Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masalah pengungsi dan perpindahan penduduk di dalam negeri merupakan persoalan

yang paling sulit dihadapi masyarakat dunia saat ini. Banyak diskusi tengah dilakukan oleh

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terus berusaha mencari cara-cara lebih efektif untuk

melindungi dan membantu kelompok yang sangat rentan ini1 Masalah pengungsi adalah

persoalan klasik yang sering timbul dalam sejarah peradaban umat manusia. Terdapat berbagai

penyebab yang membuat orang-orang mengungsi. Hal-hal tersebut bisa disebabkan karena

adanya rasa takut yang mengancam keselamatan mereka.

Pada awalnya perpindahan penduduk hanyalah sebuah persoalan domestik suatu negara

tetapi seiring dengan banyaknya negara yang menaruh perhatian terhadap persoalan ini sehingga

kemudian menjadi persoalan bersama. Pengungsi yang melintasi batas negara dan masuk dalam

suatu wilayah yang memiliki kedaulatan memang pantas mendapat perhatian sebab merupakan

persoalan universal. Pengungsi yang meninggalkan tempat asalnya disebabkan oleh berbagai

macam faktor yang biasanya karena hal-hal yang dapat membahayakan nyawa pengungsi

tersebut apabila masih menetap wilayah asalnya seperti perang atau penganiayaan. Mereka tidak

mendapatkan perlindungan dari negaranya sendiri, bahkan sering kali pemerintahnya sendiri

yang mengancam akan menganiaya mereka. Hal tersebut sama dengan memberi keputusan mati

bagi mereka hidup sengsara di dalam bayangan kehidupan tanpa adanya sarana hidup dan tanpa

1
Muhammad Chairul Kadar, Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Ditinjau Dari
Prinsip Non-refoulment, Studi Kasus Rumah Detensi Imigrasi Makassar Kabupaten Gowa Sulawesi
Selatan (skripsi). Makassar: Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 2011,
hlm. 1
2

adanya hak bagi mereka, jika negara lain tidak mau menerima mereka, dan tidak menolong

mereka setelah masuk ke negaranya.2

Perlindungan terhadap pengungsi Internasional berangkat dari pemahaman mengenai hak

asasi manusia pada umumnya bahwa setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Begitu pula dengan hukum yang mengatur mengenai perlakuan terhadap pengungsi berangkat

dari hukum Internasional mengenai hak asasi manusia. Sehingga berbicara mengenai pengungsi

tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mengenai hak asasi manusia.

Pasca Perang Dunia II, isu–isu mengenai hak asasi manusia menjadi sebuah pembahasan

yang sangat penting dalam dunia Internasional hingga sekarang ini, melihat banyaknya tragedi

kemanusiaan yang terjadi pada saat Perang Dunia II seperti tragedi Nanking, Auschwitz,

Hiroshima, dan Nagasaki. Dampak perang terhadap HAM juga terjadi pada saat Perang Dingin

dengan banyaknya penduduk Vietnam yang pada saat itu ramai –ramai mengungsi ke Pulau

Galang di Indonesia.

Dewasa ini dampak perang terhadap HAM juga terjadi pada negara – negara di kawasan

Timur Tengah seperti Suriah, Afghanistan, Irak, dan Iran, yang dimana penduduk dari negara –

negara tersebut mengungsi ke negara tetangga dan bahkan mencari suaka ke negara lain seperti

Australia. Contoh kasus di atas menjelaskan bagaimana dampak perang dalam suatu negara yang

mengabaikan aspek penting dalam kehidupan yaitu HAM.

Hak dasar yang dimaksud yaitu hak atas rasa aman. Hak tersebut sudah tidak dapat

mereka peroleh di negaranya oleh karena itu para korban tersebut ingin mencari perlindungan di

negara lain yang mereka anggap aman dan dapat menampung mereka sebagai pengungsi untuk

melanjutkan hidup mereka. Negara yang dimaksud sebagai negara tujuan pada umumnya

2
UNHCR. 2007. Melindungi Pengungsi dan Peran UNHCR. Switzerland: Media Relation and Public
UNHCR, hlm. 7
3

merupakan negara yang telah meratifikasi konvensi mengenai pengungsi seperti Australia. Untuk

mencapai negara tersebut mereka pada umumnya menggunakan jalur laut namun dengan tingkat

keamanan dan pengetahuan pelayaran yang minim serta perbekalan yang tidak mencukupi.

Pada dasarnya, setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi orang-orang

yang berada di wilayahnya, baik warga negaranya maupun orang asing yang sedang berada di

wilayah kedaulatannya, termasuk bagi mereka yang mencari perlindungan dengan status

pengungsi atau pencari suaka. Bentuk perlindungan tersebut salah satunya adalah perlindungan

hukum dimana negara tersebut berkewajiban untuk memenuhi hak-hak hukum yang melekat

pada subyek hukum individu tersebut.3

Kewajiban negara asal yang tidak mampu lagi melindungi hak-hak dasar warga

negaranya ataupun negara lain yang menolak kedatangan pengungsi akan diambil alih oleh

masyarakat internasional. Masyarakat internasional melakukan upaya-upaya yang diperlukan

guna menjamin

dan memastikan bahwa hak-hak dasar seseorang tetap dilindungi dan dihormati. Pada status

perlindungan internasional tersebut, seseorang yang dalam kapasitas sebagai pengungsi atau

pencari suaka, wajib mendapat proteksi atas hak-hak dasarnya sebagai manusia. Perlindungan

hak asasi merupakan hak pokok dalam penanganan mereka. Hal itu menjadi bagian dari

kewajiban dari masyarakat internasional, pada sisi lain juga menjadi kewajiban nasional suatu

