengan seksama pada hasil estetika diberbagai peradaban. Model pendidikan seperti ini
akan menggiring siswa untuk kembali kepada keadaan alamiah dirinya dan melibatkan bukan
hanya nalar yang mampu berpikir secara logis tetapi juga akal budi yang didalamnya ada
empati sehingga dapat membuat berbagai pertimbangan etis. Dengan memasukkan cara
berpikir ini pada bidang ilmu kewarganegaraan dan sejarah, maka siswa akan mendapatkan
esensi penuh mengenai keberagaman dan pluralitas merupakan hal yang objektif ada di luar
diri kita, terlepas kita suka ataupun tidak. Hingga pada kediriannya, siswa dapat berefleksi
dan menemukan dirinya ditengah masyarakat dan memahami apa itu perbedaan.

Setiap manusia memiliki hak asasi. Akan tetapi setiap manusia juga memiliki kewajiban
asasi. Dengan pendidikan yang memanusiakan manusia akan membantu subjek untuk
memahami tentang kewajiban asasinya. Maka dengan salah satu solusi diatas dapat
menciptakan perdamaian dunia diatas narasi besar HAM dan martabat manusia. Karena tak
jarang justru pendidikanlah yang menyebabkan berbagai reduksi tentang makna kemanusiaan
itu sendiri. Tantangan selanjutnya bagi kita adalah bagaimana meujudkan hal ini menjadi
nyata, hal ini bukanlah hanya tangung jawab pemerintah melainkan tangung jawab kita
bersama dalam membangun lingkungan dan budaya yang menghormati kemanusiaan.

Kesimpulan

Dalam kesejarahannya HAM berkembang dari tradisi para pemikir yang memikirkan
hakikat kedirian manusia yang mengada di alam semesta. Tradisi ini kemudian berkembang
mulai dari agama-agama dunia hingga rumusan kemanusiaan dari tradisi Renaissance. Narasi itu
kembali dikembangkan dalam tradisi para pemikir modern hingga menyebabkan berbagai
gejolak di negara barat yang membela kemanusiaan. Setelah perang dunia pertama dan perang
dunia kedua yang berdasar pada klaim irasional ideologi totaliter, perserikatan bangsa-bangsa
(PBB) sepakat dalam mengeluarkan dekrit tentang kemanusiaan universal. Hak asasi manusia
adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang
melekat pada dirinya. Hak asasi manusia ini bersifat universal, berlaku kapanpun, di manapun,
dan kepada siapa pun. Di Indonesia sendiri perkembangan HAM memiliki kesejarahannya
sendiri, dimulai dari munculnya organisasi pertama yaitu Budi Utomo yang berangkat dari
kesadaran akan pentingnya negara bangsa. Pada BPUPKI konsep ini pun menjadi perdebatan
antara para pendiri bangsa, hingga menemukan rumusannya pada undang-undang dasar.

Meskipun telah menemukan rumusannya pada UUD, pelanggaran HAM masih terus
terjadi dalam sejarah Indonesia. Dimulai dari munculnya rezim kudeta yang memperbutkan
kekuasaan hingga hilangnya berbagai aktivis pada era orde baru dan sampai sekarang kasus
tersebut tidak pernah selesai diusut. Di zaman sekarang kasus pelanggaran itu muncul tetapi
dengan rupa yang lain, seperti penganiayaan, perundungan, pemerkosaan dan lainnya. Diantara
kasus-kasus itu justru membuat korban seolah-olah bukanlah korban dengan alasan tidak adanya
bukti dan berbagai lainnya di muka hukum. Fenomena ini terus terjadi dan tidak adanya tindakan
yang tegas baik dari pemerintah ataupun aparat penegak hukum.

Terdapat dua faktor yang menyebabkan mengapa pelanggaran HAM kerap terjadi. (1)
Dalam keadaan alamiah manusia terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kedirian manusia,
yaitu faktor genetika, faktor lingkungan dan kemungkinan yang berasal dari pilihan yang kita
ambil. Sehingga akan terdapat kemungkinan jika sesorang melakukan kekerasan, sang anak juga
akan melakukannya. Kemudian faktor lingkungan yang membangun pengalaman sesorang. (2)
Buruknya pendidikan juga menjadi faktor lain, karena model pendidikan yang ada sekarang
gagal dalam memberikan pemahaman dan kesadaran akan kewajiban asasi dan bahkan
melakukan reduksi pada makna kemanusiaan.

