Anda di halaman 1dari 9

Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menangani Permasalahan Myanmar

Terkait dengan Pengungsi Rohingya


Nabila Firiyal Prameswari1, M.Syaprin Zahidi2

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik , Universitas Muhammadiyah Malang, Indonesia,


1

nabilaprameswari145@gmail.com

2
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Malang, Indonesia, syaprin123@umm.ac.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membahas bagaimana kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam menangani isu
Rohingya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan bahan untuk penulisan ini di peroleh dari studi
literatur dengan membaca dan menganalisa data yang bersumber dari jurnal yang berasal dari harzing dengan
kurun waktu 5 tahun terakhir. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif. Pertama,
kebijakan luar negeri Indonesia dalam menangani isu Rohingya tidak terlepas dari berbagai faktor internal dan
eksternal, antara lain menyangkut kepentingan nasional, yang tercermin dari dorongan masyarakat muslim
Indonesia agar pemerintah Indonesia dapat menyelesaikan konflik dan melindungi muslim Rohingya Asia. Lalu
perihal kepentingan nasional, yang menjadikan konflik Rohingya sebagai peluang bagi Indonesia untuk
membangun kepercayaan internasional. perlindungan nasional, dan mengantisipasi ancaman serta implikasi
konflik, yang termasuk aspek keamanan teritorial dan ekonomi. Hasil dari penelitian ini menghasilkan bahwa
Indonesia melakukan berbagai macam kebijakan melalui politik luar negeri guna menyelesaikan isu Rohingya yang
dapat menjadi permasalahan keamanan regional di Kawasan Asia Tenggara.

Kata Kunci: Politik, Kebijakan, Rohingya, Isu, Kepentingan

ABSTRACT

This study aims to discuss how Indonesia's foreign policy handles the Rohingya issue. This research uses the quality
method with material for this writing obtained from literature studies by reading and analyzing data sourced from
journals derived from harzing with a period of the last 5 years. The collected data were analyzed using the f
descriptive technique. First, Indonesia's foreign policy in dealing with the Rohingya issue is inseparable from
various internal and external factors, including nationalimportance, which is reflected in the encouragement of the
Indonesian Muslim community so that the Indonesian government can resolve the conflict and protect the Asian
Rohingya community. Then it is about the national interest, which makes the Rohingya conflict an opportunity for
Indonesia to build international trust. national protection, and anticipating the threats and implications of
conflict, which include aspects of territorial and economic security. The results of this study resulted in Indonesia
conducting various policies through foreign policy to resolve the Rohingya issue which could become a regional
security problem in the Southeast Asian Region.

Keywords: Politics, Policy, Rohingya, Issues, Interests


Pendahuluan

Myanmar memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1984, ia berjuang dengan konflik
etnis bersenjata dan ketidakstabilan politik selama periode panjang reformasi politik. Beberapa orang
Rohingya bahkan menjadi menteri di kabinet Myanmar antara tahun 1940 dan 1950. Pada tahun 1962,
kudeta militer menyebabkan negara militer satu partai yang didorong oleh ideologi sosialis otokratis yang
berlangsung selama lebih dari 60 tahun. Banyak minoritas yang sering menjadi korban karena tidak
dianggap Setia, ingin melepaskan diri dari Burma, salah satunya Rohingya. Akibat dari negara Myanmar
yang menjadikan Rohingya sebagai sebuah ancaman dan melakukan berbagai gerakan yang gunanya
untuk membatasi gerak Rohingya maka dari itu etnis Rohingya melakukan pengungsian ke Bangladesh.

