BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
yang paling sulit dihadapi masyarakat dunia saat ini. Banyak diskusi tengah dilakukan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terus berusaha mencari cara-cara lebih efektif untuk
melindungi dan membantu kelompok yang sangat rentan ini1 Masalah pengungsi adalah
persoalan klasik yang sering timbul dalam sejarah peradaban umat manusia. Terdapat berbagai
penyebab yang membuat orang-orang mengungsi. Hal-hal tersebut bisa disebabkan karena
Pada awalnya perpindahan penduduk hanyalah sebuah persoalan domestik suatu negara
tetapi seiring dengan banyaknya negara yang menaruh perhatian terhadap persoalan ini sehingga
kemudian menjadi persoalan bersama. Pengungsi yang melintasi batas negara dan masuk dalam
suatu wilayah yang memiliki kedaulatan memang pantas mendapat perhatian sebab merupakan
persoalan universal. Pengungsi yang meninggalkan tempat asalnya disebabkan oleh berbagai
macam faktor yang biasanya karena hal-hal yang dapat membahayakan nyawa pengungsi
tersebut apabila masih menetap wilayah asalnya seperti perang atau penganiayaan. Mereka tidak
mendapatkan perlindungan dari negaranya sendiri, bahkan sering kali pemerintahnya sendiri
yang mengancam akan menganiaya mereka. Hal tersebut sama dengan memberi keputusan mati
bagi mereka hidup sengsara di dalam bayangan kehidupan tanpa adanya sarana hidup dan tanpa
1
Muhammad Chairul Kadar, Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Ditinjau Dari
Prinsip Non-refoulment, Studi Kasus Rumah Detensi Imigrasi Makassar Kabupaten Gowa Sulawesi
Selatan (skripsi). Makassar: Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 2011,
hlm. 1
2
adanya hak bagi mereka, jika negara lain tidak mau menerima mereka, dan tidak menolong
asasi manusia pada umumnya bahwa setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Begitu pula dengan hukum yang mengatur mengenai perlakuan terhadap pengungsi berangkat
dari hukum Internasional mengenai hak asasi manusia. Sehingga berbicara mengenai pengungsi
Pasca Perang Dunia II, isu–isu mengenai hak asasi manusia menjadi sebuah pembahasan
yang sangat penting dalam dunia Internasional hingga sekarang ini, melihat banyaknya tragedi
kemanusiaan yang terjadi pada saat Perang Dunia II seperti tragedi Nanking, Auschwitz,
Hiroshima, dan Nagasaki. Dampak perang terhadap HAM juga terjadi pada saat Perang Dingin
dengan banyaknya penduduk Vietnam yang pada saat itu ramai –ramai mengungsi ke Pulau
Galang di Indonesia.
Dewasa ini dampak perang terhadap HAM juga terjadi pada negara – negara di kawasan
Timur Tengah seperti Suriah, Afghanistan, Irak, dan Iran, yang dimana penduduk dari negara –
negara tersebut mengungsi ke negara tetangga dan bahkan mencari suaka ke negara lain seperti
Australia. Contoh kasus di atas menjelaskan bagaimana dampak perang dalam suatu negara yang
Hak dasar yang dimaksud yaitu hak atas rasa aman. Hak tersebut sudah tidak dapat
mereka peroleh di negaranya oleh karena itu para korban tersebut ingin mencari perlindungan di
negara lain yang mereka anggap aman dan dapat menampung mereka sebagai pengungsi untuk
melanjutkan hidup mereka. Negara yang dimaksud sebagai negara tujuan pada umumnya
2
UNHCR. 2007. Melindungi Pengungsi dan Peran UNHCR. Switzerland: Media Relation and Public
UNHCR, hlm. 7
3
merupakan negara yang telah meratifikasi konvensi mengenai pengungsi seperti Australia. Untuk
mencapai negara tersebut mereka pada umumnya menggunakan jalur laut namun dengan tingkat
keamanan dan pengetahuan pelayaran yang minim serta perbekalan yang tidak mencukupi.