Maka dari itu bentuk solusi yang bisa ditawarkan adalah membawa model pendidikan
dengan pendekatan yang mampu mengembalikan manusia pada martabat lahiriahnya. Karena
pendidikan adalah bentuk awal dalam membentuk cara berpikir, maka model STEAM yang
cocok karena di dalamnya terdapat paradigma terintegratif antara sain, teknologi, tekhnik, seni
dan matematika. Tentunya dengan metode yang meletakkan seni sebagai titik akses untuk dapat
bereksplorasi terhadap dunia dan melatih sikap objektif serta memahami bahwa pluralitas adalah
hal yang objektif ada di luar diri kita.

Tuntutan

Maka dari itu kami mengajukan beberapa tuntutan, diantaranya tuntutan dari segi hukum.
Meskipun undang-undang tentang HAM ada dan telah terumuskan, akan tetapi pihak aparat dan
lembaga yang bertangung jawab masih belum tegas dalam menegakkannya. Juga sudah menjadi
tugas dari pendidikan untuk dapat membentuk kesadaran mengenai hak asasi manusia. Tuntutan
tersebut adalah:
1. Hentikan segala bentuk represi dan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat.
2. Usut tuntas tentang kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu
3. Sahkan RUU penghapusan kekerasan seksual
4. Merevisi pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam RKUHP dan meninjau ulang
pasal-pasal tersebut dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil.
5. KOMNAS HAM harus tegas dalam mengupayakan HAM dan bekerja sama dengan
berbagai pihak entah itu badan atau institusi HAM lainnya, juga dengan pihak kepolosian
dalam menegakkan HAM.
6. Mencanangkan hukuman yang berat bagi pelanggar HAM sebagai bentuk ancaman
7. Memperbaiki sistem pendidikan dengan model pembelajaran yang menumbuhkan
kesadaran akan keberagaman
8. Disini penulis juga menuntut kepada masyarakat, orang tua, guru apparat, pemerintah dan
juga kepada diri penulis sendiri untuk bersama menegakkan hak asasi dan melaksanakan
kewajiban asasi kita sebagai civil society.

DAFTAR PUSTAKA

Agnes Kusuma Wardadi, G. P. (2019). Analisis Keberlakuan RKUHP dan RUU-PKS dalam
Mengatur Tindakan Kekerasan Seksual. Lex Scientia Law Review, 30-39.
Aminullah. (2018). Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM). JUPE, 5-19.
Anggelia, A. P. (2021). Polemik Desakan Pengesahan RUU PKS: Suatu Tinjauan Sistem Hukum
Nasional dan Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Komunikasi Hukum, 628-640.
Elrod, S., & Kezar, A. (2014). Developing leadership in STEM fields: The PKAL Summer
Leadership Institute. Journal of Leadership Studies, 8(1), 33-39.
http://onlinelibrary.wiley.com.ezproxy.viu.ca/doi/10.1002/jls.21319/epf
Fossati, N. C. (2020). Authoritarian Innovation. Democratization, 1-15.
Hardiman, F. B. (2012). Humanisme dan sesudahnya. jakarta: kepustakaan populer gramedia.

Hamenda, V. L. 2013. Tuntutan Hak Asasi Manusia terhadap Penerapan Hukuman Mati di
Indonesia. Lex Crimen. 2(1): 113-119. 

Juanda, E. (2020). Eksistensi Hak Asasi Manusia Dan Alternatif Penyelesaian Atas
Pelanggarannya Dalam Negara Hukum Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah , 98-108.
Kang, N. H. 2019. A Review of The Effect of Integrated STEM or STEAM (Science,
Technology, Engineering, Arts, and Mathematics) Education in South Korea. Journal
Asia-Pacific Science Education. 5(6): 1-22.
Mietzner, M. (2019). Authoritarian Innovation In Indonesia: electoral narrowing, identity politics
and executive illiberalism. Democratization, 1-16.
Pinker, S. (2002). The Blank Slate, the modern Denial of human nature. london: penguin books.
Prajarto, K. K. (2005). Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic
Governances. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 291-308.

Santoso B. 2020. Komnas: Tiap 2 Jam, 3 Perempuan Indonesia Alami Kekerasan Seksual.
Diakses melalui Komnas: Every 2 Hours, 3 Indonesian Women Experience Sexual
Violence (suara.com).

Supriyanto, B. H. (t.thn.). Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut
Hukum Positif di Indonesia.
Wignjosoebroto, S. (1999). Hak-Hak Asasi Manusia: Perkembangan Pengertiannya Yang
Merefleksikan Dinamika Sosial-Politik. Masyarakat,Kebudayaan dan Politik, 1-14.

Anda mungkin juga menyukai