Nama "Burma" yang digunakan untuk merujuk pada negara yang terletak di Myanmar, terlepas
dari kenyataan bahwa Myanmar adalah ekonomi terbesar kedua di negara itu. Myanmar merupakan salah
satu negara di Asia yang dinilai tidak stabil. Ada 135 etnis yang telah ditangkap oleh UU dan milik
pemerintah, antara lain sebagai berikut: Burma, Karen, Karenni, Chin, Mon, Arakan, Shan, dan negara-
negara lain (Susetyoet al.,2013). Selain itu, ada kelompok etnis di Myanmar yang dikenal sebagai
Rohingya, yang membedakan dirinya dari kelompok etnis lain di Myanmar karena fakta bahwa Rohingya
adalah Muslim dan keyakinan mereka berakar di Asia Kecil, sedangkan kelompok etnis di Myanmar
Buddha. Akibatnya, pemerintah Myanmar menggunakan Rohingya sebagai bagian dari bentuk kerja
ilegal di Arakan (sebagai lawan dari Rakhine).

Nama Rohingya menunjukkan identitas etnoreligius Muslim di Negara Bagian Rakhine Utara,
Myanmar (sebelumnya Burma). Istilah ini menjadi bagian dari wacana publik di akhir 1950-an dan
menyebar luas menyusul laporan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim di Negara bagian
Rakhine Utara selama 1990-an, dan lagi setelah 2012. Klaim otonomi Muslim regional muncul selama
Perang Dunia II dan menyebabkan kebangkitan dari gerakan etnonasionalis Rohingya yang
memanfaatkan imajinasi Muslim lokal, serta sejarah dan arkeologi regional. Untuk mengeksplorasi akar
sejarah klaim identitas khas dan menyoroti ketegangan Buddha-Muslim, kita harus melihat kembali peran
Muslim di kerajaan Buddha prakolonial Arakan dan pertumbuhan demografis mereka selama periode
kolonial. Pengecualian sipil dan pelecehan negara di bawah rezim otoriter Burma (1962-2011)
mengakhiri harapan politik pengakuan etnis, namun mempercepat proses pembentukan identitas bersama,
baik di dalam negeri maupun di antara diaspora. Sejak tahun 1970-an, pengungsi dan migran beralih ke
Bangladesh, Timur Tengah, dan negara-negara Asia Tenggara, membentuk badan transnasional
komunitas Rohingya yang menemukan kembali kehidupan mereka dalam berbagai konteks politik dan
budaya. Suksesi organisasi nasionalis Rohingya beberapa di antaranya bersenjata yang memiliki dampak
yang tidak berarti tetapi membuat perjuangan politik tetap hidup di sepanjang perbatasan dengan
Bangladesh. Meskipun nasionalis Rohingya gagal mendapatkan pengakuan di antara kelompok etnis dan
agama di Burma, mereka telah menarik pengakuan internasional yang meningkat.

Etnis pengungsi minoritas Rohingya dan migran dari Myanmar dari Bangladesh, membuat
liputan media publik nasional dan internasional menjadi menyoroti isu tersebut. Tidak diakuinya etnis
Rohingya serta diskriminasi yang dilakukan oleh Myanmar merupakan tidakan yang dianggap oleh
masyarakat internasional sangat keterlaluan, hal tersebut yang pada akhirnya memunculkan istilah krisis
manusia. Rohingya tidak memperoleh hak-hak sipil dan dianggap sebagai imigran illegal serta melakukan
penghapusan Rohingya sebagai etnis daftar utama. Kekerasan serta diskriminasi yang dilakukan oleh
Myanmar masih terus berlanjut hingga sekarang. Tentu saja masalah Rohingya ini tidak hanya menjadi
sorotan Indonesia sebagai negara tetangga melainkan juga sorotan masyarakat Indonesia.

Metodologi

Penelitian ini bertujuan untuk merancang article yang relevan dengan politik luar negeri
berdasarkan akumulasi artikel ilmiah yang bersumber dari google scholar. Metode penelitian yang
digunakan adalah adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Dan juga jenis penelitian
menggunakan metode riset. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi pengambilan data dan
juga melalui google scholar serta harzing, yang akan diambil adalah sumber- sumber literatur yang
bersumber dari jurnal dengan kurun waktu 5 tahun terakhir, itu dikarenakan akan memudahkan suatu
proses pengumpulan data dengan keadaan situasi pandemi seperti sekarang ini, peneliti tidak turun
langsung ke lapangan atau tempat yang disepakati untuk digunakan sebagai objek penelitian, melainkan
hanya mereview artikel sediakala yang menyediakan kajian terkait dan telah terpublikasi dalam jurnal
ilmiah bereputasi Internasional, kemudian penelitian tersebut dikembangkan sesuai dengan kondisi saat
ini.

