Anda di halaman 1dari 6

Nama : Fitria

Nim : 20160311054086
Tugas Mata Kuliah : Migrasi Global
Dosen Pengampu : Johni R.V. Korwa, S.IP., M.A.
Made Selly Dwi Suryanti, S.IP., M.A.

Polemik Kebijakan ASEAN Dalam Penanganan Pengungsi Rohingya

I. PENDAHULUAN
Association of South-Asian Nations (ASEAN) merupakan perhimpunan Bangsa-
bangsa kawasan Asia Tenggara yang didirikan untuk memajukan kepentingan
bersama di wilayah tersebut seperti untuk memajukan percepatan pertumbuhan
ekonomi, kemajuan sosial budaya, serta perdamaian dan stabilitas keamanan
regional1.
Membahas mengenai perdamaian dan stabilitas keamanan regional sama dengan
membahas soal permasalahan penanganan pengungsi yang ingin dan telah memasuki
kawasan Negara anggota ASEAN.
Belakangan ini kawasan Asia Tenggara sedang menghadapi tantangan yang
berat dalam bidang keamanan. Terhitung banyak konflik yang terjadi secara eksternal
maupun domestik sehingga tidak jarang menimbulkan korban dari konflik tersebut.
Contoh konflik Myanmar, merupakan salah satu Negara dengan konflik etnis di
Kawasan Asia Tenggara di mana etnis muslim Rohingya yang menjadi korban.
Permasalahan keamanan ini kemudian membuat para korban yang merupakan warga
dari Negara berkonflik berusaha keluar dari wilayahnya untuk mencari perlindungan
dan mengungsi ke wilayah yang dianggap paling nyaman dan aman.
Melihat permasalahan seperti ini membuat ASEAN sebagai organisasi regional di
Asia Tenggara diharuskan melakukan penanganan bagi pengungsi Rohingya.
Dalam menangani konflik kawasan yang berlatar belakang kemanusiaan,
ASEAN memiliki hambatan dalam melakukan penanganan pengungsi etnis Rohingya
yang disebabkan oleh polemik kebijakan non-interference ASEAN.

1
Pengertian ASEAN dan Tujuan ASEAN, https://www.sridianti.com/pengertian-asean-dan-tujuan-asean.html,
diakses 22 Oktober 2019.
II. PEMBAHASAN
Pasca berakhirnya kolonialisme Bangsa Eropa, struktur etnis Myanmar
menjadikan Negara tersebut multi etnis. Etnis Rohingya merupakan bagian dari etnis
minoritas di Myanmar yang sudah ada pada masa lalu ketika sistem pemerintahannya
masih berbentuk kekaisaran dari Bangladesh. Awalnya etnis – etnis Myanmar hidup
secara kondusif sebelum muncul permasalahan dalam konteks horizontal (antara
sesama masyarakat) dan melibatkan pemerintah sehingga membuat etnis Rohingya
yang minoritas tidak diakui sebagai etnis Bangsa Myanmar, mereka merasakan
penindasan, serta didiskriminasikan di era pemerintahan Juncta Militer dari tahun
1962-2010. Etnis Rohingya tidak hanya dieliminasi dari Myanmar dengan operasi
militer, namun juga dengan penetapan tiga kategori warga Negara di UU
Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 yang tujuan dibentuknya untuk
menghilangkan status kewarganegaraan etnis Rohingya.2 Bukan hanya itu, konflik
antar umat Buddha dan Muslim yang melibatkan masyarakat dalam jumlah besar
sehingga kasus ini berkembang semakin parah dikarenakan pihak-pihak yang bertikai
memiliki kekuatan tidak berimbang. Satu sisi umat Buddha merupakan mayoritas
sedangkan umat Muslim merupakan minoritas ditambah dengan penyiksaan,
pembunuhan yang dilakukan secara menyeluruh terhadap warga sipil Rohingya oleh
militer Myanmar.
Akibat perlakuan tidak mengenakkan yang dirasakan para warga sipil etnis
Rohingya, lebih dari 530.000 warga sipil Rohingya telah melarikan diri mencari
perlindungan ke wilayah bagian utara Rakhine, Myanmar pasca serangan balasan
membabi buta oleh Militer Myanmar.3 Pada pertengahan Mei tahun 2015, puluhan
ribu masyarakat etnis Rohingya berdesakkan di atas perahu selama berminggu-
minggu di tengah lautan tanpa persediaan pangan yang memadai. Para pengungsi pun
mendatangi beberapa Negara di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia
dan Indonesia. Di Indonesia sendiri, para pengungsi Rohingya asal Myanmar yang
melarikan diri menggunakan perahu terdampar di Aceh dan Sumatera Utara dalam
empat gelombang pelayaran.

