BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
2.1 Upaya ASEAN dan Negara Anggota Untuk Mengatasi Masalah Pengungsi
ASEAN sebagai sebuah organisasi regional hingga saat ini belum memiliki
mekanisme untuk menangani pengungsi. Dari sepuluh negara-negara anggota
ASEAN, hanya Kamboja dan Filipina yang telah menandatangani Convention
relating to the Status of Refugees 1951 (Konvensi Pengungsi 1951). Negara-negara
penerima pengungsi Rohingya juga tidak memiliki kerangka hukum tertentu untuk
memberikan perlindungan atau hukum bagi pengungsi dan pencari suaka. Tanpa
akses hukum, para pengungsi ini sangat berisiko untuk dieksploitasi maupun
membatasi mereka untuk mengakses layanan-layanan dasar.
Sendi-sendi normatif yang terkandung dalam “ASEAN Way” antara lain adalah
prinsip untuk melakukan kerja sama secara damai, harmonis, saling menghormati
kedaulatan wilayah (national sovereignty) masing-masing, tidak mencampuri urusan
domestik negara anggota, egaliter, menerapkan kaidah konsensus dalam
menghasilkan berbagai keputusan, tenggang rasa dan non-konfrontatif, saling
membantu, melakukan diplomasi secara diam-diam tidak melalui media, menjunjung
tinggi solidaritas, non legalistik dan pragmatis.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, penanganan pengungsi di ASEAN sangat
terkait dengan tinggi rendahnya kepekaan negara-negara ASEAN terhadap masalah
kedaulatannya. Semakin peka negara-negara terhadap masalah kedaulatannya maka
semakin sulit untuk mengembangkan sikap “terpadu” dalam menyelesaikan masalah-
masalah keamanan bersama. Berkaitan dengan hal tersebut diperlukan sebuah kajian
yang dapat memberikan gambaran mengenai peran ASEAN, sebagai organisasi
regional, dalam melakukan penanganan pengungsi.
Sebagai organisasi internasional yang memiliki peran penting, ASEAN wajib untuk
memperhatikan segala fenomena yang terjadi dan melibatkan negara-negara
anggotanya. ASEAN merupakan wadah dalam pencapaian dari kepentingan-
kepentingan negara anggota seperti yang terangkum pada tujuan ASEAN dalam
Deklarasi Bangkok. Seperti salah satu tujuan dari ASEAN, yaitu memelihara
perdamaian dan stabilitas regional dengan menaati keadilan, tata hukum dalam antara
bangsa-bangsa Asia Tenggara serta berpegang teguh pada asas-asas Piagam Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB); terjadinya konflik pada salah satu negara anggota ASEAN
merupakan tantangan bagi ASEAN sendiri karena ketidakstabilan yang dialami suatu
negara anggota dapat sangat mempengaruhi kestabilan kawasan Asia Tenggara
bahkan dapat juga mempengaruhi kestabilan negara di luar kawasan Asia Tenggara
tersebut.
Dalam padangan negara-negara yang merupakan bagian dari Asia Tenggara, setiap
negara memiliki kedaulatan negara, yang mana mempunyai makna sesuatu yang
sangat penting terutama bila isu-isu yang berkaitan dengan hal tersebut menyangkut
hubungan dengan negara lainnya. Pada awal tujuan pembentukan ASEAN ini terpaku
kepada unsur kedaulatan masing-masing negara anggota. Penguatan dalam
kedaulatan secara mutual oleh masing-masing negara ASEAN berdasarkan pada:
pertama, membangun hubungan saling interaksi kerja sama politik dan ekonomi antar
sesama; kedua, dengan ASEAN menjamin pembangunan ekonomi antar negara akan
semakin kuat; dan ketiga, dengan adanya keamanan internal maka ASEAN akan
mengurangi kerentanan negara anggota terhadap kekuatan eksternal. TAC yang
disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN tahun 1978 di Bali, Indonesia
telah melahirkan norma dasar bagi ASEAN yang salah satunya adalah prinsip tidak
mencampuri urusan negara lain (non-interference).