Hasil dan Pembahasan

Rohingya adalah kelompok etnis Muslim yang tinggal di Buthidaung dan Maungdaw Kotapraja di
bagian barat laut Negara Bagian Arakan, Burma. Daerah ini, yang bersebelahan dengan Sungai Naf
sebagai batas dari Bangladesh, juga disebut wilayah Mayu. Mereka tinggal di sini sebagai mayoritas
bersama dengan Buddha Arakan dan Burma. Karena tidak ada sensus yang akurat pernah diambil,
populasi Rohingya tidak diketahui. Namun, jumlahnya tampaknya lebih sedikit dari satu juta, meskipun
mereka sendiri bersikeras bahwa itu antara satu hingga dua juta termasuk orang-orang yang tinggal di
pengasingan (Smith 1991, hal.30). Dalam konflik tersebut terjadi ketegangan yang membara antara umat
Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya di Myanmar Barat yang meningkat pada tahun 2012 menjadi
konflik kekerasan, pertama pada bulan Juni dan meletus lagi pada bulan Oktober tahun itu. Kekerasan
menyebabkan hilangnya lebih dari seratus nyawa, kehancuran ribuan rumah dan perpindahan ribuan
orang. Myanmar tidak hanya melakukan pengusiran melainkan juga melakukan penyerangan militer
seperti penahanan, pembunuhan, penyiksaan dan pelanggaran lainnya, membuat banyak orang Rohingya
mengungsi ke Bangladesh. Segera setelah Operasi Naga Min, junta memberlakukan Undang-Undang
Kewarganegaraan Myanmar pada tahun 1982. Undang-undang menyatakan bahwa pemerintah hanya
mengakui 135 Kelompok warga yang dikenal sebagai "ras etnis" dan Rohingya tidak termasuk
kedalamnya. Berdasarkan fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa fakta masalah Myanmar adalah masalah
dalam negeri Myanmar. Namun, konflik tumbuh, yang mengarah terhadap jatuhnya ribuan nyawa dan
pengungsi Rohingya yang ditelantarkan di lautan dan akibatnya, isu Rohingya berkembang menjadi krisis
kemanusiaan yang menarik perhatian dunia internasional. Tidak hanya Bangladesh namun juga Malaysia
dan Australia menjadi tujuan dari pengungsian Rohingya.

Ketidaksengajaan yang dilakukan saat melakukan pengungsian membawa orang Rohingya melakukan
pengungsian ke negara Indonesia akibat dari terdamparnya perahu orang Rohingya. Namun ada alasan
lain mengapa Rohingya memilih Indonesia, hal ini dikarenakan Indonesia adalah salah satu tujuan
Rohingya karena Indonesia merupakan negara mayoritas Muslim yang diharapkan menjadi tempat yang
aman bagi Rohingya (Thontowi, 2016; 203). Distribusi kedatangan Rohingya Berlangsungnya
permasalahan ini meliputi 2 masa pemerintahan di Indonesia yaitu pada masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi Dodo. Konflik isu kemanusiaan kelompok etnis Rohingya di
Myanmar telah menarik perhatian dunia internasional dan masyarakat Indonesia. Sebagai negara yang
sama-sama berpengaruh di Asia Tenggara, Indonesia telah mengambil tindakan strategis untuk membantu
menangani konflik di Myanmar. Upaya penyelesaian konflik membutuhkan kompleksitas dan partisipasi
multi pihak. Menariknya, publik Indonesia melihat isu Rohingya sebagai isu agama (Mahmoodet al.,
2017), yang tidak sepenuhnya salah, namun sama sekali tidak tepat untuk meredam konflik yang
mengarah pada isu agama.