2
I Erizon, ‘Kepatuhan Negara-negara ASEAN untuk Tidak Campur Tangan dalam Menangani Persekusi Etnis
Rohingya di Myanmar’. Journal of International Relations. Vol. 4 No. 3, 2018. hlm. 3
3
Ibid., hlm. 4.
Dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri di Kuala Lumpur pada 20 Mei
2015, Malaysia dan Indonesia sepakat untuk menampung para pengungsi Rohingya
sebanyak 7.000 orang selama satu tahun, sementera Thailand tidak membuat
kesepakatan seperti Malaysia dan Indonesia karena telah lebih dulu menampung
pengungsi dari Myanmar. Kemudian lebih dari satu tahun mengenai batas yang
ditetapkan, sebagian pengungsi Rohingya dari Myanmar masih berada di tempat-
tempat penampungan di Malaysia maupun Indonesia. Keenggangan Myanmar untuk
kembali mengakui etnis Rohingya sebagai warga Negaranya telah menyulitkan untuk
repatriasi.
Pendapat penulis mengenai penanganan pengungsi Etnis Rohingya dari Myanmar
oleh ASEAN hingga saat ini belum memiliki mekanisme untuk menangani
pengungsi. Dari kesepuluh Negara anggota ASEAN, hanya Kamboja dan Filipina
yang telah menandatangani Convation Relating to the Status of Refugees 1951.
Beberapa Negara yang menerima pengungsi Rohingya tidak memiliki kerangka
hukum tertentu untuk memberikan perlindungan maupun hukum untuk mereka
sehingga, tanpa akses hukum para pengungsi sangat beresiko untuk dieksploitasi.
Pandangan terhadap penanganan kasus pengungsi Rohingya dipersulit dengan
kurangya kerja sama antar Negara-negara anggota dengan beberapa respon yang
dapat dibagi menjadi tiga kelompok:4
1) Negara-negara yang memperhatikan masalah ini dan memberikan solusi
secara proaktif, antara lain : Indonesia, Malaysia dan Thailand
2) Negara-negara yang memperhatikan masalah ini namun tidak memberikan
psolusi yang proaktif dalam penyelesaian konflik, antara lain : Singapura,
Brunei Darussalam dan Filipina
3) Negara-negara yang cenderung diam, tidak berperan aktif dan tampaknya
enggan untuk memperhatikan masalah ini, antara lain : Vietnam, Laos,
Kamboja.