Upaya lain yang dapat dilakukan oleh ASEAN yaitu dengan membentuk atau
menggelar operasi bersama search and rescue (SAR) untuk menggiring para migran
ke daratan cotohnya masih banyak para migran rohingya yang masih terjebak di
lautan dan diming-imingi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain
Indonesia dan Malaysia, negara-negara ASEAN lainnya dapat menawarkan diri untuk
menerima para migran. Paling tidak negara lain dapat membantu dengan memberikan
bantuan kemanusiaan seperti makanan dan obat-obatan, di antaranya melalui ASEAN
Coordinating Center for Humanitarian Assistance (AHA Center). Permasalahan
jangka panjang yang ASEAN perlu menuntaskan akar permasalahan krisis Rohingya
ini. ASEAN perlu terus melakukan pendekatan konstruktif terhadap Myanmar untuk
menghentikan diskriminasi terhadap kaum Rohingya yang menjadi faktor pendorong
krisis saat ini. ASEAN perlu meyakinkan Myanmar bahwa menerima Rohingya
dengan tangan terbuka justru akan mendatangkan banyak manfaat bagi negara
tersebut. Karena kerja keras Myanmar untuk melakukan reformasi sekarang terancam
karena isu Rohingnya yang menjadi batu sandungan terbesar bagi kepercayaan
masyaratkat international.
Sikap Indonesia terhadap pengungsian yang dilakukan oleh etnis Rohingya dari
Myanmar dengan menggunakan perahu bukan merupakan hal yang baru dalam
Negara Indonesian. Gelombang pengungsian yang dilakukan pertama oleh etnis
Rohingya dengan menumpang perahu terjadi tahun 2012 saat Muslim Rohingya
dengan mayoritas Budhis di negara bagian Rakhine di Myanmar makin memburuk.
Menurut keterangan PBB yang baru ini masuk pemberitaan masih ada ribuan migran
lain yang hanyut di tengah laut, dan diperkirakan 3.000 orang telah diselamatkan
setelah terdampar di wilayah Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Dalam perpindahan
migran dari Bangladesh ingin mencari kehidupan lebih baik dari kehidupan
sebelumnya di negara-Nya, dan mereka tidak dapat dikategorikan sebagai pengungsi.
Dari proses registrasi yang dilakukan oleh Komisi Tinggi PBB untuk Urusan
Pengungsi (UNHCR),Menurut pandangan UNHCR para migran asal Bangladesh
tersebut dipastikan bukan pencari tempat yang disebabkan karena pengusiran yang
dilakukan oleh negara-Nya. Akantetapi Mereka keluar dari Bangladesh untuk
mencari pekerjaan. Mereka dinilai tidak membutuhkan pertolongan internasional.
Duta Besar Bangladesh untuk Indonesia MD Nazmul Quaunine memastikan akan
segera memulangkan para migran asal Bangladesh tersebut. Sebaliknya, UNHCR
menetapkan pengungsi Rohingya adalah pencari suaka sehingga pantas mendapat
pertolongan internasional. Saat ini UNHCR bersama Organisasi Internasional untuk
Migrasi (IOM) berupaya mencari tempat penampungan, termasuk kemungkinan tetap
di Indonesia. UNHCR telah meregistrasi 332 migran asal Myanmar dan 252 migran
asal Bangladesh. Registrasi itu bertujuan memastikan identitas, asal negara, dan
alasan mereka pergi dari negara asal. Perwakilan UNHCR, Thomas Vargas, yang
telah melakukan pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan,
masyarakat internasional akan membantu dalam hal pendanaan bagi penampungan
pengungsi Rohingya. Sebelum akhirnya Jusuf Kalla memerintahkan menerima
pengungsi, pihak keamanan laut Indonesia mendorong kapalkapal pengungsi yang
tidak terdampar di daratan Indonesia kembali ke tengah laut setelah dibantu
perbekalan minum dan makanan. Menurut Kalla, Indonesia menerima pengungsi
tersebut demi kemanusiaan. Indonesia akan berusaha mempersatukan keluarga yang
terpisah. Adapun anakanak yang tidak memiliki keluarga lagi akan ditampung di
panti asuhan dan pesantren di Indonesia. Namun, pemerintah memberlakukan syarat,
Indonesia hanya menampung pengungsi selama satu tahun. Setelah itu, harus ada
repatriasi ke negara asal atau diterima di negara-negara lain yang menjadi tujuan.
Bagi Indonesia, menolong pengungsi di perairan internasional menimbulkan beberapa
pandangan yang membuat adanya perbedaan pendapat karena Indonesia bukan tujuan
utama para pengungsi, hanya menjadi lintasan. Sebelum banjir pengungsi Rohingya
sebulan terakhir, gelombang pendatang tidak berdokumen dari berbagai negara Asia
menggunakan Indonesia untuk melintas menuju Australia. Pusat detensi Kementerian
Hukum dan HAM kewalahan menampung mereka.1
a. Masalah Regulasi
Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM bekerjasama dengan United
Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) membuka kembali
persoalan penanganan pengungsi yang belum tuntas. Indonesia menjadi
tempat antara dan tujuan bagi sejumlah pengungsi. Saat ini diperkirakan
1 http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-10-II-P3DI-Mei-2015-
7.pdf
14.405 orang pengungsi asing dan pencari suaka yang bermukim di Indonesia.