a. Kebijakan di Era SBY

Susilo Bambang Yudhoyono adalah pemimpin yang cukup aktif dalam beberapa permasalahan
dan penyelesaian konflik di Filipina, Kamboja, Suriah, dan Lebanon. Susilo Bambang Yudhoyono
mengajak Indonesia bertindak untuk membantu meredakan konflik antar Rohingya. Salah satu tanggung
jawab Yudhoyono adalah melakukan diplomasi bilateral dengan Pemerintah Myanmar, serta melakukan
business as usual untuk kepentingan negara dan melakukan berbagai kegiatan ekonomi, termasuk
pembentukan modal. Selain negosiasi bilateral, Yudhoyono juga membahas hal tersebut. konflik dengan
Organisasi untuk Konferensi Islam dan ASEAN. Susilo Bambang Yudhoyono memiliki kebijakan dalam
ikut serta menyelesaikan konflik Rohingya dan Rakhine dengan cara menulis surat kepada Presiden Thein
Sein untuk menerima kedatangan pengungsi Rohingya dan bekerjasama dengan OKI untuk membantu
menyelesaikan konflik antara Rohingya dan Rakhine. Menerima kedatangan pengungsi Rohingya,
menjadi pelopor dalam membahas konflik Rohingya di ASEAN Summit Forum, mengangkat Yusuf Kala
sebagai Utusan Khusus, Menunjuk PI sebagai badan koordinasi bantuan untuk Rohingya dengan bantuan
$ 1 juta, memberikan bantuan kepada pemerintah Myanmar dengan berbagi keahlian dengan membantu
delegasi Myanmar untuk mengunjungi Myanmar dan berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian
Myanmar dengan mengirimkan BUMN Indonesia untuk berinvestasi di Myanmar dan mendirikan Buku
Biru Pembangunan Kapasitas Indonesia-Myanmar kemitraan .

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah nampaknya tidak membuahkan hasil yang maksimal baik
di tingkat nasional, regional maupun internasional, pemerintah belum menunjukkan banyak upaya dalam
hal ini. Begitu juga dengan kebijakan yang terkait langsung dengan pengungsi Rohingya yang sudah ada
di Indonesia, banyak yang tiba di Indonesia harus terlebih dahulu ditahan di kantor imigrasi seperti
imigran gelap lainnya. Bahkan para pengungsi yang dibebaskan pun tidak mengetahui nasib mereka
selanjutnya tentang diterimanya mereka di Indonesia. Keadaan menunggu ini bisa berlangsung bertahun-
tahun, seperti yang dialami beberapa orang Rohingya. Realitas Respon Pemerintah dan apa yang dialami
Rohingya Ini bisa dilihat dari sikap politik khas presiden SBY dalam mengambil keputusan. Di sisi lain,
SBY bungkam atas tindakan lembaga kemanusiaan (PMI, ACT, Dhompet Dhuafa, dll), lembaga
keagamaan (NU, Muhammadiyah, dll), partai politik dan lembaga lainnya yang beraksi dan aktif
menggalang dana kemanusiaan untuk membantu bangsa Rohingya Entah ke Rakhine State atau ke
pengungsi. Situasi ini sebenarnya bisa diartikan sebagai kebijakan yang mendukung. Karena pemerintah
dapat melarang komunitas atau lembaga mana pun di wilayahnya untuk memberikan bantuan, dukungan.
Artinya, pemerintah SBY bisa saja mengambil tindakan seperti itu, Namun sayangnya hal tersebut tidak
dilakukan oleh SBY. Demikian juga, banyak pengamat dapat memahami strategi SBY sebagai strategi
yang ambigu. Tunjukkan dukungan di banyak kesempatan, tetapi di banyak kesempatan lain diam. Ini
menunjukkan SBY keragu-raguan, seperti kebanyakan kebijakan SBY di tingkat nasional.