Dapat dikatakan bahwa pandangan-pandangan dari Negara anggota ASEAN ini


terkait dengan prinsip ASEAN Way yang berprisnip untuk melakukan kerja sama
secara damai, harmonis, saling menghormati kedaulatan wilayah, tidak mencampuri
urusan domestik Negara anggota, saling membantu, melakukan diplomasi secara
4
Y. Untoro & M. Idris, S. Hardiwinoto, ‘Peran ASEAN dalam Penanganan Pengungsi Pencari Suaka yang Ada di
Indonesia’, Diponegoro Law Journal, Vol , No. 3, 2016, hlm. 5-6.
diam-diam tidak melalui media, menjunjung tinggi solidaritas, non legalistik dan
pragmatis. Selain prinsip ASEAN Way, adapula prinsip tidak mencampuri urusan
Negara lain atau prinsip non-interference. Menurut Bambang Cipto, prinsip non-
interference merupakan salah satu fondasi terkuat yang menopang eksistensi ASEAN
sebagai sebuag organisasi regional, implementasi dari prinsip ini diwujudkan pada
tindakan-tindakan berupa:5
1) Berusaha untuk tidak memberikan penilaian kritis terhadap kebijakan-
kebijakan domestik yang diambil oleh Negara-negara anggota
2) Mengingatkan Negara-negara anggota lain yang dinilai melanggar prinsip
tersebut
3) Menentang pemberian perlindungan bagi kelompok oposisi dari suatu
Negara anggota lain
4) Mendukung dan membantu Negara anggota lain yang sedang menghadapi
gerakan anti kemapanan
Menurut penulis dengan polemik penerapan prinsip kebijakan non-
interference. Membuat sembilan Negara anggota ASEAN selain Myanmar
tidak bisa membuat keputusan yang mengharuskan Myanmar merevisi
kebijaknnya ataupun merevisi UU Kewarganegaraannya terkait status tanpa
kewarganegaraan Rohingya. ASEAN pun tidak memiliki kewenangan untuk
memaksa atau sekedar meminta Myanmar memperlakukan etnis Rohingya
dengan layak. Hal tersebut murni menjadi hak Myanmar dan ASEAN hanya
bisa mengapresiasi kemajuan yang terjadi atau membantu memberikan
bantuan kemanusiaan dan menyelamatkan para pengungsi dalam kasus
pengungsi Rohingya ini.
Dengan kondisi sedemikian sulit ini bagi ASEAN untuk secara
komprehensif menangani masalah pengungsi seperti etnis Rohingya dari
Myanmar. Padahal Negara-negara ASEAN menyadari bahwa masalah
Rohingya sedikit banyak menimbulkan keresahan dalam stabilitas kawasan
dan akan mengakibatkan terjadinya pengungsian besar-besaran.

III. PENUTUP

5
B. Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara : Teropong Terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 31.
Association of South-Asian Nations (ASEAN) merupakan perhimpunan
Bangsa-bangsa kawasan Asia Tenggara. Sebagai organisasi regional, ASEAN
masih memiliki polemik serta hambatan dalam pelakasanaan perannya dalam
memberi kebijakan dan melakukan penanganan pengungsi etnis Rohingya dari
Myanmar. Hambatan ini berasal dari salah satu prinsip yaitu prinsip non-
interference yang membuat anggota-anggota ASEAN tidak bisa ‘memaksa’
Myanmar untuk menerima kembali etnis Rohingya sebagai bagian dari warga
Negaranya kemudian prinsip kebijakan ini juga membatasi Negara anggota
ASEAN hanya sekedar memberi bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi
Rohingya.
ASEAN ke depan harus merevisi prinsip non-interference dan lebih
mengesampingkan prinsip non-interference untuk menyelesaikan permasalahan di
kawasan Asia Tenggara.

DAFTAR PUSTAKA
Pengertian ASEAN dan Tujuan ASEAN, https://www.sridianti.com/pengertian-asean-dan-tujuan-
asean.html, diakses 22 Oktober 2019.
Erizon I., ‘Kepatuhan Negara-negara ASEAN untuk Tidak Campur Tangan dalam Menangani Persekusi Etnis
Rohingya di Myanmar’, Journal of International Relations. Vol. 4 No. 3, 2018. hlm. 3
Ibid., hlm. 4.
Untoro, Y. & Idris, M., Hardiwinoto, S., ‘Peran ASEAN dalam Penanganan Pengungsi Pencari Suaka
yang Ada di Indonesia’, Diponegoro Law Journal, Vol , No. 3, 2016, hlm. 5-6.
Cipto, B., Hubungan Internasional di Asia Tenggara : Teropong Terhadap Dinamika, Realitas dan Masa
Depan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 31.

Anda mungkin juga menyukai