Pada dasarnya, setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi orang-orang
yang berada di wilayahnya, baik warga negaranya maupun orang asing yang sedang berada di
wilayah kedaulatannya, termasuk bagi mereka yang mencari perlindungan dengan status
pengungsi atau pencari suaka. Bentuk perlindungan tersebut salah satunya adalah perlindungan
hukum dimana negara tersebut berkewajiban untuk memenuhi hak-hak hukum yang melekat
Kewajiban negara asal yang tidak mampu lagi melindungi hak-hak dasar warga
negaranya ataupun negara lain yang menolak kedatangan pengungsi akan diambil alih oleh
guna menjamin
dan memastikan bahwa hak-hak dasar seseorang tetap dilindungi dan dihormati. Pada status
perlindungan internasional tersebut, seseorang yang dalam kapasitas sebagai pengungsi atau
pencari suaka, wajib mendapat proteksi atas hak-hak dasarnya sebagai manusia. Perlindungan
hak asasi merupakan hak pokok dalam penanganan mereka. Hal itu menjadi bagian dari
kewajiban dari masyarakat internasional, pada sisi lain juga menjadi kewajiban nasional suatu
Negara.4
Indonesia adalah salah satu negara yang belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951
dan Protokol 1967 . Meskipun begitu, secara geografis letak Indonesia dinilai strategis bagi para
pengungsi dan pencari suaka. Indonesia merupakan Negara di Asia Tenggara yang terletak di
3
Yanuarda Yudo Persian. Pengaturan Dalam Hukum Internasional Mengenai Pemgungsi Akibat
Perubahan Iklim yang Melintasi Batas Internasional (Environmental Refugees). Hlm 10
4
Wagiman. 2012. Hukum Pengungsi Internasional, Jakarta : Sinar Grafika. Hlm .56.
4
garis Khatulistiwa dan berada diantara benua Asia dan benua Australia. Mengingat letaknya
yang berada di antara dua samudera dan dua benua, Indonesia disebut juga sebagai Nusantara
(KepulauanAntara). Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
17.508 pulau 5. Secara geografis letak Indonesia yang strategis menjadikan Indonesia harus
menerima konsekuensi sebagai wilayah yang terbuka dengan dunia luar khususnya yang
berbatasan dengan negara terdekat. Dampak tersebut berupa masuknya ribuan pencari suaka atau
yang biasa disebut asylum seeker yang ingin mendapatkan status pengungsi. Mereka masuk
Menurut data dari United Nations High Commissioner for Refugees( selanjutnya
disingkat UNHCR) pada Januari 2012 misalnya,terdapat 3275 pencari suaka dan 1052 pengungsi
. Keberadaan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia bukan lah merupakan hal yang baru.
Keberadaan mereka telah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Pada era kepemimpinan Soeharto,
Indonesia menjadi negara tujuan pencari suaka dan pengungsi Vietnam pada tahun 1979 setelah
Saigon (ibukota Vietnam Selatan) jatuh ke tangan Vietnam Utara.6 Ratusan ribu orang
meninggalkan wilayah ini untuk mencari perlindungan di Negara lain baik dengan berbagai cara
Indonesia bukan Negara anggota Konvensi 1951 tentang pengungsi dan protocol 1967, serta
belum ada peraturan hukum nasional yang secara khusus mengatur tentang pencari suaka dan
dalam hal penanganan pengungsi yang lebih baik, misalnya meratifikasi berbagai instrumen Hak
Asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) Internasional dan juga menghasilkan instrumen
5
UNHCR., “Operation Fact Sheet Indonesia”, http://www.unhcr.or.id/images/pdf/pu-
blications/operational_fact_sheet_indonesia_final.pdf
6
Atik Krustiyati,Penanganan Pengungsi di Indonesia ,Surabaya: Brilian Internasional,2010,hlm.18.
7
Enny Suprapto, “Promotion of Refugees in Indonesia”,Jurnal Hukum Internasional,Volume 2, Nomor 1,
Oktober 2004.