b. Kebijakan di Era Jokowi Dodo

Jokowi Dodo juga menerapkan strategi yang tidak dimiliki oleh Susilo Bambang Yudhoyono
untuk menyelesaikan konflik di Rohingya. Namun, pemerintahan Jokowi tetap menggunakan diplomasi
sebagai upaya terakhir. Menlu Indonesia Retno Marsudi, ditugaskan untuk melakukan negosiasi. dengan
Aung San Suu Kyi, presiden de facto Myanmar, untuk membantu Rohingya. Ketika berhadapan dengan
pengungsi asing atau pencari suaka, pemerintah Indonesia telah menyetujui Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri Peraturan ini dibuat
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang - Undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan
Luar Negeri. Dan Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 Pasal 4 ayat (1) dan (2) menegaskan jika
penanganan pengungsi dapat dilakukan berupa tindakan penemuan, penampungan, pengamanan dan
pengawasan keimigrasian. Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi selama hampir lima tahun, politik
luar negeri Indonesia beroperasi sangat kolaboratif. Pemerintah Indonesia terlibat aktif dalam
penyelesaian konflik Rohingya yang tidak terlepas dari kecenderungan Presiden Jokowi sebagai pembuat
kebijakan yang populer untuk mengakomodir keinginan pihak utama, kelompok Muslim, yang ingin
berpartisipasi dalam upaya strategi konflik dan memberikan perlindungan bagi Rohingya.

c. Politik Luar Negeri Indonesia dalam Permasalahan Rohingya

Mengacu terhadap pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tentang


perdamaian dunia serta prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif maka pemerintah ikut serta
dalam menangani permasalahan yang terjadi terhadap etnis Rohingya. Selain itu, seperti yang
dikemukakan oleh K.J. Holsti, politik luar negeri pada hari ini merupakan contoh dari alat kebijakan yang
digunakan pemerintah untuk berhubungan dengan aktor atau pembuat kebijakan internasional dalam
rangka mencapai keberhasilan nasional. Selain itu, Holsti menyebut "kebijakan luar negeri" sebagai
"proses keputusan atau sikap pola" dan "tindakan" sebagai "ciri perilaku dan sikap suatu negara" (1992
Holsti;21)

Fokus utama Indonesia dalam ikut serta menyelesaikan Myanmar guna menyelesaikan krisis
nasib para pengungsi yang sekarang sudah mendekati 1 jutaan orang, adalah dengan memberikan pasokan
makanan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya, serta pemulangan pengungsi dan kepastiannya
menjamin dan mewujudkan hak-hak dasar. Selain itu, Myanmar pernah melakukan penandatanganan
Memorandum of Understanding (MoU) dengan Bangladesh pada November 2017 untuk meningkatkan
kerja sama Selain itu, nota kesepahaman (MoU) ditandatangani atas nama United Nations High
Commissioner for Refugees (UNHCR) dan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
dan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Nations Development Program (UNDP)
untuk memfasilitasi proses repatriasi. Namun hingga saat proses repatriasi, masih ada kekurangan
dukungan untuk Rohingya sebagai akibat dari keputusan Myanmar untuk membantu Rohingya.
Pemulangan Rohingya tidak mungkin dilakukan karena yang membantu mereka adalah anggota militer
Myanmar. Sebagai pengamat, penting untuk memahami bagaimana ASEAN dapat dicontoh dan
diteladani, untuk menjaga agar para pengungsi bisa aman hal tersebut lah yang menjadi ide dari
Indonesia.