Sebanyak 1.946 orang tinggal di rumah detensi imigrasi yang tersebar di 13
wilayah; dua ribuan orang ditangani community house, dan sisanya diizinkan
mandiri mengurus keperluan mereka dengan tetap diawasi Imigrasi. Ironisnya,
ada pengungsi yang sudah tinggal 5 sampai 10 tahun di Indonesia belum
tertangani dengan baik. Salah satu kendala di lapangan adalah regulasi.
Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB mengenai Status Pengungsi 1951
(1951 Refugee Convention) dan Protokol Pengungsi 1967 (Protocol Relating
to the Status of Refugee).2 Kepala Bagian Humas dan Umum, Ditjen Imigrasi
Agung Sampurno, mengatakan para pengungsi asing ditampung di Indonesia
tanpa payung yang memadai. “Tidak ada satu Undang-Undang di Indonesia
yang (khusus) mengatur masalah pengungsi,” ujarnya dalam peringatan Hari
Pengungsi Dunia.
b. Masalah Sosial
Selain masalah-masalah teknis, Imigrasi juga mengkhawatirkan dampak
kehadiran pengungsi dalam jangka waktu lama. Jika terjadi kekosongan
hukum dalam penanganan pengungsi, maka dikemudian hari akan berdampak
Dari segi ketahanan nasional, perlu diwaspadai apakah setiap orang asing
yang menyatakan diri menjadi pengungsi ternyata mata-mata asing atau
anggota jaringan teroris internasional yang bermaksud menyebarkan
ideologinya. Belum lagi jika pengungsi tersebut membawa penyakit epidemi
yang bisa mewabah di Indonesia, sementara pengungsi juga memiliki hak
mobilitas serta berinteraksi dengan warga lokal.3
BAB III
PENUTUP
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM pun tidak dapat berbuat
banyak terhadap pengungsi yang tinggal di Indonesia karena Indonesia belum
memiliki regulasi khusus yang mengatur kedudukan pengungsi itu sendiri. Indonesia
hanya memiliki UU No.37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri yang
menyinggung tentang penanganan pengungsi asing. Kemudian dikeluarkanlah
peraturan untuk menindaklanjuti UU No.37 Tahun 1999 yaitu berupa Peratutan
Presiden Nomor 125 tentang pengungsi luar negeri. Ditambah Indonesia belum
meratifikasi Konvensi PBB mengenai Status Pengungsi 1951 (1951 Refugee
Convention) dan Protokol Pengungsi 1967 (Protocol Relating to the Status of
Refugee). Jadi, Indonesia belum mempunyai regulasi untuk mementukan status
hukum dari pengungsi.
Adapun ASEAN sebagai komunitas regional memiliki tiga pilar dimana salah satunya
dalan bidang politik keamanan adalah menjaminya penanganan pengungsi. Pada
awalnya ASEAN bersikap acuh tak acuh atau tidak mau tahu terhadap pengungsi
karena dianggap dapat menganggu keseimbangan dan merugikan negara namun
akhirnya Thailand, Malaysia, dan Indonesia memutuskan untuk menampung para
pengungsi. Inisiatif tiga negara tersebut tidak diindahkan oleh negara lainya karena
norma dasar non-interference,yaitu prinsip tidak mencampuri urusan negara lain
menjadi tembok atau alasan negara anggota ASEAN untuk tidak memberikan
kepastian terhadap pengungsi.
3.2 Saran
1. Indonesia harus membuat regulasi khusus tentang pengungsi agar dapat
menentukan kedudukan pengungsi agar tidak terjadi pelanggaran HAM serta
mengkontrol jumlah pengungsi yang datang ke Indonesia agar tidak terjadi
ledakan penduduk mengingat Indonesia merupakan empat besar dengan
penduduk terbanyak di dunia.
2. Adanya regulasi yang jelas membuat para pengungsi dapat didata dengan
cepat dan mendapatkan negara ketiga yang siap menampung para pengungsi
tersebut dengan prosedur yang sudah ditetapkan oleh Menteri Hukum dan
HAM
3. Indonesia menjadi pelopor bagi komunitas regional ASEAN untuk peduli
terhadap pengungsi dengan menyusun norma dasar yang baru berkaitan
dengan hak-hak pengungsi agar kedepanya ASEAN dapat dipandang dunia
sebagai komunitas regional yang bukan saja maju pesat dalam
perekonomianya tetapi kuat solidaritasnya.