5
HAM nasional. Upaya-upaya tersebut tidak lain sebagai komitmen Indonesia untuk menegakkan
HAM. Hal ini dilakukan oleh Indonesia sebagai anggota PBB yang secara moral ikut
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat DUHAM). Hal tersebut juga sejalan
Republik Indonesia (UUD RI) 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan
keadilan sosial.8
Indonesia tidak termasuk dalam negara pihak konvensi mengenai status pengungsi tahun
1951 dan Protokol 1967, namun Indonesia secara langsung tidak berkewajiban atas penanganan
pengungsi yang ada di wilayah Indonesia. Dalam hal ini UNHCR-lah sebagai komisi tinggi di
PBB untuk urusan pengungsi yang memiliki kewenangan untuk mengurusi pengungsi di
Indonesia.9
Salah satu pengungsi yang sedang menjadi pemberitaan saat ini adalah pengungsi
Rohingnya. Rohingnya adalah komunitas muslim yang merupakan kelompok minoritas yang
menetap di Arakan, sebelah barat Myammar. Ciri-ciri orang-orang Rohingnya terlihat dari
tampilan fisik, bahasa,dan budaya yang menunjukkan kedekatan orang-orang Rohingnya dengan
masyarakat Asia Selatan, khususnya orang-orang Chitagonian. Dalam perjalanan waktu sejak
Myanmar dikuasai oleh Junta Militer, orang-orang Rohingnya menjadi sasaran dari berbagai
bentuk kekerasan dan tindakan lain yang melanggar HAM mereka. Banyak diantara mereka yang
8
Lembar disposisi Direktorat Keamanan Diplomatik, 2010, Illegal Migrant, Jakarta: Direktorat Keamanan
Diplomatik Kementerian Luar Negeri, hlm. 2
9
Eny Suprapto, Permasalahan seputar Pengungsi dan IDP’s, (http://sekitar
kita.com/2002/08/permasalahan-seputar-pengungsi-dan-idps-/2009-komunitassekitarkita)
6
diperkerjakan secara paksa untuk membangun jalan dan kamp militer, dianiaya dan kaum
Rohingnya malah mengambil sikap yang terbalik dan membiarkan nasib orang Rohingnya dalam
kondisi memilukan. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi gelombang pelarian dan
Indonesia. Kondisi yang demikian menyebabkan orang-orang Rohingnya dan juga orang-orang
dari etnis minoritas lain yang berasal dari wilayah Myanmar lain menjadi “stateless citizen”
(penduduk yang kehilangan status kewarganegaraan). Tidak seperti kelompok etnis lainnya yang
warga Negara dan mengalami diskriminasi oleh pemerintah Myammar. Karena itu mereka
Berbeda dengan sikap Thailand yang menolak dan mengusir pengungsi Rohingya, pihak
berdasarkan alasan kemanusiaan, meskipun kondisi dalam negeri Indonesia sendiri tak terlalu
kondusif. Sikap dan tindakan Thailand melakukan pengusiran jelas memperlihatkan tindakan
tidak manusiawi. Bahkan berita terakhir menyebutkan bahwa Pemerintah Thailand telah
mengirim pulang secara paksa sekitar 1.300 pengungsi muslim Rohingya ke negara asal mereka,
Myanmar.11
baik Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951 dan Protokol tahun 1967 maupun konvensi-
konvensi yang berkaitan dengan HAM seperti Universal Declaration of Human Rights,
10
http//indiesblog.wordpress.com/2009/02/14/tentang-rohingya
11
Thailand Telah Deportasi 1300 Pengungsi Rohingya. SINDOnews.com
12
Septiana Tindaon,, Perlindungan Pengungsi Rohingya Dilihat Dari Hukum Nasional Dan Hukum
Internasional(jurnal), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Internasional, 2012
7
Covenant on Civil dan Political Rights (ICCPR), Optional Protocol to the International
Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966), Rome Statute of the International
Criminal Court (Statuta Roma), Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genocide dan Convention Against Torture and Other Cruel, in Human or Degrading Treatment
or Punishment.
Perlindungan terhadap pengungsi tidak hanya mengenai pemberian suaka, namun dalam bentuk
lain yaitu perlindungan hukum atas hak-hak mereka dan juga perlindungan terhadap kekerasan
serta ancaman untuk dipulangkan ke negara asal mereka. Belajar dari kasus Rohingnya tersebut,
terdapat banyak persoalan yang dapat diambil manfaatnya, mengingat sampai saat ini Indonesia
belum menjadi pihak pada Konvensi Jenewa Tahun 1951 tentang Pengungsi danProtokol 1967.
Padahal dari hari kehari jumlah pengungsi yang masuk keIndonesia semakin banyak yang mau
tidak mau akan menjadi beban dari Pemerintah Indonesia.13 Berdasarkan fakta-fakta dan opini-
opini yang ada diatas, penulis tertarik untuk membahas dan melakukan penelitian terkait masalah
ini dengan judul “ Aspek Perlindungan Pengungsi Dilihat Dari Hukum Nasional dan
B. PERUMUSAN MASALAH
13
Jawa Pos, ”Puluhan Imigran Gelap Tertangkap Di Bajul Mati”, Jawa Pos, 19 Juli 2012:
1 dan 15 (Di Jawa Timur misalnya puluhan imigran gelap asal Timur Tengah dan Asia
Selatan ditangkap di Pantai Bajul Mati, Malang Selatan. Mereka ini hendak mencari
suaka ke Australia. Sementara itu ada juga para pencari suaka ini ditangkap di Sukabumi
Jawa Barat).