Namun, ide-ide Indonesia yang diuraikan di atas sangat terfragmentasi. Myanmar adalah anggota
ASEAN, dan setidaknya satu anggota ASEAN adalah negara Muslim atau menganut prinsip-prinsip Islam
utama. Myanmar telah melakukan intervensi atas nama umat Buddha di Myanmar jika ASEAN proses
pemulangan (yang mencakup semua negara dengan mayoritas Muslim) selesai. Penggunaan agama dalam
sistem pendidikan Indonesia lebih umum dari sebelumnya. Secara khusus, bahasa-bahasa yang digunakan
Kementerian Luar Negeri Indonesia, Malaysia, dan Thailand untuk melakukan langkah- langkah terhadap
krisis Rohingya adalah:

1. Mengoperasikan Pencarian dan Penyelamatan (SAR) bagi orang-orang yang masih terapung di lautan.

2. Koordinasikan patroli dan pastikan evakuasi area yang efisien jika menemukan kapal yang berisikan
para migran.

3. Memberikan barang kebutuhan seperti, makanan, obatobatan, dan kebutuhan lainnya bagi para
pendatang.

4.Meningkatkan kerjasama dan koordinasi dengan UNHCR dan IOM dalam mengidentifikasi dan
memverifikasi imigran, termasuk mencari negara ketiga untuk komposisi pemukiman kembali.

5. Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan untuk Manajemen Bencana (AHA Centre)
harus digunakan untuk menangani masalah ini.

Sehubungan dengan itu, Kepresidenan Indonesia di bawah Presiden Jokowi akan membahas berbagai opsi
untuk menyelesaikan permasalahan Myanmar, antara lain pada tahun 2017, Menteri Luar Negeri RI
Retno Marsudi mempresentasikan proposal Formula 4+1 kepada Rakhine State. Unsur ini terdiri dari:

1) Menjaga stabilitas dan ketertiban;

2) menjaga diri seminimal mungkin dan tidak melakukan kekerasan;

3) Membuka bantuan akses kemanusian.

Untuk membantu Myanmar, Indonesia telah menyepakati perjanjian bilateral dengan LSM.
Selain itu, ada prosedur yang dilakukan dari militer ke militer. Prosedur ini dilakukan untuk mencegah
Indonesia berpartisipasi dalam proses reformasi Myanmar. Akibatnya, pemerintah Myanmar tidak ikut
serta dalam proses reformasi demokrasi yang masih dalam tahap awal. Dalam konteks negosiasi
Indonesia dengan Rohingya, prinsip harkat dan martabat manusia merupakan faktor terpenting dalam
menentukan apakah pemerintah Indonesia akan bekerja sama dengan Rohingya atau tidak. meratifikasi
Konvensi Hak Pemasyarakatan 1951, Hak Pemasyarakatan Tetap Menimbulkan Konflik Jika ada faktor
kepentingan nasional, keterlibatan Indonesia dalam konflik di Rakhine State tidak hanya melibatkan
Muslim Rohingya tetapi juga umat Buddha dan komunitas lokal lainnya. Selain itu, banyak inisiatif yang
diterapkan di Indonesia didasarkan pada moderasi.Tidak ada kekuatan yang berperan dan mempengaruhi
dinamika perkembangan di Myanmar, dan tetap berperan aktif pada dasarnya tidak akan langsung dari
apa yang terjadi di tengah. hasilnya, ada komite untuk mempromosikan kritik terhadap keamanan
nasional melalui berbagai cara, sehingga meningkatkan keamanan nasional.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi politik luar negeri, diantaranya adalah faktor internal
dan eksternal. Faktor internal meliputi kepentingan nasional, keamanan nasional, kebutuhan nasional dan
kecenderungan serta karakter pengambil keputusan. Akibat dari faktor eksternal ini, sejumlah kondisi
negara lain dapat dikaitkan dengan kegagalan satu negara untuk menerapkan strategi kebijakan jangka
panjang sebagai respon terhadap kondisi tersebut. Karena faktor kedua, tidak ada perilaku yang konsisten.
Mungkin ada faktor yang lebih dominan daripada faktor lainnya. Ketika datang ke krisis di Myanmar,
semua negara Indonesia lebih mungkin dipengaruhi oleh faktor internal yang berkaitan dengan
kepentingan nasional, keamanan nasional, dan persatuan bangsa.