Negara.4

Indonesia adalah salah satu negara yang belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951

dan Protokol 1967 . Meskipun begitu, secara geografis letak Indonesia dinilai strategis bagi para

pengungsi dan pencari suaka. Indonesia merupakan Negara di Asia Tenggara yang terletak di

3
Yanuarda Yudo Persian. Pengaturan Dalam Hukum Internasional Mengenai Pemgungsi Akibat
Perubahan Iklim yang Melintasi Batas Internasional (Environmental Refugees). Hlm 10
4
Wagiman. 2012. Hukum Pengungsi Internasional, Jakarta : Sinar Grafika. Hlm .56.
4

garis Khatulistiwa dan berada diantara benua Asia dan benua Australia. Mengingat letaknya

yang berada di antara dua samudera dan dua benua, Indonesia disebut juga sebagai Nusantara

(KepulauanAntara). Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

17.508 pulau 5. Secara geografis letak Indonesia yang strategis menjadikan Indonesia harus

menerima konsekuensi sebagai wilayah yang terbuka dengan dunia luar khususnya yang

berbatasan dengan negara terdekat. Dampak tersebut berupa masuknya ribuan pencari suaka atau

yang biasa disebut asylum seeker yang ingin mendapatkan status pengungsi. Mereka masuk

melalui beberapa perbatasan di wilayah Indonesia.

Menurut data dari United Nations High Commissioner for Refugees( selanjutnya

disingkat UNHCR) pada Januari 2012 misalnya,terdapat 3275 pencari suaka dan 1052 pengungsi

. Keberadaan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia bukan lah merupakan hal yang baru.

Keberadaan mereka telah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Pada era kepemimpinan Soeharto,

Indonesia menjadi negara tujuan pencari suaka dan pengungsi Vietnam pada tahun 1979 setelah

Saigon (ibukota Vietnam Selatan) jatuh ke tangan Vietnam Utara.6 Ratusan ribu orang

meninggalkan wilayah ini untuk mencari perlindungan di Negara lain baik dengan berbagai cara

baik lewat menyusuri sungai,jalur udara, maupun melalui jalur laut.7

Indonesia bukan Negara anggota Konvensi 1951 tentang pengungsi dan protocol 1967, serta

belum ada peraturan hukum nasional yang secara khusus mengatur tentang pencari suaka dan

pengungsi di Indonesia.Sebagai negara transit,Indonesia telah melaksanakan berbagai upaya

dalam hal penanganan pengungsi yang lebih baik, misalnya meratifikasi berbagai instrumen Hak

Asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) Internasional dan juga menghasilkan instrumen

5
UNHCR., “Operation Fact Sheet Indonesia”, http://www.unhcr.or.id/images/pdf/pu-
blications/operational_fact_sheet_indonesia_final.pdf
6
Atik Krustiyati,Penanganan Pengungsi di Indonesia ,Surabaya: Brilian Internasional,2010,hlm.18.
7
Enny Suprapto, “Promotion of Refugees in Indonesia”,Jurnal Hukum Internasional,Volume 2, Nomor 1,
Oktober 2004.
5

HAM nasional. Upaya-upaya tersebut tidak lain sebagai komitmen Indonesia untuk menegakkan

HAM. Hal ini dilakukan oleh Indonesia sebagai anggota PBB yang secara moral ikut

bertanggung jawab melaksanakan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau

Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat DUHAM). Hal tersebut juga sejalan

dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia (UUD RI) 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan

keadilan sosial.8

Indonesia tidak termasuk dalam negara pihak konvensi mengenai status pengungsi tahun

1951 dan Protokol 1967, namun Indonesia secara langsung tidak berkewajiban atas penanganan

pengungsi yang ada di wilayah Indonesia. Dalam hal ini UNHCR-lah sebagai komisi tinggi di

PBB untuk urusan pengungsi yang memiliki kewenangan untuk mengurusi pengungsi di

Indonesia.9

Salah satu pengungsi yang sedang menjadi pemberitaan saat ini adalah pengungsi

Rohingnya. Rohingnya adalah komunitas muslim yang merupakan kelompok minoritas yang

menetap di Arakan, sebelah barat Myammar. Ciri-ciri orang-orang Rohingnya terlihat dari

tampilan fisik, bahasa,dan budaya yang menunjukkan kedekatan orang-orang Rohingnya dengan

masyarakat Asia Selatan, khususnya orang-orang Chitagonian. Dalam perjalanan waktu sejak

Myanmar dikuasai oleh Junta Militer, orang-orang Rohingnya menjadi sasaran dari berbagai

bentuk kekerasan dan tindakan lain yang melanggar HAM mereka. Banyak diantara mereka yang

8
Lembar disposisi Direktorat Keamanan Diplomatik, 2010, Illegal Migrant, Jakarta: Direktorat Keamanan
Diplomatik Kementerian Luar Negeri, hlm. 2
9
Eny Suprapto, Permasalahan seputar Pengungsi dan IDP’s, (http://sekitar
kita.com/2002/08/permasalahan-seputar-pengungsi-dan-idps-/2009-komunitassekitarkita)
6

diperkerjakan secara paksa untuk membangun jalan dan kamp militer, dianiaya dan kaum

perempuan menjadi korban pemerkosaan.10

Pemerintah Myanmar yang harusnya bertanggung jawab terhadap orang-orang

Rohingnya malah mengambil sikap yang terbalik dan membiarkan nasib orang Rohingnya dalam

kondisi memilukan. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi gelombang pelarian dan

pengungsian dari orang Rohingnyayang menyebar ke berbagai negeri, termasuk juga ke