8
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis dapat
Nasional?
Internasional?
3. Bagaimana dengan penerapan kedua hukum tersebut terhadap Kasus yang terjadi
TUJUAN PENULISAN
Medan)
MANFAAT PENULISAN
1. Manfaat teoritis dari penulisan skripsi ini adalah untuk menambah pengetahuan dalam
2. Manfaat praktis dari penulisan skripsi ini adalah menjadi acuan dalam kerangka berpikir
bagi upaya dan solusi perlindungan pengungsi di Indonesia, serta dapat bermanfaat
D. KEASLIAN PENULISAN
Judul skripsi ini adalah “Aspek Perlindungan Pengungsi Dilihat Dari Hukum Nasional Dan
Penelitian difokuskan pada pengaturan mengenai perlindungan pengungsi dilihat dari hukum
nasional dan hukum internasional dan penerapan kedua hukum tersebut pada kasus pengungsi
Rohingya yang berada di wilayah Indonesia. Skripsi ini ditulis berdasarkan ide,gagasan serta
pemikiran Penulis dengan menggunakan berbagai referensi. Sehingga bukan hasil dari
penggandaan karya tulis orang lain dan oleh karena itu keaslian penulisan skripsi ini dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam proses penulisan skripsi ini Penulis juga memperoleh data-data
dari buku-buku, jurnal ilmiah, media cetak dan media elektronik. Jika ada kesamaan pendapat
dan kutipan, hal itu semata-semata digunakan sebagai referensi dan penunjang yang Penulis
E. TINJAUAN PUSTAKA
Pengungsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda yang berarti orang
yang mengungsi. Sedangkan akar kata dari pengungsi adalah “ungsi” dan kata kerjanya adalah
mengungsi, yaitu pergi mengungsi (menyingkirkan) diri dari bahaya atau menyelamatkan diri (ke
tempat yang memberikan rasa aman).14 Pengungsi berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu
refugee. Istilah pengungsi dalam penggunaan sehari-hari mempunyai arti yang lebih luas yaitu
seseorang yang dalam pelarian yang berusaha melarikan diri dari kondisi yang dalam tidak bisa
ditolerir. Tujuan dari pelarian ini adalah untuk mendapatkan kebebasan dan rasa aman. Alasan
14
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Jakarta: Balai
Pustaka, 1995.
10
seseorang melakukan pelarian ini bisa saja disebabkan karena penindasan, ancaman keselamatan
Sangat penting untuk mendefinisikan pengungsi sebagai suatu terminologi baku dalam
hukum Internasional. Hal ini bertujuan agar supaya tidak terdapat distorsi dalam menganalisa
yang mana dan bagaimana kemudian orang bisa dikategorikan statusnya sebagai pengungsi.
Tentu harus merujuk pada suatu terminologi atau suatu istilah harfiah yang digunakan secara
umum ataupun istilah yang digunakan secara yuridis. Dalam tata bahasa hukum, jelas dikatakan
bahwa semua istilah dalam bahasa hukum harus lah mempunyau definisi yang jelas. Tidak boleh
kemudian ada suatu istilah atau terminologi dalam bahasa hukum yang tidak memiliki batasan
yang jelas sehingga konsekuensinya akan terdapat multitafsir di dalam pendefinisiannya. Istilah
hukum yang sudah didefinisikan ini kemudian dikodifikasi dalam kamus hukum dan digunakan
di dalam konvensi atau aturan lain yang membahas tentang masalah pengungsi.