Akibat peran Indonesia sebagai donor dan inisiator bantuan dana Myanmar, kebijakan luar negeri
Indonesia berpusat pada masyarakat internasional, khususnya Asia-Tenggara dan Myanmar. Ini adalah
bagian penting dari strategi Indonesia. Citra adalah metode yang digunakan di Indonesia untuk
meningkatkan tingkat kemajuan dan pembangunan bangsa melalui mediasi konflik dan peningkatan
kerjasama internasional. Hal ini juga disampaikan Presiden Jokowi di depan media dan publik, bahwa
sistem politik Indonesia dirancang untuk meningkatkan kepercayaan internasional. melaksanakan
anggaran negara. Akibatnya, respon Indonesia terhadap krisis di Myanmar telah memunculkan
momentum bagi upaya Indonesia untuk memantapkan posisinya sebagai kekuatan utama di kawasan,
khususnya dalam konteks proses pengambilan keputusan HAM. Dalam konteks debat nasional, berbagai
strategi yang diterapkan pejabat Indonesia antara lain mempersiapkan kemungkinan peningkatan risiko
yang signifikan terkait dengan krisis Rohingya dan mempersiapkan negara terbesar kedua di Asia
Tenggara. Ditengah kekuatan besar yang ikut serta terhadap permasalahan Myanmar, Indonesia tetap
berdiri sendiri dengan tidak ikut serta terhadap negara-negara besar. Indonesia tetap berperan aktif dan
moderat dalam membantu menyelesaikan konflik di Myanmar. Selain itu, Indonesia menegaskan bahwa
permasalahanpemerintah Myanmar harus diselesaikan melalui forum regional dan internasional, serta
melalui forum bilateral. Dalam proses resolusi konflik, resolusi krisis, dan resolusi dalam masalah
perdamaian di Myanmar, Indonesia sedang berupaya untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagai akibat dari
keputusan Presiden Jokowi untuk menerapkan prinsip "aktif" di Indonesia. politik luar negeri, populasi
negara juga meningkat intensitasnya, terutama melalui Menteri Luar Negeri dan, baru-baru ini,
Kepresidenan, sehubungan dengan krisis di Myanmar. Beberapa bentuk diplomasi, seperti bilateral,
multilateral, regional, internasional, dan forum solidaritas, serta kerja sama dengan lembaga swadaya
masyarakat dan organisasi lainnya, saat ini sedang dipertimbangkan. Maka penerapan dari politik bebas
aktif Indonesia masih digunakan Presiden Jokowi dalam ikut serta menyelesaikan permasalahan di
Rohingya.
Kesimpulan

Indonesia yang tetap merujuk terhadap pembukan UUD 1945 terkait dengan perdamaian
dunia membuat Indonesia ikut serta terhadap permasalahan yang terjadi di Myanmar. Perlakuan
pelanggaran HAM yang dilakukan Myanmar terhadap etnis Rohingya mamp memunculkan efek
empati oleh Indonesia maupun masyarakat Internasional. Walaupun permasalahan ini bukan didasari
atas agama namun hal ini sangat menyangkut terhadap kemanusiaan yang menjadi fokus dari
Indonesia. Dengan menerapkan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dapat menghasilkan
berbagai kebijakan yang dampaknya tidak hanya terhadap permasalahan Rohingya namun juga
sorotan negara lain terhadap Indonesia. Sebagai hasil dari seruan Etnis Rohingya untuk melakukan
hubungan diplomatik atau musyawarah dengan Myanmar, pemerintah Indonesia berupaya
menyelesaikan konflik tersebut sehingga perdamaian negara akan tetap terjaga. Beberapa kebijakan
dibawah kepresidenan Jokowi seperti Ada beberapa hal yang dilakukan untuk melindungi Rohingya
yaitu formula 4+1 untuk Rakhine State, bantuan darurat dari pemerintah, Bantuan Kemanusiaan
Indonesia (IHA) atau Aliansi Kemanusiaan. Indonesia untuk Myanmar (AKIM), dan resolusi konflik
melalui forum regional dan internasional, serta negosiasi bilateral dan multirateral. Tanggapan
Indonesia terhadap krisis Rohingya dipengaruhi oleh salah satu dari sejumlah faktor, termasuk faktor
internal dan eksternal, serta faktor keputusan. Faktor internal, yang meliputi kepentingan nasional
Indonesia, yang bersumber dari keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus mampu menyelesaikan
konflik dan membantu etnis Rohingya serta kebijakan nasional yang berujung pada konflik Rohingya
sebagai upaya Indonesia untuk memperbaiki diri dengan hubungan internasional dan juga
menyangkut permasalahan Keamanan nasional terutama di bidang ekonomi dan keamanan teritorial.
Upaya yang dilakukan dari politik luar negeri Indonesia dimasa pemerintahan Jokowi maupun SBY
sama – sama bertujuan untuk membantu menyelesaikan permasalahan di Myanmar.