Indonesia. Kondisi yang demikian menyebabkan orang-orang Rohingnya dan juga orang-orang

dari etnis minoritas lain yang berasal dari wilayah Myanmar lain menjadi “stateless citizen”

(penduduk yang kehilangan status kewarganegaraan). Tidak seperti kelompok etnis lainnya yang

diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myammar. Masyarakat Rohingnya tidak dianggap

warga Negara dan mengalami diskriminasi oleh pemerintah Myammar. Karena itu mereka

berbondong-bondong meninggalkan Myammar demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Berbeda dengan sikap Thailand yang menolak dan mengusir pengungsi Rohingya, pihak

Pemerintah Indonesia justru menerima dan menampung sementara pengungsi tersebut

berdasarkan alasan kemanusiaan, meskipun kondisi dalam negeri Indonesia sendiri tak terlalu

kondusif. Sikap dan tindakan Thailand melakukan pengusiran jelas memperlihatkan tindakan

tidak manusiawi. Bahkan berita terakhir menyebutkan bahwa Pemerintah Thailand telah

mengirim pulang secara paksa sekitar 1.300 pengungsi muslim Rohingya ke negara asal mereka,

Myanmar.11

Berdasarkan penelitian dari Tindaon12 (2012) pemerintah Myammar belum meratifikasi

baik Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951 dan Protokol tahun 1967 maupun konvensi-

konvensi yang berkaitan dengan HAM seperti Universal Declaration of Human Rights,
10
http//indiesblog.wordpress.com/2009/02/14/tentang-rohingya
11
Thailand Telah Deportasi 1300 Pengungsi Rohingya. SINDOnews.com
12
Septiana Tindaon,, Perlindungan Pengungsi Rohingya Dilihat Dari Hukum Nasional Dan Hukum
Internasional(jurnal), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Internasional, 2012
7

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), International

Covenant on Civil dan Political Rights (ICCPR), Optional Protocol to the International

Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966), Rome Statute of the International

Criminal Court (Statuta Roma), Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of

Genocide dan Convention Against Torture and Other Cruel, in Human or Degrading Treatment

or Punishment.

Pengungsi-pengungsi yang berada di Indonesia membutuhkan perlindungan.

Perlindungan terhadap pengungsi tidak hanya mengenai pemberian suaka, namun dalam bentuk

lain yaitu perlindungan hukum atas hak-hak mereka dan juga perlindungan terhadap kekerasan

serta ancaman untuk dipulangkan ke negara asal mereka. Belajar dari kasus Rohingnya tersebut,

terdapat banyak persoalan yang dapat diambil manfaatnya, mengingat sampai saat ini Indonesia

belum menjadi pihak pada Konvensi Jenewa Tahun 1951 tentang Pengungsi danProtokol 1967.

Padahal dari hari kehari jumlah pengungsi yang masuk keIndonesia semakin banyak yang mau

tidak mau akan menjadi beban dari Pemerintah Indonesia.13 Berdasarkan fakta-fakta dan opini-

opini yang ada diatas, penulis tertarik untuk membahas dan melakukan penelitian terkait masalah

ini dengan judul “ Aspek Perlindungan Pengungsi Dilihat Dari Hukum Nasional dan

Internasional (Kasus Pengungsi Rohingnya di Kota Medan)”

B. PERUMUSAN MASALAH

13
Jawa Pos, ”Puluhan Imigran Gelap Tertangkap Di Bajul Mati”, Jawa Pos, 19 Juli 2012:
1 dan 15 (Di Jawa Timur misalnya puluhan imigran gelap asal Timur Tengah dan Asia
Selatan ditangkap di Pantai Bajul Mati, Malang Selatan. Mereka ini hendak mencari
suaka ke Australia. Sementara itu ada juga para pencari suaka ini ditangkap di Sukabumi
Jawa Barat).
8

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis dapat

merumuskan masalahnya sebagai berikut :

1. Bagaimanakah aspek perlindungan terhadap pengungsi dilihat dari Hukum

Nasional?

2. Bagaimanakah aspek perlindungan terhadap pengungsi dilihat dari Hukum

Internasional?

3. Bagaimana dengan penerapan kedua hukum tersebut terhadap Kasus yang terjadi

Indonesia (Studi Kasus Pengungsi Rohingya di Kota Medan)

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui aspek perlindungan pengungsi dari segi Hukum Nasional

2. Untuk mengetahui aspek perlindungan pengungsi dari segi Hukum Internasional

3. Untuk mengetahui penerapam kedua hukum tersebut langsung terhadap kasus

pengungsi yang berada di wilayah Indonesia (Pengungsi Rohingnya di Kota

Medan)

MANFAAT PENULISAN

1. Manfaat teoritis dari penulisan skripsi ini adalah untuk menambah pengetahuan dalam

mendalami dan mempelajari hukum internasional khususnya hukum pengungsi

internasional serta dapat bermanfaat untuk memperluas wawasan mengenai perlindungan

pengungsi baik dari segi hukum nasional maupun hukum internasional.

2. Manfaat praktis dari penulisan skripsi ini adalah menjadi acuan dalam kerangka berpikir

bagi upaya dan solusi perlindungan pengungsi di Indonesia, serta dapat bermanfaat

sebagai masukan untuk menyelesaikan permasalahan pengungsi di Indonesia


9

D. KEASLIAN PENULISAN

Judul skripsi ini adalah “Aspek Perlindungan Pengungsi Dilihat Dari Hukum Nasional Dan

Hukum Internasional (Studi Kasus Penanganan Pengungsi Rohingya Di Kota Medan)”.