Definisi ini kemudian dijelaskan dalam Black‟s Law Dictionary pengungsi diartikan sebagai
“A person who arrives in a country to settle there permanently; a person who immigrates”. 16
Batasan pengungsi menurut Pasal 1A ayat (2) , Konvensi 1951 tentang Penentuan Status
Pengungsi adalah:
“...as one who owing to will founded fear of being persecuted for reason of frase,
outside the country of his nationality and unable or owing to such fear, is unwilling to
avail himself of the protection of that country or who, not having nationality and being
outside the country of his former habitual residence as result of such events, is unable or
Batasan yang diperjelas pada pasal tersebut adalah orang yang berada di luar negara asalnya
atau tempat tinggal aslinya. Hal ini didasarkan atas terjadinya ketakutan yang sah akan diganggu
kelompok sosial tertentu atau pendapat politik yang dianutnya. Serta seseorang atau sekelompok
orang yang tidak mampu atau tidak ingin memperoleh perlindungan bagi dirinya dari negara asal
tersebut atau kembaktersebut, ataupun kembali ke sana, karena adanya kekhawatiran akan
keselamatan dirinya.
sebagai orang yang berada di luar negaranya atau tempat tinggal aslinya. Dengan demikian
batasan pengungsi berhubungan dengan batas lintas negara. Alasannya untuk dapat disebut
sebagai pengungsi kurang lebih substansinya sama dengan Konvensi 1951 bahwa seseorang atau
sekelompok orang dapat disebut sebagai pengungsi ketika adanya ketakutan yang sah akan
dalam kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik yang dianutnya. Di samping itu, harus bisa
dibuktikan kemudian bahwa mereka tidak memperoleh perlindungan bagi dirinya dari negara
asalnya.
Mengamati secara cermat definisi atau batasan tersebut, dalam penjelasannya, Hukum
Pengungsi Internasional sejatinya dalam penjabaran mengatakan bahwa terdapat tiga hal pokok
penting yang terkandung dalam pengertian pengungsi. Pertama, seseorang itu harus berada di
luar negaranya. Kedua, dalam suatu kondisi well-founded fear, adalah suatu kondisi di mana
kemungkinan akan terjadinya (atau berpotensi) terjadinya persecution. Ketiga, suatu kondisi
yang dapat dibuktikan dalam keadaan unable atau unwilling untuk mempercayakan perlindungan
Definisi pengungsi ini juga bertujuan untuk mengetahui status pengungsi dan
membedakannya dengan pencari suaka (asylum seeker). Status sebagai pengungsi adalah tahapan
dari proses pencarian suaka di luar negara asal. Seorang pengungsi adalah sekaligus pencari
suaka. Hal demikian ini berlaku karena sebelum status sebagai pengungsi, orang tersebut adalah
pencari suaka. Sebaliknya, pencari suaka belum tentu statusnya merupakan pengungsi. Ia baru
bisa dikategorikan sebagai pengungsi setelah diakui statusnya melalui instrumen hukum
internasional.
Sistem suaka nasional sekarang sudah ada untuk menentukan pencari suaka mana yang
pantas mendapat perlindungan internasional. Mereka yang setelah melalui prosedur yang benar
internasional apapun, dapat dikirim pulang ke negara asalnya.17 Melalui pengakuan status
hak-hak tersebut dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan. Badan hukum yang dirancang untuk
Inventarisasi beberapa terminologi atau istilah juga dilakukan oleh Achmad Romsan.
Setidaknya Romsan pernah mengidentifikasi enam istilah yang berhubungan. Atau jumbuh
istilah tersebut dengan “ person who, in pursuit of employment or a better over all standard of
living (that is motivated by economic considerations) leave their country to take residence else
where”.20 Economic migrant merupakan seseorang atau sekelompok orang yang mencari
17
UNHCR. 2008. Melindungi Pengungsi dan Peran UNHCR. Switzerland: Media Relation and Public
UNHCR, hlm. 8
18
Ibid., hlm 9
19
Wagiman.2012.op cit, hlm.100.
20
Achmad Romsan dkk., Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Sanic Offset, Bandung ,2002,
hlm.29.
13
sur place(pengunsi sur place). Romsan mendeskripsikannya sebagai “ A person who was not a
refugee when she left her country but who became a refugee at a later date. A person became a
refugee sur place due to circumstances arising in her country of origin during her absence”.
Refugee sur place merupakan seorang atau sekelompok orang yang bukan pengungsi sewaktu
berada di negaranya namun kemudian menjadi pengungsi karena di Negara asalnya sewaktu
orang atau kelompok orang tersebut tidak berada di negaranya.21 Ketiga , statutory
refugees(pengungsi statuta) .
instruments concerning refugees prior to the 1951 Conventiom are usually referred to as
“statutory refugees”. Statutory refugees merupakan seseorang atau sekelompok orang yang
memenuhi criteria pengungsi menurut instrumen hukum pengungsi internasional sebelum 1951.