Daftar Pustaka

Ardani, F. A., Wahyudi, F. E., & Susetianingsih, H. (2015). Kebijakan Indonesia Dalam Membantu
Penyelesaian Konflik Antara Etnis Rohingya Dan Etnis Rakhine Di Myanmar (Studi Karakter
Kepribadian Susilo Bambang Yudhoyono). Journal of International Relations, 1(2), 22-28.

Chamil, A. Y. Kebijakan Indonesia dalam membantu penyelesaian konflik etnis Rohingya-Myanmar


Tahun 2016-2018 (Bachelor's thesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta).

Zahidi, M. S. (2015). Double Standard Indonesia dalam Diplomasi Kemanusiaan. Insignia: Journal of
International Relations, 2(01), 77-91.

Zahidi, M. S. (2020). Analisis Kebijakan Luar Negeri Vanuatu Dalam Mendukung ULMWP Untuk
Memisahkan Diri Dari Indonesia. Mandala: Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, 3(1), 65-78.

Zahidi, M. S. (2016). Intervensi Kemanusiaan, Kewajiban Untuk Melindungi dan Kepentingan


Dibaliknya. Mozaik Kebijakan Sosial Politik Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN,(Pusat
Kajian Sosial Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah
Malang: Malang, 2016).

Sari, Y. Y. Peran Indonesia dalam penyelesaian konflik Rohingya tinjauan hukum internasional dan
hukum Islam (Bachelor's thesis, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta).
Anggorono, P. (2018). ANALISIS KEBIJAKAN INDONESIA DALAM MENANGANI
PENGUNGSI ROHINGYA PADA MASA PEMERINTAHAN JOKO WIDODO (2014-
2016).

Santyabudi, F. Kebijakan Luar Negeri Indonesia Dalam Memberikan Bantuan Pada Krisis
Kemanusiaan Rohingya di Myanmar Tahun 2017 (Bachelor's thesis, Jakarta: Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah).

Triwahyuni, S. N., Perdana, F. W., Setiawan, B., Irwan, I., & Wibisono, Y. (2021). Implementasi
Prinsip Kebijakan Luar Negeri Bebas Aktif dalam Diplomasi Mengatasi Konflik Rohingya.
Jurnal Indonesia Sosial Sains, 2(12), 2118-2125.

Triono, T. (2014). Peran Asean Dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingnya. Jurnal Tapis: Jurnal
Teropong Aspirasi Politik Islam, 10(2), 1-11.

Listiarani, T. (2021). ANALISIS KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA DALAM


MENERIMA PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA. Jurnal PIR: Power in
International Relations, 5(1), 19-32.

Zainullah, H. (2019). Politik luar negeri Indonesia Bebas Aktif dalam upaya penyelesaian konflik
Rohingya (Doctoral dissertation, UIN SUNAN AMPEL SURABAYA).

Anda mungkin juga menyukai