Penelitian difokuskan pada pengaturan mengenai perlindungan pengungsi dilihat dari hukum

nasional dan hukum internasional dan penerapan kedua hukum tersebut pada kasus pengungsi

Rohingya yang berada di wilayah Indonesia. Skripsi ini ditulis berdasarkan ide,gagasan serta

pemikiran Penulis dengan menggunakan berbagai referensi. Sehingga bukan hasil dari

penggandaan karya tulis orang lain dan oleh karena itu keaslian penulisan skripsi ini dapat

dipertanggungjawabkan. Dalam proses penulisan skripsi ini Penulis juga memperoleh data-data

dari buku-buku, jurnal ilmiah, media cetak dan media elektronik. Jika ada kesamaan pendapat

dan kutipan, hal itu semata-semata digunakan sebagai referensi dan penunjang yang Penulis

perlukan demi penyempurnaan penulisan skripsi ini.

E. TINJAUAN PUSTAKA

Pengungsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda yang berarti orang

yang mengungsi. Sedangkan akar kata dari pengungsi adalah “ungsi” dan kata kerjanya adalah

mengungsi, yaitu pergi mengungsi (menyingkirkan) diri dari bahaya atau menyelamatkan diri (ke

tempat yang memberikan rasa aman).14 Pengungsi berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu

refugee. Istilah pengungsi dalam penggunaan sehari-hari mempunyai arti yang lebih luas yaitu

seseorang yang dalam pelarian yang berusaha melarikan diri dari kondisi yang dalam tidak bisa

ditolerir. Tujuan dari pelarian ini adalah untuk mendapatkan kebebasan dan rasa aman. Alasan

14
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Jakarta: Balai
Pustaka, 1995.
10

seseorang melakukan pelarian ini bisa saja disebabkan karena penindasan, ancaman keselamatan

jiwanya, penuntutan, kemiskinan, perang atau bencana alam.15

Sangat penting untuk mendefinisikan pengungsi sebagai suatu terminologi baku dalam

hukum Internasional. Hal ini bertujuan agar supaya tidak terdapat distorsi dalam menganalisa

yang mana dan bagaimana kemudian orang bisa dikategorikan statusnya sebagai pengungsi.

Tentu harus merujuk pada suatu terminologi atau suatu istilah harfiah yang digunakan secara

umum ataupun istilah yang digunakan secara yuridis. Dalam tata bahasa hukum, jelas dikatakan

bahwa semua istilah dalam bahasa hukum harus lah mempunyau definisi yang jelas. Tidak boleh

kemudian ada suatu istilah atau terminologi dalam bahasa hukum yang tidak memiliki batasan

yang jelas sehingga konsekuensinya akan terdapat multitafsir di dalam pendefinisiannya. Istilah

hukum yang sudah didefinisikan ini kemudian dikodifikasi dalam kamus hukum dan digunakan

di dalam konvensi atau aturan lain yang membahas tentang masalah pengungsi.

Definisi ini kemudian dijelaskan dalam Black‟s Law Dictionary pengungsi diartikan sebagai

“A person who arrives in a country to settle there permanently; a person who immigrates”. 16

Batasan pengungsi menurut Pasal 1A ayat (2) , Konvensi 1951 tentang Penentuan Status

Pengungsi adalah:

“...as one who owing to will founded fear of being persecuted for reason of frase,

religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is

outside the country of his nationality and unable or owing to such fear, is unwilling to

avail himself of the protection of that country or who, not having nationality and being

outside the country of his former habitual residence as result of such events, is unable or

owing to such fear, is unwilling to return to it”.


15
Guy S Godwin-Grill, The Refugee in Internasional Law, Second Edition, Great Britain: Clarendon Press-
Oxford, 1966, hlm. 3.
16
Bryan A. Garner . Black‟s Law Dictionary. United States: West Group.1999.hlm.1307.
11

Batasan yang diperjelas pada pasal tersebut adalah orang yang berada di luar negara asalnya

atau tempat tinggal aslinya. Hal ini didasarkan atas terjadinya ketakutan yang sah akan diganggu

keselamatannya sebagai akibat kesukuan, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dalam

kelompok sosial tertentu atau pendapat politik yang dianutnya. Serta seseorang atau sekelompok

orang yang tidak mampu atau tidak ingin memperoleh perlindungan bagi dirinya dari negara asal

tersebut atau kembaktersebut, ataupun kembali ke sana, karena adanya kekhawatiran akan

keselamatan dirinya.

Sedangkan pada Statuta UNHCR, khususnya pada Pasal 6B pengungsi didefinisikan

sebagai orang yang berada di luar negaranya atau tempat tinggal aslinya. Dengan demikian

batasan pengungsi berhubungan dengan batas lintas negara. Alasannya untuk dapat disebut

sebagai pengungsi kurang lebih substansinya sama dengan Konvensi 1951 bahwa seseorang atau

sekelompok orang dapat disebut sebagai pengungsi ketika adanya ketakutan yang sah akan

diganggu keselamatannya sebagai akibat kesukuan, agama, kewarganegaraan, keanggotaan

dalam kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik yang dianutnya. Di samping itu, harus bisa

dibuktikan kemudian bahwa mereka tidak memperoleh perlindungan bagi dirinya dari negara

asalnya.