Keempat, war refugees yang didefinisikan Romsan sebagai “ persons compelled to leave their
country of origin as a result of international or national armed conflict are not normally
considered refugees under the 1951 Convention of 1967 Protocol. They do,however have the
protectionprovided for in other international instruments , i.e. the Geneva Conventions of 1949 ,
et.al. in the case of forces invansion and subsequent occupation, occupying forces may begin to
persecute segments of the populations. In such cases,asylum seekers may meet the conditions of
the Convention definition.” Kelima , mandate refugees dan keenam, statute refugees.
pengungsi akibat Perang Dunia II.Walaupun tidak secara jelas dalam memberikan pengertian
21
Ibid
14
flight of Jews and political opponents of the authoritarians governments; the transference of
ethnic population back to their homeland or to newly created provinces acquired by war or
treaty; the arbitatry rearrangement of prewar boundaries of sovereign states; the mass flight of
the air and the terror of bombarmentfrom the air and under the threat or pressure of advance
orretreat of armies over immense areas of Europe; the forcedremoval of populations from
coastal or defence areas under military dictation; and the deportation for forced labour
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengungsi adalah orang-orang yang terpaksa
pindah ke tempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa, atau pengusiran
orang-orang Yahudi dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa, pengembalian etnik
tertentu ke negara asal mereka atauprovinsi baru yang timbul akibat perang atau
perjanjian,penentuan tapal batas secara sepihak sebelum perang terjadi. Perpindahan penduduk
sipil secara besar-besaran akibat adanya serangan udara dan adanya tekanan atau ancaman dari
para militer di beberapa wilayah Eropa, pindahan secara paksa penduduk dari wilayah pantai
atau daerah pertahanan berdasarkan perintah militer, serta pemulangan tenaga kerja paksa untuk
Pietro Verri memberikan definisi tentang pengungsi dengan mengutip bunyi pasal 1 UN
Convention on the Status of Refugees tahun 1951 adalah ‘applies to many person who has fled
the country of his nationality to avoid persecution or the threat of persecution’.23 Jadi menurut
Pietro Verri pengungsi adalah orang-orang yang meninggalkan negaranya karena adanya rasa
22
Ibid , hlm. 36
23
Ibid
15
ketakutan akan penyiksaan atau ancaman penyiksaan. Menurut Konvensi Tahun 1951 terhadap
mereka yang mengungsi masih dalam lingkup wilayah negaranya belum dapat disebut sebagai
pengungsi.
“The international political refugee may defined as a person who is forced leave or stay out his
state of nationality or habitual residence for political reasons arising from events occurring
between that state and its citizents which make his stay there imposible or intolerable, and who
has taken refugee in another state without having acquired a new nationality.” Dari pendapat
tersebut, dapat ditegaskan bahwa secara umum, seorang pengungsi haruslah memenuhi kriteria
sebagai berikut:
3. Ada keadaan yang mengharuskan orang tersebut meninggalkan negaranya atau tempat
membahayakan dirinya;
Prinsip penentuan status seseorang agar dapat disebut pengungsi diatur secara yuridis
seperti dalam konvensi tahun 1951 di dalamnya juga mengatur tentang “The exlusion clauses‟
24
S. Prakash Sinha, Asylum and International Law, The Hague : Matinus Nijhott, 1971,
hal. 95
16
dan the cessasions clauses. Suatu keadaan di mana seseorang tidak diberikan status sebagai
pengungsi yang termasuk dalam kategori “The exclusions clausses‟ kalau telah memenuhi
kriteria sebagai pengungsi namun tidak membutuhkan atau berhak untuk mendapatkan
perlindungan, misalnya dalam Konvensi 1951, hal ini berarti bahwa status pengungsi itu sudah
ada sebelum yang bersangkutan dinyatakan secara formal atau resmi. Oleh karena itu, pengakuan
seseorang menjadi pengungsi sebenarnya tidak membuat orang itu menjadi pengungsi tetapi
merujuk pada sebuah dasar ketetapan sebab status pengungsi merupakan ketetapan yang hanya
menyatakan apa yang sebenarnya sudah ada. Dengan kata lain, orang tersebut tidak menjadi
pengungsi sebab pengakuan tetapi justru pengakuan diadakan karena dia memang sudah
pengungsi.