Mengamati secara cermat definisi atau batasan tersebut, dalam penjelasannya, Hukum

Pengungsi Internasional sejatinya dalam penjabaran mengatakan bahwa terdapat tiga hal pokok

penting yang terkandung dalam pengertian pengungsi. Pertama, seseorang itu harus berada di

luar negaranya. Kedua, dalam suatu kondisi well-founded fear, adalah suatu kondisi di mana

kemungkinan akan terjadinya (atau berpotensi) terjadinya persecution. Ketiga, suatu kondisi

yang dapat dibuktikan dalam keadaan unable atau unwilling untuk mempercayakan perlindungan

dari negara asalnya.


12

Definisi pengungsi ini juga bertujuan untuk mengetahui status pengungsi dan

membedakannya dengan pencari suaka (asylum seeker). Status sebagai pengungsi adalah tahapan

dari proses pencarian suaka di luar negara asal. Seorang pengungsi adalah sekaligus pencari

suaka. Hal demikian ini berlaku karena sebelum status sebagai pengungsi, orang tersebut adalah

pencari suaka. Sebaliknya, pencari suaka belum tentu statusnya merupakan pengungsi. Ia baru

bisa dikategorikan sebagai pengungsi setelah diakui statusnya melalui instrumen hukum

internasional.

Sistem suaka nasional sekarang sudah ada untuk menentukan pencari suaka mana yang

pantas mendapat perlindungan internasional. Mereka yang setelah melalui prosedur yang benar

ternyata tidak diakui sebagai pengungsi,atau dinyatakan tidak membutuhkan perlindungan

internasional apapun, dapat dikirim pulang ke negara asalnya.17 Melalui pengakuan status

sebagai pengungsi tersebut timbullah konsekuensi yaitu adanya hak-hak,perlindungan terhadap

hak-hak tersebut dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan. Badan hukum yang dirancang untuk

melindungi pengungsi mengalami tekanan yang berat. Pengawasan di perbatasan selalu

diperkuat dan diperketat.18

Inventarisasi beberapa terminologi atau istilah juga dilakukan oleh Achmad Romsan.

Setidaknya Romsan pernah mengidentifikasi enam istilah yang berhubungan. Atau jumbuh

dengan pengungsi.19 Pertama , economic migrant ( migran ekonomi). Romsan mendefininiskan

istilah tersebut dengan “ person who, in pursuit of employment or a better over all standard of

living (that is motivated by economic considerations) leave their country to take residence else

where”.20 Economic migrant merupakan seseorang atau sekelompok orang yang mencari
17
UNHCR. 2008. Melindungi Pengungsi dan Peran UNHCR. Switzerland: Media Relation and Public
UNHCR, hlm. 8
18
Ibid., hlm 9
19
Wagiman.2012.op cit, hlm.100.
20
Achmad Romsan dkk., Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Sanic Offset, Bandung ,2002,
hlm.29.
13

pekerjaan,dan meninggalkan negaranya dengan pertimbangan aspek ekonomi. Kedua, refugees

sur place(pengunsi sur place). Romsan mendeskripsikannya sebagai “ A person who was not a

refugee when she left her country but who became a refugee at a later date. A person became a

refugee sur place due to circumstances arising in her country of origin during her absence”.

Refugee sur place merupakan seorang atau sekelompok orang yang bukan pengungsi sewaktu

berada di negaranya namun kemudian menjadi pengungsi karena di Negara asalnya sewaktu

orang atau kelompok orang tersebut tidak berada di negaranya.21 Ketiga , statutory

refugees(pengungsi statuta) .

Romsan mendefinisikannya sebagai “ persons who meet the definitions of international

instruments concerning refugees prior to the 1951 Conventiom are usually referred to as

“statutory refugees”. Statutory refugees merupakan seseorang atau sekelompok orang yang

memenuhi criteria pengungsi menurut instrumen hukum pengungsi internasional sebelum 1951.

Keempat, war refugees yang didefinisikan Romsan sebagai “ persons compelled to leave their

country of origin as a result of international or national armed conflict are not normally

considered refugees under the 1951 Convention of 1967 Protocol. They do,however have the

protectionprovided for in other international instruments , i.e. the Geneva Conventions of 1949 ,

et.al. in the case of forces invansion and subsequent occupation, occupying forces may begin to

persecute segments of the populations. In such cases,asylum seekers may meet the conditions of

the Convention definition.” Kelima , mandate refugees dan keenam, statute refugees.

Malcom Proudfoot memberikan pengertian pengungsi dengan melihat keadaan para

pengungsi akibat Perang Dunia II.Walaupun tidak secara jelas dalam memberikan pengertian

tentang pengungsi, pengertiannya yaitu :

21
Ibid
14

“These forced movements, …were the result of thepersecution, forcible deportation, or

flight of Jews and political opponents of the authoritarians governments; the transference of

ethnic population back to their homeland or to newly created provinces acquired by war or

treaty; the arbitatry rearrangement of prewar boundaries of sovereign states; the mass flight of

the air and the terror of bombarmentfrom the air and under the threat or pressure of advance

orretreat of armies over immense areas of Europe; the forcedremoval of populations from

coastal or defence areas under military dictation; and the deportation for forced labour

tobloster the German war effort’.22

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengungsi adalah orang-orang yang terpaksa

pindah ke tempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa, atau pengusiran

orang-orang Yahudi dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa, pengembalian etnik

tertentu ke negara asal mereka atauprovinsi baru yang timbul akibat perang atau

perjanjian,penentuan tapal batas secara sepihak sebelum perang terjadi. Perpindahan penduduk

sipil secara besar-besaran akibat adanya serangan udara dan adanya tekanan atau ancaman dari

para militer di beberapa wilayah Eropa, pindahan secara paksa penduduk dari wilayah pantai

atau daerah pertahanan berdasarkan perintah militer, serta pemulangan tenaga kerja paksa untuk

ikut dalam perang Jerman.

Pietro Verri memberikan definisi tentang pengungsi dengan mengutip bunyi pasal 1 UN

Convention on the Status of Refugees tahun 1951 adalah ‘applies to many person who has fled

the country of his nationality to avoid persecution or the threat of persecution’.23 Jadi menurut

Pietro Verri pengungsi adalah orang-orang yang meninggalkan negaranya karena adanya rasa

22
Ibid , hlm. 36
23
Ibid
15

ketakutan akan penyiksaan atau ancaman penyiksaan. Menurut Konvensi Tahun 1951 terhadap

mereka yang mengungsi masih dalam lingkup wilayah negaranya belum dapat disebut sebagai

pengungsi.

S. Prakash Sinha memberikan pengertian pengungsi sebagai berikut24:

“The international political refugee may defined as a person who is forced leave or stay out his

state of nationality or habitual residence for political reasons arising from events occurring

between that state and its citizents which make his stay there imposible or intolerable, and who

has taken refugee in another state without having acquired a new nationality.” Dari pendapat

tersebut, dapat ditegaskan bahwa secara umum, seorang pengungsi haruslah memenuhi kriteria

sebagai berikut:

1. Alasannya harus berdasarkan faktor politik

2. Permasalahan politik tersebut timbul antara negara dan warga negaranya;

3. Ada keadaan yang mengharuskan orang tersebut meninggalkan negaranya atau tempat

tinggalnya, baik secara sukarela maupun terpaksa;

4. Kembali ke negaranya atau ketempat tinggalnya tidak mungkin dilakukan,karena sangat

membahayakan dirinya;

5. Orang tersebut harus meminta status sebagai pengungsi di negara lain;

6. Orang tersebut tidak mendapatkan kewarganegaraan baru

Prinsip penentuan status pengungsi

Prinsip penentuan status seseorang agar dapat disebut pengungsi diatur secara yuridis

seperti dalam konvensi tahun 1951 di dalamnya juga mengatur tentang “The exlusion clauses‟

24
S. Prakash Sinha, Asylum and International Law, The Hague : Matinus Nijhott, 1971,
hal. 95
16

dan the cessasions clauses. Suatu keadaan di mana seseorang tidak diberikan status sebagai

pengungsi yang termasuk dalam kategori “The exclusions clausses‟ kalau telah memenuhi

kriteria sebagai pengungsi namun tidak membutuhkan atau berhak untuk mendapatkan

perlindungan, misalnya dalam Konvensi 1951, hal ini berarti bahwa status pengungsi itu sudah

ada sebelum yang bersangkutan dinyatakan secara formal atau resmi. Oleh karena itu, pengakuan

seseorang menjadi pengungsi sebenarnya tidak membuat orang itu menjadi pengungsi tetapi

hanya pengakuan yang menyatakan bahwa statusnya adalah pengungsi.

Sementara ketika menyinggung bagaimana penetapan status pengungsi tentu harus

merujuk pada sebuah dasar ketetapan sebab status pengungsi merupakan ketetapan yang hanya

menyatakan apa yang sebenarnya sudah ada. Dengan kata lain, orang tersebut tidak menjadi

pengungsi sebab pengakuan tetapi justru pengakuan diadakan karena dia memang sudah

pengungsi.

Penetapan seseorang menjadi pengungsi (status refugee) sebenarnya merupakan proses

yang terjadi dalam dua tahap:

1. Penemuan atau penetapan yang menentukan bahwa dari fakta yang ada memang orang

tersebut adalah refugee.

2. Fakta dihubungkan dengan persyaratan yang terdapat di dalam konvensi 1951 dan

protokol 1967. Setelah itu, dihubungkan apakah yang bersangkutan termasuk sebagai

pengungsi atau bukan.

Tipologi Pengungsi

Dalam hukum pengungsi internasional istilah pengungsi (refugee) dikenal beragam

dengan istilah yang berkaitan dengan pengungsi. Istilah ini kemudian menjurus ke arah tipe-tipe

pengungsi. Ada faktor pembeda antara tiap pengungsi, beragam motif, latar belakang sehingga
17

orang bisa dikenal statusnya sebagai pengungsi. Kalau varian motifnya beragam maka pengungsi

dapat dikenal dengan beragam istilah seperti; Economic migrant, Refugees sur place, Statutory

refugees, War refugees. Sementara kalau variabel latar belakang terjadinya pengungsi maka

dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yakni25 :

1. Pengungsian karena bencana alam (Natural Disaster). Pengungsian ini pada

prinsipnya masih dilindungi negaranya keluar untuk menyelamatkan jiwanya, dan

orang-orang ini masih dapat minta tolong pada negara dari mana ia berasal.

2. Pengungsian karena bencana yang dibuat manusia (Man Made Disaster).

Pengungsian disini pada prinsipnya pengungsi keluar dari negaranya karena

menghindari tuntutan (persekusi) dari negaranya. Biasanya pengungsi ini karena

alas an` politik terpaksa meninggalkan negaranya, orang-orang ini tidak lagi

mendapat perlindungan dari pemerintah dimana ia berasal.