1. Penemuan atau penetapan yang menentukan bahwa dari fakta yang ada memang orang
2. Fakta dihubungkan dengan persyaratan yang terdapat di dalam konvensi 1951 dan
protokol 1967. Setelah itu, dihubungkan apakah yang bersangkutan termasuk sebagai
Tipologi Pengungsi
dengan istilah yang berkaitan dengan pengungsi. Istilah ini kemudian menjurus ke arah tipe-tipe
pengungsi. Ada faktor pembeda antara tiap pengungsi, beragam motif, latar belakang sehingga
17
orang bisa dikenal statusnya sebagai pengungsi. Kalau varian motifnya beragam maka pengungsi
dapat dikenal dengan beragam istilah seperti; Economic migrant, Refugees sur place, Statutory
refugees, War refugees. Sementara kalau variabel latar belakang terjadinya pengungsi maka
orang-orang ini masih dapat minta tolong pada negara dari mana ia berasal.
alas an` politik terpaksa meninggalkan negaranya, orang-orang ini tidak lagi
Dari dua jenis pengungsi di atas yang diatur oleh Hukum Internasional sebagai Refugee
Law (Hukum Pengungsi) adalah jenis yang kedua, sedang pengungsi karena bencana alam itu
tidak diatur dan dilindungi oleh hukum internasional. Kembali lagi pada pembahasan istilah
pengungsi dari varian motifnya, dikenal dalam Hukum Pengungsi Internasional yang disebut
dengan Statutory Refugees adalah pengungsi-pengungsi yang berasal dari suatu negara tertentu
yang tidak mendapatkan perlindungan diplomatik. Yang dapat dikategorikan sebagai Statutory
Refugees adalah mereka yang memenuhi persyaratan seperti yang disebut dalam perjanjian
Sebenarnya, sebelum tahun 1951 sudah ada instrumen hukum internasional berupa
persetujuan namun sifatnya regional atau setempat misalnya, di Amerika dan Eropa yang
25
Andi Ulfah Tiara Patunru, Peranan United Nation High Commisioner for Refugees (UNHCR) Terhadap
Pengungsi Korban Perang Saudara di Suriah (skripsi), Fakultas Hukum Universitas Hasanudin
Departemen Hukum Internasional, Makassar, 2014,hlm.12.
18
perjanjian regional, di samping itu juga banyak terdapat di Afrika tentang aspek-aspek khusus
dari masalah pengungsi yang ditandatangani 1969, kemudan di Asia yang berupa deklarasi yaitu
Sarjana Hukum dari Asia dan Afrika, diadakan pada tahun 1966 yang menyatakan prinsip-
prinsip perlakuan terhadap pengungsi ada sifatnya universal juga regional. Pemberian status
sebagai Asylum Seeker untuk membedakan dengan status pengungsi juga sangatlah penting.
Sebab perbedaan itu sifatnya substansif, bahwa semua pengungsi bisa dikategorikan Asylum
1. Statutory Refugee adalah status dari suatu pengungsi sesuai dengan persetujuan
2. Convention Refugee adalah status pengungsi berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol
1967. Di sini pengungsi berada pada suatu negara pihak atau peserta konvensi. Yang
pengungsi itu berada) dengan kejasama dari negara tersebut dengan UNHCR, wujud kerja
sama itu misalnya: dengan mengikut sertakan UNHCR dalam komisi yang menetapkan
mandate sepenuhnya pada UNHCR untuk menetapkan apakah seseorang itu termasuk
3. Mandate Refugee adalah menentukan status pengungsi bukan dari Konvensi 1951 dan
Protokol 1967 tapi berdasarkan mandat dari UNHCR. Di sini pengungsi berada pada
negara yang bukan peserta konvensi atau bukan negara pihak. Yang berwenang
Mengapa Mandate Refugee tidak ditetapkan oleh negara tempat pengungsi? Hal ini
disebabkan karena negara tersebut bukan negara pihak dalam konvensi tadi,akibatnya ia
Ada yang tidak dilindungi oleh UNHCR, misalnya : Palestine Liberation Organization
(PLO), sebab PLO sudah diurus dan dilindungi badan PBB lain maka tidak termasuk lingkungan
kekuasaan UNHCR.
Selanjutnya Haryomataram membagi dua macam Refugees, yaitu Human Rights Refugees
a) Human Rights Refugees adalah mereka yang terpaksa meninggalkan negara atau
kampung halaman mereka karena adanya “fear of being persecuted”, yang disebabkan
kampung halaman mereka karena merasa tidak aman disebabkan karena ada konflik
(bersenjata) yang berkecamuk dalam negara mereka. Mereka pada umumnya, di negara
dimana mereka mengungsi dianggap sebagai “alien”. Menurut Konvensi Geneva 1949,
mendapat perlindungan seperti yang diatur, baik dalam Konvensi Geneva 1949 (terutama
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, baik International Humanitarian Law maupun
Law mengatur human rights refugees. Perbedaan ini harus jelas supaya tidak ada penafsiran yang
bias bagaimana membedakan ruang lingkup dan dalam hal pengaturan kewenangan. Tinjauan
humaniter tidak bisa dipisahkan dari tujuan dibentuknya UNHCR sebagai suatu organisasi
kemanusiaan, perlindungan, dan pemenuhan hak. Relevansinya sangat kuat sehingga antara
tinjauan hukum humaniter tidak bisa lepas dari penanganan pengungsi yang merupakan tujuan
dibentuknya UNHCR. Misalnya dalam hal penduduk sipil yang sudah ditetapkan sebagai
pengungsi maupun yang masih tergolong calon pengungsi. Calon pengungsi dalam artian bahwa
penduduk sipil yang berada di wilayah konflik berpotensi besar untuk mencari suaka dan akan
meninggalkan wilayah konflik, dan pada tahapan tertentu statusnya akan ditetapkan sebagai
pengungsi.
F. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah
pendekatan yang melakukan analisa hukum atas peraturan perundang-undaangan dan keputusan
hakim dalam penulisan ini pendekatan yuridis normatif ini dilakukan untuk menelti norma-
21
norma hukum yang berlaku yang mengatur tentang perlindungan pengungsi sebagaimana yang
Penelitian ini merupakan jenis penelitian bersifat deskriptif yaitu metode penelitian yang
menggambarkan semua data kemudian dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang
2. Sumber data
hukum Primer yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Konvensi 1951
dan pendapat para ahli hukum internasional yang terkait dengan masalah
pengungsi
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan dari
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum dan
Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis melalui (Penelitian Pustaka (Library
Research).. Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisis berbagai
22
macam bahan bacaan yang berkaitan dengan objek kajian dalam skripsi ini antara lain berupa
buku, jurnal, dokumen-dokumen, artikel dan karya-karya tulis dalam bentuk media cetak dan
media internet.Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisa data-data yang
diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya maupun tidak langsung (internet). Dengan
demikian akan diperoleh kesimpulan yang lebih terarah dari pokok bahasan.
4. Analisis Data
Data pada penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah
mensintetiskan data selanjutnya memaknai setiap kategori data, mencari dan menemukan
G. Sistematika Penulisan
permasalahan yang akan dicari jawabannya. Pada bagian ini terdapat ringkasan
Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan mendukung keutuhan pembahasan
BAB I: Membahas mengenai latar belakang, perumusan masalah dan diikuti dengan
tujuan penelitian serta manfaat dari penelitian. Bab ini juga membahas mengenai keaslian
penulisan, tinjauan kepustakaan serta metodologi penelitian yang digunakan dan diakhiri dengan
sistematika penulisan.
dihadapi dalam menangani masalah pengungsi yang berada di wilayah Indonesia. Bab ini juga
membahas mengapa Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 apa saja
yang menjadi baik faktor pendukung maupun faktor penghalang Indonesia untuk meratifikasi
Konvensi tersebut.
,dimulai dari zaman Liga Bangsa-Bangsa hingga terlahirnya UNHCR (United Nations High
Commissioner for Refugees). Selain itu juga dibahas mengenai peranan beberapa organisasi
Internasional dalam membantu menangani pengungsi dan juga beberapa konvensi yang terkait
BAB IV: membahas mengenai sejarah pengungsi Rohingya yang dimulai dari awal mula
kaum Rohingya bermukim di Rakhine Myammar hingga bagaimana pengungsi Rohingya bisa
tiba di Indonesia serta apa yang menjadi penghalang bagi Indonesia untuk meangani permasalah
Rohingya. Bab ini juga membahas bagaimana penanganan pengungsi Rohingya oleh Pihak
imigrasi di Kota Medan serta penanganan yang dilakukan UNHCR terhadap pengungsi
BAB V: Membahas kesimpulan dan saran. Sebagai bagian akhir dari skripsi, maka
dalam bab ini dirangkum intisari dari hasil penelitian yang telah dilakukan, serta memberikan
saran terhadap perlindungan pengungsi khususnya pengungsi yang berada di wilayah Indonesia.