Dari dua jenis pengungsi di atas yang diatur oleh Hukum Internasional sebagai Refugee

Law (Hukum Pengungsi) adalah jenis yang kedua, sedang pengungsi karena bencana alam itu

tidak diatur dan dilindungi oleh hukum internasional. Kembali lagi pada pembahasan istilah

pengungsi dari varian motifnya, dikenal dalam Hukum Pengungsi Internasional yang disebut

dengan Statutory Refugees adalah pengungsi-pengungsi yang berasal dari suatu negara tertentu

yang tidak mendapatkan perlindungan diplomatik. Yang dapat dikategorikan sebagai Statutory

Refugees adalah mereka yang memenuhi persyaratan seperti yang disebut dalam perjanjian

internasional sebelum 1951.

Sebenarnya, sebelum tahun 1951 sudah ada instrumen hukum internasional berupa

persetujuan namun sifatnya regional atau setempat misalnya, di Amerika dan Eropa yang

25
Andi Ulfah Tiara Patunru, Peranan United Nation High Commisioner for Refugees (UNHCR) Terhadap
Pengungsi Korban Perang Saudara di Suriah (skripsi), Fakultas Hukum Universitas Hasanudin
Departemen Hukum Internasional, Makassar, 2014,hlm.12.
18

membuat peraturan-peraturan pengungsi tetapi hanya berlaku setempat. Perjanjian Internasional

sifatnya regional biasanya menyangkut tiga hal, yaitu:

1. Asylum Seeker ( pencari suaka)

2. Travel Document (dokumen perjalanan)

3. Travel Facilities ( fasilitas perjalanan)

Pemberian asylum terutama di negara-negara Amerika Latin dengan membuat banyak

perjanjian regional, di samping itu juga banyak terdapat di Afrika tentang aspek-aspek khusus

dari masalah pengungsi yang ditandatangani 1969, kemudan di Asia yang berupa deklarasi yaitu

pernyataan oleh Komite Konsultatif Hukum Asia-Afrika di Bangkok, anggota-anggotanya adalah

Sarjana Hukum dari Asia dan Afrika, diadakan pada tahun 1966 yang menyatakan prinsip-

prinsip perlakuan terhadap pengungsi ada sifatnya universal juga regional. Pemberian status

sebagai Asylum Seeker untuk membedakan dengan status pengungsi juga sangatlah penting.

Sebab perbedaan itu sifatnya substansif, bahwa semua pengungsi bisa dikategorikan Asylum

Seeker, tetapi tidak semua Asylum Seeker bisa dikategorikan pengungsi.

Penjelasan istilah untuk pengungsi seperti Statutory Refugee :

1. Statutory Refugee adalah status dari suatu pengungsi sesuai dengan persetujuan

internasional sebelum tahun 1951.

2. Convention Refugee adalah status pengungsi berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol

1967. Di sini pengungsi berada pada suatu negara pihak atau peserta konvensi. Yang

menetapkan status pengungsi adalah negara tempat pengungsian (negara dimana

pengungsi itu berada) dengan kejasama dari negara tersebut dengan UNHCR, wujud kerja

sama itu misalnya: dengan mengikut sertakan UNHCR dalam komisi yang menetapkan

status pengungsi, bentuk kerjasama lainnya negara yang bersangkutan menyerahkan


19

mandate sepenuhnya pada UNHCR untuk menetapkan apakah seseorang itu termasuk

pengungsi atau bukan pengungsi.

3. Mandate Refugee adalah menentukan status pengungsi bukan dari Konvensi 1951 dan

Protokol 1967 tapi berdasarkan mandat dari UNHCR. Di sini pengungsi berada pada

negara yang bukan peserta konvensi atau bukan negara pihak. Yang berwenang

menetapkan status pengungsi adalah UNHCR bukan negara tempat pengungsian.

Mengapa Mandate Refugee tidak ditetapkan oleh negara tempat pengungsi? Hal ini

disebabkan karena negara tersebut bukan negara pihak dalam konvensi tadi,akibatnya ia

tidak bisa melakukan tindakan hukum seperti dalam konvensi tadi.

4. Pengungsi-pengungsi lain (sebab manusia):

Ada yang tidak dilindungi oleh UNHCR, misalnya : Palestine Liberation Organization

(PLO), sebab PLO sudah diurus dan dilindungi badan PBB lain maka tidak termasuk lingkungan

kekuasaan UNHCR.

Selanjutnya Haryomataram membagi dua macam Refugees, yaitu Human Rights Refugees

dan Humanitarian Refugees. 26

a) Human Rights Refugees adalah mereka yang terpaksa meninggalkan negara atau

kampung halaman mereka karena adanya “fear of being persecuted”, yang disebabkan

masalah ras, agama, kebangsaan atau keyakinan politik.

b) Humanitarian Refugess adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau

kampung halaman mereka karena merasa tidak aman disebabkan karena ada konflik

(bersenjata) yang berkecamuk dalam negara mereka. Mereka pada umumnya, di negara

dimana mereka mengungsi dianggap sebagai “alien”. Menurut Konvensi Geneva 1949,

“alien” ini diperlakukan sebagai “protected persons”. Dengan demikian mereka


26
Ibid ,hlm.15.
20

mendapat perlindungan seperti yang diatur, baik dalam Konvensi Geneva 1949 (terutama

Bag. IV), maupun dalam Protokol Tambahan II tahun 1977.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, baik International Humanitarian Law maupun

International Refugees Law keduanya mengatur masalah refugess. International Humanitarian

Law memberikan perlindungan kepada humanitaran refugess, sedangkan International Refugees

Law mengatur human rights refugees. Perbedaan ini harus jelas supaya tidak ada penafsiran yang

bias bagaimana membedakan ruang lingkup dan dalam hal pengaturan kewenangan. Tinjauan

humaniter tidak bisa dipisahkan dari tujuan dibentuknya UNHCR sebagai suatu organisasi

internasional yang turut memperjuangkan bagaimana penghargaan terhadap nilai-nilai

kemanusiaan, perlindungan, dan pemenuhan hak. Relevansinya sangat kuat sehingga antara

tinjauan hukum humaniter tidak bisa lepas dari penanganan pengungsi yang merupakan tujuan

dibentuknya UNHCR. Misalnya dalam hal penduduk sipil yang sudah ditetapkan sebagai

pengungsi maupun yang masih tergolong calon pengungsi. Calon pengungsi dalam artian bahwa

penduduk sipil yang berada di wilayah konflik berpotensi besar untuk mencari suaka dan akan

meninggalkan wilayah konflik, dan pada tahapan tertentu statusnya akan ditetapkan sebagai

pengungsi.

F. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Dan Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah

pendekatan yang melakukan analisa hukum atas peraturan perundang-undaangan dan keputusan

hakim dalam penulisan ini pendekatan yuridis normatif ini dilakukan untuk menelti norma-
21

norma hukum yang berlaku yang mengatur tentang perlindungan pengungsi sebagaimana yang

terdapat di dalam perangkat hukum nasional maupun perangkat hukum Internasional.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian bersifat deskriptif yaitu metode penelitian yang

menggambarkan semua data kemudian dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang

sedang berlangsung dan selanjutnya mencoba untuk memberikan pemecahan masalahnya

2. Sumber data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

a. Bahan hukum primer,yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang

merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini. Bahan

hukum Primer yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Konvensi 1951

dan Protokol 1967 Mengenai Penentuan Status Pengungsi sera Konvensi-

konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang

memiliki kaitan dengan permasalahan pengungsi

b. Bahan hukum sekunder,yaitu bahan hukum yang menunjang dan member

penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, jurnal ilmiah

dan pendapat para ahli hukum internasional yang terkait dengan masalah

pengungsi

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan dari

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum dan

Kamus Besar Bahasa Indonesia

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis melalui (Penelitian Pustaka (Library

Research).. Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisis berbagai
22

macam bahan bacaan yang berkaitan dengan objek kajian dalam skripsi ini antara lain berupa

buku, jurnal, dokumen-dokumen, artikel dan karya-karya tulis dalam bentuk media cetak dan

media internet.Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisa data-data yang

diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya maupun tidak langsung (internet). Dengan

demikian akan diperoleh kesimpulan yang lebih terarah dari pokok bahasan.

4. Analisis Data

Data pada penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah

suatu proses kegiatan yang meliputi, mencatat, mengorganisirkan, mengelompokkan dan

mensintetiskan data selanjutnya memaknai setiap kategori data, mencari dan menemukan

pola, hubungan-hubungan, dan memaparkan temuan-temuan dalam bentuk deskripsi

naratif,bagan,flow,chart,matriks, maupun gambar-gambar yang bisa dimengerti dan

dipahami oleh orang lain

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman dalam upaya kearah mendapatkan

jawaban atas rumusan permasalahan, maka pembahasan akan diuraikan secara

garis besar melalui sistematika penulisan. Tujuannya agar tidak terjadi

kesimpangsiuran pemikiran dalam menguraikan lebih lanjut mengenai inti sari

permasalahan yang akan dicari jawabannya. Pada bagian ini terdapat ringkasan

garis besar dari lima bab yang terdapat di dalam skripsi.

Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan mendukung keutuhan pembahasan

setiap bab. Sistematikanya adalah sebagai berikut:


23

BAB I: Membahas mengenai latar belakang, perumusan masalah dan diikuti dengan

tujuan penelitian serta manfaat dari penelitian. Bab ini juga membahas mengenai keaslian

penulisan, tinjauan kepustakaan serta metodologi penelitian yang digunakan dan diakhiri dengan

sistematika penulisan.

BAB II: Membahas mengenai mengenai pengaturan hukum tentang perlindungan

pengungsi di Indonesia terlebih dahulu yang kemudian diikuti dengan kendala-kendalayang

dihadapi dalam menangani masalah pengungsi yang berada di wilayah Indonesia. Bab ini juga

membahas mengapa Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 apa saja

yang menjadi baik faktor pendukung maupun faktor penghalang Indonesia untuk meratifikasi

Konvensi tersebut.

BAB III: Membahas mengenai sejarah perkembangan hukum Pengungsi Internasional

,dimulai dari zaman Liga Bangsa-Bangsa hingga terlahirnya UNHCR (United Nations High

Commissioner for Refugees). Selain itu juga dibahas mengenai peranan beberapa organisasi

Internasional dalam membantu menangani pengungsi dan juga beberapa konvensi yang terkait

mengenai permasalahan pengungsi.

BAB IV: membahas mengenai sejarah pengungsi Rohingya yang dimulai dari awal mula

kaum Rohingya bermukim di Rakhine Myammar hingga bagaimana pengungsi Rohingya bisa

tiba di Indonesia serta apa yang menjadi penghalang bagi Indonesia untuk meangani permasalah

Rohingya. Bab ini juga membahas bagaimana penanganan pengungsi Rohingya oleh Pihak

imigrasi di Kota Medan serta penanganan yang dilakukan UNHCR terhadap pengungsi

Rohingya yang berada di Kota Medan


24

BAB V: Membahas kesimpulan dan saran. Sebagai bagian akhir dari skripsi, maka

dalam bab ini dirangkum intisari dari hasil penelitian yang telah dilakukan, serta memberikan

saran terhadap perlindungan pengungsi khususnya pengungsi yang berada di wilayah Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai